Anda di halaman 1dari 15

BAB I

Pendahuluan

Complex Regional Pain Syndrome (CRPS) merupakan sebuah kondisi neurologik kronik
yang melibatkan anggota gerak dan di karakteristikkan dengan rasa nyeri yang berat dengan
gangguan sensorik, otonom, motorik dan tropik. Kondisi ini dapat dipicu oleh operasi, trauma
dan banyak penyebab lain baik ringan, self-limiting disease, hingga efek dari proses kronik
seperti stroke, lesi spinal ataupun infark miokard, dan dapat mengganggu aktivitas sehari hari
dan kualitas hidup penderitanya. Kemunculan CRPS sendiri nantinya dapat mengganggu proses
pemulihan fungsi tubuh pasien dari gangguan yang disebabkan oleh sakitnya maupun dari
prosedur operasi yang dijalani. CRPS yang terjadi pada anggota gerak atas setelah stroke
seringkali disebut dengan Shoulder-hand Syndrome (SHS). Onset dan tingkat keparahan dari
SHS ternyata berkaitan dengan etiologi dari stroke penderita, keparahan dan pemulihan dari
defisit motorik, spastisitas dan gangguan sensorik. 1,2

Shoulder-hand syndrome mulai muncul ketika bahu pasien ditahan secara persisten dan
diimobilisasi. Tidak digunakannya otot-otot yang terlibat membuat bahu kaku dan semakin
menyakitkan. Pada akhirnya edema pada tangan mulai terjadi dan gerakan sendi jari menjadi
terbatas dengan progresif. Mekanisme yang bertanggung jawab adalah respon refleks pada
sensasi nyeri dari saraf simpatik, yang berkomunikasi dengan saraf sensorik pada internuncial
pool pada sumsum tulang belakang. Saraf simpatik merespon rasa sakit distal yang terjadi
dengan memicu aksi refleks eferen vasomotor reaktif di regio yang terlibat. Hal ini secara efektif
mengurangi sirkulasi darah ke jaringan yang dianggap terlibat pada pola nyeri.1,2

Perubahan di tangan yang disebabkan oleh shoulder-hand syndrome terjadi dalam 3


tahapan, yaitu: (1) pasien mengeluh rasa terbakar di tangan, yang secara kebetulan baik dingin
dan berkeringat atau dingin, merah, basah, kaku, dan bagian superficial sensitive terhadap
sentuhan atau tekanan; (2) tangan memutih, kulit menebal, dan tangan semakin dingin dan kaku;
(3) tangan memucat dan mengurus, dan terjadi atrofi otot dengan kontraktur sendi. Pada akhir
proses ini tangan dan lengan umumnya tidak berguna dan tidak berfungsi mengakibatkan
penderitanya mengalami ansietas dan depresi. Oleh karena kompleksitas dari CRPS, pasien-
pasien dengan CRPS membutuhkan bantuan dari berbagai bidang spesialis termasuk ahli bedah
ortopedik, rehabilitasi medik, anestesi, rematologi, dan psikiatri.1,2
BAB II

Definisi

Shoulder-hand Syndrome merupakan istilah lain dari Complex Regional Pain Syndrome
(CRPS) yang terjadi pada ekstremitas superior dan biasa terjadi setelah penderita terkena stroke.
Stroke adalah cedera pada otak yang umunya nontraumatik disebabkan karena ruptur atau oklusi
pada struktur serebrovaskular. Cedera ini menyebabkan gangguang neurologis spontan, seperti
defisiti motorik dan sensorik, gangguan kognitif atau berbahasa, bahkan pada kasus yang berat
dapat menimbulkan penurunan kesadaran hingga koma. Komplikasi setelah stroke berbeda-beda
pada tiap pasien termasuk komplikasi neurologi seperti stroke rekuren dan epilepsi, infeksi
saluran pernapasan atas, juga karena immobilisasi yang lama menyebabkan ulkus dekubitus,
tromboemboli, nyeri pada bahu, dan gangguan psikologi seperti depresi, ansietas dan konfusi.2,3

Nyeri pada ekstremitas atas merupakan komplikasi tersering pasien stroke. Adhesive
capsulitis (Frozen Shoulder), cedera rotator cuff, dan complex regional pain syndrome (CRPS)
adalah etiologi tersering. Pasien dengan post-stroke CRPS biasanya mengeluh nyeri pada bahu
dan pergelangan tangan dan tidak terlalu mengeluh tentang sendi siku nya. Hal ini kemudian
menjadi asal munculnya istilah Shoulder-hand Syndrome. 3

Epidemiologi

Walau kriteria diagnostik untuk CRPS sudah diperkenalkan sejak lama, namun epidemiologinya
belum dipelajari sungguh dan data epidemiologi yang meyakinkan mengenai kelainan ini masih
kurang dan sebagian besar berasal dari perawatan rumah sakit. Perkiraan angka kejadian CRPS
adalah 6.28 per 100ribu populasi per tahun dan 5.46 per 100ribu populasi per tahun untuk CRPS
tipe 1 / Shoulder-hand Syndrome. CRPS sendiri lebih sering terjadi pada kelompok usia 61-70
tahun dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dengan perbandingan 3:1.
Nyeri bahu sendiri merupakan masalah yang umum terjadi pada pasien pasca-stroke dan 75%
pasien stroke mengeluhkan nyeri pada bahu pada 12 bulan awal setelah terkena stroke.1,4,5

Etiologi

Onset dan tingkat keparahan dari SHS ternyata berhubungan dengan etiologi dari stroke
penyebabnya, tingkat keparahan dan pemulihan dari defisit motorik, spastisitas dan gangguan
sensorik penderita. Subluksasio pada sendi glenohumeral juga merupakan faktor etiologi penting,
hal ini berhubungan dengan berkurang hingga hilangnya penggunaan sendi ini akibat defisit
motorik, yang ditemukan pada 17%-66% pasien dengan hemiparesis. Peran dari subluksasio
sendi glenohumeral belum jelas, namun diduga merupakan salah satu penyebab lesi pada saraf
perifer ,yang jarang terdeteksi, yaitu pada nervus sirkumfleksa dan supraskapular yang memiliki
peran penting.2

Patofisiologi

Complex regional pain syndrome (CRPS) tipe I dan II adalah gangguan nyeri neuropatik
yang berlebihan pada lesi traumatik atau kerusakan saraf, yang umumnya mempengaruhi
ekstremitas, atau akibat dari proses jangka panjang seperti stroke, cedera tulang belakang dan
infark miokard. Hal ini sering muncul tanpa sebab yang jelas. CRPS pada ekstremitas atas post
stroke seringkali disebut shoulder hand syndrome (SHS). Onset dan tingkat keparahan SHS
berhubungan dengan etiologi stroke, tingkat keparahan dan pemulihan defisit motorik, spastisitas
dan gangguan sensorik. Patofisiologi dari CRPS-SHS masih belum diketahui. Namun diduga
berhubugan dengan sensitisasi perifer, sensitisasi sentral, inflamasi neurogenik, peran dari sistem
saraf simpatik dan disfungsi inhibitor. Terdapat kemungkinan bahwa penyakit ini berkembang
dan bertahan karena manifestasi kelainan dari keseluruhan sistem saraf. Pada CRPS (tipe I)
ditemukan suatu respon inflamasi yang berlebihan. Mekanisme lebih jelas tentang bagaimana
proses inflamasi ini dimulai dan berjalan tidak diketahui. Hal ini membuat hipotesis bahwa
inflamasi neurogenik lokal yang terjadi didasari oleh edema, vasodilatasi dan hiperhidrosis yang
terjadi pada fase awal CRPS. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pada pasien ini terdapat
tingkat serum yang tinggi dari calcitonin gene-related peptide (CGRP), yang merupakan
penanda dari inflamasi neurogenik. Berbagai mediator kimia muncul dalam proses inflamasi
yang terjadi di sekitar serat aferen primer. Mediator ini berasal dari pembuluh darah atau
dihasillkan oleh serat aferen, dengan serabut simpatis dan/atau oleh sel-sel dari sistem imun
tubuh lainnya. Mereka mampu, melalui berbagai proses, untuk menginduksi modifikasi
fungsional dan fenotipikal dalam serat aferen primer dengan sensitisasi perifer. Banyak saluran
ion yang terlibat dalam sensitisasi perifer ini (khususnya kanal Natrium dan Calsium). Hal ini
juga meyakinkan bahwa terjadi peningkatan rangsang pada medula (sensitisasi sentral)
sehubungan dengan pengeluaran berulang serat C. Stimulasi berulang pada serat C menghasilkan
potensial pasca-sinaptik lambat dalam neuron medula. Reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA)
memainkan peran penting dalam menghasilkan dan mempertahankan hipersensitivitas.2

Berkurangnya kekuatan otot, tidak terlalu berkaitan dengan stroke, yang melibatkan semua
otot-otot ekstremitas yang terkena dan merupakan hasil impuls abnormal dari jalur motorik
sentral. Pasien sering mengeluh adanya dataran aspek simil-yang diabaikan- (meskipun hal ini
juga tidak memiliki hubungan langsung dengan stroke) yang berkaitan dengan alterasi fungsi
motorik. Sekitar 50% dari pasien menunjukkan tremor, lagi dalam kaitannya dengan alterasi
sentral.2

Saat ini, peran sentral dari sistem saraf simpatis, seperti yang telah kita lihat, masih
diperdebatkan. Namun, terdapat sub-kelompok pasien CRPS di antaranya yang mengalami
hiperaktivitas sistem saraf simpatik sebagai faktor predominan dan yang berespon positif
terhadap blok simpatis (simpatis mempertahankan nyeri).2

Dalam kondisi fisiologis tidak ada interaksi antara sistem saraf simpatik dan sistem
nosiseptif aferen: merangsang badan simpatik yang tidak menghasilkan aktivitas terukur pada
saraf aferen. Dalam kondisi patologis, situasi yang berubah secara dramatis. Ephapses mungkin
terjadi antara serat simpatik dan nociceptive serat C, baik itu intak maupun regenerasi, di daerah
perifer, atau di antara serat vasokonstriktor simpatis dan serat somatik aferen setinggi posterior
horn. Interaksi ini mungkin melalui pelepasan noradrenalin oleh saraf simpatis ke adrenoseptor
yang diekspresikan pada saraf aferen dalam kondisi patologis. Baru-baru ini dilaporkan bahwa
inhibisi fungsional atau alternant pada pengaturan inhibitor nyeri desendens mungkin juga
berperan dalam perkembangan CRPS.2

Manifestasi Klinis

Diagnosis SHS lebih kompleks karena bagian atas lengan yang paresis sering timbul rasa
nyeri, edem, dengan perubahan sensasi suhu dan taktil, distrofi kulit sampai non-use syndrome.
Tidak ada tes yang spesifik ataupun gejala yang patognomonik untuk mengidentifikasi SHS
dengan tepat. Namun pada dasarnya, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan klinis yang telah
ditetapkan oleh International Association for the Study of Pain (IASP), yakni (1) nyeri, allodinia
dan/atau hiperalgesia, (2) dapat ditemukan adanya edem dengan adanya perubahan pada aliran
darah kulit atau adanya keringat yang berlebihan pada daerah yang nyeri, dan (3) tidak
berhubungan dengan pain-dysfunctional syndrome.2

SHS dapat timbul antara 2 minggu – 3 bulan setelah keadian akut, dan bahkan dapat
timbul setelah 5 bulan namun jarang. Sindroma ini mengalami progresi melalui 3 tahap, yang
tidak terkait waktu: akut-hiperemis (tahap 1), distrofi-iskemi (tahap 2), dan atrofi (tahap 3).
Tahapan tersebut telah dilaporkan tidak memiliki hubungan dengan durasi SHS. Terdapat
beberapa kontroversi apakah SHS perlu didiagnosis dengan menyertakan derajat keparahan.2

Gejala terpenting pada SHS adalah nyeri, yang digambarkan dengan rasa yang timbul
terus-menerus, seperti tertusuk (tajam), dan panas. Nyeri pada pasien dengan SHS sering kali
terlokalisasi di bahu atau tangan, ataupun keduanya. Nyeri tersebut diikuti dengan allodinia,
hiperalgesia, dan hiperpathia. Pada bahu, dapat ditemukan nyeri myofascial, gangguan motorik
halus disertai kelemahan otot. Dalam waktu yang relatif singkat pula, akan timbul keterbatasan
pada sendi serta infiltrasi seluler pada soft tissue. Terkadang dapat ditemukan tremor yang
menonjol dengan myoclonic spasm dan restless limb. Perubahan pada kulit terjadi dengan onset
dini, ditandai dengan kulit menjadi pucat, memerah atau keungu-unguan yang disertai perubahan
suhu (ekstremitas lebih hangat atau terkadang lebih dingin daripada ekstremitas kontralateral).
Oedem pada tangan dapat disertai dengan berkeringat, kurus, dan distrofi kulit. SHS juga dapat
ditandai dengan rontoknya rambut, hipertrikosis atau peningkatan pertumbuhan kuku yang
terkait hiperaktivitas saraf simpatis. Gejala nyeri yang timbul terus-menerus dapat disertai
dengan cemas, depresi dan hipokondriasis.2

Untuk menegakkan diagnosis SHS, tidak terdapat pemeriksaan yang spesifik. Foto polos
hanya dapat menunjukkan gambaran osteoporosis klasik yang timbul 2 minggu setelah onset
(biasanya 4-8 minggu). Berkurangnya nyeri setelah blokade saraf simpatis dapat diperhitungkan
sebagai tanda patognomonik dari SHS.2

Diagnosis

Kriteria diagnosis menurut International Association for the Study of Pain (IASP) :6

- Rasa sakit yang berkelanjutan yang tidak proporsional


- Setidaknya 1 gejala dikeluhkan dari setidaknya 3 kategori dibawah ini :
1. Sensori : Hiperestesia atau allodynia
2. Vasomotor : Temperatur asimetris. Warna kulit berubah, warna kulit asimetris
3. Sudomotor/edema : edema, perubahan berkeringat, atau berkeringat yang asimetris
4. Motor/trofik : berkurangnya jangkauan gerak, disfungsi motor (misalnya kelemahan,
tremor, diastonia), atau perubahan trofik (misal rambut,kuku,kulit)
- Setidaknya 1 tanda pada saat evaluasi dari setidaknya 2 kategori di bawah ini :
1. Sensori :adanya bukti hiperalgesia (dengan peniti), allodynia (dengan sentuhan
ringan, sensasi temperatur, tangan somatic yang dalam, atau gerakan sendi).
2. Vasomotor : Adanya bukti temperatur asimetris (>1Oc), perubahan warna kulit atau
asimetris
3. Sudomotor/ Edema :Adanya bukti edema, perubahan keringat, atau berkeringat yang
asimetris.
4. Motor/trofik : Adanya bukti berkurangnya jangkauan gerak, disfungsi motor
(misalnya kelemahan, tremor,distonia) atau perubahan trofik (misal rambut,
kuku,kulit).

Komplikasi

Apabila tidak terdiagnosis dan diobati sejak dini dapat menyebabkan penyakit semakin progresif,
menyebabkan timbulnya:6

- Atrofi jaringan
- Pengetatan otot (kontraktur)
- Kaku ekstremitas karena tidak dapat digunakan terus-menerus
- Hilangnya integritas endotel , hipertrofi pembuluh darah dan mengurangi epidermal kelenjar
keringat dan inervasi serabut saraf pada anggota gerak yang diamputasi
- Hipoksia jaringan

Pencegahan
Pencegahan pada pasien dengan hemiplegi difokuskan pada pergerakan dan resentralisasi
sendi bahu, seperti pemakaian axillary support dan elektrostimulasi pada fasia superior dari otot
deltoid dan supraspinatus pada kasus subluksasi sendi glenohumeral. Restriksi pada gerak pasif
anggota gerak atas juga perlu diperhatikan.2
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari SHS terdiri dari berbagai aspek namun pada beberapa kasus, bukti
ke-efektifan intervensi yang diberikan secara umum pada CRPS-SHS masih sangat sedikit. Telah
diajukan sebuah algoritma yang dapat digunakan sebagai panduan dalam penatalaksananaan ini.

Belum ada penatalaksanaan yang spesifik yang menunjukkan efikasi yang konstan pada
CRPS tipe 1 pada pasien dengan hemiplegi. Tujuan akhir dari penatalaksanaan, yang mana harus
terintegrasi dan multidisiplin, adalah pertama mengurangi gejala edema dan nyeri kemudian
untuk pemulihan ataupun mempertahankan artikulasi gerak sendi melalui peningkatan kekuatan
otot, dan terakhir pemulihan secara penuh. Prognosis yang lebih baik pada SHS, yaitu pemulihan
penuh dan konservasi range of motion (ROM) normal, diperoleh dari subjek dengan pemulihan
motorik sedang, spastisitas rendah dan tanpa adanya gangguan sensorik yang buruk. Anggota
gerak yang terkena harus dipertahankan pada posisi terangkat/tinggi untuk mengurangi edema.

Latihan mobilisasi dengan bantuan perlu dilakukan dan tetap pada prinsip tidak
menyakiti penderita. Teknik desensitisasi, yang secara bertahap membiasakan pasien kepada
keberadaan dari stimulasi non-nosiseptif yang sebelumnya didapatkan suatu respon nyeri, sangat
berguna, seperti berolahraga dalam air. Tidak ada bukti daripada keefektivitasan daripada TENS
pada CRPS, dan perlu diingat bahwa elektroterapi mungkin dapat menghasilkan penipisan
daripada substansi p dan zat vasoaktif lainnya. Pada pasien dengan allodynia, TENS mungkin
dapat memperberat rasa nyeri. Setiap jenis elektroterapi harus ditentukan dengan hati-hati. Pada
fase akut, penggunaan splint tidak dianjurkan kecuali jika digunakan pada malam hari. Bebat
aktif dapat berguna untuk memperbaiki ROM (range of movement).
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Complex Regional Pain Syndrome – SMP : Sympathetic maintained pain
Hubungan suatu myofasial pain syndrome (MFPS) mungkin membutuhkan perlakuan
khusus pada titik pemicu. Perawatan rehabilitasi saja mungkin cukup untuk sebagian besar
pasien dengan CRPS ringan. Pada fase awal terapi menggunakan NSAID mungkin dapat
berguna. Ketoprofen, yang memiliki anti-bradikinin dan anti-prostasiklin yang sama baiknya
dengan efek anti-prostaglandin dapat digunakan secara khusus. Keberhasilan terapi NSAID
mungkin rendah, namun bagaimana pun juga IAPS merekomendasikan penggunaan obat
golongan ini untuk mengobati tahap awal CRPS tipe 1 dengan nyeri derajat sedang. Pemberian
kortikosteroid tidak memberikan efek yang begitu efektif pada CRPS. Menurut Guerts,
pemberian kortikosteroid harus menjadi terapi lini pertama untuk SHS. Perlu diingat bahwa
pemberian kortikosteroid secara berkepanjangan masih memiliki perdebatan mengenai rasio
keuntungan dibanding kerugiannya sehingga penggunaanya tidak direkomendasikan pada pasien
CRPS. Terapi secara singkat dengan dosis tinggi yang dikecilkan secara bertahap selama
beberapa tahun lebih bermanfaat.

Penggunaan terapi secara intra-artikuler juga dapat digunakan. Antidepresant trisiklik


(TCA) memiliki paling tidak 3 efek positif, dapat mengurangi nyeri serta jelas dapat mengurangi
stress sendi yang diakibatkan nyeri kronik, serta meningkatkan kualitas tidur. Efek analgesik dari
TCAs tidak diketahui secara pasti, namun berhubungan dengan penghambatan reuptake dari
norepinefrin dan serotonin pada sistem saraf pusat. Obat yang paling sering digunakan secara
luas, dengan dosis rendah dibandingkan dengan penggunaan untuk antidepresan antara lain
amitriptilin, nortriptilin, dan doxepine. Obat anti depresan baru (SSRI) yang selektif
menghambat reuptake dari serotonin memiliki efek analgesik yang lebih rendah. Gabapentin
merupakan obat pilihan utama pada nyeri neuropatik. Saat ini banyak digunakan untuk nyeri
neuropatik akibat neuropati diabetikum dan neuralgia post herpetik. Obat topikal dan transdermal
(capsaicin 5-10% topikal, klonidin transdermal, krim DMSO-dimetilsulfoksid) jarang digunakan
pada pasien SHS dan memiliki kemanjuran derajat sedang untuk CRPS yang sangat terlokalisasi.

Penggunaan opioid menjadi kontroversial dikarenakan respon yang muncul sangat


terbatas dan tidak ada studi spesifik pada CRPS, sekarang ini masih dalam penelitian sehingga
tetap menggunakan pilihan farmakoterapi terakhir. Secara luas, oxycodone dan tramadol
digunakan. Berdasarkan IASP, pasien dengan keluhan nyeri kurang dari 2 bulan tidak
membutuhkan bantuan psikologis. Bila nyeri berlangung lebih dari 2 bulan, konseling,
biofeedback, teknik relaksasi, group therapy, hipnosis, dan self-hypnosis seringkali digunakan.
Psikoterapi juga membantu dalam proses rehabilitasi, mengurangi kinesiofobia, yang seringkali
muncul pada penderita CRPS. Ketika nyeri sudah tidak tertahankan dan tidak dapat ditangani,
atau bila anggota gerak yang terkena menjadi sumber infeksi berulang, amputasi dapat menjadi
pertimbangan terapi.2

Kortikosteroid

Steroid dengan dosis 60-80 mg/hari selama 2 minggu dilaporkan bermanfaat untuk
CRPS. 10-17 pasien dengan CRPS selama 2-3 bulan dilaporkan mengalami perkembangan
setelah 4-12 minggu penggunaan kortikosteroid oral.6

Obat-obat Kalsium Regulator

Kalsitonin intranasal terbukti mengurangi nyeri pada pasien CRPS. Pemberian Klodronat
300 mg/hari secara intravena dan aledronat baik 7.5mg/hari IV atau 40 mg/hari secara oral
terbukti mengurangi nyeri, bengkak, dan ROM pasien dengan CRPS akut.6

Opioid

Penggunaan opioid oral masih kontroversi. Digunakan terutama bila obat-obatan lain
tidak memberikan hasil yang memadai. Biasanya dipakai opiat long acting seperti : morphin.
Oxycodon dan methadon.6

Tricyclic Antidepressants (TCAs) dan Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)

TCAs digunakan sebagai terapi tambahan nyeri neuropatik. Mekanismenya dengan


menghambat re uptake serotonin dan nor epineprin pada sinap Anti depresan juga bermanfaat
dalam mencegah kekambuhan. Imipramin dapat di toleransi dengan baik dan memberikan hasil
paling memuaskan dalam menghilangkan gejala nyeri, manifestasi motorik dan otonomik.6

Sodium Channel Blocking Agents dan Calcium Channel Blocker

Golongan penyekat saluran sodium dan kalsium secara bermakna dapat menyembuhkan
nyeri tajam dan parastesia pada dosis rendah. Contohnya : karbamasepin, klonasepam, fenitoin,
sodium valproat, lamotrigin.6
Agen Simpatolitik

Simpatolitik oral antara lain klonidin, prazosin, ropanolol dan fenoksibensamin. Klonidin (alpha
2 agonist) dapat juga diberikan per injeksi pada ruang epidural atau transdermal. Prazosin (alpha
1 antagonis selektif), Fenoksibensamin (non spesifik alpha adrenergik antagonis), dan Propanolol
(penyekat beta adrenergik). Seluruh golongan obat-obat ini harus dititrasi pelan-pelan dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu sampai pasien mengalami hipotensi ortostatik ringan.
Bila belum terjadi hipotensi ortostatik berarti dosisnya masih kurang cukup.6

Gabapentin

Penggunaan gabapentin 1200 mg/hari dalam mengatasi nyeri neuropati telah terbukti dan
dapat digunakan sebagai antinyeri pada SHS.6

Terapi Fisik dan Okupasi

Pengalaman klinis jelas mengindikasikan bahwa fisioterapi memegang peranan penting


pada keberhasilan terapi dari CRPS. Hal ini diperlukan untuk rehabilitasi pasien untuk
memberikan hasil terbaik dalam pemulihan fungsi tubuh dan kualitas hidup. Terapi fisik yang
terstandarisasi telah terbukti meringankan nyeri dan disfungsi tubuh, terutama pada anak-anak.

Terapi fisik dan okupasi mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan mobilisasi aktif pada
CRPS tipe 1. Terapi fisik untuk CRPS telah terbukti efektif dan memakan lebih sedikit biaya
pengobatan daripada terapi okupasi atau terapi kontrol. Oleh sebab itu, fisioterapi, terapi okupasi,
dan latihan atensi penting untuk keberhasilan penanganan CRPS.6

 Fase Akut
Dilakukan immobilisasi dan terapi kontralateral. Terapi intensif pada fase akut dapat
memperburuk kondisi penderita7
 Fase Kronik
Terapi fisik secara pasif termasuk manipulasi, terapi secara manual, masase dan mobilisasi.
Aspirasi cairan limfatik dapat digunakan untuk mengurangi edema. Pada daerah dengan
tonus kencang direkomendasikan untuk diberikan terapi dengan prinsip : more severe before
less severe, more proximal and medial before pore distally, and laterally located points and
the area of greater accumulation of tender areas is treated first. Latihan-latihan fisik yang
sifatnya terapeutik yaitu terapi penguatan isometrik diikuti dengan latihan isotonik secara
aktif dikombinasi dengan latihan desensitisasi sensorik. Latihan penguatan antara lain latihan
untuk ke-empat ekstremitas dan badan bagian atas. Program latihan desensitasi terdiri dari
pemberian stimulus dari berbagai bahan kain berbeda, penekanan dengan berbagai intensitas,
vibrasi, ketukan, panas ataupun dingin. Terapi juga bisa berupa latihan beban contohnya
berjalan sambil membawa beban, latihan ketahanan dan fungsional tubuh.7

Prognosis

Sekitar 80% pasien sembuh. Pasien dengan kecacatan mengalami keterbatasan dalam
aktivitas keseharian mereka. Tanda dan gejala dalam jangka lama, perubahan trofik, semuanya
berkaitan dengan tingginya angka kecacatan.6
BAB III

Kesimpulan

Shoulder-hand syndrome (SHS) merupakan istilah lain dari complex regional pain
syndrome (CRPS) yang terjadi hanya pada ekstremitas superior, umumnya terjadi setelah stroke
dengan paralysis pada satu sisi dan disertai dengan rasa sakit yang berat. Pada SHS pasca-stroke,
biasa pasien mengeluhkan nyeri pada bahu dan pergelangan tangan dengan siku yang baik.
Keluhan ini dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan quality of life penderitanya hingga
menyebabkan ansietas dan depresi. Oleh karena itu, pasien-pasien dengan CRPS membutuhkan
bantuan dari berbagai bidang spesialis termasuk ahli bedah ortopedik, rehabilitasi medik,
anestesi, rematologi, dan psikiatri.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Goh EL, Chidambaram S, Ma D. Complex regional pain syndrome : a recent update. Goh
et al. Burns & Trauma (2017) 5:2. London;2017
2. Pertoldi S, Benedetto P. Shoulder-hand syndrome after stroke : a complex regional pain
syndrome. Europa Mediophysica Vol.41 – No.4. PERTOLDI. Italy;2018
3. Kim YW et al. Is poststroke complex regional pain syndrome the combination of
shoulder pain and soft tissue injury of the wrist? : a prospective observational study:
STROBE of ultrasonographic findings in complex regional pain syndrome. Medicine
(2016) 95:31. Korea;2016
4. Lee SH, Lim SM. Acupuncture for poststroke shoulder pain : a systematic review and
meta-analysis. Evidence-based complementary and alternative medicine. Korea;2016
5. Ratti C, Nordio A, Resmini G, Murena L. Post-traumatic complex regional pain
syndrome : clinical features and epidemiology. Cinical cases in mineral and bone
metabolism. Italy; 2015. 12:11-16
6. Wheeler AH. 2014. Complex regional pain syndromes. Cited :
https://emedicine.medscape.com/article/1145318-treatment pada 20 Juni 2018
7. Koeninger K et al. Complex Regional Pain Syndrome (CPRS). Cited :
https://www.physio-pedia.com/Complex_Regional_Pain_Syndrome_(CRPS)#cite_note-
94 pada 20 Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai