Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CEDERA KEPALA

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Surgikal


Ruang 12 HCU RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh:
Luluk Wulandari
170070301111080
Kelompok 2A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN
CEDERA KEPALA
DI RUANG 12 HCU RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Surgikal Ruang 12 HCU


RSSA Malang

Oleh :
Luluk Wulandari
NIM. 170070301111080

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
CEDERA KEPALA
A. Definisi
 Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi baik secara langsung atau tidak
langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikologi yang dapat bersifat temporer ataupun permanen (Nasution, NS.
2010)

 Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dan fungsi otak yang disertai atau
ditandai pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Mutaqqin, 2008)

 Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedara kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan
serangan atau benturan fisik dar iluar yang mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemapuan kognitif dan fungsi otak.

B. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas

2. Jatuh

3. Trauma benda tumpul

4. Kecelakaan rumah tangga

5. Kecelakaan olahraga

6. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)

Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasanya itu jenis
kekerasan benda tumpul dan tajam. Benda tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan lalu lintas, jatuh dan pukulan benda tajam berkaitan dengan benda tajam dan
tembakan.

C. Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Sekitar satu juta pasien tiap tahunnya datang
ke Departemen Kecelakaan dan Kegawatdaruratan di Inggris dengan cedera kepala dan
sekitar 5000 pasien meninggal setiap tahunnya setelah mengalami cedera kepala (Grace
& Barley, 2006).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB) (American College of Surgeon Committee on Trauma, 2004). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi (Turner, 1996).
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal (PERDOSSI, 2007).

D. Manifestasi klinis dan Klasifikasi


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak,
di antaranya yaitu :
a. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005) GCS 13-15
 Kebingungan saat kejadian dan kebingungan terus menetap setelah cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah cedera otak akibat trauma ringan.
b. Cedera kepala sedang, Diane C (2002) GCS 9-12
 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan
koma.
 Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, perubahan TTV, gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan.
c. Cedera kepala berat, Diane C (2002) GCS < 8
 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
 Perubahan ukuran pupil, pemeriksaan motorik tidak optimal, adanya cedra terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
Menurut IKABI (2004) cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek
diantaranya :
a. Berdasarkan mekanisme terjadinya cedera
1. Cedera kepala tumpul : Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi
yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak
pada protuberas tulang tengkorak.
2. Cedera tembus : dapat disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
b. Berdasarkan morfologi cedera kepala.
Menurut (Tandian, 2011), cedera kepala dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi :
1. Laserasi kulit kepala : terjadinya robekan pada lapisan jaringan ikat longgar yang
terletak diantara galea aponeurosis dan periosteum yang memungkinkan kulit
bergerak terhadap tulang. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah, maka
jika terjadi luka dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak. Lapisan
yang dimaksud adalah Skin, Connective tissue, dan perikranii.
2. Fraktur tulang kepala
a. Fraktur linear : fraktur linear merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
b. Fraktur diastasis : fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang
menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Fraktur ini sering terjadi
pada bayi dan balita, sedangkan jika terjadi pada orang dewasa sering terjadi
pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
c. Fraktur kominutif : fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen
dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi : terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duremater dan jaringan otak.
e. Fraktur basis kranii : merupakan fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak dan sering disertai dengan robekan pada durameter yang merekat
erat pada dasar tengkorak. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan
cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak
(meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign
(fraktur basis kranii fossa media) dan menyebabkan lesi saraf kranial sehingga
mengalami gangguan N. olfactorius, N.facialis, N.vestibulokokhlearis.
c. Klasifikasi cedera berdasarkan beratnya
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
- Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi
- Menderita laserasi, hematoma kulit kepala
- Pusing dan nyeri kepala yang menetap
- Perubahan kepribadian diri
- Mual dan muntah
- Gangguan tidur dan nafsu makan menurun
- Letargi
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
- Dapat menuruti perintah, namun tidak memberikan respon yang sesuai dengan
pernyataan
- Amnesia pasca trauma
- Adanya tanda fraktur cranium (battle sign, mata rabun, hemotimpanium,
otorea/rinorea cairan serebrospinal)
- Kejang, mual
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS < 8
- Penurunan kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi/teraba fraktur depresi cranium
- Perubahan ukuran pupil
- Triad Cushing : denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan.

E. Patofisiologi (terlampir)
F. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium: Darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: Menunjukkan abnormali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Rotgen tengkorak maupun dinding dada.
6. CSF, Punksi Lumbal: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
9. Rontgen kepala 3 posisi: Untuk mengetahui adanya fraktur tulang tengkorak.
10. EEG: Untuk mengetahui adanya gelombang patologi.
11. Skrinning toksikologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
G. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang
sakit (Fauzi,2002). Untuk penatalaksanaan cedera kepala menurut (IKABI, 2004) telah
menempatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu cedera
kepala ringan,cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Penatalaksanaan
penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-13 meliputi ;

1. Anamnesa penderita yang. terdiri dari; nama,umur,jenis kelamin, ras, pekerjaan.


2. Mekanisme cedera kepala.

3. Waktu terjadinya cedera.

4. Adanya gangguan tingkat kesadaran setelah cedera.

5. Amnesia : retrogade, antegrade.

6. Sakit kepala : ringan, sedang, berat

7. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

8. Pemeriksaan neurulogis secara periodik.

9. Pemeriksaan CT scan kepala.

10. Penderita dilakukan rawat inap untuk observasi.

11. Bila kondisi penderita membaik (90%). penderita dapat dipulangkan dan kontrol di
poliklinik.

12. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segera lakukan pemeriksaan CT scan
ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan protokol cedera kepala berat.

Cedera kepala sedang walaupun masih bisa menuruti perintah sederhana masih ada
kemungkinan untuk jatuh ke kondisi cedera kepala berat. Maka harus diperhatikan dan
ditangani secara serius. Penatalaksanaan cedera kepala sedang adalah untuk mencegah
terjadinya cedera kepala sekunder oleh karena adanya massa intrakranial atau infeksi
intrakranial. Penderita yang setelah lewat 24 jam terjadinya trauma kepala, meskipun
keadaan stabil harus dilakukan perawatan untuk keperluan obserfasi.(Markam S,
Atmadja, Budijanto A, 1999).

Observasi bertujuan untuk menemukan sedini mungkin penyulit asau kelainan lain
yang tidak segera memberi tanda atau gejala. (Hidajat, 2004). Untuk melakukan
observasi pada panderita cedera kepala digunakan metode glasgow coma scale (GCS).

Pemberiaan obat serta antibiotik


1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

H. Komplikasi
1. Koma
Darah arteri yang biasanya berasal dari ruptur arteri meningea yang terjadi karena
fraktur biasanya mengakibatkan terjadinya perdarahan diantara tengkorak dan
duramater. Arteri terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Darah di dalam
arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Darah yang
menumpuk pada durameter dan tengkorak akan menimbulkan hematom pada otak.
Hematom bertambah besar akan meningkatan tekanan intra kranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran.
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sehingga terjadi koma.
2. Kejang
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.Kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan
respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.Kejang kejang pada cedera
kepala yang terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam dari trauma kepala
merupakan akibat dari perubahan mekanikdan neurokimia sementara dalam sistem
saraf pusat. . kejang pasca trauma awal akibat dari edema otak, lesi/perdarahan .
3. Pendarahan intrakranial
4. Mengitis atau abses otak
5. Kebocoran cairan serebrospinal
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran dan perubahan tingkah laku.Hal ini disebabkan karena cedera kepala yang
dialami telah mengakibatkan kerusakan pada salah satu bagian dari otak besar yakni
korteks serebri sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir, emosi dan perilaku
seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas
perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan
yang terjadi.
6. Penyakit Alzheimer dan Parkinson : Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan
terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan
semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera. Hal ini disebabkan karena
penurunan metabolism dan aliran darah di korteks parietalis akibat trauma kepala.
Sehingga terjadi degenerasi neuron kolinergik yang kemudian menyebabkan atropi
otak dan penuruna nsel neuron kolinergik. Lalu terjadi penurunan neuro transmitter
dan menyebabkan asetil kolin menurun. Akibatnya adalah timbul gejala alzheimer.
Sedangkan penyakit parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamine akibat
degenerasi atau kematian neuron di pars kompakta substansi anigrase besar 40 ±
50% yang disertai adanya inklusisitoplas mikeosinofilik (Lewy bodies).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA CEDERA KEPALA


A. Pengkajian
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan,
hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
3. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
4. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa
klien.
5. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS <
15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai
batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I,
II, III, V, VII, IX, XII.
 Sistem respirasi
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
 Kardiovaskuler
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
 Kemampuan komunikasi
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
 Psikososial
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
 Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah
dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus
otot.
 Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi.
 Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O: Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive
dan depresi
 Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
 Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk,
disfagia).
 Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap
cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
 Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah
 Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot
hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh

6. Pemeriksaan Penujang
 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
 MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
 Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
 Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
 X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
 PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
 ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
 Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial

B. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan
TTV.
c. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler ditandai dengan
kelemahan atau paralisis otot pernafasan.
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
peningkatan ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan
edema, dehidrasi, sindrom kompartemen dan hemoragi.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan
asam lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB,
penurunan massa atau tonus otot
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan
penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan
koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial ditandai dengan disorientasi terhadap waktu,
tempat, orang, perubahan terhadap respon rangsang.
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan
kata-kata.
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit
kepala, perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi, hipertermi.

C. Intervensi Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, Memperioritaskan intervensi,
penyebab koma/ status neurologis/ tanda-tanda
penurnan perfusi kegagalan untuk menentukan
jaringan dan kegawatan atau tindakan
kemungkinan pembedahan.
penyebab
peningkatan TIK
Memonitor TTV Suatu keadaan normal bila
tiap 4 jam. sirkulasi serebri terpelihara
dengan baik. Peningkatan TD,
bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda peningkatan
TIK. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan
meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan
kembali bola mata merupakan
tanda dari gangguan saraf jika
batang otak terkoyak.
Keseimbangansaraf antara
simpatis dan parasimpatis
merupakan respons refleks saraf
kranial.
Kaji peningkatan Tingkah laku non verbal
istirahat dan merupakan indikasi peningkatan
tingkah laku pada TIK atau memberikan refleks nyeri
pgi hari. dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluha secara
verbal.
Palpasi Dapat meningkatkan respon
pembesaran otomatis yang potensial
bladder dan menaikkan TIK.
monitor adanya
konstipasi.
Obaservasi Perubahan kesadaran
kesadaran dengan menunjukkan peningkatan TIK
GCS dan berguna untuk menentukan
lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid Menurunkan inflamasi dan
(deksametason) edema.
Analgesik Mengurangi nyeri
Antihipertensi Mengurangi kerusakan jaringan.

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan


peningkatan tekanan intrakranial

Tujuan:
Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi
jaringan serebral kembali normal
Kriteria Hasil:
- Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
- Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial
- Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
- Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada muntah.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat 1. Mengetahui kestabilan klien.
2. Mengkaji adanya kecendeungan pada
kesadaran.
2. Pantau status tingkat kesadaran dan resiko TIK
neurologis secara meningkat.
3. Untuk menurunkan tekanan vena
teratur, catat adanya
jugularis.
nyeri kepala, pusing.
4. Peningkatan tekanan darah sistemik
3. Tinggikan posisi
yang diikuti dengan penurunan
kepala 15-30 derajat
4. Pantau TTV, TD, tekanan darah diastolik serta napas
suhu, nadi, input dan yang tidak teratur merupakan tanda
output, lalu catat peningkatan TIK.
hasilnya.
5. Mengurangi keadaan hipoksia
5. Kolaborasi pemberian
oksigen.

3. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,


neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan :
Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas
efektif dengan
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengatakan sesak nafas
- Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada.
- Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
- bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
- kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi Rasional
1. Kaji kecepatan, kedalaman, 1. Hipoventilasi biasanya
frekuensi, irama nafas, adanya terjadi atau menyebabkan
sianosis. Kaji suara nafas akumulasi/atelektasi atau
tambahan (rongki, mengi, pneumonia (komplikasi yang
krekels). sering terjadi).
2. Atur posisi klien dengan posisi 2. Meningkatkan ventilasi
semi fowler 30o Berikan posisi semua bagian paru,
semi prone lateral/ miring, jika mobilisasi serkret
tak ada kejang selama 4 jam mengurangi resiko
pertama rubah posisi miring komplikasi, posisi tengkulup
atau terlentang tiap 2 jam. mengurangi kapasitas vital
paru, dicurigai dapat
menimbulkan peningkatan
resiko terjadinya gagal
3. Anjurkan pasien untuk minum
nafas.
hangat (minimal 2000 ml/hari). 3. Membantu mengencerkan
sekret, meningkatkan
4. Kolaborasi terapi oksigen mobilisasi sekret/sebagai
sesui indikasi. ekspektoran.
4. Memaksimalkan bernafas
dan menurunkan kerja
nafas. Mencegah hipoksia,
jika pusat pernafasan
5. Lakukan section dengan hati-
tertekan. Biasanya dengan
hati (takanan, irama, lama)
menggunakan ventilator
selama 10-15 detik, catat,
mekanis.
sifat, warna dan bau sekret
5. Penghisapan yang rutin,
beresiko terjadi hipoksia,
bradikardi (karena respons
vagal), trauma jaringan oleh
6. Kolaborasi dengan
karenanya kebutuhan
pemeriksaan AGD, tekanan
penghisapan didasarkan
oksimetri.
pada adanya
ketidakmampuan untuk
mengeluarkan sekret.
6. Menyatakan keadaan
ventilasi atau oksigen,
mengidentifikasi masalah
pernafasan, contoh:
hiperventilasi (PaO2 rendah/
PaCO2 mengingkat) atau
adanya komplikasi paru.
Menentukan kecukupan
oksigen, keseimbangan
asam-basa dan kebutuhan
akan terapi.

4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran


urine dan elektrolit meningkat.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan
keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan
Kriteria Hasil:
- Menunjukan membran mukosa lembab
- Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
Intervensi Rasional
1. Kaji tanda klinis dehidrasi 1. Deteksi dini dan intervensi dapat
atau kelebihan cairan. mencegah
kekurangan/kelebihan fluktuasi
2. Catat masukan dan
keseimbangan cairan.
haluaran, hitung
2. Kehilangan urinarius dapat
keseimbangan cairan, ukur
menunjukan terjadinya dehidrasi
berat jenis urine.
dan berat jenis urine adalah
3. Berikan air tambahan indikator hidrasi dan fungsi
sesuai indikasi renal.
3. Dengan formula kalori lebih
4. Kolaborasi pemeriksaan
tinggi,tambahan air diperlukan
lab. kalium/fosfor serum,
untuk mencegah dehidrasi.
Ht dan 4. Hipokalemia/fofatemia dapat
albumin serum.
terjadi karena perpindahan
intraselluler elama pemberian
makan awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak diatasi.

5. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot


yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan :
Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x
24 jam dengan
Kiteria Hasil:
- Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. dalam rentang
normal.
- Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien 1. Faktor ini menentukan terhadap
untuk mengunyah dan jenis makanan sehingga pasien
menelan, batuk dan harus terlindung dari aspirasi.
2. Bising usus membantu dalam
mengatasi sekresi.
2. Auskultasi bising usus, menentukan respon untuk
catat adanya makan atau berkembangnya
penurunan/hilangnya atau komplikasi seperti paralitik ileus.
suara hiperaktif.
3. Menurunkan regurgitasi dan
3. Jaga keamanan saat terjadinya aspirasi.
memberikan makan pada
pasien, seperti
meninggikan kepala
selama makan atatu 4. Meningkatkan proses
selama pemberian makan pencernaan dan toleransi
lewat NGT. pasien terhadap nutrisi yang
4. Berikan makan dalam
diberikan dan dapat
porsi kecil dan sering
meningkatkan kerjasama pasien
dengan teratur.
saat makan
5. Metode yang efektif untuk
5. Kolaborasi dengan ahli memberikan kebutuhan kalori.
gizi.

6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan


kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan :
Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan
Kriteri Hasil :
- Tidak adanya kontraktur, footdrop.
- Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
- Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya

Intervensi Rasional
1. Periksa kembali 1. Mengidentifikasi kerusakan
kemampuan dan keadaan secara fungsional dan
secara fungsional pada mempengaruhi pilihan intervensi
kerusakan yang terjadi. yang akan dilakukan.
2. Berikan bantu untuk 2. Mempertahankan mobilitas dan
latihan rentang gerak fungsi sendi/ posisi normal
ekstrimitas dan menurunkan
3. Bantu pasien dalam terjadinya vena statis
3. Proses penyembuhan yang
program latihan dan
lambat seringakli menyertai
penggunaan alat
trauma kepala dan pemulihan
mobilisasi. Tingkatkan
fisik merupakan bagian yang
aktivitas dan partisipasi
sangat penting. Keterlibatan
dalam merawat diri sendiri
pasien dalam program latihan
sesuai kemampuan
sangat penting untuk
meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.

7. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,


peningkatan tekanan intra kranial.
Tujuan :
Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x
24 jam
Kriteria Hasil :
- Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
- Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi Rasional
1. Kaji kesadaran sensori 1. Semua sistem sensori dapatn
dengan sentuhan, panas/ terpengaruh dengan adanya
dingin, benda perubahan yang melibatkan
tajam/tumpul dan peningkatan atau penurunan
kesadaran terhadap sensitivitas atau kehilangan
gerakan. sensasi untuk menerima dan
berespon sesuai dengan stimuli.
2. Evaluasi secara teratur
2. Fungsi cerebral bagian atas
perubahan orientasi,
biasanya terpengaruh lebih
kemampuan berbicara,
dahulu oleh adanya gangguan
alam perasaan, sensori
sirkulasi, oksigenasi. Perubahan
dan proses pikir.
persepsi sensori motorik dan
kognitif mungkin akan
berkembang dan menetap
3. Bicara dengan suara yang dengan perbaikan respon secara
lembut dan pelan. bertahap
3. Pasien mungkin mengalami
Gunakan kalimat pendek
keterbatasan perhatian atau
dan sederhana.
pemahaman selama fase akut
Pertahankan kontak
dan penyembuhan. Dengan
mata.
tindakan ini akan membantu
4. Berikan lingkungan
pasien untuk memunculkan
terstruktur rapi, nyaman
komunikasi.
dan buat jadwal untuk 4. Pasien mungkin mengalami
klien jika mungkin dan keterbatasan perhatian atau
tinjau kembali. pemahaman selama fase akut
dan penyembuhan. Dengan
5. Kolaborasi pada ahli tindakan ini akan membantu
fisioterapi, terapi okupasi, pasien untuk memunculkan
terapi wicara dan terapi komunikasi.
5. Pendekatan antar disiplin ilmu
kognitif.
dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan terintegrasi
yang berfokus pada masalah
klien

8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan


keseadaran.
Tujuan:
Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan klien dapat
menunjukan komunikasi dengan baik
Intervensi Rasional
1. Kaji derajat disfungsi 1. Membantu menentukan daerah
atau derajat kerusakan serebral
yang terjadi dan kesulitan
pasien dalam proses
2. Mintalah klien untuk
komunikasi.
mengikuti perintah
2. Melakukan penelitian terhadap
3. Anjurkan keluarga untuk adanya kerusakan sensori
berkomunikasi dengan
3. Untuk merangsang komunikasi
klien
pasien, mengurangi isolasi
sosial dan meningkatkan
penciptaan komunikasi yang
efektif.

9. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit


kepala.
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam

Kiteria Hasil:
- Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
- suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5°C)
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptik 1. Cara pertama untuk
dan antiseptik, menghindari nosokomial
pertahankan teknik cuci infeksi, menurunkan jumlah
tangan kuman patogen .
2. Observasi daerah kulit 2. Deteksi dini perkembangan
yang mengalami infeksi memungkinkan untuk
kerusakan, kaji keadaan melakukan tindakan dengan
luka, catat adanya segera dan pencegahan
kemerahan, bengkak, pus terhadap komplikasi
daerah yang terpasang selanjutnya, monitoring
alat invasi dan TTV adanyainfeksi.
3. Anjurkan klien untuk 3. Meningkatkan imun tubuh
memenuhi nutrisi dan terhadap infeksi
hidrasi yang adekuat.
4. Menurunkan pemajanan
4. Batasi pengunjung yang
terhadap pembawa kuman
dapat menularkan infeksi
infeksi.
5. Pantau hasil pemeriksaan 5. Leukosit meningkat pada
lab, catat adanya keadaan infeksi
leukositosis
6. Menekan pertumbuhan kuman
6. Kolaborasi pemberian
pathogen.
atibiotik sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, elizabeth J. 2008. Patofisiologi: buku saku, Ed:3. Jakarta: EGC

Grace, P.A, Borley, N R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Erlangga

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Selemba Medika.

Rubenstein, david. 2003. Lecture Notes: kedokteran Klinis, ed:6. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai