Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan

merupakanpenyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan &

Rahayuningsih,2010).

Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang

tepatkarena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks

diperkirakan ikutserta dalm system imun sektorik di saluran pencernaan.

Namun, pengangkatanapendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun

yang jelas (syamsyuhidayat, 2005).

Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensifarmakologik

juga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan

memberikan implikasi pada perawat dalam bentuk asuhankeperawatan.

Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko

terjadinyaperforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi

dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu

memberikan responsinflamasi permukaan peritoneum atau terjadi

peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka

1
akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan

kemudian juga akan memberikanrespons peritonitis. Manifestasi yang khas

dari perforasi apendiks adalah nyerihebat yang tiba-tiba datang pada

abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005).

Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara

berkembang. Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir

kejadiannyamenurun secara bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh

meningkatnyapenggunaan makanan berserat pada diit harian

(Santacroce,2009).

Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi (pembedahan

untuk mengangkat apendiks) dengan insidens 1,1/1000 penduduk pertahun,

sedang di negara-negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan Asia

prevalensinyalebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena

pola dietnya yangmengikuti orang barat (www.ilmubedah.info.com, 2011).

Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di

indonesia,apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut

abdomen danbeberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan

abdomen.Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di

antara kasuskegawatan abdomen lainya (Depkes 2008).

2
Dinkes jateng menyebutkan padatahun 2009 jumlah kasus apendisitis

di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita,dan 177 penderita diantaranya

menyebabkan kematian. Pada periode 1 Januarisampai 31 Desember 2011

angka kejadian appendisitis di RSUD salatiga, dariseluruh jumlah pasien

rawat inap tercatat sebanyak 102 penderita appendisitisdengan rincian 49

pasien wanita dan 53 pasien pria. Ini menduduki peringkatke 2 dari

keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD Salatiga. Hal inimembuktikan

tingginya angka kesakitan dengan kasus apendiksitis di RSUD Salatiga.

Melihat komplikasi tersebut penulis tertarik untuk membahas

tentangperawatan pada klien pre dan post operasi apendiktomi dan dapat

mengaplikasikannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien

postoperasi apendiktomi.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana cara mengetahui Asuahn keperawatan pada pasien

appendicitis dengan pemenuhan kebutuhan nyaman?

C. Tujuan

untuk mengetahui gambaran Asuhan keperawatan pada pasien appendicitis

dengan pemenuhan kebutuhan nyaman

D. Manfaat

Studi kasus ini memberikan manfaat bagi :

3
1. Bagi penulis

Menambah wawasan dan sebagai sarana untuk menerapkan ilmu dalam

bidang keperawatan tentang Asuhan keperawatan pada pasien apendicitis

dengan pemenuhan kebutuhan nyaman.

2. Bagi masyarakat

Memberikan wawasan yang luas tentang asuhan keperawatan pada pasien

apendicitis dengan pemenuhan kebutuhan nyaman.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan keperawatan dengan pemenuhan kebutuhan nyaman

1. Pengkajian

Pengkajian nyeri yang akurat penting untuk upaya penatalaksanaan

nyeri yang efektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif

dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka

perawat perlu mengkaji semua faktor yang memengaruhi nyeri, seperti

faktor fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural.

Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat

nyeri untuk mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung

pada respons perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah

untuk mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjektif.

a. Riwayat Nyeri

Saat mengakaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memeberi

klien kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka

terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka sendiri.

Langkah ini akan membantu perawat memahami makna nyeri bagi

klien dan bagaimana ia berkoping terhadap situasi tersebut. Secara

umum, pengkajian riwayat nyeri meliputi beberapa aspek, antara lain:

5
b. Lokasi.

Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien

menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini bisa dilakukan dengan

bantuan gambar tubuh. Klien bisa menandai bagian tubuh yang

mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang

memiliki lebih dari satu sumber nyeri.

c. Intensitas nyeri.

Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang

mudah dipercaya untuk menentukan intensitas nyeri pasien. Skala

nyeri yang palig sering di gunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10.

Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi

menandakan nyeri “terhebat” yang dirasakan klien.

d. Kualitas nyeri.

Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau

“ditusuk-tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan

klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat

dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta

pilihan tindakan yang diambil.

e. Pola.

6
Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan

atau interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri

dimulai, berapa lama nyeri berlangsung apakah nyeri berulang, dan

kapan nyeri terakhirkali muncul.

f. Faktor presipitasi.

Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri.

Sebagi contoh, aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri

dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat dingin

atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu

munculnya.

g. Gejala yang menyertai.

Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan diare. Gejala

tersebut bisa disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.

h. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari.

Dengan mengetahui sejauh mana nyeri memengaruhi

aktivitas harian klien akan membantu perawat memahami perspektif

klien tentang tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu

dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan,

hubungan interpersonal, hubungan pernikahan, aktivitas dirumah,

aktivitas diwaktu senggang, serta status emosional.

7
i. Sumber koping.

Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam

menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh

pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya.

j. Respons afektif.

Respons afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung

pada situasi, derajat dan durasi nyeri, dan banyak faktor lainnya.

Perawat perlu mengakaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah,

depresi, atau perasaan gagal pada diri klien.

1) Observasi respons perilaku dan fisiologis

Banyak respons nonverbal yang bisa dijadikan indicator nyeri.

Salah satu yang paling utama adalah ekspresi wajah. Perilaku

seperti menutup mata rapat-rapat atau membukanya lebar-lebar,

menggigit bibir bawah, dan seringai wajah dapat mengindikasikan

nyeri. Selain ekpresi wajah, respons perilaku lain yang dapat

menandakan nyeri adalah vokalisasi (mis.,erangan, menangis,

berteriak), imobilisasi bagian tubuh yang mengalami nyeri,

gerakan tubuh tanpa tujuan (mis.,menendang-

nendang,membolak-balikkan tubuh diatas kasur), dll. Sedangkan

respons fisiologis untuk nyeri beervariasi, bergantung pada

8
sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons

fisiologis dapat meliputi peningkatan tekanan darah, nadi, dan

pernapasan, diaforesis, serta dilatasi pupil akibat terstimulasinya

system saraf simpatis. Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama,

dan saraf simpatis telah beradaptasi, respons fisiologis tersebut

mungkin akan berkurang atau bahkan tidak ada. Karenanya,

penting bagi perawat untuk mengkaji lebih dari satu respons

fisiologis sebab bisa jadi respons tersebut merupakan indicator

yang buruk untuk nyeri

2. Diagnosa

a. Nyeri Akut (NANDA EDISI 9, 2013)

1) Defenisi : pengalaman sensori dan emosi yang tidak

menyenagkan akibat adanya kerusakan jaringan yang actual atau

potensial, atau digambarkan awitan yang tiba-tiba atau perlahan

dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat

diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari

enam bulan.

2) Batasan karakteristik

Subjektf .

9
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri)

dengan isyarat

Objektif

a) Posisi untuk menghindari nyeri

b) perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas tidak

bertenaga sampai kaku)

c) Respon autonomic (misalnya, diaforesis, perbuahan tekanan

darah, pernapasan atau nadai,dilatasi pupil)

d) Perubahan selera makan

e) Perilaku distraksi (misalnya, mondar-mandir, mencari orang

dan/atau aktivitas lain, aktivitas berulang)

f) Perilaku ekspresif (misalnya, gelisah, merintih, menagis,

kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan

menghela napas panjang)

g) Wajah topeng (nyeri)

h) Perilaku menjaga atau sikap melindungi

i) Focus menyempit (misalnya, gangguan persepsi waktu,

gangguan proses pikir, interaksi dengan orang lain atau

lingkungan menurun)

j) Bukti nyeri yang dapat diamati

10
k) Berfokus pada diri sendiri

l) Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur atau

tidak menentu, dan menyeringai)

Batasan karakteristik lain (non-NANDA interntional)

a) Mengomunikasikan descriptor nyeri (misalnya, rasa tidak

nyaman, mual, berkerigat, malam hari, kram otot, gatal kulit,

mati rasa, dan kesemutan pada ekstremitas)

b) Menyerangai

c) Rentang perhatian terbatas

d) Pucat

e) Menarik diri

3) Faktor yang berhubangan

Agens-agens penyebab cedera (misalnya, biologis, kimia,

fisik, dan psikologis)

b. Nyeri kronis (NANDA EDISI 9,2013)

1) Defenisi : pengalaman sensori dan emosi yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan actual atau potensial

atau digambarkan dengan istilah kerusakan (interntional

association for the study of pain) awitan yang tiba-tiba atau

perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir

11
yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya lebih

dari enam bulan.

2) Batasan karakteristik

Mengungkapkan secara verbal atau dengan isyarat atau

menunjukkan bukti sebagai berikut.

Subjektif

a) Depresi

b) Keltihan

c) Takut kembali cedera

Objektif

a) Perubahan kemampuan untuk meneruskan aktivitas

sebelumnya

b) Aneroksia

c) Atrrofi kelompok otot yang terlibat

d) Perubahan pola tidur

e) Wajah topeng

f) Perilaku melindungi

g) Irititabilitas

h) Perilaku protektif yang dapat diamati

i) Penurunan interaksi dengan orang lain

12
j) Gelisah

k) Berfokus pada diri sendiri

l) Respons yang di mediasi oleh saraf simpatis (misalnya, suhu,

dingin, perubahan posisi tubuh, dan hipersensitivitas)

m) Perubahan berat badan

3) Faktor yang berhubungan

Ketunadayaan fisik atau psikososial kronis (misalnya, kanker

metastatis, cedera neurologis, dan arthritis)

c. Mual (NANDA EDISI 9,2013)

1) Defenisi : perasaan subjektif, seperti gelombang yang tidak

menyenangkan di belakang tenggorok, epigastrium, atau

abdomen yang dapat mendorong keinginan untuk muntah

2) Batasan karaktersitik

Subjektif

a) Menghindari makanan sensasi

b) Sensai ingin muntah

c) Peningkatan produksi saliva

d) Peningkatan menelan

e) Melaporkan “mual”

f) Rasa asam di dalam mulut

13
Gejala non-nanda internasional

Kemungkinan disertai adanya kulit pucat, dingin, dan basah,

takikardia, statis gastrik. Diare biasanya terjadi sebelum muntah,

tetapi dapat juga dialami setelah muntah atau ketika muntah tidak

terjadi

3) Faktor yang berhubungan

Terkait pengobatan

a) Iritasi lambung (mis.,akibat agens farmakologis (seperti

aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid, steroid, antibiotic),

alcohol, zat besi, dan darah) ditensi lambung (mis.,

pengosongan lambunng yang lambat akibat agens

farnakologis, seperti narkotik dan anestetik)

b) Ages farmakologis (mis.,analgesik, antivirus untuk HIV,

aspirin, opioid) dan agens kemoterapeutik

c) Toksin (mis., terapi radiasi)

Biofisik

a) Gangguan biokimiawi (mis., uremia, ketoasidosis diabetic,

kehamilan)

b) Penyakit esophagus atau pancreas

14
c) Distensi lambung (mis., akibat pengosongan lambung yang

lambung yang lambat; obstruksi pylorus usus; distensi

genitourinarius dan biliaris; statis usus bagian atas; kompresi

eksternal pada lambung, hati, limpa, atau organ lain;

pembesaran yang memperlambat fungsi lambung ; kelebihan

asupan makanan)

d) Iritasi lambung (mis.,akibat inflamasi faring dan peritoneal)

e) Tumor intra-abdomen peregangan kapsula hati atau limpa

f) Tumor setempat seperti neuroma akustik, tumor otak primer

atau sekunder, metastase tiding di bagian dasar tengkorak

g) Mabuk gerak, penyakit Meniere, atau labirintitis

h) Nyeri

i) Faktor fisik, seperti peningkatan tekanan intracranial dan

meningitis

j) Toksin (mis.,peptide yang menghasilkan tumor, metabolit

abnormal akibat kanker)

Situasional

Faktor psikologis sepertin nyeri, rasa takut, ansietas, bau yang

berbahaya, rasa yang berbahaya, atau stimulasi visual yang tidak

menyenangkan.

15
3. Perencanaan

a. Nyeri akut

1) Intervensi : kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,intensitas nyeri

dan faktor presipitasi

Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri pasien

2) Intervensi : observasi reaksi ketidaknyamanan secar nonverbal

Rasional : untuk mengetahui tingkat ketidaknyamanan

dirasakan oleh pasien

3) Intervennsi : gunakan strategi komunikasi terapiutik untuk

mengungkapkan pengalaman nyeri dan penerimaan klien

terhadap respon nyeri

Rasional : untuk mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri

4) Intervensi : tentukan pengaruh pengalaman nyeri terhadap

kualitas hidup (napsu makan, tidur, aktivitas, mood, hubungan

social)

Rasional : untuk mengetahui apakah nyeri yang dirasakan klien

berpengaruh terhadap yang lainnya

16
5) Intervensi : tentukan faktor yang dapat memperburuk nyeri

lakukan evaluasi dengan klien dan tim kesehatan lain tentang

ukuran pengontrolan nyeri yang telah dilakukan

Rasional : untuk mengurangi factor yang dapat memperburuk

nyeri yang dirasakan klien

6) Intervensi : berikan informasi tentang nyeri termasuk penyebab

nyeri, berapa lama nyeri akan hilang, antisipasi terhadap

ketidaknyamanan dari prosedur

Rasional : untuk mengetahui apakah terjadi pengurangan rasa

nyeri atau nyeri yang dirasakan klien bertambah

b. Nyeri kronis

1) Intervensi : kaji dan dokumentasikan efek jangka panjang

penggunaan obat

Rasional : untuk mengetahui apakah obat yg dikonsumsi

mengurangi rasa nyeri

2) Intervensi : beri tahu pasien bahwa peredaran nyeri secara total

tidak akan dicapai

Rasional : untuk mengurangi rasa nyeri saat ini yang dialami

klien

17
3) Intervensi : adakan pertemuan multidisipliner untuk

merencanakan asuhan perawatan pasien

Rasional : untuk memudahkan dalam pemberian asuhan

keperawatan

4) Intervensi : pertimbangkan rujukan untuk pasien, keluarga dan

orang terdekat pasien ke kelompok pendukung

Rasional : mempercayai keluarga dan kelompok pendukung

untuk mengambil dan mempertimbangkan system rujukan

5) Intervensi : tawarkan tindakan meredakan nyeri untuk

membantu pengobatan nyeri (mis., umpan balik biologis, teknik

relaksasi, dan massase punggung)

Rasional : untuk membantu pasien dalam meredakan nyeri

6) Intervensi : bantu pasien mengidentifikasi tingkat nyeri yang

logis dan berterima

Rasional : untuk mengetahui skala nyeri

c. Mual

1) Intervensi : lakukan pengkajian lengkap rasa mual termasuk

frekuensi, durasi, tingkat mual, dan faktor yang menyebabkan

pasien mual

18
Rasionsal : mengidentifikasi keefektifan intrvensi yang

diberikan

2) Intervensi : anjurkan makan sedkit tapi sering dan dalam

keadaan hangat

Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi pasien dan mencegah

mual

3) Intervensi : anjurkan pasien mengurangi jumlah makanan

yang biasa menimbulkan mual

Rasional : untuk menhindari terjadinya muntah

4) Intervensi : berikan istirahat dan tidur yang adekuat untuk

mengurangi mual

Rasional : untuk menghindari efek mual

5) Intervensi : lakukan akupresure point po 3 jari dibawah

pergelangan tangan pasien laukan selama 2-3 menit setiap 2

jam selama kemoterapi

Rasinoal : membantu mengurangi efek mual dan mencegah

muntah

6) Intervensi : kolaborasi pemberian antiemetic: ondansentron 4

mg IV jika mual

19
Rasional : mengurangi mual dengan aksi sentralnya pada

hipotalamus

4. Implementasi

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (setiadi,2012)

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat

memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung

terhadap kilen.(potter & perry,2009)

B. Nyaman pada Apendisitis

1. Pengertian

Appendicitis adalah inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan

kecil yang berkurang sekitar 4 inci (10 cm) yang buntu pada ujung

sekum. Apendiks dapat terobtruksi oleh massa fese yang keras yang

akibatnya terjadi inflamasi, infeksi, gangrene, dan mungkin perforasi.

Apendiks yang ruptur merupkan gejala serius karena isi usus dapat

masuk ke dalam abdomen dan menyebabkan perintonisis atau

abses.(Lippincott wiliams & wilkins,2015).

Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks (umbai

cacing). Kira-kira 7% populasi akan mengalami appendiksitis pada waktu

20
yang bersamaan dalam hidup mereka. Pria lebih cenderung terkena

appendiksitis dibanding wanita. Appendiksitis lebih sering menyerang

pada usia 10 sampai 30 tahun.(Rudi haryono,2012)

Apendicitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa

obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau

pembuluh darahnya (corwin 2009)

2. Penyebab

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya

proses radang bakteria yang di cetuskan oleh beberapa faktor pencetus

diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan

cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap

awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang

mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya:

a. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya

apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi

disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35%

karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%

diantaranya sumbatan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-

macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada

21
kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut

ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut

dengan rupture .

b. Faktor bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada

apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah

terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi

peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur

didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes farglilis dan E.coli, lalu spalanchicus, lacto-bacilus,

pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang

menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan

aerob lebih dari 10%.

c. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang

herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi

yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini

juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga

terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya

fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

22
d. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan

sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat

mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makanannya

banyak serat. Namun saat sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa

kulit putih telah merubah pola makan tinggi serat. Justru Negara

berkembang yang dulunya memilki tinggi serat kini beralih ke pola

makan rendah serat, memilki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

e. Faktor infeksi saluran pernapasan

Setelah mendapat penyakit saluran pernpasan akut terutama

epidemi influenza dan pneumitis, jumlah kasus apendisitis ini

meningkat. Tapi harus hati-hati karena penyakit infeksi saluran

pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.

3. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

appendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi

mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus

tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai

keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen.

Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan

23
edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal

yang ditandai dengan nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan

bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul

meluas dan mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada

abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.

Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding

appendiks yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut apendisitis

ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefsional

disebut appendikssitis perforasi.

Bila proses berjalan lambat, omemtum dan usus yang berdekatan

akan bergerak ke arah appendiks hingga muncul infiltrat

appendikkularis.

Pada anak-anak karena omemtum lebih pendek dan appendiks lebih

panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tesebut ditambah dengan daya

tahan tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi,

sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan

pembuluh darah.

4. Tanda dan gejala

24
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai

oleh demam ringan, mual, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan local

pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin

akan dijumpai.

Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi

atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks.

Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan dapat terasa

di daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya

dapat di ketahui pada pemeriksaan rektal.nyeri pada defekasi

menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih

atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan

dapat terjadi.

Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran

bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa

pada kudaran bawah kanan. Apabila appendiks telah rupture, nyeri dan

dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan

kondisi klien memburuk.

5. Komplikasi

Komplikasi utama appendiksitis adalah perforasi appendiks yang

dapat berkembang menjadi perintonitis atau abses. Insidensi perforasi

25
10-32%. Perforasi terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup

demam dengan suhu 37,7 C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan

nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu.

6. Pemeriksaan diagnostic

a. Anamnesa

1) Nyeri (mula-mula di daerah epigastrium, kemudian menjalar ke

titik Mcburney)

2) Muntah (rangsang visceral)

3) Panas (infeksi akut)

b. Pemeriksaan fisik

1) Status generalis; tampak kesakitan, demam (lebih tinggi dari 37,7

C), perbedaan suhu rektal > ½ C, fleksi ringan art coxae dextra.

2) Rovsing sign (+)  pada penekanan perut bagian kontra

Mcburney (kiri) terasa nyeri di Mcburney karena tekanan tersebut

merangsang peristaltic usus dan juga udara dalam usus,

sehingga bergerak dan menngerakkan peritoneum sekitar

apendiks yang sedang meradang sehingga terasa nyeri.

3) Psoas sign (+)  m. psoas ditekan maka akan terasa sakit di titik

Mcburney (pada apendiks retrocaecal) karena merangsang

peritoneum sekitar app yang juga meradang.

26
4) Obtrutator sign (+)  fleksi dan enderotasi articulatio costa pada

posisi supine, bila nyeri berarti kontak dengan m. obtrutator

internus, artinya appendiks di pelvis.

5) Peritonitis umum (perforasi); nyeri diseluruh abdomen pekak hati

hilang, bising usus hilang.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Laboratorium

a) Leukosit normal atau meningkat (bila lanjut umumnya

leukositosis, >10,000/mm3)

b) Hitung jenis : segmen lebih banyak

c) LED meningkat (pada apendisitis infiltrate)

2) Rongeng : appendiciogram  hasil positif berupa : non-

filling,partial filling, mouse tail dan cut off.

Rongeng abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis.

Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian yang

memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.

sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang

menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari apendiks

yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.

27
7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan apendistis akut meliputi terapi

medis dan terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien

yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien

diberikan antibiotic. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan

bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian

pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga

berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai resiko operasi yang

tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan

sebagi terapi awal berupa antibiotic dan drainase melalui CT-scan pada

absesnya.

The surgical infection society menganjurkan pemberian antibiotic

profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotic

spectrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non peforasi dan

kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.

Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotic

sitemik adalah pengobatan pertama yang utama pada perintonitis difus

termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.

a. Cairan intravena; cairan ynag secara massive ke rongga peritoneum

harus diganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi

28
toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus

dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus

diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara

cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan

darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan

bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara

bersamaan.

b. Antibiotic : antibiotic intravena diberikan untuk antisipasi bakteri

pathogen, antibiotic initial diberikan termasuk generasi ke 3

cephalosporins, ampicillin-sulbaktam, dan metrodinazol atau

klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotic postoperasi

harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotic tetap

diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit.

Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotic serta

pemasangan pipa nasogastric, perlu dilakukan pembedahan sebagai

terapi defenitif dari appendicitis perforasi.

29
BAB III
METODOLOGI PENULISAN

A. Jenis/Desain/Rancangan Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif studikasus.

Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitianyang dilakukan

dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan

secara objektif. Metode ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab

permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Setiadi, 2013).

Penelitian studi kasus adalah penelitian yang dilakukan secara intensif

terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala

tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi

daerah yang sangat sempit. Tetapi ditinjau dari sifat penelitian kasus lebih

mendalam (Arikunto, 2006).

B. Subjek Studi Kasus

1. Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat

mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai

sampel (Notoatmodjo, 2012).

2. Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel

penelitian (Notoatmodjo, 20012).

30
C. Fokus Studi

Kebutuhan nyaman pada pasien apendicitis

D. Defenisi Operasional Fokus Studi

Pengkajian nyeri yang akurat penting untuk upaya penatalaksanaan

nyeri yang efektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan

dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka perawat

perlu mengkaji semua faktor yang memengaruhi nyeri, seperti faktor

fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian

nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk

mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung pada respons

perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan

pemahaman objektif terhadap pengalaman subjektif.

1. Riwayat Nyeri

Saat mengakaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memeberi klien

kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka terhadap

nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka sendiri. Langkah ini

akan membantu perawat memahami makna nyeri bagi klien dan

bagaimana ia berkoping terhadap situasi tersebut. Secara umum,

pengkajian riwayat nyeri meliputi beberapa aspek, antara lain:

2. Lokasi.

31
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien

menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini bisa dilakukan dengan

bantuan gambar tubuh. Klien bisa menandai bagian tubuh yang

mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang

memiliki lebih dari satu sumber nyeri.

3. Intensitas nyeri.

Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah

dipercaya untuk menentukan intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang

palig sering di gunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10. Angka “0”

menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan

nyeri “terhebat” yang dirasakan klien.

4. Kualitas nyeri.

Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-

tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk

menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat dapat

berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan

tindakan yang diambil.

5. Pola.

Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau

interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai,

32
berapa lama nyeri berlangsung apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri

terakhirkali muncul.

6. Faktor presipitasi.

Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri. Sebagi

contoh, aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain

itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau sangat

panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya.

7. Gejala yang menyertai.

Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan diare. Gejala tersebut

bisa disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.

8. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari.

Dengan mengetahui sejauh mana nyeri memengaruhi aktivitas

harian klien akan membantu perawat memahami perspektif klien tentang

tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri

adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan

interpersonal, hubungan pernikahan, aktivitas dirumah, aktivitas diwaktu

senggang, serta status emosional.

9. Sumber koping.

33
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam

menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman

nyeri sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya.

10. Respons afektif.

Respons afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung pada

situasi, derajat dan durasi nyeri, dan banyak faktor lainnya. Perawat

perlu mengakaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi, atau

perasaan gagal pada diri klien.

a. Observasi respons perilaku dan fisiologis

Banyak respons nonverbal yang bisa dijadikan indicator nyeri.

Salah satu yang paling utama adalah ekspresi wajah. Perilaku seperti

menutup mata rapat-rapat atau membukanya lebar-lebar, menggigit

bibir bawah, dan seringai wajah dapat mengindikasikan nyeri. Selain

ekpresi wajah, respons perilaku lain yang dapat menandakan nyeri

adalah vokalisasi (mis.,erangan, menangis, berteriak), imobilisasi

bagian tubuh yang mengalami nyeri, gerakan tubuh tanpa tujuan

(mis.,menendang-nendang,membolak-balikkan tubuh diatas kasur),

dll. Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri beervariasi, bergantung

pada sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons

fisiologis dapat meliputi peningkatan tekanan darah, nadi, dan

34
pernapasan, diaforesis, serta dilatasi pupil akibat terstimulasinya

system saraf simpatis. Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama, dan

saraf simpatis telah beradaptasi, respons fisiologis tersebut mungkin

akan berkurang atau bahkan tidak ada. Karenanya, penting bagi

perawat untuk mengkaji lebih dari satu respons fisiologis sebab bisa

jadi respons tersebut merupakan indicator yang buruk untuk nyeri

E. Instrumen Studi Kasus

Instrumen studi kasus pada penelitian kebutuhan nyaman pada

pasien apendicitis

F. Metode Pengumpulan Data

1. Observasi

Obrservasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang

tidak hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan angket)

namun juga dapat digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang

terjadi (situasi, kondisi). Teknik ini digunakan bila penelitian ditujukan

untuk mempelajari perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam

dan dilakukan pada responden yang tidak terlalu besar.

a. Participant Observation

Dalam observasi ini, peneliti secara langsung terlibat dalam

kegiatam sehari-hari orang atau situasi yang diamati sebagai sumber

35
data. Misalnya seorang guru dapat melakukan observasi mengenai

bagaimana perilaku siswa, semangat siswa, kemampuan manajerial

kepala sekolah, hubungan antar guru, dsb.

b. Non participant Observation

Berlawanan dengan participant Observation, Non Participant

merupakan observasi yang penelitinya tidak ikut secara langsung

dalam kegiatan atau proses yang sedang diamati.

Misalnya penelitian tentang pola pembinaan olahraga, seorang

peneliti yang menempatkan dirinya sebagai pengamat dan mencatat

berbagai peristiwa yang dianggap perlu sebagai data penelitian.

Kelemahan dari metode ini adalah peneliti tidak akan memperoleh

data yang mendalam karena hanya bertindak sebagai pengamat dari

luar tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalam peristiwa.

Alat yang digunakan dalam teknik observasi ini antara lain : lembar

cek list, buku catatan, kamera photo, dll.

1) Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara

pengumpul data maupun peneliti terhadap nara sumber atau

sumber data.

36
Wawancara pada penelitian sampel besar biasanya hanya

dilakukan sebagai studi pendahuluan karena tidak mungkin

menggunakan wawancara pada 1000 responden, sedangkan

pada sampel kecil teknik wawancara dapat diterapkan sebagai

teknik pengumpul data (umumnya penelitian kualitatif)

Wawancara terbagi atas wawancara terstruktur dan tidak

terstruktur :

a) Wawancara terstruktur artinya peneliti telah mengetahui

dengan pasti apa informasi yang ingin digali dari responden

sehingga daftar pertanyaannya sudah dibuat secara

sistematis. Peneliti juga dapat menggunakan alat bantu tape

recorder, kamera photo, dan material lain yang dapat

membantu kelancaran wawancara.

b) Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas, yaitu

peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang berisi

pertanyaan yang akan diajukan secara spesifik, dan hanya

memuat poin-poin penting masalah yang ingin digali dari

responden.

G. Penyajian Data

Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan disajikan dalam

37
bentuk teks dan narasi disertai dari pernyataan verbal dari subjek dan

pemeriksaan fisik penulis kepada subjek sebagai data pendukung.

H. Etika Studi Kasus

Dalam menjalankan penelitian, peneliti memandang perlu adanya

rekomendasi dari pihak institusi atau pihak lain yang mengajukan

permohonan ijin kepada institusi tempat penelitian dalam hal ini kepada RS.

TK II Pelamonia Makassar.

Setelah mendapatkan persetujuan kemudian dilakukan penelitian

dengan menekankan masalah etika penelitian yang meliputi :

1. Informed consent (lembaran persetujuan)

Lembaran persetujuan ini yang akan diberikan kepada responden yang

akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul serta

manfaat penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti tidak akan

memaksa kehendak dan tempat menghormati hal-hal subjek.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentially

Peneliti wajib merahasiakan data-data yang sudah dikumpulkan

kerahasiaannya itu bukan tanpa alasan seringkali subjek peneliti

38
menghendaki agar dirinya tidak di ekspos kepada khalayak ramai. Oleh

karena itu jawaban tanpa nama dapat dipakai dan sangat dianjurkan

subjek peneliti tidak menyebutkan identitasnya. Apabilah sifat penelitian

memang menuntut peneliti mengetahui identitas subjek ia harus

memperoleh persetujuan terlebih dahulu serta mengambil langkah-

langkah dalam menjaga kerahasiaan dan melindungi jawaban tersebut.

39

Anda mungkin juga menyukai