Anda di halaman 1dari 37

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. T

TTL : Jakarta, 5 April 1942

Usia : 74 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Kristen

Ras : Tionghoa

Alamat : Kel. Duri Utara, Kec. Tambora

Tanggal Berobat : 3 September 2016

No. Med Rec : 009488**

ANAMNESIS

• Keluhan Utama

Pasien lemas 3 hari SMRS

• Keluhan tambahan

Linglung, luka di kaki kanan, tidak nafsu makan, mual, muntah

 Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSIJ karena lemas 3 hari SMRS. Sebelumnya pasien
mengeluh tidak nafsu makan 1 minggu dan kurang asupan makan, hanya mampu
makan 2-3 sendok perhari. Keluarga mengatakan pasien juga seperti orang linglung
hari ini, adanya keringat dingin dan tangan gemetar, setiap hari pasien rutin meminum
obat penyakit gula yaitu metformin, pasien juga sering mengeluh nyeri kepala,
disertai mual dan muntah kurang lebih 3 kali sehari berupa cairan seperti ludah yang
bercampur makanan, sesak tidak ada, riwayat jatuh tidak ada, nyeri perut tidak ada
pasien cenderung selalu ingin tidur, pasien mempunyai luka di kaki kanan sudah 3
bulan dan tidak kunjung sembuh, bernanah, berbau dan nyeri yang amat sangat, serta
bengkak, awalnya luka akibat tertusuk paku namun tidak diobati hanya dibersihkan
saja.

1
Pasien sebelumnya sering terlihat cemas, dan lemah. Pasien memiliki riwayat
penyakit gula sudah sekitar 20 tahun, jarang dikontrol ke dokter beli obat sendiri di
apotik mengikuti resep dokter yang sudah lama, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien baru pertama kali mengeluh keluhan seperti ini, penyakit jantung (-),
asma (-), hipertensi (-), riwayat asam urat (-), parkinson (-). DM 20 tahun, tidak
terkontrol.
 Penyakit Keluarga :
Pasien menyangkal adanya keluhan yang sama pada keluarga,
riwayat DM disangkal, riwayat hipertensi disangkal,
riwayat asma disangkal, riwayat keganasan disangkal.
 Riwayat Alergi:
Alergi obat dan alergi makanan disangkal.
 Riwayat Psikososial :
Pasien selalu ada di rumah, aktifitas minimal karena nyeri pada kaki kanan,
pasien akhir-akhir ini makannya sedikit, hanya masuk sayuran, merokok (-), minum
alkohol (-).

PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Somnolen
• Tanda Vital
• Tekanan darah : 120/80 mmHg
• Nadi : 88x/menit, reguler, isi cukup
• Pernapasan : 24x/menit, reguler
• Suhu : 36,5˚ C
• BB sebelum sakit : 48 kg
• BB sekarang : 42 kg
• TB : 156 cm
• Status Gizi : Underwight (IMT 17,25)

STATUS GENERALIS

• Kepala : Normochepal
- Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
- Mata : Refleks pupil (+/+), isokor, sklera ikterik (-/-), konjungtiva
anemis (-/-)
- Hidung : Deviasi septum (-), Sekret (-/-), epistaksis (-/-)
- Telinga : Normotia, Sekret (-/-), otorea (-/-)
- Mulut : Mukosa bibir sedikik kering, sianosis (-), coated tongue (-)
- Leher : Tidak terlihat pembesaran KGB, tidak terlihat pembesaran
kelenjar tiroid
- Thorax :
o Inspeksi :

2
 Pergerakan dinding dada simetris
 Retraksi dinding dada (-/-)
o Palpasi :
 Nyeri tekan (-/-) , tidak teraba massa
 Vokal fremitus dextra-sinistra sama
o Perkusi :
 Sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi :
 Vesikuler ( +/+ ), Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

- Jantung :
o Inspeksi :
 Iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi :
 Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midklavikula sinistra
o Perkusi :
 Batas jantung kiri ICS V midclavikula sinistra
 Batas jantung kanan ICS IV mid sternalis dextra

o Auskultasi :
 BJ I dan BJ II murni, Murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
o Inspeksi :
 Perut datar
o Auskultasi :
 Bising Usus (+) 8x/menit
o Palpasi :
 Nyeri tekan epigastrium (-)
 Nyeri perut kanan bawah (-)
 Hepatomegali (-)
 Splenomegali (-)
 Ballotement : - / -
 Undulasi :-
o Perkusi :
 Tympani pada 4 kuadran abdomen
- Ekstremitas atas:
akral : Hangat
CRT <2 detik : (+) / (+)
Edema : (-) / (-)
- Ekstremitas bawah:
akral : Hangat
CRT <2detik : (+) / (+)
Edema : (-) / (-)
Ulkus diabetikum plantar pedis sinistra, edema (+), pus (+), nyeri tekan (+)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

3
Tanggal Jenis Hasil Satuan Nilai normal
pemeriksaan
3 September 2016 jam 18.00
GDS 68 mg/dL 70- 200

Hematologi rutin Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin L 9,4 g/dL 11,7-15,5


Leukosit H 28,36 10^3/uL 3,60-11,00
Hematokrit L 24 % 35-47
Jumlah Trombosit 398 10^3/uL 150-440
Eritrosit L 3,71 10^6/uL 3,80-5,20
MCV/VER L 74 fL 80-100
MCH/HER L 25 Pg 26-34
MCHC/KHER 34 g/dL 32-36

Kimia Klinik
Faal Ginjal
Ureum darah H 64 mg/dL 10-50
Kreatinin darah 1,1 mg/dL < 1,4

Elekrolit
Natrium (Na) darah L 128 mEq/L 135-147
Kalium (K) darah 3,9 mEq/L 3,5-5,0
Klorida (Cl) darah L 93 mEq/L 94-111

RESUME
Perempuan 74 tahun, lemas 3 hari SMRS. Sebelumnya pasien mengeluh tidak nafsu
makan 1 minggu dan kurang asupan makan, hanya mampu makan 2-3 sendok perhari. pasien

4
seperti orang linglung, keringat dingin dan tangan gemetar, pasien rutin meminum obat
penyakit gula yaitu metformin, pasien sering mengeluh nyeri kepala, mual dan muntah
kurang lebih 3 kali sehari berupa cairan seperti ludah yang bercampur makanan, pasien
cenderung selalu ingin tidur, pasien mempunyai luka di kaki kanan sudah 3 bulan dan tidak
kunjung sembuh, bernanah, berbau dan nyeri yang amat sangat, serta bengkak, awalnya luka
akibat tertusuk paku namun tidak diobati hanya dibersihkan saja.
Penyakit gula sudah sekitar 20 tahun, jarang dikontrol ke dokter.
Pemeriksaan fisik: somnolen, Tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 88x/menit, reguler, isi
cukup, Pernapasan 24x/menit, regular, Suhu 36,5˚ C. ulkus diabetic foot dekstra.
Lab : Hb: 9,4 g/dL. leu : 28,36 10^3/uL. Ht: 27%, MCV : 3,71fL, MCH: 74 pg,
MCHC: 25 g/dL, GDS : 68 mg/dL.

DAFTAR MASALAH
Hipoglikemia
vomitus
Diabetic foot
leukositosis

ASSESMENT
Hipoglikemia
S : lemas 3 hari, makan sedikit, sebelumnya minum metformin rutin, linglung,
keringat dingin, gemetar, selalu ingin tidur, riwayat DM 20 tahun
O : nadi : 88 x/mnt, GDS : 68 mg/dL
A : hipoglikemia
P : observasi TTV, cek GDS per 6 jam
Rencana terapi :
terapi medikamentosa:
1. IVFD D10/6 jam
2. D40 1 flakon inj
3. obat DM dihentikan

Vomitus
S : Mual dan muntah 3 kali
O : tidak ada yang bermakna
A : vomitus
P : Rencana Terapi :
Ranitidine i.v. 2x1 ampul
Ondancentrone i.v. 2x1 ampul

Follow Up

Tanggal 4 September 2016 (hari rawat ke 2)

5
S : keluhan lemas berkurang, bisa makan sambil duduk, linglung (-), mual muntah (-)
nyeri pada kaki (+)

O : TD : 120 / 80 mmHg

N : 84x/menit, reguler, isi cukup

RR : 18x/menit, reguler

S : 37,1˚C
A : Diabetic foot, Hiperglikemia (DM)

P : debridement oleh dokter bedah

IVFD asering /8 jam

Ceftriakson 2 x 2 gram

Ketorolac 3 x 1 amp

Ranitidine 2 x 1 amp

Tanggal Jenis hasil satuan Nilai rujukan


pemeriksaan pemeriksaan

4 September Kimia klinik


2016
Diabetes

Jam 05.00 GDS 296 Mg/dL 70-200

Jam 11.00 340

Jam 17.00 379

Jam 23.00 312

6
TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPOGLIKEMI

1. Definisi

7
Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan dimana kadar glukosa plasma dibawah
60 mg/dl disertai gejala klinis pada penderita.

Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala hipoglikemia pada
kadar gula yang lebih tinggi dibndingkan dengan orang normal, sedangkan pada pasien
diabetes dengan pengendalian gula darah yang ketat 9sering mengalami hipoglikemia) dapat
mentoleransi kadar gula darah yang rendah tanpa mengalammi gejala hipoglikemia.

Pendekatan diagnosis kejasian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan


Whipple’s Trial yang meliputi : keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia, kadar
glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar gula darah.

2. Klasifikasi

Hipoglikemia akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, berat menurut gejala klinis yang
dialami oleh pasien.

RINGAN SIMTOMATIK, DAPAT DIATASI SENDIRI, TIDAK ADA GANGGUAN


AKTIVITAS SEHARI-HARI YANG NYATA (LAPAR, MUAL, TREMOR,
TAKIKARDI, PALPITASI, GELISAH)

Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari


yang nyata (vertigo, gangguan konsentrasi, perubahan emosi, double vision)
Berat Sering tidak simtomatik, pasien dapat mengatasi sendiri karena adanya
gangguan kognitif

1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan terapi parenteral

2. Membutuhkan terapi parenteral (glucagon intramuscular atau intravena)

3. Disertai kejang atau koma

Menurut American Diabetes Association Workgroup on Hypoglicemia 2005

Severe Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan orang lain


hypoglikemia

Documented Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dL disertai gejala klinis hipoglikemia
symptomatic

8
hypoglycemia

Asymtomatic Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dL tanpa disertai gejala klinis
hypoglycemia hipoglikemia

Probable Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai pengukuran kadar gula darah
symptomatic plasma
hypoglycemia

Relative Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran kadar gula darah plasma ≥
hypoglycemia 70 mg/dL dan terjadi penurunan gula darah

3. Gejala dan Tanda Hipoglikemia

Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi sistem saraf
otonom dan neuroglikopenia.

Pada pasien dengan usia lanjut dan yang mengalami hipoglikemia berulang, respon
sistem saraf otonom dapat berkurang sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak
menyadari kalau kadar gula darahnya rendah (hypoglikemia unawareness). Kejadian ini dapat
memperberat akibat dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi
glukosa untuk meningkatkan kadar gula darahnya.

Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia

9
4. Mekanisme Kontra Regulasi Kadar Gula Darah

Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang bertujuan
meningkatkan kadar gula darah

Respon fisiologis yang bertujuan meningkatkan kadar gula darah

Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan sekresi


insulin oleh sel beta pancreas. Pasien diabetes mellitus tipe 1 yang menerima terapi substitusi
insulin tidak memiliki penurunan sekresi insulin fisiologis (sekresi insulin berkurang saat
kadar gula darah rendah) karena insulin yang beredar dalam tubuh merupakan insulin
pengganti yang berasal dari luar (eksogen).

Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah peningkatan sekresi


glucagon. Sekresi glucagon meningkatkan produksi glukosa dihepar dengan glikogenolisis.

10
Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap hhipoglikemia adalah peningkatan sekresi
epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini terjadi apabila sekresi glucagon tidak cukup untuk
meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epnefrin adrenomedullar meningkatkan kadar gula
darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk memproduksi glukosa, membatasi
penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitive terhadap insulin, perpindahan substrat
glukoneogenik (laktat dan asama amino dari otot, dan gliserol dari jarinngan lemak).

Sekresi insulin dan glucagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam
pulau Langerhans di pancreas. Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas simpatoadrenal)
dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf pusat.

Bila pertahanan fisiologi ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar glukosa
plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih hebat yang
menyebabkan gejala neurogenic sehingga penderita hipoglikemia menyadari keadaan
hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi karbohidrat. Seluruh
mekanisme pertahanan ini berkurang pada pasien dengan diabetestipe 1 dan pada advanced
diabetes mellitus tipe 2.

5. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hipoglikemia

• Usia
Menurut Lefebvre, gejala (symptom) hipoglikemia muncul lebih berat dan terjadi pada
kadar gula darah yang lebih tinggi pada orang tua dibanding dengan usia yang lebih muda.
Sedangkan menurut Studenski dalam buku ajar Harrison’s Princle of Internal
Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa hipoglikemia pada penderita diabetes usia lanjut
lebih sulit diidentifikas karena simptom autonomik dan neurogenik terjadi pada kadar gula
darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita diabetes pada usia yang lebih
muda. sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera neurologisnya sama saja antara pasien
diabetes muda dan usia lanjut. Simptom autonom hipoglikemia sering tertutupi oleh
penggunaan beta-blocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes usia lanjut yang sehat dan
memiliki fungsi yang baik.

• Kelebihan (ekses) insulin


Dosis insulin atau obat penurun gula darah yang terlalu tinggi.

Konsumsi glukosa yang berkurang.

11
Produksi glukosa endogen berkurang, misal setelah konsumsi alkohol.
Peningkatan penggunaan glukosa oleh tubuh, misal setelah berolahraga.
Peningkatan sensitivitas terhadap insulin.
Penurunan ekskresi insulin, misal pada gagal ginjal.
• Ekses insulin disertai mekanisme kontra regulasi glukosa yang terganggu
Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses) insulin dan terganggunya
mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian ekses insulin saja belum tentu menyebabkan
terjadinya hipoglikemia.
Faktor risiko yang relevan dengan terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa pada
penderita diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut antara lain :
Defisiensi insulin pankreas
Menandakan bahwa insulin yang ada merupakan insulin eksogen, sehingga apabila gula
darah turun di bawah batas normal, tidak terjadi penurunan sekresi insulin.
Riwayat hipoglikemia berat, ketidaksadaran hipoglikemia (hypoglycemia unawareness), atau
keduanya.
Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai dengan kadar HbA1c yang rendah,
target kadar gula darah yang rendah, atau keduanya.

• Frekuensi Hipoglikemia
Pasien yang sering mengalami hipoglikemia akan mentoleransi kadar gula darah yang rendah
dan mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih rendah daripada orang
normal.
• Obat hipoglikemik oral yang berisiko menyebabkan hipoglikemia
Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan sekresi insulin
pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat – obat tersebut antara lain
dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1, golongan glinide, golongan
sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride
Sulfonylurea
Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin dari sel beta pankreas dengan cara
berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel beta pankreas yang menyebabkan inhibisi
efluks ion kalium dan menyebabkan depolarisasi dan pelepasan insulin.
• Pemakaian sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2 dapat menurunkan
kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia.

12
Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena stimulasi pelepasan insulin dan
somatostatin menghambat sekresi sel alfa pankreas.
Obat golongan sulfonylurea yang saat ini cukup banyak digunakan merupakan
sulfonylurea generasi ke-2 yaitu glibenclamide dan glimepiride.
• Glibenclamide (glyburide) dimetabolisme di hepar menjadi produk dengan aktivitas
hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal pemberian Glibenclamide yaitu 2,5 mg
per hari dan dapat ditingkatkan hinga mencapai 5-10 mg dosis tunggal per hari dan
diberikan pada pagi hari. Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari tidak
direkomendasikan.
Glibenclamide berisiko menyebabkan hipoglikemia. Efek samping glibenclamide
yang lain adalah dapat menyebabkan flushing apabila berinteraksi dengan alkohol.
Insufisiensi ginjal dan hepar merupakan kontraindikasi penggunaan glibenclamide.
• Glimepiride digunakan dengan dosis sekali sehari, sebagai terapi tunggal ataupun
sebagai kombinasi dengan terapi insulin. Glimepiride mencapai pengendalian gula
darah pada dosis yang paling rendah bila dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain.
Dosis tunggal 1 mg tiap hari dapat menunjukkan kerja yang efektif dan dapat
digunakan dosis hingga 8 mg per hari. Glimepiride memiliki waktu paruh selama 5
jam sehingga dapat diberikan dalam dosis tunggal sekali sehari. Glimepiride
dimetabolisme di hepar menjadi bentuk yag inaktif.
• Meglitinide
Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin sel beta pankreas dengan
mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide memiliki tempat perlekatan (binding
sites) yang sama dengan yang dimiliki oleh golongan sulfonylurea.
Obat yang termasuk dalam golongan meglitinide yaitu repaglinide.
Repaglinide memiliki onset kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek
puncak kurang dari satu jam setelah obat ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide
selama 5–8 jam. Repaglinide dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4 dengan
waktu paruh plasma selama 1 jam. Sifat kerja yang cepat ini membuat Repaglinide
diindikasikan untuk mengatasi peningkatan glukosa setelah makan (post-prandial).
Repaglinide diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25–4 mg (maksimum 16
mg per hari)
Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia bila pasien tidak segera makan
setelah mengkonsumsi obat, atau makan dengan jumlah karbohidrat yang tidak
adekuat.

13
Repaglinide perlu mendapat perhatian khusus pada pasien dengan gangguan
hepar dan ginjal. Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal ataupun
dikombinasikan dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat diberikan pada
pasien diabetes yang alergi dengan sulfonylurea karena repaglinide tidak mengandung
unsur sulfur.

• Terapi Salisilat
Salisilat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sekresi insulin yang
distimulasi glukosa (glucose-stimulated insulin secretion) pada orang normal dan
pasien diabetes. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin pada berbagai jaringan,
termasuk jaringan pankreas. Penurunan produksi prostaglandin di pankreas
berhubungan dengan peningkatan sekresi insulin, dibuktikan dalam penelitian
sebelumnya bahwa pada orang normal, infus prostaglandin E2 dan analog E2
termetilasi menghambat respon insulin akut setelah asupan glukosa.
Pemberian aspirin dalam dosis 1,8g – 4,5g per hari dapat menurunkan
kebutuhan suntikan insulin pada pasien diabetes dan pemberian 6g aspirin per hari
selama 10 hari menurunkan rata-rata gula darah puasa dari 371mg/dl menjadi
128mg/dl.

• Terapi Insulin

Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar gula darah turun
melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar insulin dan pelepasan
glukagon, dan juga refleks simpatoadrenal.
Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien
hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat memperbaiki status metabolik
dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang bermanfaat, antara
lain perbaikan inflamasi.
Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1
(DMT1). Namun demikian, pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien
DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1.

Pasien DMT2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat
antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi
dengan obat oral atau insulin tunggal.

14
Berdasarkan onset kerjanya, terapi insulin diklasifikasikan sebagai berikut:
Rapid acting insulin (insulin kerja sangat cepat)
Insulin kerja sangat cepat memiliki onset kerja dan puncak kerja yang
memungkinkan terapi insulin yang menyerupai fisiologi sekresi insulin post-prandial.
Insulin kerja sangat cepat dapat digunakan sesaat sebelum pasien makan.
Durasi kerja insulin kerja sangat cepat tidak lebih dari 4 – 5 jam, dengan demikian
memiliki risiko hipoglikemia pasca makan (late postmeal hypoglycemia) yang lebih
kecil.
Yang termasuk insulin kerja sangat cepat antara lain lain insulin lispro, insulin
aspart, dan insulin glulisine.
Short acting insulin (insulin kerja singkat)
Insulin reguler adalah insulin kerja singkat yang larut dalam bentuk kristal
zinc. Efek kerja insulin kerja singkat muncul dalam 30 menit, mencapai puncak kerja
dalam 2-3 jam setelah injeksi subkutan, dan memiliki durasi kerja 5-8 jam.
Dalam konsentrasi yang tinggi, molekul insulin ini mengalamai aggregasi di sekitar
ion zinc sehingga membentuk molekul heksamer. Bentuk heksamer inilah yang
menyebabkan insulin reguler membutuhkan waktu untuk dapat bekerja aktif.
Setelah injeksi subkutan. molekul hexamer insulin akan mengalami
pengenceran (dilusi) oleh cairan interstitial jaringan dan terpecah menjadi molekul
dimer dan monomer. Insulin kerja singkat baru dapat bekerja optimal dalam bentuk
monomer tersebut. Apabila insulin disuntikan pada saat pasien makan, maka akan terjadi
kenaikan kadar gula darah setelah makan (early post-prandial hyperglycemia) karena
insulin belum bekerja, dan berisiko menimbulkan hipoglikemia pasca makan (late post-
prandial hypoglycemia) karena kerja insulin yang terlambat. Insulin kerja singkat harus
disuntikkan 30 – 45 menit sebelum makan untuk mencapai penurunan kadar gula yang
tepat.
Insulin kerja singkat bermanfaat dalam terapi intravena pada pasien ketoasidosis
diabetes dan pada pembedahan ataupun infeksi akut.

Intermediate acting insulin (insulin kerja sedang)


Neutral Protamine Hagedorn insulin (NPH) insulin kerja sedang yang
absorbsi dan kerjanya dihambat dengan cara mengkombinasikan insulin dengan
protamine dalam jumlah yang tepat.

15
Setelah penyuntikan subkutan, enzim proteolitik jaringan menguraikan
protamin sehingga insulin dapat diabsorbsi dan diedarkan ke seluruh tubuh. NPH
memiliki onset kerja 2 – 5 jam dan masa kerja 4 – 12 jam. NPH biasanya dicampur
dengan rapid acting insulin (lispro, aspart, atau glulisin) dan diberikan 2-4 kali sehari
sebagai pengganti insulin endogen (replacement therapy).
Dosis NPH mempengaruhi profil kerja, misal dosis kecil memiliki puncak
kerja yang lebih rendah dan lebih cepat dan masa kerja yang singkat, dan terjadi
sebaliknya pada penambahan dosis yang lebih besar.
Kerja NPH sangat sulit diprediksi dan memliki variabilitas absorbsi yang
tinggi.

Long acting insulin (insulin kerja panjang)


Insulin glargine adalah insulin kerja panjang yang tidak memliki puncak masa
kerja (peakless). Insulin glargine didesain untuk mencapai terpi insulin yang nyaman
dan stabil. Molekul Insulin glargine larut dalam suasana yang asam (pH pelarut = 4,0)
dan mengalami presipitasi sesaat setelah disuntikkan secara subkutan karena pH tubuh
yang netral. Monomer insulin secara perlahan-lahan dilepaskan dari kumpulan
presipitat insulin pada jaringan sekitar lokasi penyuntikan sehingga menghasilkan
profil insulin plasma yang rendah, stabil, dan kontinyu.
Insulin glargine memiliki onset kerja yang lambat (1 – 1,5 jam) dan mencapai
kerja maksimum dalam 4-6 jam. Kerja maksimum ini bertahan selama 11 – 24 jam.
Glargine diberikan dalam suntikan sekali sehari, atau dapat dibagi dalam 2
dosis untuk pasien dengan resistensi insulin ataupun hipersensitivitas terhadap insulin.
Glargine tidak dapat dicampur dengan insulin jenis lain karena dapat
menurunkan efikasinya karena glargine harus dilarutkan dalam suasana asam.
Pencampuran dengan insulin lain dalam spuit yang sama juga harus dihindari dan
harus disuntikkan dengan spuit yang berbeda.
Pola absorbsi insulin glargine tidak terikat dengan letak penyuntikan.
Insulin detemir adalah insulin kerja panjang yang dikembangkan paling baru
dan memiliki efek hipoglikemik yang lebih rendah daripada NPH insulin. Insulin
detemir memiliki onset kerja yang bergantung pada dosis (dose dependent) selama 1 –
2 jam dan durasi kerja 24 jam. Insulin detemir diberikan dua kali sehari untuk
mencapai kadar insulin yang tepat.

16
• Aktivitas Fisik / Olahraga
Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan penanganan diabetes.
Olahraga dapat memicu penurunan berat badan, meningkatkan sensitivitas insulin pada
jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian glukosa, dan kesehatan sistem
kardiovaskuler.
Namun pada penderita diabetes dengan pengendalian gula darah yang intensif,
olahraga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia bila tanpa disertai penyesuaian
dosis terapi insulin, dan atau suplementasi karbohidrat. Hipoglikemia dapat terjadi saat
berolah raga, sesaat setelah berolahraga, ataupun beberapa jam setelah berolahraga. Beberapa
studi terakhir menemukan bahwa hipoglikemia setelah olah raga dipengaruhi oleh kegagalan
sistem otonom pada penderita diabetes.
Pada saat olah raga terjadi penurunan insulin secara fisiologis, sedangkan pada
penderita diabetes yang tergantung pada terapi insulin eksogen, penurunan insulin fisiologis
ini tidak terjadi karena insulin yang beredar di dalam tubuh adalah insulin eksogen dan tidak
dapat dikendalikan oleh pankreas.
Berbeda dengan penurunan sekresi insulin yang tidak terjadi pada penderita diabetes,
pada saat berolah raga sekresi glukagon dari sel – sel alfa pankreas tetap terjadi pada
penderita diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Hilangnya penurunan kadar insulin juga
menghambat proses glikogenolisis dan glukoneogenesis karena kadar insulin yang relatif
tinggi beredar dalam darah.
Pada penderita diabetes juga terjadi kegagalan sekresi epinefrin. Secara fisiologis,
epinefrin berfungsi meningkatkan glikogenolisis dan menghambat pemakaian glukosa pada
saat olahraga.
• Keterlambatan asupan glukosa
Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia karena terlambat
makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis obat – obatan antidiabetes, dapat
terjadi hipoglikemia karena berkurangnya asupan glukosa dari saluran cerna.
• Gangguan Ginjal
Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan
glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan kalori. Pada
gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan kebutuhan insulin karena perubahan pada
metabolisme dan ekskresi insulin (insulin clearance).

17
Insulin eksogen secara normal dimetabolisme oleh ginjal. Pada gangguan fungsi
ginjal, waktu paruh insulin memanjang karena proses degradasi insulin berlangsung lebih
lambat.
6. Terapi
Stadium permulaan (sadar)

- Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gule diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
- Hentikan obat hipoglikemik sementara
- Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
- Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
- Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) :

1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer :
- Bila GDs <50 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40% :
- Bila GDs <50 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
- Bila GDs 100 – 200 mg/dL maka tanpa bolus Dekstrosa 40%
- Bila GDs > 200 mg/dL maka pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa
10%
5. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
6. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%

7. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut turut, sliding scale setiap 6 jam :
GD RI
(mg/dl) (unit, subkutan)
<200 0
200-500 5
250-300 10
300-350 15

18
>350 20

8. bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti


adrenalin,kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya
insulin)

9. bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg setiap 6 jam dan
dimonitor 1,5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab penurunan kesadaran
menurun.

B. DIABETES MELITUS

1. Definisi
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa
Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing
gula adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa
hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yg disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin penurunan
sensitivitas jaringan tehadap insulin.

19
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (ADA. 2010).
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum
dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan
akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.
Klasifikasi DM ( Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)

2. Epidemiologi
Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus
diabetes di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita
DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini cenderung tinggi pada
negara maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup.
Dampak ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan.
Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan
penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan
karena faktor obesitas dan kehamilan.

Menurut WHO prevalensi DM diperkirakan akan meningkat dari 8,4 juta tahun 2000
menjadi 21,2 juta lebih pada tahun 2030.

3. Patofisiologi

a. DM Tipe I

20
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin
karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan
hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial.

Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria
(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).

Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga


terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan
(polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya
berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu
keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis.

b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang
dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat
masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang
dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta
tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah
DM tipe II.

4. Manifestasi Klinik
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler,
aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya
akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).

b. Polidipsia

21
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari
dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan
seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).

c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin
maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka
reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).

d. Penurunan berat badan


Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan
dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut,
sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara
otomatis.

5. Diagnostik
Langkah-Langkah Diagnostik DM (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia 2011)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler.
Diagnosis Diabetes Mellitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

22
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang
lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan
ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan
beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.
a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).

23
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
b. berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
c. diperiksa kadar glukosa darah puasa
d. diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
e. berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
f. diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
g. selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi,
sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres

24
berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah
dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
Pilar Penatalaksanaan DM :
a. Edukasi
b. Terapi Gizi medis
c. Latihan Jasmani
d. Intervensi Farmakologi

Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Terapi Gizi Medis


Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
a. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
b. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain
e. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

25
f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
b. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
c. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
e. Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu,
tempe.
c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg
BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi.

Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g
(1 sendok teh) garam dapur.
b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang
baik untuk kesehatan.
b. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis alternatif

26
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi.
Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara
lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
b. Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
c. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
d. Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, neotame.
e. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake / ADI )

Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan
berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh.


Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT (WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:
RedefiningObesity and its Treatment):
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9

27
Obes II >30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
a. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
b. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade
antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%,
di atas 70 tahun.
c. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,
20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50%
dengan aktivitas sangat berat.
d. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat kegemukan
Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan
BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang
diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.

Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus
tetap dilakukan
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan

28
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.

Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani.

1. Obat hipoglikemik oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
a. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
c. penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

A. Pemicu Sekresi Insulin


1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri

29
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-
IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari 1:


a. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
b. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
c. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
d. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
e. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
f. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama

30
g. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

No. Golongan Mekanisme kerja Dosis dan sediaan ES-KI

1. Sulfonil urea-Insulin secretagous :S:2,5-5mg/tab ES:hipoglikemi


Glibenclamid ATP-sensitive K
DH:2,5-15mg KI:pasien hepar& ginjal
channel
LK:12-24jam

F:1-2x/hari a.c

2. Meglitinid- Insulin secretagous S:1mg/tab ES: ggn GI


Repaglinid
DH:1,5-6mg KI:pasien hepar& ginjal

LK:-

F:3x/hari a.c

3. Biguanid- ↓ Prod glukosa heparS:500-850mg ES: gjala GI


Metformin dan ↑ sens. Jar otot&
DH:250-3000 KI: pasien dgn gangg
adiposa thdp insulin
hepar, ginjal
LK:6-8jam

F:1-3x/hari
p.c/bersama mkn

No. Golongan Mekanisme kerja Dosis dan sediaan ES-KI

4. Tiazolidinedion -Mengaktifkan PPAR-S:15-30mg/tab ES: ↑BB, edema


pioglitazone g, terbentuk GLUT
DH:15-45mg KI:ggal jtg 3-4
baru
LK:24 jam

F:1x sehari

5. Penghambat α-Mengurangi absorbsiS:50-100mg ES: kembung, flatulens


glikosidase glukosa di usus halus
DH:100-300mg
(acarbose)

31
LK:-

F:3x bersama suapan


I

(Farmakologi FKUI.2009)

2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Efek samping terapi insulin


a. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
b. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.
c. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Tipe - Jenis Insulin

Insulin dapat dibedakan atas dasar:

1. Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek insulin sejak
disuntikan.
2. Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3. Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin sampai hilangnya
efek insulin.

32
Cara pemberian insulin

Insulin kerja singkat :

 IV, IM, SC
 Infus ( Glukosa / elektrolit )

 Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )

Insulin kerja menengah / panjang :

 Jangan IV karena bahaya emboli.

Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan
tepat karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa
setiap 6 jam sekali.

Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :

Gula darah

< 60 mg % = 0 unit

< 200 mg % = 5 – 8 unit

200 – 250 mg% = 10 – 12 unit

250 - 300 mg% = 15 – 16 unit

300 – 350 mg% = 20 unit

> 350 mg% = 20 – 24 unit

Dosis :

a. Pasien DM muda 0,75-1,5 U/kgbb kerja sedang 2x/hr

b. DM dewasa kurus 8-10 U kerja sedang 20-30 m sblm mkan pagidan 4-5 U sblm makan
malam

33
c. DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sblm makan malam6

Efek samping penggunaan insulin

 Hipoglikemia
 Lipoatrofi

 Lipohipertrofi

 Alergi sistemik atau lokal

 Resistensi insulin

 Edema insulin

 Sepsis

Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik
yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah

34
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa
darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180
mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia
lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia
dan interaksi obat. 3
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)

Penyulit Diabetes Melitus


Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
a. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL
b. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemiapaling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu
kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada
pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,
gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan
makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien
dengan hipoglikemia berat

35
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan
penyebab menurunnya kesadaran.

Penyulit Kronik
1. Makroangiopati :
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi
- Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
- Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB)
juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati
- Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien
perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan
sedikitnya setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal,
perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk
mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik atau
gabapentin. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

Pencegahan Diabetes Melitus


Beberapa cara pencegahan penyakit DM, yaitu:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko
tinggi. Mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita
penyakit ini, yaitu mereka yang tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45
tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmHg), riwayat

36
keluarga DM, dll. Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah upaya
untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini berupa upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
dengan tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Tindakan ini
bearti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut.
Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran yang penting
untuk meningkatkan kepatuhan berobat.
3. Pencegahan Tersier
Kalau penyulit menahun DM ternyata terjadi juga maka pengelola harus
berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien
sedini mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap. Contohnya aspirin dosis
rendah (80--325 mg) dapat dianjurkan diberikan secara rutin bagi pasien DM
yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pelayanan kesehatan yang
holistik dan terintegrasi antar disiplin ilmu terkait sangat diperlukan.

37

Anda mungkin juga menyukai