RHINITIS ALERGI
Disusun Oleh:
Adyzka Marshalivia
1102013011
Pembimbing:
Mayor (CKM) dr. Moh Andi, Sp.THT-KL
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu
oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi,
1
komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut
gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat
terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik langsung maupun
tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu memiliki indeks
kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati gangguan alergi.(1)
Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap jika
disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai, atau ingestan dalam
diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang dapat ditelan terbukti memiliki
sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi terhadap sejumlah agen dan daripada hanya satu
inhalan saja.(1)
Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik. Suatu
penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika memperlihatkan bahwa 17 hingga
19 persen dari mereka juga menderita asma, namun 56 sampai 74 persen pasien asmatik ternyata
menderita rinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini.(1)
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik dari
individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.(1)
Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah mengalami
sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung, yaitu : reseptor histamine
H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2, kolinoreseptor, reseptor histamine H2, dan
reseptor iritan. Dari semua ini, yang terpenting adalah reseptor histamine H1, dimana bila
terserang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung, menyebabkan bersin-
bersin, gatal dan rinore.(1)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas
tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung
yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung
(hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3)
prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.(2)
3
Anatomi Hidung Dalam
1. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh
os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.(2)
2. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari : (2)
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal
os palatum.
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar
atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.
4
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus
superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.
Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os
etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum.
3. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.(2)
4. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal
dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium
sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian
anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya
sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.(2)
5. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.(2)
5
6. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh
os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus
zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala
yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial
dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.(2)
7. Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar
melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.
Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau
ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.(2)
6
Kompleks Ostiomeatal
7
Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis
pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut
saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut
halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga
hidung.(3)
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air
conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara; 6)
proses bicara; 7) refleks nasal.(4)
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.(4)
9
II. 3. RHINITIS ALERGI
II. 3. 1 DEFINISI
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)
b. Faktor Risiko
• Sejarah keluarga alergi
• Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan atau
eksim
• Paparan bekas asap rokok
• Gender laki‐laki.
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi
musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis
atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata
(mata merah, gatal disertai lakrimasi).(5)
11
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai
dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik
pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena
lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.(5)
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi(5):
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.(5)
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.(5)
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi(5):
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(5)
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(5)
14
MEKANISME HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN ASMA
Meskipun terdapat bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi asma, tetapi mekanisme yang
menghubungkan disfungsi saluran napas atas masih dalam perdebatan. Berbagai teori diajukan
untuk menerangkan hubungan rinitis alergi dan asma antara lain Nasopulmonary Reflex yaitu
refleks sentral yang berasal dari ujung saraf sensorik berjalan menuju susunan saraf pusat
melalui saraf trigeminus, masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus dan menimbulkan kontraksi
otot polos bronkus. Lalu meningkatnya inhalasi melalui mulut terhadap udara dingin, kering atau
alergen inhalan akibat dari sumbatan hidung mengakibatkan mengeringnya sekret dan terjadi
spasme bronkus. Drenase post nasal bahan inflamasi ke saluran napas bawah mengakibatkan
penyebaran sel-sel inflamasi melalui sirkulasi.(7)
15
1. Allergic salute
2. Allergic crease
3. Allergic shiner
Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal.
Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi akibat sering
menggosok hidung. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Bunny-rabbit sound adalah suara yang dihasilkan
karena lidah menggosok palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi
gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis
alergi.(5)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari : (5)
1. Respons primer :
17
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respons sekunder.(5)
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas
selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respons tertier.(5)
3. Respons tertier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.(5)
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5)
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1
yaitu rinitis alergi.(5)
II. 3. 7 DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5). Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).
Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala
lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang
timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)
18
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya
garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue).(5)
3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi
19
yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. (5)
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui.(5)
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). (5)
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
“Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.(5)
II. 3. 8 PENATALAKSANAAN
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.(5)
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering
20
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.(5)
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)
dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral
denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti
rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase
lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik
dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan
levosetirisin.(5)
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian
secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa.(5)
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan
triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium)
sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
21
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.
Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. (5)
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.(5)
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. (5)
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.(5)
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.
Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.(5)
II. 3. 10 KOMPLIKASI
22
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(5) :
1. Polip hidung(5)
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.(5)
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.(5)
3. Sinusitis paranasal.(5)
II. 3. 11 PROGNOSIS
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari,
maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-
anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan
penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga
dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.
23
BAB III
KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi
dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan
pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang
mensensitisasi terjadinya penyakit ini. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah
menghindari faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat
dihindari dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan. Pasien dengan
rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis
baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7.
2. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf . Accesed
at : November 25, 2011.
3. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/38904487/Anatomi-Hidung .
Accesed at : November 25, 2011.
4. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/52832505/7/Anatomi-Hidung
Accesed at : November 25, 2011.
5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2007. p. 128-32.
6. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching and Sneezing
in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University Hospital Mannheim,
Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p 35-40.
7. Rinitis Alergi. Available from : http://www.scribd.com/doc/19986753/Rinitis-Alergi. Accesed
at : December 2, 2011.
25