Anda di halaman 1dari 18

STATUS PASIEN DOKTER MUDA

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO - RSUD UNDATA

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 42 Tahun
Alamat : Desa Bunga, Palolo
Pekerjaan : URT
Agama : Kristen
Ruangan : Matahari
Tanggal Pemeriksaan : 4 April 2015

II. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : keluar darah dari alat kelamin
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluhan dirasakan sejak ± 1 minggu yang lalu. Darah yang keluar
banyak dan bergumpal-gumpal disertai dengan sakit perut. Pasien hamil
±33 minggu dengan riwayat persalinan G3P1A1. Pasien tidak memiliki
keluhan lain. Buang air kecil biasa, buang air besar lancar.
 Riwayat Penyakit Sebelumnya :
Sebelumnya pasien pernah perdarahan ±1 minggu pada usia kehamilan
±31 minggu dan pernah terjatuh.
Asma (-)
Hipertensi (-)
Diabetes Melitus (-)
 Riwayat alergi : tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum :
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4V5M6
Berat Badan : 70 kg
Status Gizi : Baik
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.50C
Kepala:
- Bentuk : Normocephal
- Rambut : Ikal, warna hitam distribusi padat
- Wajah : Simetris, deformitas (-), edema (-), tampak biasa
Mata:
Eksoftalmus (-), enophtalmus (-), palpebra edema (-), konjungtiva
anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bentuk isokor, bulat, diameter ± 2 mm / 2 mm
Mulut:
Bibir sianosis (-), pucat (-), tonsil T1/T1
Faring : faring dan uvula terlihat jelas,
palatum mole terlihat jelas
skor Mallampati 1
Leher:
Pembengkakan kelenjar getah bening (-)
Pembesaran pada kelenjar tiroid (-)
JVP R5 + 2 cm H2O
Massa lain (-)
PS ASA 2

Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : Normochest, retraksi (-), massa (-), bentuk dada
normal, ekspansi paru simentris (+/+)
 Palpasi : nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan kanan
 Perkusi : sonor (+) diseluruh lapang paru, batas paru hepar SIC
VI dextra.
 Auskultasi : vesicular +/+ diseluruh lapang paru, bunyi tambahan (-)

Jantung
 Inspeksi : lctus cordis tidak tampak
 Palpasi : lctus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
 Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal dextra et sinistra
Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Bentuk cembung, massa (-), bekas operasi yang masih
ditutup dengan perban (+)
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan karena pasien post op SC
 Palpasi : sulit dilakukan pemeriksaan karena adanya luka post op
SC

2
Ekstremitas :
Atas : Edema (-/-), Akral hangat (+/+), kekuatan otot (5/5)
Bawah : Edema (-/-), Akral hangat (+/+), kekuatan otot (5/5)

IV. RESUME
Pasien perempuan 42 tahun dengan keluhan keluar darah yang banyak dan
bergumpal-gumpal sejak ± 1 minggu yang lalu. Tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu 36.5 0C, skor
Mallampati 1, PS ASA 2. Dari pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
kelainan.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah rutin
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC 2.42 106/mm3 3.80-5.80
WBC 28.8 103/mm3 4.0-10.0
HGB 6.4 gr/dl 11.5-16.0
HCT 19.6 % 37.0-47.0
PLT 309 10 /mm3
3
150-500
MCV 81 µm3 80-100
MCH 26.7 pg 27.0-32.0
MCHC 32.9 g/dl 32.0-36.0
RDW 12.4 % 11.0-16.0
MPV 8.1 µm3 6.0-11.0
PCT 0.249 % 0.150-0.500
PDW 14.5 % 11.0-18.0

Elektrolit Darah
Parameter Hasil Satuan Range Normal
Natrium 125 Mmol/L 135-145
Kalium 5.0 Mmol/L 3.5-5.5
Clorida 102 Mmol/L 96-106

VI. Diagnosis
G3P1A1 gravid 33 minggu + Suspek Plasenta Previa + IUFD + Anemia
Gravidarum

VII. Penatalaksanaan :

3
- Perbaiki keadaan umum pasien
- Pasang tampon vagina
- Adona drips
- Ceftriaxone/ 12 jam/ IV
- Transfusi PRC 2 kantong
- Observasi TTV

VIII. Anjuran
SC cito

4
LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah : G3P1A1 gravid 33 minggu + Suspek Plasenta


Previa + IUFD + Anemia Gravidarum
2. Diagnosis Pasca Bedah : P1A2 Post Op SC 33 minggu + Plasenta Previa
+ IUFD + Anemia Gravidarum
3. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : SCTP
b. Posisi : Miring Kiri/ Left Lateral
c. Jenis Anestesi : Regional anesthesia
d. Obat Anastesi : Bupivacaine
e. Teknik Anestesi : Subarachnoid block
f. Mulai Anestesi : 2 Maret 2015, pukul 07.20 WITA
g. Mulai Operasi : 2 Maret 2015, pukul 07.25 WITA
h. Pre Medikasi : Fentanyl 30 mg
i. Medikasi : oxytocin 30 IU
j. Selesai Operasi : Pukul 08.25 WITA
k. Efek Anestesi Hilang : Pukul 08.30 WITA

Tabel Evaluasi Tekanan Darah dan Nadi Intraoperatif

5
Tekanan Darah (mmHg)
Jam Nadi (x/menit)
Sistol Diastol
07.20 100 60 89
07.25 90 60 88
07.30 79 50 80
07.35 65 40 95
07.40 70 50 100
07.45 70 45 105
07.50 70 42 105
07.55 72 40 100
08.00 69 40 100
08.05 68 40 95
08.10 70 40 95
08.15 70 40 100
08.20 90 42 101
08.25 100 45 100

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat


diklasifikasikan dengan PS ASA 2, yaitu pasien dengan gangguan sistemik ringan.
Pada pasien ini ditemukan bahwa pasien anemia gravidarum akibat kemungkinan
plasenta previa yang dialami pasien, maka termasuk ke dalam PS ASA 2. Jenis

6
anestesi yang akan dilakukan adalah regional anestesi dengan teknik spinal
anestesi subarachnoid block.
Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam cairan serebrospinal, di dalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis → subkutis → ligamentum supraspinosum → ligamentum
interspinosum → ligamentum flavum → ruang epidural → duramater → ruang
subarachnoid.

Gambar 1. Lokasi penusukan jarum pada anestesi spinal.

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai


bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,
bedah obstetrik-ginekologi, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak
kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
Kontraindikasi penggunaan anestesi spinal meliputi kontraindikasi mutlak
dan relative. Kontraindikasi mutlak yakni pasien menolak, infeksi pada tempat

7
suntikan, hypovolemia berat atau syok, koagulopati atau mendapat terapi
koagulan, tekanan intrakranial meningkat. Sedangkan kontraindikasi relatif yakni
kelainan neurologis, prediksi bedah yang berjalan lama, penyakit jantung,
hypovolemia ringan, nyeri punggung kronik.

Sebelum melakukan anastesi spinal terlebih dahulu harus mengatur posisi


pasien. Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Berikut langkah-langkah dalam
melakukan anestesi spinal, antara lain: Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral.
Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan pungsi lumbal. Pasien
duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan

8
tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring
dengan salah satu sisi tubuh berada dimeja operasi. Pengaturan kedudukan pasien
harus dilakukan secara cermat dengan tulang belakang penderita dilengkungkan
guna memperlebar celah di antara tulang belakang. Posisi permukaan jarum spinal
ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebra lumbalis (interlumbal).
Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien. Lakukan
penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada setinggi L2-L3 atau L3-L4
pada bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah
cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.
Cabut stilet lalu cairan cerebrospinal akan menetes keluar. Suntikkan obat
anestetik lokal yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid.
Komplikasi dari anestesi spinal dapat diklasifikasikan sebagai komplikasi
mayor atau minor. Komplikasi minor yang terbatas, perubahan psikologis oasien.
Komplikasi minor terdiri atas hipotensi arteri (blok otonom), mual dan muntah,
sakit kepala setelah pungsi lumbal, dan nyeri punggung. Komplikasi mayor
termasuk cedera saraf terbatas, meningitis, sindrom cauda equine, dan disfungsi
neurologis lainnya, tapi jarang terjadi.
Terdapat banyak kemungkinan mekanisme yang berkontribusi pada mual
dan muntah saat anestesi spinal, termasuk paparan zona pencetus chemoreceptive
di otak terhadap obat emetogenik (misalnya opioid). Kemungkinan mekanisme
lainnya termasuk (1) hipotensi sistemik, yang menurunkan aliran darah serebral
dan membuat hipoksia serebral, dan (2) traksi pada peritoneum atau viscera
lainnya, yang membuat respon vagal yang bermanifestasi pada penurunan denyut
jantung dan penurunan resultan kardiak output. Traksi uterus dan/atau peritoneum
pada waktu pembedahan dapat meningkatkan insidensi gejala emesis pada
anestesi regional yang tidak adekuat. Nyeri visceral dari traksi peritoneum atau
viscera abdominal akan mentransmisikan rangsang afferent melalui nervus vagus
yang menstimulasi pusat muntah.
Faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anestesi local di dalam CSF,
dan dengan demikian luasnya anestesi meliputi:

9
 Penggunaan larutan hiperbarik (yaitu yang berat jenis khususnya lebih
besar dibandingkan CSF), misalnya bupivacaine pekat 05% yang dicapai
dengan penambahan dekstrose 8%.
 Pengaturan posisi pasien selama atau setelah penyuntikan. Pemeliharaan
posisi duduk setelah penyuntikan akan menimbulkan blockade lumbal dan
saraf-saraf di daerah sacral. Pada posisi telentang, blockade saraf akan
meluas ke nervus-nervus torasikus di sekitar T5-T6, titik terletaknya
kelengkungan vertebra torakalis ke belakang yang maksimum.
 Peningkatan dosis (volume dan/atau konsentrasi) obat anestesi local
 Semakin tinggi penempatan anestesi spinal pada region lumbal, semakin
tinggi ketinggian blockade yang dihasilkan.
Induksi anestesi pada pasien ini menggunakan anestesi lokal yaitu
bupivacaine sebanyak 20 mg. Bupivakain disebut juga obat golongan amida yang
digunakan pada anestesi spinal. Obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan
motorik. Larutan bupivakain hiperbarik adalah larutan anestesi lokal bupivakain
yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal
(1,003-1,008).
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum. Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen
bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim
seolah plasenta tersebut bermigrasi.
Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus yang
keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada
akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan
berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas setelah
beberapa waktu kemudian. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan yang lebih
banyak. Perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan dibawah 30
minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas.
Pada pasien dalam kasus ini, perdarahan terjadi pada usia kehamilan ±33 minggu

10
dan mengalami perdarahan berulang yang setiap perdarahannya bertambah
banyak.
Plasenta previa biasanya datang dengan perdarahan antepartum dan
perdarahan antepartum yang signifikan dapat menentukan pilihan anestesi. Pilihan
terbaik teknik anestesi untuk persalinan yang memiliki komplikasi plasenta previa
masih menjadi kontroversi. Zat anestesi pada anestesi spinal yang masuk ke
sirkulasi maternal lebih sedikit sehingga pengaruh terhadap janin berkurang.
Sebagian besar memiliki opini bahwa anestesi umum semestinya menjadi pilihan
anestesi pasien dengan plasenta previa dibandingkan anestesi regional karena
resiko perdarahan yang lebih banyak dan syok hipovolemik yang kemungkinan
terjadi.
Anestesi regional dapat diberikan dan pengendalian tekanan darah dapat
dikendalikan dengan baik oleh ahli anestesi. Pertimbangan ini dilakukan
mengingat perdarahan intraoperasi dengan anestesi regional tidak sebanyak
perdarahan pada pemakaian anestesi umum. Harus diperhatikan bahwa dengan
anestesi regional pada plasenta previa, blok saraf simpatis menyebabkan
vasodilatasi dan hipotensi yang membuat hipotensi intraoperatif dari kehilangan
darah plasenta previa memburuk.
Pada pasien ini terjadi perdarahan intraop ±1.500 mL dan dilakukan
transfusi PRC sebanyak 250cc. Saat operasi terjadi hipotensi yang mungkin
diakibatkan oleh penggunaan obat anestesi regional dan akibat syok hipovolemik
karena kehilangan darah sebelum pasien dirujuk ke RS dan saat pasien dioperasi.
Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor utama
yang menyebabkan terjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume
intravaskuler apakah akibat perdarahan atau dehidrasi atau sebab lain maka darah
yang balik ke jantung (venous return) juga berkurang dengan hebat, sehingga
curah jantungpun menurun. Pada akhirnya ambilan oksigen di paru juga menurun
dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga tidak dapat dipenuhi.
Gangguan pada pembuluh darah dapat terjadi pada berbagai tempat, baik arteri
(afterload), vena (preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan vaskuler
arteri atau arteriol akan menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan

11
intravaskuler dengan pembuluh tersebut sehingga menyebabkan tekanan darah
menjadi sangat rendah yang akhirnya juga menyebabkan tidak terpenuhinya
perfusi jaringan.
Rendahnya cardiac output atau perfusi (syok atau iskemia), hipotensi
berat, atau rendahnya aliran vena pulmonalis adalah contoh kondisi yang
menurunkan sirkulasi, menurunkan transport oksigen ke jaringan. Pada pasien ini
terjadi hipotensi intraop yang dapat diakibatkan karena adanya perdarahan intraop
sehingga pasien mengalami syok hipovolemik/hemoragik. Akibat syok ini, maka
terjadinya penurunan volume intravaskuler yang menyebabkan turunnya tekanan
darah, maka terjadi penurunan perfusi jaringan. Lalu terjadi penurunan kadar
oksigen dalam otak atau hipoksia pada pasien ini dan terjadi kejang intraop
sebanyak 2 kali.
Gejala hipoksia bervariasi tergantung dari keparahan dan durasi serta
respon individu. Hipoksia merusak fungsi mitokondria selular. Hal ini
mempengaruhi metabolisme oksidatif normal dan menghasilkan akumulasi
metabolik toksik.
Pada pasien ini juga terjadi anemia. Dimana pembedahan elektif tidak
boleh dilakukan jika hemoglobin <10 g/dL, kecuali jika pembedahan diperlukan
untuk menghentikan perdarahan. Pasien ini didapatkan hemoglobin 6.4 g/dL,
namun untuk menghentikan perdarahan akibat plasenta previa, maka dilakukan
pembedahan. Anemia dapat menyebabkan penyediaan oksigen ke jaringan
berkurang, mengurangi cadangan oksigen jika hipoksia terjadi, dan kemampuan
mengatasi kehilangan darah menjadi buruk.
Berikut ini adalah klasifikasi derajat perdarahan progresif yang dapat
digunakan untuk menentukan derajat perdarahan pada pasien ini.
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi
napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding
dengan kehilangan volume 10%.

12
Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)
1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea,
penurunan tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler
terlambat dan sedikit cemas.
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin
yang menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul
dengan peningkatan TD diastolik.
Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)
1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dan takikardia mencolok,
TO sistolik turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal
bingung atau gaduh gelisah.

2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40%
adalah jumlah terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan
penurunan TD sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun
keputusan memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap
pemberian cairan.
Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)
1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok,
tekanan nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin
sedikit atau tidak ada, status mental depresi (atau kehilangan kesadaran),
kulit dingin dan pucat.
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.
3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab
syok. Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok
lainnya, antara lain:tamponade jantung ( bunyi jantung halus, vena leher
distensi), tension pneumothorax (deviasi trakea, bunyi napas berkurang
pada satu sisi), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, takikardia tidak
sebesar yang diduga, defisit neurologis).

13
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

Kehilangan darah Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000

(ml)

Kehilangan darah Sampai 15% 15-30% 30-40% >40%

(%BV)

Nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun

14
meningkat

Frekuensi napas 14-20 20-30 30-40 >35

Urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 Tidak ada

Status mental Gelisah ringan Gelisah Gelisah dan Gelisah dan

sedang bingung letargi

Cairan pengganti kristaloid kristaloid Kristaloid Kristaloid

dan darah dan darah

Pendekatan yang digunakan untuk memperkirakan volume cairan total adalah


sebagai berikut:
 Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan
menghitung berat badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).
 Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah <
15% volume darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah,
kelas III bila kehilangan darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah
lebih dari 40% volume darah.
 Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal
dikali % kehilangan darah
 Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang
dibutuhkan dengan anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah
100% volume infus whole blood, 50-75% volume infus cairan koloid dan
20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume resusitasi setiap cairan
dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh
jika defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid
(50-75% tertahan di intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75
= 3 L hingga 2/0,5 = 4 L cairan koloid.

Pada pasien ini diberikan cairan melalui IV untuk menggantikan


kehilangan cairan karena pembedahan dan untuk memenuhi kebutuhan harian

15
normal pasien. digunakan tiga jenis cairan: kristaloid, koloid dan darah serta
komponennya.
a. kristaloid
kristaloid merupakan larutan kristalin pada dalam air. Larutannya dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu yang mengandung elektrolit
dengan komposisi yang sama dengan plasma, mempunyai osmolalitas
serupa dengan plasma (isotonik) dan larutan yang mengandung lebih
sedikit atau tidak mengandung elektrolit (hipotonik) tetapi mengandung
glukosa untuk memastikan bahwa larutan memiliki osmolalitas yang sama
dengan plasma. Cairan ini diredistribusi di berbagai kompartemen cairan
tubuh. Contoh larutan ini adalah NaCl 0.9% dan RL. Pada pasien ini
diberikan RL yang digunakan sebagai cairan dalam periode preoperatif dan
lini pertama resusitasi cairan emergensi.
b. koloid
Koloid merupakan suspensi partikel berberat molekul tinggi. yang paling
umum diturunkan dari gelatin (Haemaccel®, Gelofusine®, protein
(albumin), atau starch (HAES-steril®). Koloid terutama meningkatkan
volume intravaskular dan mula-mula dapat diberikan dengan volume yang
setara dengan perkiraan cairan yang hilang untuk mempertahankan volume
sirkulasi. Pada pasien ini diberikan Gelafusal.
c. darah
Pada pasien ini sesuai dengan derajat kehilangan darahnya yaitu kelas 3
(kehilangan darah 30-40%), maka harus diberikan cairan pengganti
kristaloid dan darah. Sehingga pada saat intraop, setelah tertangani sumber
perdarahannya, maka diberikan transfusi darah. Pada pasien ini diberikan
transfusi PRC 250cc.

Tabel estimasi volume resusitasi


Tahapan Determinasi Jumlah Volume
1. Estimasi volume darah normal (BV) BV = 70mL/kg (♂)

= 65 mL/kg (♀)

16
2. Estimasi % volume darah yang Kelas I: < 15%

hilang Kelas II: 15-30%

Kelas III: 30-40%

Kelas IV: > 40%


3. Kalkulasi defisit volume (VD) VD = BV x % BV yang hilang
4. Determinasi volume resusitasi (RV) RV = VD x 1 (koloid)

= VD x 3 (kristaloid)

Atau pada pasien ini:


1. EBV:60ml/kgbb = 65ml x 70kg = 4.550
2. EBL : kelas 3 (30-40%) → 40%
3. Kalkulasi defisit volume (VD):
EBV x EBL
4.550 x 30% = 1.365cc
4. Terapi cairan:
o PRC 1x250 = 250cc
o Infus Gelafusal 1x500 = 500 cc
o Kristaloid (RL) = 615 x 3 = 1.845cc (1900cc)
Ditambahkan dengan maintenance 30-50cc/kgbb (40cc/kgbb)
Sehingga didapatkan 30x70 = 2.100cc/hari
Sehingga total kebutuhan cairan dari pasien adalah 4.000cc
- Resusitasi cairan sendiri terbagi atas 2, yaitu resusitasi cepat
(20ml/kgbb dalam 1 jam pertama), atau resusitasi lambat yang dibagi
menjadi 2 yaitu 50% dalam 8jam pertama, 50% sisanya dalam 16jam
berikutnya. Pada pasien ini, perlu dilakukan resusitasi cepat karena
kondisi intraop dari pasien ini, dimana terjadi takikardi, hipotensi
lama, dan perdarahan.
- Sehingga dilakukan resusitasi cepat yaitu 20ml/kgbb dalam 1 jam
pertama → 1.400cc
Pada resusitasi lambat, kebutuhan dibagi menjadi 2, yaitu 50% pada 8jam
pertama (2000cc dikurangi 1400cc dari resusitasi cepat = 600cc dalam 7 jam
berikutnya). Lalu dilanjutkan 50% pada 16 jam berikutnya yaitu 2000cc.

17
DAFTAR PUSTAKA

Boulton, T., Blogg, C., 2002. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.
Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta.
Gwinnutt CL, 2011, Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3, EGC, Jakarta.
Hardisman, 2013, Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik,

Jurnal Kesehatan Andalas, vol 2, no 3.


Javed S, Hamid S, Amin F, Mahmood KT, 2011, Spinal Anesthesia Complications

in Caesarean Section – A Review, Journal of Pharmaceutical Sciences and

Research, Volume 3, Number 10, pp 1530-1538.


Mansjoer, A., et all. 2009. Anestesi Spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran

Edisi III. Media Aesculapius. Jakarta.


Prawirohardjo S, 2010, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo Edisi Keempat

Cetakan Ketiga, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,

18

Anda mungkin juga menyukai