Anda di halaman 1dari 37

LONG CASE

General Anastesi Pada Kasus Closed Fractur Os. Radius Ulna Dextra

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:

dr. Michael Budi Aviantoro, Sp.An

Disusun Oleh:

Arifin Nugroho

20174011053

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD TIDAR KOTA MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Berat Badan : 65 Kg
Alamat : Magelang
Pekerjaan : Wirausaha
Masuk RS : 10 Mei 2018
Diagnosis : Closed Fracture Os. Radius Ulna Dextra 1/3 Distal

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Seorang laki-laki separuh baya diantarkan ke IGD RSUD Tidar Kota
Magelang post kecelakaaan lalu lintas. Pasien terus memegangi lengan
tangan kanannya sambil mengerang kesakitan. Menurut saksi yang
mengantarkan korban, korban terjatuh saat mencoba menghindari lubang
saat motor berkecepatan tinggi. Pasien terjatuh dari sepeda motor dengan
tangan kanan sebagai alat menumpu badan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku meresa nyeri di lengan tangan kanan. Saat kejadian pasien
juga tidak sadarkan diri. Saat sadar pasien mengaku sudah berada di IGD
RSUD Tidar Kota Magelang. Pasien merasa ada yang aneh dengan tangan
kanannya. Pasien merasa tangan kanannya lemas dan sulit untuk
digerakkan. Selain itu pasien mengaku tidak ada rasa nyeri di bagian lain.
Pasien mengaku dari 1-10 intensitas nyeri nya adalah 8, setelah itu
kemudian dilakukan pengambilan foto rontgen.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal

2
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
TD = 131/82 mmHg
N = 90 x/menit
RR = 20 x/menit
T = 36,50C
Status Generalisata
a. Kulit
Warna coklat sawo matang, tidak tampak ikterik, tidak tampak
pucat, tidak hipo atau hiper pigmentasi, tidak tampak tanda
peradangan.
b. Kepala :
Bentuk kepala : mesochepal, simetris, tidak ditemukan deformitas.
Muka : tidak terdapat luka maupun jejas.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Mulut : bibir simetris, tidak tampak pucat dan kering, gigi
lengkap.
Leher : jvp tidak meningkat, tidak teraba benjolan
c. THORAX :

Pulmo

INSPEKSI PARU DEPAN PARU BELAKANG

3
Simetris Simetris
Barrel chest (-) Barrel chest (-)
ICS melebar (-) ICS melebar (-)

PALPASI
Simetris (+/+), Simetris (+/+),
Nyeri tekan (-/-), Nyeri tekan (-/-),

PERKUSI
 KANAN Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
 KIRI Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
AUSKULTASI PARU DEPAN PARU BELAKANG
Vesikuler Vesikuler

Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
• Batas atas jantung : ICS II parasternalis sinistra.
• Batas pinggang jantung : ICS III parasternalis sinistra.
• Batas kanan bawah jantung : ICS V sternalis dextra.
• Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2 cm ke arah medial
midclavicula kiri.
- Auskultasi :
• Suara jantung murni: SI, SII (normal) reguler
• Suara jantung tambahan bising diastolik (-)
d. Ekstremitas
Ekstremitas atas: Bentuk abnormal pada antebrachii dextra,
deformitas (+), edem (+), krepitasi(+).

4
Ekstremitas bawah: Palmar eritem (-), odem (-), akral dingin (-).
Status Lokalis
a. Look
- Lengan tangan kanan terlihat agak membengkok.
- Terlihat bengkak dan teraba hangat di daerah yang mengalami
pembengkokan.
- Tak tampak luka terbuka, perban, bandage pada tangan kanan.
- Terlihat adanya luka lecet di kedua lutut dan daerah betis kedua
kaki.
- Tidak tampak ada luka memar di daerah tubuh lain.
b. Feel
- Nyeri tekan di lengan kanan (+)
- Krepitasi (+)
- Pulsasi distal arteri vena teraba (+)
c. Move
- Rom of Elbow Join terbatas
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hemoglobin : 14.8 g/dl (11.7 – 15.5)
Leukosit : 11.7 103 / µL (4.5 - 12.5)
Eosinofil : 0.10 % (2.00 – 4.00)
Basofil : 0.20 % (0 - 1.00)
Netrofil : 59 % (50 - 70)
Limfosit : 12.30 % (25 - 40)
Monosit : 4.70 % (2 - 8)
Hematokrit : 45 (35 - 47)
Eritrosit : 4.3. 106/ µL (3.8 - 5.2)
Trombosit : 205. 103 / µ (150 - 400)
MCV : 86 fL (80 - 100)
MCH : 31 pg (26 - 34)
MCHC : 35 g/dl (32 - 36)

5
PT : 9.5 detik
APTT : 22.4 detik
Ureum :6
Creatinin : 0.32
HbSAg : negative
2. Foto Rontgen Antebrachii Dextra : Tampak gambaran Fracture complete
Os. Radius Ulna Dextra 1/3 Distal

E. DIAGNOSIS KERJA
 Closed Fracture Os. Radius Ulna Dextra
 Rencana ORIF dengan General Anastesi

F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
- Tidak menggunakan gigi palsu
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Diagnosis Pra Bedah : Closed Fracture Os. Radius Ulna Dextra
3. Diagnosis pasca Bedah : Post ORIF
4. Jenis Anestesi : General Anestesi
5. Teknik : Parentral
6. Mulai Anestesi : 11 Mei 2018, pukul 10.00
7. Mulai Operasi : 11 Mei 2018, pukul 10.10
8. Premedikasi : Sotatic 10 mg, Tramadol 200 mg,
Dexketoprofen Trometamol 50 mg.
9. Induksi : Propofol 16 ml
10. Pemeliharaan : O2 3 liter per menit
11. Jenis Cairan : Asering
12. Kebutuhan cairan selama Operasi

6
Maintenance Operasi : 2cc/kgBB/jam 2 x 72 = 144 cc
Pengganti Puasa : 8 x maintenance  8 x 144 = 1.152 cc
Stress Operasi : operasi berat 8cc/kgBB/jam  8 x 72 = 576 cc
Keb. Cairan jam I : (50% kebutuhan puasa) + MO + SO
(50% x 1152) + 288 + 576 = 1.440 cc
13. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi
 Pasien dilakukan anestesi pada tanggal 11 Mei 2018 pada jam 10.00
dan operasi dimulai jam 10.10
 Pasien dipasang alat pantau untuk mengawasi tanda vital dan
saturasi oksigen.
 Dilakukan premedikasi dengan memasukkan Sotatic 10 mg,
Tramadol 200 mg, Dexketoprofen Trometamol 50 mg.
 Maintenance diberikan O2 3 lpm kemudian dilakukan kontrol pada
tanda vital dan saturasi oksigen setiap 3 menit.
 Selama anastesi berlangsung TD berkisar 110/60 mmHg – 140/90
mmHg dan nadi berkisar 98 - 120 kali/menit.
 Selama operasi cairan masuk asering 1.000 ml
 Lama anestesi 60 menit
 Lama operasi 40 menit.
14. Selesai operasi : 11.00 WIB
15. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Supine
Infus : Asering 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Dexketoprofen 100 mg
Anti muntah : Inj. Sotatic 10 mg
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-),
coba minum makan perlahan.
G. POST OPERASI
1. Asering dengan dexketoprofen 100 mg di tambah sotatic 10 mg 20 tpm

7
2. Pengawasan KU dan VS tiap 8 jam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fractur
Fraktur adalah terputusnya kuntinuitas struktural tulang.1 Fraktur dapat
berupa retakan, patah, atau serpihan dari korteks; sering patahan terjadi sempurna
dan bagian tulang bergeser.
Tulang cukup mudah patah, namun mempunyai kekuatan dan ketahanan
untuk menghadapi stress dengan kekuatan tertentu. Fraktur berasal dari: (1)
cedera; (2) stress berulang; (3) fraktur patologis.
Fracture Radius Ulna :
Mekanisme trauma pada antebrachii yang paling sering adalah jatuh
dengan outstreched hand atau trauma langsung. Gaya twisting menghasilkan
fraktur spiral pada level tulang yang berbeda. Trauma langsung atau gangguan
angulasi menyebabkan fraktur transversal pada level tulang yang sama. Bila salah
satu tulang antebrachii mengalami fraktur dan menglami angulasi, maka tulang
tersebut menjadi lebih pendek terhadap tulang lainnya. Bila perlekatan dengan
wrist joint dan humerus intak, tulang yang lain akan mengalami dislokasi (fraktur
dislokasi Galeazzi/ Monteggia).
Terdapat otot biceps dan otot supinator pada sepertiga atas, pronator teres
pada sepertiga tengah, dan pronator quadrates pada sepertiga bawah. Luka dan
bengkak pada kompartemen ini dapat menyebabkan kerusakan sirkulasi.

Pemeriksaan Klinis

Fraktur radius ulna

 Deformitas di daerah yang fraktur: angulasi, rotasi (pronasi atau supinasi)


atau shorthening
 Nyeri
 Bengkak

9
 Pemeriksaan fisik harus meliputi evaluasi neurovascular dan pemeriksaan
elbow dan wrist. Dan evaluasi kemungkinan adanya sindrom
kompartemen.

Klasifikasi Fraktur:
Klasifikasi Nicol

Klasifikasi The American Society of Internal Fixation, yang


dikembangkan oleh Mller et al telah diterima di seluruh dunia; klasifikasi ini
kemudian dimodifikasi oleh Johner dan Wruhs dengan menambahkan mekanisme
cedera, patahan, dan derajat keparahan cedera jaringan lunak. Klasifikasi ini
digunakan untuk reduksi terbuka dengan fiksasi plate and screw.

10
Penatalaksanaan :

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu Recognition berupa


diagnosis dan penilaian fraktur, Reduction, Retention dengan imobilisasi, dan
Rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.

Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur


dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik
sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple
trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah
hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah
dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan “ORIF” maupun
“OREF”.

Tujuan pengobatan fraktur :

a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Tehnik


reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu
dengan reposisi terbuka yang dilakukan pada pasien yang telah mengalami
gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan
fraktur patologis.

11
b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post
reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan
(shortening), fraktur unstabel serta kerusakan hebat pada kulit dan
jaringan sekitar.

Komplikasi :
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.

a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam
pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi
gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain
dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas
gangrene

b. Komplikasi Lokal
Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,
sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut
komplikasi lanjut.
 Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed
union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi
pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi
kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi.

12
 Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial
karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering
dan melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-
daerah yang menonjol.
 Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot
tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat
pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat
trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma
crush atau trombus (Apley & Solomon,1993).

 Pada pembuluh darah


Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus
menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah
mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan
nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat
menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas
dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan
torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu
dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley &
Solomon, 1993).
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen
otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini

13
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan
dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti
dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan
disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu
Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis

 Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),
aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan
eksplorasi dan identifikasi nervus.

Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union.
Pada pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan
atau perpanjangan.

 Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan
sklerosis pada ujung-ujung fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal
dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus
grafting (12-16 minggu)

 Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus

14
yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi
fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu
(pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta
rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai
walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi
periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur,
waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak
memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur
patologis).

 Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
 Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau
tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan
delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota
gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi
tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
 Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan
intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa
memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif
pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan
pada penderita dengan kekakuan sendi menetap.

15
B. General Anastesi
1. Definisi Anestesi Regional
Anastesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien di berikan obatobatan untuk amnesia, analgesia, elumpuhan otot,
dan sedasi. Pada pasien yang diberikan anastesi dapat dianggap berada dalam keadaan
ketikdaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anastesi memungkinkan pasien untuk
mentolelir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan yang
berpotensi meyebabkan perubahan fisiologis yubuh yang ekstrim, dan menghasilkan
kenangan yang tidak meyenangkan. Komponen anatesi yang ideal terdiri dari : 1.
Hipnotik, 2. Analgesik, 3. Relaksasi otot.
Anastesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana kan dilakukan operasi. Satu
hal yang perlu dicatat adalah bahwa anastesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan
terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien. Suatu keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesia.

2. Metode Anastesi Umum


a. Parentral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular bisaanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesia.
b. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia
maupun tindakan singkat.
c. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile
agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantunug
dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan
parsial yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.

3. Obat Anestesia

16
Obat-obat anestetika adalah obat-obat yang mempunyai khasiat: sedasi atau
hypnosis, analgesia, dan/atau relaksasi. Obat-obat anestetika dapat
digolongkan menjadi:
- Golongan obat premedikasi
- Golongan obat anestesia intravena
- Golongan obat anestesia inhalasi
- Golongan obat analgesia lokal
- Golongan obat pelumpuh otot
a. Golongan obat premedikasi
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan
obat-obat pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik,
sedatif, dan analgetik. Tujuan dari premedikasi adalah mennimbulkan rasa
nyaman bagi pasien, mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks
vagus, mempermudahkan/memperlancar induksi, mengurangi dosis obat
anestesia, mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.
Obat-obat yang sering digunakan adalah obat antikolinergik (sulfas
atropin, skopolamin), obat sedatif (derivat fenothiazin, derivat
benzodiazepin, derivat butirofenon, derivat barbiturat, antihistamin), obat
analgetik narkotik.
b. Golongan obat anestesia intravena
Obat anestesia intravena adalah obat anestesia yang diberikan
melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik
maupun pelumpuh otot. Setelah masuk kedalam pembuluh darah vena,
obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi
umum, selanjutnya akan menuju ke target organ masing-masing dan
akhirnya diekskresikan, sesuai dengan farmakokinetiknya masing-masing.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, maka semua obat-obat yang
diberikan selama induksi dan pemeliharaan yang mempunyai khasiat
hipnotik, analgesia dan pelumpuh otot, termasuk di dalamnya.
Obat-obat anestesia intravena yang sampai saat ini ada adalah :
- Thiopentone

17
- Diazepam
- Dehidrobenzperidol
- Fentanil
- Ketamin klorida
- Midazolam
- Propofol
Obat-obat tersebut di atas dapat digunakan untuk premedikasi,
induksi anestesia, pemeliharaan, obat tambahan pada tindakan analgesia
regional, anestesia tunggal.
c. Golongan obat anestesia inhalasi
Obat-obat anestesia inhalasi adalah obat-obat anestesia yang
berupa gas atau cairan mudah menguap, yang diberikan melalui
pernafasan pasien. Campuran gas atau uap obat anestesia dan oksigen
masuk mengikuti aliran udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru,
selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler pare sesuai dengan
sifat masing-masing gas. Konsentrasi minimal fraksi gas atau uap obat
anestesia di dalam alveoli yang sudah menimbulkan efek analgesia pada
pasien, dipakai sebagai satuan potensi dari obat anestesia inhalasi disebut
dengan MAC (Minimal Alveolar Consentration).
Berdasarkan kemasannya, obat anestesia umum inhalasi ada 2
macam yaitu: obat anestesia umum inhalasi yang berupa cairan yang
mudah menguap, yaitu: derivat halogen hidrokarbon (halotan,
trikholroetilin, khloroform), derivat eter (dietil eter, metoksifluran,
enfluran, isofluran). Dan obat anestesia umum yang berupa gas, yaitu:
nitrous oksida dan siklopropan.

d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum


- Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:

18
Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi,
semakin cepat kenaikan tekanan parsial. Ventilasi alveolus; semakin tinggi
ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial.
- Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
- Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan.
Koefisien partisi jaringan/darah.
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan
sedikit pembuluh darah/JSPD)
- Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat
anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
- Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi.
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia.Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat
anestesia sehingga pendalaman anestesia semakin cepat.
e. Keuntungan Anestesi Umum
- Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif

19
- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi
- Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local
- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
- Dapat diberikan dengan cepat.
- Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang.
f. Kekurangan Anestesi Umum
- Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien.
- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah,
sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk
fungsi mental yang normal.
- Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua)
agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi
mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.
g. Indikasi Anestesi Umum
- Infant dan anak usia muda
- Dewasa yang memilih anestesi umum
- Pembedahan luas
- Penderita sakit mental
- Pembedahan lama
- Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
- Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi local
- Penderita dengan pengobatan antikoagulan

4. Prosedur Anastesi Umum


Persiapan Pra Anestesi Umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan
anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi.
Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari

20
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan
lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang
mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.
a. Persiapan Pasien
- Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis)
atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat
mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
 Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
 Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi,
diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial,
pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan
penyakit ginjal.
 Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika
golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,
diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.

21
 Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu,
berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif
pasca bedah.
 Kebisaaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.

- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin
lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh
pasien.

- Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas
50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek
semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan
dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. Setelah dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat
rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya
pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan
teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan

22
komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah
dapat dihindari.

- Kebugaran Untuk Anestesi


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.

- Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya
puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak
berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman
bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

- Klasifikasi Status Fisik


Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society
of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:

ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga

23
aktivitas rutin terbatas.

ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat


melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.

ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa


pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan


mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III
E.

- Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia diantaranya :
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesia
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.

24
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis
reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin
150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.

b. Persiapan Peralatan Anestesi


- Mesin Anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang
kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari
pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari
yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang
aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
 Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
 Ruang rugi (dead space) minimal
 Mengeluarkan CO2 dengan efisien
 Bertekanan rendah
 Kelembaban terjaga dengan baik
 Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
- Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin
anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar
bisaanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan secara sentral untuk
disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang
obstetrik, dll.

- Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)


Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2
berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)

25
- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi,
sesuai karakteristik mesin anestesi.
- Meter aliran gas (flowmeter)
Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
- Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni
sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna


khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode
warna internasional yang telah disepakati ialah:

Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran


Putih Biru Putih- Abu- Merah Jingga Ungu Biru Kuning
hitam abu
kuning

- Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah
alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan
oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus
sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas
segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring
valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)

26
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti
tertekuk.
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas
yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O.
- Sungkup Muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau
gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan
sungkup trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang
diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan
jalan nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat
berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup
tekanan ditutup, bisaanya mengindikasikan adanya kebocoran di
sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang
tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan
menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada
badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari
tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi
sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver
paling penting untuk ventilasi pasien.
- Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung
ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk
dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap
aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi

27
oleh panjang tabung dan kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada
wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm.
pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24 cm.
- Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat
pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT
pada pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat
bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat
dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA
pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring,
perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyaki
jalan nafas restriktif.

5. Teknik Anastesi
a. Teknik anestesia nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi:
 Untuk tindakan yang singkat (30-60 menit) tanpa membuka rongga
perut
 Keadaan umum pasien cukup baik (ASA 1 atau 2)
 Lambung harus kosong
Obat yang biasa dipersiapkan lebih dahulu. Tiopental 2.5% (dosis 4-
6mg/kgBB). Selalu diperhatikan agar tidak menyuntik diluar vena. Kalau
ada segera hentikan penyuntikan dan mencari vena lain. Tingkat kedalaman
anestesia dinilai dari refleks bulu mata. Tiopental disuntik sampai refleks ini
hilang. Cadangan tiopental harus selalu disediakan untuk ditambahkan kalau
ternyata dosis awal tidak mencukupi.

b. Teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakea


Pipa endotrakea dapat dimasukan melalui oro atau nasotrakea. Rata-rata
yang digunakan no. 7.5 untuk pipa orotrakea dan no.7 untuk pipa
nasotrakea. Untuk anak ukuran ini rata-rata sebesar jari kelingking.

28
Indikasi:
Operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesia
dengan sungkup muka. Persiapan obat: selain tiopental harus disediakan
obat pelemas otot jangka pendek: suksinil-kolin 2% dan pelemas otot jangka
panjang: pavulon 4mg/ampul atau alkuronium (alloferin) 10 mg/ampul.

c. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali


Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila
menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan ±
10ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan
secara manual harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang simetris.

d. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul atau
menunggu sewaktu pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak dalam.
Dengan cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut, dada dan
jalan nafas.

e. Anastesi Pada Pembedahan Brakial


Operasi brakial mungkin bisa secara terbuka atau dengan arthroscopic.
Prosedur ini jarang dilakukan secara posisi duduk (beach chair) atau kurang
umum, posisi lateral dekubitus. Posisi kursi pantai mungkin berhubungan
dengan penurunan perfusi serebral yang diukur dengan oxymetri; kasus
kebutaan, stroke, dan bahkan kematian otak telah dijelaskan, menekankan
kebutuhan secara akurat mengukur tekanan darah pada tingkat orak. Saat
meenggunakan pemantauan tekanan darah non invasive, manset harus
diterapkan pada lengan atas karena pembacaan tekanan darah sistolik dari
betis dapat 40mmHg lebih tinggi dari pembacaan brakialis pada pasien yang
sama. Jika dibedah diminta hipotensi dikendalikan, dianjurkan pasang infus

29
untuk monitoring tekanan darah yang invasive, dan transduser harus
diposisikan setinggi jantung atau lebih baik, batang otak (meatus externa
dari telinga).
Blok Plexus brakialis yang tidak sama menggunakan ultrasound atau
rangsangan listrik sangat ideal untuk prosedur brakial. Pendekatan
supraclavicular juga dapat digunakan. Bahkan ketika anestesi umum
digunakan, sebuah blok interscalene dapat suplemen anestesi dan
memberikan analgesia pasca operasi yang efektif. Intensitas relaksasi otot
biasanya diperlukan untuk operasi brakial yang besar selamat anestesi
umum, terutama bila tidak dikombinasikan dengan blok plexus brakialis.
Pra operatif dimasukan dari tempat infus perineural dengan infus berikutnya
dari larutan anestesi lokal memungkinkan analgesia pasca operasi selama
48-72 jam dengan sebagian besar penampungan tetap suntik dipoma
mengikuti arthroscopic atau operasi brakial secara terbuka. Dengan kata
lain, ahli bedah dapat memasukan infus akromial untuk memberikan
anestesi lokal secara terus menerus dari analgesia post operatif. Penempatan
langsung infus intraartikular ke dalam glenohumeral sendi dengan infus
bupivacain telah dikaitkan dengan post arthroscopic glenohumeral
chondrolysis dalam studi retrospektif manusia dan hewan dan saat ini tidak
direkomendasikan. Anestesi multimodal, termasuk NSAIDs sistemik (jika
tidak ada kontraindikasi) dan infus anestesi lokal pada periode perioperatif,
dapat membantu mengurangi kebutuhan opioid post operatif.

f. Anastesi Umum Pada Pembedahan Ortopedi Khususnya ORIF


Anastesi merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeriatau sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali, dan
komponen trias ideal anastesi, hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Pada
pembedahan ortopedi, ORIF (Open Reduction Internal Fixation) yang
mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal dengan sekrup dan
piring untuk mengaktifkkan atau memfasilitasi penyembuhan.

30
Penggunaan anastesi umum pada ORIF (Open Reduction Internal
Fixation) merupakan pilhan untuk anastesi yang adekuat pada tindakan
pembedahan yang memerlukan tindakan yang lama, mengurangi kesadaran
pasien intraoperatif, dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi
tak terduga, memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi, seperti pada ORIF yang dilakukan pemasangan K-Wire pada
Neglegted Galleazi Fracture.
Indikasi penggunaan anastesi umum pada ORIF (Open Reduction
Internal Fixation), apabila pasien tidak menolak penggunaan anastesi
umum, pembedahan pada ekstremitas atas. Fraktur yang direposisi tapi sulit
dipertahankan (fraktur Galleazi, fraktur antebrachii). Fraktur yang dengan
pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi. mobilisasi dini
tanpa fiksasi luar, kelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur, kesempatan
untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf disekitarnya, stabilitas fiksasi
yang cukup memadai dapat dicapai, perawatan di RS yang relatif singkat
pada kasus tanpa komplikasi, potensi untuk mempertahankan fungsi sendi
yang mendekati normal serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.
Kekurangan anestesi umum, memerlukan beberapa derajat persiapan
pra operasi pasien, terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti
mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan
memerlukan masa untuk fungsi mental yang normal, terkait dengan
hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi
umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia. Setiap anstesi dan
operasi mempunyai risiko komplikasi bahkan kematian akibat dari tindakan
tersebut.
Pada tindakan ORIF (Open Reduction Internal Fixation) pada
Neglegted Galleazi Fracture terdapat resiko yang dapat terjadi diantaranya,
penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan
pemasangan gips atau traksi, penggunaan stabilissi logam interna
memungkinkan kegagalan alat itu sendiri, pembedahan itu sendiri

31
merupakan trauma pada jaringan lunak, dan struktur yang sebelumnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerisakan
selama tindakan operasi.

32
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang pasien, laki-laki usia 48 tahun pada kasus diatas akan dilakukan
tindakan pemasangan internal fiksasi dengan General Anestesi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative, pasien tergolong pada PS ASA I sesuai dengan
klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society of
Anesthesiologist. Pasien dengan PS ASA I adalah pasien yang tidak memiliki
gangguan organic, biokimia, dan psikiatrik. Ini disimpulkan karena dari
pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien dalam keadaan stabil dan tidak
didapatkan adanya gangguan sistemik yang dapat mengganggu proses operasi dan
anestesi.
Pada pasien ini kemudian dilakukan tindakan pemasangan K_WIRE
dibawah anestesi umum dengan mengunakan inhalasi isofluran 2%. Anestesi
umum/general anestesi dipilih dengan pertimbangan kemungkinan tindakan
pembedahan yang akan berlangsung lama dan pembedahan pada pasien ini tidak
dapat menggunakan anestesi local karena tidak praktis dan ditakutkan hasil
anestesi yang diharapkan tidak akan memuaskan. Selain itu General Anastesi pada
pembedahan memiliki beberapa keuntungan yaitu pasien menjadi tidak sadar
sehingga mencegah kesakitan selama prosedur medis berlangsung, efek amnesia
meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas dan berbagai
kejadian intraoperative yang mungkin memberikan trauma psikologis, serta
memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu yang lama.
Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi umum
dengan inhalasi dan intravena. Untuk anestesi inhalasi digunakan Isofluran 2%.
Isofluran merupakan salah satu halogenasi eter yang sering digunakan. Obat ini
bekerja menekan pernapasan dan kurang mempunyai pengaruh menekan jantung,
dan tidak mencetuskan disritmia. Obat ini juga hanya dimetabolisme sebanyak
0,2%, sehingga tidak menimbulkan toksisitas yang bermakna pada hepar atau
ginjal. Setelah induksi, obat anestesi intravena juga diberikan untuk rumatan
anestesi diantaranya fentanil dan propofol (recofol). Rumatan anestesi ini

33
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis), analgesia cukup, dan
diusahakan selama pembedahan pasien tidak mengalami nyeri dan diharapkan
relaksasi otot lurik yang cukup. Fentanil sebagai opioid diberikan dengan harapan
akan menyebabkan pasien tidur dengan analgesia yang cukup dan pemberian
Propofol pada pasien ini diberikan untuk memberikan efek sedative dengan cepat.
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperative. Terapi cairan sendiri adalah
tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan infus krsitaloid atau koloid secara intravena.
Dengan mempertimbangkan hal diatas dan berdasarkan perhitungan
kebutuhan cairan preoperative untuk maintenance dan sekaligus untuk mengganti
deficit selama puasa 10 jam dibutuhkan 1080 – 1350 cc/10 jam, maka dapat
dilakukan terapi cairan untuk resusitassi dengan cairan Ringer Laktat 1000 – 1500
cc sebelum pembedahan sehingga pemberian cairan pre operatif berupa cairan RL
1000 cc cepat dan tepat.
Operasi pemasangan K_WIRE pada pasien dijalani selama 2 jam 20 menit
dengan total perdarahan 200 cc. perkiraan volume darah pada pasien (Estimaed
Blood Volume/EBV) adalah 70 cc x 65 kg yaitu 4550 cc, sehinngga jumlah
kehilangan darah (Estimated Blood Loss/EBL) sekitar 10% dari EBV = 10% x
4550 cc yaitu 455 cc. Jika dijumlahkan dengan jumlah urin yang keluar selama
operasi sebesar 200 cc dan IWL pasien 650 cc, maka pemberian actual cairan
yang diberikan pada pasien selama durante operasi berupa cairan kristaloid RL
500 cc dan Gelofussion 500 cc dapat dikatakan sudah cukup untuk menggantikan
kehilangan cairan pada pasien selama proses operasi.

Setelah operasi, pasien diobservasi diruang pemulihan dan dipindahkan ke


ruang perawatan ortopedi. Aktualnya pasien sudah diperbolehkan makan sedikit-
sedikit 6 jam post operasi, sehingga kebutuhan cairan dan kalori dapat terpenuhi
bukan hanya dari cairan infus tetapi juga melalui konsumsi per oral. Kebutuhan
cairan pasien ini adalah 2600-3250 cc/hari dengan kebutuhan Natrium 130 - 260
mEg/hari, Kalium 65 - 195 mEq/hari, dan Kalori 1625 kkal/hari. Yang perlu

34
diperhatikan adalah bahwa stress pembedahan menyebabkan pelepasan
Aldosteron dan ADH sehingga terjadi kecenderungan tubuh untuk menahan air
dan Natrium. Penggunaan cairan intravena diharapkan dapat menunjang
pemenuhan kebutuhan cairan dan kalori disamping melalui intake oral. Actual
cairan yang diberikan pada pasien berupa Ringer Laktat 1500 cc/hari. Ringer
Laktat yang diberikan pada pasien ini mengandung 130 mEq Natrium sehingga
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Natrium, karena tidak terdapatnya
cadangan Natrium dalam tubuh. Walaupun pemberian cairan intravena ini
diberikan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pasien, namun tetap
saja harus didukung dengan intake oral yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
kalori perhari.

35
BAB IV
KESIMPULAN
 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serat pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosis Closed Fractur Radius Ulna 1/3 distal Dextra yang
direncanakan dilakukan tindakan ORIF dengan general anestesi.
 Pemilihan anestesi ini sudah sesuai indikasi, yaitu untuk pembedahan yang
diperkirakan kemungkinan akan memakan waktu yang lama.
 Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA I karena pada pasien ini berdasarkan
pemeriksaan preoperative dalam keadaan stabil dan tidak ditemukan gangguan
organic, fisiologis, biokimia, dan psikiatrik.
 Resusitasi dan terapi cairan perioperative kurang lebih telah memenuhi
kebutuhan cairan perioperative pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya
hemodinamik durante dan post operative.
 Anastesi menggunakan propofol 16 ml. Dan sebagai premedikasi menggunakan
Sotatic 10 mg, Tramadol 200 mg, Dexketoprofen Trometamol 50 mg.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Schiwatch, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi ke-6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran; 2000.
2. Reksoprodjo S. Buku Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara;
2010.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran; 2004.
4. Anonim. BAB I PENDAHULUAN. [serial online] 2010. [Diunduh 09 Oktober
2014]. Tersedia dari: URL: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/147/jtptunimus-gdl-
lutfilkhak-7335-1-babi.pdf
5. Anestesi [Internet]. 2015. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Anestesi
6. dr. Mangku Gede, Sp.An.KIC., dr. Senapathi T.G.A. Sp.An., Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Reanimasi. Jakarta. PT Indeks. 2010.
7. Latief Said, Suryadi Kartini, Dachlan Ruswan. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Jakarta. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2010.
8. Muhiman Muhardi, Thaib Roesli, Sunatrio, Dachlan Ruswan. Anestesiologi. Jakarta.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004
9. Pradana A, Usyinara. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Aesculapius; 2009
10. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone; 2007.
11. Solomon L, Apley AG. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi Ke-7.
Jakarta: Widya Medika; 1995.
12. Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong, Wim (Editor). 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Jakarta: EGC.
13. Supardi Sabroto. Ortopedi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, 2009. Jakarta. Penerbit:
Bagian Ilmu Bedah Universitas Indonesia.

37

Anda mungkin juga menyukai