KONGENITAL
Oleh:
Anisa Febrina D.
G99122015
Residen Pembimbing:
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : ByNy. AA
Umur : 10 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kuripan, Purwodadi, Grobogan
Tanggal Masuk : 4 Maret 2014
Tanggal Periksa : 6 Maret 2014
Nomor RM : 01244655
B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : menangis kuat, BB 2900 gr
Derajat kesadaran : composmentis
Vital sign : Suhu 36,8 o celcius
Nadi 110 x/menit RR 30 x/menit
1. Kulit
Kulit kecoklatan, kering, jejas luka (-)
2. Kepala
Bentuk mesosefal, rambut kering (-), rambut warna hitam
3. Wajah
Oedem (-), nyeri tekan (-), jejas luka (-)
4. Mata
Reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),
odema palpebra (-/-), pupil isokor (2mm/2mm)
5. Hidung
Napas cuping hidung (-), deviasi (-),
6. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-)
7. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-/-), tragus pain (-/-)
8. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar
9. Thoraks
Retraksi (-), iga gambang (-)
10. Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
11. Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, distended (+)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), supel
13. Ekstremitas
Akral dingin Oedem CRT < 2
- - - -
D. ASSESMENT
Megacolon kongenital short segment
E. PLANNING
Inf. D5 1/4NS 250cc/24 jam
ASI/ ASB 12x30cc
Cek darah lengkap dan elektrolit
MRS KBRT
Rawat bersama Pediatri
Pro TAERPT
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lab darah (6 Maret 2014)
No. Hasil Satuan Rujukan
Hematologi
Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari
10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah
normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari
normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon
namun ada pula yang mengenai seluruh colon (Holschneider, 2000).
Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali
dengan pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak
memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase sehingga
tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya.
Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu
pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi
SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4
tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis (Holschneider, 2000).
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal
dari vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular
adalah infeksi Trypanosoma cruzi(penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1,
infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion
karena aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut,
akibat tindakan pull through secara Swenson, Duhamel, atau Soave
(Holschneider, 2000).
6. Diagnosis
A. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi
pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah
terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah
lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien.
Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan
pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada
neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan
pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan
periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif
kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua
penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan
enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada
semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada
hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan.
Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic
pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal
(Ziegler,2003).
B. Gejala klinik:
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam
pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen
dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama
kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini.
Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan
adanya enterocolitis (Warner, 2004).
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat
konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain
seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia
dan peritonitis (Warner, 2004).
2. Anorectal manometry
Dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung, gejala
yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika
rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat
segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan
anestesi umum.Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih
besar dibandingkan pada neonatus (Warner, 2004).
3. Biopsy rectal
Merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit hirschprung
(Warner, 2004; Ziegler, 2003). Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction
khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil
2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi
dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya
harus menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada
mukosa rectal lebih tebal (Warner, 2004).
7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan
dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
Simple
Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malrotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
NEC
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
8. Tatalaksana
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan
Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon
dari terapi awal. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout
serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik
spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena.
Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu dilakukan colostomy.
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini
termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif
setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan,
untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi
dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi
bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah
ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum (Hackam, 2005).
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat
dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari
prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra
abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode
neonatus yang dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak
dengan distensi usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode
dekompresi menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-
through. Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim,
kolostomi dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum
dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur
pada prosedur pull-through (Hackam, 2005).
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprung yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum
aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu
dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel,
diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik
dianastomosis secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon
ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis
menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun
keterbatasannya adalah adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang
menempel pada rektum. Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave
menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari
mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan
dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah.
Dalam banyak kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus
yang ganglionik. Banyak ahli bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan
setidaknya 5 cm dari daerah yang sel ganglion terdeteksi. Dihindari
dilakukannya pull-through pada zona transisi yang berhubungan dengan tingginya
angka komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan segmen usus yang
aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-throughpada zona transisi akan
membutuhkan reoperasi (Hackam, 2005).
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post
operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan
secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga
prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum
digunakan sebagai segmen yang dipull-through (Hackam, 2005).
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit
hirschsprung:
Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian dilakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy
seromuskuler.
Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter
ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian
yang ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner.
stapler GIA kemudian dimasukkan melalui anus.
3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal
aganglioner.
1. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
3. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies