Anda di halaman 1dari 34

JOURNAL READING

Degree, duration, and causes of visual impairment in eyes


affected with ocular tuberculosis

Disusun Oleh :

Hanny Ardian Cholis 1102012107

Pembimbing :

Kolonel (Purn) dr. Dasril Dahar Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA


PERIODE 6 AGUSTUS- 7 SEPTEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI
RUMAH SAKIT MOH. RIDWAN MEURAKSA
Tingkat, durasi, dan penyebab gangguan penglihatan pada mata yang
terkena tuberkulosis okular

Kata kunci pencarian :


Ocular tuberculosis; Visual impairment; Antitubercular therapy

Dipilih jurnal dengan judul asli :


Degree, duration, and causes of visual impairment in eyes affected with ocular
tuberculosis

Authors :
Soumyava Basu, Sirajum Monira, Rohit Ramesh Modi, Nuzhat Choudhury, Neha
Mohan, Tapas Ranjan Padhi, Praveen Kumar Balne, Savitri Sharma and Satya
Ranjan Panigrahi

Di muat di :
Journal of Ophthalmic Inflammation and infection, a SpringerOpen Journal.

Diunduh di :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24485195
Pada tanggal 10 Agustus 2018. Pukul 16.15 WIB

1
Abstrak

Latar Belakang: Tuberkulosis okular (TB) dapat mempengaruhi hampir setiap


jaringan okular, yang mengarah ke berbagai manifestasi klinis yang mengancam
penglihatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan derajat, durasi,
dan penyebab gangguan penglihatan pada mata yang terkena TB okular.

Hasil: Ini adalah penelitian retrospektif pasien yang didiagnosis sebagai TB okular
berdasarkan polymerase chain reaction (PCR) untuk Mycobacterium tuberculosis
complex. Kami menerapkan definisi gangguan penglihatan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (VI) untuk mata yang terkena dampak, bukan mata yang melihat
lebih baik. Ketajaman penglihatan terbaik (BCVA) dari <6/18 dan ≥6 / 60 pada
mata yang terkena diklasifikasikan sebagai moderat VI dan <6/60 dan ≥3 / 60
sebagai VI berat. Data yang dikumpulkan termasuk presentasi dan BCVA akhir
mata yang terkena dampak dan BCVA terburuk selama masa studi. Enam puluh
satu mata 40 pasien dianalisis. Dua puluh lima pasien (52,1%) memiliki penyakit
bilateral. BCVA terburuk rata-rata dan BCVA akhir rata-rata (logMAR) adalah
1,26 ± 0,87 dan 0,61 ± 0,85, masing-masing, dan perbedaan mereka sangat
signifikan ( p <0,0001, uji Friedman). Median hasil BCVA terburuk dan terakhir
adalah 1,30 (kisaran 0,0-3,0) dan 0,20 (kisaran 0,0-3,0), masing-masing. Durasi
tindak lanjut rata-rata adalah 98,34 ± 81,81 minggu. VI sedang dan berat terlihat
pada 14 (22,9%) dan 12 (19,7%) mata, masing-masing, selama masa tindak lanjut.
Dua puluh mata (32,8%) memiliki BCVA <3/60. Sedang VI atau lebih buruk paling
sering terlihat pada mata dengan choroiditis serpiginoid multifokal ( n = 6; 100%),
vaskulitis retina ( n = 25; 80,6%), dan panuveitis ( n = 12; 80%). Durasi rata-rata
kehilangan penglihatan adalah 25,2 ± 42,37 minggu (median 6,43 minggu, rentang
0 hingga 206,42 minggu). Perdarahan vitreus, katarak rumit, dan jaringan parut
makula merupakan penyebab umum dari VI.

Kesimpulan: Okular TB dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang lama,


lebih umum pada pasien dengan uveitis posterior atau panuveitis.

Kata kunci: Okular tuberkulosis, gangguan penglihatan, terapi antituberkular

2
DEFINISI OPERASIONAL

NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL

1. Tuberkulosis Infeksi langsung pada satu atau lebih bagian di


Okular mata (intraokular, superfisial, maupun sekitar
bola mata), dengan atau tanpa keterlibatan
sistemik.

3
Degree, Duration, and Causes of Visual Impairment in Eyes Affected With
Ocular Tuberculosis

LATAR BELAKANG

Tuberculosis okular (TB) adalah salah satu penyebab umum uveitis infeksius di
negara-negara endemik [ 1 ]. Ini memiliki berbagai manifestasi klinis yang
mempengaruhi hampir setiap jaringan okular. Ini termasuk uveitis anterior, uveitis
intermediet, vaskulitis retina, serokstritis serpiginoid sercular infeksius (MSC),
tuberkuloma koroidal, abses subretinal, skleritis, dan neuritis optik [ 2 ]. Namun,
diagnosis TB okular sering tertunda karena sulit untuk membedakan manifestasi
klinis ini dari kondisi infeksi dan non infeksi lainnya [ 3 ]. Selain itu, sifat
paucibacillary TB okular menghalangi diagnosis definitif pada sebagian besar
kasus [ 2 , 4 ]. Dengan demikian, penundaan dalam inisiasi terapi antituberkular
spesifik (ATT) dapat menyebabkan peradangan berulang atau kronis dan dengan
demikian gangguan penglihatan lama di mata yang terkena [ 3 ].

Laporan terbaru tentang TB okular telah berfokus pada fitur histopatologi,


manifestasi klinis, kriteria diagnostik, dan peran tes tambahan seperti tes kulit
tuberkulin (TST), uji pelepasan gamma interferon (IGRA), dan radiografi dada [ 4
- 7 ]. Namun, tidak ada penelitian besar tentang tingkat dan penyebab gangguan
penglihatan (VI) dalam kondisi ini. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
aspek penting dari TB okular yang belum dieksplorasi ini. Kami telah mencoba
untuk mengevaluasi VI pada setiap mata yang terkena TB okular (bukan
mempertimbangkan ketajaman visual hanya mata yang lebih baik melihat) untuk
mendapatkan gambaran lengkap morbiditas visual pada penyakit ini.

METODE

Kami meninjau catatan medis dari semua pasien dengan TB okular yang dicurigai
secara klinis, dievaluasi di lembaga kami antara Desember 2011 dan November
2012. Kami memasukkan pasien yang memiliki diagnosis definitif TB okular
dengan polymerase chain reaction (PCR) atau menunjukkan respon positif terhadap
antituberkulosis terapi, yaitu, tidak ada rekurensi klinis 6 bulan setelah inisiasi

4
terapi antituberkular. Penelitian ini disetujui oleh dewan peninjau institusional dan
berpegang pada prinsip Deklarasi Helsinki. Kami mengikuti protokol standar untuk
semua pasien TB okular. Semua pasien memiliki riwayat pencatatan secara rinci
termasuk pajanan terhadap tuberkulosis paru aktif. Evaluasi klinis termasuk
ketajaman penglihatan terbaik (BCVA), tekanan intraokular, evaluasi slit lamp, dan
ophthalmoscopy tidak langsung. Manifestasi klinis dan peradangan ruang anterior
diklasifikasikan berdasarkan rekomendasi Standardization of Uveitis
Nomenclature (SUN), sementara kabut vitreous dinilai oleh sistem National Eye
Institute [ 8 , 9 ].

Semua pasien diselidiki untuk hemogram lengkap, laju endap darah, x-ray dada,
TST, dan ELISA untuk HIV; sementara penyelidikan khusus diperintahkan untuk
menyingkirkan infeksi (selain TB) dan kondisi tidak menular yang menyebabkan
manifestasi klinis serupa. Pasien yang dicurigai secara klinis dengan TB okular
(berdasarkan evaluasi di atas) dan memiliki tingkat sel anterior chamber
dipertimbangkan untuk paracentesis ruang anterior untuk tes PCR untuk
Mycobacterium tuberculosis . Kami menggunakan uji PCR multitarget yang
menargetkan target gen IS6110, MPB64, dan protein B dari M. tuberculosis [ 10 ].
Semua pasien dengan TB okular klinis (termasuk pasien PCR-negatif) diobati
dengan ATT yang terdiri dari isoniazid 5 mg / kg / hari, rifampisin 450 mg / hari
jika berat badan ≤50 kg dan 600 mg / hari jika berat badan> 50 kg, etambutol 15
mg / kg / hari, dan pirazinamid 25 hingga 30 mg / kg / hari untuk 2 bulan pertama.
Setelah itu, rifampicin dan isoniazid digunakan selama 4 bulan. Durasi ATT
dibatasi hingga 6 bulan berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) untuk TB luar paru [ 11 ]. Terapi kortikosteroid diberikan (umumnya
dimulai pada hari yang sama dengan ATT) oleh satu atau lebih rute - topikal,
periokular, intravitreal, oral, atau intravena, tergantung pada lokasi anatomi atau
tingkat keparahan peradangan. Pasien umumnya ditindaklanjuti pada minggu 2, 6,
12, 24, dan 36 dan di antara atau sesudahnya, tergantung pada respon terhadap
terapi.

5
Informasi berikut ini diambil dari catatan pasien: usia; jenis kelamin; lateralitas;
diagnosis klinis; hasil pemeriksaan termasuk TST, IGRA, radiografi dada, dan
PCR; komplikasi okular; BCVA; tekanan intraokular; status inflamasi pada setiap
kunjungan; rincian perawatan (ATT dan kortikosteroid); prosedur tambahan; dan
durasi tindak lanjut. BCVA yang muncul, BCVA terburuk selama masa studi
(dalam kasus itu berbeda dari menyajikan BCVA), dan BCVA akhir setiap mata
dicatat. Untuk tujuan penelitian kami, VI didefinisikan dengan menerapkan
pedoman WHO untuk mata yang terkena TB okular [ 12 ]. Dengan demikian,
BCVA <6/18 dan ≥6 / 60 pada mata yang terkena diklasifikasikan sebagai moderat
VI dan <6/60 dan ≥3 / 60 sebagai VI berat. Mata dengan BCVA <3/60
diklasifikasikan secara terpisah. Kami tidak mendefinisikan kebutaan hukum,
karena hanya VI sepihak yang dianalisis. Durasi kehilangan penglihatan dihitung
dari kunjungan dengan BCVA <6/18 sampai membaik menjadi ≥6 / 18. Dalam
kasus beberapa episode peradangan, durasi kehilangan penglihatan dalam episode
individu ditambahkan untuk mendapatkan durasi total. Penyebab utama penurunan
ketajaman visual pada setiap kunjungan juga dicatat.

Analisis statistik dilakukan menggunakan versi perangkat lunak statistik InStat Win
3.0 × (GraphPad Software Inc., CA, USA). Dampak gender dan lateralitas pada
kehilangan penglihatan dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney. Wilcoxon
matched-pairs signed-ranks test digunakan untuk menganalisis dampak
pengobatan. Uji Friedman (pengukuran berulang nonparametrik ANOVA)
digunakan untuk membandingkan ketajaman visual yang tampak, lebih buruk, dan
terakhir. Ketajaman visual Snellen didekati dengan nilai logMAR untuk analisis
statistik, di mana pun diperlukan.

HASIL

Enam puluh satu mata 40 pasien dianalisis. Para pasien hampir sama dibagi antara
kasus bilateral ( n = 21; 52,5%) dan unilateral ( n = 19; 47,5%). Usia rata-rata pasien
adalah 34,4 ± 12,11 tahun (kisaran 6 hingga 60 tahun). Dua puluh tujuh (67,5%)

6
adalah laki-laki dan 13 (32,5%) adalah pasien perempuan. Durasi tindak lanjut rata-
rata adalah 98,34 ± 81,81 minggu.

Distribusi pasien di antara berbagai pola klinis TB okular diberikan pada Tabel 1 .
Retinal vasculitis ( n = 31 mata) dan panuveitis ( n = 15 mata) adalah dua pola TB
okular yang paling umum dalam seri kami. Secara keseluruhan, hasil rata-rata
BCVA yang terburuk dan terakhir pada pasien kami adalah 1,324 ± 0,89 dan 0,698
± 0,91, masing-masing. Perbedaan antara rata-rata akhir dan rata-rata BCVA
terburuk ditemukan sangat signifikan ( p <0,0001, uji Friedman). Empat belas mata
(22,9%) memiliki VI moderat dan dua belas mata (19,7%) memiliki VI berat pada
beberapa titik tindak lanjut. Dua puluh mata (32,8%) memiliki BCVA <3/60 selama
periode ini. Tabel 1 juga menyebutkan berbagai nilai dan durasi VI yang tercantum
dalam setiap pola klinis. Sedang VI atau lebih buruk paling sering terlihat pada
mata dengan choroiditis serpiginoid multifokal ( n = 6; 100%), vaskulitis retina ( n
= 25; 80,6%), dan panuveitis ( n = 12; 80%) dan paling sedikit pada uveitis anterior
( n = 1; 20,0%). Mean menyajikan ketajaman visual terburuk untuk panuveitis dan
terbaik untuk uveitis intermediate. Secara keseluruhan, durasi rata-rata kehilangan
penglihatan adalah 25,2 ± 42,37 minggu (median 6,43 minggu, rentang 0 hingga
206,42 minggu) untuk semua mata, yang terendah untuk uveitis anterior (median 0
minggu) dan tertinggi untuk vaskulitis retina (median 13,57 minggu).

7
Berbagai komplikasi okular dan prosedur tambahan yang diperlukan untuk
pengelolaan komplikasi tersebut diberikan pada Tabel 2 . Perdarahan vitreous,
katarak rumit ( n = 10), dan jaringan parut makula ( n = 9) adalah penyebab
hilangnya penglihatan yang paling sering diamati. Bedah vitreous adalah prosedur
tambahan yang paling sering diperlukan pada pasien kami. Kami tidak menemukan
pengaruh usia ( p = 0,24) atau jenis kelamin ( p = 0,31) pada VI yang disebabkan
oleh TB okular.

DISKUSI

Penelitian kami menganalisis tingkat, penyebab, dan durasi VI pada mata yang
dipengaruhi oleh TB okular. Karena hampir separuh pasien kami memiliki penyakit
unilateral, kami lebih suka mempelajari VI pada setiap mata yang terkena daripada
BCVA mata yang lebih baik, sehingga mendapatkan perspektif yang lebih luas
mengenai morbiditas visual pada TB okular. Yang penting, unilateral VI (sedang
sampai berat) telah terbukti memiliki dampak yang terukur terhadap kualitas hidup
yang berhubungan dengan kesehatan, selain fungsi visual subjektif dan ketajaman
teropong dan stereo [ 13 , 14 ].

Usia rata-rata pasien dalam seri kami adalah 34,4 ± 12,11 tahun, yang menunjukkan
dampak TB okular pada kelompok usia produktif dari populasi kami. Presentasi
klinis pada pasien kami adalah posterior uveitis (vaskulitis retina dan MSC) atau
panuveitis, tidak seperti laporan sebelumnya pada dugaan TB okular, di mana
hampir setengah (45,1%) dari pasien memiliki uveitis anterior atau intermediate [
5 ]. Ini bisa mempengaruhi tingkat VI yang dicatat dalam seri kami. Secara umum,
pasien dengan uveitis posterior atau panuveitis memiliki ketajaman penglihatan
terburuk yang lebih rendah daripada mereka dengan uveitis anterior atau
intermediate. Hasil kami sesuai dengan penelitian sebelumnya pada hilangnya
penglihatan pada uveitis, meskipun mereka mengikuti kriteria berbeda untuk
klasifikasi kehilangan penglihatan [ 15 - 17 ]. Sedang VI atau lebih buruk (BCVA
<6/18) juga terlihat lebih pada pasien dengan uveitis posterior atau panuveitis

8
daripada uveitis anterior / intermediate. Secara keseluruhan, 46 dari 61 mata
(75,4%) memiliki VI sedang atau lebih buruk, selama masa tindak lanjut.

Penyebab paling umum dari kehilangan penglihatan dalam penelitian kami adalah
perdarahan vitreus, katarak rumit, dan jaringan parut / peradangan makula.
Perdarahan vitreous dan CME sering terlihat pada mata dengan vaskulitis retina,
parut makular sebagian besar berhubungan dengan MSC, sedangkan katarak rumit
sebagian besar terlihat pada panuveitis. Insiden CME dalam penelitian kami lebih
rendah daripada yang dilaporkan untuk uveitis pada umumnya, karena kami
memiliki lebih sedikit pasien dengan uveitis anterior atau menengah, dan angiografi
fluoresens dan tomografi koherensi optik tidak dilakukan secara rutin pada semua
pasien [ 15 - 17 ]. Pendarahan vitreous diobati dengan fotokoagulasi retina atau
bedah vitreous sesuai kebutuhan dan sering menghasilkan peningkatan tajam dalam
ketajaman visual. Mata dengan MSC juga membaik setelah pengobatan dengan
ATT dan terapi kortikosteroid. Secara umum, mean VA di semua kategori
presentasi klinis, meningkat secara signifikan ( p <0,0001), mengikuti ATT dan
berbagai perawatan tambahan. Beberapa mata dengan katarak rumit belum
menerima operasi katarak sampai tindak lanjut terakhir, menunjukkan bahwa ada
ruang lingkup perbaikan lebih lanjut dalam VA akhir. Dengan demikian, penelitian
kami menyoroti efek komplikasi okular, morbiditas visual yang disebabkan oleh
uveitis. Yang penting, dalam studi epidemiologi pada VI, komplikasi seperti
katarak dan glaukoma disebabkan uveitis sering diklasifikasikan secara terpisah

9
tanpa diagnosis kausal, yang mengarah ke nilai-nilai palsu rendah untuk kebutaan
uveitis / VI [ 18 ].

Kami tidak menemukan pengaruh usia atau jenis kelamin pada tingkat gangguan
penglihatan. Sebuah penelitian baru-baru ini mengenai inflamasi okular
mikobakteri terkait keterlambatan diagnosis dan usia yang lebih tua dari 50 tahun
dengan kehilangan penglihatan yang mendalam [ 3 ]. Kami tidak dapat menghitung
durasi penyakit untuk sebagian besar pasien, karena waktu onset sebelum rujukan
tidak didokumentasikan dengan jelas pada semua pasien. Juga, jumlah pasien dalam
setiap kategori klinis tidak cukup besar untuk analisis statistik efeknya pada
gangguan penglihatan, meskipun, seperti yang dinyatakan sebelumnya, uveitis
posterior atau panuveitis umumnya memiliki ketajaman visual yang lebih buruk.
Akhirnya, kami tidak dapat secara terpisah menganalisis dampak ATT pada
gangguan penglihatan pada TB okular, karena semua pasien memerlukan
manajemen simultan peradangan okular dengan kortikosteroid dan berbagai
komplikasi seperti perdarahan vitreous, katarak, dan glaukoma.

KESIMPULAN

Okuler TB dan komplikasinya menyebabkan gangguan penglihatan sedang sampai


parah pada sebagian besar mata yang terkena, terutama pada mata dengan uveitis
posterior atau panuveitis. Manajemen yang tepat dari kondisi ini dapat secara
signifikan memulihkan kehilangan penglihatan.

10
DISKUSI

A. Anatomi dan Fisiologi Mata

Gambar 1. Anatomi Bola mata [12]


Anatomi Mata
Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya. Yang dilakukan
mata yang paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah lingkungan
sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata yang lebih kompleks dipergunakan untuk
memberikan pengertian visual.[3]
Bagian-bagian pada organ mata bekerjasama menghantarkan cahaya dari
sumbernya menuju ke otak untuk dapat dicerna oleh sistem saraf manusia. Bagian-
bagian tersebut adalah:[4]

11
1. Kornea, Pupil dan Iris
Kornea merupakan bagian terluar dari bola mata yang menerima cahaya dari
sumber cahaya. Dari kornea, cahaya akan diteruskan ke pupil. Pupil menentukan
kuantitas cahaya yang masuk kebagian mata yang lebih dalam. Pupil mata akan
melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan akan menyempit jika kondisi
ruangan terang. Lebar pupil dipengaruhi oleh iris di sekelilingnya. Iris berfungsi
sebagai diafragma. Iris inilah terlihat sebagai bagian yang berwarna pada mata.[4]
2. Lensa mata
Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskan pada retina. Fungsi
lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik
kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata
akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari
dekat), lensa mata akan menebal.[4]
3. Retina, Saraf Optik dan Sitem Lakrimal
Retina adalah bagian mata yang paling peka terhadap cahaya, khususnya
bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya diteruskan ke saraf
optik. Saraf yang memasuki sel batang dan kerucut dalam retina, untuk menuju ke
otak. Pada mata terdapat sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah
temporal bola mata. Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli
lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.[4]

Fisiologi mata
Mata berperan sebagai kamera untuk melihat, yaitu mempunyai
kemampuan mengatur sinar masuk ke dalamnya seperti layaknya diafragma
kamera. Bila sinar masuk ke dalam bola mata normal maka akan melalui media
penglihatan yaitu kornea, pupil, lensa mata dan badan kaca dimana sinar akan
difokuskan pada retina terutama di daerah yang disebut makula lutea yang
selanjutnya melalui saraf optikus sebagai alat penerus rangsangan sinar yang masuk
diteruskan ke pusat penglihatan di otak dan otak menerima rangsangan penglihatan
melalui saraf penglihatan kemudian di otak bagian belakang diolah dan
menginterpretasikan rangsangan yang dilihat. Pada kortex penglihatan dalam lobus

12
occipitalis terjadi penggabungan rangsangan yang berasal dari kedua mata dengan
cara tersebut kita akan melihat benda tunggal dengan kedua mata (penglihatan
binokuler tunggal), dengan interpretasi bayangan yang tidak terbalik.[4]

B. Tuberkulosis Mata
Tuberkulosis adalah Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru,
tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya sepertiotak, kelenjar getah bening,
hepato-gastro intestinal, urogenital, organ reporduksi dan tulang. Transmisi
berlangsung melalui udara dari droplet nuclei yang didapatkan dari pasien dengan
infeksi tuberkulosis paru.[5][6]

Tuberkulosis Mata adalah suatu infeksi oleh spesies Mycobacterium


tuberculosis yang dapat mempengaruhi beberapa bagian mata (intraokular atau
extraokular) tanpa adanya gejala sistemik.[2]

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang ada di mana-mana dan


menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Negara-negara berkembang
seperti India. Frekuensi TB mata pada pasien dengan uveitis dan TB sistemik
masing-masing 0-0,16% dan 0,27%-1,4%. Insidensi gejala mata pada pasien yang
diketahui memiliki TB sistemik hanya 1-3%. TB tetap menjadi infeksi utama di
dunia yang menyebabkan kematian dan juga dapat menyebabkan bermacam-
macam penyakit di seluruh tubuh dan mata. Di seluruh dunia, ada sekitar 8 juta
kasus baru dan 3 juta kematian dari TB setiap tahun. Sekitar 1/3 populasi dunia
telah terinfeksi. Demografi dari infeksi bervariasi, dengan Negara-negara
berkembang menanggung beban terberat dari penyakit tersebut.[2]
Tuberkulosis mata selalu dianggap jarang, namun insiden telah bervariasi
secara luas di seluruh waktu, populasi pasien dan geografi. Pada tahun 1967.
Donahue melaporkan sebuah insiden dari TB mata sebesar 1,46% dari 10.524
pasien dari sebuah sanatorium TB.[7]
Sebuah penelitian prospektif dari Spanyol, melaporkan pada tahun 1997,
diperiksa 100 pasien yang dipilih secara acak dengan terbukti TB sistemik dan

13
ditemukan keterlibatan mata sebanyak 18 paasien (18%). Di Malawi, Afrika,
sebanyak 2,8% insiden granuloma koroid dalam 100 pasien dengan demam dan TB
yang dilaporkan dalam penelitian prospektif tahun 2002. Di india, dalam sebuah
penelitian yang dilakukan dari Januari 1992 sampai desember 1994, 0,16% dari
kasus uveitis diyakini disebabkan oleh Tuberkulosis.[7]
Di Jepang, sebuah penelitian prospektif dari April 1998 sampai Agustus
2000 melaporkan bahwa 20,1% dari 126 pasien dengan uveitis memiliki hasil skin
test derivative protein murni positif dan 7,9% dipikirkan memiliki TB mata. Di Sudi
Arabia, selama periode dari 1995-2000, TB merupakan penyebab dalam 10,5%
kasus uveitis yang tampak di pusat rujukan. Di Boston, 0,6% pasien uveitis dari
1982-1992 dipercaya memilki TB sebagai penyebab dasarnya.[7][8]

1. Etiologi
Tuberkulosis yang secara primer umumnya menyerang paru, tapi bisa juga
menyerang organ-organm extra paru, salah satunya mana. Tuberculosis disebabkan
oleh infeksi dari Mycobacterium tuberculosis yang dapat tersinfeksi secara droplet
melalui batuk ataupun bersin.[10]
Tuberkulosis okular adalah salah satu tuberkulosis ekstra paru yang mencakup
infeksi di sekitar mata disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Timbulnya
manifestasi klinis pada mata dapat disebabkan karena infeksi aktif atau reaksi
imunologis yang berkaitan dengan respon Delayed Hypersensitivitas atau reaksi
aseptik.[10]
Pada TB Okular primer artinya infeksi yang terjadi melibatkan mata sebagai
infeksi primer yang masuk ke tubuh, sedangkan yang sekunder adalah didefinisikan
sebagai infeksi akibat penyebaran dari struktur yang berdekatan dari lokasi infeksi
atau juga dapat disebabkan karena penyebaran secara hematogen. Infeksi primer
pada mata ini jarang terjadi.[10]
Sedangkan pada TB Okuler sekunder artinya infeksi yang melibatkan mata
sebagai akibat dari penyebaran secara hematogen dari tempat atau organ yang jauh
dan juga bisa disebabkan invasi langsung dari daerah yang berdekatan seperti di
sinus atau daerah-daerah yang berongga pada tengkorak. Akibat dari infeksi

14
tersebut dapat mengenai jaringan mata dan adneksanya. Tuberkulosis mata
umumnya bersifat akut tapi biasanya dapat berjalan kronis dengan eksaserbasi dan
remisi.[10]

2. Patofisiologi
Ketika bakteri masuk melalui droplet atau secara inhalasi. Bakteri akan masuk
ke bronkus dan menetap di bronkiolus.dimana sebagai respon awal pertahanan
tubuh bakteri tersebut akan bertemu dengan alveolar makrofag. Pathogenesis dasar
tentang tuberculosis ini tidak berubah hingga sekarang. Umumnya lima tahapan
pathogenesis infeksi tuberkulosis
Tahap 1. Bakteri akan di fagositosis oleh makrofag alveolar , sehingga bakteri
dapat berkembang, tapi pada beberapa kondisi bakteri tersebut tetap hidup dan
berkembang menjadi tuberkel
Tahap 2. Keterlibatan monosit dalam melakukan fagositosis sehingga bakteri
dapat dihancurkan, namun dengan respon pertahanan dari M.tuberculosis yaitu
menghambat terjadinya fagositosis sehinggga bakteri tidak hancur dan justru
bakteri berkembang
Tahap 3. Respon Delayaed Hypersensitivity (DTH) dari tubuh juga ikut
berperan dalam menghancurkan bakteri didalam makrofag dengan cara
menghambat pertumbuhan bakteri. Reaksi hipersensitivitas tersebut justru
menyebabkan jaringan sekitar tempat terdapatnya bakteri menjadi nekrosis,
nekrosis yang terjadi tersebut disebut sebagai nekrosis kaseosa, pada tahap ini
akibat reaksi hipersensitivtas ini juga melibatkan makrofag yang masih aktif dan
sel imun seperti sel T.
Tahap 4. Jika pada tahap ini respon tubuh yang terjadi menetap atau lemah,
maka nekrosis akan semakin meluas dan tuberkel akan membesar, sehingga
memungkinkan tuberkel dan nekrosis kaseosa yang banyak bakteri tersebut dapat
masuk ke system limfatik dan sirkulasi sehingga infeksi bakteri dapat berpindah
dan memberi respon di beberapa organ tubuh yang lain. Salah satunya mata. Namun
jika respon imunitas tubuh berkembang dengan baik progresivitas bakteri dapat
dihambat sehingga bakteri dapat hancur.

15
Tahap 5. Pada tahap infeksi bakteri di luar paru-paru misalnya yang terjadi
pada tuberkulosis okular, penyebarannya secara hematogen, dan bakteri akan
dormant pada jaringan mata untuk beberapa tahun sebelum mereka aktif. Factor
resiko tertinggi yang menyebabkan inaktivasi bakteri adalah keterlibatan pasien
dengan HIV. Yang menyebabkan bakteri M. Tuberculosis dapat berkembang di
jaringan mata dan memberikan manifestasi klinis.

3. Klasifikasi
a. Tuberkulosis Intraokular
Pada tuberkulosis intraokuler yang paling sulit untuk ditegakkan diagnosisnya
adalah tuberkulosis pada uveitis. Dimana untuk menegakkan diagnosisnya melalui
biopsi dan kultur susah didapatkan sampelnya karena lapisannya yang begitu tipis
dan halus. Terbentuknya granulomatous iritis menandakan kondisi uveitis anterior
yang agresif.
Tuberkulosis intraokuler melibatkan komponen dari segmen posterior mata
dengan dapat menimbulkan kondisi vitritis, retinitis, choroiditis dan retinal
vaskulitis. Terbentuknnya lesi choroidal granuloma dapat membantu penegakkan
diagnosis TB intrakuler. Pada beberapa kondisi dapat terjadi neuritis optic atau
papillitis jika infeksi mencapai saraf optik hingga menyebabkan adanya inflamasi
pada saraf optic. Jika peradangan tersebut meluas dapat pula menyebabkan
endoftalmitis genous.
b. Tuberkulosis Ekstraokular
Tuberkulosis dapat mempengaruhi mata melalui invasi secara langsung dari
basil tuberkel yang diikuti penyebaran secara hematogen dengan kerusakan lokal
dan inflamasi atau muncul respon reaksi hipersensitivitas. Pada Tuberkulosis
ekstraokuler memberikan beberapa manifestasi berupa blefaritis kronik atau
kalazion atipikal yang ditandai dengan terdapatnya mukopurulen konjungtivitis,
atau bisa juga terdapat phyctenule (yaitu nodul inflamasi disekitar kornea dan
skleara), keratitis, keratitis interstisial atau scleritis. Untuk memudahkan penentuan
diagnosisnya dapat dilakukan dengan mengambil sampel untuk kultur atau biopsy.

16
4. Manifestasi Klinik
Pasien yang awalnya menderita tuberkulosis sistemik menunjukkan gejala
mudah lelah, penurunan berat badan, berkeringat malam hari, batuk dan demam.
Sedangkan pada anak yang menderita tuberculosis tanpa memperlihatkan gejala
sistemik akan menunjukkan maniftasi berupa post auricular lymphadenopathy. [9]
Pada mata, tuberkulosis dapat mempengaruhi banyak struktur mata, baik yang
bersifat unilateral ataupun bilateral yang disebabkan karena penyebaran secara
hematogen melalui pejanan langsung dari kulit mata, membran mukosa dan sinus
atau juga respon hipersensitivitas yang disebabkan karena infeksi. Manifestasi
klinis yang paling sering adalah pada kondisi uveitis posterior yang diikuti dengan
uveitis anterior, panuveitis dan uveistis intermediate. Tanda khas yang muncul
adalah tampakan granulomatosa. Pada beberapa kasus tidak tampak granulomatosa
misalnya pada kondisi uveitis yang relaps atau pada kondisi telah mengalami
inflamasi kronik.[9]
Gejala mata yang lain yang mungkin saja dapat ditemukan adalah keratitis,
retinitis, skleritis, abses orbita, optik neuropati dan kelumpuhan nervus cranial.[9]
a. Segmen Posterior Mata
Temuan yang paling umum pada TB Okular adalah choroiditis multifocal dan
choroidal granuloma. Terdapatnya tuberkel memberikan gambaran pada
serpiginous choroiditis, multifocal choriditis atau panuveitis. Lesi choroidal dengan
atau tanpa inflamasi berhubungan erat dengan penyakit sistemik dan sebagai
indikator penyebaran hematogen dari bakteri.[10]
 Choroidal Tubercle :
Tuberkel ini dapat unilateral atau bilateral, dengan warna keabuan sampai
kekuningan.choroidal tubercle baik yang aktif dan tidak aktif kebanyakan unilateral
tapi bisa saja bilateral. Jika infeksi mulai menurun, tuberkel akan sembuh dalam
12-14 minggu yang memberikan gambaran berupa pigmen yang terdapat bekas luka
yang atrofi.[10]

17
Gambar 2. Choroidal Tubercle [7]
 Choroidal Tuberculoma :
Bila Choroidal tubercle terus berkembang, tuberkel tersebut akan
menjadi massa padat yang disebut sebagai tuberkuloma. Pada tuberculosis
intraocular, tuberkuloma dapat dilihat pada daerah choroid posterior,
macula atau juga pada papil. Tuberkuloma merupakan massa subretina
dengan ukuran 4-14 mm dan berwarna kekuningan, tuberkuloma ini dapat
menyebabkan ablasi retina yang berlebihan.[10]

Gambar 3. Choroidal Tuberculoma [7]

18
 Abses Subretinal :
Tuberkel yang berkembang dan semakin membesar dapat mengalami nekrosis
yang berasal dari massa subretinal yang telah berkembang akibat ablasi retina
disertai eksudatif. Jika lesi dari tuberkuloma tersebut pecah menyebabkan
endoftalmitis atau panoftalmitis.[10]

Gambar 4. Abses Subretinal [7]

 Serpiginous choroiditis :
Serpiginous choroiditis ini jarang terjadi, dimana penyakit ini umumnya
bilateral, kronis, perlangsungannya progresif dan dapat terjadi peradangan berulang
pada retina bagian luar dan choroid bagian dalam yang belum diketahui
penyebabnya. Lesi dari serpiginous choroidal dimulai di daerah peri papiler dan
menyebar secara sentrifugal.[10]

19
Gambar 5. Serpiginous choroiditis [7]

Retina dapat memberikan gambaran retinitis, vaskulitis, oklusi vascular dan


lain-lain. Periphphlebitis retina jarang disebabkan akibat invasi retina oleh basil
tuberkel. Tuberkulosis retina terjadi secara infeksi sekunder yang awalnya dimulai
dari choroiditis, edema macula dapat disertai dengan peradangan intraocular.
Vitreous dapat menjadi vitritis baik itu anterior dan inferior.[10]

Gambar 6. Macam-macam Manifestasi klinis dari Tuberkulosis Okular [10]

20
a. Segmen Anterior Mata
Gambaran pada segmen anterior yang paling umum adalah uveitis anterior yang
bisa menjadi uveitis anterior kronis atau panuveitis.

Gambar 7. Uveitis Anterior disertai adanya Keratic Presipitate [16]

Iridosiklitis menunjukkan karakteristik “ mutton-fat keratic precipitates ”


yang menyebar didaerah inferior disepertiga lebih rendah dari kornea yang dikenal
sebagai “ Arlt Triangle “.[10]

Gambar 8. Iridosiklitis dengan karakteristik


“ mutton-fat kertic prescipitate”[16]

21
Iris biasanya berkembang menjadi synekchiae posterior atau anterior
dan/atau granuloma iris. Granuloma ini dapat dilihat pada sudut dasar iris dan diatas
trabekula. Pasien HIV dengan pemberian terapi retroviral dapat menunjukkan
pemulihan kekebalan tubuh. Namun, jika peradangan tersebut tidak ditangani dapat
menyebabkan katarak dan glaukoma.[10]

Gambar 9. Iridosiklitis yang berkembang menjadi


Synekchiae Posterior [16]

5. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis dilakukan anamnesis yang lengkap seperti pada umumnya
untuk mengetahui perjalanan penyakit dari pasien, secara khusus dari anamnesis
didapatkan riwayat tuberkulosis, riwayat pengobatan tuberkulosis sehingga bisa
mempertimbangkan kombinasi pengobatan, dan keluhan-keluhan lain yang
menjadi penyerta seperti keluhan sistemik, khusus anamnesis mata, setidaknya
harus menanyakan mengenai riwayat keluhan mata seperti penurunan visus.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan dasar untuk menentukan
manifestasi klinis yang muncul pada mata yang terkena. Tanda klinis itu dapat

22
berupa uveitis, siklitis, choroiditis retinitis, retinal vasculitis, neuro-retinitis,
neuropati optic, endoftalmitis dan panoftalmitis. Yang sulit ditentukan dari
pemeriksaan fisik adalah tanda klinis yang muncul merupakan infeksi yang pertama
kali, atau relaps (kambuh).

c. Pemeriksaan Penunjang
 Mikrobiologi dan Histopatologi
Pemeriksaan kultur M. Tuberculosis mengambil sampel dari cairan
intraocular atau jaringan yang terkena infeksi, kemudian sampel tadi diamati
melalui mikroskop. Namun pemeriksaan menggunakan mikroskop melalui banyak
proses dan organisme yang dapat ditemukan dari pengamatan mikroskop sedikit.
Selain pemeriksaan kultur dapat pula dilakukan pengamatan di mikroskop dengan
cara pewarnaan gram. Pewarnaan yang digunakan adalah Acid Fast Bacili (AFB).
Selain mikroskop, sampel kultur dapat juga diamati melalui pemeriksaan PCR
(Polumerase chain reaction). Pemeriksaan PCR ini merupakan pemeriksaan
dengan tekni yang sensitive dan spseifik karena dapat menentukan DNA dari
M.Tuberculosis sehingga sangat berguna untuk deteksi dini. Namun pemeriksaan
ini dapat juga memberikan positif palsu sehingga tidak secara rutin
direkomendasikan, selain itu PCR membutuhkan waktu yang lama untuk
memproses hasilnya.[8]

23
Gambar 10. Hasil pewarnaan gram dengan Acid Fast Bacilli [8]

 Mantoux Skin Test


Pemeriksaan Mantoux merupakan salah satu pemeriksaan untuk skrining
primer pada uveitis tuberkular dan respon hipersensitivitas okular dengan cara
melakukan injeksi derivate protein. Infeksi M. Tuberculosis positif bila terdapat
reaksi positif pada daah diinjeksi dengan ukuran indurasi yang dianggap positif
adalah lebih dari 10 mm, sedangkan hasil yang masih diragukan pada indurasai
antar5-9 mm. hasilya akanpositif palsu jika pasien yang sebelumnya elah
mendapatkan vaksinasi BCG, untuk menghindari positif palsu, pemeriksaan ini
memerlukan beberapa kali kunjungan pemeriksaan.[8]

Gambar 11. Mantoux Skin Test [17]

 Foto Rontgen atau CT Scan Thorax


Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan foto rontgen atau CT Scan
pada thorax baik itu posisi lateral atau PA, dari pemeriksaan ini akan mudah
diketahui dari gambaran paru yang terinfeksi paru-paru sehingga dapat dibedakan
infeksi primer, reaktiviasi tuberkulosis dan lain-lain.[8]

24
Gambar 12. Contoh hasil foto rontgen dan CT Scan Thorax
Penderita TB [8]

 Fluorescein Angiography
Pemeriksaan ini erguna untuk mengonfirmasi diagnosis pada choidal
neovascular membrane atau pada retinalangiomatous proliferation yang telah
berkembang dari fase akut dengan pembentukan tuberkel atau juga pada lesi yang
sudah tidak aktif. Choroidal tubercles, Choroidal tuberculoma, serpiginous
choroiditis, retinal vasculitis, dapat didapatkan pada pemeriksaan ini.[8]

Gambar 13. Fluorescein Angiography pada Choroidal Tubercle [8]

25
 Indocyanine Green Angiography
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi adanya lesi chorid subklinis
pada kasus dengan tuberculosis intraocular.[8]

Gambar 14. Hasil pemeriksaan Indocyanine Green Angiography


pada Serpiginous Choroiditis [13]

 Optical Coherence Tomography


Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi adanya kelainan pada retina, dan
koroid seperti subretinal neovascular membrane. [8]

Gambar 15. Optical Coherence Tomography pada


Tuberculous choroiditis [14]

26
 Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan ini berguna untuk kasus tuberculosis mata yang mengarah
pada keganasan intraocular sehingga melalui USG dapat ditemukan granuloma atau
abses.[8]

Gambar 16. Contoh Hasil Ultrasonography (USG) [15]

 Ultrasound bio-microscopy
Pemeriksaan ini umumnya bertujuan untuk mendeteksi adanya granuloma
didaerah yang terinfeksi[8]

 Interferon-g release assays (IGRA)


Pemeriksaan in pertama kali dilakukan pada pasien dengan tuberculosis uveitis,
dima pemerikan yang dilakukan dengan uji in vitro yang mengukur interferon-g
yang dilepaskan oleh sel T yang telah distimulasi oleh antigen M.Tuberculosis.[8]

6. Penatalaksanaan

Panduan Pengobatan Anti Tuberkulosis pada Dewasa dan Anak-anak[10]

27
Pengobatan tuberkulosis okular sama dengan pengobatan pada tuberkulosis
paru. CDC telah merekomendasikan penggunaan semua 4 obat yang digunakan
yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol untuk 2 bulan pertama. Lalu
dilanjutkan untuk pengobatan 4-7 bulan setelahnya dengan pilihan obat yang
berbeda.[10]
CDC juga merekomendasikan untuk pengobatan jangka panjang pada
tuberkulosis yang memberikan respon yang lambat, banyak penelitian memberikan
pengobatan obat kombinasi rifampisin dan isoniazid yang diberikan selama 9 bulan
sehingga efek samping dari isoniazid dapat menurun jika dikombinasikan dengan
obat rifampisin.[10]
Pemberian steroid dosis rendah bersamaan dengan terapi antituberkulosis
selama 4-6 minggu telah terbukti memberikan efek untuk menghambat kerusakan
jaringan akibat reaksi hipersensitivitas. Penanganan dengan metode pembedahan
pada subretinal tuberkuloma terbukti sukses dengan kombinasi obat
antituberkulosis dan kortikosteroid dapat menurunkan kemungkinan kekambuhan.
[10]

Pemberian obat tambahan seperti topikal mungkin berguna pada pasien dengan
manifestasi pada bagian mata luar seperti pemberian salep topikal isoniazid atau
dengan injeksi subkonjungtiva dapat memberikan respon terapi pada tuberkulosis
yang mengenai segmen anterior mata. Pemberian streptosisin sulfat topikal
dianjurkan jika ditemukan adanya defek epitel.[10]

28
Perencanaan terapi laser digunakan sebagai terapi adjuvant untuk tuberkulosis
okuler, di laporkan pada lesi chorioretinitis tuberkulosis dengan terapi laser dapat
memberikan hasil lebih baik pada fovea sehingga dapat memperbaiki ketajaman
visual, dibanding pemberian terapi pengobatan konvensional. Namun terapi laser
tidak dianggap sebagai pengobatan primer tanpa memberikan obat antituberkulosis
sistemik. Sehingga terapi laser ditunda hingga diagnosis pasti dapat ditegakkan.[10]

Respon Dan Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis


Pada pasien tuberkulosis yang telah menjalani pengobatan akan mengalami
beberapa efek samping obat. Dari semua obat antituberkulosis yang digunakan,
etambutol adalah obat yang paling mungkin menyebabkan gangguan pada mata,
dimana etambutol dapat menyebabkan neutiritis optik retrobulbar. Namun, itu
semua tergantung dengan pemberian dosis yang biasanya reversible sehingga
kadang sekalipun dosis etambutol diturunkan tidak akan mempengaruhi
kemungkinan resiko terjadinya neuritis optik, sehingga biasanya penundaan atau
bahkan penghentian pemberian etambutol adalah solusi yang paling efektif jika
pasien telah menimbulkan gejala awal seperti penurunan ketajaman penglihatan
(visus).[10]
Obat Isoniazid juga diketahui dapat menyebabkan neuropati perifer, sehingga
penambahan pemberian piridoksin dapat mencegah efek neuropati dari isoniazid.
Selain itu isoniazid juga bersifat hepatotoksik sehingga perlu pengontrolan hasil
laboratorium dan fungsi enzim hati selama pengobatan. Obat rifampisin dapat
menyebabkan trombositopenia sehingga pemeriksaan laboratorium darah lengkap
harus selalu dilakukan untuk mengontrol kadar trombosit dalam tubuh. Obat
pirazinamid juga dapat menyebabkan hiperurisemia namun bersifat akut, dan obat
streptomisin dikatikan dengan gangguan pendengaran.[10]

7. Prognosis
Pada Tuberkulosis okular dapat diobati dan mata bisa terlindungi
selama rutin mengonsumsi obat ainti tuberkulosis. Pemberian terapi secara dini

29
sejak munculnya gejala awal merupakan pilihan terapi terbaik untuk mencegah
morbiditas dan kebutan okular.[10]

30
KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya diperoleh


beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan infeksi Mycobacterium
Tuberculosis dan menyerang paru-paru.
2. Tuberkulosis mata (Okular) merupakan penyakit tuberkulosis ekstraparu yang
mengenai jaringan mata sehingga menimbulkan kerusakan pada mata.
3. Tuberkulosis okular terbagi atas dua yaitu tuberkulosis intraokular dan
ektraokular.
4. Penyebab terjadinya tuberkulosis okular diakibatkan karena penyebaran
bakteri secara hematogen dari tempat yang jauh atau invasi langsung melalui
struktur yang berdekatan seperti sinus dan rongga cranial dan reaksi Delayed
Type Hypersensitivity
5. Manifestasi klinis yang paling sering pada segmen anterior mata adalah uveitis
anterior dan segmen posterior adalah choroidal tubercle
6. Prinsip terapi tuberkulosis okular mencakup terapi sistemik (pemberian obat
anti tuberkulosis), terapi topical, terapi steroid dosis rendah dan laser
7. Terdapat banyak efek samping pada pemberian obat-obatan anti tuberkulosis
sehingga perlu dilakukan beberapa pemeriksaan sebelum memulai terapi
seperti penilaian visus, pemeriksaan laboratorium darah dan fungsi enzim hati.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Indonesia. Pengendalian Kasus Tuberkulosis. Jakarta:


2012. Web. http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1922-
pengendalian-kasus-tuberkulosis-harus-berkualitas-untuk-mencegah
terjadinya-tb-mdr.html
2. Tanushree, V. Gowda HT. Primary ocular tuberculosis. International Journal
of Ophtalmology and Eye Science. India. 2016.
3. Wijaya, Nana. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta, 2003.
4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta, 2009.
5. PDPI, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia .
Edisi II.Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011.
6. Sudoyo, Aru W., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Penerbit
Interna Publishing, 2009.
7. Parchand, S.Gupta, V, Sharma, A. Review Article: Intraocular
Tuberculosis.Journal of Postgraduate Mediine,Eduction and Research. India.
2013.
8. Gupta, V. Gupta, A. Rao, NA. An Update: Intraocular Tuberculosis. Journal
Survey of Ophtalmology. Department of Ophtalmology, Keck School of
Medicine, India, 2007.
9. Sharma A, Thapa B, Lavaju P, An Update : Ocular Tuberculosis. Nepal Journal
Ophtalmol,Department of Ophthalmology, Institute of Healt and Sciences,
Nepal, 2011.
10. Biswas, MS. An Update : Ocular Tuberculosis. Kerala Journal Of
Ophtalmology, Chennai, India. 2009.
11. Matthew J. Thompson MD, Daniel MA. Spesial Article : Ocular Tuberculosis.
Journal of Arch Ophtalmology, American Medical Association. 2005.
12. Khurana A.K, Community Ophthalmologi, Chapter 20, in Comprehensive
Ophthalmology, Fourth Edition, New Delhi, New Age International Limited
Publisher, 2007.

32
13. Hyun, S, Chun, NC, Min, AH. The Clinical Manifestation and Differential
Diagnosis of tuberculosis serpiginous like choroiditis and serpiginous
choroiditis, Journal of the Korean ophthalmology society. Korean, 2017.
14. Mohammadi, N. Ghassemi, F. Shojaei, E. Case Report : Bilateral presumed
tuberculosis choroiditis. Journal of eye research center. Department of
Vitreoretinal – Farabi Eye Hospital – Tehran University, Iran. 2016.
15. Aleharnd, S. Practice Update : Ultrasound for Retinal Detachment. Ichan
School of Medicine – Parkland Memorial Hospital. United of States, 2015.
16. Lang, G. 2006. Ophtalmology : a pocket textbook atlas. Thieme Stuggart, New
York, 2006.
17. Rao,TV. Tuberculosis Student Update. Freelance clinical Microbiology
Knowledge, India. 2008.

33

Anda mungkin juga menyukai