Anda di halaman 1dari 55

HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA DAN FUNGSINYA

TERHADAP AL QUR'AN

HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA


DAN FUNGSINYA TERHADAP AL QUR'AN

A. Argumentasi Yang Menjadi Dasar

Hadits adalah salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua setelah

Al Qur'an dari sumber-sumbe hukum Islam.1[1] Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus

terjadi terjadi di masyarakat, tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Qur'an, maka hakim

atau mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi SAW.

Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang memiliki tauladan yang mulia. Beliau

diutus dengan misi kerahmatan seluruh alam dengan tuntunan wahyu Tuhan dalam setiap

langkahnya. Keindahan budi pekerti dan aura kebaikan yang terus terpancar menjadikan seluruh

mahluk memujinya. Tak hanya dari kaum muslim yang mengidolakannya, namun para sarjana

barat mengimitasi dan mengikuti langkah beliau dalam suksesi kehidupan. Michael heart,

misalnya, memposisikan beliau pada posisi yang pertama dalam hal tokoh terkemuka dunia

sepanjang zaman melebihi para cendikiawan yang lain.

Landasan utama bagi otoritas kehujahan hadis adalah Al Quran sendiri. Artinya, Al

Quranlah yang memerintahkan agar seorang muslim senantiasa taat kepada Rasûlullâh Saw,

mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Perintah dan larangan Rasûlullâh Saw tersebut

tidak dapat diketahui melainkan melalui hadis-hadis yang ditinggalkannya. Oleh karena itu, taat
kepada Rasûlullâh Saw tak lain artinya ialah senantiasa berpegang dan mengamalkan hadis-

hadisnya.

Banyak ayat Al Qur'an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa bahwa hadits itu

merupakan argumen (hujjah) selain Al Qur'an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah

maupun lrangannya2[2]. Uraian di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan Hadits

sebagai argument dasar dalam hukum Islam setelah Al Qur'an dengan melihat beberapa dalil,

baik naqli maupun aqli.

1. Dalil Al Qur'an

Banyak ayat Al Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban memepercayai dan menerima

segala yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW baik berupa perintah maupun larangan,

khabar nikmat surga dan tentang siksa neraka.

Allah SWT berfirman dalam surat An nur ayat 54

Artinya: Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu
berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu
taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(QS. An Nur (24): 54)3[3]

Kemudian dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:


Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya

bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras

hukumannya. (QS. Al Hsyr (59): 7)4[4]

Artinya: Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-

hatilah. (QS. Al Maidah (5): 92)5[5]

Dari tiga ayat diatas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT dalam Al

Qur'an selalu diiringi dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula peringatan

(ancaman) karena durhaka kepada Allah SWT, sering disejajarkan dengan ancaman karena

durhaka kepada Rasul SAW.

Bentuk-bentuk ayat seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan

kewajiban taat kepada semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Dari sinilah sebetulnya dapat

dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan mendurhakainya,

merupakan merupakan kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.6[6]

2. Dalil Hadits

Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits

sebagai pedoman hidup, di samping Al Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
‫سنَّةَ نَ ِب ِيـ ِه‬
ُ ‫هللا َو‬
ِ ‫اب‬ َّ ‫ضلُّ ْوا َما ت َ َم‬
َ َ ‫س ْكت ُ ْم ِب ِه َما ِكت‬ ِ َ ‫ت َ َر ْكتُ فِ ْي ُك ْم أ َ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬
[7]7)‫(رواه مالك‬
Artinya: Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi

kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah SWT (Al Qur'an) dan Sunnah Rasul-

Nya (Hadits). (HR. Malik)

Hadits tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadits

atau menjadikan Hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana

wajibnya perpegang teguh terhadap Al Qur'an

3. Kesepakatan Ulama (Ijma')

Para ulama telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum berama, karena

sesuai dengan yang di kehendaki oleh Allah SWT. Penerimaan mereka terhadap Hadits sama

seperti penerimaan mereka terhadap Al Qur'an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai

sumber hukum Islam.8[8]

Kesepakatan umat muslimin dalam memepercayai, menerima dan mengamalkan segala

ketentuan yang terkandung dalam Hadits ternyata sejak Rasulullah SAW masih hidup.

Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafaaur Rasyidid hingga masa-masa selanjutnya, tidak

ada yang mengingkarinya.banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan

mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahakan mereka menghafal, memelihara dan

menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.


Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai

sumber hukum Islam, diantaranya adalah:

a) Ketika Abu Bakar di bai'at menjadi khalifah, ia pernah berkata: "saya tidak meninggalkan

sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulillah, sesunggunya saya takut tersesat

bila meninggalkan perintahnya".9[9]

b) Saat Umar bin Khattab berada didepan hajar aswad ia berkata: "saya tahu bahwa engkau adalah

batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan

menciummu".10[10]

c) Pernah ditanya kepada Abdullah bin Umar tenteng ketentuan shalat safar dalam Al-Qur'an. Ibnu

Umar menjawab: "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita

tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah

SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya

Rasul".11[11]
d) Diceritakan dari sa'id bin musayyab bahwa Utsman bin Afwan berkata: "saya duduk

sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makanya rasulullah dan saya shalat

sebagaimana shalatnya Rasulullah".12[12]

B. Fungsi Hadits Terhadap Al Qur'an

1. Hadits sebagai bayan tafsil

Yang dimaksud bayan tafsil adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan

rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur'an yang masih bersifat global (mujmal)13[13].

Atau dengan kata lain adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian

atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi

hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil).

Diantara contoh ayat-ayat yang Al Qur'an yang masih mujmal adalah perintah shalat, ayat Al

Qur'an tentang shalat masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, syarat-syarat,

atau halangan-halangannya. Oleh karena itu Rasulullah SAW, melalui haditsnya menafsilkan dan

menjelaskan masalah tersebut. Sebagai contoh salah satu haditsnya adalah bersumber dari Abu

hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda


َ‫س َر َم َع َك ِمن‬ َّ َ‫ ث ُ َّم ا ْق َرأْ َما تَي‬, ‫ ث ُ َّم ا ْست َ ْق ِب ِل ْال ِق ْبلَةَ فَ َكب َّْر‬, ‫ض ْو َء‬
ُ ‫صالَةِ فَأ َ ْس ِبغِ ْال ُو‬
َّ ‫ت ِإلَى ال‬ َ ‫ِإذَا قُ ْم‬
ْ َ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬,‫ارفَ ْع َحتَّى ت َ ْعت َ ِد َل قَائِ ًما‬
‫ط َمئِ َّن‬ ْ َ‫ار َك ْع َحتَّى ت‬
ْ ‫ ث ُ َّم‬,‫ط َمئِ َّن َرا ِكعًا‬ ْ ‫ ث ُ َّم‬,‫ْالقُ ْرآ ِن‬
َ ‫ ث ُ َّم ا ْف َع ْل ذَ ِل َك فِى‬,‫اجدًا‬
‫صالَ ِت َك‬ ِ ‫س‬ ْ َ ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬,‫سا‬
َ ‫ط َمئِ َّن‬ ْ َ ‫ارفَ ْع َحتَّى ت‬
ً ‫ط َمئِ َّن َجا ِل‬ ْ ‫ ث ُ َّم‬,‫اجدًا‬
ِ ‫س‬
14[14])‫ُك ِل َها (رواه البجارى‬

Arinya: apa bila kamu berdiri untuk shalat, maka sempurnakan wudhu, kemudian

menghadaplah kiblat, kemudian takbirlah, kemudian bacalah ayat yang ringan, kemudian

ruku'lah hingga tuma'nina dalam keadaan ruku', kemudian beririlah hingga i'tidal dalam keadaan

tegak, kemudian sujudlah hingga tuma'ninah dalam sujud, kemudian bangunlah hingga

tuma'ninah dalam keadaan duduk, kemudian sujudlah hingga tuma'ninah dalam sujud, kemudian

kerjakanlah hal tersebut disetiap kali kamu shalat. (HR Buhori)

Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al Qur'an tidak

menjelaskan secara rinci, salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:

Artinya: Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang

ruku' (QS. Al Baqarah (3): 43)15[15]

2. Hadits sebagai bayan takhsis


Bayan takhsis, yaitu menghususkan Al Qur'an, maka yang 'amm kemudian

dikhususkan.16[16] Berfungsi memberikan takhsis (penentuan khusus) ayat-ayat Al Qur'an yang

masih umum. Misalnya perintah mengerjakan shalat, membayar zakat dan menunaikan ibadah

haji di dalam Al Qur'an tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara mendirikan

shalat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan juga tidak dijelaskan cara-cara melakukan ibadah

haji. Tetapi semuanya itu telah diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh

Hadits.

Al Qur'an juga telah mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak dalam surat Al

Maidah ayat 3

Arinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah], daging babi .... (QS. Al Maidah (5):

3)17[17]

Kemudian Hadits mentakhsiskan keharamannya, serta menjelaskan macam-macam bangkai

dan darah yakni dengan sabda Nabi SAW

ُ‫ان ْال َك ِبد‬


ِ ‫ان ْال ُح ْوتُ َو ْال َج َرادُ َواَ َّماالدَّ َم‬ ْ ‫ان فَأ َ َّم‬
ِ َ‫اال َم ْيتَت‬ ِ َ‫ت لَنَا َم ْيتَت‬
ِ ‫ان َودَ َم‬ ْ َّ‫أ ُ ِحل‬
)‫حال (رواه ابن ماجة و حاكم‬ َّ ‫َو‬
َ ‫الط‬
Artinya : “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua

macam bangkai itu ialah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan dua macam darah itu

adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).

3. Hadits sebagai bayan taqyid


Bayan taqyid, ialah membatasi ayat-ayat mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat

tertentu. Sedangkan mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa

adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Sebagai contoh hadis Rasul

SAW berikut:

[18]18)‫مسلم‬ ‫التقطع يد السارق اال في ربع دينار فصاعدا (رواه‬


Artinya: Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai)

seperempat dinar atau lebih. (HR. Muslim)

Hadits ini mentaqyid ayat berikut:

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan

keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.

dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Maidah (5): 38)19[19]

4. Hadits sebagai bayan ta'kid

Bayan ta'kid disebut juga dengan bayan taqrir atau bayan itsbat. Yang di maksud bayan

ta'kid adalah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalam Al Qur'an.20[20] Bayan

al-Ta’kid , yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan al-Qur’an.


Dalam hal ini, Hadits semakna dengan apa yang disampaikan Al-Qur'an, karena masih

dalam tujuan dan sasaran yang sama. Maka dalam keadaan seperti ini, ia berkedudukan sebagai

penguat dan menegaskan apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Sebagai contoh adalah

hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ibnu umar, sebagai berikut:

[21]21)‫مسلم‬ ‫ص ْـو ُم ْوا َو ِإذَا َرأ َ ْيت ُ ُم ْواهُ فَأ َ ْف ِط ُر ْواهُ (رواه‬
ُ َ‫ِإذَا َرأ ْيت ُ ُم ْـواهُ ف‬
Artinya: apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila kalian melihat

(ru'yah) bulan, maka berbukalah. (HR. Muslim).

Hadits ini menta'kid Al Qur'an surat al baqoroh ayat 185

Artinya: …… barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,

maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu ….(QS. Al Baqoroh (2): 185)22[22]

Rasulullah SAW juga bersabda,

‫(رواه‬ َ ‫ث َحتَّى يَت َ َوضَّأ‬


َ َ‫صالَة ُ َم ْن أ َ ْحد‬
َ ‫س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم الَت ُ ْقبَ ُل‬
ُ ‫قَا َل َر‬

[23]23)‫البخارى‬
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum

berwudhu. (HR Buhori)

Hadits di atas menta'kid Al Qur'an surat al maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu

ketika hendak mendirikan shalat. Ayat tersebut adalah:

Ío4qn=¢Á9$# ’n<Î) óOçFôJè% #sŒÎ) (#þqãYtB#uä šúïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ


È,Ïù#t•yJø9$# ’n<Î) öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur öNä3ydqã_ãr (#qè=Å¡øî$$sù
4 Èû÷üt6÷ès3ø9$# ’n<Î) öNà6n=ã_ö‘r&ur öNä3Å™râäã•Î/ (#qßs|¡øB$#ur
)6:5/‫ (المائدة‬........

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka

basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu

sampai dengan kedua mata kaki. ….(QS. Al Maidah (5): 6)24[24]

Abu hamadah menyebutkan bayan ta'kid atau bayan taqrir ini dengan istilah bayan al

muwaffiq lin nash al kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadits itu sealur (sesuai) dengan nash

Al Qur'an.25[25]

5. Hadits sebagai bayan tasyri'

Dasar tasyri (syari'at Islam) tidaklah asing bagi kaum muslimin dan tidak diragukan lagi

bahwa As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam disamping Al-Qur'an dan dia

mempunyai cabang-cabang yang sangat luas, hal ini disebabkan karena Al-Qur'an kebanyakan
hanya mencantumkan kaidah-kaidah yang bersifat umum serta hukum-hukum yang sifatnya

global yang mana penjelasannya didapatkan dalam As-Sunnah An-Nabawiyah.

Dengan demikian maka yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum

atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau hanya terdapat pokok-pokoknya

(ashl) saja26[26]. Hadits Rasulullah SAW berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum

terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam Al Qur'an. beliau menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan

menjelaskan duduk persoalannya.

Oleh karena itu As-Sunnah mesti dijadikan landasan dan rujukan serta diberikan inayah

(perhatian) yang sepantasnya untuk digali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dan

pembahasan tentang sunnah Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam merupakan hal yang sangat

penting dalam pembentukan fikrah islamiyah serta upaya untuk mengenal salah satu mashdar

syari'at Islam, apalagi As-Sunnah sejak dulu selalu menjadi sasaran dari serangan-serangan

firqah yang menyimpang dari manhaj yang haq, yang bertujuan untuk memalingkan ummat

Islam dari manhaj Nabawi dan menjadikan mereka ragu terhadap As-Sunnah.

Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang

zakat fitrah penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan

bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum

tentang hak waris bagi seorang anak.27[27]


Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:

‫عا ِم ْن ت َ ْم ٍر‬ً ‫صا‬


َ ‫اس‬ِ َّ‫علَى الن‬ َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬
َ َ‫ضان‬ ْ ‫ض زَ َكاة َ ْال ِف‬ َ ‫س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليهوسلم فَ َر‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
ْ ‫علَى ُك ِل ُح ٍر أ َ ْو َع ْب ٍد ذَ َك ٍر أ َ ْو أ ُ ْنثَى ِمنَ ْال ُم‬
[28]28)‫س ِل ِميْنَ (رواه مسلم‬ َ ‫عا ِم ْن‬
َ ‫ش ِعي ٍْر‬ َ ‫أ َ ْو‬
ً ‫صا‬
Arinya: bahwasannya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan atas

manusia, satu sho' berupa kurma atau satu sho' berupa gandum kepada setiap orang merdeka,

hamba baik laki-laki maupun perempuan yang Islam. (HR Muslim)

Hadits tersebut di atas merupakan bayan at tasyri', wajib diamalkan, sebagaimana

mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu Qoyyim berkata, bahwa hadits-hadits Rasulullah SAW

yang berupa tambahan terhadap Al Qur'an harus di ta'ati dan tidak boleh ditolak atau

mengingkarinya. Ini bukan sikap Rasulullah mendahului Al Qur'an, melainkan semata-mata

karena perintah.

C. Kesimpulan

Hadits merupakan hujah dasar bagi setiap muslim setelah Al Qur'an, maka menta'aati

Hadits merupakan kewajiban sebagai mana mengikuti Al Qur'an yang menjadi pedoman hidup

manusia.

Sedangkan fungsi hadits adalah

1. Sebagai bayan tafsil

Adalah sebagai perinci atau penjelas ayat Al Qur'an yang sifatnya masih mujmal.

2. Sebagai bayan takhsis

Adalah sebagai penghususan terhadap ayat-ayat yang masih 'am.

3. Sebagai bayan taqyid


Adalah membatasi ayat-ayat yang mutlak dengan keadaan, sifat dan waktu-waktu tertentu.

4. Sebagai bayan ta'kid

Atau disebut juga bayan taqrir adalah untuk menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan

dalam Al Qur'an.

5. Sebagai bayan tasyri'

Adalah untuk menyebutkan suatu hukum yang tidak terdapat dalam Al Qur'an.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman ibn Abu Abakar Asy Syuyuthi, Imam Jalaluddin. 2004. Al-Jami' Al Shoghir,
Bairut, Daar Al Fikr

Ahmad bin Hambal, Abu Abdillah. t.t. Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: Al Maktab Al Islami

Departemen Agama Republik Indonesia. 1992. Al Qur'an Dan Terjemahnya, Semarang: PT


Tanjung Mas Inti

Ibnu Hajar Al 'Asqolani, Al Hafidz. t.t. Bulughul Marom min Adlatil Akhkam, Jakarta: Daar Al
Kutub Al Islamiyah

Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al Qur'an dan Hadits, Yogyakarta: Teras

Sulaiman , M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung Persada Press

Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits, Jakarta: PT Grafindo Persada

A. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum
Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum
Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan
saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah
cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum
Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-
Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:[1]

1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).

2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)

3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,
An-Nisa: 115).

4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)
suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam
Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber
hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal,
seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-
ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang
menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna),
muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan
Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan
kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran
yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada
As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata;

‫إذا وجدتم في كتابي خالف سنة رسول هللا ص م فقولوا بسنة رسول هللا ص م ودعوا ما قلت‬

“apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah
Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang
telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama
harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan
apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan
apabila dalam akan Asy-Syafi’I ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.[2]
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat
dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli;

1. Dalil Al-Qur’an[3]

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima
segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya
adalah;

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi;

Artinya:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan
kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mu’min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-
rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

Artinya;

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya.”(QS:An-Nisa:136). [4]

Dalam kedua ayat di atas telah jelas bahwa kita sebagai umat Islam harus beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), Al-Qur’ann, dan kitab yang diturunkan
sebelumya. Dan pada akhir ayat Allah mengancam kepada siapa saja yang mengingkari
seruannya.

Selain Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw.
Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang
dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh
kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.

Perhatikan firman Allahh Swt. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

Artinya:
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS:Ali Imran : 32).

Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).

Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:

Artinya:

“Katakanlah: “Ta’at kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan
jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain
kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”.(An-
Nur:54).[5]

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari
beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi
dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita
durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.

Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan
larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan
umat Islam.

2. Dalil Al-Hadits[6]
Dalam salah satu upesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan
kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai
pedoman utamanya, adalah sabdanya:

‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة رسوله‬

(‫)رواه الحاكم‬

Artinya;

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Hakim)

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup
setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang
berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

3. Kesepakatan Ulama (Ijma’)[7]

Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan
sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-
masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai


sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini;

1. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya
saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.

2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan
menciummu.”

3. Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar
dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah Swt telah mengutus Nabi
Muhammad Saw kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya
kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan,


dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa
yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)[8]

Kerasulan Muhammad Saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari
Allah Swt, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan
bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil
ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil
ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum
dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an.
Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni,
kecuali hadits mutawatir.

B. HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN[9]


Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-
Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar-Risalah adalah sebagai
berikut :

1. Bayan At- Taqrir,

Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan
bayan taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan
Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi:

‫فإذا رأيتموه فصومواوإذارأيتموه فأفطروا‬

(ِApabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka
berbukalah) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

2. Bayan At-Tafsir,

Yang disebut dengan bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal
dan musytarak. Seperti hadits :

(‫صلو كما رأيتموني أصلي )رواه البخاري ومسلم‬


(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada
ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :

‫أقيمواالصالة‬
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits:

‫خذواعني مناسككم‬
(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an;

‫وأتموالحج‬

( Dan sempurnakanlah haji ).

3. Bayan At-Tasyri’

Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam Al’Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-
Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang
tidak ada dalam Al-Qur’an.
Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-
hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang
berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan
tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam.

Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang
berbunyi;

‫إن رسول هللا صلي هللا عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي النا س صاعا من تمرأوصاعا‬
‫من شعيرعلي كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين‬
Artinya:

“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam
Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan.”

Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits
yang lainnya.

4. Bayan An-Nasakh

Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan),
atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh
ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya
kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir
dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.

Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits;

‫ال وصية لوارث‬


Yang artinya; “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:

Artinya:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-
Baqarah:180)[10]

C. TIDAK BOLEH MENUNDUKKAN HADITS KE BAWAH MAZHAB[11]


1. Tidaklah boleh kita mengembalikan hadits kepada mazhab secara yang menghilangkan
keindahan hadits tersebut. Karena yang demikian adalah memerendahkan kedudukan hadits.
Perkataan para ulama ada yang diambil dan ada juga yang ditolak, terkecuali hadits nabi
yang shohih maka semuanya tidak boleh sekali-kali ditolak.

2. Tidak boleh bertasahhub dengan jalan mencari berbagai macam alasan untuk membela
mazhab. Abu Ishaq Asy Syatiibi mengatakan bahwa segala yang diamalkan oleh ahli
tasawwuf yang mu’tabar dalam bidang tasawwuf seperti halnya Al-Junaidi tidaklah sunyi
dari hal-hal berikut;

a) Adakalanya yang diamalkan itu sesuatu yang mempunyai dasar dalam Syari’at, maka
dalam hal ini kita dapat mengikuti mereka.

b) Adakalanya tidak mempunyai dasar dalam syari’at, kalau demikian, kita tidak boleh
mengamalkannya, karena Shohibus Sunnah adalah orang yang terpelihara dari salah
sedangkan orang tasawwuf itu tidaklah demikian.

Karenanya para ulama semuanya mengatakan;

‫كل قول مأخوذ ومتروك إال قول رسول هللا ص م‬


“Tiap-tiap perkataan ada diantaranya yang diambil dan ada yang ditinggalkan, terkecuali
perkataan Rasul Saw.”

D. PERBEDAAN PENDAPAT DALAM SUATU HUKUM [12]

Hukum fiqih belumlah dibukukan di zaman Rasul Saw. Usaha membahas pada masa itu,
belumlah sebagai usaha pembahasan seperti yang dilakukan para fuqoha.

Nabi Saw sholat, para shohabat melihatnya,lalu mereka pun sholat seperti apa yang dilihat
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dan juga seperti haji, umroh, dan segala macam aspek
ibadat yang dilakukan oleh nabi mereka tiru sebagaimana Rasululah mengerjakannya. Maka
oleh sebab itu dari berbagai versi shohabat melihat kelakuan nabi dalam mengerja ibadat
maka hasillah bermacam-macam cara dalam mengerjakan sebuah ibadat dan terjadi
perbedaan dalam menentukan sebuah hukum.

Perbedaan pendapat itu ada beberapa macam:

a. Karena seseorang shahabat mendengar putusan Rasul dalam suatu perkara, atau
mendengar sesuatu fatwa, sedangkan putusan atau fatwa tersebut tidak didengar oleh
shahabi lain. Karenanya shohabi lain itu harus berijtihad dalam mengahadapi perkara
tersebut.

Ijtihad mereka terdiri dari beberapa macam:

1. Ijtihadnya itu sesuai dengan hadits.


2. Terjadi munadharoh (diskusi) antara dua orang dan diperoleh hadits yang menimbulkan
sangka kuat Nabi Saw telah menyabdakan hal itu, lalu kembalilah ijtihadnya kepada hadits
tersebut.

3. Sampai hadits kepada seseorang shahabi tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan
persangkaan kuat bahwa Nabi pernah menyabdakan hal tersebut.

4. Sama sekali tidak sampai hadits kepada seorang shahabi.

b. Berselisih lantaran lupa

c. Perselisihaan karena berbeda lafadz yang diingat.

d. Perselisihan pendapat tentang menanggapi ‘illat hukum.

e. Perselisihan karena berbeda pendapat dalam mempertemukan dua hadits yang


bertentangan.[13]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan
pokok sebagai berikut:

1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut
istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang
disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).

2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga
menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.

4. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi


seperti; Bayan At-Taqrir, Bayan At-Tafsir, Bayan At-Tasyri’, dan Bayan An-Nasakh.

3. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum,
hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam
bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak
menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.

Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
B. Saran

Betapa mulianya As-Sunnah yang mempunyai kedudukan kedua menentukan hukum setelah
Al-Qur’an, maka dari itu kita harus berpegang teguh kepada kedua hal ini agar kita selamat
dalam dunia dan akhirat seperti hadits Nabi Saw:

‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما‬


‫كتاب هللا وسنة رسوله‬
(‫)رواه الحاكم‬
DAFTAR PUSTAKA

Mudasir, 1999, ILMU HADIS, CV.PUSTAKA SETIA, Bandung.

Ash Shiddieqy,1976, POKOK POKOK ILMU DIRAYAH HADITS (JILID II), Bulan
Bintang, Jakarta.

1. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-
Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi
mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh
dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan
yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran
dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah
sebagai berikut:

1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33,
an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-
Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang
tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai
sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum
Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat,
kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal
ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci
justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif)
dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah
barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam
kembali kepada As-sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata;

‫إذا وجدتم في كتابي خالف سنة رسول هللا ص م فقولوا بسنة رسول هللا ص م ودعوا ما قلت‬

“apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah
Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku
katakan.”

Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama
harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa
yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila
dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.Tetapi Tidak semua
perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti
perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.Untuk mengetahui sejauh mana
kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam
bentuk naqli ataupun aqli.

2. HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR'AN


Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas dari pada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-
Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar-Risalah adalah sebagai
berikut :

1. Bayan At- Taqrir

Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan
bayan taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-
Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi:

‫فإذا رأيتموه فصومواوإذارأيتموه فأفطروا‬

(Apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka
berbukalah) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

2. Bayan At-Tafsir,

Yang disebut dengan bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum,
mujmal dan musytarak. Seperti hadits :

(‫صلو كما رأيتموني أصلي (رواه البخاري ومسلم‬

(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat
Al-Qur’an yang umum, yaitu :

‫أقيمواالصالة‬

(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits:

‫خذواعني مناسككم‬

(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an;

‫وأتموالحج‬

( Dan sempurnakanlah haji ).

3. Bayan At-Tasyri’

Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam Al’Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab
Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada
dalam Al-Qur’an. Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana
dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah
Saw itu yang berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati
dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam. Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini
adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi:

‫إن رسول هللا صلي هللا عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي النا س صاعا من تمرأوصاعا من شعيرعلي كل‬
‫حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين‬

Artinya:“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam
Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempuan.”

Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang
lainnya.

4. Bayan An-Nasakh

Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah


(menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan
bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada,
karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-
hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya. Salah satu
contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits:

‫ال وصية لوارث‬

Yang artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180).

TIDAK BOLEH MENUNDUKKAN HADIST KE BAWAH MAZHAB


A. Tidaklah boleh kita mengembalikan hadits kepada mazhab secara yang menghilangkan
keindahan hadits tersebut. Karena yang demikian adalah memerendahkan kedudukan hadits.
Perkataan para ulama ada yang diambil dan ada juga yang ditolak, terkecuali hadits nabi yang
shohih maka semuanya tidak boleh sekali-kali ditolak.
B. Tidak boleh bertasahhub dengan jalan mencari berbagai macam alasan untuk membela mazhab.
Abu Ishaq Asy Syatiibi mengatakan bahwa segala yang diamalkan oleh ahli tasawwuf yang
mu’tabar dalam bidang tasawwuf seperti halnya Al-Junaidi tidaklah sunyi dari hal-hal berikut:
a) Adakalanya yang diamalkan itu sesuatu yang mempunyai dasar dalam Syari’at, maka dalam
hal ini kita dapat mengikuti mereka.

b) Adakalanya tidak mempunyai dasar dalam syari’at, kalau demikian, kita tidak boleh
mengamalkannya, karena Shohibus Sunnah adalah orang yang terpelihara dari salah sedangkan
orang tasawwuf itu tidaklah demikian.

Karenanya para ulama semuanya mengatakan:

‫كل قول مأخوذ ومتروك إال قول رسول هللا ص م‬

“Tiap-tiap perkataan ada diantaranya yang diambil dan ada yang ditinggalkan, terkecuali
perkataan Rasul Saw.”

2. HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM


Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang
tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih
paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian
banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa
lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan
sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan
penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber
dari Allah SWT. Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi
jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya,
dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu
tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:

َ‫اس َما نُ ِز َل إِلَي ِْه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَفَك َُّرون‬


ِ ‫الذك َْر ِلتُبَيِنَ ِلل َّن‬ َ َ ‫الزبُ ِر ۗ َوأ‬
ِ َ‫نز ْلنَا إِلَ ْيك‬ ِ ‫بِا ْلبَيِ َنا‬
ُّ ‫ت َو‬
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-
Nahl: 44).

Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara
umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan:

ِ ‫َما فَ َّر ْط َنا فِي ا ْل ِكتَا‬


َ‫ب ِم ْن ش َْيءٍ ۚ ث ُ َّم إِلَ ٰى َربِ ِه ْم يُحْ ش َُرون‬

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)

Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik
tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya
adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena
menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.Seperti dalam soal
haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah
yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an
yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya
sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah
menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja). Dalam kasus-kasus persoalan
lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat
sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global.
Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM SUATU HUKUM

Hukum fiqih belumlah dibukukan di zaman Rasul Saw. Usaha membahas pada masa itu,
belumlah sebagai usaha pembahasan seperti yang dilakukan para fuqoha. Nabi Saw sholat, para
shohabat melihatnya,lalu mereka pun sholat seperti apa yang dilihat dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Dan juga seperti haji, umroh, dan segala macam aspek ibadat yang dilakukan oleh nabi
mereka tiru sebagaimana Rasululah mengerjakannya. Maka oleh sebab itu dari berbagai versi
shohabat melihat kelakuan nabi dalam mengerja ibadat maka hasillah bermacam-macam cara
dalam mengerjakan sebuah ibadat dan terjadi perbedaan dalam menentukan sebuah hukum.
Perbedaan pendapat itu ada beberapa macam:

A. Karena seseorang shahabat mendengar putusan Rasul dalam suatu perkara, atau mendengar
sesuatu fatwa, sedangkan putusan atau fatwa tersebut tidak didengar oleh shahabi lain.
Karenanya shohabi lain itu harus berijtihad dalam mengahadapi perkara tersebut. Ijtihad mereka
terdiri dari beberapa macam:
a). Ijtihadnya itu sesuai dengan hadits.

b). Terjadi munadharoh (diskusi) antara dua orang dan diperoleh hadits yang menimbulkan
sangka kuat Nabi Saw telah menyabdakan hal itu, lalu kembalilah ijtihadnya kepada hadits
tersebut.

c). Sampai hadits kepada seseorang shahabi tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan
persangkaan kuat bahwa Nabi pernah menyabdakan hal tersebut.

d). Sama sekali tidak sampai hadits kepada seorang shahabi.

B. Berselisih lantaran lupa


C. Perselisihaan karena berbeda lafadz yang diingat.
D. Perselisihan pendapat tentang menanggapi ‘illat hukum.
E. Perselisihan karena berbeda pendapat dalam mempertemukan dua hadits yang bertentangan.

3. NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN HADIST


Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya
wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga
diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang
betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam
kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi
wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram
bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi
Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini
bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:

A. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya


Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah
pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan.
Contohnya antara lain:
a. Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus
sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau,
sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b. Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya
justru diharamkan bila melakukannya.
B. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
a. Shalat Dhuha
Shalat dhuha yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
b. Qiyamullail
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi
kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
c. Bersiwak
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya
hanya Sunnah saja.
d. Bermusyawarah
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
e. Menyembelih kurban (udhhiyah)
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
C. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
a. Menerima harta zakat
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga
hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
b. Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang
dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk
membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai
dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad
SAW.
c. Haram menikahi wanita ahlulkitab
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi
beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.Sedangkan bagi umatnya
dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam
Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3. Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan
Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti.
Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar,
sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan
sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana
bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar
Islam sekalipun.Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara
memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah
Nabi SAW.
4. DALIL-DALIL YANG MENJELASKAN TENTANG HADIST SEBAGAI SUMBER
HUKUM ISLAM

A. Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima
segala yang datang daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya
adalah:

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi:

َّ َّ‫ب َو ٰلَ ِكن‬


ِ ِ‫ٱَّللَ يَجْ تَب‬
‫ىمن‬ َ ‫ٱَّللُ ِليُ ْط ِلعَ ُك ْم‬
ِ ‫ع َلى ٱ ْلغَ ْي‬ ِ ِ‫يث ِمنَ ٱل َّطي‬
َّ َ‫ب ۗ َو َما َكان‬ َ ِ‫يز ٱ ْل َخب‬ َ ‫علَ ٰى َما ٓ أَنت ُ ْم‬
َ ‫علَ ْي ِه َحتَّ ٰى يَ ِم‬ َ َ‫ٱَّللُ ِليَذَ َر ٱ ْل ُمؤْ ِمنِين‬
َّ َ‫َّما كَان‬
۟ ُ‫وا َوتَتَّق‬
‫وا فَلَ ُك ْم أَجْ ٌر ع َِظي ٌم‬ ۟ ُ‫س ِل ِۦه ۚ َوإِن ت ُؤْ ِمن‬ُ ‫ٱَّللِ َو ُر‬ ۟ ُ‫امن‬
َّ ِ‫وا ب‬ ِ َٔ‫شا ٓ ُء ۖ فَـ‬
َ َ‫س ِل ِۦه َمن ي‬
ُ ‫ُّر‬
Artinya:“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan
kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min).
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah
kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala
yang besar.” (QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

َّ ‫ب الَّذِي أ َ ْن َز َل ِم ْن قَ ْب ُل ۚ َو َم ْن يَ ْكفُ ْر ِب‬


‫اَّللِ َو َم َالئِ َكتِ ِه‬ ِ ‫سو ِل ِه َوا ْل ِكتَا‬
ُ ‫علَ ٰى َر‬
َ ‫ب الَّذِي نَ َّز َل‬ِ ‫سو ِل ِه َوا ْل ِكتَا‬ َّ ‫آمنُوا ِب‬
ُ ‫اَّللِ َو َر‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬
‫ض َّل ض ََال اال بَ ِعيداا‬َ ‫س ِل ِه َوا ْليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر َفقَ ْد‬
ُ ‫َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر‬

Artinya;“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).

Dalam kedua ayat di atas telah jelas bahwa kita sebagai umat Islam harus beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumya.
Dan pada akhir ayat Allah mengancam kepada siapa saja yang mengingkari seruannya.Selain
Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga
memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya.
Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah
Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan seruan ini. Firman Allah Swt. Dalam surat
Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

َ‫ب ٱ ْل ٰ َك ِف ِرين‬ َّ َّ‫سو َل ۖ فَ ِإن تَ َو َّل ْو ۟ا فَ ِإن‬


ُّ ‫ٱَّللَ َال يُ ِح‬ ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫ٱَّللَ َو‬
َّ ‫وا‬۟ ُ‫قُ ْل أ َ ِطيع‬

Artinya:“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS:Ali Imran : 32).

Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:

‫سو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬


ُ ‫الر‬
َّ ‫َّللاِ َو‬ َ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَ ِإ ْن ت َ َن‬
َّ ‫از ْعت ُ ْم فِي ش َْيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإ َلى‬ َّ ‫َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
‫سنُ تَأ ْ ِو ا‬
‫يال‬ َ ْ‫اَّللِ َوا ْل َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ ٰذَ ِلكَ َخي ٌْر َوأَح‬
َّ ‫ت ُؤْ ِمنُونَ ِب‬
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-
Nisa : 59).

Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:

‫سو ِل إِ َّال‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم َما ُح ِم ْلت ُ ْم ۖ َوإِ ْن ت ُِطيعُوهُ ت َ ْهتَدُوا ۚ َو َما‬


َّ ‫علَى‬
ُ ‫الر‬ َ ‫سو َل ۖ فَ ِإ ْن ت َ َولَّ ْوا فَ ِإنَّ َما‬
َ ‫علَ ْي ِه َما ُح ِم َل َو‬ َّ ‫َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫قُ ْل أ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫ا ْلبَ َال‬
‫غ ا ْل ُم ِبي‬

Artinya:“Katakanlah: “Ta’at kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban
kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan amanat dengan tenang”.(An-Nur:54).

A. Dalil Hadist
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan
kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai
pedoman utamanya, adalah:

(‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة رسوله)رواه الحاكم‬
Artinya:“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selama-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
sunnahrasul-Nya.”(HR.Hakim).

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup
setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan
dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

B. Kesepakatan Ulama (Ijma’)


Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak
jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa
selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.Banyak peristiwa menunjukkan adanya
kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah
peristiwa dibawah ini:
1. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya
takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.

2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan
menciummu.”

3. Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam
Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah Swt telah mengutus Nabi Muhammad Saw
kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat
sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan,


dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang
dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

C. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)


Kerasulan Muhammad Saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah
Swt, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan
bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad ini
tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya.Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam
yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS DALAM AGAMA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini29[1] sebagai pemelihara kelangsungan
mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah membuat sebuah undang-undang
yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi
perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan, hanya saja, berwujud
teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna akan
eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi untuk menyampaikannya, sekaligus
menyampaikan risalah yang ia emban. Dari sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang
namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan dalih kembali pada ajaran
islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih
mengesampingkan peranan al Hadits, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat,
dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an dalam melahirkan
hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak mungkin umat Islam
memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Qur’an saja, melainkan harus
diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum
Islam yang mayoritas ulama’ mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga,
seluruh halayak Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan mempunyai
aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik peribadatannya kelak.
Di sisi lain Imam Syafi’I telah “menanamkan fondasi efistemologis yang sangaty menghujam
ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa
ketika “sebuah hadits telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”30[2] Berawal dari konteks ini
ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Hukum Islam?
2. Bagaimana Fungsi Hadits terhadap Al-Quran?
3. Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Masalah yang tidak ada dalam Al-Quran?
BAB II
KEDUDUDUKAN HADITS DALAM AGAMA ISLAM

A. Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam

Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat
Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti
Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun
yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu
pula halnya menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan
Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa
terpisahkan atau berjalan dengan sendiri31[3].
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas
perundang-undan(gan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-
Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”32[4]
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam
dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan
penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok
ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab
suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”33[5].
Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al-
Qur’an…merupakan hukum yang berdiri sendiri.”34[6]
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-
Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan
dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu,
keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di antara ayat-ayat yang
menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah firman Allah dalam
Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
َّ ‫ع‬
)80( … َ‫َّللا‬ َ َ ‫سو َل فَقَدْ أ‬
َ ‫طا‬ َّ ِ‫َم ْن ي ُِطع‬
ُ ‫الر‬
“Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”35[7]
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum
didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr :: 7
‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا‬ َّ ‫َو َما آَت َا ُك ُم‬
ُ ‫الر‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah…” 36[8]

Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :


… ‫سو ِل‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫َّللاِ َو‬ َ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم َفإ ِ ْن ت َنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬ َّ ‫َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”37[9]
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman
pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada Hadits
Rasulullah Saw.

B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an


Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahsan yang lalu, bahwa Al-Qur’an merupakan
dasar syariat yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya monoton menggunakan
dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan banyak sekali masalah
yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan.
Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk
mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali solat dilaksanakan dalam sehari semalam,
lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. ;orang yang hanya berpegang
pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja
yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan
lain-lain.
Maka, disinilah urgensitas hadits, yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan penjelas
dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara
utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting hadits terhadap
Al-Qur’an, yaitu :
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an.
Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam
Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 yang artinya
“Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan!
Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami:
“Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2)
Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya
bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”38[10] dan seterusnya (Riwayat Bukhari -
Muslim).
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan
Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan
sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah
raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan
jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil
(diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-
Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-
sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan
macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai,
dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai
belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-
aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-
aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi
seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang
mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang
wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya39[11].” (H.R. Bukhari - Muslim).

Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadist rasul merupakan sumber dan dasar hukum
islam setelah al-qur`an, dan umat islam di wajibkan mengikuti sunnah sebagai mana di wajibkan
mengikuti Al-qur`an dan hadis.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber syariat islam yang tetap,orang islam tidak
mungkin memahami syari`at islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua
sumber tersebut yaitu al-qur`an dan hadist.

C. Fungsi Hadits dalam Menetapkan Masalah yang Belum Dijelaskan oleh Al-Qur`an.
. .
Kedudukan Hadits dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur`an
menunjukan bahwa Hadits merupakan sumber hukum Islam .
Karena dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang
beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah Saw,
serta mengancam orang yang menyelisinya.
Hukum yang merupakan produk hadits/sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an banyak
sekali. Seperti larangan Rasulullah tantang haram memakai sutra bagi laki-laki :
...... ‫ حر م لبا س الحر ير و الذ هب علي ذ كو ر‬....

...Telah diharamkan memamakai sutra dan emas pada orang laki-laki dari ummatku...40[12]
,larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang
berkuku tajam, haram memakai cincin emas danlain sebagainya, oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi
dijelaskan “jadilah Hadits sebagai rujukan hukum yang tiada pernah habis-habisnya pada
pembahasan fiqih”41[13]
Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab kedudukannya
sebagai penguat dan penjelas, namun Hadits juga dalam menetapkan hukum berdiri sendiri,
sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan Al-Qur’an, seperti memberikan
warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan seperenam dari
harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya)42[14]
Den gan demikian fungsi Hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Hadits merupakan berbagai hal yang telah diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang
harus dijadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam
2. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat dan memperjelas apa-apa yang ada di
dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global (mu’mal).
3. Hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat
B. Kata Penutup

Demikianlah Makalah ini disusun dengan segala usaha maksimal penulis, besar
harapan kami dapat memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah studi Hadits pada program Pasca
Sarjana di IAIN Sulthan Thaha saifuddin Jambi. Namun penulis menyadari masih belum
sempurna dan harapan penulis saran dan masukan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Syauki, Lintasan Sejarah Al-Qur’an Bandung: Sulita, 1985

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam Jakarta: Bulan Bintang,1989

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Jakarta: Departemen Agama RI, 2008
Munzier Saputra,ilmu HadisJakarta PT RajaGrafindo Persada:1993.

Salim Bahreisy, Terjemah Riadhush Shalihin II, Bandung:Alma’arif, 1987

Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996

Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’ dan Peraktik Madina,Jokjakarta:Islamika,
2003

Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, Bandung: Pustaka Setia,2007

Hadits Adalah Sumber Hukum Islam Kedua


Ditegaskan dalam Al-Qur`an: "Barang siapa mentaati Rosul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah
menta`ati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu, maka (ketahuilah) Kami tidak
mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi

.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami
oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara
melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu
bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir,
bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan
lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan
bayanal-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid,
bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish.43[7] Untuk lebih jelas berikut akan
diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud
dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-
Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh
hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut:

ُ َ‫فَإِذَا َرأَيْـت ُ ُم ْال ِهالَ َل ف‬


)‫ص ْو ُم ْوا َوإِذَا َرأَيْـت ُ ُم ْوهُ فَأ َ ْف ِط ُر ْوا (رواه مسلم‬
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR.
Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]:
185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-
muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan
nas al-Qur’an.44[8]
2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang
memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan
‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap
ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
a. Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global)
Sebagai contoh hadis berikut:

َ ُ ‫صلُّ ْوا َك َما َرا َ ْيت ُ ُم ْونِي أ‬


)‫ص ِل ْي (رواه البخارى‬ َ
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak
menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)
b. Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya,
dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq artinya
membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh
hadis Rasul SAW berikut:

)‫التقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم‬


“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR.
Muslim)
Hadith di atas men-taqyid ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 38)
c. Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak.
Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal.
Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga
tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda
pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal,
keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash,
sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya.45[9] Sebagai contoh:

‫اليرث القتل من المقتول شيأ‬


“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
3. Bayan at-tasyri’
Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Bayan ini oleh
Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id ‘ala al-kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash
al-Qur’an).
Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang
penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya),
hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak
waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:

‫صاعاا ِم ْن‬ ِ َّ‫علَى الن‬


َ ‫اس‬ َ ‫ان‬ َ ‫ض‬ َ ‫ض َزكَاةَ ا ْل ِف ْط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ‫سلَّ َم فَ َر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
ْ ‫ع ْب ٍد ذَك ٍَر أ َ ْو أ ُ ْنثَى ِم ْن ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ِم‬
‫ين‬ َ ‫علَى ك ُِل ُح ٍر أ َ ْو‬ َ ‫ير‬
ٍ ‫ش ِع‬ َ ‫صاعاا ِم ْن‬َ ‫ت َ ْم ٍر أ َ ْو‬
“Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’)
kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap
al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau
mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-
mata karena perintah-Nya. 46[10]
4. Bayan al-Nasakh
Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang
mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan
ada yang juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil
(memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak
yang melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil
syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa
keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat sayari’at) menurunkan ayat
tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).47[11]
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an juga
berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini
mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith, meskipun
dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan
Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadith tersebut harus
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadith masyhur, tanpa harus
dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari Abu
Umamah al-Bahili, yang berbunyi:

)‫إن هللا قد اعطى كل ذي حق حقه فال وصية لوارث (رواه أحمد واْلربعة االالنسائ‬
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang hak(masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi
ahli waris.” (HR. Ahmad dan al arba’ah, kecuali An-Nasaai’i)
Hadis di atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini menurut mereka
menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf....”
Keawajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah
ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadith yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris
tidak boleh dilakukan wasiat. 48[12]
III. KEMANDIRIAN SUNNAH DALAM MENETAPKAN HUKUM
Imam syafi`i berpendapat mengenai kedudukan sunnah: pertama, yang diturunkan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur`an sebagai sesuatu nash, maka Rasulullah SAW melaksanakannya
sebagaiman isi nash tersebut; kedua, yang diturunkan Allah SWT didalam Al-Qur`an secara
keseluruhan, maka Rasulullah SAW menjelaskan maksud sebenarnya yang terkandung dalam
firman Allah tersebut; ketiga; sesuatu yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW tentang hal-
hal yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur`an.
Untuk kategori yang disebutkan pertama dan kedua, para ulama sepakat untuk
menerimanya, namun mereka berselisih untuk kategori yang ketiga, yaitu yang menyangkut
kemandirian sunnah dalam menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an.
Sehingga para ulama yang menanggapi masalah ini menjadi dua kelompok. Pertama, ulama
menyetujui semua fungsi hadis seperti yang sudah disampaikan Imam Syafi’i. Kedua, ulama
yang tidak menyetujui adanya kewenangan hadis dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada
nash Al-Qur’an.
Untuk kelompok yang kedua berpendapat bahwa sunnah pada dasarnya berfungsi sebagai
penjelas (mubayyin) terhadap Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-
Nahl[16]: 44 sebagaima yang telah disampaikan pada pembahasan fungsi hadis terhadap Al-
Qur’an.
Sementara itu, untuk kelompok yang pertama berpandangan bahwa sunnah mempunyai
kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an
berargumentasi untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW sebagaimana yang telah
diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Seperti dalam QS. Al-Nisa’[4]: 80 Allah
berfirman; “Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati
Allah.”49[13]
Disisi lain ada yang mengatakan : Al-Qur’an telah menunjuk kepada setiap apa yang
disebutkan dalam Hadis, baik secara global maupun terperinci. Tapi perlu diingat bahwa
Rasulullah SAW sama sekali tidak menetapkan satu sunnah pun yang tidak terkait dengan
pokoknya yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan ketaatan
kepad Rasulullah SAW dan mengingatkan orang yang menyalahinya. Dalam hal ini, tidak
dibedakan antara apa yang diterangkan Nabi dari Al-Qur’an dan apa yang beliau perintahkan
dalam sunnah beliau sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Allah berfirman dalam QS. An-Nur:
63; “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan tertimpa cobaan
atau terkena adzab yang pedih”. Melalui firman Allah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
Allah menerima kekhususan kepada Nabi SAW sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak
boleh didurhakai. Sesuatu itu adalah sunnahnya yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-
Qur’an.
Serupa dengan hal ini apa yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin, agar
mengembalikan pertikaian kepada Allah dan Rasulnya: Jika kalian berlainan tentang sesuatu,
maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian memang benar-
benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (An-Nisa’:59). Mengembalikan kepada Allah
artinya kembali kepada al-Qur’an. Sedangkan kembali kepada Rasul, tidak lain artinya kecuali
kembali kepada sunnah, sesudah beliau wafat.
Tak seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa yang dibawa
oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena, al-Qur’anlah yang menunjukkan
kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban
mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum dan Hadis lebih khusus. Yang lebih
umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah meliputi yang lebih khusus. Kesesuaian apa pun
yang ada di antara al-Qur’an dan Hadis pada pokok-pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun
kemandirian Hadis menetapkan hukum-hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok-
pokok tersebut. Sebab, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai
penuntun, dan petunjuk kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang mengharap
pahala Allah dan keselamatan pada Hari Kemudian.
Sejak dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa: “Al-Qur’an
menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga menyisihkan satu tempat
buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita menyimak firman Allah: Barang siapa
menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (An-Nisa’:80)50[14]
IV. PERBANDINGAN ANTARA HADIS NABAWI, HADIS QUDSI, DAN AL-QUR’AN
1. Hadis Qudsi
Hadis Qudsi ialah hadis yang Rasulullah sandarkan kepada Allah SWT. Menurut
kebanyakan ulama`, sebagaimana pendapat Abul Baqa` Al `Ukbari dalam kulliatnya halaman
288 yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan
ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka
ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan
jalan ilham atau mimpi.51[15]
Disebut hadith, karena redaksinya disusun dari Nabi SAW sendiri, dan disebut qudsi
karena Hadith ini suci dan bersih (Ath-thaharah wa al-tanzih) dan datangnya dari zat yang Maha
Suci yaitu Allah Rabb al-‘Alamin. Sehingga ada yang menyebut Hadith Ilahiyah atau
Rabbiyah.52[16]
2. Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Hadis Nabawi maupun Hadis Qudsi memiliki kesamaan, yaitu pada dasarnya keduanya
bersumber dari wahyu Allah SWT. Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat an-
Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi:
“(3) Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya (4) ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Selain itu redaksi keduanya baik hadits nabawi maupun hadith qudsi disusun oleh Nabi
SAW. Jadi yang tertulis itu semata-mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri.
Adapun yang membedakan antara Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi adalah; pertama, dari
sudut sandarannya hadith nabawi disandarkan kepada Nabi SAW, sedangkan hadis qudsi
disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SAW. Dengan demikian maka dalam
mengidentifikasinya, pada hadis qudsi terdapat kataa-kata seperti:

‫ فيما يرويه عن ربه‬. ‫ م‬. ‫قال رسول هللا ص‬


“Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhan-Nya.”
Atau kata-kata:

‫ قال هللا عزوجل‬. ‫ م‬. ‫قال رسول هللا ص‬


“Rasul SAW telah bersabda, Allah SWT berfirman.”
Kedua, dari sudut nisbahnya hadith nabawi dinisbahkan kepada Nabi SAW baik redaksi
maupun maknanya. Sedangakan hadith qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah SAW dan
redaksinya kepada Nabi.
Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah hadis qudsi jauh lebih sedikit daripada hadis
nabawi.
3. Perbandingan antara Hadis qudsi dengan al-Qur’an
Hadis qudsi dengan Al-Qur’an keduanya memiliki persamaan bahwa sama-sama
bersumber atau datang dari Allah SWT. Maka dalam periwayatkan atau penyampaian keduanya
sama-sama memakai ungkapan, seperti ‫ قال هللا عزوجل‬.
Adapaun perbedaan antara Hadis Qudsi dengan al-Qur’an; pertama, al-Qur’an
merupakan Mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadith qudsi bukan.
Kedua, al-Qur’an redaksi dan maknanyalangsung dari Allah SWT sedangkan hadith
qudsi bukan.
Ketiga, dalam salat al-Qur’an merupakan bacaan yang diwajibkan sehingga tidak sah
salat seorang kecuali dengan bacaan al-Qur’an. Hal ini tidak berlaku pada hadis qudsi.
Keempat, menolak al-Qur’an merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan penolakan
hadis qudsi.
Kelima, al-Qur’an diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril sedangkan hadis qudsi
diberikan langsung baik melalui ilham maupun mimpi.
Keenam, perlakuan atau sikap seseorang terhadap al-Qur’an diatur oleh beberapa aturan,
seperti keharusan bersuci dari hadats ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh
menyalin ke dalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini tidak berlaku pad hadis
qudsi.53[17]
Berikut contoh hadis qudsi:

‫ قال هللا تعال إن بيوتي في اْلرض الماسجدُ وان ُزو ِري‬. ‫ م‬. ‫قل رسول هللا ص‬
)‫ارها (رواه ابو نعيم‬
ُ ‫ع َّم‬
ُ ‫فيها‬
“Rasul SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya rumah-Ku di bumi, adalah masjid-masjid
dan sesungguhnya para pengunjung-Ku adalah orang – orang yang memakmurkannya.” (HR. Abu Nu’aim)
Adapun yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi SAW adalah segala
sesuatu yang keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul. Sebagaimana Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi terdapat dalam kitab-kitab tafsir, kitab-
kitab sirah, kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab hadis. Namun demikian dikatakan kitab hadis,
ialah kitab-kitab yang menyebutkan apa yang Nabi kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal
yang terjadi sebelum Risalah bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi syariat
hanyalah yang nabi kerjakan sesudah Risalah.54[18]
KESIMPULAN
1. Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan
kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan
hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir.
2. Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan memperkuat apa
yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an; sebagai bayan al-Tafsir (menjelaskan dan menafsirkan
ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an); sebagai bayan al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum
atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl)
saja); sebagai bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti ketentuan yang
teradapat dalam Al-Qur’an).
3. Hadis sebagai sumber ajaran terutama dalam kemandiriannya untuk menentukan hukum yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an para ulama’ mengalami perbedaan pendapat, ada yang
menyetujui dan dilain pihak tidak menerima kemandirian tersebut.
4. Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan
wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW.
Sedangkan Hadis Nabawi ma’na dan lafadhnya dari Rasulullah SAW baik dengan ilham dari
Allah maupun ijtihadnya yang muncul setelah kenabian.
5. Sunnah Nabi yang dapat dijadikan sumber ajaran agama adalah adalah segala yang Nabi SAW
kerjakan ketika sesudah menerima Risalah atau diutus menjadi Rasal.

Anda mungkin juga menyukai