Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yaitu masih

tingginya transmisi infeksi, angka kesakitan dan angka kematian. Secara global

kasus HIV pada tahun 2011, diperkirakan terdapat 34 juta orang hidup dengan

HIV, sebanyak 30,7 juta diantaranya adalah orang dewasa. Sebesar 16,7 juta yang

terinfeksi adalah perempuan dan sebanyak 3,3 juta anak-anak dibawah usia 15

tahun. Jumlah orang yang terinfeksi baru dengan HIV sebanyak 2,5 juta, dengan

pembagian 2,2 juta usia dewasa dan, 330 ribu adalah anak-anak usia kurang dari

15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS, adalah sebanyak 1,8 juta orang, dengan

pembagian 1,5 juta diantaranya adalah orang dewasa dan sebanyak 230 ribu

adalah anak-anak kurang dari 15 tahun (WHO, 2011).

HIV pada anak didapatkan melalui penularan dari ibu terinfeksi HIV ke

anaknya, yang terjadi pada saat kehamilan, melahirkan atau pada saat menyusui

(Muktiarti et al., 2012). Angka penularan vertikal berkisar antara 14-39% dan

bahkan risiko penularan pada anak diperkirakan 29-47%. Tanpa intervensi, risiko

penularan HIV dari ibu kepada bayinya sejak kehamilan sampai periode menyusui

adalah 25-45%, diantaranya risiko selama hamil sebesar 5-10%, selama persalinan

sebesar 10-20% dan melalui menyusui 10-15% keseluruhan risiko penularan

sekitar 20-40% (Cock et al., 2000)

Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi merupakan penyebab utama infeksi

HIV pada bayi usia di bawah 15 tahun. Sejak pertama kali dilaporkan oleh

Oleske, Rubinstein dan Amman pada tahun 1983 di Amerika Serikat, terus terjadi

1
peningkatan. Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus HIV-AIDS pada

perempuan yang diperkirakan 50% dari kasus HIV/AIDS (Judarwanto, 2009).

Pada tahun 2009, sebanyak 370.000 anak-anak terinfeksi baru HIV di seluruh

dunia dan diperkirakan 42.000-60.000 wanita hamil meninggal karena HIV.

Kasus HIV pada bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV merupakan masalah besar

di negara-negara berkembang. Ada sekitar 2 juta anak pengidap HIV di Negara

negara berkembang dan diperkirakan setiap hari terjadi 1.800 infeksi baru pada

anak umur kurang dari 15 tahun, sebaliknya di negara berpendapatan tinggi

jumlah infeksi HIV baru di kalangan ibu dan anak yang meninggal karena HIV

adalah hampir nol. Hal ini dikarenakan perempuan atau anak-anak mereka di

negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terlalu sedikit menerima

pencegahan HIV dan layanan pengobatan untuk melindungi diri dan hal ini masih

merupakan masalah besar (WHO, 2011)

Distribusi kasus kasus HIV di Indonesia mayoritas berusia reproduktif

aktif usia 15-49 tahun dan sebanyak 28% adalah perempuan. Diperkirakan pada

waktu mendatang akan terdapat peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada

perempuan. Selain itu, risiko penularan dari ibu ke bayi berpotensi meningkat

karena terdapat 3.200 ibu rumah tangga pengidap HIV di Indonesia. Ibu rumah

tangga tersebut berpeluang hamil dan melahirkan, kemudian ditambah banyak

pengidap yang belum ditemukan. Sejalan dengan itu maka diperkirakan jumlah

kehamilan dengan HIV akan meningkat. Secara nasional, terdapat 1.200 ibu hamil

yang dinyatakan positif mengidap HIV. Sehingga, karena lebih banyak

perempuan hamil yang terinfeksi, kemungkinan akan menularkan infeksi pada

2
anaknya. Dampaknya adalah bayi tumbuh menjadi anak yang mewarisi HIV

positif akan lebih sering mengalami penyakit infeksi dan sering mengalami

gangguan tumbuh kembang bahkan sampai menyebabkan kematian

(Kemenkes.RI, 2011).

Penularan dari ibu ke anak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya,

pada tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 4.360 bayi yang HIV positif, pada

tahun 2009 terdapat 3.045 kasus baru HIV pada anak dengan kasus kumulatif

7.546 kasus, sedangkan pada tahun 2014 diperkirakan terdapat 5.775 kasus baru

dengan 34.287 kasus kumulatif anak dan angka kumulatif pada tahun 2015

diperkirakan sekitar 38.500 kasus HIV di seluruh Indonesia. Demikian pula

dengan kasus AIDS, jumlah kasus AIDS yang ditularkan dari ibu ke anak pada

tahun 2011 sebanyak 181 kasus dan pada tahun 2012 sebanyak 126 kasus atau

terjadi peningkatan sebesar 1,4% dari tahun sebelumnya.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) Pada Kehamilan

2.1.1 Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus yang

memiliki genus lentivirus yang menginfeksi, merusak, atau menggangu fungsi sel

sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh

manusia tersebut menjadi melemah. Virus HIV menyebar melalui cairan tubuh

dan memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia

terutama sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) atau sel-T. HIV menyerang sel-sel

sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel-T CD4+ dan makrofag yang

merupakan sistem imunitas seluler tubuh. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan

kerusakan secara progresif dari sistem kekebalan tubuh, menyebabkan defisiensi

imun sehingga tubuh tidak mampu melawan infeksi dan penyakit. Seiring dengan

berjalannya waktu, HIV dapat merusak banyal sel CD4 sehingga kekebalan tubuh

semakin menurun dan tidak dapat melawan infeksi dan penyakit sama sekali,

infeksi ini akan berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome

(AIDS).

AIDS merupakan tahap infeksi yang terjadi akibat menurunnya kekebalan

tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS merupakan stadium ketika sistem imun

penderita jelek dan penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan kanker terkait

infeksi yang disebut infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang

terjadi akibat sistem kekebalan tubuh yang menurun dan dapat terjadi penyakit

4
yang lebih berat dibandingkan pada orang yang sehat. Seseorang dapat

didiagnosis AIDS apabila jumlah sel CD4 turun di < 200 sel/mm3 darah, selain itu

seseorang dapat terdiagnosis dengan AIDS jika menderita lebih dari satu infeksi

oportunistik atau kanker yang berhubungan dengan HIV dan perlu waktu 10-15

tahun bagi orang yang sudah terinfeksi HIV untuk berkembang menjadi AIDS.

2.1.2 Epidemiologi HIV

Sindrom HIV/AIDS pertama kali dilaporkan oleh Michael Gottlieb pada

pertengahan tahun 1981 pada lima orang penderita homoseksual dan pecandu

narkotika suntik di Los Angeles, Amerika Serikat. Sejak penemuan pertama

inilah, dalam beberapa tahun dilaporkan lagi sejumlah penderita dengan sindrom

yang sama dari 46 negara bagian Amerika Serikat lain. Penyakit ini telah menjadi

pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia dan menjadi masalah global.

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS saat ini sekitar 60 juta orang

telah tertular HIV dan 26 juta telah meninggal karena AIDS, sedangkan saat ini

orang yang hidup dengan HIV sekitar 34 juta orang. Di Asia terdapat 4,9 juta

orang yang terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya adalah infeksi baru dan telah

menyebabkan banyak kematian pada penderitanya. Cara penularan di Asia

bervariasi, namun tiga perilaku yang beresiko tinggi menularkan adalah berbagi

alat suntik di kalangan pengguna napza, seks yang tidak terlindungi dan lelaki

seks dengan lelaki yang tidak terlindung.

Berdasarkan data dari UNAIDS, diperkirakan 34 juta orang terinveksi HIV

diseluruh dunia. Pada Asia Tenggara dan Selatan terdapat 4 juta orang dewasa dan

anak anak yang terinveksi HIV, diantaranya kematian orang dewasa dan anak-

5
anak karena AIDS sebesar 250.000 orang dan 280.000 orang adalah penderita

infeksi HIV baru.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit (Ditjen PP) dan Penyehatan

Lingkungan (PL) Kementrian Kesehatan RI melaporkan bahwa kasus HIV di

Indonesia secara kumulatif sejak 1 April 1987 - 30 September 2014 sebanyak

150.296 jiwa, sedangkan untuk kasus AIDS berjumlah 55.799 jiwa. Jumlah

infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta berjumlah 32.782 jiwa, Jawa Tengah

masuk dalam peringkat ke 6 dengan jumlah penderita HIV sebanyak 9.032 jiwa.

Kasus AIDS terbanyak yaitu di Papua berjumlah 10.184 jiwa dan Jawa Tengah

menduduki peringkat ke 6 dengan jumlah 3.767 jiwa. Namun, saat ini sudah

diwaspadai telah terjadi penularan HIV yang meningkat melalui jalur parenteral

(ibu kepada anaknya), terutama di beberapa ibu kota provinsi. Jumlah kumulatif

kasus AIDS di Indonesia dari transmisi perinatal sebanyak 1.506 jiwa, jumlah

tersebut berasal dari data kumulatif wanita sebanyak 16.149 yang terinfeksi AIDS.

Kondisi ini menunjukan terjadi feminisasi epidemik HIV di Indonesia.

Setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan

jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan

secara signifikan, dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012.

6
Adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru sampai tahun 2012.

Namun pada tahun 2013 terjadi penurunan kasus baru AIDS menjadi sebesar

5.608 kasus. Secara kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2013 sebesar

52.348 kasus.

2.1.3 Struktur Virus HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus sitopatik yang secara

virologi termasuk dalm famili Retroviridae sub famili Lentivirinae, genus

Lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili Retrovirus, termasuk

virus RNA dengan berat molekul 9.7 kb (kilobase). Virus RNA ini mampu

membuat DNA dari RNA dengan pertolongan enzim reserve transcription yang

kemudian disisipkan dalam DNA sel hospes sebagai mesin genetik, sehingga

virus mampu untuk menggunakan mesin replikatif sel hospes menjadi sel

malignant. Sub familia Lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi

laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan

dapat fatal.

Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa HIV

memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama

envelope virus, gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran.

Gp120 memiliki afinitas tinggi terutama region V3 terhadap reseptor CD4

sehingga bertanggungjawab pada awal interaksi dengan sel target. Sedangkan

gp41 bertanggungjawab dalam proses internalisasi atau adsorpsi.5 Dari perangkat

untaian RNA HIV, tiap untaian memiliki Sembilan genes (gag, pol, vif, vpr, vpu,

env, rev, tat, nef) yang mengatur proses reproduksi virus.

7
RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi

p24 protein virus. Dikelilingi oleh kapsid selubung virus (envelope). Selubung

virus terdiri atas dua lapisan lipid. Masing - masing subunit selubung virus terdiri

atas dua non-kovalen rangkaian protein membrane glycoprotein 120

(gp120),protein membran luar, dan glycoprotein 41 (gp41). Kedua glikoprotein

tersebut adalah bagian paling infeksius dari HIV dan berperan dalam perlekatan

virus dengan sel hospes pada proses infeksi.

Genom HIV mengandung gen env yang mengkode selubung glikoprotein,

gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 dan p24 dan

gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu: reserve transcriptase, integrase dan

protease. Enzim – enzim tersebut dibutuhkan dalam proses replikasi. Partikel HIV

terdiri atas inner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi

oleh selubung fosfolipid. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung

glikoprotein gp120 dan gp41. Kedua glikoprotein tersebut berperan pada

perlekatan virus dengan sel hospes pada proses infeksi. Sampai dengan saat ini

dikenal dua serotip HIV yang menginfeksi manusia, yaitu HIV tipe1 (HIV-1) dan

HIV tipe 2 (HIV-2). HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam

tubuh.

HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV-1

mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2

mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan struktur genom ini

walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan

patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut,

8
karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian – penelitian klinis

dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1.

2.1.4 Virologi dan Patogenesis Infeksi HIV

Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.

Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini

menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk

yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap

kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut

diturunkan. Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker

permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer

cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor

pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+baik

secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang

mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung,

lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi

dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang

mempresentasikan antigen.

Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian dimulailah infeksi HIV

asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+

secara bertahap. Mula - mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun,

tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun,

sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah

8-10 tahun, dimana jumlah CD4+akan mencapai < 200 sel/mm3.

9
Dalam tubuh Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), partikel virus bergabung

dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur

hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian

berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi

penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang

yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.

Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai

dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.

2.1.5 Penularan Virus HIV

Secara umum, HIV dapat ditularkan melalui 3 cara yakni:

a. Melalui hubungan seksual.

Merupakan jalur utama penularan HIV/AIDS yang paling umum

ditemukan. Virus dapat ditularkan dari seseorang yang sudah terkena HIV kepada

mitra seksualnya (pria ke wanita, wanita ke pria, pria ke pria) melalui hubungan

seksual tanpa pengaman (kondom).

b. Parenteral (produk darah)

Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah atau produk darah, atau

penggunaan alat – alat yang sudah dikotori darah seperti jarum suntik, jarum tato,

tindik, dan sebagainya.

c. Perinatal

Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya, penularan

melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat terjadi secara transplasental,

antepartum, maupun postpartum. Mekanisme transmisi intauterin diperkirakan

10
melalui plasenta. Hal ini dimungkinkan karena adanya limfosit yang terinfeksi

masuk kedalam plasenta. Transmisi intrapartum terjadi akibat adanya lesi pada

kulit atau mukosa bayi atau tertelannya darah ibu selama proses kelahiran.

Beberapa faktor resiko infeksi antepartum adalah ketuban pecah dini, lahir per

vaginam. Transmisi postpartum dapat juga melalui ASI yakni pada usia bayi

menyusui, pola pemberian ASI, kesehatan payudara ibu dan adanya lesi pada

mulut bayi. Seorang bayi yang baru lahir akan membawa antibodi ibunya,

begitupun kemungkinan positif dan negatifnya bayi tertular HIV adalah

tergantung dari seberapa parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang ibu.

2.1.6 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak

Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke

anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.

1. Faktor Ibu

a. Jumlah virus (viral load)

Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan

jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat

mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi

sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya

jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.

b. Jumlah Sel CD4

Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke

bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.

c. Status gizi selama hamil

11
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D,

kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan janin

akibatntya dapat meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang

dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.

d. Penyakit infeksi selama hamil

Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran

reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus

dan risiko penularan HIV ke bayi.

e. Gangguan pada payudara

Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan

luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI

sehingga tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat

disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.

2. Faktor Bayi

a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir

Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan

tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum

berkembang dengan baik.

b. Periode pemberian ASI

Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin

besar.

12
c. Adanya luka dimulut bayi

Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan

ASI.

3. Faktor obstetrik

Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.

Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak

selama persalinan adalah

a. Jenis persalinan

Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan

melalui bedah sesar (seksio sesaria).

b. Lama persalinan

Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari

ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi

dengan darah dan lendir ibu.

c. Ketuban pecah lebih dari 4 Jam sebelum persalinan meningkatkan risiko

penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4

jam.

d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko

penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.

Tabel 2. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi
Faktor Ibu Faktor Bayi Faktor Obstetrik
Kadar HIV (Viral load) Prematuritas dan berat Jenis persalinan
bayi saat lahir
Kadar CD4 Lama menyusu Lama persalinan
Status gizi hamil Lama dimulut bayi (jika Adanya ketuban pecah
bayi menyusu) dini

13
Masalah payudara (jika Tindakan episiotomi,
menyusui ekstraksi vakum dan
Penyakit infeksi saat forceps
hamil

2.1.7 Waktu dan resiko penularan HIV dari ibu ke Anak

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan

oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari

infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada

plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari

ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat

persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak

mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko

penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan

risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.

Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20

30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV).

Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV

sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui.

Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV

dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui

secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya

dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang

baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.

14
2.1.8 Manifestasi Klinis HIV

Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh

host akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda

infeksi virus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan, hingga manifestasi

AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda dari HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap.

Pertama merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala tetapi tidak

spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa

demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran kelenjar

getah bening di leher.

Kedua merupakan tahap asimptomatik, pada tahap ini gejala dan keluhan

hilang. Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun

setelah infeksi. Pada stadium ini terjadi perkembangan jumlah virus disertai

makin berkurangnya jumlah sel CD-4. Pada tahap ini aktivitas penderita masih

normal.

Ketiga merupakan tahap simptomatis pada tahap ini gejala dan keluhan

lebih spesifik dengan gradasi sedang samapi berat. Berat badan menurun tetapi

tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi

peradangan pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran

napas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktivitas meskipun

terganggu. Penderita lebih banyak di tempat tidur meskipun kurang 12 jam per

hari dalam bulan terakhir.

Keempat merupakan pasien dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/ul

merupakan pasien dikategorikan pada tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS.

15
Pada tahap ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare lebih

dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan,

kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis paru dan pneumonia bakteri.

Penderita berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam dalam sehari selama sebulan

terakhir.

Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh transmisi

perinatal. Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen. Beberapa

penelitian melaporkan tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum

terhadap darah maternal seperti pada kasus episiotomi, laserasi vagina atau

persalinan dengan forsep, sekresi genital yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata

rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan infeksi HIV mencapai 25 - 30%.

Faktor lain yang meningkatkan resiko transmisi ini, antara lain jenis HIV tipe 1,

riwayat anak sebelumnya dengan infeksi HIV, ibu dengan AIDS, lahir prematur,

jumlah CD4 maternal rendah, viral load maternal tinggi, korioamnionitis,

persalinan pervaginam dan pasien HIV dengan koinfeksi.

Interpretasi kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi

HIV adalah karier asimptomatik dan mempunyai kondisi yang memungkinkan

untuk memperburuk kehamilannya. Kondisi tersebut termasuk ketergantungan

obat, nutrisi buruk, akses terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan

adanya penyakit menular seksual. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi

lahir prematur, premature rupture of membran (PROM), berat bayi lahir rendah,

anemia, restriksi pertumbuhan intrauterus, kematian perinatal dan endometritis

postpartum. Saat ini terdapat dua sistem klasifikasi utama yang digunakan, yaitu :

16
sistem klasifikasi menurut the U.S. Centers for Disease Control and Prevention

(CDC), dan sistem klasifikasi stadium klinis dan penyakit menurut organisasi

kesehatan dunia WHO.

2.1.9 Klasifikasi HIV

Klasifikasi HIV menggunakan beberapa sistem klasifikasi, klasifikasi

berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) jarang digunakan

dalam pengelolaan rutin pasien HIV secara klinis, sistem CDC lebih sering

digunakan dalam penelitian klinis dan epidemiologi.CDC mengklasifikasikan

HIV/AIDS yaitu dengan melihat jumlah kekebalan tubuh yang dialami pasien

serta stadium klinis. Jumlah kekebalan tubuh ditunjukan oleh limfosit T Helper.

Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu:

Tabel 5. Sistem Klasifikasi klinis dan CD4 untuk dewasa dan remaja menurut
CDC.
Limfosit CD4 Kategori A Kategori B Kategori
(asimtomatis, (Simtomatis) C(AIDS)
Infeksi akut)
≥500 sel/ml A1 B1 C1
200-499 sel/ml A2 B2 C2
<200 sel/ml A3 B3 C3

Kategori:

A : Sindrom retroviral akut, limfadenopati generalisata.

B : AIDS related complex, kandidiasis oral, kelemahan umum, herpes zoster,

neuropati perifer.

C : Kandidiasis esophagus dan pulmonal, karsinoma serviks, coccidioidomycosis,

infeksi sitomegalovirus, ensefalopati HIV, isosporiosis, sarcoma jerovici, limfoma

maligna, tuberculosis, pneumonia pneumokistik karinii, salmonellosis.

17
2.1.10 Diagnosis Infeksi HIV

Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara

keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat

dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis

(mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi

HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis

menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostic

tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang

berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang

memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas.

Tabel 7. Tes diagnostik untuk infeski HIV


Skreening
ELISA untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya
Aglutinasi latek untuk HIV-1
Konfirmasi
Wastern blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2 Indirect immunofluorescence
antibody assay (IFA) untuk HIV-1 Radioimmunoprecipitation antibody assay
(RIPA) untuk HIV-1
Lain-lain
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen Polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1

Hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1),

reagen 2 (A2), dan reagen 3 (A3) ketiganya positif. Untuk ibu hamil dengan factor

risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes diagnostik HIV dapat diulang dengan

bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang pertama dan setidaknya tes

ulang menjelang persalinan (32-36 minggu). Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA) Indonesia menetapkan untuk mendiagnosis AIDS dengan kriteria WHO

digunakan untuk keperluan surveilans epidemiologi. Dalam hal ini seseorang

18
dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan

minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai

minimal terdapat 2 gejala mayor atau terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor.

Pemeriksaan jumlah sel CD4 dapat segera di lakukan setelah pertama kali

dinyatakan positif HIV dan saat akan melahirkan menggunakan spesimen darah.

2.1.11 Penatalaksanaan

Perawatan antepartum

1. Transmisi Vertikal HIV

Tanpa intervensi, risiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang

dilaporkan berkisar antara 15-45%. Risiko penularan ini lebih tinggi di negara

berkembang dibandingkan dengan negara maju (21-43% dibandingkan 14-26%).

Penularan dapat terjadi pada saat kehamilan, intrapartum, dan pascapersalinan.

Sebagian besar penularan terjadi intrapartum. Pada ibu yang tidak menyusui, 24-

40% penularan terjadi intrauterine dan 60-75% terjadi selama persalinan. Pada ibu

yang menyusui bayinya, sekitar 20-25% penularan terjadi intrauterine, 60-70%

intrapartum atau saat awal menyusui, dan 10-15% sisanya setelah pesalinan.

Risiko infeksi intrauterine, intrapartum, dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan

4% dari seluruh kelahiran ibu dengan HIV positif.

2. Transmisi in utero

Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,

IgM anti-HIV, dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama

membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Walaupun masih

belum jelas benar, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi

19
menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau

monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin

secara langsung melalui lapisan sinsitiorofoblas, atau tidak langsung melalui

trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Hofbauer) yang mempunyai

reseptor CD4+. 14,15 Plasenta diduga juga mempunyai efek anti-HIV-1 dengan

mekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta –human

chorionic gonadotropin (hCG)- diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui

beberapa cara seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta,

mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-

sel yang terinfeksi HIV1. Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS

Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan in utero/infeksi awal jika tes

virologist positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif.

Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada

transmisi antepartum. Malnutrisi yang seringkali ditemukan pada Odha akan

meningkatkan risiko transmisi karena akan menurunkan imunitas, meningkatkan

progresivitas penyakit ibu, meningkatkan risiko berat badan lahir rendah dan

prematuritas, dan menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan integritas

fetus. Pada penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang

dari 1,05 µmol/L) yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B

ternyata berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun, penelitian

Dreyfuss, dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrien akan

meningkatkan transmisi antepartum atau sebaliknya.

20
Pemberian antiretrovirus (ART)

Berbeda dengan populasi Odha lainnya, ARTI direkomendasikan untuk

semua Odha yang sedang hamil untuk mengurangi risiko transmisi prenatal. Hal

ini berdasarkan bahwa risiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar

HIV ibu dan risiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% pada Odha yang dalam

terapi ART. Tujuan pemberian ART pada kehamilan adalah untuk

memaksimalkan kesehatan ibu dan mengurangi risiko transmisi HIV dengan cara

menurunkan kadar HIV serendah mungkin Pada kehamilan, keuntungan

pemberian ARTI ini harus dibandingkan dengan potensi toksistes, teratogenesis,

dan efek samping jangka lama. Sayang sekali, efek penelitian mengenai toksisitas,

teratogenesis, dan efek samping jangka lama ART pada wanita hamil masih

sedikit. Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi

ART, seperti efek teratogenesis kombinasi ART dan antagonis folat yang

dilaporkan Jungmann, dkk.

Namun, penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa

dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi ART tidak meningkatkan

risiko prematuritas, berat badan lahir rendah, atau kematian janin intrauterine.

Kategorisasi Food and Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat

pada tabel 1. Saat ini di Indonesia beberapa ART tersebut sudah tersedia dalam

bentuk generik dengan harga yang lebih murah, antara lain zidovudin, lamivudin,

nevirapin dan stavudin

21
Perawatan Intrapartum

1 Transmisi intrapartum

Infeksi lambat/intrapartum didiagnosis jika pemeriksaan virologist negatif

dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, dan tes 1 minggu berikutnya menjadi

positif dan bayi tidak menyusui. Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau

cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronikal atau

tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal 23,1% Odha

yang hamil dan pada cairan aspirasi lambung 10% bayi yang dilahirkan.

Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan duh vagina

abnormal, kadar CD+ yang rendah, dan defisiensi vitamin A akan menurunkan

integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan

memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV vertikal. Besarnya

paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau vagina,

korioamnionitis, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode

pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, episiotomy dan rendahnya

kadar CD4+ ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan

meningkatkan risiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibanding jika

ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.

Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau

menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, risiko

penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun,

belum ada hamil dengan infeksi HIV primer. Namun, belum ada angka pasti pada

kadar HIV berapa penularan dapat terjadi. Penelitian dari the Women and Infants

22
Transmission Study menunjukkan pada kadar HIV ibu < 1000 kopi/mL menjelang

atau saat persalinan, meski tanpa pemakaian obat antiretrovirus, kemungkinan

transmisi sangat kecil atau tindak terjadi; sedang PACTG 185 menunjukkan

angka< 500 kopi/mL. Garcia, dkk melaporkan 21% penularan HIV pada ibu

dengan kadar HIV menjelang atau saat persalinan < 100.000/ml, sedangkan pada

ibu dengan kadar HIV > 100.000/ ml penularan yang terjadi 63%. John, dkk

menemukan penularan empat kali lebih tinggi pada ibu dengan kadar viral load >

43000 kopi/ mL. Namun, kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak

menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa kasus penularan

tegap terjadi. John, dkk p ada penelitiannya mengemukakan transmisi yang terjadi

pada tiga orang ibu dengan kadar HIV <5000 kopi/mL, sedangkan transmisi tidak

terjadi pada seorang ibu dengan kadar HIV > 1 juta kopi/mL. Selain itu, kadar

HIV ibu sebelum dan saat persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi

yang ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linear kadar HIV ibu

dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya.

Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi

perinatal. Prematurias dan berat badan lahir rendah diduga berperan karena sistem

imunitas pada bayi tersebut belum berkembang baik. Beberapa penelitian

menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium penyakit HIV ibu,

penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan kelahiran juga

memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir pertama kali

mempunyai risiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir

kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama lebih lama berada di jalan

23
lahir dan biasanya berukuran lebih besar, sehingga secara tidak langsung

membersihkan jalan lahir untuk bayi yang lahir berikutnya.

2 Penanganan intra partum

Kewaspadaan menyeluruh atau “Universal Precaution” harus diperhatikan

untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penularan dari ibu ke bayi, penolong

maupun petugas kesehatan lainnya. Hindari memecahkan ketuban pada awal

persalinan, terjadinya partus lama dan laserasi pada ibu maupun bayi. Karena itu

pada kemacetan persalinan maka tindakan Seksio Sesarea adalah lebih baik dari

memaksakan persalinan per vaginam Petugas kesehatan harus memakai sarung

tangan vynil, bukan saja pada pada pertolongan persalinan tetapi juga pada waktu

membersihkan darah , bekas air ketuban dan bahan lain dari pasien yang

melahirkan dengan HIV.

Penolong persalinan harus memakai kaca mata pelindung, masker, baju

operasi yang tidak tembus air dan sering kali membersihkan atau mencuci tangan.

Membersihkan lendir atau air ketuban dari mulut bayi harus memakai mesin isap,

tidak dengan catheter yang diisap dengan mulut. Bayi yang baru lahir segera

dimandikan dengan dengan air yang mengandung dasinfectan yang tidak

mengganggu bayi

4.3 Pemberian ART intrapartum

o Intrapartum AZT intravena AZT direkomendasikan untuk semua perempuan

hamil terinfeksi HIV, terlepas dari rejimen antepartum, untuk mengurangi

penularan perinatal HIV (AI).

24
o Wanita yang menerima antiretroviral antepartum (ART) rejimen obat harus

meneruskan obatnya selama persalinan (AIII)

o perempuan dengan status HIV tidak diketahui harus menjalani rapid test (AII).

Jika hasilnya positif, tes HIV konfirmasi harus dilakukan sesegera mungkin dan

ART ibu / bayi ART diberikan menunggu hasil uji konfirmasi (AII). Jika tes HIV

konfirmasi positif, ART bayi harus dilanjutkan selama 6 minggu (AI), jika tes ini

negatif, ART bayi harus dihentikan.

o AZT intravena direkomendasikan untuk ibu terinfeksi HIV yang dalam

persalinan yang belum menerima ART antepartum (AII)

4.4 Persalinan Pervaginam atau Persalinan Perabdominam

Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat

intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara Odha

yang menjalani seksio sesarea dengan partus pervaginam. Persalinan dengan

seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan cairan

servikovaginal yang mengandung HIV. Penelitian awal dari European

Collaborative Study melaporkan transmisi HIV yang lebih rendah pada Odha

yang menjalani Seksio sesarea dibandingpan partus pervaginam (11,7%

dibandingkan 17,6%) tanpa membedakan seksio elektif dan seksio emergensi.

Namun, ternyata penelitian-penelitian selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan

yang bermakna secara statistik.

Women and Infants Transmission Study mengemukakan bahwa lamanya

ketuban pecah sebelum persalinan lebih bermakna daripada seksio sesarea untuk

menurunkan transmisi vertikal (risiko relatif 1,81 dibanding 1,13). Selanjutnya

25
beberapa penelitian membandingkan risiko transmisi pada partus pervaginam,

seksio sesarea emergensi dan seksio elektif. European Mode of Delivery

Collaboration membandingkan transmisi prenatal pada Odha yang melahirkan

pervaginam dan seksio sesarea elektif. Ternyata seksio sesarea elektif dapat

menurunkan risiko transmisi hingga 80 dibandingkan partus pervaginam (1,8%

dibandingkan 10,5%).

Demikian juga hasil metaanalisis dari the International Perinatal HIV

Group terhadap 15 penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di berbagai negara.

Seksio sesarea elektif akan lebih bermakna jika disertai dengan pemberian

antiretrovirus. Risiko transmisi akan berkurang sekitar 87%. Karena itu, saat ini

seksio sesarea dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial terhadap

transmisi HIV vertikal. Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi

intrapartum, Towers, dkk mencoba teknik seksio sesarea dengan perdarahan

minimal. Namun, pada penelitian tersebut ternyata seksio sesarea dengan

pendarahan minimal hampir sama dengan pemberian antiretrovirus (transmisi

HIV 6,3% dibanding 7,9%).

Cara ini mungkin dapat menjadi alternatif pada ibu yang tidak mendapat

terapi antiretrovirus. Dalam suatu randomized clinical trial, rasio bayi lahir

terinfeksi dari wanita yang menjalani SC dan perslinan pervaginam adalah 1,8% :

10,5% (P <0,001). Dengan pemberian ART, Sc menurunkan resiko transmisi HIV

sebesar 80%. SC cito tidak memberikan efek yang diharapkan untuk menurunkan

transmisi HIV (AOR 1,0; 95% CI, 0,3-3,7). Hasil dari meta-analisis 15 penelitian

kohort prospektif juga menunjukkan manfaat kelahiran sesar dijadwalkan dengan

26
penurunan 50% pada resiko transmisi HIV. Berdasarkan data ini, American

College of Obstetricians dan Gynecologists telah merekomendasikan

pertimbangan SC elektif untuk HIV ibu hamil yang terinfeksi HIV sejak tahun

1994. Namun, pertimbangan untuk melakukan seksio sesarea tanpa indikasi

obstetrik lain harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi seksio yang

mungkin terjadi pada Odha, terutama pada stadium lanjut. Laporan PACTG 185

menyebutkan bahwa komplikasi minor seksio sesarea seperti endometritis, infeksi

luka, dan infeksi traktus urinarius lebih banyak terjadi pada Odha dibandingkan

dengan kelompok non HIV. Namun, tidak ada perbedaan kejadian komplikasi

mayor seperti pneumonia, efusi pleura, ataupun sepsis. Selain seksio sesarea,

berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan risiko transmisi intrapartum pada

Odha. Salah satunya adalah pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam

dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat mengurangi risiko

transmisi partus pervaginam.

Perawatan Post Partum

1. Transmisi pasca persalinan

Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak.

Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah

1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan non-sel air

susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk, HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan

kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai

minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi

rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah persalinan.

27
Risiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam bulan pertama,

kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya. 10,11,12 Kadar

HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar HIV serum ibu, CD4+ ibu, dan definisi

vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam air susu ibu

lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV dari pada yang tidak. Berbagai

macam faktor lain yang dapat mempertinggi risiko transmisi HIV melalui air susu

ibu antara lain mastitis atau luka di putting susu, abses payudara, lesi di mukosa

mulut bayi, prematuritas, dan respons imun bayi

5.2 Pemberian Air Susu Ibu

Penularan HIV melalui air susu ibu diketahui merupakan faktor penting

transmisi pascapersalinan dan meningkatkan risiko transmisi dua kali lipat Miotti,

dkk pada penelitian di Malawi membuktikan air susu ibu meningkatkan insidens

transmisi HIV 0,7% per bulan pada usia 0 sampai 5 bulan, 0,6% pada usia 6-11

bulan, lalu 0,3% per bulan pada usia 12-17 bulan. penelitian di Nairobi yang

membandingkan bayi dari ibu dengan HIV yang disusui dengan air susu ibu

dibandingkan dengan susu formula menunjukkan probabilitas kumulatif infeksi

HIV pada usia 24 bulan 36,7% dibandingkan 20,5%.

Namun, angka kematian setelah 2 tahun pada kedua kelompok ternyata

sama. Penelitian Leroy, dkk di berbagai negara menyebutkan risiko transmisi HIV

melalui air susu ibu yang diperkirakan adalah 3,2 per 100 anak-tahun. Di negara

maju, upaya untuk menghindari menyusui bayi dari ibu penderita HIV seperti

yang dianjurkan tidak mengalami kendala. Namun, hal tersebut sulit dilakukan di

negara berkembang mengingat keterbatasan dana untuk membeli susu formula,

28
kesulitan mencari air bersih dan menyediakan botol yang bersih, selain norma-

norma di masyarakat tertentu. Ternyata tidak selamanya susu formula lebih efektif

daripada air susu ibu untuk mencegah penularan HIV, tetapi tergantung dari cara

pemberiannya. Penelitian Coutsoudis, dkk di Afrika Selatan menunjukkan bahwa

bayi yang mendapatkan air susu eksklusif selama 3 bulan mempunyai transmisi

HIV lebih rendah (14,6%) dibandingkan dengan bayi yang mendapat air susu

formula dan air susu ibu (24,1%), bahkan menyamai risiko pemberian susu

formula saja. Hal ini diperkirakan karena air dan makanan terkontaminasi yang

diberikan pada bayi yang menerima dua macam susu tersebut merusak usus bayi,

sehingga HIV dari air susu ibu dapat masuk ke tubuh bayi.

Rekomendasi pada tahun 2009 menyatakan bahwa intervensi secara efektif

ARV pada ibu menyusui dengan HIV(+) perlu dilakukan agar ibu bisa

memberikasn ASI kepada bayinya. Dan diharapkan pemberian ASI sampai usia

bayi 12 bulan, akan menyediakan nutrisi yang adekuat, meningkatkan angka

harapan hidup bayi, serta mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi. Kebijakan ini

berbeda dengan rekomendasi tahun 2006 dimana tidak terdapat intervensi ARV

pada ibu dengan HIV (+), menyatakan bahwa ASI harus dihentikan begitu bayi

sudah mencapai usia 6 bulan, atau ketika kondisi tertentu.

Ibu yang telah diketahui terinfeksi HIV (dan memiliki bayi yang tidak

terinfeksi atau tidak diketahui status infeksi HIV-nya) Sebaiknya berikan ASI

eksklusif kepada bayi mereka sampai usia bayi mereka 6 bulan, kemudian

kenalkan bayi dengan makanan pendamping ASI sampai dengan usia 12 bulan.

29
ASI dapat dihentikan jika tersedia makanan pengganti ASI yang keamanan dan

nutrisi yang terkandung adekuat

Jika bayi atau anak yang telah diketahui terinfeksi HIV Ibu sebaiknya

dihimbau untuk memberikan ASI ekslusif sampai usia bayi mereka 6 bulan,

kemudian lanjutkan pemberian ASI sampai dengan rekomendasi yang ada pada

populasi tersebut, bisa sampai 2 tahun atau kurang

30
BAB 4

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu

virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul

karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Secara

umum, HIV dapat ditularkan melalui 3 cara yakni:

a. Melalui hubungan seksual.

b. Parenteral (produk darah)

c. Perinatal

Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya, penularan

melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat terjadi secara transplasental,

antepartum, maupun postpartum. Mekanisme transmisi intauterin diperkirakan

melalui plasenta. Hal ini dimungkinkan karena adanya limfosit yang terinfeksi

masuk kedalam plasenta.

Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara

keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat

dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis

(mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi

HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis

menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostic

tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang

31
berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang

memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas.

ARTI direkomendasikan untuk semua Odha yang sedang hamil untuk

mengurangi risiko transmisi prenatal. Hal ini berdasarkan bahwa risiko transmisi

perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan risiko transmisi dapat

diturunkan hingga 20% pada Odha yang dalam terapi ART. Tujuan pemberian

ART pada kehamilan adalah untuk memaksimalkan kesehatan ibu dan

mengurangi risiko transmisi HIV dengan cara menurunkan kadar HIV serendah

mungkin Pada kehamilan, keuntungan pemberian ARTI ini harus dibandingkan

dengan potensi toksistes, teratogenesis, dan efek samping jangka lama.

4.2 SARAN

Pengobatan untuk menyembuhkan hiv/aids sampai saat ini belum ada yang

pasti, oleh sebab itu kita harus mencegahnya sedini mungkin melalui pengetahuan

dasar tentang hiv/aids, skreening VCT dan yang terpenting mengubah stigma

masyarakat tentang ODHA agar mereka tidak dikucilkan. Jauhi virusnya bukan

orangnya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, FG 2006, Obstetri williams edisi 21, volume 1, Jakarta, EGC.

Dewi, VN, Sunarsih, T 2011, Asuhan kehamilan untuk kebidanan, Jakarta,


Salemba Medika.

Manuaba, IBG, Manuaba, IAC & Manuaba, IBGF 2007, Pengantar kuliah
obstetri, Jakarta, EGC.

Manuaba, IBG, Manuaba, IAC & Manuaba, IBGF 2010, Ilmu kebidanan, penyakit
kandungan dan KB untuk pendidikan bidan, Jakarta, EGC.

Martaadisoebrata, D, Wijayanegara, H, Wirakusumah, FF, Bratakoesoema, DS,


Krisnadi, SR, Mose, JC, Tobing, MDL 2005, Ilmu kesehatan reproduksi :
obstetri patologi, Jakarta, EGC.

Maryunani, A, Yulianingsih 2012, Asuhan kegawatdaruratan dalam kebidanan,


Jakarta, Trans Info Media.

Norwitz, ER, Schorge, JO 2008, At a glance obstetri dan ginekologi edisi kedua,
diterjemahkan oleh Diba Artsiyanti E.P, Jakarta, Erlangga.

Prawirohardjo, S 2010, Ilmu kebidanan, Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo..

UNAIDS/WHO, AIDS epidemic update – December 2008. Genewa: Joint United


United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) and World Health
Organization (WHO), 2008

Wabwire-mangen,fred, et all, “HIV modes of transmission and prevention


response analysis, march 2009

National AIDS Commission Republic of Indonesia. 2009. Country Report on the


Follow up to the Declaration of Commitmen On HIV/AIDS
(UNGASS)Reporting Period 2008 – 2009

Greenfield,Ronald et all “Pediatrics HIV infections clinical presentation’, 2012

Mofenson LM, Brady MT, Danner SP, Dominguez KL, Hazra R, Handelsman E,
et al. Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic
Infections among HIV-exposed and HIV-infected children:
recommendations from CDC, the National Institutes of Health, the HIV
Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America, the
Pediatric Infectious Diseases Society, and the American Academy of

33
Pediatrics. MMWR Recomm Rep. Sep 4 2009;58:1-166

World Health Organization: Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women


and Preventing HIV Infection in Infants: Towards Universal Access.
Recommendations for Public Health Approach: 2010 Version. Geneva,
Switzerland: WHO; 2011

Warszawski J, Tubiana R, Le Chenadec J. Mother-to-child HI transmission


despite antiretroviral therapy in the ANRS French Perinatal Cohort. AIDS
2008;22:289–99

34

Anda mungkin juga menyukai