Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

G2P1A0 Hamil 42-43 minggu dengan Oligohidramion Belum Inpartu


JTH preskep

Penyaji:

Rahmatika Intiani, S.Ked

Perseptor :

Dr. Fonda Octarianingsih Shariff, Sp.OG

DAPARTEMEN OBSETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RS PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah Dipresentasikan Tugas laporan kasus yang Berjudul :


G2P1A0 Hamil 42-43 minggu dengan Oligohidramion Belum Inpartu JTH
preskep

Perseptor Penyaji

dr. Fonda Octarianingsih, Sp.OG Rahmatika Intiani, S.Ked


I. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Usia : 28 tahun
Alamat : Wai Awi
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
No.RM : 08.96.53
MRS :23/05/2017

II. Anamnesa
1. Keluhan Utama
Os mengeluh kehamilannya telah lewat bulan dan belum ada tanda
tanda inpartu
2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Os masuk Rumah sakit pertamina bintang amin tanggal 23 mei 2017
pada pukul 17.00 melalui poli obgyn dengan diagnosa hamil posterm
dengan oligohidramion. Riwayat perut mulas menjalar ke pinggang
disangkal oleh pasien. Riwayat keluar air-air disangkal. Riwayat keluar
darah dan lendir disangkal oleh pasien dan gerakan janin masih
dirasakan oleh pasien. Pasien tidak mengalami trauma dalam
kehamilannya, pasien juga tidak ada riwayat demam tinggi dan alergi
selama hamil, riwayat minum alkohol dan merokok, minum obat-
obatan lama disangkal.

III. Riwayat Menstruasi


 Menarche : 14 tahun
 Dismenohea : (-)
 Siklus Menstruasi : teratur
 Lama Siklus : 28 hari
 Lama Haid : 7 hari
 Warna : merah segar
 Banyaknya :2 – 3x ganti pembalut
 HPHT : pasien lupa
 TP :-
IV. Riwayat Perkawinan
 Jumlah kali menikah : satu kali
 Lama pernikahan : 12 tahun
 Usia waktu menikah : 20 tahun
V. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sebelumnya
Tahun 2006, perempuan, berat badan lahir 2000 gram, spontan, bidan
VI. Riwayat Penyakit Dahulu
Os mengaku tidak pernah mengalami penyakit jantung, paru-paru, hati,
ginjal, diabetes mellitus, alergi maupun hipertensi.
VII. Riwayat Penyakit Keluarga
Os mengaku tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular,
asma, diabetes, jantung, hati dan alergi maupun penyakit kejiwaan
VIII. Pemeriksaan Fisik :

A. Status generalis

a. Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 82x/ menit, regular

Pernafasan : 20x/ menit, regular

Suhu : 36,7oC

Gizi : BB = 68 kg , TB = 157 cm

b. Keadaan Khusus
a) Kulit :
Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-),
sianosis (-), scar (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-),
pertumbuhan rambut normal.

b) KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah leher, axilla, leher,
inguinal dan submandibula serta tidak ada nyeri penekanan

c) Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan septum dan tulang-tulang dalam
perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun pendarahan,
pendarahan cuping hidung (-)

d) Telinga
Nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik

e) Kepala
 Bentuk : Normochepal simetris
 Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
 Mata : edema palpebra (-), sklera tidak ikterik,
konjungtiva anemis (-), penglihatan baik
 Hidung : Bentuk normal, simetris, septum tidak
deviasi, kavum nasi mukosa tidak
hiperemis, pernafasan cuping hidung (-),
penciuman baik
 Telinga : Nyeri tekan processus mastoideus (-),
pendengaran baik
 Mulut : bibir tidak sianosis, basah, tidak pecah-
pecah

f) Leher
 Pembesaran kelenjar tiroid (-)
 Deviasi trachea (-)
 Pembesaran kelenjar limfe (-)

g) Thorax
1. Paru-paru
Inspeksi : simetris kanan = kiri
Palpasi : Tidak ada gerakan yang tertinggal, vocal
fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar veskuler, ronkhi basah halus -/-,
wheezing (-)
2. Cor
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas atas sela iga II garis midsternal
Batas kana sela iga IV garis parasternal dekstra
Batas kiri sela iga V midklavikula sinistra
Auskultasi : murmur (-), gallop (-)

h) Abdomen
Inspeksi : cembung, striae gravidarum (+), linea alba
(-)
Palpasi :
Leopold 1 : TFU 3 jari di bawah Processus Hyphoideus, teraba
bokong
Leopold 2 : teraba bagian keras memanjang disebelah kanan,
teraba bagian kecil di sebelah kiri
Leopold 3 : teraba bagian bulat melinting
Leopold 4 : kepala belum masuk PAP

i) Pemeriksaan Obstetri
 Pemeriksaan luar
Tinggi Fundus Uteri : 34 cm
Djj : 137x/ menit
j) Ekstremitas
 Superior : oedem (-/-)
 Inferior : oedem (-/-)

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan lab tanggal 23 mei 2017

 Hemoglobin : 12,5 gr/dl


 Leukosit : 17.100 ul
 Leukosit Basofil :0%
 Leukosit Eosinofil :0%
 Leukosit Batang :1%
 Leukosit Segmen : 72 %
 Leukosit Limposit : 23 %
 Leukosit Monosit :4%
 Eritrosit : 4,1 10^6/ul
 Hematokrit : 36 %
 Trombosit : 308.000 ul
 MCV : 80 fl
 MCH : 29 pg
 MCHC : 36 g/dl
 CT (Masa Pembekuan) : 13 menit
 BT (Masa pendarahan) : 4 menit
Hasil Pemeriksaan USG

Tampak kehamilan 43 – 43 minggu JTH preskep, presentasi kepala,


ketuban sedikit, sex perempuan, 3818 gram,
Kesan : hamil 42 – 43 minggu dengan oligohidramion JTH preskep

D. Follow Up

Tanggal/ Jam Pemeriksaan Terapi


23 Mei 2017 (poli) S : os merasa hamil lewat  IVFD RL XX tpm
Pukul 15.00 minggu dan belum terasa  Cek DL, CT,BT
mulas  Rencana induksi
O : KU baik, GCS : 15, TD
: 120/90 mmHg, HR : 24x/
menit, Nadi : 83x/menit,
suhu : 36,3oC, HIS (-)
A : G2P1A0 Hamil 42-43
minggu dengan
oligohidramion belum
inpartu JTH preskep
23 Mei 2017 S : mulas belum terasa  IVFD RL + 1 amp
Pukul 21.00 O : kesadaran : oksitosin XX tpm
composmentis, GCS : 15,  Observasi kemajuan
skala nyeri : 0, TD : 110/70 persalinan sampai 24
mmHg, nadi : 81x/menit, mei 2017 pukul 07.00
HR : 21x/menit, suhu:  Observasi his dan DJJ
36,6oC, DJJ :140x/menit,
His (-), TFU : 33 cm
A : G2P1A0 Hamil 42-43
minggu dengan
oligohidramion belum
inpartu JTH preskep

24 Mei 2017 S : perut belum terasa  Lapor


07.00 mulas, pinggang terasa dr.Fonda,Sp.OG
panas  Rencana SC pukul
O : Kesadaran 0830 wib
composmentis, GCS : 15,  Pasang kateter, baju
TD : 110/70 mmHg, Nadi ; ok
78x/menit, suhu : 36oC, HR  Inj ceftriaxone 1 gr
: 21x/menit, DJJ :
142x/menit, His (-), VT = 1
cm
A : G2P1A0 Hamil 42-43
minggu dengan
oligohidramion belum
inpartu JTH preskep

24 Mei 2017 S : os mengeluh mulas  Lapor


08.00 timbul menjalar ke dr.Fonda,Sp.OG
pinggang, mulas dirasakan  Operasi ditunda
lama sementara prihal
O : Kesadaran tanda-tanda kemajuan
composmentis, GCS : 15, persalinan sampai
TD : 120/60 mmHg, Nadi ; dengan 4 jam
80x/menit, suhu : 36,5oC,  Observasi HIS, DJJ,
HR : 24x/menit, DJJ : dan pembukaan
145x/menit, His : 3 x 10ll  Induksi pasien IVFD
35ll, RL + 1 amp oksitosin
VT = 4 cm, portio : tipis, XX tpm
presentasi : kepala
A : G2P1A0 Hamil 42-43
minggu dengan
oligohidramion inpartu kala
1 fase aktif dengan JTH
preskep

24 Mei 2017 S : os mengeluh ingin  Pimpin persalinan


08.30 mengeran seperti ingin  Lapor jika 1 jam tidak
BAB lahir
O : kesadaran :
composmentis, GCS : 15,
TD : 120/60 mmHg, Nadi ;
80x/menit, suhu : 36,5oC,
HR : 24x/menit, DJJ :
145x/menit, His : 4 x 10ll
45ll,
VT = lengkap, ketuban :
(+), portio : tidak teraba,
presentasi : kepala
A : G2P1A0 Hamil 42-43
minggu dengan
oligohidramion inpartu kala
2dengan JTH preskep
24 Mei 2017 S : nyeri setelah melahirkan  IVFD RL + 1 amp
08.45 O : kesadaran : oksitosin XX tpm
composmentis, GCS : 15,  Cefadroxil 3x500 mg
TD : 120/60 mmHg, Nadi ;
 Asam mefenamat
80x/menit, suhu : 36,5oC,
3x500 mg
HR : 24x/menit,
 Obimin 1x1
KUT (+) keras, TFU : 1 jari
dibawah umbilicus, laserasi  Observasi
(-), pendarahan ±50 cc. pendarahan, TTV
A : P2A0 post partus
spontan a/i posterm dan
oligohidramion

Lahir neonatus hidup


Pukul 08.26
Jenis kelamin : laki-laki
BB : 3600 gram
PB : 46 cm
Ketuban jernih

25 Mei 2017 S : Tidak ada keluhan  Cefadroxil 3x500 mg


O : kesadaran :  Asam mefenamat
composmentis, GCS : 15, 3x500 mg
TD : 120/70 mmHg, Nadi ;  Obimin 1x1
84x/menit, suhu : 36,2oC,  kontrol : 30/05/2017
HR : 20x/menit,
KUT (+) keras, TFU : 2 jari
dibawah umbilicus,
pendarahan ±20 cc.
A : P2A0 post partus
spontan a/i posterm dan
oligohidramion

E. Permasalahan

1. Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat ?


2. Apakah penatalaksanaan pasien ini sudah tepat ?
II Analisis kasus

1. Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat ?

Pada 23 Mei 2017 pada pukul 15.00 os masuk rumah sakit melalui poli
kebidanan, dengan diagnosis G2P1A0 Hamil 42-43 minggu dengan
oligohidramion belum inpartu JTH preskep. Os mengeluh kehamilannya telah
lewat bulan tetapi belum ada tanda-tanda inpartu. Os tidak merasa mulas, tidak
keluar air – air dari vagina, tidak keluar darah, hanya keluar lendir sedikit. Tidak
pernah mengalami penyakit selama kehamilan, Kehamilan sebelumnya tidak
pernah mengalami hal seperti ini. Os mengaku tidak pernah mengalami penyakit
jantung, paru-paru, hati, ginjal, diabetes mellitus, alergi maupun hipertensi. Os
juga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular,
asma, diabetes, jantung, hati dan alergi maupun penyakit kejiwaan.

Dari pemeriksaan keadaan umum didapatkan konjungtiva anemis, kesadaran


compomentis, tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu dalam batas normal.
Hidung dalam batas normal, tilnga dan juga mulut dalam batas normal setelah itu
dilakukan pemeriksaan USG yang di dapatkan kesan kehamilan 42 – 43 minggu
dengan oligohidramion JTH preskep

A. Anamnesis

Dalam kasus ini, diagnosis kehamilan postterm dengan oligohidramion


ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kehamilan postterm adalah kehamilan yang umumnya berlangsung 42-43 minggu
atau 280 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan postterm disebut
Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,
kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/ post
datisme atau pascamaturitas. Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah
kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak
hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus
haid rata-rata 28 hari (Prawiroharjo, 2008).
1. Definisi Kehamilan Postterm

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians


and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

2. Patogenesis Kehamilan Postterm

Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum
diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

a) Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya


kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh
progesteron melewati waktu yang semestinya. (Mochtar, et al., 2004)
b) Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita
hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor
penyebab terjadinya kehamilan postterm. (Mochtar, et al., 2004)
c) Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta
sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi
estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya
produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan
janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar
hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan
baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan. (Mochtar, et al., 2004)
d) Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm
terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis,
seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian
terbawah janin. (Mochtar, et al., 2004)
e) Teori herediter. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm
telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al pada
tahun 2007 menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang
pernah mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil
penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)

Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah


dibuktikan pada penelitian Biggar et al pada tahun 2010 melakukan penelitian
tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah membuktikan
adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan secara spontan.
menemukan bahwa antigen HLA A dan B pada janin postterm lebih memiliki
persamaan dengan antigen maternal-nya dibanding janin aterm. Kemungkinan
pada kehamilan postterm terjadi “keterlambatan” sistem imunitas maternal
dalam mengenali antigen paternal yang terdapat pada sel janin yang masuk ke
dalam sirkulasi maternal melalui mikrosirkulasi transplasental, khususnya
antigen HLA tipe A dan B. Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses
cascade yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan
secara spontan. (Biggar, et al., 2010)

3. Diagnosis Kehamilan Postterm

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19%


dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh
karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.(Cunningham, et al., 2010) Oleh
sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang
tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan
karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula
risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas.
Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga
bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

a) Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk


ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis
kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan
definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat


atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan
riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan
hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi
beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b)
siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3
bulan terakhir. (Mochtar, et al., 2004)

Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia


kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering
salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan
pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia
kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan
akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus
haid yang terakhir. (Cunningham, et al., 2010) Pendekatan ini berpotensi
menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan
tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus
menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus
karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama
7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada
kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung
mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004)
Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan
HPHT adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al., 2010)

b) Riwayat pemeriksaan antenatal

Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan


sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil
pemeriksaan sebagai berikut (Pernoll, et al., 2007).
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec

c) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan


telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa
kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan
bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki
tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan


yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam
mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG
trimester I (crown-rump length) adalah ± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010) Pada
usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal
(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL)
memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan (Mochtar, et al.,
2004).

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III


menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan
yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan
II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat
variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan
pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III
bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia
kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban (Cohn, et al.,
2010).

d) Pemeriksaan cairan amnion

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat


sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung
lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36
minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia
kehamilan 39 minggu atau lebih (Mochtar, et al., 2004).
b. Amnioskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang
sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya
(Mochtar, et al., 2004).
c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian
terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat
waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan
bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu,
ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan
>42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA
antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm
(Mochtar, et al., 2004).
d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar
L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1).
Pada usia kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan
pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat
dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya
digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk
dilahirkan (Mochtar, et al., 2004).

4. Komplikasi Kehamilan Postterm

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan


amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan
tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.
a) Disfungsi plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi


pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi
plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini
berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali
lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses
penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut
sebagai dismatur (Cunningham, et al., 2010).

b) Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas


cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia
kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar
800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia
kehamilan 42, 43, dan 44 minggu (Cunningham, et al., 2010)

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm


berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa
berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri
renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin
(Oz, et al., 2002)
dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. Oleh sebab
itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm
menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi
tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan
keadaan gawat janin saat intra partum (Mochtar, et al., 2004).

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan


amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena
lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah
badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan
Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu,
adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion
menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi
mekonium (Cunningham, et al., 2010).

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG.


Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter
vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran
uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan
sebutan indeks cairan amnion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI
telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion (Cunningham, et al., 2010)

c) Perubahan pada janin

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada


kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai
dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan
sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain;
penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan
hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu;
rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, tidak seluruh
neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung
fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda
postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3
stadium. (Mochtar, et al., 2004)

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa


kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada
kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali
pusat.

Pemeriksaan penunjang

I. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada hasil pemeriksaan
USG pada trismester pertama. Kesalahan perhitungan dengan rumus
Naegele dapat mencapai 20%. Bila telah dilakukan pemeriksaan USG
serial terutama sejak trismester pertama, hampir dapat dipastikan usia
kehamilan. Pada trismester pertama pemeriksaan panjang kepala-tungging
(crown-rump length/CRL) memberikan ketetapan kurang lebih dari 4 hari
dari taksiran persalinan. Pada umur persalinan sekitar 16-26 minggu,
ukuran diameter biparietal dan panjang femur memberikan keepatan
sekitar 7 hari dari taksiran persalinan.
Selain CRL, diameter parietal dan panjang femur, beberapa
parameter dalam pemeriksaan USG juga dapat dipakai seperti lingkar
perut, lingkar kepala dan beerapa rumus yang merupakan perhitungan dari
beberapa hasil pemeriksaan parameter tersebut diatas. Sebaliknya,
pemeriksaan sesaat setelah trismester ke III dapat dipakai untuk
menentukan berat janin, keadaan air ketuban, ataupun keadaan plasenta
yang sering berkaitan dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk
memastikan usia kehamilan (Prawiroharjo, 2008).
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan
USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter
vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran
uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan
sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI
telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion (Cunningham, 2001)
II. Pemeriksaan Radiologi
Umur kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran
epifisisfemur bagian distal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32
minggu, epifisis tibia proksimal terlihat setelah umur kehamilan 36
minggu, dan epifisis kuboid pada kehamilan 40 minggu. Cara ini sekarang
jarang dipakai selain dalam pengenalan pusat penulangan seringkali sulit,
juga pengaruh radiologi yang kurang baik terhadap janin (Prawiroharjo,
2008).

III. Pemeriksaan Laboratorium


 Kadar lesitin/spingomielin
Bila lesitin/spingomielin dalam cairan amnion kadarnya
sama, maka umur kehamilan sekitar 22-28 minggu, lesitin 1,2 kali
kadar spingomielin : 28-32 minggu, pada kehamilan genap bulan
rasio menjadi 2 : 1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk
menentuka kehamilan postterm, tetapi hanya digunakan
menentukan apakah janin cukup umur/matang untuk dilahirkan
yang berkaitan dengan mencegah kesalahan dalam tindakan
pengakhiran kehamilan.

 Aktivitas trombloplastin cairan amnion (ATCA)


Hastwell berhasil membuktika bahwa cairan amnion
mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat
dengan bertambahnya umur kehamilan. Pada umur kehamilan 42 –
42 minggu ATCA berkisar antara 45 – 65 detik, pada umur
kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan ATCA kurang dari 45
detik. Bila didapat ATCA antara 42 – 46 detik menunjukan bahwa
kehamilan berlangsung lewat waktu

 Sitologi cairan amnion


Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak
dalam cairan amnion. Bila jumlah sel yang mengandung lemak
melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan 36 minggu dan
apabila 50% atau lebih maka umur kehamilan 39 minggu atau lebih

 Sitologi vagina
Pemeriksaan sitologi vagina (indeks koriopiknotik > 20 %)
mempunyai sensitivitas 75% perlu diingat bahwa kematangan
serviks tidak dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi
(Prawiroharjo, 2008).

Pada kasus ini dapat dikatakan kehamilan postterm adalah dengan


melihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis Os masuk Rumah sakit pertamina bintang amin tanggal 23
mei 2017 pada pukul 17.00 melalui poli obgyn dengan keluhan Os
mengeluh kehamilannya telah lewat bulan dan belum ada tanda tanda
inpartu. Riwayat perut mulas menjalar ke pinggang disangkal oleh pasien.
Riwayat keluar air-air disangkal, os lupa dengan HPHT nya. Riwayat
keluar darah dan lendir disangkal oleh pasien dan gerakan janin masih
dirasakan oleh pasien. Pasien tidak mengalami trauma dalam
kehamilannya, pasien juga tidak ada riwayat demam tinggi dan alergi
selama hamil, riwayat minum alkohol dan merokok, minum obat-obatan
lama disangkal. Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah
sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya.
Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai
dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians
and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat


atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan
riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan
hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi
beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b)
siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3
bulan terakhir. (Mochtar, et al., 2004).

Untuk anamnesis dapat ditegakkan dengan HPHT tetapi pada kasus ini
os lupa akan HPHT nya tetapi os merasakan bahwa ia yakin bahwa
kehamilannya telah lewat bulan dan belum memiliki tanda-tanda inpartu
seperti riwayat perut mulas menjalar ke pinggang disangkal oleh pasien,
riwayat keluar air-air disangkal, riwayat keluar darah dan lendir disangkal
oleh pasien tetapi gerakan janin masih dirasakan oleh pasien.

Dari pemeriksaan keadaan umum didapatkan konjungtiva anemis,


kesadaran compomentis, tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu dalam
batas normal. Hidung dalam batas normal, teilnga dan juga mulut dalam
batas normal setelah itu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan USG yang di dapatkan kesan kehamilan 42 – 43 minggu
dengan oligohidramion JTH preskep. Pada kehamilan postterm terjadi
berbagai perubahan baik plasenta, air ketuban, maupun janin yang akan
mempengaruhi kesejahteraan janin intrauterin. Untuk komplikasi
kehamilan antara lain disfungsi plasenta, oligohidramion dan perubahan
janin (Cunningham, et al., 2010) pada kasus ini juga didapatkan
komplikasi pada kehamilan postterm adalah oligohidramion

Pemeriksaan penunjang pada usia kehamilan berdasarkan USG pada


trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat
keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG
trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III
memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan
estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan
pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu.
Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini
sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI
terhadap profil air ketuban (Cohn, et al., 2010)

Pada kasus pada pemeriksaan USG didapatkan kesan yang mengarah


pada kehamilan postterm yaitu tampak kehamilan 43 – 43 minggu JTH
preskep, presentasi kepala, ketuban sedikit, sex perempuan, 3818 gram,
Kesan : hamil 42 – 43 minggu dengan oligohidramion JTH preskep, maka
dapat dikatakan kehamilan postterm dengan oligohidramion.

2. Apakah penatalaksanaan pasien ini sudah tepat ?

Penatalalaksanaan kehamilan postterm

1. Pemantauan kesejahteraan janin


Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5
variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa
kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan
pemakaian salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan
waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil
biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas
janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion.
Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal.
Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada
pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)

Untuk pengelolaan kehamilan postterm memiliki beberapa perbedaan dan


pendapat yaitu

 Sebaiknya dilakukan pengelolaan secara aktif yaitu dilakukan induksi


setelah ditegakkan diagnosis postterm ataukah sebaiknya dilakukan
pengelolahan secara ekspektatif/menunggu
 Bila dilakukan pengelolahan aktif, apakah kehamilan sebaiknya diakhiri
pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu
Pengelolahan aktif yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia
kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil risiko terhadap janin

Pengelolahan pasif/menunggu/ekspektatif didasarkan pandangan bahwa


persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar postterm
mempunyai risiko / komplikasi cukup besar terutama risiko persalinan operatif
sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan terus menerus terhadap
kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan
berlangsung dengan sendirinya atau timbul indikasi untuk mengakhiri
kehamilan (Prawiroharjo, 2008).

Bila serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut apabila
kehamilan tidak di ahiri

- NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal


kehamilan dapat dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan
seminggu dua kali
- Bila ditemukan oligohidramion (< 2 cm pada katong yang vertical atau
indeks cairan amnion < 5 cm ) atau dijumpai deselerasi variable pada NST
maka dilakukan induksi persalinan
- Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes pada
kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif, terjadi deselerasi
lambat berulang, variabilitas abnormal (< 5/20 menit) menunjukan
penurunan fungsi plasenta janin mendorong agar janin segera dilahirkan
dengan mempertimbangkan bedas sesar (Prawiroharjo, 2008).

2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi
indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi
salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat
dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di
tahun 1998. (Heimstad, 2007)

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang


belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang
timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau
penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian
presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan
ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati,
kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.
(Heimstad, 2007)

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh


beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari
kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat
dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan
lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan
untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang
diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3)
konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah
janin.

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi


(Heimstad, 2007)
persalinan dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek
yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan
terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan
dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif
dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara
memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan
dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar
(Cunningham, et al., 2010)
oksitosin 10-20 mU/mL. Terdapat berbagai macam
metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang
menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.
Tabel 1. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin


20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit
masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi
dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan
ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan
kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek
antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi
dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu
his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg.
(Cunningham, et al., 2010)

Pada kasus ini penanganan kehamilan postterm sampai saat ini


masih menjadi kontroversi antara sikap ekspektatif atau aktif. Penanganan
secara ekspektatif biasanya dilakukan dengan pengawasan ketat terhadap
kesejahteraan janin intrauteri menurut Cunningham, et al pada tahun 2010

Berbeda dengan sifat penanganan ekspektatif, pada penanganan


aktif dilakukan terminasi kehamilan. Kehamilan postterm merupakan
keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi
persalinan. (Heimstad, 2007). Tindakan induksi biasanyan menggunakan
oksitosin. Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi
persalinan dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai
efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae.
Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi
persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi
ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan
cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang
dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan
menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010)

Pada kasus ini penanganan dengan tindakan induksi juga dilakukan


sesuai Cunningham, et al pada tahun 2010 yaitu dengan oksitosin yang
diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai.
Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit
oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan
Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20
mU/mL.

III. Kesimpulan

1. Penegakkan diagnosa postterm pada kasus ini memiliki kelemahan karena


ditegakkan hanya berdasarkan HPHT dan Os lupa akan HPHT penegakan
diagnosis juga dengan pemeriksaan USG trimester III
2. Pelaksanaan terminasi kehamilan dengan induksi pada kasus ini secara teoritis
merupakan tindakan yang telah sesuai dengan indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In :


Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York: 729 – 742. 1095-1108
Prawiroharjo,S. 2014. Ilmu kebidanan. Edisi 4. PT Bina pustaka sarwono
prawiroharjo. Jakarta: 685-695

WEB YG MAU DIBUKA


http://documents.tips/documents/case-kehamilan-serotinus.html
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-afahanikfi-7474-2-
12.bab-i.pdf

Anda mungkin juga menyukai