Disusun oleh :
Kelompok 5
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2011
PARIETAL LOBES
Mempelajari system syaraf dan anatomi otak secara keseluruhan, termasuk dalam
kajian neurologi. Pada fakultas psikologi, neurologi juga penting untuk dipelajari dan
neurologi menjadi mata kuliah wajib karena pada dasarnya gangguan fisik yang muncul
disebabkan adanya kerusakan otak juga berdampak pada kondisi psikis dari penderita sendiri,
begitu pula sebaliknya.
Dalam tulisan ini kami akan membahas tentang salah satu bagian dari otak yaitu lobus
parietal.
Lobus parietal merupakan bagian dari cerebral korteks yang terletak dibawah tulang
tengkorak parietal. Dalam lobus parietal terdiri atas beberapa bagian penting, yaitu
postcentral gyrus, superior parietal lobule, parietal operculum, supramarginal gyrus, dan
angular gyrus. Hanya saja untuk angular dan supramarginal gyrus sering disebut sebagai
inferior parietal lobe. Lobus parietal dapat dibagi menjadi dua zona fungsi, yaitu zona
anterior yang terdiri dari postcentral gyrus dan parietal operculum, dan zona posterior yang
terdiri dari superior parietal lobule dan inferior parietal lobe. Zona anterior dikenal sebagai
somatosensory cortex, dan zona posterior dikenal sebagai posterior parietal cortex. Lobus
parietal, terutama dalam inferior parietal memiliki peranan yang besar terhadap evolusi
manusia. Lobus parietal memiliki dua fungsi, baik dari sisi anterior dan posterior, yaitu fungsi
yang pertama adalah untuk sensasi somatik dan persepsi, fungsi yang kedua adalah masukan
dari somatik dan daerah visual serta dari daerah indra lainnya, kebanyakan untuk
mengendalikan pergerakan.
Berikut adalah ilustrasi kasus yang berkaitan dengan gangguan pada lobus ini.
Seorang anak laik-laki yang berusia 10 tahun mengalami kesulitan di sekolah. Ia mengalami
kesulitan tertentu ketika membaca kata-kata yang panjang, mengikuti urutan teks bawah
halaman, menulis kata-kata dalam urutan yang benar, menulis kata-kata dalam baris, dan
menyalin dari papan tulis. Ia memiliki riwayat infeksi endokarditis yang berkomplikasi dengan
pendarahan intraserebral pada saat ia berusia tiga tahun. Sejarahnya termasuk kedalam
simptom khas dari patologi “dorsal stream” yang dikenal sebagai berkurangnya “vision for
action”. Dia menunjukkan simultanagnosia yang dimanifestasikan sebagai kesulitan dalam
bernegosiasi dalam lingkungan yang sibuk seperti di pusat perbelanjaan: ia sering berjalan ke
orang seolah-olah mereka tidak ada. Ada pemindaian visual yang rusak dan menmbuatnya
kesulitan mengikuti benda bergerak (misalnya mobil atau pesawat) dan kesulitan membaca
teks. Optic ataxia menyebabkan kesulitan turun dari trotoar serta ketidakmampuan untuk
melangkah ke eskalator bergerak ke bawah. Dia tidak belajar membaca dengan baik di sekolah
dan telah mulai mengembangkan masalah dengan self esteem dan kepercayaan diri.
Hal ini termasuk gangguan spasial atensi (simultanagnosia), tidak berfungsinya tangan
secara efektif tangan dan gerakan kaki di bawah kendali visual (optic ataxia), dan
memperoleh apraxia oculomotor yang konsisten dengan sindrom Balint tersebut.
(Developmental Medicine & Child Neurology 2003, 45: 349–352 349).
Berdasarkan ilustrasi diatas, diketahui bahwa anak tersebut menderita gangguan yang
disebut Balint Syndrom. Sindrom ini muncul karena adanya gangguan pada otak, tepatnya di
lobus parietal, dimana penderita akan mengalami perubahan dalam fungsi emosional-
motivasional, body and visual-spatial neglect, juga kecerobohan, dan diosorganisasi visual-
spatial. Gangguan yang ditimbulkan Balint Sindrom tidak hanya berdampak pada fisik
penderita tetapi juga gangguan pada psikis seperti emosi-motivasi yang mana si anak menjadi
kurang percaya diri dan mengalami masalah dalam self-esteem karena ketidakmampuannya
melakukan fungsi-fungsi tertentu yang seharusnya bisa dilakukan anak-anak seumurannya.
Balint sindrom merupakan salah satu gangguan yang muncul akibat kerusakan di lobus
parietal. Gangguan-gangguan pada lobus parietal ini sangat banyak dan biasanya
mempengaruhi fungsi integrasi informasi sensori dan dalam mengkonstruk sistem koordinasi
spasial untuk merepresentasikan dunia.
Jika dilihat dari ilustrasi, penderita yang mengalami ketidamampuan pada gangguan
visual dan spasial ternyata juga mengalami permasalahan dalam self-esteem dan kepercayaan
diri. Berarti seorang ahli psikologi yang menangani kasus seharusnya dapat berkordinasi
dengan ahli medis untuk menangani masalah yang dihadapi pasien dan kondisi yang sedanng
dialami pasien. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa penderita mengalami kesulitan dalam
belajar. Pada umumnya, kasus seperti ini akan disarankan untuk ditangani oleh ahli psikologi.
Pada kasus seperti ini, seorang ahli psikologi harus mengetahui neuologi karena kesulitan
dalam belajar yang dialami penderita bukan merupakan dampak gangguan psikologis akan
tetapi dampak dari kerusakan pada lobus parietal yang berarti gangguan fisik. Sehingga
seorang ahli psikologi yang memahami neurologi dapat bertindak secara tepat dan bekerja
sama dengan ahli medis. Jadi, seorang ahli psikologi harus memahami neuologi dengan baik
sehingga dapat menangani permasalahan pasien dengan baik dan tepat.
Symptom-symptom lain yang juga terkait dengan lobus parietal adalah sebagai berikut.
Somatosensory symptoms terkait dengan kerusakan gyrus postcentral (area 1, 2, 3a, dan
3b) dan korteks yang berdekatan (area PE dan PF):
Blind Touch. Orang yang menderita blind touch dapat mengidentifikasi lokasi dari
stimulus visual meskipun kadang mereka menyangkal apa yang dilihatnya. Memiliki
kerusakan besar pada area PE, PF, dan beberapa dari PG, menghasilkan anestesi lengkap
dari sisi kanan tubuh yang begitu parah bahwa ia bertanggung jawab untuk memotong atau
membakar dirinya sendiri tanpa menyadari hal itu.
Collateral neglect dan symptom lain dari kerusakan lobus parietal kanan. Perceptual
disorder yang mengikuti kerusakan parietal kanan dideskripsikan oleh John Hughlings-
Jackson pada tahun 1874. Biasanya terdapat kerusakan pada visual, auditori, dan stimulasi
somaesthetic (somatosensory) pada sisi tubuh dan/atau ruang yang berseberangan dengan
lesion, yang diikuti dengan adanya penyangkalan terhadap kekurangan yang dirasakan.
Kesembuhan melewati dua tahapan. Tahap pertama, allesthesia, dikarakteristikkan dengan
individu mulai merespon stimulus pada sisi yang rusak, tetapi merespon stimulus tersebut
seakan-akan stimulus tersebut berada pada sisi yang baik. Tahap kedua adalah
simultaneous extinction: individu merespon stimulus pada sisi yang rusak sampai sekarang
ini kecuali kedua sisi distimulasi secara bersamaan, dimana individu menyadari hanya
stimulasi pada sisi ipsilateral pada lesion. Symptom lain yang lazim dari lesion lobus
parietal kanan telah dijelaskan oleh Warringtondan koleganya, pasien dengan lesion
parietal kanan sangat buruk dalam mengenali objek yang tidak terlihat dari gambaran yang
familiar, walaupun mereka dapat mengenali objek-objek dengan gambaran yang familiar.
Warrington menyimpulkan bahwa kekurangan tidak dalam bentuk gestalt, atau konsep,
melainkan klasifikasi perceptual, mekanisme untuk mengkategorikan informasi sebagai
bagian dari konsep.
Gerstmann syndrome dan symptom lain parietal kiri. Pada tahun 1924, Joseph
Gerstmann mendeskripsikan seorang pasien dengan symptom yang tidak biasa mengikuti
stroke parietal kiri: finger agnosia, pasien tidak mampu untuk mengenali jari-jari pada
tangan yang lain. Penemuan ini sangat menarik perhatian dan dalam tahun-tahun
berikutnya symptom lain dilaporkan terkait dengan finger agnosia, termasuk right-left
confusion, agraphia (ketidakmampuan untuk menulis) dan acalculia (ketidakmampuan
untuk menampilkan operasi matematika). Keempat symptom ini secara bersama dikenal
dengan Gerstmann syndrome.
Apraxia dan lobus parietal. Apraxia adalah suatu gangguan pergerakan dimana terdapat
kehilangan keterampilan gerakan yang tidak disebabkan oleh kelemahan, ketidakmampuan
untuk bergerak, abnormal posture, kemunduran intelektual, pemahaman yang buruk, atau
gangguan lain dalam gerakan misalnya tremor. Terdapat banyak jenis dari apraxia, tetapi
hanya akan disebutkan dua diantaranya yaitu: ideomotor apraxia (pasien tidak mampu
meniru gerakan atau membuat gesture) dan constructional apraxia (gangguan visuomotor
dimana pasien tidak dapat menampilkan aktivitas seperti menyusun, membangun, dan
menggambar). Kedua gangguan ini dapat dilihat sebagai gangguan pergerakan yang
berasal dari gangguan koneksi parieto-frontal kendali gerakan.
Sumber: