Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory


response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti
klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC) ; takikardi;
asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi
dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga
dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia.
Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah,
sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh
tubuh, termasuk organ-organ. 1
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan
perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri
<90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama
sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau
dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap
≥90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.1
Syok Sepsis merupakan masalah kesehatan utama yang melibatkan jutaan
manusia di seluruh dunia. Penyakit ini masih menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada neonatus, bersama dengan timbulnya disfungsi organ multipel
yang terjadi pada pasien sepsis. Syok septik menjadi suatu permasalahan klinis
yang sangat kompleks, terjadi akibat keadaan sepsis yang memburuk. Faktor-faktor
risiko yang meningkatkan kejadian sepsis selama periode neonatal, yaitu
prematuritas, berat badan lahir rendah, pembedahan, pasien denganventilasi
mekanik, pemberian nutrisi parenteral, dan adanya flora abnormal gastrointestinal.
Penanganan yang tepat diperlukan untuk mencegah terjadinya syok septik dan
disfungsi organ multipel tersebut.1

1
Sindrom sepsis terjadi sepanjang suatu kontinuum penyakit yang termasuk
sepsis berat dan syok sepsis, berdasarkan terjadinya disfungsi organ terkait sepsis.
Sindrom disfungsi organ multipel merupakan sumber utama morbiditas dan
mortalitas pasien yang dirawat pada unit intensif dan timbul pada sekitar 15%
pasien yang dirawat intensif. Beberapa telah berspekulasi bahwa kondisi medis
komorbid seperti kanker, HIV, diabetes dan penyalahgunaan alkohol dapat
mempunyai efek terhadap progresivitas penyakit sepsis. Telah ditemukan bahwa
komorbiditas mempengaruhi risiko dan hasil akhir sepsis, dan komorbid kumulatif
dikaitkan dengan insidens disfungsi organ yang meningkat. Evolusi disfungsi organ
pada proses sepsis dapat memberikan informasi kritis mengenai respons pejamu,
patofisiologi dan aplikasi optimal untuk terapi spesifik. Oleh karena disfungsi organ
bertanggung jawab untuk morbiditas dan mortalitas sepsis, makan pengenalan awal
sangat penting dalam tatalaksana.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Syok septik merupakan keadaan sepsis yang memburuk, awalnya
didahului oleh suatu infeksi. Definisi systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) adalah suatu respon peradangan terhadap adanya infeksi
bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan protozoa. Respon peradangan ini timbul
ketika sistem pertahanan tubuh tidak cukup mengenali atau menghilangkan
infeksi tersebut. Sepsis adalah SIRS yang disertai adanya bukti infeksi.1
Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan salah satu disfungsi
organ kardiovaskular atau acute respiratory distress syndrome, atau ≥2
disfungsi organ lain (hematologi, renal,hepatik). Syok septik adalah sepsis
berat yang disertai adanya hipotensi atau hipoperfusi yang menetap selama 1
jam, walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. Literatur lain
menyebutkan syok septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular, yang masih berlangsung setelah diberikan cairan isotonik
bolus intravena > 40 ml/kgbb selama 1 jam.2
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau
dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau
<36oC) ; takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis
respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan
jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau
jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood
poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya
terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-
organ.1
Syok septik merupakan keadaan sepsis yang memburuk, awalnya
didahului oleh suatu infeksi. Definisi systemic inflammatory response

3
syndrome (SIRS) adalah suatu respon peradangan terhadap adanya infeksi
bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan protozoa. Respon peradangan ini timbul
ketika sistem pertahanan tubuh tidak cukup mengenali atau menghilangkan
infeksi tersebut. Sepsis adalah SIRS yang disertai adanya bukti infeksi.2
Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan salah satu disfungsi
organ kardiovaskular atau acute respiratory distress syndrome, atau ≥2
disfungsi organ lain (hematologi, renal, hepatik). Syok septik adalah sepsis
berat yang disertai adanya hipotensi atau hipoperfusi yang menetap selama 1
jam, walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. Literatur lain
menyebutkan syok septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular, yang masih berlangsung setelah diberikan cairan isotonik
bolus intravena > 40 ml/kgbb selama 1 jam.2

B. ETIOLOGI
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.3
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat
hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau
gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran
lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan
pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal
yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.3

4
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan
sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.3

C. EPIDEMIOLOGI
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.
Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat
dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab
yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari
tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000
penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat.4
Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika
Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari
semua kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah
sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien
rawat inap tersebut.4

5
D. PATOGENESIS
Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari
sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek
yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi
dari generalisasi respons imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat
infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti
inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.5
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan
sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar
organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau
organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta
jamur, virus, dan komponen parasit.5

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan


sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi
dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah

6
reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam
monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada
produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan
interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream
mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan
fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan
peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi
molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik
menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen
neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO),
vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan
mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang
mengarah ke syok septik. 5
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO
tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat
mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi
merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat
mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian.5
Efek NO lainnya adalah vasodilatasi vaskuler. Stimulasi endotel akan
memicu ekspresi molekul adhesi, seperti e-selectin, intracellular adhesion
molecules (ICAM) dan vascular adhesion molecules (VCAM). Molekul adhesi
penting untuk mengarahkan sel inflamasi ke lokasi infeksi. Stimulasi sistem
koagulasi meningkatkan ekspresi tissue factor (TF), menurunkan ekspresi
thrombomodulin dan meningkatkan ekspresi plasminogen activator inhibitor
(PAI) yang pada akhirnya akan mengakibatkan kondisi prokoagulasi dan
antifibrinolitik. Kondisi ini penting untuk proses remodeling setelah proses
inflamasi reda. Ketika sistem imun tidak efektif dalam membunuh dan
eliminasi antigen, proses inflamasi menjadi tidak terkendali dan terjadilah
kegagalan sirkulasi, trombosis multipel dan disfungsi organ multipel.5 Hal

7
ini menyebabkan bervariasinya gambaran klinis sepsis dari ringan sampai
berat dengan disertai syok dan disfungsi organ multipel.
Berbeda dengan syok septik pada dewasa yang disebabkan oleh paralisis
vasomotor, pada anak lebih sering dijumpai hipovolemia berat. Pemberian
cairan resusitasi secara agresif umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Pada
anak, kematian akibat sepsis lebih sering disebabkan oleh penurunan curah
jantung bukan penurunan resistensi vaskular sistemik seperti pada pasien
dewasa. Pada anak, upaya mempertahankan indeks jantung antara 3,3 sampai
6 L/menit/m2 berkorelasi dengan menurunnya mortalitas. Penelitian
Ceneviva dkk. menunjukkan bahwa pada syok septik anak yang resisten
terhadap cairan, 58% mengalami penurunan curah jantung dan peningkatan
resistensi vaskuler sistemik, sedangkan 22 % lainnya mengalami penurunan
curah jantung dan penurunan resistensi vaskuler sistemik. Syok persisten
dijumpai pada 33% kasus, sebagian besar dengan penurunan fungsi jantung.

E. KLASIFIKASI
Vasokonstriksi adalah suatu respon normal terhadap keadaan tekanan
arteri sangat rendah untuk memenuhi perfusi jaringan, seperti pada syok
hemoragik akut atau syok kardiogenik. Pada syok septik, seringkali hipotensi
yang timbul adalah akibat kegagalan dari otot-otot halus pembuluh darah
berkonstriksi.6
Syok septik merupakan kombinasi dari tiga tipe klasik syok yaitu:
hipovolemik, kardiogenik, dan distributif.4 Syok hipovolemik terjadi akibat
kehilangan cairan intravascular melalui kebocoran kapiler, syok kardiogenik
terjadi karena efek depresan miokardium akibat sepsis, dan syok distributif
diakibatkan oleh menurunnya tahanan vaskular sistemik. Syok septik adalah
bentuk dari syok distributif yang ditandai oleh vasodilatasi dari pembuluh
darah arteri dan vena.24 Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm
Shock dan cold shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang
meningkat, kulit yang hangat dan kering, serta bounding pulse dan cold shock

8
ditandai oleh curah jantung yang menurun, kulit lembab dan dingin, serta nadi
yang lemah.

F. TAHAPAN PERKEMBANGAN SEPSIS


Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses
gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan
rumah sakit.
2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai
mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-
paru atau hati.
3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah
turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital
tidak mendapatkan oksigen yang cukup.
Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke
syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan
kematian.

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS (ASSESSMENT)


Pengenalan dini syok septik sangat esensial untuk memperoleh outcome
yang baik. Syok septik merupakan suatu diagnosis klinis, yang ditandai oleh
adanya perfusi yang menurun. Stadium awal syok septik dapat dikenali
dengan ditemukan takikardi, bounding pulse, serta perubahan kesadaran.
Stadium lebih lanjut dapat ditemukan waktu pemanjangan pengisian kapiler,
dan akhirnya tanda lambat yang timbul adalah hipotensi. Syok septik harus di
diagnosis secara klinis sebelum timbulnya hipotensi, yaitu hipotermi, atau
hipertermi, perubahan status mental, vasodilatasi perifer (warm shock) atau
vasokontriksi dengan capillary refill > 3 detik (cold shock). Ambang batas
denyut jantung yang berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pada bayi
dengan keadaan critically ill adalah HR < 90 x/menit atau > 160x/menit. Syok

9
septik harus dicurigai pada bayi baru lahir yang mengalami takikardi,
respiratory distress, malas menetek, tonus buruk, sianosis, takipnea, diare,
atau penurunan perfusi, khususnya dengan adanya riwayat ibu dengan
korioamnionitis atau ketuban pecah lama.6
Pemeriksaan laboratorium lengkap harus dilakukan pada pasien syok
septik, meliputi pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan elektrolit, serta
mencari sumber infeksi dengan pemeriksaan rontgen toraks. Pemeriksaan
kultur dari darah dan urin juga dilakukan, pungsi lumbal untuk kultur cairan
serebrospinal (CSF), dan kultur yang secara klinis diperlukan atau sesuai
indikasi dapat membantu menegakan diagnosis. Petanda biologis sebagai
suatu respon terhadap infeksi yang meningkat salah satunya adalah C-
reactive protein (CRP) yang membutuhkan waktu 12-24 jam untuk mencapai
kadar dalam darah yang dapat di ukur.6

H. TATALAKSANA
Tujuan penanganan syok adalah untuk menjaga tekanan perfusi.
Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa penanganan syok early
goal-directed resuscitation dapat meningkatkan angka harapan hidup
penderita syok septik. Penggunaan ekspansi volume dan agen inotropik
diperlukan untuk mencapai perfusi renal dan jaringan yang adekuat. Pada
tahap awal digunakan penggunaan volume ekpansi cairan, berikutnya
digunakan agen inotropik. Dopamin dan dobutamin merupakan obat-obatan
inotropik yang digunakan untuk mengatasi syok pada neonatus. Penggunaan
kortikosteroid diberikan jika ekspansi volume dan agen inotropik tidak dapat
mengatasi syok. Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis masih
kontroversial. Suatu penelitian menunjukkan penggunaan dosis tunggal dapat
dilakukan pada hipotensi refrakter tanpa menyebabkan reaksi simpang pada
neonatus, tetapi berdasarkan tinjauan penelitian lain menyebutkan tidak
terdapat cukup bukti untuk mendukung pemberian rutin steroid pada
hipotensi neonatus.

10
Terapi antibiotik empiris diberikan setelah pengambilan spesimen
untuk kultur, yang dianjurkan adalah antibiotik broad spectrum, seperti
ampisilin intravena dan gentamisin. Vankomisin dapat diberikan
menggantikan ampisilin, jika diduga adanya infeksi stafilokokus (sering pada
neonatus yang berusia lebih dari 3 hari dengan monitoring invasif
menggunakan kateter atau chest tube). Beberapa institusi menganjurkan
penggunaan sefotaksim, terutama jika terdapat infeksi sistem saraf pusat,
penggunaan vankomisin menggantikan gentamisin untuk mencegah
nefrotoksisitas. Dipertimbangkan penggunaan ini terutama pada kuman gram
negative yang spesifik dan jika terdapat resistensi.
Pemberian intravena imunoglobulin (IVIG), penggunaannya masih
kontroversial. Pada beberapa tinjauan terkini ditemukan bahwa
penggunaannya dapat menurunkan mortalitas sepsis sebesar 3%.21 IVIG
diketahui dapat membatasi kerusakan jaringan yang dicetuskan oleh aktivasi
faktor komplemen dan merubah komplek imun inflammatory potential
oluble. Beberapa institusi memberikan dosis tunggal IVIG pada neonatus,
seperti Veronate (antistafilokokus IVIG spesifik), tetapi pemberiannya tidak
terbukti efektif sehingga hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut.
1. Terapi Antimikrobial Dini
Hubungan antara terapi antimikrobial yang tepat waktu dan sesuai
dengan perbaikan morbiditas dan mortalitas telah banyak dibuktikan
dalam keadaan rawat intensif. Penelitian observasional menunjukkan
adanya penurunan mortalitas signifikan pada saat antibiotika diberikan
dalam waktu 4 sampai 8 jam pertama (p<0,01). Rekomendasi Surviving
Sepsis Campaign terkini adalah untuk memberikan antibiotika dalam
waktu 1 jam setelah terjadi diagnosis sepsis. Strategi antibiotika spesifik
tidak akan dibahas dalam artikel ini dan ulasan mengenai strategi
antibiotika dapat ditemukan disumber lainnya. Meskipun demikian,
direkomendasikan untuk pemberian antibiotika spektrum luas pada
awalnya yang disesuaikan dengan sumber infeksi potensial dan menurut

11
pola sensitivitas dan resistensi lokal rumah sakit. Konsultasi bedah untuk
pengendalian sumber layak dilakukan apabila pasien mempunyai abses
yang tidak dapat didrainase atau sumber sepsis intraabdominal.
Pertimbangan juga harus diberikan pada kemungkinan organisme
resisten pada saat pasien tinggal di dalam rumah jompo atau para
pengguna obat-obatan intravena.
2. Optimalisasi Hemodinamik Dini
Strategi resusitasi untuk kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis
telah diteliti secara intensif dan menjalani perdebatan bertahun-tahun.
Penelitian melibatkan strategi yang ditujukan untuk mencapai target
fisiologik supranormal pada pasien ICU sampai 72 jam rawat inap,
menunjukkan hasil negatif dan bahkan berbahaya untuk pasien. Meta-
analisis untuk penelitian resusitasi sepsis telah mengindikasikan bahwa
intervensi dini, yang timbul sebelum terjadinya disfungsi organ
memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan pasien
gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk
membandingkan resusitasi hemodinamik sampai parameter fisiologik
dengan terapi dini berdasarkan target (EGDT-early goal directed
therapy) menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara
statistik (16,5%).
EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi
(gambar 10) yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara
sediaan dan kebutuhan oksigen pada kasus-kasus sepsis berat atau syok
sepsis pada 6 jam pertama rawat gawat darurat. Strategi ini mentargetkan
tercapainya hantaran oksigen adekuat dengan optimalisasi volume
intravaskular (preload) dengan pemantauan tekanan vena sentral (CVP –
central venous pressure), tekanan darah (afterload) dengan pemantauan
tekanan arterial rerata (mean arterial pressure – MAP), kontraktilitas
dengan pemantauan untuk menghindari takikardia dan pemulihan
keseimbangan antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen

12
(dipandu dengan pengukuran SCVO2) untuk mengatasi hipoksia
jaringan global. Komponen-komponen EGDT diturunkan dari
rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical Care Medicine untuk
dukungan hemodinamik pada sepsis.
3. Pemantauan Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan
vena sentral (CVP), tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan
tekanan intra-arterial direkomendasikan, terutama untuk pasien-pasien
dengan obat-obatan vasopresor, namun dengan catatan bahwa obat-
obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan arterial sentral terlihat
lebih rendah saat diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat diukur secara
intermiten dengan sampel gas vena yang diambil dari saluran distal
kateter vena sentral standar atau secara kontinyu dengan menggunakan
kateter vena sentral serat optik. Meskipun pada tangan ahli arteri
pulmonar tetap merupakan tempat pengukuran yang efektif, bukti
keuntungan kesintasan dari penggunaannya masih harus dibuktikan.
4. Terapi Volume
Target pertama EGDT pada kasus sepsis adalah pemulihan volume
intravaskular pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus
500 cc secara cepat dan berulang baik cairan kristaloid ataupun koloid
sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-40 cc/kgBB, sehingga
mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa saat yang lalu tidak ada
penelitian terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti
menunjukkan adanya keuntungan penggunaan koloid ataupun kristaloid
pada pasien kritis. Namun demikian, suatu studi acak terkontrol besar
yang membandingkan antara 4% albumin dengan normal salin pada 6997
pasien sakit kritis heterogen dan membutuhkan resusitasi volume
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam mortalitas antar
kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada pasien dengan sepsis
berat menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada

13
kelompok yang menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus
dipandang sebagai sarana pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan
konfirmasi dengan penelitian acak terkontrol pada pasien sepsis.
5. Obat-obatan Vasoaktif
Setelah target CVP dicapai, obat-obatan vasopresor diberikan bila
pasien tetap hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target
tekanan arterial rerata 65mmHg telah ditunjukkan secara fisiologis
ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-obatan vasopresor
termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-
20μg/menit), fenilefrin (40-300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04
unit/menit). Baik noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai
obat-obatan vasopresor lini pertama pada kasus-kasus sepsis. Oleh
karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh vasopresor β-agonis, obat-
obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti noradrenalin dan
penilefrin) dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau
penyakit koroner mendasar.
Pada saat hipotensi tetap terjadi pada pasien yang telah mendapatkan
obat-obatan vasopresor, kekurangan vasopresin dapat dipertimbangkan;
vasopresin sendiri merupakan hormon yang diproduksi endogen dan
sering mengalami kekurangan pada pasien dengan syok sepsis.
Pemberian vasopresin eksogen dalam dosis penggantian fisiologik (0,01-
0,04 unit/menit) dapat beraksi sinergistik dengan obat vasopresor lainnya
dan telah dikaitkan dengan penarikan dini obat-obatan katekolamin
lainnya. Dosis terapi saat ini dengan 0,01-0,04 unit/menit dimaksudkan
untuk merefleksikan dosis penggantian fisiologik. Dosis tinggi 0,06-1,8
unit/menit (sebagaimana digunakan terdahulu) tidak di rekomendasikan

14
pada konteks syok sepsis oleh karena adanya efek samping.

Epinefrin (1-10μg/menit) dapat dipertimbangkan untuk pasien-


pasien yang tidak berespons terhadap vasopresor lainnya. Obat ini
15
meningkatkan tekanan arterial rerata dengan meningkatkan keluaran
jantung dan volume pompa. Efek samping buruk yang dikaitkan dengan
obat-obatan vasopresor termasuk timbulnya hipoperfusi splanknik,
takikardia berlebih dan iskemia koroner. Bukti-bukti yang tersedia belum
secara pasti membuktikan satu obat vasopresor lebih superior
dibandingkan lainnya pada keadaan sepsis berat ataupun syok sepsis.
Beberapa bukti definitif mengenai peranan vasopresin dan efeknya pada
hasil akhir diharapkan pada studi Vasopressin and Septic Shock Trial
(VASST).
6. Pemberian Eritrosit
Apabila SCVO2 tetap dibawah 70% setelah optimalisasi preload,
afterload dan saturasi oksigen arterial, kapasitas pembawa oksigen pasien
dapat ditingkatkan dengan pemberian PRC untuk mencapai hematokrit
di atas 30%. Meskipun studi-studi terkini telah menunjukkan bahwa
batasan transfusi yang lebih konservatif mungkin dapat ditoleransi pada
kelompok pasien kritis yang heterogen dan stabil secara klinis, hasil ini
tidak dapat diekstrapolasi kepada pasien sepsis akut dengan
ketidakimbangan sediaan dan permintaan. Pada fase resusitasi akut target
hematokrit 30% nampaknya sesuai, dengan strategi transfusi yang lebih
restriktif dapat dilakukan pada fase konvalesens.
7. Terapi Inotropik
Sepsis dapat disertai dengan penekanan miokardial pada 10-15%
pasien, dan keadaan ini tidak terkait usia. Pada studi EGDT, pasien-
pasien ini secara persisten memiliki SCVO2 rendah setelah mencapai
target CVP, tekanan arterial rerata dan hematokrit. Beberapa pasien
datang dengan CVP meningkat sebagai hasil dari penurunan komplians
ventrikular dan bukan kelebihan volume. Dukungan inotropik dengan
dobutamin dapat memperbaiki depresi miokardial, namun dapat juga
memperlihatkan adanya hipovolemia terselubung oleh karena cara
kerjanya untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan resistensi

16
tekanan vaskular perifer. Seiring dengan respons komplians dan
kontraktilitas ventrikel, CVP akan turun seiring dengan perbaikan
volume pompa. Penggantian cairan lebih lanjut diperlukan untuk
mempertahankan tekanan CVP 8-12 mmHg. Dobutamin kemudian
dititrasi dengan peningkatan 2,5μg/kg/menit setiap 20-30 menit untuk
mencapai pengukuran SCVO2 70%. Klinisi harus berhati-hati untuk
menghindari takikardia (dengan mempertahankan laju jantung <100
kali/menit) untuk mengoptimalkan volume pompa dan meminimalisasi
konsumsi oksigen miokardial.
Milrinon, suatu penghambat fosfodiesterase, dapat dipertimbangkan
sebagai alternatif untuk meningkatkan keluaran jantung. Sebagaimana
dobutamin, obat ini adalah inotropik yang juga menurunkan tekanan
vaskular perifer. Meskipun demikian, waktu paruhnya (2,4 jam) lebih
panjang dibandingkan dobutamin dan mengalami akumulasi pada gagal
ginjal.
8. Menurunkan Konsumsi Oksigen
Pada pasien sepsis berat, hantaran oksigen maksimal mungkin tidak
dapat secara adekuat mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan
permintaan. Strategi untuk meminimalkan permintaan oksigen harus
dipertimbangkan. Intubasi, sedasi dan analgesia dengan ventilasi
mekanis akan menurunkan baik kerja pernapasan dan konsumsi oksigen
oleh otot-otot pernapasan. Pengendalian demam dengan antipiretik
seperti asetaminofen juga akan membantu menurunkan konsumsi
oksigen.
9. Strategi Tambahan
Beberapa terapi tambahan yang dapat dilakukan pada 24 jam
pertama setelah identifikasi sepsis berat dan syok sepsis, baru-baru ini
telah didemonstrasikan memberikan keuntungan mortalitas.
Implementasi awal terapi ini dapat memperbaiki kesintasan pasien, oleh

17
karena mereka dapat menunda beberapa jam bahkan sampai harian untuk
transfer ke ICU.
10. Terapi Steroid
Pada respons neurohumoral terhadap syok sepsis, banyak pasien
menunjukkan cadangan adrenal inadekuat, atau adanya insufisiensi
adrenal relatif (RAI-relative adrenal insufficiency). Mekanisme RAI
kompleks dan belum dipahami secara sempurna, namun nampaknya
disebabkan sebagian oleh kaskade inflamasi yang menyebabkan
pelepasan atau respons inadekuat terhadap adrenokortikotropin,
dikombinasikan dengan resistensi steroid perifer pada tingkatan reseptor.
RAI harus dipertimbangkan secara klinis berbeda dengan insufisiensi
adrenal absolut, oleh karena RAI biasanya hilang seiring dengan
perbaikan syok sepsis. Pasien dengan RAI olehkarenanya tidak
memerlukan terapi penggantian steroid setelah perbaikan syok.
Dibandingkan dengan plasebo, pemberian hidrokortison dosis
rendah pada pasien dengan syok sepsis menurunkan kebutuhan mereka
akan vasopresor dan menurunkan laju mortalitas. Pada suatu penelitian
acak terkontrol multicentre yang menunjukkan adanya keuntungan
mortalitas, kortikosteroid (hidrokortison 50 mg intravena setiap 6 jam
dan fludrokortison 50μg per oral sekali sehari) dimulai dalam 8 jam
setelah diagnosis syok sepsis dan dilanjutkan selama 7 hari. Terdapat
penurunan 10% dalam mortalitas 28 hari pada kelompok yang menerima
hidrokortison dan fludrokortison serta didiagnosis dengan RAI pada
randomisasi. RAI didiagnosis apabila peningkatan kortisol serum pasien
setelah menerima 250 μg adrenokortikotropin hanya 250 nmol/L (9
μg/dL) atau kurang. Meskipun demikian studi ini tidak dapat menentukan
apakah pemberian kortikosteroid aman dan efektif untuk kelompok
pasien yang tidak mempunyai RAI berdasarkan definisi yang ditentukan
oleh studi tersebut.

18
Oleh karena nilai batasan untuk keuntungan masih dipertanyakan,
keputusan dikembalikan kepada klinis yang merawat untuk memutuskan
apakah tes stimulasi adrenokortikotropin akan dilakukan untuk
membantu keputusan klinis. Oleh karena dexametason tidak
mempengaruhi hasil tes adrenokortikotropin, maka pemberian terapi
empirik dengan 2mg steroid ini dapat diberikan dan tes dilakukan pada
saat yang lebih memungkinkan.
11. Protein C Teraktivasi
Protein C merupakan antikoagulan endogen yang juga memiliki efek
profibrinolitik, anti-inflamatorik, anti-apoptosis dan dapat memperbaiki
aliran mikrosirkulasi. Studi PROWESS (the Recombinant Human
Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis), suatu
penelitian multicentre acak terkendali, menunjukkan bahwa pemberian r-
APC (juga dikenal sebagai drotecogin alfa activated atau Xigris)
menurunkan mortalitas sepsis berat atau syok sepsis sebesar 6%
dibandingkan dengan plasebo. Analisis subgrup juga menunjukkan
bahwa kesintasan dengan r-APC meningkat pada pasien dengan skor
APACHE II 25 atau lebih tinggi dan juga mempunyai disfungsi 2 organ
atau lebih. Pemberian r-APC juga dikaitkan dengan kecenderungan
risiko perdarahan (3,5% vs. 2,0%; p=0,06). Pada studi PROWESS, r-
APC dimulai dalam waktu 24 jam setelah kriteria sepsis berat dipenuhi.
12. Strategi Perlindungan Paru
Data-data eksperimental telah menunjukkan bahwa ventilasi
mekanis dengan volume tidal besar dapat menarik jaringan paru sampai
berlebihan (trauma volume), mengeksakserbasi respons inflamatorik
dan menyebabkan trauma paru akut. Suatu studi multicentre acak
terkendali yang melibatkan pasien dengan trauma paru akut dan sindrom
distres pernapasan dewasa (ARDS) mengevaluasi efek volume tidal
rendah (6 cc/kgBB) dibandingkan dengan strategi volume konservatif
(12 cc/KgBB) menunjukkan bahwa tekanan plateau dipertahankan <30

19
cmH2O dan adanya penurunan kematian 28 hari absolut sebesar 9,9%
pada pasien dengan volume tidal rendah. Oleh karena sepsis merupakan
penyebab ARDS tersering, maka penting untuk memberikan ventilasi
dengan volume tidal rendah pada saat kerusakan paru atau ARDS
terjadi.
13. Kendali Glikemik Ketat
Strategi terapetik lain yang telah ditemukan memberikan
keuntungan mortalitas pada pasien sakit kritis dan terutama pada pasien
kardiotorasik pasca bedah adalah kendali glikemik ketat. Pada saat
kendali glikemik konservatif (10,0-11,1 mmol/L) dibandingkan dengan
kendali ketat (4,4-6,1 mmol/L) pada suatu penelitian multicentre acak
terkendali, kendali ketat memberikan penurunan mortalitas signifikan
(8,0% vs 4,6%, p<0,04) dan perbaikan morbiditas 12 bulan. Hasil ini
termasuk penurunan kegagalan organ signifikan (p=0,04) dengan fokus
septik terbukti.

I. PROGNOSIS
Angka mortalitas syok septik sangat tergantung pada lokasi pertama kali
infeksi, patogenisitas organisme penyebab, timbulnya multiorgan disfunction
syndrome (MODS), serta respon imun dari pejamu. Pada neonatus, terutama
dengan berat badan lahir rendah, mempunyai risiko tinggi terhadap timbulnya
sepsis berat yang dapat memburuk menjadi syok septik.7

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Pardede, S.O., dkk. 2013. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat Pada
Anak. FKUI : Jakarta.
2. Fitria, C.N. 2010. Syok Dan Penanganannya. Jurnal GASTER, Vol.7 No.2
Agustus 2010.
3. Leksana, Ery. Dehidrasi dan Syok. Jurnal CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015
4. Ward NS, Casserly B, Ayala A. The compensatory anti-inflammatory response
syndrome (CARS) in critically ill patients. Clin Chest Med 2008;29:617-25, viii.
5. Enrionne MA, Powell KR. Sepsis, Septic Shock, and Systemic Inflammatory
Response Syndrome. Dalam: Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton
BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders Elsevier;2007.h.1094-99.
6. Widyanti, Ayu., dkk. Early Goal Directed Therapy. Jurnal Ilmiah Kedokteran
Medicina Vol.43 No.2 Mei tahun 2010.
7. Pusponegoro, T.S. Sepsis pada Anak. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 2, No. 2,
Agustus 2009: 96 -102
8. Wiradharma AG, Sidiartha L, Suparyatha IB. Characteristic of septic shock in
Pediatric Intensive Care Unit Sanglah Hospital; 2010.
9. Kanaparthi LK, Pinsky MR. Distributive shock [Internet]. 2013 [cited 2014 Aug
15]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/168689-overview.

21

Anda mungkin juga menyukai