Anda di halaman 1dari 15

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman

RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

DISLEKSIA

Disusun Oleh:

Aulia Alfiani Paramitha


1710029014

Pembimbing:

dr. William S Tjeng, Sp.A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK UNMUL
Samarinda
2018
LEMBAR PERSETUJUAN

DISLEKSIA

REFLEKSI KASUS

Sebagai salah satu tugas stase Ilmu Kesehatan Anak

Oleh :
AULIA ALFIANI PARAMITHA
1710029014

Pembimbing

dr. William S Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial
kasus dengan judul “DISLEKSIA”. Dalam kesempatan ini, kami ingin
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan hingga
terselesaikannya tutorial kasus ini, diantaranya:
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. William S Tjeng, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani pendidikan doker mudadi
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada penulis.
6. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

Samarinda, Januari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 4
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 5
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 6
2. KASUS ..................................................................................................... 7
3.TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 16
3.1 Definisi .................................................................................................. 16
3.2 Epidemiologi ......................................................................................... 16
3.3 Etiologi .................................................................................................. 16
3.4 Patofisiologi .......................................................................................... 17
3.5 Klasifikasi ............................................................................................. 18
3.6 Manifestasi Klinis ................................................................................. 19
3.7 Diagnosis............................................................................................... 19
3.8 Penatalaksanaan .................................................................................... 19
4. PEMBAHASAN ........................................................................................... 37
5. PENUTUP .................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 41

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak disleksia merupakan salah satu jenis anak yang mengalami kesulitan
belajar (learning disability). Kesulitan belajar secara garis besar terdiri dari dua
kategori, yakni kesulitan belajar perkembangan dan kesulitan belajar akademik.
Kesulitan belajar yang dialami anak dileksia adalah kesulitan belajar membaca.
Kesulitan belajar membaca merupakan bagian dari kesulitan belajar akademik,
kesulitan ini dalam dunia kedoketeran dikenal dengan nama disleksia dan
dikaitkan dengan adanya gangguan fungsi neurofisiologis.
Kesulitan membaca yang dikeluhkan meliputi keulitan dalam berbicara dan
kesulitan dalam membaca. Anak disleksia selain mengalami kesulitan dalam
memahami komponen kata dan kalimat, umumnya juga mengalami kesulitan
menulis. Kesulitan membaca dan menulis selalu ada kaitannya dan tidak dapat
dilepaskan dalam hubungannya dengan kesulitan bahasa, karena semua
merupakan komponen sistem komunikasi yang terintegrasi. Dengan demikian
anak disleksia akan mengalami gangguan dalam mengikuti proes pembelajaran di
sekolah sehingga anak disleksia tidak dapat mengikuti pelajaran dengan lancar
dan akibatnya pretasi belajarnya menjadi rendah.

1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan lebih memahami salah satu jenis gangguan belajar
pada anak yaitu Dileksia.

5
BAB 2

DISLEKSIA

2.1 Definisi
Disleksia berasal dari kata Yunani yaitu “dys” yang berarti kesulitan dan
“leksia” yang berarti kata-kata. Dengan kata lain, disleksia berarti kesulitan
mengolah kata-kata. Ketua Pelaksana Harian Asosiasi Disleksia Indonesia dr.
Kristiantini Dewi, Sp.A., menjelaskan, disleksia merupakan kelainan dengan
dasar kelainan neurobiologis dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali
kata dengan tepat atau akurat dalam pengejaan dan dalam kemampuan
mengode simbol. Terdapat dua macam disleksia, yaitu developmental dyslexia
dan acquired dyslexia.

Developmental Dyslexia merupakan bawaan sejak lahir dan karena faktor


genetis atau keturunan. Penyandang disleksia akan membawa kelainan ini seumur
hidupnya atau tidak dapat disembuhkan. Tidak hanya mengalami kesulitan
membaca, mereka juga mengalami hambatan mengeja, menulis, dan beberapa
aspek bahasa yang lain. Meski demikian, anak-anak penyandang disleksia
memiliki tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas rata-rata. Dengan
penanganan khusus, hambatan yang mereka alami bisa diminimalkan.
Adapun acquired dyslexia didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri
membaca.

Sejumlah ahli juga mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi


pemrosesan input atau informasi yang berbeda (dari anak normal) yang
sering kali ditandai dengan kesulitan dalam membaca yang dapat
memengaruhi area kognisi, seperti daya ingat, kecepatan pemrosesan input,
kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi, dan pengendalian gerak. Dapat
juga terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan
kemampuan di berbagai aspek perkembangan.

Disleksia adalah ketidakmampuan belajar yang terutama mengenai


dasar berbahasa tertentu, yang memengaruhi kemampuan mempelajari kata-kata

6
dan membaca meskipun anak memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau di atas
rata-rata, motivasi dan kesempatan pendidikan yang cukup serta penglihatan dan
pendengaran yang normal.

Disleksia biasanya terjadi pada anak-anak dengan daya penglihatan


dan kecerdasan yang normal. Anak-anak dengan dyslexia biasanya dapat
berbicara dengan normal, tetapi memiliki kesulitan dalam menginterpretasikan
“spoken language” dan tulisan. Disleksia terutama disebabkan oleh kelainan
otak yang mempengaruhi proses pengolahan bunyi dan bahasa yang
diucapkan. Kelainan ini merupakan kelainan bawaan, yang bisa memengaruhi
penguraian kata serta gangguan mengeja dan menulis.

2.2 Etiologi Disleksia


Penyebab disleksia dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori faktor utama,
yaitu faktor pendidikan, psikologis dan biologis, namun penyebab utamanya
adalah otak. Faktor-faktor tersebut antara lain :
- Faktor pendidikan
Disleksia disebabkan oleh metode yang digunakan dalam mengajarkan
membaca, terutama metode “whole-word” yang mengajarkan kata-kata
sebagai satu kesatuan daripada mengajarkan kata sebagai bentuk bunyi
dari suatu tulisan. Contohnya, jika anak dalam tahap belum bisa
membedakan huruf huruf yang mirip seperti b dan d, maka cara
pengajaran yang perlu dilakukan adalah mempelajari hurufnya satu
persatu. Misalnya fokuskan pengajaran kali ini pada huruf b. Tulislah
huruf b dalam ukuran yang besar kemudian mintalah anak untuk
mengucapkannya sembari tangannya mengikuti alur huruf b atau membuat
kode tertentu oleh tangan. Anak dilatih terus untuk bisa menguasainya,
setelah itu mulailah beranjak ke huruf d. Mereka berfikir bahwa metode
fonetik, yang mengajarkan anak nama nama huruf berdasarkan bunyinya,
memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Mereka mengklaim
bahwa anak yang belajar membaca dengan metode fonetik akan lebih
mudah dalam mempelajari kata-kata baru. Dan untuk mengenali kata-kata

7
asing secara tertulis sebagaimana mereka mengeja tulisan kata itu setelah
mendengar pelafalannya.
Sementara ahli lain meyakini bahwa dengan mengkombinasikan
pendekatan “kata utuh” dan metode fonetik merupakan cara paling efektif
dalam pengajaran membaca. Dengan menggunakan kedua metode
tersebut, selain mengenali kata sebagai satu kesatuan (unit) anak pun akan
belajar cara menerapkan aturan fonetik pada kata-kata baru.
- Faktor Psikologis
Beberapa periset memasukkan disleksia kedalam gangguan psikologis atau
emosional sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki
orang tua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru atau
penyebab lain. Memang anak yang kurang ceria , sedang marah-marah
atau memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang tua atau dengan
anak lain kemungkinan memiliki masalah belajar. Stress mungkin juga
mengakibatkan disleksia, namun yang jelas stress dapat memperburuk
masalah belajar.
- Faktor Biologi
Sejumlah peneliti meyakini bahwa dileksia merupakan akibat dari
penyimpangan fungsi bagian-bagian tertentu dari otak. Diyakini bahwa
area-area tertentu dari anak disleksia perkembangannya lebih lambat
dibanding anak-anak normal. Teori ini banyak diperdebatkan, namun
bukti-bukti mengindikasikan bahwa teori ini memiliki validitas. Teori
lainnya menyatakan bahwa disleksia disebabkan gangguan pada struktur
otak.

2.3 Epidemiologi
Disleksia dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang jenis
kelamin, suku bangsa atau latar belakang sosio-ekonomi-pendidikan, namun
riwayat keluarga dengan disleksia merupakan faktor risiko terpenting karena 23-
65% orang tua dileksia mempunyai anak disleksia juga. Pada awalnya anak lelaki
dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian-penelitian terkini
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki dan

8
perempuan yang mengalami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-laki lebih
terlihat jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, maka sepertinya kasus
disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada perempuan.

2.4 Gejala Klinis Disleksia


Gejala disleksia bisa sulit untuk dikenali sebelum anak masuk sekolah,
tetapi beberapa petunjuk awal mungkin menunjukkan adanya maalah. Setelah
anak mencapai usia sekolah, guru anak anda mungkin menjadi yang pertama
dalam melihat masalah. Kondisi ini semakin jelas saat seorang anak mulai belajar
membaca.

- Sebelum sekolah
 Terlambat berbicara
 Lambat dalam belajar kata-kata baru
 Kesulitan berima
- Usia sekolah
Setelah anak anda masuk sekolah, tanda dan gejala disleksia mungkin
menjadi jelas, termasuk :
 Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya
 Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya essay
 Huruf tertukar tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’
tertukar ’w’, ’s’ tertukar ’z’
 Membaca lambat lambat dan terputus putus dan tidak tepat misalnya :
- Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”,
“pada”)
- Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (”menulis” dibaca
sebagai ”tulis”)
- Tidak dapat membaca ataupun membunyikan perkataan yang tidak
pernah dijumpai
- Tertukar tukar kata (misalnya: dia-ada, sama-masa, lagu-gula,
batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama)
 Daya ingat jangka pendek yang buruk
 Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar

9
 Tulisan tangan yang buruk
 Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung
 Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek
 Kesulitan dalam mengingat kata-kata
 Kesulitan dalam diskriminasi visual
 Kesulitan dalam persepsi spatial
 Kesulitan mengingat nama-nama
 Kesulitan / lambat mengerjakan PR
 Kesulitan memahami konsep waktu
 Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan
 Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol
 Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari hari
 Kesulitan membedakan kanan kiri
- Remaja dan Dewasa
Gejala disleksia pada remaja dan orang dewasa adalah sama dengan pada
anak-anak. Meskipun intervensi awal akan bermanfaat untuk pengobatan
disleksia, tidak pernah terlalu terlambat untuk mencari bantuan untuk
disleksia. Beberapa gejala disleksia umum pada dewasa dan remaja
meliputi :
 Kesulitan membaca
 Kesulitan memahami lelucon atau idiom
 Membaca dengan suara keras
 Kesulitan dalam mengatur waktu
 Kesulitan meringkas cerita
 Kesulitan belajar bahasa asing
 Kesulitan menghafal

2.5 Jenis-jenis Disleksia


Sebagian ahli membagi disleksia sebagai disleksia visual, disleksia
auditori dan disleksia kombinasi (visual-auditori). Sebagian ahli lain
membagi disleksia berdasarkan apa yang dipersepsi oleh mereka yang

10
mengalaminya yaitu persepsi pembalikan konsep (suatu kata dipersepsi sebagai
lawan katanya), persepsi disorientasi vertical atau horizontal (huruf atau kata
berpindah tempat dari depan ke belakang atau sebaliknya, dari barisan atas ke
barisan bawah dan sebaliknya), persepsi teks terlihat terbalik seperti di dalam
cermin, dan persepsi dimana huruf atau kata-kata tertentu jadi seperti “
menghilang”. Tidak semua anak disleksia menampilkan seluruh tanda /
ciri/karakteristik seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu terdapat gradasi
mulai dari disleksia yang bersifat ringan, sedang sampai berat.

2.5 Diagnosis
Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk
menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia ditegakkan secara klinis
berdasarkan cerita dari orang tua, observasi dan tes tes psikometrik yang
dilakukan oleh dokter anak atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog,
professional lain seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian
anak disleksia yaitu dokter saraf anak (mendeteksi dan menyingkirkan
adanya gangguan neurologis), audiologis (mendeteksi dan menyingkirkan
adanya gangguan pendengaran), opthalmologis (mendeteksi dan
menyingkirkan adanya gangguan penglihatan), dan tentunya guru sekolah
(Shaywitz S. 2003)

Diagnosis disleksia pada anak dapat dilakukan pada usia 7-8 tahun, namun
sebenarnya apabila kita lebih cermat, gejala dileksia dapat dikenali pada usia 3-4
tahun. Untuk menentukan apakah anak Disleksia atau tidak harus dilakukan
dengan diagnosis oleh pakar yang ahli dalam bidang ini, misalnya dokter anak
atau psikolog. Diagnosis Disleksia dilakukan secara klinis berdasarkan cerita dari
orang tua, observasi, dan tes-tes psikometrik. Jika orang tua meyakini bahwa
tanda-tanda Disleksia ada pada anaknya, segera konsultasikan dengan pakar
terkait.Anak disleksia di usia pra sekolah menunjukkan adanya
keterlambatan berbahasa atau mengalami gangguan dalam mempelajari kata-kata
yang bunyinya mirip atau salah dalam pelafalan kata-kata, dan mengalami

11
kesulitan untuk mengenali huruf-huruf dalam alphabet, disertai dengan riwayat
disleksia dalam keluarga.

Keluhan utama pada anak disleksia di usia sekolah biasanya


berhubungan dengan prestasi sekolah, dan biasanya orang tua ”tidak terima” jika
guru melaporkan bahwa penyebab kemunduran prestasinya adalah kesulitan
membaca. Kesulitan yang dikeluhkan meliputi kesulitan dalam berbicara dan
kesulitan dalam membaca.

Kesulitan dalam berbicara Kesulitan dalam membaca


Salah pelafalan kata-kata yang panjang Sulit menguasai / membaca kata kata baru
Bicara tidak lancar Kesulitan melafalkan kata kata yang baru
Menggunakan kata-kata yang dikenal
tidak tepat dalam berkomunikasi Kesulitan membaca kata-kata ”kecil”
seperti : di, pada, ke
Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan
ganda
Kesulitan menyelesaikan tes dalam waktu
yang ditentukan
Kesulitan mengeja
Membaca sangat lambat dan melelahkan
Tulisan tangan berantakan
Sulit mempelajari bahasa asing (sebagai
bahasa kedua)
Riwayat adanya disleksia pada anggota
keluarga lain
Sangat lambat kemajuannya dalam
keterampilan membaca

12
2.6 Penatalaksanaan
Disleksia merupakan suatu kondisi yang menetap. Disleksia tidak
bisa disembuhkan karena pada dasarnya Disleksia bukan merupakan sebuah
penyakit, namun kondisi kelainan neurobiologis. Ketidakmampuan anak yang
tampak seperti menghilang/berkurang pada kondisi dewasa terjadi karena individu
tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan
oleh Disleksia tersebut, bukan karena Disleksianya telah sembuh.

Disleksia diobati melalui pendidikan dan jika di intervensi secara cepat


akan semakin baik. Tes psikologis akan membantu guru anak anda
mengembangkan program pengajaran yang sesuai.

13
BAB 5
PENUTUP

Leukemia Limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas


infiltrasi progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik
yang dikenal sebagai limfoblas (Indonesian Childhood ALL, 2013).
Leukemia akut pada anak mencapai 35% dari semua kanker pada anak.
Leukemia terdiri dari dua tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (ALL) 82% dan
Leukemia mieloblastik akut (LMA) 19%. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1
: 1,5 untuk ALL. Puncak kejadian terjadi pada umur 2-5 tahun (Permono &
Ugrasena, 2012). Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak dibawah
usia 15 tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus ALL baru anak setiap
tahunnya. Diagnosa ALL berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium berupa karakteristik, morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari
aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB
(French American British). Persentase sel blas yang ditemukan pada sumsum
tulang minimal 25%. Jika mungkin dilakukan pemeriksaan immunophenotyping.
(Indonesian Childhood ALL, 2013).
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam
kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
membuktikan faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug
resistance. Faktor prognostik ALL adalah jumlah leukosit awal, umur, fenotip
imunologis jenis kelamin, respons terhadap terapi dan kelainan jumlah kromosom
(Permono & Ugrasena, 2012).

14
DAFTAR PUSTAKA

Hassan, R., & Alatas, H. (2007). Ilmu Kesehatan Anak (11 ed., Vol. 1). Jakarta:
FKUI.

Indonesian Childhood ALL. (2013). Protokol Pengobatan Leukemia Limfoblastik


Akut Anak.

Leukemia and Lymphoma Society. (2014). Acute Lymphoblastic Leukemia. New


York: AMGEN.

Permono, B., & Ugrasena, I. (2012). Leukemia Akut. In B. Permono, Sutaryo, I.


Ugrasena, E. Windiastuti, & M. Adbulsalam, Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak (pp. 236-47). Jakarta: IDAI.

Price, S. A., & Lorraine, M. W. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit (Vol. 1). Jakarta: EGC.

V, D. C., Rizzari, C., Sala, A., Chiesa, R., Citterio, M., & Biondi, P. (2005). Acute
lymphoblastic Leukemia. Orphanet , 1-13.

15

Anda mungkin juga menyukai