Anda di halaman 1dari 9

A.

ANATOMI FISIOLOGI

Sistem organ pencernaan adalah sistem organ yang menerima makanan

mencerna untuk dijadikan energi dan nutrien, serta mengeluarkan sisa proses

tersebut. pada dasarnya system pencernaan makanan yang terbentang dari

mulut atau oris sampai ke anus dalam manusia dibagi menjadi tiga bagian.

1. Proses penghancuran makanan yang terjadi dalam mulut sampai ke

lambung.

2. Proses penyerapan sari makanan yang terjadi di dalam usus.

3. Proses penegluaran sisa-sisa makanan melalui anus.

B.PENGERTIAN

Appendicitis adalah inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan kecil yang

berkurang sekitar 4 inci (10 cm) yang buntu pada ujung sekum. Apendiks dapat

terobtruksi oleh massa fese yang keras yang akibatnya terjadi inflamasi, infeksi,

gangrene, dan mungkin perforasi. Apendiks yang ruptur merupkan gejala serius karena

isi usus dapat masuk ke dalam abdomen dan menyebabkan perintonisis atau

abses.(Lippincott wiliams & wilkins,2015).

Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks (umbai cacing). Kira-kira 7%

populasi akan mengalami appendiksitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup

mereka. Pria lebih cenderung terkena appendiksitis dibanding wanita. Appendiksitis

lebih sering menyerang pada usia 10 sampai 30 tahun.(Rudi haryono,2012)


Apendicitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa obstruksi

apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya (corwin

2009).

A. PENYEBAB

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang

bakteria yang di cetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia

jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi

mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa

faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya:

1) Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)

yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia

jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda

asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh fekalith dapat

ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith

ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus

apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis

akut dengan rupture .

2) Faktor baketri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis

akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi

memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi

feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan

adalah kombinasi antara Bacteriodes farglilis dan E.coli, lalu spalanchicus,

lacto-bacilus, pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang

menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih

dari 10%.

3) Kecendrungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari

organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan

letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan

kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat

memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

4) Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.

Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko

lebih tinggi dari Negara yang pola makanannya banyak serat. Namun saat

sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan

tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memilki tinggi serat kini

beralih ke pola makan rendah serat, memilki resiko apendisitis yang lebih

tinggi.

5) Faktor infeksi saluran pernapasan


Setelah mendapat penyakit saluran pernpasan akut terutama epidemi

influenza dan pneumitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Tapi harus

hati-hati karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan

seperti gejala permulaan apendisitis.

B. PATOFISIOLOGI

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks

mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun

elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran

limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi

apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut

akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan

menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai

peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang

disebut apendisitis supuratif akut.

Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks

yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding

appendiks rapuh maka akan terjadi prefsional disebut appendikssitis perforasi.

Bila proses berjalan lambat, omemtum dan usus yang berdekatan akan

bergerak ke arah appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis.


Pada anak-anak karena omemtum lebih pendek dan appendiks lebih

panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tesebut ditambah dengan daya tahan tubuh

yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan pada orang

tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.

C. TANDA DAN GEJALA

Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam

ringan, mual, dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan local pada titik Mc. Burney

bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.

Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak

tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar

di belakang sekum, nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada

pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat di ketahui pada pemeriksaan

rektal.nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan

kandung kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum

kanan dapat terjadi.

Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang

secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kudaran bawah kanan.

Apabila appendiks telah rupture, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi

abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi klien memburuk.

D. KOMPLIKASI

Komplikasi utama appendiksitis adalah perforasi appendiks yang dapat

berkembang menjadi perintonitis atau abses. Insidensi perforasi 10-32%.

Perforasi terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan
suhu 37,7 C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri

tekan abdomen yang kontinyu.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS

1. Anamnesa

 Nyeri (mula-mula di daerah epigastrium, kemudian menjalar ke titik

Mcburney)

 Muntah (rangsang visceral)

 Panas (infeksi akut)

2. Pemeriksaan fisik

 Status generalis; tampak kesakitan, demam (lebih tinggi dari 37,7 C),

perbedaan suhu rektal > ½ C, fleksi ringan art coxae dextra.

 Rovsing sign (+)  pada penekanan perut bagian kontra Mcburney

(kiri) terasa nyeri di Mcburney karena tekanan tersebut merangsang

peristaltic usus dan juga udara dalam usus, sehingga bergerak dan

menngerakkan peritoneum sekitar apendiks yang sedang meradang

sehingga terasa nyeri.

 Psoas sign (+)  m. psoas ditekan maka akan terasa sakit di titik

Mcburney (pada apendiks retrocaecal) karena merangsang

peritoneum sekitar app yang juga meradang.

 Obtrutator sign (+)  fleksi dan enderotasi articulatio costa pada posisi

supine, bila nyeri berarti kontak dengan m. obtrutator internus, artinya

appendiks di pelvis.
 Peritonitis umum (perforasi); nyeri diseluruh abdomen pekak hati

hilang, bising usus hilang.

3. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

 Leukosit normal atau meningkat (bila lanjut umumnya leukositosis,

>10,000/mm3)

 Hitung jenis : segmen lebih banyak

 LED meningkat (pada apendisitis infiltrate)

Rongeng : appendiciogram  hasil positif berupa : non-filling,partial filling,

mouse tail dan cut off.

Rongeng abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis.

Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian yang memanjang

pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.

sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang

dengan apendicalith serta perluasan dari apendiks yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pasien dengan apendistis akut meliputi terapi medis dan terapi

bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai

akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotic. Namun

sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren

dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja.
Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai

resiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis

diberikan sebagi terapi awal berupa antibiotic dan drainase melalui CT-scan

pada absesnya.

The surgical infection society menganjurkan pemberian antibiotic profilaks

sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotic spectrum luas kurang

dari 24 jam untuk apendisitis non peforasi dan kurang dari 5 jam untuk

apendisitis perforasi.

Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotic sitemik adalah

pengobatan pertama yang utama pada perintonitis difus termasuk akibat

apendisitis dengan perforasi.

1. Cairan intravena; cairan ynag secara massive ke rongga peritoneum

harus diganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix

sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang

pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan.

Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk

mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta

pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila

mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.

2. Antibiotic : antibiotic intravena diberikan untuk antisipasi bakteri

pathogen, antibiotic initial diberikan termasuk generasi ke 3

cephalosporins, ampicillin-sulbaktam, dan metrodinazol atau

klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotic postoperasi


harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotic tetap

diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit.

Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotic serta

pemasangan pipa nasogastric, perlu dilakukan pembedahan sebagai

terapi defenitif dari appendicitis perforasi.

Anda mungkin juga menyukai