Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP SELF CONFIDENCE

DEWASA AWAL KURANG LIHAT (LOW VISION)

Irma Aprilia -1601256935 – LA64

1 sepemer 2015

BAB I

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia mengalami

pertumbuhan secara fisik dan perkembangan menuju tingkatan yang lebih tinggi.

Menurut Hurlock (2002), terdapat tahapan-tahapan dalam perkembangan

manusia yaitu periode pranatal, masa neonatal, masa bayi, masa kanak-kanak

awal, masa kanak-kanak akhir, masa remaja awal, masa remaja akhir, masa

dewasa dini, masa dewasa madya dan masa lanjut usia. Setiap tahapan dalam

perkembangan manusia memiliki tugas perkembangan pada masing-masing

tahapan.

Masa awal dewasa (earlyadulthood), ialah periode perkembangan yang bermula

pada akhir usia belasan tahun atau awal usia dua puluhan tahun dan yang berakhir

pada usia tiga puluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi

dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan

pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan

mengasuh anak anak. Dalam kenyataannya untuk berinteraksi maka individu harus

mempunyai keberanian atau percaya diri (self confidence) untuk menjalin

interaksi dengan orang lain (Putri & Hadi, 2005).


Melalui interaksi dengan lingkungan dan orang di sekitarnya seseorang akan

belajar mengenali diri sendiri. Individu akan memperoleh informasi mengenai

dirinya dari interaksi dengan lingkungan dan orang di sekitarnya tetapi jika tidak

ada interaksi dengan lingkungan maka individu tersebut tidak mengenal dirinya

lebih dalam. Penilaian baik atau buruk yang diterima dari orang lain turut

mempengaruhi self confidence seseorang. Penilaian yang baik oleh orang lain akan

menimbulkan self confidence dalam diri seseorang, sebaliknya penilaian yang

buruk oleh orang lain akan menurunkan self confidence seseorang.

Peningkatan self confidence juga dapat diperoleh dari sekolah sehingga sekolah

turut mempengaruhi self confidence atau percaya diri seseorang

(Iswidharmanjaya, 2004).

Lauster (dalam Fasikhah, 1994), menyatakan bahwa self confidence merupakan

suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang

bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa

bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas

perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat

menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta

dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya.

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar

menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada

hubungan interaksi yang intim dengan orang tuanya. Keluarga memberikan dasar

pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak.( kartini kartono,

1992, 19). Kehadiran orang tua dalam kehidupan sangat diperlukan agar

penanganan seorang anak disabilitas dapat mencapai hasilyang lebih baik.

Anak-anak dengan low vision adalah kelompok yang perlu mendapat perhatian dan

perlu dilakukan intervensi agar tidak berlanjut dan tidak menjadi penderita

tunanetra.Selama ini low vision masih belum menjadi perhatian orang tua.Padahal,
gangguan penglihatan ini bisa menyulitkan anak pada masa mendatang bila tidak

dicegah atau ditangani secara dini.

Faye dalam Samuel A.Kirk mendefinisikan orang yang kurang lihat sebagai orang

yang meskipun sudah diperbaiki penglihatannya masih lebih rendah atau kurang

dari normal tetapi memiliki penglihatan yang dapat dipergunakan secara

berarti.Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20 m – 6/60 m atau 20/70

feet -20/200 feet.Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya

dikatakan tunanetra (low vision).Pada taraf ini, para penderita masih mampu

melihat dengan bantuan alat khusus.

Diperkirakan 45 juta orang di dunia ini buta dan tiga kali dari jumlah tersebut

(135 Juta) menyandang low vision.Jadi diperkirakan ada 180 juta orang di dunia

ini menyandang tunanetra.Di Indonesia memang tidak ada data yang bisa dipakai,

tetapi hasil penelitian di Indonesia jumlah anak low vision jumlahnya cukup besar.

Pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua

dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada

anak.Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut

tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu.Jika

pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan

perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap

positif (Papalia, 2008).

Pola asuh mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan perilaku

moral pada anak, karena dasar perilaku moral pertama di peroleh oleh anak dari

dalam rumah yaitu dari orang tuanya. Proses pengembangan melalui pendidikan

disekolah tinggal hanya melanjutkan perkembangan yang sudah ada. Menurut

Baumrind (dalam Santrock, 2002: 257-258) ada empat macam bentuk pola asuh
yang diterapkan oleh masing-masing orang tua, bentuk-bentuk pola asuh itu

adalah, pola asuh otoriter, pola asuh demokrasi, pola asuh penelantaran dan pola

asuh permisif. Dari keempat macam pola asuh itu bentuk pola asuh demokrasilah

pola asuh paling baik diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.

Pola asuh otoriter adalah suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut agar anak

patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orangtua

tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sendiri.. Anak

dijadikan sebagai miniatur hidup dalam pencapaian misi hidupnya. Hal ini sejalan

dengan pendapat Shapiro(1992:27) bahwa “Orangtua otoriter berusaha

menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun

dalam banyak hal tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani

anak”.

Baumrind juga mengatakan bahwa pola asuh otoritatif atau demokrasi, pada pola

asuh ini orangtua yang mendorong anak-anaknya agar mandiri namun masih

memberikan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.

Musyawarah verbal dimungkinkan dengan kehangatan-kehangatan dan kasih

sayang yang diperlihatkan. Anak-anak yang hidup dalam keluarga demokratis ini

memiliki kepercayaan diri, harga diri yang tinggi dan menunjuk perilaku yang

terpuji.

Shapiro (1999:28) mengemukakan “Dalam hal belajar orangtua otoritatif

menghargai kemandirian, memberikan dorongan dan pujian. Berdasarkan

pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan penerapan

pola asuh autoritatif indentik dengan penanaman nilai-nilai demokrasi yang

menghargai dan menghormati hak-hak anak, mengutamakan diskusi ketimbang

interuksi, kebebasan berpendapat dan selalu memotivasi anak untuk menjadi yang

lebih baik.
Pola asuh penelantaran adalah pola asuh dimana orang tua sangat tidak terlibat

dalam kehidupan anak, orangtua pada pola asuh ini mengembangkan perasaan

bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting dari pada anak-anak.

Dimana orangtua lebih cenderung membiarkan anak-anaknya dibesarkan tanpa

kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup. Sedangkan yang

dimaksud dengan polaasuh orang tua permisif dimana pada pola asuh ini orangtua

sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, namun menetapkan sedikit

batas atau kendali terhadap anak mereka. Orangtua cenderung membiarkan

anak-anak mereka melakukan apa saja, sehingga anak tidak dapat mengendalikan

perilakunya serta tidak mampu untuk menaruh hormat pada orang lain.

Selanjutnya Shapiro (1999:127-128) mengemukakan bahwa “orangtua permisif

berusaha menerima dan mendidik anaknya sebaik mungkin tapi cenderung sangat

pasif ketika sampai pada masalah penetapan batas-batas atau menanggapi

ketidak patuhan”. Orangtua permisif tidak begitu menuntut juga tidak

menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak

seharusnya berkembang sesusai dengan kecenderungan alamiahnya. Sedangkan

Covey (1997:45) menyatakan bahwa “orangtua yang menerapkan pola asuh

permisif cenderung ingin selalu disukai dan anak tumbuh dewasa tanpa

pengertian mendalam mengenai standar dan harapan, tanpa komitmen peribadi

untuk disiplin dan bertanggungjawab.

Dari keempat macam pola asuh itu bentuk pola asuh demokrasilah pola asuh

paling baik diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.Menurut

Maccoby & Mc loby (yang dikutip oleh Suparyanto, 2010) salah satu pola asuh

orang tua yang mempengaruhi self confidence anak adalah pola asuh demokratis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pola asuh apa yang diberikan oleh orang tua kepada anak kurang

lihat (low vision)?

2. Adakah hambatan atau masalah yang dihadapi oleh orang tua dalam

mengasuh anak kurang lihat (low vision)?

3. Uapaya apa yang diberikan dalam mengatasi hambatan atau masalah yang

terjadi dalam pengasuhan anak kurang lihat (low vision)?

4. Bagaimana self confidence anak kurang lihat (low vision)pada pola asuh

yang telah diberikan oleh orang tua?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pola asuh anak yang diterapkan oleh orang tua kepada anak

kurang lihat (low vision)

2. Mengetahui hambatan dalam mengasuh anak kurang lihat (low

vision) pada pola asuh yang diterapkan oleh orang tua

3. Mengetahui upaya dalam mengatasi hambatan pengasuhan anak kurang

lihat (low vision)

4. Mengetahui self confidence anak kurang lihat (low vision) pada pola asuh

yang telah diberikan oleh orang tua.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

manfaat secara praktis:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang dalam pengembangan ilmu

psikologi, khususnya di bidang psikologi klinis yaitu memberikan informasi

mengenai bagaimana percaya diri atau self confidence terhadap pola asuh yang

diberikan orang tuapada dewasa awal kurang lihat.

2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini adalah diharapkan dari data

penelitian yang didapatkan dapat mengetahui perbedaan self confidence pada

dewasa awal kurang lihat terhadap pola asuh orang tua.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.Self Confidence

2.1.1 Pengertian self confidence

Self-confidence atau percaya diri adalah sejauhmana anda punya keyakinan

terhadap penilaian anda atas kemampuan anda dan sejauh mana anda bisa

merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil.Ignoffo (1999) secara sederhana

mendefenisikan self-confidence berarti memiliki keyakinan terhadap diri sendiri.

Menurut Neill (dalam Hadi & Putri, 2005) self-confidence adalah kombinasi

dari self esteem dan self-efficacy.

Lauster (dalam Fasikhah, 1994), menyatakan bahwa self confidence merupakan

suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang

bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa

bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas

perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat

menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta

dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya.

Self-confidence adalah sikap positif seorang individu yang merasa memiliki

kompetensi atau kemampuan untuk mengembangkan penilaian positif baik

terhadap dirinya maupun lingkungan (Jacinta, 2002). Menurut Hasan (dalam


Iswidharmanjaya, 2004) menyatakan self-confidence adalah percaya akan

kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta

dapat memanfaatkan secara tepat.

Coopersmith (dalam Nazwali, 1996) menjelaskan bahwa ketika individu lebih

aktif, mempunyai perilaku yang bertujuan, bersemangat dalam menjalankan

kehidupan sehari- hari baik yang bersifat individual maupun yang bersifat

kelompok cenderung memiliki self-confidence yang tinggi.Sedangkan menurut

Hakim (2002) menjelaskan self-confidence yaitu sebagai suatu keyakinan

seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan

tersebut membuatnya merasa mampu untuk dapat mencapai berbagai tujuan

dalam hidupnya. Menurut Uqshari (2005) self-confidence adalah keyakinan

seorang individu akan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa puas dengan

keadaan dirinya. Bandura (dalam Sakinah, 2005) mendefenisikan self-

confidence sebagai suatu keyakinan seseorang yang mampu berperilaku sesuai

dengan yang diharapkan dan diinginkan. Sedangkan Breneche dan Amich (dalam

Kumara, 1988) self-confidence merupakan suatu perasaan cukup aman dan tahu

apa yang dibutuhkan dalam kehidupannya sehingga tidak perlu membandingkan

dirinya dengan orang lain dalam menentukan standar, karena ia selalu dapat

menentukan sendiri.

Self-confidence bukan merupakan sesuatu yang sifatnya bawaan tetapi

merupakan sesuatu yang terbentuk dari interaksi.Waterman (dalam Sakinah,

2005) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan self-confidence diperlukan situasi

yang memberikan kesempatan untuk berkompetisi, karena menurut Markus dan

Wurf (dalam Sakinah, 2005) seseorang belajar tentang dirinya sendiri melalui

interaksi langsung dan komparasi sosial. Dari interaksi langsung dengan orang lain

akan diperoleh informasi tentang diri dan dengan melakukan komparasi sosial

seseorang dapat menilai dirinya sendiri bila dibandingkan dengan orang lain.
Seseorang akan dapat memahami diri sendiri dan akan tahu siapa dirinya yang

kemudian akan berkembang menjadi percaya diri atau self confidence.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self confidenceadalah

perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri yang mencakup penilaian dan

penerimaan yang baik terhadap dirinya secara utuh, bertindak sesuai dengan apa

yang diharapkan oleh orang lain sehingga individu dapat diterima oleh orang lain

maupun lingkungannya. Penerimaan ini meliputi penerimaan secara fisik dan psikis.

1. Karakteristik self confidenc

Menurut Ignoffo (1999), terdapat beberapa karakteristik yang

menggambarkanindividu yang memiliki self confidence yaitu:

1. Memiliki cara pandang yang positif terhadap diri.

2. Yakin dengan kemampuan yang dimiliki.

3. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan.

4. Berpikir positif dalam kehidupan.

5. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan.

6. 
 Memiliki potensi dan kemampuan.

Menurut Hakim (2002) mengungkapkan beberapa ciri-ciri orang yang

memiliki self confidence adalah:

1. Selalu bersikap tenang dan tidak mudah menyerah.

2. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai.

3. Mampu menetralisasi ketegangan yang muncul pada situasi tertentu.

4. Memiliki kondisi mental dan fisik cukup menunjang penampilan.

5. Memiliki kecerdasan yang cukup.

6. 
 Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup.

7. Memiliki keahlian dan keterampilan yang menunjang kehidupannya, misal

keterampialn bahasa asing.

8. Memiliki kemampuan sosialisasi.


9.

10. Memilikipengalamanhidupyangmenempahmentalnyamenjadikuatdantahand

alam 
 menghadapi berbagai cobaan.

11. Selalu bersikap positif dalam menghadapi berbagai masalah.

12. Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi dalam berbagai situasi.

Menurut Lauster (dalam Fasikhah, 1994), terdapat beberapa karakteristik untuk

menilai self confidence dalam diri individu, diantaranya:

1. Percaya kepada kemampuan sendiri

Suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang

ber- hubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi

fenomena yang terjadi tersebut.

1. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan

Dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dilakukan secara

mandiri tanpa adanya keterlibatan orang lain. Selain itu, mempunyai kemampuan

untuk meyakini tindakan yang diambilnya tersebut.

1. Memiliki konsep diri yang positif

Adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan maupun

tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri sendiri.

1. Berani mengungkapkan pendapat

Adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri yang ingin

diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat

menghambat pengungkapan perasaan tersebut.


Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lauster (dalam Fasikhah, 2004)

menyebutkanbahwa ciri-ciri orang yang memiliki self-confidenceadalah tidak

mementingkan diri sendiri, cukup toleran, cukup berambisi, tidak perlu dukungan

orang lain, tidak berlebihan, optimistik, mampu bekerja secara efektif,

bertanggung jawab atas pekerjaannya, dan merasa gembira.

Waterman (dalam Yulianti, 2005) mengatakan bahwa orang yang mempunyai self

confidenceadalah mereka yang mampu bekerja secara efektif, dapat

melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab serta mempunyai

rencana terhadap masa depannya.

Menurut Lauster dan Rakhmat (dalam Afiatin & Martaniah, 1998 ) ciri-ciri

individu yang memiliki self confidence yang rendah adalah sebagai berikut :

1. Individu merasa bahwa tindakan yang dilakukan tidak adekuat. Ia

cenderung merasa 
 tidak aman dan tidak bebas bertindak, cenderung

ragu-ragu dan membuang-buang waktu dalam mengambil keputusan,

memiliki perasaan rendah diri dan pengecut, kurang bertanggung jawab

dan cenderung menyalahkan pihak lain sebagai penyebab masalahnya,

serta merasa pesimis dalam menghadapi rintangan.

2. Individu merasa tidak diterima oleh kelompoknya atau orang lain. Ia

cenderung menghindari situasi komunikasi karena merasa takut

disalahkan atau direndahkan, merasa malu jika tampil di hadapan orang

banyak.

3. Individu tidak percaya terhadap dirinya dan mudah gugup. Ia merasa

cemas dalam mengemukakan gagasannya dan selalu membandingkan

keadaan dirinya dengan orang lain.
 Menurut Ignoffo (1999), terdapat 7

ciri-ciri individu yang memiliki self confidenceyang rendah pada individu,

yaitu :

4. Perfeksionis
5. Penilaian negatif

6. Pasrah dan putus asa.

7. Pemikiran yang dangkal.

8. Rasa cemas.

9. Berpikir sebagai korban,

10. Self-Fulfilling Prophecy

Dapat disimpulkan bahwa orang yang percaya diri atau self confidence memiliki

sikap yang tenang dan bersikap positif dalam menghadapi berbgai masalah dan

tidak mudah menyerah, memiliki kemampuan sosialisasi yang baik, percaya kepada

kemampuan sendiri, berani mengungkapkan pendapat, tidak mementingkan diri

sendiri melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab serta mempunyai

rencana terhadap masa depannya. Dengan kemampuan-kemampuan tersebut

individu mempunyai kemungkinan untuk lebih sukses dalam menjalani kehidupan

bila dibandingkan dengan orang yang kurang atau tidak percaya diri atau self

confidencerendah.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi self confidence


Self confidencemerupakan sesuatu yang berasal dan berakar dari pengalaman

masakanak-kanak dan berkembang, terutama sebagai akibat dari hubungan kita

dengan orang lain. Pengalaman saat berhubungan dengan orang lain dan bagaimana
orang lain memperlakukan kita akan membentuk gagasan dan penilaian dalam diri

kita yang dapat mempengaruhi percaya diri atau self confidence.

Menurut Iswidharmanjaya (dalam Yulianti, 2007) ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi self confidence, yaitu :

1. Orang tua

Dalam hal informasi dan cermin tentang diri seseorang, orang tua memegang

peranan yang paling istimewa. Jika orang tua secara tulus dan konsisten

menunjukkan cinta dan sayang maka akan memberikan pandangan kepada anak

bahwa dia pantas dicintai baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri.

Sebaliknya, jika orang tua tidak memberikan kehangatan, penerimaan dan cinta

dalam hubungan dengan anak, maka anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri

yang kurang. Penilaian yang diberikan oleh orang tua sebagian besar akan menjadi

penilaian yang dipegang oleh anak. Harapan orang tua akan menjadi masukan ke

dalam cita-cita anak. Jika anak tidak mampu memenuhi harapan-harapan itu,

maka ada kemungkinan anak akan mengembangkan rasa tidak berguna dan

percaya diri yang rendah.

1. Saudara sekandung

Hubungan dengan saudara kandung juga penting dalam pembentukan rasa percaya

diri.Anak sulung yang diperlakukan seperti pemimpin oleh adik-adiknya dan

mendapat banyak kesempatan untuk berperan sebagai penasehat, mendapat

banyak keuntungan untuk mengembangkan rasa percaya dirinya.Sedangkan anak

bungsu mungkin mengalami hal yang berlawanan. Mungkin dia terus menerus

dianggap dan diperlakukan sebagai anak kecil, akibatnya self

confidenceberkembang amat lambat bahkan sulit tumbuh.

1. Sekolah

Siswa yang sering mendapat perlakuan buruk (dihukum dan ditegur) cenderung

lebih sulit mengembangkan rasa percaya dirinya. Sebaliknya siswa yang banyak
dipuji, mendapat penghargaan, dan diberi hadiah cenderung mempunyai self

confidenceyang tinggi.

1. Teman sebaya

Dalam pergaulan dengan teman-teman, apakah kita disenangi, dikagumi, dan

dihormati atau tidak, ikut menentukan dalam pembentukan rasa percaya diri

seseorang. Penerimaan dan perlakuan yang baik oleh teman sebaya akan

menimbulkan rasa percaya diri dalam diri seseorang. Sebaliknya, penolakan oleh

teman sebaya menyebabkan seseorang akan menarik diri dan merasa bahwa

dirinya memiliki banyak kekurangan sehingga tidak pantas untuk bergaul dengan

teman-teman yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan percaya diri akan

menghilang. Jadi, untuk dapat diterima dalam pergaulan seorang remaja

cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan perilaku teman sekelompoknya.

1. Masyarakat

Sebagai anggota masyarakat kita dituntut untuk bertindak menurut cara dan

norma dalam masyarakat. Semakin mampu seseorang memenuhi norma dan

diterima oleh masyarakat, maka percaya dirinya akan semakin berkembang. Self

confidenceatau percaya diri seseorang juga dipengaruhi oleh penilaian yang

diberikan oleh masyarakat. Jika seseorang sudah dicap jelek, maka akan sulit

baginya untuk mengubahnya.

1. Pengalaman

Banyak pandangan mengenai diri seseorang yang dipengaruhi oleh pengalaman,

keberhasilan, dan kegagalan yang dialami. Keberhasilan akan memudahkan

seseorang untuk mengembangkan self confidence sedangkan kegagalan dapat

menghambat pengembangan percaya diri.

Selain itu Iswidharmanjaya (dalam Yulianti, 2007) menyatakan ada tiga faktor

yangmempengaruhi timbulnya self confidence:

1. Proses belajar
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri dirasakan sejak usia dini. Pola asuhyang

diberikan orang tua memiliki peranan yang besar dalam menumbuhkan percaya

diri anak.Pola asuh yang diberikan meliputi kasih sayang, perhatian, penerimaan,

serta yang paling penting adalah kelekatan emosi dengan orang tua secara tulus.

Dengan adanya kehangatan dan asuhan dari orang tua, rasa percaya diri anak

akan mulai bersemi. Kalau anak merasa dirinya berharga dan bernilai dimata

orang tuanya, akan cenderung manjadi anak yang semakin percaya diri.

Selain pola asuh, perilaku orang tua juga memiliki peran dalam proses

pembentukan sikap percaya diri, karena biasanya anak yang masih kecil akan

menirukan apa yang diperbuat oleh orang tuanya. Sebaliknya orang tua yang

kurang memberikan perhatian, suka mengkritik, tidak pernah memberikan pujian

ataupun tidak pernah puas melihat prestasi anaknya akanmenurunkan percaya diri

anaknya.

1. Konsep diri

Untuk menjadi pribadi yang memiliki percaya diri, seorang individu membutuhkan

konsep diri yang positif.Konsep diri adalah gambaran yang dipegang seseorang

menyangkut dirinya sendiri. Jika seorang individu sudah mengenal keadaan

dirinya dan dapat menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki maka individu

tersebut akan memiliki percaya diri yang baik.

1. Interaksi dengan lingkungan

Seseorang akan belajar mengenai diri sendiri melalui interaksi langsung dengan

orang lain. Dengan berinteraksi, seorang individu akan memperoleh informasi

mengenai dirinya dari orang lain. Tetapi jika tidak ada orang lain yang menilai

maka individu tersebut tidak mengenal dirinya lebih dalam.


2.2 Pola Asuh

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

Hetherington & Whiting (1999) menyatakan bahwa pola asuh sebagai proses

interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti proses pemeliharaan,

pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan

lingkungan sekitar. Orang tua akan menerapkan pola asuh yang terbaik bagi

anaknya dan orang tua akan menjadi contoh bagi anaknya.

Menurut Gunarsa (2002) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara

anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik

(makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi

atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak

dapat hidup selaras dengan lingkungan.

Menurut Wahyuning (2003) pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orang tua

yang ditetapkan pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar
menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak menunjuk

pada pendidikan umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak berupa suatu

proses interaksi orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai yang diasuh)

yang mencakup perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi maupun

sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.

Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi

antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam

keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak

(Baumrind dalam Irmawati, 2002).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu

proses interaksi total orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti

memelihara, memberi makan, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak

selama masa perkembangan serta memberi pengaruh terhadap perkembangan

kepribadian anak dan terkait dengan kondisi psikologis bagaimana cara orang tua

mengkomunikasikan afeksi (perasaan) dan norma-norma yang berlaku di

masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

 Dimensi Pola Asuh

Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari

adanya dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptance/Responsiveness;

menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan

dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek,

yakni;

 sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak-

anaknya,

 sensitif terhadap emosi anak,


 memperhatikan kesejahteraan anak,

 bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama,

 serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak

mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.

Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dansering

tersenyum, memeberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka.Mereka juga

membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat

salah.Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik,

merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang

mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.

Selanjutnya dimensi (2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana

standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol

perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni;

 pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha

orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan

batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak,

 tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung

jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang

tua,

 sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas

dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang

tua tidak menghendakianak membantah atau mengajukan keberatan

terhadap peraturan yang telah ditentukan,

 campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan

orang tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam

keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak
dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang

mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak.

 kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua

menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang

tua.

Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua, mengharapkan

anak-anak mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anak- anak mereka

dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi.Orang tua yang

kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif)

membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka

memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan

pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka

sendiri.

 Jenis-Jenis Pola Asuh

Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) dikatakan

terdapat 3 jenis pola asuh yaitu: authoritarian, authoritativedan permissive.

Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola

asuh uninvolved/ neglectful.

 Authoritarian parenting; pola asuh ini mengkombinasikan tingginya

demandingness/control dan rendahnya acceptance/responsive. Orang tua

memaksakan banyak peraturan, mengharapkan kepatuhan yang ketat,

jarang menjelaskan mengapa anak harus memenuhi peraturan-peraturan

tersebut,dan biasanya mengandalkan taktik kekuasaan seperti hukuman

fisik untuk memenuhi kebutuhannya.

 Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel;

merekamengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka juga

menerima dan responsif. Seimbang dalam kedua dimensi baik


demandingness/control maupun acceptance/responsive. Mereka

membuat peraturan yang jelas dan secara konsisten melakukannya,

mereka juga menjelaskan rasionalisasi dari peraturan mereka dan

pembatasannya. Mereka juga responsif pada kebutuhan anak-anak

mereka dan sudut pandang anak, serta melibatkan anak dalam

pengambilan keputusan keluarga. Mereka dapat diterima secara rasional

dan demokratis dalam pendekatan mereka, meski dalam hal ini jelas

mereka berkuasa, tetapi mereka berkomunikasi secara hormat dengan

anak- anak mereka.

 Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung

demandingness/control yang rendah dan acceptance/responsive yang

tinggi. Orang tua permisif penyabar, mereka membuat beberapa

pengendalian pada anak-anak untuk berperilaku matang, mendorong anak

untuk mengekspresikan perasaan dan dorongan mereka dan jarang

menggunakan kontrol pada prilaku mereka.

 Neglectful parenting; merupakan orang tua yang mengkombinasikan

rendahnya demandingness/control dan acceptance/responsive yang

rendah pula. Secara relatif tidak melibatkan diri pada pengasuhan anak

mereka mereka terlihat tidak terlalu perduli pada anak-anak mereka dan

bahkan mungkin menolak mereka atau yang lainnya mereka kewalahan

dengan masalah-masalah mereka sendiri yang mana mereka tidak dapat

memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan menegakkan

aturan.

 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:

1. Jenis kelamin anak


Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada

anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada

anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun

tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak

perempuan.

2. Kebudayaan

Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak.Hal ini juga

berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan

dalam suatu kebudayaan.

3. Kelas sosial ekonomi

Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih

permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang

cemderung autoritarian.

2.3 Low Vision

2.3.1 Pengertian Low Vision

Definisi atau pengertian tentang low vision yang ditetapkan akan berakibat

kepada jumlah atau populasi dari low vision. Bagi kita yang akan memberikan

pelayanan, difinisi kerja tentang low vision lebih dibutuhkan. WHO menetapkan

difinisi kerja tentang Low Vision sebagai berikut:

“A person with low vision is one has impairment of visual functioning even after

treatment and/or standard refractive correction, and has a visual acuity of les

then 6/18 (20/60) to light perception or a visual field of less than 10 degree

from the point of fixation, but who uses or is potentially able to use, vision for

the planning and/or execution of a task”.


Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai

berikut:

1. Setelah diobati dan dikoreksi dengan kacamata, masih memiliki kelainan

pada fungsi penglihatannya.

2. Ketajaman penglihatan 6/18 (20/60) sampai persepsi cahaya.

3. Latang pandangnya kurang dari 10 derajat.

4. Dapat menggunakan atau berpotensi untuk menggunakan sisa

penglihatannya dalam merencanakan dan melaksanakan tugas sehari hari.

Penelitian di Amerika tahun 1978 kepada 448.000-tunanetra hanya 7% yang buta

total dan sisanya masih memiliki sisa dari dapat membedakan terang dan gelap

sampai kepada ia bisa menggunakan matanya dalam proses pendidikan dan mereka

yang disebut low vision.

1. Jumlah Penyandang LowVision

Diperkirakan 45 juta orang di dunia ini buta dan tiga kali dari jumlah tersebut

(135 Juta) menyandang low vision.Jadi diperkirakan ada 180 juta orang di dunia

ini menyandang tunanetra.Di Indonesia memang tidak ada data yang bisa dipakai,

tetapi hasil penelitian di Indonesia jumlah anak low vision jumlahnya cukup besar.

Dalam tulisan yang berjudul tentang “Program penanggulangan Penderita Low

Vision” DR.Dr. Salamun (Januari 1996) mengungkapkan data hasil penelitian

sebagai berikut:

1. Penelitian di RSU Dr. Sutomo Surabaya tahun 1986

Kemungkinan penderita low vision pada kelompok umur sekolah yaitu antara umur

5-20 tahun adalah 3,12 % dari seluruh pengunjung.Angka kesakitan mata adalah

18 %, sedangkan kelompok umur 5 – 20 tahun di Indonesia sebanyak 31.500.000


Dengan demikian penderita Low Vision pada kelompok usia sekolahdiperkirakan

ada 1,12% X 18% X31.500.000 = 175.274 anak umur sekolah.

1. Penelitian Di Bandung tahun 1987

Diperoleh data kemungkinan penderita Low Vision pada murid kelas 1 SD adalah

1,56%. Maka Kota Bandung diperkirakan ada 600 anak yang menderita low vision

di kelas 1 SD. Bila diproyeksikan, anak SD kelas I ada 4.500.000 maka penderita

low vision diperkirakan adalah 70.200 anak.

1. Penelitian di Jakarta tahun 1995

Pada pemeriksaan murid SD, SMP, SMA secara acak didaerah Jakarta utara

diperoleh data anak yang menderita low vision sebesar 1,5%.Pada pemeriksaan

murid SLB/A di Jakarta Selatan diperoleh data bahwa 50% muridnya memiliki

penglihatan bila dikoreksi dengan kaca mata biasa dapat membaca lebih baik

tanpa instrumen khusus untuk membaca. Sedangkan bila diberikan instrumen

baca yang khusus, anak tersebut lebih meningkat lagi kemampuan membacanya.

3. William G. Brohier,

Konsultan pendidikan dan Rehabilitasi CBM untuk Asia, mengungkapkan dalam

papernya pada CBM Indonesian Partners Meting yang berjudul “Spesial Needs

Education” mengungkapkan bahwa berdasarkan data WHO anak umur 7- 15 tahun

yang tergolong buta adalah 260 orang per satu juta penduduk.

Jadi anak buta umur 7-15 tahun di Indonesia dengn penduduk 210 juta

diperkirakan ada 54.000 anak, dan anak dibawah umur 15 tahun yang tergolong

low vision ada 158. 340 anak. Bila dijumlahkan maka anak tunanetra di Indonesia

dibawah umur 15 tahun akan berjumlah 212.940 anak. Jumlah ini tidak jauh

berbeda dengan penelitian yang diadakan di Surabaya, Jakarta dan Bandung.


2.4 Hubungan Antar Variabel

Pola asuh orang tua memiliki hubungan dengan pembentukan kepercayaan diri

anak, sehingga orang tua diharapkan tetap menerapkan pola asuh yang

demokratis secara konsisten dengan menjalin hubungan dan komunikasi yang baik

dengan anak, memberi kebebasan kepada anak untuk mengambil keputusan

dengan berbagai pandangan dari orangtua, sehingga dapat terbentuk keyakinan

dalam diri anak bahwa anak mampu melakukan sesuatu yang diinginkan dengan

baik.

2.5 Hipotesis

Berdasarkan uraian data di atas, maka dapat diajukan hipotesa:

Bahwa terdapat pengaruh pola asuh orang tua terhadap self confidenceanak

berkebutuhan khusus kurang lihat (low vision), dimana apabila orang tua

menerapkan pola asuh yang terbaik untuk anak kurang lihat (low vision) maka

semakin baik self confidence anak kurang lihat (low vision)tersebut. Tetapi jika

anak kurang lihat (low vision) diberikan pola asuh rejected dan otoriter maka

anak kurang lihat (low vision) tidak memiliki self confidence yang baik.

http://psychology.binus.ac.id/2015/09/01/pengaruh-pola-asuh-

orang-tua-terhadap-self-confidence-dewasa-awal-kurang-lihat-

low-vision/di lihat pada tanggal 05012017

binus university faculty oh humanities

Psikologi anak [psikologi perkembangan]

Author: Kartono, Kartini

Penerbit: Bandung: CV. Mandar Maju Tahun terbit: 1990

Jenis: Books

Anda mungkin juga menyukai