Anda di halaman 1dari 26

Shoulder-Hand Syndrome Post Stroke

Elbert Aldrin Harijanto


11.2016.109

Pembimbing : dr.Hadi Kurniawan, Sp. KFR, CCD


Pendahuluan
• Complex Regional Pain Syndrome (CRPS) merupakan sebuah kondisi neurologik

kronik yang melibatkan anggota gerak dan di karakteristikkan dengan rasa nyeri
yang berat dengan gangguan sensorik, otonom, motorik dan tropik.

• Dipicu oleh operasi, trauma dan banyak penyebab lain baik ringan, self-limiting

disease, hingga efek dari proses kronik seperti stroke, lesi spinal ataupun infark
miokard, dan dapat mengganggu aktivitas sehari hari dan kualitas hidup
penderitanya

• CRPS yang terjadi pada anggota gerak atas setelah stroke seringkali disebut

dengan Shoulder-hand Syndrome (SHS).


• Perubahan di tangan yang disebabkan oleh shoulder-hand syndrome terjadi dalam 3

tahapan, yaitu:

• (1) pasien mengeluh rasa terbakar di tangan, yang secara kebetulan baik dingin

dan berkeringat atau dingin, merah, basah, kaku, dan bagian superficial sensitive
terhadap sentuhan atau tekanan;

• (2) tangan memutih, kulit menebal, dan tangan semakin dingin dan kaku;

• (3) tangan memucat dan mengurus, dan terjadi atrofi otot dengan kontraktur

sendi
Definisi
• Shoulder-hand Syndrome merupakan istilah lain dari Complex Regional Pain
Syndrome (CRPS) yang terjadi pada ekstremitas superior dan biasa terjadi
setelah penderita terkena stroke
• Cedera pada otak akibat stroke ini menyebabkan gangguang neurologis
spontan, seperti defisiti motorik dan sensorik, gangguan kognitif atau
berbahasa, bahkan pada kasus yang berat dapat menimbulkan penurunan
kesadaran hingga koma
• Pasien dengan post-stroke CRPS biasanya mengeluh nyeri pada bahu dan
pergelangan tangan dan tidak terlalu mengeluh tentang sendi siku nya
Epidemiologi
• Perkiraan angka kejadian CRPS adalah 6.28 per 100ribu populasi per

tahun dan 5.46 per 100ribu populasi per tahun untuk CRPS tipe 1 /
Shoulder-hand Syndrome.

• Sering terjadi pada kelompok usia 61-70 tahun

• Perempuan > laki-laki dengan perbandingan 3:1

• Nyeri bahu sendiri merupakan masalah yang umum terjadi pada pasien

pasca-stroke dan 75% pasien stroke mengeluhkan nyeri pada bahu pada
12 bulan awal setelah terkena stroke
Etiologi
• Onset dan tingkat keparahan dari SHS ternyata berhubungan dengan etiologi

dari stroke penyebabnya, tingkat keparahan dan pemulihan dari defisit motorik,
spastisitas dan gangguan sensorik penderita. Subluksasio pada sendi
glenohumeral juga merupakan faktor etiologi penting, hal ini berhubungan
dengan berkurang hingga hilangnya penggunaan sendi ini akibat defisit motorik,
yang ditemukan pada 17%-66% pasien dengan hemiparesis. Peran dari
subluksasio sendi glenohumeral belum jelas, namun diduga merupakan salah
satu penyebab lesi pada saraf perifer ,yang jarang terdeteksi, yaitu pada nervus
sirkumfleksa dan supraskapular yang memiliki peran penting
Patofisiologi
• Inflamasi neurogenik lokal terjadi pada dasar edema, vasodilatasi dan
hiperhidrosis yang ada dalam fase awal CRPS
• Pengeluaran ulang serabut serat C menyebabkan peningkatan rangsang
pada medula
• Reorganisasi sistem saraf pusat yang mempengaruhi korteks
somatosensori primer
• Faktor predominan pada subkelompok pasien CRPS diantaranya adalah
hiperaktivitas saraf simpatis, di mana hal itu berespon positif terhadap
blok simpatis
Patofisiologi
 Berhubugan dengan sensitisasi perifer
 Sensitisasi sentral
 Inflamasi neurogenik
 Peran dari sistem saraf simpatik
 Disfungsi inhibitor
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
Diagnosis
• Kriteria International Associaton for the Study of Pain (IASP) :

– Rasa sakit yang berkelanjutan yang tidak proporsional

– Setidaknya 1 gejala dikeluhkan dari setidaknya 3 kategori dibawah ini :

• Sensori : Hiperestesia atau allodynia

• Vasomotor :Temperatur asimetris.Warna kulit berubah, warna kulit asimetris

• Sudomotor/edema : edema, perubahan berkeringat, atau berkeringat yang asimetris

• Motor/trofik : berkurangnya jangkauan gerak, disfungsi motor (misalnya kelemahan,

tremor, diastonia), atau perubahan trofik (misal rambut,kuku,kulit)


Diagnosis
• Kriteria International Associaton for the Study of Pain (IASP) :

– Setidaknya 1 tanda pada saat evaluasi dari setidaknya 2 kategori di bawah ini :

• Sensori :adanya bukti hiperalgesia (dengan peniti), allodynia (dengan sentuhan ringan,

sensasi temperatur, tangan somatic yang dalam, atau gerakan sendi).

• Vasomotor : Adanya bukti temperatur asimetris (>1Oo C), perubahan warna kulit atau

asimetris

• Sudomotor/ Edema :Adanya bukti edema, perubahan keringat, atau berkeringat yang

asimetris.

• Motor/trofik : Adanya bukti berkurangnya jangkauan gerak, disfungsi motor (misalnya

kelemahan, tremor,distonia) atau perubahan trofik (misal rambut, kuku,kulit).


Komplikasi
• Apabila tidak terdiagnosis dan diobati sejak dini dapat menyebabkan

penyakit semakin progresif, akibatnya timbul


– Atrofi jaringan

– Pengetatan otot (kontraktur)

– Kaku ekstermitas

– Hilang integritas endotel, hipertrofi pembuluh darah dan mengurangi

epidermal kelenjar keringat dan inervasi serabut saraf pada anggota gerak
yang diamputasi
– Hipoksia jaringan
Pencegahan
 Menggerakkan dan resentralisasi sendi bahu seperti
pemakaian axillary support dan elektrostimulasi pada fascia
superior dari otot deltoid dan supraspinatus bila terjadi
subluksasi sendi glenohumeral.

 Restriksi pada gerak pasif anggota gerak atas


Penatalaksanaan
• Kortikosteroid

– Steroid dengan dosis 60-80 mg/hari selama 2 minggu dilaporkan bermanfaat

untuk CRPS. 10-17 pasien dengan CRPS selama 2-3 bulan dilaporkan
mengalami perkembangan setelah 4-12 minggu penggunaan kortikosteroid oral

• Kalsium Regulator

– Kalsitonin intranasal terbukti mengurangi nyeri pada pasien CRPS. Pemberian

Klodronat 300 mg/hari secara intravena dan aledronat baik 7.5mg/hari IV atau
40 mg/hari secara oral terbukti mengurangi nyeri, bengkak, dan ROM pasien
dengan CRPS akut
Penatalaksanaan
• Opioid
– Penggunaan opioid oral masih kontroversi. Digunakan terutama bila obat-obatan lain tidak

memberikan hasil yang memadai. Biasanya dipakai opiat long acting seperti : morphin.
Oxycodon dan methadon

• Tricyclic Antidepressant (TCAs) dan SSRIs


– TCAs digunakan sebagai terapi tambahan nyeri neuropatik. Mekanismenya dengan

menghambat re uptake serotonin dan nor epineprin pada sinap Anti depresan juga
bermanfaat dalam mencegah kekambuhan. Imipramin dapat di toleransi dengan baik dan
memberikan hasil paling memuaskan dalam menghilangkan gejala nyeri, manifestasi
motorik dan otonomik
Penatalaksanaan
• Sodium Channel Blocking Agents dan Calcium Channel Blocker

– Golongan penyekat saluran sodium dan kalsium secara bermakna dapat

menyembuhkan nyeri tajam dan parastesia pada dosis rendah. Contohnya :


karbamasepin, klonasepam, fenitoin, sodium valproat, lamotrigin

• Gabapentin

– Penggunaan gabapentin 1200 mg/hari dalam mengatasi nyeri neuropati telah

terbukti dan dapat digunakan sebagai antinyeri pada SHS


Penatalaksanaan
• Agen Simpatolitik

– Simpatolitik oral antara lain klonidin, prazosin, ropanolol dan

fenoksibensamin. Klonidin (alpha 2 agonist) dapat juga diberikan per injeksi


pada ruang epidural atau transdermal. Prazosin (alpha 1 antagonis selektif),
Fenoksibensamin (non spesifik alpha adrenergik antagonis), dan Propanolol
(penyekat beta adrenergik). Seluruh golongan obat-obat ini harus dititrasi
pelan-pelan dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sampai pasien
mengalami hipotensi ortostatik ringan. Bila belum terjadi hipotensi
ortostatik berarti dosisnya masih kurang cukup
• Terapi Fisik dan Okupasi

– Pengalaman klinis jelas mengindikasikan bahwa fisioterapi

memegang peranan penting pada keberhasilan terapi dari CRPS.


Hal ini diperlukan untuk rehabilitasi pasien untuk memberikan
hasil terbaik dalam pemulihan fungsi tubuh dan kualitas hidup

• Goal : Meringankan nyeri dan disfungsi tubuh, terutama pada

anak-anak
• Fase Akut
– Dilakukan immobilisasi dan terapi kontralateral. Terapi intensif pada fase akut dapat

memperburuk kondisi penderita

• Fase Kronik
– Terapi fisik secara pasif termasuk manipulasi, terapi secara manual, masase dan mobilisasi.

Aspirasi cairan limfatik dapat digunakan untuk mengurangi edema. Pada daerah dengan
tonus kencang direkomendasikan untuk diberikan terapi dengan prinsip : more severe before
less severe, more proximal and medial before pore distally, and laterally located points and the area of
greater accumulation of tender areas is treated first.
• Fase Kronik

– Latihan-latihan fisik yang sifatnya terapeutik yaitu terapi penguatan isometrik

diikuti dengan latihan isotonik secara aktif dikombinasi dengan latihan


desensitisasi sensorik. Latihan penguatan antara lain latihan untuk ke-empat
ekstremitas dan badan bagian atas. Program latihan desensitasi terdiri dari
pemberian stimulus dari berbagai bahan kain berbeda, penekanan dengan
berbagai intensitas, vibrasi, ketukan, panas ataupun dingin. Terapi juga bisa
berupa latihan beban contohnya berjalan sambil membawa beban, latihan
ketahanan dan fungsional tubuh
Prognosis
 Sekitar 80% pasien sembuh. Pasien dengan kecacatan
mengalami keterbatasan dalam aktivitas keseharian mereka.
Tanda dan gejala dalam jangka lama, perubahan trofik,
semuanya berkaitan dengan tingginya angka kecacatan
Kesimpulan
• Shoulder-hand syndrome (SHS) merupakan istilah lain dari complex regional pain

syndrome (CRPS) yang terjadi hanya pada ekstremitas superior, umumnya terjadi
setelah stroke dengan paralysis pada satu sisi dan disertai dengan rasa sakit yang
berat. Pada SHS pasca-stroke, biasa pasien mengeluhkan nyeri pada bahu dan
pergelangan tangan dengan siku yang baik. Keluhan ini dapat mempengaruhi
aktivitas sehari-hari dan quality of life penderitanya hingga menyebabkan ansietas
dan depresi. Oleh karena itu, pasien-pasien dengan CRPS membutuhkan
bantuan dari berbagai bidang spesialis termasuk ahli bedah ortopedik,
rehabilitasi medik, anestesi, rematologi, dan psikiatri
 Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai