Anda di halaman 1dari 21

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 10 HARI DENGAN MEGACOLON

KONGENITAL

Oleh:
Anisa Febrina D.
G99122015

Residen Pembimbing:

dr. Rantapina dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAKAR TA
2014

BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : ByNy. AA
Umur : 10 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kuripan, Purwodadi, Grobogan
Tanggal Masuk : 4 Maret 2014
Tanggal Periksa : 6 Maret 2014
Nomor RM : 01244655

II. Keluhan Utama


Tidak bisa BAB

III. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)


Pasien datang dengan keluhan tidak bisa BAB 3 hari sejak dilahirkan.
Pasien lahir spontan dibantu dokter obsgyn. Saat lahir bayi tidak menangis
dan berwarna biru, setelah mulut dibersihkan bayi kemudian menangis. Saat
hamil ibu pasien rutin kontrol ke bidan dan dokter kandungan, dikatakan ibu
terdapat infeksi, namun keluarga tidak mengetahui jenis infeksinya. Setelah
lahir, pasien dipulangkan. Setelah dirumah, pasien demam dan perutnya
membesar, tidak bisa BAB. Perut menjadi kembung (+), muntah (-), BAK
normal. Oleh keluarga, pasien dibawa ke RS Permata Bunda Grobogan. Oleh
dokter spesialis anak, pasien dikonsulkan ke bagian bedah, diinfus, diinjeksi
obat-obatan, dipasang rectal tube, dilakukan spooling, dan dilakukan
pemeriksaan colon in loop. Karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke RS
dr. Moewardi.
Terdapat riwayat keterlambatan keluarnya mekoneum (+) 3 hari
setelah lahir.
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

V. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat keluhan yang sama : disangkal

VI. Riwayat kelahiran


Riwayat kelahiran : spontan dari ibu P1A0 ditolong dokter obsgyn,
langsung menangis, BBL 2500 gr
Riwayat kehamilan : aterm, periksa rutin di bidan
Usia ibu saat melahirkan : 20 tahun
Riwayat mekoneum : > 3 hari

B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : menangis kuat, BB 2900 gr
Derajat kesadaran : composmentis
Vital sign : Suhu 36,8 o celcius
Nadi 110 x/menit RR 30 x/menit
1. Kulit
Kulit kecoklatan, kering, jejas luka (-)
2. Kepala
Bentuk mesosefal, rambut kering (-), rambut warna hitam
3. Wajah
Oedem (-), nyeri tekan (-), jejas luka (-)
4. Mata
Reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),
odema palpebra (-/-), pupil isokor (2mm/2mm)
5. Hidung
Napas cuping hidung (-), deviasi (-),
6. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-)
7. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-/-), tragus pain (-/-)
8. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar
9. Thoraks
Retraksi (-), iga gambang (-)
10. Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
11. Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, distended (+)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), supel
13. Ekstremitas
Akral dingin Oedem CRT < 2
- - - -

14. Regio glutea


- - - -
Terpasang rectal tube dengan produk feses warna kecoklatan sebanyak
+ 50 cc

C. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Lab Darah (26-2-2014)
Hasil Satuan Rujukan
No.
Hb 13,3 g/dl 12,0 – 15,5
1.
HcT 39 % 35,0 – 49,0
2.
AL 6,3 103 / ul 5,0 – 10,0
3.
AE 3,83 106/ul 4,5 – 6,5
4.
GDS 59 mg/100ml < 180
5.
Calcium 0,84 mg/dl 1,1 – 1,4
9.
Natrium 138,8 mmol/l 129 – 147
10.
Kalium 5,56 mmol/l 3,6 - 6,1
11.

12. Chlorida 107,5 mmol/l 98 – 106


2. Hasil Colon in loop
Foto Colon in Loop By A, 10 hari, foto dilakukan di instalasi radiologi RS
Permata Bunda pada tanggal 1 Maret 2014
Plain Foto :
Tampak bayangan gas usus yang prominent
Bayangan hepar dan lien tak tampak membesar
Contour ginjal kanan dan kiri dalam batas normal
Tak tampak adanya bayangan radioopaque di sepanjang traktus urinarius
Psoas shadow kanan dan kiri simetris
Corpus, pedicle, dan spatium intervertebralis tak tampak kelainan
Tampak terpasang marker segi empat di anus
Kontras study :
Kontras barium ± 100 cc dimasukkan melalui kateter ke dalam anus
Tampak kontras berjalan dengan lancar mulai dari rectum, sigmoid, colon
descenden
Tampak penyempitan pada daerah rectum dengan rasio recto-sigmoideus
Barium Retensi :
Masih tampak sisa barium
Kesan :
Menyokong gambaran megacolon congenital

D. ASSESMENT
Megacolon kongenital short segment

E. PLANNING
Inf. D5 1/4NS 250cc/24 jam
ASI/ ASB 12x30cc
Cek darah lengkap dan elektrolit
MRS KBRT
Rawat bersama Pediatri
Pro TAERPT
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lab darah (6 Maret 2014)
No. Hasil Satuan Rujukan

Hematologi

Hb 12,7 g/dl 15,0 – 24,6


1.
HcT 38 % 47,0 – 75,0
2.
AL 14 103 / ul 5,0 – 19,0
3.
AT 51 103 / ul 150 -300
4.
AE 3,30 juta/ul 3,7 – 6,8
5.
Gol. Darah B
6.
PT 12,9 detik 10 - 15
7.
APTT 27,6 detik 20 - 40
8.
Kimia Klinik

Natrium 136 mmol/l 129 – 147


9.
Kalium 2,7 mmol/l 3,6 - 6,1
10.
Chlorida 104 mmol/l 98 – 106
11.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi:
Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion
di pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s) (Warner, 2004).
Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk
mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini
menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga
terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi sehingga menyebabkan
Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan
gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi
abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72 jam.
Pada banyak kasus, segmen aganglionik terdapat pada rectum dan kolon sigmoid.
2. Insidensi:
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko
tertinggi terjadinya penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai
riwayat keluarga penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome
(Warner, 2004; Ziegler, 2003). Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75%
kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus (Warner, 2004).
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko
terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5
sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih
tinggi pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara
diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari
kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-
Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan
kembar yang terkena yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis
(Holschneider, 2000).
3. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.
4. Anatomi dan fisiologi colon
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan
1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal;
dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan. Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut
saraf simpatis (N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
saraf parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua
jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator
ani dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi
sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi
otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus
(parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis
dan N. splanknikus pelvik (saraf parasimpatis).
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga
pleksus tersebut (Snell, 2006).
5. Patogenesis:
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon
dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian
yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik
selalu terdapt dibagian distal rectum (Warner, 2004).
Dasar patofisiologi dari penyakit ini adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus
yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar (Holschneider, 2000).

Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari
10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah
normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari
normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon
namun ada pula yang mengenai seluruh colon (Holschneider, 2000).
Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali
dengan pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak
memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase sehingga
tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya.
Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu
pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi
SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4
tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis (Holschneider, 2000).
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal
dari vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular
adalah infeksi Trypanosoma cruzi(penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1,
infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion
karena aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut,
akibat tindakan pull through secara Swenson, Duhamel, atau Soave
(Holschneider, 2000).

Tipe Hirschsprung’s Disease:


Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon
yang terkena. Tipe Hirschsprun disease meliputi:
 Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat
kecil dari rectum.
 Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil
dari colon.
 Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar
colon.
 Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan
rectum dan kadang sebagian usus kecil.

 Usus sehat Short segment Long segment

6. Diagnosis
A. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi
pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah
terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah
lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien.
Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan
pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada
neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan
pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan
periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif
kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua
penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan
enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada
semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada
hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan.
Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic
pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal
(Ziegler,2003).
B. Gejala klinik:
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam
pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen
dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama
kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini.
Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan
adanya enterocolitis (Warner, 2004).
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat
konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain
seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia
dan peritonitis (Warner, 2004).

Gambar: Gambaran klinis pasien dengan Hirschsprung Disease


Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena
obstruksi intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala
kardinalnya yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama
kehidupan, distensi abdomen dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat
konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat individual untuk setiap
kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan
lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu atau bulan
pertama kehidupan (Holschneider, 2000).
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan
pada pola makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau
makanan padat. Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena
adanya riwayat konstipasi, kembung berat dan perut seperti
tong, massa faeses multipel dan sering dengan enterocolitis, dan dapat
terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu
kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur
sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong
(Holschneider, 2000).
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit
hirschsprung yang berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada
gejala enterocolitis dimana merupakan komplikasi serius dari
aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara penyakit hirschsprung dan
enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana beberapa ahli berpendapat
bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan (Holschneider,
2000).
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit
hirschsprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal
dan invasi bakteri juga translokasi. Disertai perubahan komponen musin
dan pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya
aktivitas prostaglandin E 1, infeksi oleh Clostridium
difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa
pasien masih bergejala walaupun telah dilakukan colostomy. Enterocolitis
yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa. Yang
ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot,
distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik
pada mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi.
Hal ini harus dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis
necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit
hirschsprung. Ada hubungan erat antara panjang colon yang aganglion
dengan perforasi (Holschneider, 2000).
C. Pemeriksaan penunjang :
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
1. Barium enema.
Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon
sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu
diagnosis penyakit hirschprung (Warner, 2004). Segmen aganglion
biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang mempunyai
ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat
zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan waktu, mungkin
dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir. Radiologis
konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus kecil
dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah
zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat
dilatasi dari rektum secara lebih optimal. Retensi dari barium pada 24 jam
dan disertai distensi dari kolon ada tanda yang penting tapi tidak spesifik.
Enterokolitis pada Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos
abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang
berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding
intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.
Nilai prediksi biopsi 100% penting pada penyakit Hirschsprung jika sel
ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion, perlu dipikirkan ada teknik yang
tidak benar dan dilakukan biopsi yang lebih tebal. Diagnosis radiologi
sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen , sering seluruh
colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan kolon
mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang
paling mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus
dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska.Biopsi rectal
sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada semua
neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus besar/kecil
atau semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun (Leonidas,
2004).

Gambar : Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.

2. Anorectal manometry
Dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung, gejala
yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika
rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat
segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan
anestesi umum.Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih
besar dibandingkan pada neonatus (Warner, 2004).
3. Biopsy rectal
Merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit hirschprung
(Warner, 2004; Ziegler, 2003). Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction
khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil
2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi
dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya
harus menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada
mukosa rectal lebih tebal (Warner, 2004).

7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan
dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik
 Meconium ileus
 Simple
 Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
 Meconium plug syndrome
 Neonatal small left colon syndrome
 Malrotation with volvulus
 Incarcerated hernia
 Jejunoileal atresia
 Colonic atresia
 Intestinal duplication
 Intussusception
 NEC
Obstruksi fungsional
 Sepsis
 Intracranial hemorrhage
 Hypothyroidism
 Maternal drug ingestion or addiction
 Adrenal hemorrhage
 Hypermagnesemia
 Hypokalemia
8. Tatalaksana
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan
Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon
dari terapi awal. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout
serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik
spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena.
Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu dilakukan colostomy.
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini
termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif
setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan,
untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi
dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi
bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah
ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum (Hackam, 2005).
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat
dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari
prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra
abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode
neonatus yang dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak
dengan distensi usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode
dekompresi menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-
through. Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim,
kolostomi dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum
dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur
pada prosedur pull-through (Hackam, 2005).
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprung yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum
aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu
dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel,
diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik
dianastomosis secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon
ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis
menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun
keterbatasannya adalah adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang
menempel pada rektum. Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave
menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari
mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan
dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah.
Dalam banyak kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus
yang ganglionik. Banyak ahli bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan
setidaknya 5 cm dari daerah yang sel ganglion terdeteksi. Dihindari
dilakukannya pull-through pada zona transisi yang berhubungan dengan tingginya
angka komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan segmen usus yang
aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-throughpada zona transisi akan
membutuhkan reoperasi (Hackam, 2005).
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post
operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan
secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga
prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum
digunakan sebagai segmen yang dipull-through (Hackam, 2005).
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit
hirschsprung:
 Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian dilakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy
seromuskuler.
 Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter
ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian
yang ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner.
stapler GIA kemudian dimasukkan melalui anus.
3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal
aganglioner.

Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya


berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga
konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi (Warner, 2004).
DAFTAR PUSTAKA

1. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:

Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-

Hill. New York. Page 1496-1498

2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:

Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders

Company. Philadelphia. page 453-468

3. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies

of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic

Imaging 10th edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153

4. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.

5. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND

SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-

Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114

6. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung

Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New

York. Page 617-640

Anda mungkin juga menyukai