Setelah ditemukan, orangutan yang diberi nama Alba, dalam bahasa latin
berarti putih, tinggal di penangkaran Yayasan Borneo Orangutan Survival
(BOS), Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.
Dalam keterangan resmi yang dikeluarkan BOS, Rabu (17/1/2018), rumah baru
ini sangat diperlukan untuk kelangsungan dan keamanan Alba.
Untuk menjamin keamanan mereka, pulau buatan tersebut dikelilingi oleh kanal
yang bertujuan sebagai penghalang antara orangutan dan dunia luar. Kanal
tersebut sudah rampung akhir 2017 lalu.
"Kelak di pulau suaka tersebut, Alba dan teman-temannya ini akan dipantau
dan dijaga sepanjang waktu oleh staf yang akan melakukan patroli teratur
keliling pulau sekaligus mengumpulkan data kesehatan dan perilaku
ketiganya," jelas BOS.
"Selain itu, staf kami akan mencatat para orangutan yang mendatangi
panggung tempat pemberian pakan (feeding platform) dua kali dalam sehari,"
imbuhnya.
Menurut Fransiska Sulistyo selaku kepala dokter hewan Yayasan BOS, orang
utan betina itu ditempatkan di bawah pengawasan penuh dan diberikan
perawatan intensif. Kondisinya berangsur membaik, kata Fransiska. Bahkan,
setelah dua pekan perawatan, berat badannya telah bertambah 4,5 kilogram.
"Selain kulit, yang paling menciri pada kasus albino adalah mata. Matanya
berwarna biru. Dia merasa sangat tidak nyaman terhadap sinar matahari
langsung, bahkan cenderung fotofobia—artinya takut pada sinar matahari," ujar
Fransiska. kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
"Implikasinya lebih
besar dari yang kita
bayangkan. Kulitnya
lebih rentan, lebih
mudah terbakar, lebih
mudah terkena
kanker kulit. Lalu,
karena orang utan
seperti manusia
dalam konteks sosial,
kemungkinan dia
tidak disukai jantan
sehingga sulit berkembang biak. Kemudian, karena warna kulitnya, dia sulit
bertahan hidup mengingat dia mudah ditemukan predator atau pemburu,"
papar Fransiska.
Lantaran kondisi langka dan uniknya, Yayasan BOS belum bisa memastikan
apakah hendak terus merawatnya atau melepasliarkannya ke hutan
sebagaimana dilakukan terhadap orang utan dewasa.
"Kami tidak bisa begitu saja menempatkannya di hutan atau di suaka, tanpa
mempertimbangkan semua kemungkinan terlebih dulu. Sejauh ini kami masih
belum bisa menemukan contoh dan perbandingan dari orangutan albino
lainnya, dan kami perlu tahu lebih banyak mengenai kondisi uniknya.
Kesejahteraan dan keamanan merupakan prioritas dalam pengambilan
keputusan mengenai masa depannya," ujar Jamartin Sihite.
Kasus albino pada orang utan, menurut Jamartin, adalah yang pertama dalam
pencatatan sejarah.
Populasinya turun lebih dari 60% antara tahun 1950 hingga 2010, karena
pengrusakan habitat dan perburuan.
Jumlah orang utan diperkirakan akan mengalami penurunan lagi sebesar 22%
antara tahun 2010 hingga 2025, kata IUCN.