Anda di halaman 1dari 47

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman

RSUD A.W. Sjahranie Samarinda

DEMAM TYPHOID dan TONSILOFARINGITIS PADA ANAK

Disusun Oleh:

Aulia Alfiani Paramitha


1710029014

Pembimbing:

dr. Sukartini, Sp.A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK UNMUL
Samarinda
2018
LEMBAR PERSETUJUAN

DEMAM TYPHOID dan TONSILOFARINGITIS PADA ANAK

TUTORIAL KLINIK

Sebagai salah satu tugas stase Ilmu Kesehatan Anak

Oleh :
AULIA ALFIANI PARAMITHA
1710029014

Pembimbing

dr. Sukartini, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tutorial kasus dengan judul “DEMAM TYPHOID dan TONSILOFARINGITIS
PADA ANAK”. Dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah
banyak membantu penulis dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya tutorial
kasus ini, diantaranya:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Sukartini, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani pendidikan doker muda di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada penulis.
6. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

Samarinda, Maret 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 3
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 4
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 5
2. KASUS ..................................................................................................... 7
3. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 14
3.1 Demam Typhoid .................................................................................. 15
3.1.1 Definisi .................................................................................................. 15
3.1.2 Etiologi .................................................................................................. 15
3.1.3 Epidemiologi ......................................................................................... 16
3.1.4 Patogenesis ............................................................................................ 17
3.1.5 Manifestasi Klinis ................................................................................. 18
3.1.6 Diagnosis............................................................................................... 20
3.1.7 Penatalaksanaan .................................................................................... 29
3.1.8 Prognosis ............................................................................................... 33
3.2 Tonsilofaringiti .................................................................................... 33
3.2.1 Definisi .................................................................................................. 33
3.2.2 Etiologi .................................................................................................. 34
3.2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 34
3.2.4 Patofisiologi .......................................................................................... 35
3.2.5 Manifestasi Klinis ................................................................................. 36
3.2.6 Diagnosis............................................................................................... 36
3.2.7 Penatalaksanaan .................................................................................... 37
3.2.8 Prognosis ............................................................................................... 38
4. PEMBAHASAN ........................................................................................... 39
5. PENUTUP ..................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 47

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi) (Soedarmo, Garna, Hadinegoro, &
Satari, 2015). Demam tifoid menular melalui makanan maupun minuman yang
terkontaminasi bakteri S.typhi dengan karateristik demam yang terus-menerus,
sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan, dan konstipasi atau terkadang disertai
diare (World Health Organization [WHO], 2013). Penyakit ini erat kaitannya
dengan higienitas dan sanitasi lingkungan, serta perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat (Departemen Kesehatan [Depkes], 2006).
Data WHO (2008) memperkirakan insidensi demam tifoid di seluruh dunia
sekitar 17 juta kasus per tahun dengan 600.000 orang meninggal. Sekitar 70%
kematian tersebut terjadi di Asia. Penyakit ini bersifat endemik di Indonesia
(WHO, 2008). Penderita dengan demam tifoid di Indonesia tercatat 81,7 per
100.000 (Kementerian Kesehatan [Kemenkes], 2013). Berdasarkan Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2010 penderita demam tifoid dan paratifoid yang
dirawat inap di rumah sakit sebanyak 41.081 kasus dan 279 diantaranya
meninggal dunia (Kemenkes, 2010).
Dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar Indonesia, menunjukkan
angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500 per
100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat
dari keterlambatan mendapat pengobatan serta kurang sempurnanya proses
pengobatan. Secara umum insidensi demam tifoid dilaporkan 75% didapatkan
pada penderita dengan umur kurang dari 30 tahun. Demam tifoid biasa terjadi di
atas usia 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun (Depkes, 2006).
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dilakukan dengan berdasarkan pada
diagnosis klinis serta pemeriksaan penunjang (WHO, 2003). Gejala klinis demam
tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan
khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Semua pasien demam tifoid
selalu menderita demam pada awal penyakit. Gejala sistemik lain yang menyertai

5
timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri
perut dan radang tenggorokan (Soedarmo et al., 2015).
Penatalaksanaan demam tifoid dapat berupa perawatan umum dan pemberian
antibiotik (Depkes, 2006). Pemberian antibiotik merupakan pengobatan utama
karena pada dasarnya patogenesis infeksi bakteri S. typhi berhubungan dengan
keadaan bakteriemia (Soedarmo et al., 2015). Menurut Pedoman Kementerian
Kesehatan RI, antibiotik lini pertama pada demam tifoid antara lain
kloramfenikol, penisilin/ampisilin, dan trimetoprin-sulfametoksazol. Sedangkan
lini kedua antibiotik yang digunakan adalah seftriakson, sefiksim, dan kuinolon
(Depkes, 2006).
Tonsilofaringitis adalah peradangan pada tosil atau faring ataupun keduanya
yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Radang faring pada anak selalu
melibatkan orang sekitarnya sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai
tonsil sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis. Tonsilofaringitis merupakan
faringitis akut dan tonsilitis akut yang ditemukan bersama-sama.

Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak
berusia ≤ 3 tahun. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada tonsilofaringitis
antara lain istirahat yang cukup, pemberian cairan dan nutrisi yang cukup,
pemberian obat kumur dan hisap pada anak yang lebih besar untuk mengurangi
nyeri tenggorok, pemberian antipiretik, dianjurkan parasetamol atau ibuprofen

1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan lebih memahami kasus demam Typhoid dan
Tonsilofaringitis yang banyak di temukan pada anak-anak.

6
BAB 2

KASUS

Identitas pasien

- Nama : An. SNA


- Jenis kelamin : Perempuan
- Umur : 3 tahun 5 bulan
- Alamat : Samarinda
- Anak ke :1
- MRS : 8 Maret 2018
Identitas Orang Tua

- Nama Ayah : Tn. H


- Umur : tahun
- Alamat : Samarinda
- Pekerjaan : Swasta
- Ayah perkawinan ke :1

- Nama Ibu : Ny.F


- Umur : tahun
- Alamat : B Samarinda
- Pekerjaan : IRT
- Ibu perkawinan ke :1

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesa pada Maret 2018 dengan ibu pasien.

Keluhan Utama :

Demam hari ke 5

7
Riwayat Penyakit Sekarang :

Ibu pasien mengatakan bahwa pasien demam dan lemas sejak 5 hari yang lalu.
Pasien tidak mau makan dan tidak mau beraktifitas seperti biasa. Pasien
mengalami demam yang tidak terlalu tinggi dan susah untuk BAB sejak tanggal 3
Maret. Pada tanggal 5 Maret, pasien di bawa ke klinik Qurrata A’yun dan oleh
dokter disana pasien diberi obat untuk bisa BAB kemudian pasien dipulangkan.
Pada tanggal 8 Maret, ibu pasien memeriksakan pasien ke laboratorium Ahmad
Dahlan, dan pada hasil lab terlihat bahwa trombosit pasien menurun. Ibu pasien
kemudian membawa pasien ke IGD RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
karena suhu tubuh pasien meningkat. Oleh dokter IGD pasien di diagnosa sebagai
DHF grade I.
Menurut ibu pasien, pada saat pasien demam, pasien mengigau saat tidur. Pasien
selama ini sulit makan. Sehari hanya makan 2 kali dan pasien setiap hari selalu
membeli pentol dekat rumah. Teman bermain pasien ada yang terkena demam
typhoid dan baru saja keluar dari rumah sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :.

Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit serupa.

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :

Berat badan lahir : 2500 gram


Panjang badan lahir : 45 cm
Berat badan sekarang : 10 kg
Panjang badan sekarang : 87 cm
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 13 bulan

8
Berbicara : 2 tahun
Makan dan minum anak
ASI : 0 bulan – 3 tahun
Susu sapi : 3 tahun - sekarang

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit Kehamilan :-
Obat-obatan yang pernah diminum :-

Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Rumah sakit
Persalinan ditolong oleh : Dokter
Berapa bulan dalam kandungan : minggu
Jenis partus : Spontan

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Bidan
Keadaan anak : Sehat
Keluarga berencana : Tidak

IMUNISASI

Lengkap sesuai usia

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 8 Maret 2018

Kesan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Frekuensi nadi : 112 x/menit

9
 Frekuensi napas : 21 x/menit
 Temperatur : 38,8o C per axila

Berat badan : 10 kg
Panjang Badan : 87 cm

Kepala
Rambut : Hitam
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil Isokor (3mm), mata cowong (-/-)
Mulut : Lidah kotor (-), (-), mukosa bibir basah, gusi berdarah (-)
Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB submandibular (-/-),
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,
retraksi (-), Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Gerakan napas simetris, Ictus cordis teraba icv V MCLS
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Batas jantung
Kiri : ICS V midclavicula line sinistra
Kanan : ICS III para sternal line dextra
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-),S1S2
tunggal reguler, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-)
splenomegali (-), turgor kulit kembali cepat
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capilarry refill test < 2
detik, sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-),
pembesaran KGB inguinal (-/-)

10
Pemeriksaan Penunjang

8-03-2018
Leukosit 2.7/ul
Hb (g/dl) 10 g/dl
PLT 47/ul
Hct 32,4%
MCV 74,4 fL
MCH 23 pg
MCHC 31 g/dL
GDS 130
Na 125
K 3,3
Cl 90
NS1 Negatif

Diagnosis Kerja : DHF Grade I

Penatalaksanaan

- IVFD RL 30 cc/jam
- PCT infus 3x100 mg
- Cek DL ulang jika VS menurun

11
Follow Up

Tanggal Subjektif & Objektif Assesment & Planning


Hari ke- 1 S: keluhan demam (-), tampak A:DHF grade I
8-03-2018 lemas, BAB (-) P : Co. Sp.A
Melati O: TD: 90/60 mmHg T:36,3°C Nadi IVFD RL 30 cc/jam
108x/i kuat angkat RR 26x/i, Ane PCT infus 3x100 mg
(-/-), ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-), Cek DL ulang jika VS menurun
BU(+)N, distensi (-)

Leukosit 2.7/ul
Hb (g/dl) 10 g/dl
PLT 47/ul
Hct 32,4%
MCV 74,4 fL
MCH 23 pg
MCHC 31 g/dL
GDS 130
Na 125
K 3,3
Cl 90
NS1 Negatif
Hari ke- 2 S: keluhan demam (+), tampak A: Tonsilofaringitis
9-03-2018 lemas, BAB (-) dd Typhoid dan Demam Dengue
Melati O: TD: 90/50 mmHg T:38,1°C Nadi P :
102x/i kuat angkat RR 22x/i, Ane Cek IgG dan IgM Dengue
(-/-), ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-), Tubex
BU(+)N, distensi (-), Faring IVFD RD 1000 cc/hari
Hiperemis (+), Tonsil (T1/T1) Dehaf 2x1 sachet
PCT 3x1 cth
Liqurmin 1x1 cth

12
Leukosit 1,98/ul 1,66/ul
Hb (g/dl) 9,6 g/dl 9,3 g/dl
PLT 42/ul 44/ul
Hct 28,7 % 29,5 %
MCV 72,5 fL 75,5 fL
MCH 24,1 pg 23,7 pg
MCHC 33,3 31,4
g/dL g/dL
Dengue Ig G Negatif
Dengue Ig M Negatif
Tubex (+) Skala 6

Hari ke- 3 S: demam (+) tampak lemas, BAB A: Typhoid


10-03-2018 (-) Tonsilofaringitis
Melati O: TD: 90/60 mmHg T:39,1°C Nadi P :
100x/i kuat angkat RR 26x/i, Ane IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/hari
(-/-), ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-), Ceftriaxone 2x500 mg
BU(+)N, distensi (-) Cortidex 3x1 mg
PCT 4x 1 cth
Leukosit 1,46/ul Liqurmin 1x1 cth
Hb (g/dl) 9,1 g/dl
PLT 48/ul
Hct 29,3 %
MCV 76 fL
MCH 23,6 pg
MCHC 31,1 g/dL

13
Hari ke- 4 S: keluhan demam (↑↓), BAB (-) A: Typhoid
11-03-2018 O: TD: 90/60 mmHg T:36,7°C Nadi Tonsilofaringitis
Melati 102x/i kuat angkat RR 26x/i, Ane P :
(-/-), ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-), IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/hari
BU(+)N, distensi (-) Ceftriaxone 2x500 mg
Cortidex 3x1 mg
PCT 4x 1 cth
Liqurmin 1x1 cth
Hari ke- 5 S: demam (+), BAB (-) A: Typhoid
12-03-2018 O: TD: 90/60 mmHg T:36,8°C Nadi Tonsilofaringitis
Melati 98x/i kuat angkat RR 24x/i, Ane P :
(-/-), ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-), IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/hari
BU(+)N, distensi (-) Ceftriaxone 2x500 mg
Cortidex 3x1 mg
PCT 4x 1 cth
Liqurmin 1x1 cth
Hari ke- 6 S: demam (-) BAB (-) A: Typhoid
13-03-2018 O: TD: 90/60 mmHg T:36,1°C Nadi Tonsilofaringitis
Melati 100x/i kuat angkat RR 26x/i, Ane P :
(-/-), ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-), AFF Infus
BU(+)N, distensi (-) Cefixime 2x ½ cth
Dulcolax supp ped 5 mg
Liqurmin 1x1 cth
Hari ke- 7 S: demam (-), BAB (+) A: Typhoid
14-03-2018 O: TD: 90/60 mmHg T:36,1°C Nadi Tonsilofaringitis
Melati 102x/i kuat angkat RR 24x/i, Ane P :
(-/-), ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-), Pasien pulang
BU(+)N, distensi (-)

14
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Demam Tifoid


3.1.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo et al., 2015). Penyakit ini
mempunyai gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Astuti, 2013). Infeksi demam
tifoid ditandai dengan bakteriemia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang
bersifat difus, pembentukan mikroabses, dan ulserasi plak peyer di distal ileum.
Penyakit ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Faktor- faktor yang
mempengaruhi adalah daya tahan tubuh, higienitas, umur, dan jenis kelamin
(Putra, 2012).

3.1.2. Etiologi

Gambar 2.1. Morfologi Bakteri Salmonella typhy (Todar, 2008)

Gambar 2.1. merupakan gambar bakteri Salmonella typhi. Bakteri S. typhi


adalah etiologi utama demam tifoid yang merupakan bakteri gram negatif,
bergerak dengan rambut getar dan tidak menghasilkan spora (Lestari, 2011).
Bakteri S. typhi merupakan satu famili Enterobacteriaceae dengan Escherichia

15
coli dan hidup di saluran pencernaan baik pada hewan berdarah dingin maupun
berdarah panas (Ogle & Anderson, 2005; Todar, 2009). Bakteri S. typhi dapat
hidup dengan baik pada suhu tubuh manusia atau yang sedikit lebih rendah, dapat
mati pada suhu 70 0C dan jika terpapar antiseptik (Rampengan, 2008).
Manusia adalah satu-satunya pejamu yang alamiah dan merupakan
reservoir bakteri S. typhi. Bakteri S. typhi dapat bertahan hidup selama berhari-
hari di air tanah, air kolam, air laut selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah
terkontaminasi atau tiram yang sudah dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi
paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan (Nelwan,
2012).
Bakteri S. typhi paling banyak menginfeksi anak dengan usia lebih muda
dari 5 tahun terutama kurang dari satu tahun dan di atas 70 tahun. Infeksi bakteri
ini juga paling banyak terjadi pada musim panas yang erat hubungannya dengan
banyaknya konsumsi makanan maupun minuman yang terkontaminasi (Puspita,
2012). Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral
(Nelwan, 2012). Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu
sendiri dan karier yang dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman S. typhi dalam
tinja, dan tinja inilah yang menjadi sumber penularan (Rasmilah, 2012). Penularan
dapat melalui berbagai cara yang dikenal 5F (Food, Fingers, Fomitus, Fly, Feses).

3.1.3. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,
secara luas di daerah tropis dan subtropis (Putra, 2012). Data WHO (2008)
memperkirakan insidensi demam tifoid di seluruh dunia sekitar 17 juta kasus per
tahun dengan 600.000 orang meninggal. Sekitar 70% kematian tersebut terjadi di
Asia. Prevalensi di Asia sekitar 274 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Asia
Tenggara menempati urutan kedua 110 kasus per 100.000 penduduk pertahun
setelah Asia Selatan yaitu 622 kasus per 100.000 penduduk per tahun (Crump,
Luby, & Mintz, 2004).
Penderita demam tifoid di Indonesia tercatat 81,7 per 100.000 (Kemenkes,
2013). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 penderita demam
tifoid dan paratifoid yang dirawat inap di rumah sakit sebanyak 41.081 kasus dan

16
279 diantaranya meninggal dunia (Kemenkes, 2010). Ditjen Bina Upaya
Kesehatan Masyarakat Departemen RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid
menempati urutan ke- 3 dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit Indonesia yaitu sebanyak 41.081 kasus (Widodo, 2014).

3.1.4. Patogenesis
Bakteri S. typhi masuk ke dalam tubuh melalui mulut yang terbawa lewat
makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Dosis infeksius dari
bakteri S. typhi yang masuk ke saluran pencernaan adalah 105-109 mikroorganisme
dengan masa inkubasi sekitar 4-14 hari (Dzulfikar, 2011). Pada saat bakteri S.
typhi melewati lambung dengan pH asam yang mencapai < 2, banyak bakteri yang
mati namun sebagian ada yang berhasil masuk. Bakteri S. typhi yang berhasil
bertahan dari asam lambung selanjutnya akan masuk ke usus halus tepatnya di
ileum dan jejunum kemudian akan menempel di mukosa usus. Bakteri tersebut
akan menginvasi mukosa dan menembus dinding usus (Soedarmo et al., 2015).
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya
di jejunum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang
baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel
khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini)
dan selanjutnya ke lamina propria.. Bakteri berkembang biak di lamina propia dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri tersebut dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag yang selanjutnya dibawa ke plak peyer
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Bakteri S. typhi
yang terdapat di dalam makrofag melalui duktus torasikus masuk ke dalam
sirkulasi darah mengakibatkan bakteriemia pertama yang asimtomatik dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel, selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah mengakibatkan
bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik (Widodo, 2014).
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian

17
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi
konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak-
anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut (Brooks, Butel, & Morse, 2008; Todar, 2009).
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.

3.1.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis pada demam tifoid sangat beragam, dan terdapat
perbedaan pada masing - masing daerah, waktu, maupun kelompok usia.
Gambaran klinis pada anak cenderung tidak khas dan kebanyakan berlangsung
dalam waktu pendek serta jarang menetap lebih dari 2 minggu (Depkes, 2006).
Keluhan utama adalah badan panas sudah 1 minggu atau lebih. Panas makin hari
makin bertambah, terutama pada sore atau malam hari, bisa disertai menggigau,
dan kejang. Anak mengeluh sakit perut disertai diare, muntah, dan pada umur > 5
tahun biasanya terdapat konstipasi. Anak juga mengeluh sakit kepala, tidak mau
makan, dan badan lemas (Widagdo, 2012).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364 pada tahun 2006,
gejala klinis demam tifoid meliputi:
a. Demam atau panas
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam. Pada awal penyakit,
demam kebanyakan hanya samar-samar selanjutnya suhu tubuh sering turun naik.
Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Intensitas demam makin tinggi dari hari ke hari yang disertai banyak gejala lain.

18
Pada minggu ke-2 intensitas demam makin tinggi, dan jika pasien mulai membaik
pada minggu ke-3 demam berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir
minggu ke-3.
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut atau nyeri ulu hati,
disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan
obstipasi atau konstipasi dan pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul
diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya gangguan kesadaran hanya bersifat ringan . Sering didapatkan
apatis, dan pada keadaan klinis yang berat, pasien dapat mengalami somnolen
sampai koma. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Dapat ditemukan pembesaran hati dan limpa dengan hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.
e. Bradikardi relatif
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan denyut nadi sebanyak 8 denyut setiap peningkatan suhu 10 C.
f. Typhoid Tongue
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas
meningkat dengananda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput
tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel
sehingga papila lebih prominen.
g. Rose Spot
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas
dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada
anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3
hari.

19
3.1.6. Diagnosis
3.1.6.1.Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis untuk demam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis
berupa demam, keluhan gastrointestinal dan dapat disertai dengan keluhan
penurunan kesadaran yang ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis
pasti atau diagnosis definitif demam tifoid ditegakkan ketika ditemukannya S.
typhi pada hasil kultur darah, sumsum tulang, atau lesi anatomi lain (WHO, 2003).
Berikut adalah kriteria yang bisa membantu penegakan diagnosis untuk demam
tifoid (WHO, 2003) :
a. Kasus demam tifoid yang sudah dikonfirmasi
Apabila pasien demam dengan suhu 380 C atau lebih yang sudah diderita
minimal 3 hari dengan hasil kultur (darah, sumsum tulang, cairan usus) positif
ditemukan S.typhi.
b. Kemungkinan kasus demam tifoid
Apabila ada pasien demam dengan suhu 380 C atau lebih yang sudah
diderita minimal 3 hari dengan hasil uji serodiagnosis atau deteksi antigen yang
positif tapi tanpa pemeriksaan kultur S.typhi.
c. Kronik Karier
Ekskresi dari S.typhi di urin atau di feses setelah 1 tahun atau lebih setelah
terserang demam tifoid akut.

3.1.6.2 Pemeriksaan Darah Tepi


Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus.
Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi
leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan
limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.

20
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem
normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.

3.1.6.3.Pemeriksaan Mikrobiologi
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi
(1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media
empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume darah 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang
ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam
darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih
tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume
sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat
meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang
dapat tumbuh pada media tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga
tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit.
Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah

21
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio
darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku
emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada
anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah
bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak
mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

3.1.6.4.Uji Serologi
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.
typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan
untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam
tabung tanpa antikoagulan.

22
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis
spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan
waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan


untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama
sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan

23
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih
lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu
45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali
maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai
pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti
mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab
dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah
positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
- Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1.Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2.Gangguan pembentukan antibodi.
3.Saat pengambilan darah.
4.Daerah endemik atau non endemik.
5.Riwayat vaksinasi.
6.Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

- Faktor teknik, yaitu


1.Akibat aglutinin silang.
2.Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3.Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

24
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
- Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
- Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B,
C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan
reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan
hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif
kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan
dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian
yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan
menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama
di negara berkembang.
Ada 4 interpretasi hasil :
- Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
- Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
- Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

25
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
- Mendeteksi infeksi akut Salmonella
- Muncul pada hari ke 3 demam
- Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
- Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
- Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan
deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase
pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi
demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan
tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6%
dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar
79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena
kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.
Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid

26
akut yang cepat dan akurat.Beberapa keuntungan metode ini adalah
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena
menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan
alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang
hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana
biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil
selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam
waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa
dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.
Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan
pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

27
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S.
typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized
sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan
dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan
gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur
secara luas.

3.1.6.5 Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik
untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk

28
(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan
kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin
dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen
feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk
melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian.

3.1.7 Penatalaksanaan
3.1.7.1 Perawatan Umum
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.
Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.
Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan
kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

29
3.1.7.2 Medikamentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling
aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin
dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna
dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan
untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake
peroral dapat diberikan via parenteral.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
- Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak
50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7
hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.
Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau
kambuh, dan carier.
- Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada
beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

30
- Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih
rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam
biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
- Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan
dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari)
selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari
dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.Pada demam tifoid
berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Untuk
demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

Pemberian antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya


patogenesis infeksi bakteri S.typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia .
Rekomendasi Depkes RI (2006) untuk pengobatan dengan antibiotik pada demam
tifoid seperti terlihat pada tabel 2.1

31
Tabel 2.1. Pilihan Antibiotik pada Demam Tifoid ( Depkes, 2006)

Antibiotik Dosis Anak Keuntungan & Kelebihan


Kloramfenikol 50-100mg/Kg/BB/hr • Merupakan obat yang sering
max 2 gr selama 10-14 digunakan dan telah lama
hari Dibagi 4 dosis dikenal efektif untuk demam
tifoid.
• Murah & sensitifitas masih
tinggi.
• Pemberian secara oral / IV
• Tidak diberikan bila leukosit
< 2000/mm3.
Seftriakson 80mg/Kg BB/hr • Cepat menurunkan suhu,
Dosis tunggal selama 5 • Lama pemberian pendek,
hari dapat dosis tunggal dan cukup
aman untuk anak.
• Pemberian IV

Ampisilin 100 mg/Kg BB/hr • Aman untuk penderita hamil.


& Amoksisilin Dosis tunggal selama • Sering dikombinasikan
10 hari dengan pasien kritis.
• Tidak mahal
• Pemberian oral
TMP-SMX TMP 6-10mg/Kg BB/hr • Tidak mahal
(Kotrimoksasol) atau SMX 30-50 mg/Kg • Pemberian oral
BB/hr selama 10 hari

Cefixime 15-20mg/Kg BB/hr • Aman untuk anak dan efektif


dibagi 2 dosis selama • Pemberian oral.
10 hari

Tiamfenikol 50mg/Kg BB/hr selama • Diberikan untuk anak dan


(5-7) hari bebas panas dewasa

32
3.1.8. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas sebesar <1%. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya >10%, disebabkan karena keterlambatan
diagnosis, perawatan dan pengobatan. Pasien demam tifoid dengan komplikasi
seperti perforasi gastrointestinal, endokarditis mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi (Soedarmo et al., 2015).

3.2. Tonsilofaringitis
3.2.1. Definisi
Tonsilofaringitis adalah peradangan pada tosil atau faring ataupun
keduanya yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Radang faring pada anak selalu
melibatkan orang sekitarnya sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai
tonsil sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis. Tonsilofaringitis merupakan
faringitis akut dan tonsilitis akut yang ditemukan bersama-sama.

Ukuran Tonsil :
 T0 Tonsil sudah di angkat
 T1 Tonsil masih didalam fossa tonsilaris

33
 T2 Tonsil sudah melewati piar posterior belum melewati garis para median
 T3 Tonsil melewati garis paramedian belum melewati garis median
(pertengahan uvula)
 T4 Tonsil melewati garis median, biasanya pada tumor

3.2.2. Epidemiologi
Tonsilofaringitis dapat mengenai semua umur, dengan insiden tertinggi
pada anak-anak usia 5-15 tahun. Pada anak-anak, Group A streptococcus
menyebabkan sekitar 30% kasus tonsilofaringitis akut, sedangkan pada orang
dewasa sekitar 5-10%.

3.2.3. Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada
anak berusia ≤ 3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus,
rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus
beta hemolitikus grup A adalah bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis
atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% pada anak
sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Mikroorganisme seperti
klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat
jarang terjadi.

Tonsilofaringitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik


di faring, seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum
alcohol, inhalasi uap dan debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut
sebelumnya yang tidak adekuat.

34
Tabel 1. Etiologi Tonsilofaringitis
Virus Bakteri

Adenovirus Group A-B hemolytic streptococcus


(GABHS)

Rhinovirus Staphylococcus aureus

Influenza Streptococcus pneumonia

Coronavirus Mycoplasma pneumonia

RSV Corynebacterium diphteriae

EBV Chlamydia pneumoniae

3.2.4. Patofisiologi
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak
langsung dengan mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan
benda yang terkontaminasi, serta melalui makanan merupakan cara penularan
yang kurang berperan. Penyebaran SBGA memerlukan penjamu yang rentan dan
difasilitasi dengan kontak yang erat.

Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring


yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan eritem faring, tonsil, atau
keduanya. Infeksi streptococcus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan
toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus dan SBHGA lebih banyak
terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan
kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72
jam.

35
3.2.5. Manifestasi Klinis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang
biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri
perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok.
Gejala seperti rhinorrea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya
disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat ditemukan pada
anamnesa.

Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut


streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem pada tonsil
dan faring yang disrtai pembesaran tonsil.

Faringitis streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti


awitan akut disertai mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan,
tonsil bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan
nyeri, uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai impetigo sekunder,
ruam skarlatina, petekie palatum mole.

Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah,


dan berwarna kelabu pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan
ulkus di palatum mole, dan didnding faring serta eksudat di palatum dan tonsil.
Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam berlangsung 4-10 hari dengan
prognosis baik.

3.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau
virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada saat ini
terdapat metode cepat mendeteksi antigen streptococcus grup A dengan
sensitivitas dan spesivitas yang cukup tinggi.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan


laboratorium :

36
1. Leukosit : terjadi peningkatan
2. Hemoglobin : terjadi penurunan
3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sinsitifitas obat

3.2.7. Penatalaksanaan
Tatalaksana Umum :
1. Istirahat yang cukup
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang cukup
3. Pemberian obat kumur dan hisap pada anak yang lebih besar untuk
mengurangi nyeri tenggorok
4. Pemberian antipiretik, dianjurkan parasetamol atau ibuprofen

Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi. Faringitis streptococcus grup A merupakan
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan
antibiotik. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi
suportif yang dapat diberikan. Pemberian obat kumur dan obat hisap pada anak
cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri
berlebih atau demam dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen.

Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah


penisislin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin
penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000
IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti
penisislin pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama amoksisilin
memiliki rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2
selama 6 hari. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30
mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat digunakan
untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita yang alergi terhadap
penisilin.

Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsillitis rekuren. Indikator klinis yang digunakan adalah
Children’s Hospital of Pittsburgh Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi

37
tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau
lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi antibiotik setiap tahun selama 2
tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi
dengan antibiotik selama 3 tahun sebelumnya. Adenoidektomi sering
direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis media kronis dan berulang.
Indikasi tonsiloadenektomi yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apneu
akibat pembesaran adenotonsil.

3.2.8. Komplikasi
Komplikasi apabila tonsilofaringitis tidak dapat ditangani :
 Tonsilofaringitis kronis
 Otitis media
 Mastoiditis
 Sinusitis
 Abses peritonsillar
 Demam rematik
 Glomerulonephritis

3.2.9. Prognosis
Dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotik yang tepat, namun
infeksi dapat berulang. Tonsilofaringitis dengan penyebab virus bersifat self
limiting disiase sehingga dapat sembuh dengan sendirinya dengan istirahat yang
cukup.

38
BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada tanggal 12 Maret


2018, Pasien An.SNA usia 3 tahun datang bersama orang tuanya ke Instalasi
Gawat Darurat RSU AWS Samarinda pada 8 Maret 2018 dengan keluhan utama
pucat. Diagnosis masuk pasien adalah DHF Grade I dan diagnosis kerja pasien ini
adalah Typhoid dan Tonsilofaringitis. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

TEORI KASUS
ANAMNESIS
 Typhoid mempunyai gejala  Usia 3 tahun 4 bulan
demam satu minggu atau lebih  Demam lebih dari 6 hari dan
disertai gangguan pada saluran suhu demam semakin
pencernaan dengan atau tanpa meningkat dan pasien
gangguan kesadaran mengigau saat tidur
 Bakteri S. typhi paling banyak  Pasien sering menkonsumsi
menginfeksi anak dengan usia pentol dekat rumah
lebih muda dari 5 tahun
 Infeksi bakteri ini juga paling
banyak terjadi pada musim
panas yang erat hubungannya
dengan banyaknya konsumsi
makanan maupun minuman
yang terkontaminasi
 Tonsilofaringitis dapat
mengenai semua umur, dengan
insiden tertinggi pada anak-
anak usia 5-15 tahun

39
PEMERIKSAAN FISIK
 Pada awal penyakit, demam  TD : 90/60 mmHg, N: 112
kebanyakan hanya samar-samar x/menit, RR : 21 x/menit, T:
selanjutnya suhu tubuh sering 38,8o C per axila, Ane (-/-), ikt (-
turun naik. Demam lebih tinggi /-), Rh (-/-), Wh (-/-), BU(+)N,
saat sore dan malam hari distensi (-), Faring hiperemis (+)
dibandingkan dengan pagi  Ibu pasien mengatakan demam
harinya. Intensitas demam anaknya paling tinggi terjadi
makin tinggi dari hari ke hari pada hari sabtu tanggal 10 Maret
 Pada umumnya penderita  Ibu pasien mengeluhkan anaknya
sering mengeluh nyeri perut susah untuk BAB dan tidak mau
atau nyeri ulu hati, disertai makan
nausea, mual dan muntah. Pada  Pasien tidak mengeluhkan
awal sakit sering meteorismus perutnya sakit dan tenggorokan
dan konstipasi dan pada sakit karena selama sakit ini
minggu selanjutnya kadang- pasien jarang bicara
kadang timbul diare.
 Pada pemeriksaan fisik, tidak
semua pasien tonsilofaringitis
akut streptococcus
menunjukkan tanda infeksi
streptococcus yaitu eritem pada
tonsil dan faring yang disrtai
pembesaran tonsil.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Darah Tepi Leukosit : 1,66/ul

Pada demam tifoid sering Hb (g/dl) : 9,3 g/dL


disertai anemia dari yang PLT : 44/ul
Hct : 29,5 %
ringan sampai sedang dengan
MCV : 75,5 fL
peningkatan laju endap darah,
MCH : 23,7 pg
gangguan eritrosit normokrom
MCHC : 31,4 g/dL

40
normositer, yang diduga karena Dengue Ig G : Negatif
efek toksik supresi sumsum Dengue Ig M : Negatif
tulang atau perdarahan usus. Tubex : (+) Skala 6
Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi
leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung
leukosit dalam batas normal
dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai
komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun,
gambaran hitung jenis
didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to
the right bergantung pada
perjalanan penyakitnya.
 Pemeriksaan Mikrobiologi
Diagnosis pasti demam tifoid
dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine,
feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots
 Uji serologis digunakan untuk
membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi
spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun

41
mendeteksi antigen itu sendiri.
Volume darah yang diperlukan
untuk uji serologis ini adalah
1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam
tabung tanpa antikoagulan.
- Uji Widal
- Tes TUBEX
- Metode enzyme immunoassay
(EIA) DOT
- Metode enzyme-linked
immunosorbent assay
(ELISA)
- Pemeriksaan dipstick
 Pemeriksaan penunjang
tonsilofaringitis yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium dimana biasanya
terjadi peningkatan leukosit
dan penurunan Hb

DIAGNOSIS
 Diagnosis dibuat berdasarkan Berdasarkan anamnesa dan
anamnesa, pemeriksaan fisik pemerikaan fisik serta pemeriksaan
dan penunjang (pemeriksaan darah dan Tubex test, pasien di
darah tepi dan tubex test) diagnosis sebagai typhoid dan
tonsilofaringitis
PENATALAKSANAAN
 Pemberian antibiotik Pasien diberi terapi pada hari ke 3
merupakan pengobatan utama sampai hari ke 5
karena pada dasarnya IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/hari
patogenesis infeksi bakteri Ceftriaxone 2x500 mg

42
S.typhi berhubungan dengan Cortidex 3x1 mg
keadaan bakteriemia . Obat lini PCT 4x 1 cth
pertama yang digunakan saat Liqurmin 1x1 cth
ini untuk demam tifoid yaitu
kloramfenikol, ampisilin atau Pasien di beri terapi ini pada hari ke
amoksilin, trimetoprim- 6 sampai hari ke 7
sulfametoksazol. Obat lini Cefixime 2x ½ cth
kedua yaitu seftriakson, Liqurmin 1x1 cth
cefixim dan quinolone
 Chloramphenicol, merupakan
antibiotik pilihan pertama
untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia.
Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi
relaps atau kambuh, dan carier.
 Cotrimoxazole, merupakan
gabungan dari 2 jenis
antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan
perbandingan 1:5. Efek
samping dari pemberian
antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem
hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia,
dan granulositopenia. Dan
pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.
 Ampicillin dan Amoxicillin,
memiliki kemampuan yang

43
lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan
cotrimoxazole. Namun untuk
anak- anak golongan obat ini
cenderung lebih aman dan
cukup efektifPenurunan
demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.
 Sefalosporin generasi ketiga
(Ceftriaxone, Cefotaxim,
Cefixime), merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya
setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih
sensitive terhadap Salmonella
typhi.

Tatalaksana tonsilofaringitis
 Istirahat yang cukup
 Pemberian cairan dan nutrisi
yang cukup
 Pemberian antipiretik,
dianjurkan parasetamol atau
ibuprofen
 Antibiotik pilihan pada terapi
faringitis akut streptococcus
grup A adalah penisislin V oral
15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 10 hari atau
benzatin penisilin G IM dosis

44
tunggal dengan dosis 600.000
IU (BB<30 kg) dan 1.200.000
IU (BB>30 kg). Amoksisilin
dapat digunakan sebagai
pengganti pilihan pengganti
penisislin pada anak yang lebih
kecil karena selain efeknya
sama amoksisilin memiliki rasa
yang enak. Amoksisilin dengan
dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi
2 selama 6 hari. Selain itu
eritromisin, 40mg/kgBB/hari,
Klindamisin 30 mg/kgBB/hari,
atau sefadroksil monohidrat 15
mg/kgBB/hari dapat digunakan
untuk pengobatan faringitis
streptococcus pada penderita
yang alergi terhadap penisilin.

45
BAB 5
PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien An. NA yang berusia 3 tahun 4
bulan datang ke rumah sakit dengan keluhan utama demam. Setelah melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, maka didapatkan diagnosis demam Typhoid dan
Tonsilofaringitis Akut. Pada pasien ini telahdilakukan pemeriksaan penunjang
untuk membantu diagnosis dan menentukan pengobatan yang sesuai.

46
DAFTAR PUSTAKA

Adam, George L. MD. 1997. Boies, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Astuti, O.R. (2013). Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. [Skripsi]

Bailey J. Byron, Coffey Amy, R. 1996. Atlas of Head & Neck Surgery
Otolaryngology.
Brooks, G. F., Butel, J. S., & Morse, S. A. (Eds.). (2008). Mikrobiologi
Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Jakarta, Indonesia: EGC.

Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.
Diakses di www.binifas.depkes.go.id
Gates, G.A. 2005. Journal of Tonsilitis. http://www.nidcd.nih.gov
Lesser CF, Miller S.(2001). Harrison's principles of internal medicine, Edisi ke-
15. New York: Mc Graw Hill Companies.
Lestari, K. (2011). Demam Tifoid. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya. [Skripsi]
Nelwan, R. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192 / vol. 39 no 4.

Tumbelaka, A. (2005). Tatalaksana Terkini Demam Tifoid Pada Anak.


Simposium Infeksi Pediatri-Tropik dan Gawat Darurat Anak (hal. 37-47).
Surabaya: Surabaya Intellectual Club.

Widodo, D. (2014). Demam Tifoid. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M.


Simadibrata, & S. Setiati (Eds.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Ed.VI).
Jakarta: Interna Publishing. Hal 549-558.
World Health Organization. (2003). Background document: The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. Diunduh pada 26 Maret, 2016,
dari http://www.who.int/rpc/TFGuideWHO.pdf
Soepardi, Arsyad, SpTHT. 2001. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5. Fakultas Kedokteran Unsri.

47

Anda mungkin juga menyukai