Anda di halaman 1dari 21

A.

Definisi
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan terjadi
akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi
(Harnawatiaj, 2013).
Dekubitus adalah Kerusakan lokal dari kulit dan jaringan dibawah kulit yang
disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna Kalijana, 2013)
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan
alirandarah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit
tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda
keras lainnya dalam jangka panjang (Susan L, dkk. 2013)
B. Patofisiologi
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:
1. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler
2. Durasi dan besarnya tekanan
3. Toleransi jaringan
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan (Stortts,
1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya maka semakin
besar pula insidensinya terbentuknya luka ( Potter & Perry, 2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada
tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau
menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia
sehinggan terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak
dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan
trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan
sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme
fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang
berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995
dalam Potter & Perry, 2005).
Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi
saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area
yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Efek tekanan juga
dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang
mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena
adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan tidak
terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan
tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan.
C. Pathway
D. Klasifikasi
Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan
menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali dikemukakan oleh Shea
(1975 dalam Potter & Perry, 2015) sebagai salah satu cara untuk memperoleh metode
jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus.
Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak
(Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2015). Luka yang tertutup dengan jaringan
nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut
dibuang dan kedalaman luka dapat di observasi. Peralatan ortopedi dan braces dapat
mempersulit pengkajian dilakukan (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2015).
Pada konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang
memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai indikator selain
warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori ”kulit jeruk”, kekacauan atau ketegangan,
kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap
(Maklebust & Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2015). (Bennet 1995 dalam Potter &
Perry, 2015). Menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan
pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam
atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang dihasilkan dari sumber
lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat.
Menurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2015) ada perbandingan luka dekubitus
derajat I sampai derajat IV yaitu:
1. Derajat I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak
berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator
2. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial
dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
3. Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang
mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di
bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa
merusak jaringan sekitarnya.
4. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau
kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan
epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.
E. Etiologi
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan intrinsik
pada pasien.
1. Faktor Ekstrinsik
a. Tekanan
kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan permukaan keras
lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi. Tekanan ringan dalam waktu yang
lama sama bahayanya dengan tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi
gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan nekrosis.
tekanan antar muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per
unit area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan antar muka
lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka pembuluh darah kapiler akan
mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih mudah untuk terjadinya iskemia dan
nekrotik. Tekanan kapiler rata rata adalah sekitar 32 mmHg.
b. Gesekan dan pergeseran
gesekan berulang akan menyebabkan abrasi sehingga integritas jaringan rusak.
Kulit mengalami regangan, lapisan kulit bergeser terjadi gangguan mikrosirkulasi
lokal.
c. Kelembaban
akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat inkontinensia, drain dan keringat.
Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu
kelembapan juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan
perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam
perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan
enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.
d. Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan
medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga
memudahkan terjadinya dekubitus.
2. Fase Intrinsik
a. Usia
pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan vaskularisasi. Pasien yang
sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena kulit dan
jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan
kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori,
penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.
Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit
menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang
merobek. Selain itu, akibat dari penuaan adalah berkurangnya jaringan lemak
subkutan, berkurangnya jaringan kolagen dan elastin. menurunnya efesiensi
kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.
b. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk
merasakan sensari nyeri akibat tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini
terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan. karena
nyeri merupakan suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk
bergerak. Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes)
dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.
c. Penurunan kesadaran
gangguan neurologis, trauma, analgetik narkotik.
d. Malnutrisi
Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki lapisan
lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan sempurna
karena kekurangan zat-zat gizi yang penting.
Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi menderita ulkus dekubitus.
Selain itu, malnutrisi dapat gangguan penyembuhan luka. Biasanya berhubungan
dengan hipoalbumin. Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi
umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan.
Menurut penelitian Guenter (2014) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada
orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin,
dan intake makanan yang tidak mencukupi.
e. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,
sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring
terus menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi
untuk terkena luka tekan. Orang-orang yang tidak dapat bergerak (misalnya
lumpuh, sangat lemah, dipasung). Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan
dalam kejadian luka tekan.
f. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki
efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi
(2015) ada hubungaan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan
terhadap luka tekan.
g. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (2012) peningkatan temperatur merupakan
faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan.
h. Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit menurun.
i. Anemia
j. Hipoalbuminemia, beresiko tinggi terkena dekubitus dan memperlambat
penyembuhannya.
k. Penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah juga mempermudah terkena
dekubitus dan memperburuk dekubitus.
F. Manifestasi Klinis

Terjadi pada pasien-pasien paraplegia, quadriplegia, spina bifida, multiple


sklerosis dan imobilisasi lama di rumah sakit. Selain itu, faktor lain perlu diketahui dari
riwayat penderita meliputi onset, durasi, riwayat pengobatan sebelumnya, perawatan
luka, riwayat operasi sebelumnya, status gizi dan perubahan berat badan, riwayat alergi,
konsumsi alkohol, merokok serta keadaan sosial ekonomi penderita. Anamnesa sistem
termasuk di dalamnya antara lain demam, keringat malam, spasme (kaku), kelumpuhan,
bau, nyeri (Arwaniku, 2017).
Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka tekan dibagi menjadi
empat tadium, yaitu :
1. Stadium Satu
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan
kulit yang ormal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan
temperatur kulit ( lebih dingin atau lebih hangat ), perubahan konsistensi jaringan (
lebih keras atau lunak ), perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang
berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan
pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap,
biru atau ungu.
2. Stadium Dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya
adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang dangkal.
3. Stadium Tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringn
subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang
yang dalam
4. Stadium Empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis
jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta
saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV dari luka tekan.

Menurut stadium luka tekan diatas, luka tekan berkembang dari permukaan luar
kulit ke lapisan dalam ( top-down).Namun menurut hasil penelitian saat ini, luka tekan
juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa
adanya adanya kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injuri jaringan
bagian dalam (Deep Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan jaringan
subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan kulit. Kejadian DTI sering
disebabkan karena immobilisasi dalam jangka waktu yang lama, misalnya karena periode
operasi yang panjang. Penyebab lainnya adalah seringnya pasien mengalami tenaga yang
merobek (shear).
Jenis luka tekan ini lebih berbahaya karena berkembang dengan cepat daripada
luka tekan yang dimulai dari permukaan kulit. Kebanyakan DTI juga lebih sulit
disembuhkan walaupun sudah diberikan perawatan yang adekuat. NPUAP dan WOCN
(2015) menyimpulkan bahwa DTI masuk ke dalam kategori luka tekan, namun stadium
dari DTI masih diperdebatkan karena stadium yang selama ini ada merepresentasikan
luka tekan yang dimulai dari permukaan menuju kedalam jaringan (top-down),
sedangkan DTI dimulai dari dalam jaringan menuju ke kulit superficial ( bottom-up).
Selama ini perawat sulit untuk mengidentifikasi adanya DTI karena kerusakan
pada bagian dalam jaringan sulit untuk dilihat dari luar[15]. Yang selama ini sering
digunakan sebagai tanda terjadinya DTI pada pasien yaitu adanya tanda trauma yang
dalam atau tanda memar pada jaringan. Pada orang yang berkulit putih, DTI sering
nampak sebagai warna keunguan atau kebiruan pada kulit. Saat ini terdapat metode yang
reliabel untuk mengenali adanya DTI, yaitu dengan menggunakan ultrasonografi. Bila
hasil ultrasonografi menunjukan adanya daerah hypoechoic, maka ini berarti terdapat
kerusakan yang parah pada jaringan bagian dalam, meskipun tidak ada kerusakan
dipermukaan kulit atau hanya minimal. Gambar 4 menunjukan adanya daerah hypoechoic
(lingkaran merah) pada pemeriksaan dengan menggunakan ultrasonografi.

G. Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat
terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Subandar (2017) komplikasi yang dapat
terjadi antara lain:

1. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.


2. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis, osteomielitis, dan
arthritis septik.
3. Septikimia
4. Animea
5. Hipoalbuminea
6. Kematian.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah
pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada trauma medula spinalis.

2. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit dan
toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.
3. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan
pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat apakah
terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk
melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan
bila terjadi osteomyelitis.
4. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih dan laju
endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan sepsis.
5. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses penyembuhan ulkus
dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin level, prealbumin level,
transferrin level, dan serum protein level.
6. Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat
osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan tulang atau MRI.

I. Pengkajian

Data dasar pengkajian yang terus-menerus memberi informasi penting integritas kulit
pasien dan peningkatan resiko terjadinya dekubitus. Pengkajian dekubitus tidak terlepas
pada kulit karena dekubitus mempunyai banyak faktor etiologi. Oleh karena itu,
pengkajian awal pasien luka dekubitus memiliki beberapa dimensi (AHPCR, 1994 dalam
Potter & Perry, 2015).
1. Ukuran Perkiraan
Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan rehabilitasi, rumah
perawatan, program perawatan rumah, fasilitas perawatan lain maka pasien harus
dikaji resiko terjadi dekubitus. Pengkajian resiko luka dekubitus harus dilakukan
secara sistematis seperti
Pengkajian Resiko Luka Dekubitus Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
a Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
1) Paralisis atau imobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat yang membatasi
gerakan pasien.
2) Kehilangan sensorik
3) Gangguan sirkulasi
4) Penurunan tingkat kesadaran, sedasi, atau anastesi
5) Gaya gesek, friksi
6) Kelembaban: inkontensia, keringat, drainase luka dan muntah
7) Malnutrisi
8) Anemia
9) Infeksi
10) Obesitas
11) Kakesia
12) Hidrasi: edema atau dehidrasi
13) Lanjut usia
14) Adanya dekubitus
b Kaji kondisikulit disekitar daerah yang mengalami penekanan pada area sebagai
berikut:
1) Hireremia reaktif normal
2) Warna pucat
3) Indurasi
4) Pucat dan belang-belang
5) Hilangnya lapisan kulit permukaan
6) Borok, lecet atau bintik-bintik
c Kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami tekanan:
1) Lubang hidung
2) Lidah, bibir
3) Tempat pemasangan intravena
4) Selang drainase
5) Kateter foley
d Observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada di atas tempat tidur atau
kursi
e Observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk melakukan dan membantu
dalam mengubah posisi.
f Tentukan nilai resiko:
1) Skala Norton

Resiko terjadi dkubitus jika skor total < 14


(sumber: Morison, Moya J. 2013)
2) Skala Gosnell
3) Skala Barden
g Pantau lamanya waktu daerah kemerahan
h Dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah serum albumin, jumlah
protein total, jumlah hemoglobin, dan presentasi berat badan ideal
i Kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko dekubitus.
Keuntungan dari instrumen perkiraan adalah meningkatkan deteksi dini perawat
pada pasien beresiko maka intervensi yang tepat diberikan untuk mempertahankan
integritas kulit. pengkajian ulang untuk resiko luka dekubitus harus dilakukan secara
teratur. Sangat dianjurkan manggunakan alat pengkajian yang tervalidasi untuk jenis
populasi pasien tertentu.
2. Kulit
Perawat harus mengkaji kulit terus-menerus dari tanda-tanda munculnya luka
pada kulit klien gangguan neurologi, berpenyakit kronik dalam waktu lama, penurunan
status mental, dan dirawat di ruang ICU, berpenyakit onkologi, terminal, dan orthopedi
berpotensi tinggi terjadi luka dekubitus.
Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual dan taktil
pada kulit (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2015). Pengkajian dasar
dilakukan untuk menetukan karakteristik kulit normal klien dan setiap area yang
potensial atau aktual mengalami kerusakan. Perawat memberi perhatian khusus pada
daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher, atau peralatan
orthopedi lain. Jumlah pemeriksaan tekanan tergantung jadwal pemakaian alat respon
kulit terhadap tekanan eksternal.
Ketika hiperemia ada maka perawat mencatat lokasi, dan warna lalu mengkaji
ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan hiperemia reaktif maka
perawat dapat menandai area tersebut agar pengkajian ulang menjadi lebih mudah.
Tanda peringatan dini lain yang menunjukkan kerusakan jaringan akibat tekanan adalah
lecet atau bintil-bintil pada area yang menanggung beban berat tubuh dan mungkin
disertai hiperemia. Pires & Muller (1991) dalam Potter & Perry 2015 melaporkan
bahwa tanda dini akibat tekanan yang sering diabaikan pada klien yang tidak mengalami
trauma adalah borok di area yang menanggung berat beban badan. Semua tanda-tanda
ini merupakan indikator dini gangguan integritas kulit, tapi kerusakan kulit yang berada
di bawahnya mungkin menjadi lebih progresif. Pengkajian taktil memungkinkan perawat
menggunakan teknik palpasi untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan
kerusakan kulit maupun jaringan yang di bawahnya.
Perawat melakukan palpasi pada jaringan di sekitarnya untuk mengobservasi area
hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna kulit normal klien yang berkulit
terang. Selain itu, perawat mempalpasi indurasi, mencatat indurasi disekitar area yang
cedera dalam ukuran milimeter atau sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu
di sekitar kulit dan jaringan (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2015).
Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh yang paling
sering beresiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring di tempat tidur atau duduk di atas
maka berat badan terletak pada tonjolan tulang tertentu. Permukaan tubuh yang paling
terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan area beresiko tinggi terjadi dekubitus
(Helt, 1991 dalam Potter & Perry, 2015).

3. Mobilisasi
Pengkajian meliputi pendokumentasian tingkat mobilisasi pada integritas kulit.
Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang kualitas tonus dan kekuatan
otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang adekuat untuk bergerak secara mandiri
ke bentuk posisi yang lebih terlindungi.
Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien memiliki
tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong pasien agar sering
mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk menghilangkan tekanan yang
dialaminya. Frekuensi perubahan posisi berdasarkan pengkajian kulit yang terus
menerus dan dianggap sebagai perubahan data (Potter & Perry,2015).
4. Status Nutrisi
Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian integral dalam pengkajian data awal pada
pasien beresiko gangguan integritas kulit. Pasien malnutrisi atau kakesia dan berat badan
kurang dari 90% berat badan ideal atau pasien yang berat badan lebih dari 110% berat
badan ideal lebih beresiko terjadi luka dekubitus (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter &
Perry, 2015). Walaupun presentase berat badan bukan indikator yang baik, tapi jika
ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin atau protein total
yang rendah, maka presentase berat badan ideal pasien dapat mempengaruhi timbulnya
luka dekubitus (Potter & Perry, 2015).
5. Nyeri
Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan tentang nyeri
dan luka dekubitus, AHPCR telah merekomendasi pengkajian dan manajemen nyeri
termasuk dalam perawatan pasien luka dekubitus. Selain itu AHPCR menegaskan
perlunya penelitian tentang nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang
pertama kali menghitung pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena
luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallam Et El (2015). Pada studi ini 59,1% pasien
melaporkan adanya nyeri dangan menggunakan skala analog visual, 68,2% melaporkan
adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan skala urutan nyeri faces.
Berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan nyeri yang telah
digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik yang disarankan para peneliti
(Dallam dkk, 1995 dalam Potter & Perry, 2015) adalah menambah evaluasi tingkat nyeri
pasien kedalam pengkajian dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri memerlukan pengkajian
ulang yang teratur untuk mengevaluasi efektifitas, dan program pendidikan diperlukan
untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan kesehatan terhadap nyeri akibat luka
dekubitus.
J. Analisa Data
Analisa data nerupakan suatu proses dalam pengkajian dimana data yang menyimpang
dikelompokkan kemudian dianalisa dan diintrepetasikan sehingga diperoleh masalah
keperawatan yang klien perlukan.
K. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sensasi
2. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan,
kehilangan control motorik.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan factor
biologis
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis.
5. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan di area dekubitus.
6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi
8. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak
9. Koping tidak efektif berhubungan dengan tingkat percaya diri tidak adekuat dalam
kemampuan koping
L. Intervensi
1. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sensasi
Tujuan : Perfusi jaringan normal, Tidak ada tanda-tanda infeksi, Ketebalan dan tekstur
jaringan normal, Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya cidera berulang, Menunjukkan terjadinya proses
penyembuhan luka
 Terapkan prinsip pencegahan luka dekubitus
Rasional : prinsip pencegahan luka dekubitus meliputi mengurangi atau merotasi tekanan
dari jaringan lunak
 Atur posisi pasien senyaman mungkin
Rasional : meminimalkan terjadinya jaringan yang terkena dekubitus
 Balut luka dengan balutan yang mempertahankan kelembapan lingkungan diatas dasar
luka
Rasional : luka yang lembab dapat mempercepat kesembuhan
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan,
kehilangan kontrol motorik
Tujuan : Klien meningkat dalam aktivitas fisik, Mengerti tujuan dari peningkatan
mobilitas, Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah, Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk
mobilisasi (walker)
 Dukungan mobilisasi ketingkat yang lebih tinggi
Rasional : gerakan teratur mengilangkan tekanan konsisten diatas tonjolan tulang
 Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan seperti mandi
Rasional : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, emningkatkan control pasien dalam
situasi dan peningkatan kesehatan lingkungan
 Berikan perhatian khusus pada kulit
Rasional : penelitian menunjukkan bahwa kulit sangat rentan untuk mengalami kerusakan
karena konsentrasi berat badan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis
Tujuan : nutrisi adekuat, tidak mual dan muntah, tubuh terasa segar, mempertahankan
berat badan yang sesuai.
 Beri makan dalam jumlah kecil, sering dan dalam keadaan hangat
Rasional : membantu mencegah distensi/gaster/ketidaknyamanan dan meningkatkan
pemasukan, menambah nafsu makan
 Bantu kebersihan oral sebelum makan
Rasional : mulut/peralatan bersih meningkatkan napsu makan yang baik
 Pertahankan kalori yang ketat
Rasional : pedoman tepat untuk pemasukan kalori yang tepat
4. Risiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis
Tujuan : Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi, Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi, Jumlah leukosit dalam batas normal, Menunjukkan
perilaku hidup sehat, Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas
normal
 Gunakan teknik yangtepat selama mengganti balutan
Rasional : teknik yang baik mengurangi masuknya mikroorganisme pathogen ke dalam
luka
 Ukur tanda-tanda vital
Rasional : peningkatan suhu tubuh, takikardi menunjukkan adanya sepsis
 Gunakan sarung tangan steril setiap menggantu balutan
Rasional : setiap ulkus terkontaminasi oleh mikroorganisme yang berbeda, tindakan ini
dapobat mencegah infeksi
 Cuci dasar luka dengan larutan NaCl 0,9%
Raional : dapat membuang jaringan yang mati pada permukaan kulit dan mengurangi
mikroorganisme
 Berikan obat antibiotik sesuai indikasi
Rasional : antibiotik pilihan pada ulkus dekubitus berguna melawan organisme gram
negatif dan gram positif
5. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan di area dekubitus.
Tujuan : rasa nyeri berkurang, klien dapat beradaptasi terhadap nyeri
 Kaji secara komprehensif terhadap nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri
 Obsrvasi reaksi ketidaknyamanan secara nonverbal
Rasional : untuk mengetahui tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan klien
 Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi seperti nafas dalam, guide imagery
Rasional : agar klien mampu menggunakan teknik non farmakologi apabila ada nyeri
 Kolaborasikan pemberian analgesic
Rasional : agar nyei yang dialami pasien berkurang
6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
Tujuan : pasien mampu menyesuaikan perubahan fungsi tubuh, merasa dirinya
berharga.
 Bantu klien untuk meningkatkan penampilannya
Rasional : untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien
 Identifikasi dukungan kelompok yang tersedia untuk klien
Rasional : untuk meningkatkan kekuatan pasien
 Anjurkan kontak mata dalam berkomunikasi dengan orang lain
Rasional : agar klien tahu seberapa kekuatan pribadinya
 Monitor tingkat harga diri klien dari waktu ke waktu dengan tepat
Rasional : agar klien bisa melakukan aktivitas sendiri
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi
Tujuan : klien dapat mengetahui penyakitnya
 Berikan informasi tentang penyakitnya
Rasional : meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga
 Ajarkan pasien teknik non farmakologi
Rasional : meningkatkan kesiapan keluarga dalam menghadapi rangsang nyeri
 Ajarkan pasien teknik relaksasi
Rasional : untuk mengurangi kecemasan klien
8. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak
Tujuan : tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot, klien menunjukkan
tindakan untuk meningkatkan mobilitas
 Bantu pasien untuk melakukan rentang gerak pasif dan aktif
Rasional : dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk melakukan rentang gerak
pasif dan aktif
 Berikan perawatankulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap
perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawag brace dengan periode waktu tertentu
Rasional : untuk menghindari tekanan pada area penonjolan tulang
 Kolaborasi pemberian analgetik sesuai program
Rasional : penggunaan analgetik yang berlebihan dapat menutupi gejala dan ini
menyulitkan defisit neurologis lebih lanjut
9. Koping tidak efektif berhubungan dengan tingkat percaya diri tidak adekuat dalam
kemampuan koping
Tujuan : mengungkapkan kemampuan untuk menanggulangi dan meminta bantuan jika
perlu, menunjukkan kemampuan untuk memecahkan masalah dan ikut serta
bermasyarakat, mengkomunikasikan kebutuhan dan berunding dengan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan
 Amati kekuatan seperti kemampuan untuk menceritakan kenyataan dan mengenali
sumber tekanan
Rasional : klien dapat mengungkapkan perasaan tertekannya
 Gunakan komunikasi empatik, dan dorong pasien/keluarga untuk mengungkapkan
ketakutan, mengeskpresikan emosi dan menetapkan tujuan
Rasional : klien dapat mengungkapkan rasa takutnya
 Berikan aktivitas fsik dan mental yang tidak melebihi kemampuan pasien
Rasional : klien dapat melakukan aktifitas fisik yang ringan
M. Evaluasi
1. Klien dapat mencegah dan mengidentifikasi factor penyebab luka dekubitus,
menunjukan penyembuhan
2. Pasien mempunyai kulit tanpa neritema dan tidak pucat
3. Pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan massa otot
4. Kulit tidak akan teritasi akibat pemajanan terhadap fekal atau urine draimage
5. Menunjukkan hasil pembelajaran yang efektif untuk tujuan pemulangan dan perawatan
pasien dirumah
6. Klien mengetahui informasi tentang penyakitnya
7. Nyeri berkurang
8. Klien dapat beraktifitas dengan normal
9. Nutrisi kembali normal
DAFTAR PUSTAKA

 Guenter P., Malyszck R.,Bliss D.Z.,et al. Survey of nutritional status in newly
hospitalized patiens with stage III or stage IV pressure ulcers. Advances in
Wound Care.2013;13:164-168
 Pendland, Susan L., dkk.Skin and Soft Tissue Infections. Dalam Joseph T.
DiPiro, kk, editor. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.Edisi 6.
Chicago: McGrawHill Company; 2014. p1998-90
 Potter & Perry, 2015, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik, Jakarta: EGC
 Sugama., J., Sanada, H., Kanagawa, K., et al . Risk factors of pressure sore
development, intensive care unit, Pressure – relieving care, the Japanese version
of the Braden Scale. Kanazawa Junior Collage, 2015, 16, 55-59
 Suriadi, Sanada H, Kitagawa A, et.al. Study of reliability and validity of the
braden scale translated into indonesia. 2017. Master thesis. Kanazawa
University, Japan
 Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Ed 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai