CEDERA KEPALA
Disusun Oleh:
Luluk Wulandari
170070301111080
Kelompok 2A
Oleh :
Luluk Wulandari
NIM. 170070301111080
( ) ( )
CEDERA KEPALA
A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi baik secara langsung atau tidak
langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikologi yang dapat bersifat temporer ataupun permanen (Nasution, NS.
2010)
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dan fungsi otak yang disertai atau
ditandai pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Mutaqqin, 2008)
Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedara kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan
serangan atau benturan fisik dar iluar yang mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemapuan kognitif dan fungsi otak.
B. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
5. Kecelakaan olahraga
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasanya itu jenis
kekerasan benda tumpul dan tajam. Benda tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan lalu lintas, jatuh dan pukulan benda tajam berkaitan dengan benda tajam dan
tembakan.
C. Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Sekitar satu juta pasien tiap tahunnya datang
ke Departemen Kecelakaan dan Kegawatdaruratan di Inggris dengan cedera kepala dan
sekitar 5000 pasien meninggal setiap tahunnya setelah mengalami cedera kepala (Grace
& Barley, 2006).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB) (American College of Surgeon Committee on Trauma, 2004). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi (Turner, 1996).
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal (PERDOSSI, 2007).
E. Patofisiologi (terlampir)
F. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium: Darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: Menunjukkan abnormali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Rotgen tengkorak maupun dinding dada.
6. CSF, Punksi Lumbal: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
9. Rontgen kepala 3 posisi: Untuk mengetahui adanya fraktur tulang tengkorak.
10. EEG: Untuk mengetahui adanya gelombang patologi.
11. Skrinning toksikologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
G. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang
sakit (Fauzi,2002). Untuk penatalaksanaan cedera kepala menurut (IKABI, 2004) telah
menempatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu cedera
kepala ringan,cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Penatalaksanaan
penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-13 meliputi ;
11. Bila kondisi penderita membaik (90%). penderita dapat dipulangkan dan kontrol di
poliklinik.
12. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segera lakukan pemeriksaan CT scan
ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan protokol cedera kepala berat.
Cedera kepala sedang walaupun masih bisa menuruti perintah sederhana masih ada
kemungkinan untuk jatuh ke kondisi cedera kepala berat. Maka harus diperhatikan dan
ditangani secara serius. Penatalaksanaan cedera kepala sedang adalah untuk mencegah
terjadinya cedera kepala sekunder oleh karena adanya massa intrakranial atau infeksi
intrakranial. Penderita yang setelah lewat 24 jam terjadinya trauma kepala, meskipun
keadaan stabil harus dilakukan perawatan untuk keperluan obserfasi.(Markam S,
Atmadja, Budijanto A, 1999).
Observasi bertujuan untuk menemukan sedini mungkin penyulit asau kelainan lain
yang tidak segera memberi tanda atau gejala. (Hidajat, 2004). Untuk melakukan
observasi pada panderita cedera kepala digunakan metode glasgow coma scale (GCS).
H. Komplikasi
1. Koma
Darah arteri yang biasanya berasal dari ruptur arteri meningea yang terjadi karena
fraktur biasanya mengakibatkan terjadinya perdarahan diantara tengkorak dan
duramater. Arteri terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Darah di dalam
arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Darah yang
menumpuk pada durameter dan tengkorak akan menimbulkan hematom pada otak.
Hematom bertambah besar akan meningkatan tekanan intra kranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran.
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sehingga terjadi koma.
2. Kejang
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.Kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan
respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.Kejang kejang pada cedera
kepala yang terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam dari trauma kepala
merupakan akibat dari perubahan mekanikdan neurokimia sementara dalam sistem
saraf pusat. . kejang pasca trauma awal akibat dari edema otak, lesi/perdarahan .
3. Pendarahan intrakranial
4. Mengitis atau abses otak
5. Kebocoran cairan serebrospinal
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran dan perubahan tingkah laku.Hal ini disebabkan karena cedera kepala yang
dialami telah mengakibatkan kerusakan pada salah satu bagian dari otak besar yakni
korteks serebri sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir, emosi dan perilaku
seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas
perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan
yang terjadi.
6. Penyakit Alzheimer dan Parkinson : Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan
terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan
semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera. Hal ini disebabkan karena
penurunan metabolism dan aliran darah di korteks parietalis akibat trauma kepala.
Sehingga terjadi degenerasi neuron kolinergik yang kemudian menyebabkan atropi
otak dan penuruna nsel neuron kolinergik. Lalu terjadi penurunan neuro transmitter
dan menyebabkan asetil kolin menurun. Akibatnya adalah timbul gejala alzheimer.
Sedangkan penyakit parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamine akibat
degenerasi atau kematian neuron di pars kompakta substansi anigrase besar 40 ±
50% yang disertai adanya inklusisitoplas mikeosinofilik (Lewy bodies).
6. Pemeriksaan Penujang
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
B. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan
TTV.
c. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler ditandai dengan
kelemahan atau paralisis otot pernafasan.
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
peningkatan ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan
edema, dehidrasi, sindrom kompartemen dan hemoragi.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan
asam lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB,
penurunan massa atau tonus otot
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan
penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan
koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial ditandai dengan disorientasi terhadap waktu,
tempat, orang, perubahan terhadap respon rangsang.
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan
kata-kata.
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit
kepala, perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi, hipertermi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, Memperioritaskan intervensi,
penyebab koma/ status neurologis/ tanda-tanda
penurnan perfusi kegagalan untuk menentukan
jaringan dan kegawatan atau tindakan
kemungkinan pembedahan.
penyebab
peningkatan TIK
Memonitor TTV Suatu keadaan normal bila
tiap 4 jam. sirkulasi serebri terpelihara
dengan baik. Peningkatan TD,
bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda peningkatan
TIK. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan
meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan
kembali bola mata merupakan
tanda dari gangguan saraf jika
batang otak terkoyak.
Keseimbangansaraf antara
simpatis dan parasimpatis
merupakan respons refleks saraf
kranial.
Kaji peningkatan Tingkah laku non verbal
istirahat dan merupakan indikasi peningkatan
tingkah laku pada TIK atau memberikan refleks nyeri
pgi hari. dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluha secara
verbal.
Palpasi Dapat meningkatkan respon
pembesaran otomatis yang potensial
bladder dan menaikkan TIK.
monitor adanya
konstipasi.
Obaservasi Perubahan kesadaran
kesadaran dengan menunjukkan peningkatan TIK
GCS dan berguna untuk menentukan
lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid Menurunkan inflamasi dan
(deksametason) edema.
Analgesik Mengurangi nyeri
Antihipertensi Mengurangi kerusakan jaringan.
Tujuan:
Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi
jaringan serebral kembali normal
Kriteria Hasil:
- Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
- Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial
- Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
- Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada muntah.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat 1. Mengetahui kestabilan klien.
2. Mengkaji adanya kecendeungan pada
kesadaran.
2. Pantau status tingkat kesadaran dan resiko TIK
neurologis secara meningkat.
3. Untuk menurunkan tekanan vena
teratur, catat adanya
jugularis.
nyeri kepala, pusing.
4. Peningkatan tekanan darah sistemik
3. Tinggikan posisi
yang diikuti dengan penurunan
kepala 15-30 derajat
4. Pantau TTV, TD, tekanan darah diastolik serta napas
suhu, nadi, input dan yang tidak teratur merupakan tanda
output, lalu catat peningkatan TIK.
hasilnya.
5. Mengurangi keadaan hipoksia
5. Kolaborasi pemberian
oksigen.
Intervensi Rasional
1. Periksa kembali 1. Mengidentifikasi kerusakan
kemampuan dan keadaan secara fungsional dan
secara fungsional pada mempengaruhi pilihan intervensi
kerusakan yang terjadi. yang akan dilakukan.
2. Berikan bantu untuk 2. Mempertahankan mobilitas dan
latihan rentang gerak fungsi sendi/ posisi normal
ekstrimitas dan menurunkan
3. Bantu pasien dalam terjadinya vena statis
3. Proses penyembuhan yang
program latihan dan
lambat seringakli menyertai
penggunaan alat
trauma kepala dan pemulihan
mobilisasi. Tingkatkan
fisik merupakan bagian yang
aktivitas dan partisipasi
sangat penting. Keterlibatan
dalam merawat diri sendiri
pasien dalam program latihan
sesuai kemampuan
sangat penting untuk
meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.
Kiteria Hasil:
- Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
- suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5°C)
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptik 1. Cara pertama untuk
dan antiseptik, menghindari nosokomial
pertahankan teknik cuci infeksi, menurunkan jumlah
tangan kuman patogen .
2. Observasi daerah kulit 2. Deteksi dini perkembangan
yang mengalami infeksi memungkinkan untuk
kerusakan, kaji keadaan melakukan tindakan dengan
luka, catat adanya segera dan pencegahan
kemerahan, bengkak, pus terhadap komplikasi
daerah yang terpasang selanjutnya, monitoring
alat invasi dan TTV adanyainfeksi.
3. Anjurkan klien untuk 3. Meningkatkan imun tubuh
memenuhi nutrisi dan terhadap infeksi
hidrasi yang adekuat.
4. Menurunkan pemajanan
4. Batasi pengunjung yang
terhadap pembawa kuman
dapat menularkan infeksi
infeksi.
5. Pantau hasil pemeriksaan 5. Leukosit meningkat pada
lab, catat adanya keadaan infeksi
leukositosis
6. Menekan pertumbuhan kuman
6. Kolaborasi pemberian
pathogen.
atibiotik sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Grace, P.A, Borley, N R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Erlangga
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Selemba Medika.
Rubenstein, david. 2003. Lecture Notes: kedokteran Klinis, ed:6. Jakarta : Erlangga