PENDAHULUAN
A. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat
lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau
bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, 2 yang
disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan
dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut
sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran,
gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif),
gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis).
Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang
epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenalkan bermacam jenis epilepsi.
B. Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi
kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
C. Klasifikasi Epilepsi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989.
International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
Dengan gejala motorik
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para
klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu:
Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas
pada kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah
:
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal
spike)
Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
b. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi Absans pada anak
Epilepsi Absans pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Simptomatik
Sindroma West (spasmus infantil)
Sindroma Lennox Gastaut
D. Gejala Klinik
1. Gejala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada
setiap pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama.
2. Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial.
3. Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
4. Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran
yang singkat.
5. Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi
kehilangan kesadaran.
E. Faktor Penybebab
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan
penyebabnya
2. Epilepsi sekunder yaitu yang penyebabnya diketahui.
Pada Epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf
pada area jaringan otak yang abnormal. Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala
yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan
otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya
jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak.
F. Penegakan diagnosis
1. EEG (electroencephalogram) sangat berguna dalam diagnosis berbagai
macam jenis epilepsi.
2. EEG mungkin normal pada beberapa pasien yang secara klinis masih
terdiagnosis epilepsi.
3. MRI (magnetic resonance imaging) sangat bermanfaat (khususnya dalam
menggambarkan lobus temporal), tetapi CTscan tidak membantu, kecuali
dalam evaluasi awal untuk tumor otak atau perdarahan serebral.
G. Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam
keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi
kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron
akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam
mekanisme pengaturan ini adalah:
Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s
inhibitory neurotransmitter.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di
area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa
yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada
sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan
meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari
kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang
secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis
serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata
memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat
normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan
ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada
penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai
tempat di otak.
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga
kejadian yang saling terkait :
Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
H. Pencegahan
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit Epilepsi, seperti
:
1. Infeksi pada masa kanak-kanak harus dikontrol dengan vaksinasi yang benar,
orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam harus
diinstruksikan pada metode untuk mengkontrol demam (kompres dingin, obat
anti peuretik).
2. Cidera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah,
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi
juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cidera kepala
3. Untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, pencegahan
kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara
bijaksana dan memodifikasi daya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini
I. Perawatan
1. Pertolongan pertama pada kejang
Jangan panik apabila menemukan seseorang di sekitar Anda mengalami
kejang. Berikut ini adalah pertolongan pertama yang harus dilakukan bila
seseorang di dekat Anda mengalami kejang.
Jangan takut, jangan panik, utamakan keselamatan dan bertindak tenang.
Pindahkan barang-barang berbahaya yang ada di dekat pasien. Jangan
pindahkan pasien kecuali berada dalam bahaya. Longgarkan kerah kemeja
atau ikat pinggang agar memudahkan pernafasan.
Jangan masukkan apapun ke mulut pasien, atau benda keras di antara gigi
karena benda tersebut dapat melukai pasien.
Bila pasien muntah atau mengeluarkan banyak liur, miringkan kepala
pasien ke salah satu sisi.
Observasi kondisi kejang. Perhatikan keadaan kesadaran, warna wajah,
posisi mata, pergerakan keempat anggota gerak, dan suhu tubuh, waktu
saat kejang mulai dan berakhir, serta lamanya kejang.
Tetap di samping pasien sampai keadaan pasien pulih sepenuhnya. Bila
setelah kejang berakhir tidak ada keluhan atau kelemahan, maka pasien
dapat dikatakan telah pulih. Namun bila pasien mengalami sakit kepala,
terlihat kosong atau mengantuk, biarkan pasien melanjutkan istirahatnya.
Jangan mencoba memberi stimulasi pada pasien jika keadaan pasien belum
sepenuhnya sadar. Biarkan pasien kembali pulih dengan tenang.
Obat supositoria (0bat yang pemakaiannya dengan cara memasukkan
melalui lubang/ celah pada tubuh, umumnya melalui rectum/ anus) dapat
diberikan untuk menghentikan kejang.
J. Pengobatan
Obat anti epilepsi (OAE) dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu OAE
generasi lama dan generasi baru. OAE diperkirakan dapat mengontrol kejang
pada 75% penderita. Prinsip terapi OAE adalah untuk mendapatkan efek
pengendalian kejang yang semaksimal mungkin dengan efek samping yang
minimal atau bahkan tanpa munculnya efek samping (WHO, 2006 cit Lahdjie,
2010).
Pengobatan untuk epilepsi bersifat jangka panjang, didasarkan atas
pemberian OAE yang sebenarnya memiliki potensial toksik. Dengan demikian,
setiap kali memutuskan untuk memberikan OAE kepada penderita epilepsi, hal-
hal berikut ini harus diperhatikan ialah risk-benefit ratio yang harus selalu
dievaluasi terus-menerus, penggunaan OAE harus sehemat mungkin dan sedapat
mungkin dalam jangka waktu yang lebih pendek, dan memilih obat yang paling
spesifik untuk jenis bangkitan yang akan diobati (Harsono, 2007 cit Lahdjie,
2010).
1. Memulai Terapi Obat Anti Epilepsi (OAE).
Dalam strategi pengobatan epilepsi, untuk mencapai hasil terapi yang
optimal perlu diperhatikan ialah pengobatan awal harus dimulai dengan obat
tunggal. Obat perlu dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap
sampai efek terapi tercapai atau timbul efek samping yang tidak dapat
ditoleransi lagi oleh pasien. Interval penyesuaian dosis tergantung dari obat
yang digunakan. Sebelum penggunaan obat kedua sebagai pengganti, bila
fasilitas laboratorium memungkinkan, sebaiknya kadar obat dalam plasma
diukur. Bila obat telah melebihi kadar terapi sedangkan efek terapi belum
tercapai atau efek toksik telah muncul maka penggunaan obat pengganti
merupakan keharusan. Obat pertama harus diturunkan secara bertahap untuk
menghindarkan status epileptikus. Bilamana dianggap perlu terapi kombinasi
masih dibenarkan (Utama,et al, 2007 cit Lahdjie, 2010).
3. Pembagian OAE
Mekanisme kerja obat antiepilepsi sendiri menghambat proses inisiasi
dan penyebaran kejang. Meskipun pada umumnya obat anti epilepsi lebih
cendrung bersifat membatasi proses penyebaran kejang dibandingkan proses
inisiasi (letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan
kanal ion Ca++ dan Na+ serta hiperpolarisasi yang dimediasi oleh reseptor
GABA atau kanal ion K+). Dengan demikian secara umum ada dua
mekanisme kerja yaitu peningkatan inhibisi (GABA nergik) dan penurunan
eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion: Na+, Ca+, K+, dan Cl-
atau aktifitas neurotransmitor (Utama,et al, 2007 cit Lahdjie, 2010).
4. Withdrawl OAE
Penghentian pengobatan epilepsi dapat dilakukan apabila penderita
bebas dari serangan dalam jangka waktu tertentu, konsep penghentian obat
minimal 2 tahun terbebas serangan pada umumnya dapat diterima oleh
kalangan praktisi, penghentian obatpun dilakukan secara bertahap
disesuaikan dengan keadaan klinis penderita (Harsono, 2005). Dan konsep
ini juga dapat menggambarkan kesembuhan adalah bebas serangan (remisi
terminal) setelah melakukan pengobatan OAE minimal 2 tahun (Gilliam,
2001 cit Lahdjie, 2010).
Sekitar 70% anak-anak dan 60% dewasa yang epilepsinya terkontrol
dengan OAE dapat menghentikan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat
dilakukan jika memenuhi syarat:
a. bebas kejang selama 2-5 tahun dengan penggunaan OAE (rata-rata 3,5
tahun)
b. hanya memiliki satu tipe kejang epilepsi parsial (parsial sederhana atau
kompleks parsial atau kejang umum sekunder tonik-klonik) atau satu tipe
kejang umum primer tonik-klonik
c. pemeriksaan neurologis normal atau normal IQ
d. rekaman EEG normal (Gilroy, 2000 cit Lahdjie, 2010).
Penghentian pengobatan OAE harus selalu dipertimbangkan, karena
OAE mempunyai resiko timbulnya efek samping seperti dizziness, fatique,
dan kesulitan membangkitkan memori. Juga adanya efek teratogenik bagi
maternal yang mendapatkan OAE meski belum diketahui mekanismenya.
Pertimbangan biaya yang terus meningkat perlu dipertimbangkan untuk
kontinuitas pengobatan epilepsi. Serta efek psikologis penderita yang kadang
masih merasa kondisi tubuhnya harus bergantung terhadap OAE (Britton,
2002).
5. Tapering OAE
Dalam tapering OAE dikenal 2 cara yang digunakan, yaitu :
a. Rapid tapering
- Dilakukan selama 6 minggu dengan penurunan dosis OAE 25%
setiap 2 mingggu.
- Dilakukan selama 1 bulan dengan penurunan dosis OAE 25% setiap
10 hari.
b. Slow tapering
- Dilakukan selama 9 bulan dengan penurunan dosis OAE 25% setiap
3 bulan.
- Dilakukan selama 6 bulan dengan penurunan dosis OAE 25% setiap
2 bulan (Mathew, 2008).
Dalam berbagai penelitian, tapering OAE dilakukan ketika penderita
telah mencapai target bebas bangkitan. Dan cara melakukan tapering yang
umum digunakan adalah dengan membagi periode tapering ke dalam 3
rentang waktu yang seimbang, yaitu setiap 2 minggu untuk kelompok periode
tapering 6 minggu dan setiap 3 bulan untuk kelompok periode tapering 9
bulan. Dimana dosis OAE yang digunakan selama tapering diseduaikan
dengan sediaan yang ada di pasaran. Jika penderita mendapatkan dua atau
lebih OAE, maka obat ditapering dengan rentang waktu yang sama untuk
setiap jenis obat. Namun apabila didapatkan OAE golongan barbiturat, maka
golongan tersebut merupakan yang terakhir ditapering (Tennison, 2011).
Tapering OAE sebaiknya dilakukan di rentang waktu yang sesuai dan
nyaman bagi penderita, keluarga, jadwal sekolah, dan juga dokter yang
menangani. Perkiraan waktu untuk melakukan tapering adalah :
- Lebih baik dilakukan pada saat liburan sekolah agar orang tua mudah
memberikan pengawasan.
- Sebelum penderita belajar mengemudi agar mendapatkan waktu bebas
obat yang signifikan.
- Dilakukan saat musim panas jika pemicu bangkitan adalah cuaca musim
dingin (Smith,2006).
Dan tidak dilakukan pada saat penderita merencanakan perjalanan
lintas wilayah, sedang mendapatkan stresor fisik atau emosional yang tinggi,
sedang dalam perayaan hari besar, ketika penderita sedang beraktifitas diluar
lingkungan rumah, atau dokter yang menangani sedang tidak ada di tempat
untuk melakukan evaluasi. Keluarga juga dipersiapkan dan dijelaskan
mengenai tapering OAE dan kemungkinan keberhasilannya. Serta dapat
mengupayakan penanganan awal bila penderita kembali mendapatkan
bangkitan (Smith, 2006). Selain itu keluarga penderita juga harus
mendapatkan penjelasan untuk tetap memiliki beberapa dosis OAE untuk
persiapan selama 6 bulan pertama pasca pemberhentian OAE serta
mengetahui dengan jelas tipe epilepsi penderita yang bersangkutan untuk
memudahkan penggalian informasi jika terjadi rekurensi (Camfield, 2005).
Angka remisi pada anak-anak yang mendapatkan tapering OAE hingga
lepas dari pengobatan adalah 50% bebas bangkitan selama 6 bulan dengan
probabilitas 66-96% pada tahun pertama dan 61-91% pada dua tahun.
Sehingga tetap direkomendasikan untuk melakukan pengawasan terhadap
penderita pada aktifitas tertentu seperti berenang. Penghentian OAE melaui
tapering merupakan hal yang baik untuk direncanakan terhadap penderita
epilepsi meski sering menimbulkan kekhawatiran bagi penderita sendiri
maupun keluarga, dan umumnya mempunyai angka keberhasilan yang lebih
tinggi pada epilepsi idiopatik. Prinsip terbaik tapering adalah menurunkan
minimal selama 6 bulan untuk setiap jenis OAE (Smith, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Britton, Jeffrey W. 2002. Antiepileptic drug withdrawl : literatur review. Mayo Clin
Proc 77: 1378-1338.
MAKALAH PRAKTIKUM
KOMUNIKASI DAN KONSELING
“EPILEPSI”
Disusun Oleh:
1. Agnesyanti Dwi P 1308020070
2. Adri Nurrakhmat S 1308020072
3. Nur Ardiyati K 1308020074