Kemajuan ilmu dan teknologi berkembang dengan pesat diberbagai bidang, termasuk
dalam bidang pangan, kemajuan teknologi ini membawa dampak positif maupun negatif.
Dampak positif teknologi tersebut mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan,
juga meningkatkan diversivikasi, hygiene, sanitasi, praktis dan lebih ekonomis. Dampak
negatif kemajuan teknologi tersebut ternyata cukup besar bagi kesehatan konsumen
dengan adanya penggunaan zat aditif yang berbahaya. Zat aditif adalah bahan kimia yang
dicampurkan ke dalam makanan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas,
menambahkan rasa dan memantapkan kesegaran produk tersebut (Anonimous 2000).
Dari berbagai senyawa pembangkit citarasa yang beredar bebas di pasaran seperti
misalnya MSG, 5 nukleotida, maltol (soft drink), dioctyl sodium sulfosuccinate (untuk
susu kaleng) dan lain sebagainya, ternyata hanya monosodium glutamat (MSG) yang
banyak menimbulkan kontroversi antara produsen dan konsumen (Winarno 2004).
Namun sejauh ini, belum banyak penelitian langsung terhadap manusia. Hasil dari
penelitian dari hewan, memang diupayakan untuk dicoba pada manusia. Tetapi hasil-
hasilnya masih bervariasi. Sebagian menunjukkan efek negatif MSG seperti pada hewan,
tetapi sebagian juga tidak berhasil membuktikan. Yang sudah cukup jelas adalah efek ke
terjadinya migren terutama pada usia anak-anak dan remaja seperti laporan Jurnal
Pediatric Neurology (Anonimous 2003).
Memang disepakati bahwa usia anak-anak atau masa pertumbuhan lebih sensitif terhadap
efek MSG daripada kelompok dewasa. Sementara untuk efek terjadinya kejang dan
urtikaria (gatal-gatal dan bengkak di kulit seperti pada kasus alergi makanan), masih
belum bisa dibuktikan.
World Health Organization (WHO) dan Food and Agricultural Organization (FAO)
menyatakan bahwa ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap kesehatan
manusia dibagi dalam 3 katagori yaitu : 1) aspek toksikologis, katagori residu bahan
makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh, 2) aspek mikrobiologis,
mikroba dalam bahan makanan yang dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam
saluran pencernaan, 3) aspek imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan
kekebalan tubuh. Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung
maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pembahasan
Asam glutamat atau yang sering disebut dengan MSG (Monosodium Glutamat) pada
tahun 1940, asam glutamat telah digunakan di berbagai macam jenis produk makanan di
berbagai negara, khususnya dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Asam glutamat
merupakan salah satu dari 20 asam amino yang ditemukan pada protein dan MSG
merupakan monomer dari asam glutamat. MSG memberikan rasa gurih dan nikmat pada
berbagai macam masakan, walaupun masakan itu sebenarnya tidak memberikan rasa
gurih yang berarti. Penambahan MSG ini membuat masakan seperti daging, sayur, sup
berasa lebih nikmat dan gurih (Anonimous 2006).
MSG dijual dalam berbagai bentuk produk dan kemasan, produk penyedap rasa seperti
Ajinomoto atau Royco mengandung MSG sebagai salah satu bahan penyedap rasa.
Produk makanan siap saji, makanan beku maupun makanan kaleng juga mengandung
MSG dalam jumlah yang cukup besar. Selain lada dan garam, botol berlabel penyedap
rasa yang mengandung MSG juga dapat dengan mudah ditemukan di rak bumbu dapur
maupun di atas meja restoran. Umumnya, Restoran Cina banyak menggunakan MSG
untuk menyedapkan masakan-masakannya.
Walaupun sebagian besar orang dapat mengkonsumsi MSG tanpa masalah, beberapa
orang memiliki alergi bila mengkonsumsi berlebihan yaitu gejala seperti pening, mati
rasa yang menjalar dari rahang sampai belakang leher, sesak nafas dan keringat dingin.
Secara umum, gejala-gejala ini dikenal dengan nama sindrom restoran cina.
Sejarah
Monosodium Glutamate (MSG) mulai terkenal tahun 1960-an, tetapi sebenarnya
memiliki sejarah panjang. Selama berabad-abad orang Jepang mampu menyajikan
masakan yang sangat lezat. Rahasianya adalah penggunaan sejenis rumput laut bernama
Laminaria japonica. Pada tahun 1908, Kikunae Ikeda, seorang profesor di Universitas
Tokyo, menemukan kunci kelezatan itu pada kandungan asam glutamat. Penemuan ini
melengkapi 4 jenis rasa sebelumnya – asam, manis, asin dan pahit – dengan umami (dari
akar kata umai yang dalam bahasa Jepang berarti lezat) (Anonimous 2006). Sebelumnya
di Jerman pada tahun 1866, Ritthausen juga berhasil mengisolasi asam glutamat dan
mengubahnya menjadi dalam bentuk monosodium glutamate (MSG), tetapi belum tahu
kegunaannya sebagai penyedap rasa.
Sekarang ini MSG digolongkan sebagai GRAS (Generally Recognized As Save) atau
secara umum dianggap aman. Hal ini juga didukung oleh US Food and Drugs
Administration (FDA), atau badan pengawas makanan dan obat-obatan (semacam Ditjen
POM) di Amerika yang menyatakan MSG aman. Tentu dalam batas konsumsi yang wajar
(Anonimous 2003).
MSG yang banyak dijual di toko-toko, diproduksi dalam skala komersial melalui proses
fermentasi dengan menggunakan bahan mentah pati, gula bit, gula tebu, atau molases
(tetes). Begitupun, menyadari tingginya konsumsi MSG di wilayah Asia, WHO
menggunakan MSG untuk program fortifikasi vitamin A. Di Indonesia pernah dilakukan
pada tahun 1996. Juga, penggunaan MSG bisa menjadi salah satu pilihan dalam
menurunkan konsumsi garam (sodium) yang berhubungan dengan kejadian hipertensi
khususnya pada golongan manula. Hal ini karena untuk mencapai efek rasa yang sama,
MSG hanya mengandung 30% natrium dibanding garam.
Pada kebanyakan diet glutamat sangat cepat dimetabolis dan digunakan sebagai sumber
energi. Dari segi pandangan nutrisi, glutamat termasuk non-essential amino acid, yang
berarti bahwa tubuh kita dapat memproduksi glutamate dari sumber protein yang lain,
jika memang diperlukan tubuh memproduksi sendiri glutamate untuk berbagai macam
kebutuhan essential (Anonimous 2006).
MSG dan Kesehatan Masyarakat
Pada tahun 1959, Food and Drug Administration di Amerika mengelompokkan MSG
sebagai ”generally recognized as safe” (GRAS), sehingga tidak perlu aturan khusus.
Kemudian pada tahun 1970 FDA menetapkan batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg
berat badan/hari yang disetarakan dengan konsumsi garam. Mengingat belum ada data
pasti, saat itu ditetapkan pula tidak boleh diberikan kepada bayi kurang dari 12 minggu
(Anonimous 2003). Dari penelitian yang telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun oleh
para scientis bahwa MSG aman untuk dikonsumsi, sejauh tidak berlebihan termasuk pada
wanita hamil dan menyusui.
Batasan aman yang pernah dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia WHO (World Health
Organization), asupan MSG per hari sebaiknya sekitar 0-120 mg/kg berat badan. Jadi,
jika berat seseorang 50 kg, maka konsumsi MSG yang aman menurut perhitungan
tersebut 6 gr (kira-kira 2 sendok teh) per hari. Rumus ini hanya berlaku pada orang
dewasa. WHO tidak menyarankan penggunaan MSG pada bayi di bawah 12 minggu
(Anonimous 2001).
Bagaimana sampai MSG bisa menimbulkan gejala di atas, masih dugaan sampai saat ini.
Tetapi diperkirakan penyebabnya adalah terjadinya defisiensi vitamin B6 karena
pembentukan alanin dari glutamat mengalami hambatan ketika diserap. Konon
menyantap 2 – 12 gram MSG sekali makan sudah bisa menimbulkan gejala ini.
Akibatnya memang tidak fatal betul karena dalam 2 jam Cinese Restaurant Syndrome
sudah hilang.
C. Kanker
MSG menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya dari sudut pandang
berikut. Glutamat dapat membentuk pirolisis akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan
dalam waktu lama. pirolisis ini sangat karsinogenik. Padahal masakan protein lain yang
tidak ditambah MSG pun, bisa juga membentuk senyawa karsinogenik bila dipanaskan
dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang lama. Karena asam amino penyusun protein,
seperti triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin juga dapat mengalami pirolisis dari
penelitian tadi jelas cara memasak amat berpengaruh.
D. Alergi
MSG tidak mempunyai potensi untuk mengancam kesehatan masyarakat umum, tetapi
juga bahwa reaksi hypersensitif atau alergi akibat mengkonsumsi MSG memang dapat
terjadi pada sebagian kecil sekali dari konsumen. Beberapa peneliti bahkan cenderung
berpendapat nampaknya glutamat bukan merupakan senyawa penyebab yang efektif,
tetapi besar kemungkinannya gejala tersebut ditimbulkan oleh senyawa hasil
metabolisme seperti misalnya GABA (Gama Amino Butyric Acid), serotinin atau bahkan
oleh histamin (Winarno 2004).
Kesimpulan
MSG memberikan rasa gurih dan nikmat pada berbagai macam masakan, walaupun
masakan itu sebenarnya tidak memberikan rasa gurih yang berarti. MSG aman
dikonsumsi sejauh tidak berlebihan. Meski dinilai aman, MSG hendaknya tidak diberikan
bagi orang yang tengah mengalami cidera otak karena stroke, terbentur, terluka, atau
penyakit syaraf. Konsumsi MSG menyebabkan penumpukan asam glutamat pada
jaringan sel otak yang bisa berakibat kelumpuhan. Batasan aman yang pernah
dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization), asupan
MSG per hari sebaiknya sekitar 0-120 mg/kg berat badan.
Sumber Literatur: