Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

Pasien G2P1A0 hamil 37 minggu dengan Riwayat SC 1x a.i Letak Lintang


Belum Inpartu JTH Preskep dengan Plasenta Previa
Pro SC dengan Spinal Anestesi

Oleh:

Yuventius Odie Devananda, S.Ked 04084821719219


Pratika Dea Waryuni, S.Ked 04084821719220
Dewangga Panji Mahardika, S.Ked 04084821719221
Afkara Husna F., S.Ked 04054821820046
Arief Budiman, S.Ked 04054821820093
Kamila Rahmah, S.Ked 04084814120073

Pembimbing:

dr. Ibnu Umar, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD H.M. RABAIN MUARA ENIM
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Kasus

Pasien G2P1A0 hamil 37 minggu dengan Riwayat SC 1x a.i Letak Lintang


Belum Inpartu JTH Preskep dengan Plasenta Previa
Pro SC dengan Spinal Anestesi

Oleh:

Yuventius Odie Devananda, S.Ked 04084821719219


Pratika Dea Waryuni, S.Ked 04084821719220
Dewangga Panji Mahardika, S.Ked 04084821719221
Afkara Husna F., S.Ked 04054821820046
Arief Budiman, S.Ked 04054821820093

Kamila Rahmah, S.Ked 04084814120073

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUD H.M. Rabain Muara Enim Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 20 Agustus 2018 – 24 Agustus 2018.

Muara Enim, Agustus 2018

dr. Ibnu Umar, SpAn

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan jurnal yang berjudul Pasien G2P1A0 hamil 37
minggu dengan Riwayat SC 1x a.i Letak Lintang Belum Inpartu JTH Preskep dengan
Plasenta Previa pro SC dengan Spinal Anestesi.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Anestesi dan Terapi Intensif di RSUD H.M. Rabain Muara Enim. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Ibnu Umar, SpAn atas
bimbingan yang telah diberikan.
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan kekurangan
baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala
kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan
ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Muara Enim, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii

KATA PENGANTAR....................................................................................... iii

DAFTAR ISI..................................................................................................... iv

BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 1

BAB II Status Pasien………………………………………………………… 2

Bab III Tinjauan Pustaka.................................................................................. 8

BAB IV Analisis Kasus.................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh
serta berat janin di atas 500 gram. Tindakan invasif seperti sectio caesarea ini akan menjalani
prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh.
Peredaan nyeri pada persalinan merupakan permasalahan yang unik. Persalinan terjadi
sewaktu-waktu tanpa peringatan dan anestesia obstetrik dapat diperlukan segera setelah
pasien makan dalam jumlah besar. Muntah dengan aspirasi isi lambung merupakan ancaman
konstan yang memberikan morbiditas dan mortalitas ibu. Penyakit-penyakit lainnya seperti
preeklamsia, solusio plasenta, dan chorioamnionitis semuanya mempengaruhi adaptasi
fisiologis pada kehamilan, dan mempengaruhi secara langsung pilihan obat-obat analgesia
dan anestesia yang dipergunakan.
Penggunaan teknik dan medikasi untuk menurunkan nyeri pada obstetrik memerlukan
pemahaman yang mendalam mengenai efek-efek yang terjadi untuk menjamin keselamatan
ibu dan bayinya.

1
BAB II

STATUS PASIEN

A.  Identitas Pasien

Nama : Ny. SP

Umur :  28 tahun

Alamat : Pulau Panggung, Muara Enim

Agama : Islam 

Pekerjaan : IRT

Status : Menikah

Suku Bangsa : Indonesia

Tanggal Masuk :  20 Agustus 2018

B.  Riwayat Perjalanan Penyakit

Anamnesis : Autoanamnesis dan alloanamnesis

Keluhan Utama : Nyeri perut bagian bawah

Keluhan Tambahan : ­

Riwayat Penyakit Sekarang :

+ 1 hari SMRS pasien mengeluh keluar darah dari vagina berwarna merah segar, sebanyak 1x

ganti pembalut. Nyeri perut bagian bawah (­)

+ 10 jam SMRS pasien mengeluh nyeri perut bawah, keluar darah dari vagina (+) warna

merah   segar  sebanyak   1x   ganti   pembalut,   keluar   air­air   (­),   lendir   (­),   kejang   (­).  Pasien

mengaku masih merasakan gerakan janinnya. Pasien lalu datang ke RSUD Rabbain Muara

Enim.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi (­) Hemofili (­)

Diabetes Mellitus (­) Alergi (­)

Asma (­) R/ SC 1x a.i letak lintang dan lilitan tali pusar

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada.

Riwayat Sosio Ekonomi :

Pasien seorang ibu tumah tangga. 

C.  Pemeriksaan Fisik

Status Present

- Keadaan umum  :  Tampak sakit sedang

- Kesadaran  :  Compos Mentis 

- GCS  : E4M6V5= 15

- Vital sign

Tekanan darah  : 120/70 mmHg

Nadi :  82x/menit

RR  :  22 x/menit

Suhu  :  36,4o C

- Gizi :  Baik

- BB/TB : 60 kg/158 cm

Status Generalis

- Kepala

Rambut  :  Hitam, rambut sulit dicabut

3
Mata  :  Konjungtiva   anemis  (­/­),   sklera   ikterik   (­/­),  palpebra

edema (­/­)

Telinga  :  Simetris, serumen (­/­), othorea (­/­)

Hidung  :  Septum   tidak   deviasi,   sekret   (­/­),   pernafasan   cuping

hidung (­)

Mulut  :  Sianosis (­)

Airway : Jalan nafas bersih (+), Mallampati I, Tiromental distance

> 6cm, buka mulut >3 jari, gigi palsu (­)

- Leher 

Pembesaran KGB  :  tidak ada pembesaran KGB

Pembesaran kelenjar tiroid  : tidak ada pembesaran tiroid

JVP : (5­2) cm H20

Trakhea  : di tengah

- Thoraks 

(Cor)

Inspeksi :  Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi  :  Iktus kordis tidak teraba 

Perkusi  :  Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi  :  Bunyi jantung I­II reguler, murmur (­), gallop (­)

(Pulmo)

Inspeksi  :  Pergerakan pernafasan kanan­kiri simetris

Palpasi  :  stemfremitus hemitoraks kanan = hemitoraks  kiri 

Perkusi  :  Sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi  :  Vesikuler (+/+), wheezing (­/­), ronkhi (­/­)

- Abdomen 

4
Inspeksi  :  Cembung

Palpasi  :  TFU 26 cm, 3 jari diatas px, puki memanjang

Perkusi  :  Timpani

Auskultasi          :  Bising usus (+) normal, DJJ 135x/menit

- Extremitas

Superior : sianosis (­/­), oedem (­/­), turgor kulit baik

Inferior :  sianosis (­/­), oedem (­/­), turgor kulit baik.

D. Pemeriksaan Penunjang

Hematologi

- Leukosit : 11.800/ul
- Eritrosit : 4,44x106/ul
- Trombosit : 254x103/uL
- Hemoglobin : 12,8gr/dL
- Hematokrit : 37,9%

E. Assesment

     Diagnosis  : Pasien G2P1A0 hamil 37 minggu dengan Riwayat SC 1x a.i Letak Lintang
Belum Inpartu JTH Preskep dengan Plasenta Previa

F. Terapi
o
Pre operatif
 IVFD RL gtt xx/mnt
 Pasien puasa 6 jam
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (IV)
o
Intra operatif
o
IVFD RL gtt xxx/mnt
o
Pemasangan kateter urin
o
Head up 300
o
Nasal kanul 2-4 L/menit
o
Oksitosin drip 2 x 30 IU

5
o
Induksi spinal : marcaine 0,5% 2,5cc
o
Ondasentron 8 mg (IV)
o
Asam tranexamat 500 mg (IV)
o
Ketorolac 30 mg (IV)

Jam TD Nadi RR Keterangan

10.50 130/90 100 23 Ringer Laktat


I 500cc
10.58 120/90 90  22

11.00 110/70 80 21

11.15 110/68 80 22
Ringer Laktat
11.30 110/78 90 22
II + Oxytocin
11.45 120/70 80 20 30 IU

12.00 120/70 80 22

Ringer Laktat
  III +
(Tramadol 200
mg +
Ketorolac 30
mg)

o
Post operatif
 Ringer Laktat III + (Tramadol 200 mg + Ketorolac 30 mg)
 O2 Nasal kanul 2-4 L/menit
 Ketoprofen 200 mg suppositoria

a. Jenis pembedahan : Sectio Caesarea


b. Jenis anestesi : Anestesi Regional
c. Lama tindakan anestesi : 5 menit
d. Lama anestesi : 2 jam
e. Teknik anestesi : Anastesi spinal menggunakan mercaine 0,5%
f. Premedikasi :-
g. Medikasi tambahan :-
- Laporan anestesi durante operasi
o
Mulai anestesi : 21 Agustus 2018 pukul 10.58 WIB
o
Lama operasi : 1 jam
o
Premedikasi :-
o
Induksi :-

6
o
Medikasi tambahan :-
o
Relaksasi :-
o
Respirasi : Spontan
o
Posisi : Supinasi
o
Cairan Durante Operasi:
RL(input): 700ml
Output (perdarahan): 500cc
o
Selesai operasi : 21 Agustus 2018 pukul 12.00 WIB

 Laporan anestesi post operasi


a. Analgetik : Ketoprofen 200 mg supposituria
b. VAS score :6
c. Perawatan : Bangsal Kebidanan
Sectio caesaria : Bayi tunggal hidup/perempuan/3100 g/49 cm/ APGAR score 8/9

Terapi Post Operasi

 Observasi tanda vital 24 jam post operasi
 Analgetik post operasi ketoroloac 30 mg IV
 Observasi skala nyeri, target NRS = 0
 Jika mual muntah periksa tanda vital, bila normal berikan Ondansetron 8mg IV
 Mobilisasi bertahap jika tungkai dapat digerakkan
 Makan minum seperti biasa

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anestesi Spinal


3.1.1 Definisi Anestesi Spinal
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan anestesi
dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis
yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.

3.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal


Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila
mamae ke bawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam.
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra
indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
1. Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa menyebabkan
penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
2. Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. : Karena pada
anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
3. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
4. Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa
menimbulkan komplikasi neurologis
5. Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya
6. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat menyebabkan
kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi
sangat penting.
7. Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :


- Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah diperlukan
pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
- Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa dipilih
lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.

8
- Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada pasien
sebelumnya.
- Kelainan psikis
- Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit, bisa
ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
- Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah jantung akibat
efek obat anestesi local.
- Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya hipovolemia
bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
- Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.

3.1.3 Struktur Anatomi Vertebra

Gambar 1. Kolumna Vertebralis

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5
buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih tetap
dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu
membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus.

9
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat kepala
dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya nervi
spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan
gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai mencapai
maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari tulang koksigeus.
Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung semakin membesar
dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang
pelvis melalui articulatio sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati hanya
memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas kolumna
vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di dalamnya. Stabilitas
kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus
intervertebralis, ligamen dan otot-otot.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid adalah
lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis berjalan mulai dari
foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen akhir medulla
spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus
medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang lazim
digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya adalah :
 Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling terlihat di
daerah leher.
 Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
 Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
 Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
 Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5

10
Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
-
Kutis
-
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang intervertebralis
pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
-
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus spinosus.
-
Ligamentum interspinosum
-
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm. Sebagian
besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina ke lamina.
Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram dan
berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang
epidural.
-
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang keluardari
jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk. Jarum spinal harus
maju sedikit lebih jauh.
-
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater
seperti saat menembus epidural.
-
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal. Pada
ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.

11
Gambar 4. Susunan Anatomi ligament vertebra

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan vena
yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis posterior yang
memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior memperdarahi 2/3 bagian
anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di
foramen intervertebralis memperdarahi radiks. Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2
yaitu vena medularis anterior dan posterior.

12
Gambar 5. Sistem Vaskular Medula Spinalis

3.1.4 Persiapan Anestesi Spinal


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana dibanding
melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan karena terkadang jika
operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu
prosedur secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
a) Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama operasi
tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
b) Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu gemuk
sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.

13
c) Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial
(PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-
obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
- Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
- Peralatan resusitasi / anestesia umum.
- Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare), dipersiapkan
dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
- Betadine, alkohol untuk antiseptic.
- Kapas/ kasa steril dan plester.
- Obat-obatan anestetik lokal.
- Spuit 3 ml dan 5 ml.
- Infus set.

Gambar 6. Jenis Jarum Spinal

3.1.5 Obat-Obat Pada Anestesi Spinal


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi local.
Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada jaringan
saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local bersifat reversible.
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan saraf.
Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan masa kerja
harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid dan
golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya berbeda pada
struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah menghambat
pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi local adalah

14
di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal Na+
sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis
lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari
LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
- Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis 20-
50mg(1-2ml).
- Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
- Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,dosis 5-
15mg(1-3ml).

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia. Berikut
adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat
melakukan anesthesia spinal.
 Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi local,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan terjadi paresis
sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
 Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang bertanggung
jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan
nafas karena kelumpuhan otot nafas.
 Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf. Jika impuls
pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi henti
jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk
pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung.
Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat
anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
 Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka memungkinkan terjadi
reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi local dapat

15
terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja
masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
 Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan langsung
kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan
nekrosis otot.
 Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah. Jika
terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat menggunakan
obat anestesi lokal.

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya pada anestesi
spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
a. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme lambat di
dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada
pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat
menjadi lebih lama.
b. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada
anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.
c. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah
durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan
Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan
penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal terdapat
pada table dibawah ini.

Tabel 1. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

16
3.1.6 Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
 Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml (pre-
loading).
 Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
 Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat menggunakan 2
jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
 Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
 Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen interspinous.
 Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus menekan cukup
keras untuk merasakan proses spinosus.
 Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
 Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
 Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G atau
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik
biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar.
Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.

17
Gambar 7. Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Gambar 8. Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang
belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5 cm lateral dari garis tengah dan
dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

18
Gambar 9. Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring.


Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom di kulit. Penilaian
berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien dimana pasien merasa
kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan
rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut
nadi. Tekanan darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan
keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual,
berkeringat.

19
Gambar 10. Lokasi Dermatom Sensoris

3.1.7 Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Spinal


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah :
- Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
- Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
- Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
- Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
- Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
- Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik

20
- Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
- Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang
diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

3.1.8 Masalah Klinis Pada Anestesi Spinal


Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi spinal,
berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat melakukan
anestesi spinal :
- Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan yang
keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik, kemudian
coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS, dapat
dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
- Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan berhenti,
lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat penusukan mengenai
vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih
medial.
- Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf. Segera
cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat tusukan awal.
- Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat dilakukan
penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah menjadi sempit. Perlu
juga menenangkan pasien karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat menahan
nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.

3.1.9 Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus diperhatikan.
Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti. Beberapa komplikasi
tersebut diantaranya adalah :
a. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan

21
pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan
anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang
berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti
ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,
Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang
setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV.
b. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa
menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal
total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat
dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika
hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti
jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius,
termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum
operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika
diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
c. Komplikasi Sistem Respirasi

22
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan anestesi
spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat
dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tanda-tanda
tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

d. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi
delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa
lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu
ondansetron atau diberikan ranitidine.

e. Nyeri Kepala (Puncture Headache)


Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.
Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala.
Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan
anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar
ke retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang
paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan
atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang
total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih
dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport
yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi
perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari

23
cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak
efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk menghentikan
kebocoran.
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum
yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau
tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat
di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.

h. Komplikasi Neuorologis
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu
24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia.
Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan
menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan
setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada
ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan.
Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang
progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari
vasculature korda spinal. Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi
arterial yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah
ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada
spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural
sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku
karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya
pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang
menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah
karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak
merata adalah efek sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat
dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-

24
arteri: kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah
dari arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena
hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun
obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom
spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat
anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang
memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat
menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara hematogen yang
berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang
mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke medulla
spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia merupakan kontra
indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis. Tanda
yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal,
demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika
menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada area
lumbal atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.

i. Komplikasi Traktus Urinarius


Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi
kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia
spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.

3.1.10 Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi Anestesi Spinal


Pencegahan
- Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
- Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
- Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan

25
- Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
- Hidrasi adekuat.
- Hindari mengejan.
- Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural. Cara
ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa jam)
pada lebih dari 90% kasus.

3.2 Fisiologi Cairan Tubuh


Cairan tubuh manusia didistrubusikan ke dalam 2 kompartemen, yaitu cairan
intraseluler dan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler sendiri dibagi menjadi dua kelompok yaitu
cairan intravaskuler dan juga cairan interstitial. Cairan-cairan ini akan berpindah dengan
bebas untuk mencapai keseimbangan dimana zat terlarut dalam nilai osmolaritas.1
Jumlah cairan/air tubuh total atau Total Body Water (TBW) adalah 60% x berat badan,
terdiri dari cairan intrasel (ICF) 40% dan cairan ekstrasel (ECF) 20%. Cairan ekstrasel terdiri
dari cairan interstitial (ICF) 15% dan cairan intravaskular (IVF) 5% x berat badan. Cairan
intravaskular (5%BB) adalah plasma sel darah merah 3%. Jadi terdapat darah 8% BB atau
kira-kira sama dengan 65-70 ml/kg berat badan pada laki-laki dan 55-65 ml/kg pada wanita.
Total cairan tubuh bervariasi menurut umur, berat badan dan jenis kelamin. Air tubuh total
maksimal pada saat lahir, kemudian berkurang secara progresif dengan bertambahnya umur.
Air tubuh total pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan pada orang kurus (650
ml/kg BB) lebih banyak daripada yang gemuk (300-400 ml/kg BB). Distribusi cairan di
dalam kompartemen diatur oleh osmolaritas, distribusi Natrium dan distribusi koloid
terutama albumin. Osmolaritas dikontrol oleh intake cairan dan regulasi ekskresi air oleh
ginjal.1
Ada 2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh, yaitu1 :
a. Elektrolit
Elektrolit ialah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik yaitu kation dan
anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan. Tiap kompartemen mempunyai komposisi
elektrolit tersendiri. Komposisi elektrolit plasma dan interstisial hampir sama, kecuali
didalam interstisial tidak mengandung protein.
b. Non elektrolit
Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-partikel, terdiri
dari dekstrosa, ureum dan kreatinin.

26
Ada dua mekanisme utama yang mengatur air tubuh yaitu pengaturan osmoler dan
pengaturan volume non osmoler.1
a. Pengaturan osmoler
1) Sistem osmoreseptor ADH
Pada saat volume CES berkurang, osmolaritas meningkat, mengakibatkan pelepasan
impuls dari osmoreseptor di hipotalamus anterior yang merangsang pituitari posterior untuk
melepas ADH. Penurunan volume CES juga merangsang pusat haus yang juga menstimulasi
pelepasan ADH. ADH mengakibatkan reabsorbsi Na dan air pada tubulus distal dan tubulus
kolektivus, sehingga menaikkan volume CES. Peningkatan volumen CES akan memberikan
umpan balik ke hipotalamus dan pusat haus sehingga volume CES dipertahankan tetap.
2) Sistem renin aldosteron
Saat volume CES berkurang, makula densa akan melepaskan renin yang berperan
dalam pembentukan angiotensin I. Dengan converting enzim angiotensi I diubah menjadi
angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat, menstimulasi kortek adrenal untuk
mengeluarkan aldosteron, yang mengakibatkan reabsorbsi air dan Na sehingga sirkulasi
meningkat.

b. Pengaturan non osmoler


Semua respon hemodinamik akan mempengaruhi reflek kardiovaskuler, yang juga akan
mengatur volume cairan dan pengeluaran urin. Jika terjadi hipovolemia, reflek intratorak,
reflekreseptor presor ekstratorak dan respon iskemik pusat akan mengaktifkan mekanisme
hipotalamik dan sistem nervus simpatis.

3.3 Terapi Cairan


3.3.1 Terapi Cairan Preoperatif
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan cairan
normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.Pada waktu
intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat karena adanya
pembentukan urin yang terus berlangsung, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible
losses dari kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel
berikut ini:

Tabel 1. Estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan

27
Berat kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam
Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:
40+20+5=65 ml/jam

Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan
dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa.Untuk 70 kg, puasa 8 jam,
perhitingannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam atau 880 ml. ( Pada kenyataannya, defisit ini
dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal). Kehilangan cairan abnormal sering
dihubungkan dengan defisit preoperative. Perdarahan preoperative, muntah , diuresis dan
diare sering dihubungkan.

3.3.2 Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit
cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative ( darah, redistribusi dari
cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur
pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan
adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua
prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya,
kehilangan darah harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara
volume cairan intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfuse sel darah
merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21-24%).2
Hb <7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen tetap
normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan dengan
jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada
kehilangan darah yang terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer
Laktat kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan
perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan.3

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Volume Darah2


Usia Volume Darah

28
Neonates
Premature 95 Ml/Kg
Full-Term 85 Ml/Kg
Infants 80 Ml/Kg
Adults
Men 75ml/Kg
WOMAN 65 ML/KG

Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood
cell.Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan perkiraan
volume darah ( Tabel 2). Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah
kehilangan darah >10-20% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada
kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang
untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut2 :
- Estimasi volume darah dari Tabel 2.
- Estimasi volume sel darah merah ( RBCV) hematocrit preoperative ( RBCVpreop).
- Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah
normal .
- Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika . hematocrit 30%;
RBCVlost= RBCVpreop-RBCV30%.
- Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

Contoh:
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa banyak
jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?
Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.
RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.
RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah
melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit
hingga 24% ( hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya
darah yang hilang,contoh pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan
darah 800 mL.

29
Tabel 3. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan2
Derajat Dari Trauma Jaringan Penambahan Cairan
Minimal (Contoh Hernioraphy) 0 – 2 Ml/Kg
Sedang ( Contoh Cholecystectomy) 2 – 4 Ml/Kg
Berat (Contoh reseksi Usus) 4 – 8 ML/KG

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: (1) satu unit sel darah merah sel
akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada orang dewasa); dan (2)
10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan hematocrit
10%.

Tabel 4. Estimasi Kelenjar Darah atau Dasar Kondisi Inisial Presentasi


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah Sampai 750 cc 750-1500 cc 1500-2000 cc >2000 cc
Kelenjar Darah sampai 15% 15-30% 30-40% >40%
Denyut Nadi <100 100-120 120-140 >140
Tekanan Sistolik Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi Normal meningkat Menurun Menurun Menurun
Frekuensi Napas 14-20 20-30 30-40 >35
Urine Output >30 20-30 5-15 Tidak ada
SSP Mental Agak Gelisah Cukup Gelisah Sangat Gelisah Lethargic
Resusitasi Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah Kristaloid dan darah
Inisial

Menggantikan hilangnya cairan redistribusi dan evaporasi


Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat manipulasi
dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan
tambahan ini dapat digantikan menurut Tabel 3, berdasarkan pada apakah trauma jaringan
adalah minimal, moderat, atau berat2.

3.3.3 Terapi Cairan Postoperasi


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini4:
 Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air
untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam.
Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya
pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah.
Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung
menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak

30
perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma
pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar
albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup
dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini
berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
 Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°Csuhu
tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
- humidifikasi.

 Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang


belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
 Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas,
suhu tubuh dan warna kulit.

3.2. Perdarahan Antepartum


3.2.1 Definisi dan Klasifikasi Perdarahan Antepartum
Pendarahan antepartum adalah pendarahan pada jalan lahir setelah kehamilan 20
minggu. Klasifikasi pendarahan antepartum yaitu:
1. Plasenta previa
2. Solusio plasenta
3. Perdarahan antepartum yang tidak jelas sumbernya (idiopatik)

3.2.2 Plasenta Previa


Plasenta previa merupakan plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah
rahim, yang menyebabkan tertutupnya sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium
uteri internum).
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan
jalan lahir pada waktu tertentu adalah:
1. Plasenta previa totalis: bila seluruh pembukaan tertutup oleh plasenta.

31
2. Plasenta previa lateralis: bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh
plasenta.
3. Plasenta previa marginalis: bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan
jalan lahir.
4. Plasenta previa letak rendah: bila plasenta berada 3 – 4 cm di atas pinggir pembukaan
jalan lahir.
Diagnosis plasenta previa dapat ditegakkan dengan:
1. Anamnesis – adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih dari 20 minggu,
dan berlangsung tanpa sebab yang jelas.
2. Pemeriksaan luar – sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala
belum masuk pintu atas panggul.
3. Inspekulo – adanya darah dari ostium uteri externum.
4. USG – menentukan letak plasenta.
5. Menentukan letak plasenta secara langsung – dengan perabaan melalui kanalis
servikalis, tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak.

Tatalaksana Plasenta Previa


1. Konservatif
Perawatan konservatif berupa istirahat, memberikan hematinik dan spasmolitik untuk
mengatasi anemia, memberikan antibiotik bila ada indikasi, dan pemeriksaan USG, Hb,
dan hematokrit.
 Kehamilan kurang dari 37 minggu
 Perdarahan tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal)
 Tempat tinggal pasien dekat dengan rumah sakit (dapat menempuh perjalanan
selama 15 menit)
2. Penanganan aktif bila
o
Perdarahan banyak tanpa memandang usia kehamilan
o
Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
o
Anak mati
Bila tidak terjadi perdarahan selama 3 hari melalukan perawatan konservatif maka
lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan. Bila timbul
perdarahan segera dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan hubungan kontak intim.
Pada penanganan aktif, di mana tidak memungkinkan dilakukan sectio Caesarea maka
dilakukan pemasangan cunam Willet atau versi Braxton Hicks.

3.2.3 Solutio Plasenta

32
Solutio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta pada implantasi
normal sebelum janin lahir. Solutio plasenta dapat diklasifikasikan berdasarkan tanda klinis
dan derajat pelepasan plasenta.
1. Ringan – Perdarahan kurang dari 200 mL, uterus tidak tegang, belum ada tanda
renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang dari 1/6 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma lebih dari 120 mg%.
2. Sedang – Perdarahan lebih dari 200 mL, uterus tegang, terdapat tanda pra-renjatan,
gawat janin, atau janin mati, pelepasan plasenta 1/4 hingga 2/3 bagian permukaan,
kadar fibrinogen plasma 120 – 150 mg%.
3. Berat – Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati,
pelepasan plasenta bisa terjadi lebih dari 2/3 bagian atau keseluruhan.

Penatalaksanaan solutio plasenta tergantung dari berat atau ringannya kasus. Dilakukan
istirahat, pemberian sedatif, lalu ditentukan apakah gejala semakin progresif atau akan
berhenti. Bila proses berhenti secara gradual, penderita dimobilisasi. Selama perawatan
dilakukan pemeriksaan Hb, fibrinogen, hematokrit, dan trombosit.
Pada solutio plasenta sedang dan berat, maka penatalaksanaan bertujuan untuk
mengatasi renjatan, memerbaiki anaemia, menghentikan perdarahan, juga mengosongkan
uterus secepat mungkin. Penatalaksanaannya meliputi:
1. Pemberian transfusi darah
2. Amniotomi
4. Oksitosin
5. Pertimbangkan sectio Caesarea
Bila diagnosis solutio plasenta secara klinis sudah dapat ditegakkan, berarti perdarahan
yang terjadi telah paling sedikit 1000 mL. Oleh karena itu transfusi darah minimal 1000 mL
harus segera diberikan. Ketuban segera dipecahkan dengan maksud untuk mengurangi
regangan dinding uterus dan untuk memercepat persalinan, diberikan infus oksitosin 5 IU
dalam 500 mL dekstrosa 5%.

3.2.4 Vasa Previa


Vasa previa adalah keadaan di mana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi
dengan vilamentosa pada selaput amnion. Etiologi vasa previa masih belum jelas. Vasa previa
dapat didiagnosis secara klinis melalui pemeriksaan dalam vagina. Diraba pembuluh darah
pada ketuban. Pemeriksaan dalam juga dapat dilakukan dengan inspekulo atau amnioskopi.
Bila sudah terjadi perdarahan, maka akan diikuti dengan denyut jantung janin yang tidak

33
beraturan, deselerasi atau bradikardi, khususnya bila perdarahan terjadi ketika atau beberapa
saat setelah selaput ketuban pecah. Darah ini berasal dari janin dan untuk mengetahuinya
dapat dilakukan dengan tes Apt dan tes Kleihauer-Betke serta hapusan darah tepi.
Penatalaksanaan vasa previa sangat bergantung pada status janin. Bila ada keraguan
tentang viabilitas janin, tentukan lebih dahulu umur kehamilan, ukuran janin, maturitas paru,
dan pemantauan kesejahteraan janin dengan USG dan kardiotokografi. Bila janin hidup dan
cukup matur dapat dilakukan Sectio Caesarea segera namun bila janin sudah meninggal atau
immatur, dilakukan persalinan per vaginam.

34
BAB IV
ANALISA KASUS

Ny SP, 28 tahun, G2P1A0, datang ke UGD RSUD Rabain Muara Enim dengan
kehamilan 37 minggu belum inpartu dengan HAP ec plasenta previa. Pasien mengalami
perdarahan sejak ± 1 hari SMRS, warna darah merah segar, banyaknya 1x ganti pembalut,
tanpa disertai nyeri. Pada pemeriksaan fisik di IGD didapatkan TD 120/70 mmHg, nadi
82x/menit, RR 22x/menit dan suhu 36,40C.
Berdasarkan karakteristik perdarahan yang dialami pasien pada usia kehamilan cukup
bulan dengan pemeriksaan lanjut, pasien juga didiagnosis HAP ec plasenta previa. Pasien
kemudian direncanakan sectio cesaria di ruang OK atas indikasi plasenta previa dengan
pertimbangan sudah aterm.
Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan pada rencana tindakan operasi adalah
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, apalagi pasien dengan perdarahan. Selain itu,
pada saat tindakan operasi pasien juga dapat mengalami kehilangan banyak darah secara akut
sehingga akan terjadi defisit cairan ekstraseluler. Sehingga akses intravena harus sudah
terpasang.
Pada pasien ini berdasarkan anamnesis terdapat riwayat perdarahan sejak 1 hari
SMRS dengan perdarahan tidak aktif. Sejak 10 jam SMRS, pasien mengeluh keluar darah
dari kemaluan disertai dengan rasa mulas yang menjalar ke pinggang semakin lama semakin
sering dan kuat sebagai tanda kontraksi uterus. Kontraksi uterus pada bagain fundus, juga
akan menyebabkan kontraksi segmen bawah rahim tempat implantasi plasenta pada pasien
dengan plasenta previa yang dapat memprovokasi terjadinya perdarahan. Kehilangan darah
yang signifikan dapat menyebabkan kehilangan volume cairan (defisit cairan). Walaupun
pada pasien ini tidak ditemukan tanda terjadinya defisit cairan seperti turgor yang menurun,
mulut kering membran mukosa, peningkatan HR, dan penurunan tekanan darah (pada pasien
ini tekanan darah di IGD 120/70 mmHg), dan perubahan ortostatik pada HR dan TD. Pada
kasus yang berat dapat dipertimbangkan terminasi dengan SC, karena induksi dari beberapa
studi akan memperparah klinis.
Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium, didapatkan hasil
Hb 12,8 g/dL dan hematrokit 37,9%. Hasil laboratorium dalam keadaan normal.

Pada Ny SP, estimated blood volume (EBV) adalah sebagai berikut.


EBV = 65 cc/kgBB x 60 kg = 3.900 cc

35
Estimasi blood loss = % blood loss x EBV

Akan tetapi, pada pasien ini tidak dijumpai tanda dan gejala klinis yang mengarah
pada karakteristik syok. Sehingga sulit untuk menentukan jumlah blood loss. Pada kondisi ini
terapi cairan tetap diberikan dan sebaiknya diberikan baik preoperatif, intraoperatif, dan
postoperatif. Terapi preoperatif berupa penggantian pada kebutuhan maintenance yang dapat
dihitung dengan BB pasien 60 kg.
Penggantian cairan intraoperatif berupa penggantian kebutuhan cairan basal dan
mengganti defisit saat operasi (blood loss, redistribusi cairan, dan evaporasi). Pada kedua
kondisi cairan RL dipilih sebagai terapi.

DAFTAR PUSTAKA

Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi FK
UI. Jakarta
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC; 2007.
Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan, Petunjuk praktis
anestesiologi.2ndedition, Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran
UniversitasIndonesia, 2002.

36
Pramono, Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi.Yogyakarta. EGC
Kartini, dkk. 2002. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan terapi intensif FKUI.
Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009.
Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc, 1995.
Tin TT, Theingi M, Saw L, Win MO, Aung KK, Moe KM and Kyaw ZT. Promoting antenatal
care services for early detection of pre-eclampsia. WHO South-East Asia Journal of
Public Health 2012; 1(3): 290-298
Souza JP, Gülmezoglu AM, WHO Multicountry Survey on Maternal Newborn Health
Research Network.2014. Advanced maternal age and pregnancy outcomes: a
multicountry assessment. BJOG: An International Journal of Obstetrics &
Gynaecology 121 (49-56).
KementrianaKesehatanaRepublikaIndonesia.a. 2014. Jadilah Kartini Indonesia
YangaTidakaMatiaMuda. Jakarta: Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Myrtha. 2015. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia. CDK-227 442 (4).
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Cunningham F.Gary., Leveno Kenneth J., Bloom Steven L,. Hauth John C., Rouse Dwight J.,
Spong Catherine Y. 2014. Williams Obstetrics. Twenty-Fourth Edition. United States
of America: The McGraw-Hill Companies Inc.
Blomberg, Marie, Rasmus Birch Tyrberg, Preben Kjølhede. 2014. Impact of maternal age on
obstetric and neonatal outcome with emphasis on primiparous adolescents and older
women: a Swedish Medical Birth Register Study. BMJ Open 2014 4(11).
Ahmed, A, Wenda. R. Unravelling The T Pre-eclampsia: “Are The Protective Pathways The
New Paradigm?”. British Journal of Pharmacology 2015; 172: 1574-1586
Munikrishna M, et al. Case Report : PUPPP Developing in a Gravida having Overt Diabetes
with Hypothyroidism, Preeclampsia and Anemia. Taken from :
http://www.jaypeejournals.com. 22 Agustus 2018
Government of South Australia. 2016. Clinical Guideline of PUPPP. Taken from :
https://www.sahealth.sa.gov.au. 21 Agustus 2018

37

Anda mungkin juga menyukai