َََل
ٰ و َۖ
ى ْو
َّق
َالت ِّ
ِ و
ِر ْ لى
الب ََنوا ع ََُاو
تعََ
و
ُوا
اتقَّ َ
انِ وۚ َ ُْ
دو ْ َ
الع ِ وثم ِْ ْ لى
اْل ََ
نوا ع ََُاو َ
تع
َِابِق ْ د
الع ُِي اَّللَ شَد
َّ ن َِّ
اَّللَ إ
َّ
ۖ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [Al-Mâidah:2 Surat Ke-5, Juz Ke-]
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ َِّللاِ اهذااِنان
ُِص ُرًً ه َّ سو ال ظال ًماِأ ا اوِ امظلُوِ ًماِقاالُواِيا ا
ُ اِر صرِأاخ ا
ااكِ ا ُ ا ان
ُِ ظال ًماِقاا ال اًِتاأ ا
ِخذُِفا اوقا ِياداياه ص ُرهُِ ا
ُ افِنا ان ام ا
ظلُو ًماِفا اكي ا
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang
bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong
orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan
kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]
الدالُِ اعلا ا
ِىِال اخيارِ اكفااِعله
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]
Para pembaca -yang semoga dirahmati oleh Allah- kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu
ada empat macam:
1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum
muslimin memiliki perjanjian.
2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka
mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap
mereka.
3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh
penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
4. Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi
orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka.[1]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:
Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di negeri
kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
َِِِّللاِِث ُ َّمِِأابال اغهُِِ امأ ا امناهُِِذالكاِِبأانَّ ُه امِِقا اومِِْلِيا اعلا ُمونا
اركاِِفاأاج ارهُِِ احتَّىِيا اس ام اعِِ اك ا
َّ َلم اوإ انِِأ ا احدِِم ا
ناِِال ُم اشركيناِِا است ا اج ا
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”(QS. At Taubah: 6)
Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka
berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ُِ علاىِأاْلِت ا اعدلُواِاعادلُواِ ُه اِوِأ ا اق ار
ِب اآنِقا اومِِ ا
ُِ شن ش اهداا اِءِب االقساطِِ اوْلِ ايجا ر امنَّ ُك اِمِ ا
ُ ِلِل َِّ ِِاياِأايُّ اهاِالَّذيناِِآ امنُواِ ُكونُواِقا َّوامينا
َِّللااِخابيرِِب اماِت ا اع املُونا َِّ ِللت َّ اق اوىِ اواتَّقُوا
َِّ َّللااِإ
َِّ ِن
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al
Maidah: 8)
Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian
sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti
telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk
mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang
mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah
Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan,
“Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut
masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji
bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.”[2]
Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena
Allah Ta’ala berfirman,
َّناِِالر اشدُِِم ا
ِناِِالغاي ُّ ْلِإ اك اراهاِِفيِالدينِِقا ادِِتاباي
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa
seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang.
Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri
hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti
telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah
butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk
Islam.”[3]
Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam,
tanpa harus dipaksa.
Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
يرةِِأ ا ارباعيناِِ ا
عا ًما ِنِ امس ا َِّ ِ اوإ،ِِلِ ُمعااهدًاِلا اِمِيا ارحاِِ ارائ اح ِةاِ اال اجنَّة
ِنِري اح اهاِتُو اج ِدُِم ا ِنِقات ا ا
ِام ا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau
surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”[4]
Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan
transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu memegang amanat
di hadapan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ش ايئًاِبغايارِِطيبِِنا افسِِفاأانااِ احجي ُجهُِِيا او ام ا
ِِِالق ايا امة طاقاتهِِأ ا اوِِأ ا اخذاِِم انهُِِ ا
صهُِِأ ا اوِِ اكلَّفاهُِِفا اوقاِِ ا
ظلا امِِ ُم اعاهدًاِأاوِِا انتاقا ا
أاْلاِِ ام انِِ ا
“Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka
beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka
akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.”[5]
Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan
dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq
yang mulia dengan non muslim selama tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala
berfirman,
اوقُولُواِللنَّاسِِ ُح اسنًا
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83). Berkata yang baik di sini
umum kepada siapa saja.
Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُسي اُورث ُ ِه لِب اال اجارِِ احتَّىِ ا
ظنا انتُِِأانَّ ِهُِ ا ُِ لِيُوصينىِجباري
ِاماِزا ا ا
“Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga
tersebut akan mendapat warisan.”[6]
Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya
adalah wa ‘alaikum.[7] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لِ االكت اابِِفاقُولُواِ او ا
ِعلا اي ُك ام ُِ علا اي ُك اِمِأ ا اه
سلَّ اِمِ ا
إذااِ ا
“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.”[8]
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِسَلام
َّ ارىِبال
ص اْلاِت ا ابدا ُءواِ اال اي ُهو ِداِ اوالنَّ ا
ِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.”[9]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan
adalah:
Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama
tidak membahayakan kaum muslimin.
Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti memberi sedekah
kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit di antara mereka. Hal ini berdasarkan
keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِِر ا
ِط ابةِِأاجا ر فىِ ُكلِِ اكبد ا
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”[10]
Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan saudara) dengan
memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang kafir agar membuat mereka tertarik untuk memeluk
Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu
sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang. Namun jika seorang muslim
diundang orang kafir dalam acara mereka, maka undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa
menimbulkan rasa cinta pada mereka.
Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti melakukan transaksi jual
beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia yang bernilai mubah yang mereka miliki
(tanpa harus pergi ke negeri kafir).
Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama
wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami
dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ِِصنااتُِِمناِِ اال ُمؤا مناات
طعاا ُم ُك اِمِحلِِلا ُه اِمِ او اال ُمحا ا ِطعاا ُِمِالَّذيناِِأُوتُواِ االكت ا
اابِحلِِلا ُك اِمِ او ا َِّ االيا او اِمِأُح
َّ ِلِلا ُك ُِم
الطيبااتُِِ او ا
نِقابال ُك اِم ِصنااتُِِمناِِالَّذيناِِأُوتُواِ االكت ا
ِاابِمِ ا او اال ُمحا ا
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5). Ingat,
seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau
dianjurkan.
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan
Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala berfirman,
Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan
mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang
dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, ”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun
menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”Apakah betul engkau mencari utangan dan
telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah,
َلَ ُك َْمَ ِفي َهاَ َخيْر
“Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
5: 415).
Untuk masalah akikah, Imam Ahmad berkata,
إذاَلمَيكنَمالكاََماَيعقََفاستقرضَأرجوَأنَيخلفََللاََعليهَ؛َألنهَأحياَسنةَرسولََللاََصلىَهللاَعليهَوسلم
“Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan
menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam.” (Matholib Ulin Nuha, 2: 489, dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 278). Untuk kurban pun
berlaku demikian, bisa dengan berutang.
Dalam Fatwa Islam Web no. 7198 disebutkan,
َ،َألجلَمعلوم،َأوَالمؤجل،فمنَكانَغيرَواجدَللمالَالذيَيكفيَلشراءَاألضحيةَفاشترىَأضحيتهَبالدينَالمقسط
ََبلَإنَمنَأهلَالعلمَمنَاستحبَلغيرَالواجدَأنَيقترضَلشراء،ََوالَحرجَعليه،وضحىَبهاَأجزأهَذلك
َ .َإذاَعلمَمنَنفسهَالقدرةَعلىَالوفاء،أضحيته
ََفهذا.َإالَأنهَالَيجدَاآلنَالسيولةَالكافيةَلشراءَاألضحية،وليسَمنَهذاَالبابَمنَكانتَعندهَسعةَمنَالمال
.َوهللاَتعالىَأعلم.َفعليهَأنَيقترضَحتىَيضحي،َألنهَواجدَفيَالحقيقة،مخاطبَباألضحية
“Siapa yang tidak mendapati kecukupan harta untuk membeli hewan kurban, maka hendaklah ia membeli
kurban dengan cara berutang (menyicil) atau dibayar pada waktu akan datang yang telah disepakati
(dijanjikan). Jika seseorang berkurban dalam keadaan berutang seperti ini, kurbannya sah, tidak ada
masalah baginya. Bahkan sebagian ulama ada yang menganjurkan bagi orang yang tidak mendapati
harta saat berkurban supaya ia mencari pinjaman untuk membeli hewan kurban dengan catatan ia
mampu untuk melunasi utangnya.
Hal ini tidaklah masuk dalam masalah orang yang tidak punya kelapangan rezeki. Namun saat ingin
berkurban, ia tidak punya kecukupan harta untuk membeli hewan kurban padahal ia sudah terkena
perintah berkurban. Karena kenyataannya ia termasuk oramg yang mampu. Maka saat itu hendaklah ia
berutang untuk tetap bisa berkurban. Wallahu Ta’ala a’lam.”
Catatan untuk yang melaksanakan arisan kurban,
1- Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan
berarti berutang.
2- Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik
setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
3- Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang
untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.
Selengkapnya mengenai hal di atas, baca artikel Hukum Qurban Secara Kolektif.
Semoga sajian yang singkat ini bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Wizaroh Al Awqof wasy Syu’un Al Islamiyah, Kuwait.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
ََوهلَهوَمنَبابَالقرضَالذي،َوكلَشخصَمنهمَيأخذهَشهريًّا،َماَ ُحكمَماَيسمىَ”َجمعية”َوهوَعبارةَعنَعدةَأشخاصَيدفعونَمبلغاَمنَالمال:أحسنَهللاَإليك؛َيقول
يجرَنفعاَ؟
Pertanyaan, “Apa hukum arisan? Arisan adalah sekumpulan orang yang menyerahkan sejumlah uang setiap bulan
sehingga ada orang yang secara bergilir mendapatkan uang-uang tersebut setiap bulannya. Apakah ini termasuk
transaksi hutang piutang yang membuahkan manfaat tambahan?”
َ،َثمَالثانيَفيَالشهرَالثاني،َيستلمَرواتبَالجميعَمرة،َثمَكلَواحدَيستلمَرواتبهمَمرة،َيكونَاإلنسانَمحتاجاَعشرةَأوَعشرين:َيعني،َهذاَسببَتعاوني،هذاَالَبأسَبه
َليسَفيهَشيءَبهذهَالمثابة،ثمَالثالث.
Jawaban Syaikh Abdul Azizi ar Rajihi, “Hal ini hukumnya adalah tidak mengapa. Arisan itu termasuk dalam bagian
dari upaya tolong menolong. Ada sepuluh atau dua puluh orang kemudian setiap orang menerima uang yang berasal
dari gabungan semua anggota arisan secara bergilir. Kegiatan semacam ini tidaklah masalah”.
Sumber:
http://shrajhi.com/?Cat=1&Fatawa=472
Catatan:
Mubah adalah hukum asal arisan menurut pendapat yang paling kuat. Namun hukum asal ini bisa berubah dalam
kondisi tertentu karena ada ketidakadilan dalam pelaksanaan arisan
1. Arisan termasuk urusan muamalat manusia, dan kaidahnya “Asal dalam muamalah
adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya”. Bahkan, arisan merupakan salah
satu bentuk sosial yang dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan sesama.
2. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang.
Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori “memberikan pinjaman dengan
mengambil manfaat” maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota
arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”. (Syarh
Riyadhus Shalihin, 1:838)