Anda di halaman 1dari 28

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia, bahkan
WHO menyatakan bahwaobesitas sudah merupakan suatu epidemi global,
sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus
segera ditangani. Di Indonesia, terutama dikota-kota besar, dengan adanya
perubahan gaya hidup pada perubahan pola makan atau konsumsi
masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi lemak dan
kolesterol, terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast food) yang
berdampak meningkatkan risiko obesitas.
Permasalahan obesitas tidak dapat dianggap mudah begitu saja, karena
obesitas dan kegemukan pada anak berpotensi meningkatkan resiko timbulnya
berbagai gangguan kesehatan. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010,
diperkirakan prevalensi balita di Indonesia mengalami gizi lebih dan
kegemukan (obesitas) yaitu sebesar 14,2 %. Angka ini mengalami peningkatan
yang sangat drastis. Berdasarkan Laporan Nasional Riskesdas Tahun 2007,
persentase balita yang mengalami gizi lebih yaitu sebesar 12,2 %.
Selain obesitas, keadaan dimana terjadinya defisiensi vitamin A pada anak
juga menjadi masalah. Defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama yang terdapat di 60-78 negara berkembang, dan
diperkirakan 78-253 juta anak usia presekolah dipengaruhi oleh defisiensi
vitamin A. Vitamin A merupakan istilah umum bagi sebuah kelompok
senyawa kimia yang secara structural saling berhubungan dan dikenal dengan
nama retinoid; kelompok retinoid ini secara kualitatif mengendalikan
efektifitas biologis retinol. Meskipun hanya diperlukan dalam jumlah yang
kecil, namun nutrient ini sangat dibutuhkan agar berbagai proses regulasi dan
fisiologis lainnya tetap bekerja secara normal dalam tubuh manusia. Vitamin A
juga berperan sebagai nutrisi esensial yang diperlukan untuk memelihara
fungsi imun, berperan penting dalam pengaturan imunitas yang cell-mediated
dan dalam respon antibodi humoral.
Defisiensi vitamin A adalah masalah kesehatan umum yang luas. Anak
usia prasekolah dan wanita di usia reproduktif merupakan dua kelompok
populasi yang paling berisiko. Penyebab kebutaan yang paling sering

1
ditemukan pada anak-anak kebanyakan disebabkan oleh defisiensi vitamin A.
Lebih kurang 150 juta anak lainnya menghadapi resiko yang meningkat untuk
meninggal dalam usia anak-anak karena penyakit infeksi yang disebabkan
oleh defisiensi vitamin A.
Mengingat pentingnya pengetahuan tetang obesitas pada anak dan
defisiensi vitamin A, oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut
mengenai kedua penyakit tersebut.

B. TUJUAN
1. Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis, tatalaksana, dan
komplikasi dari obesitas.
2. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, dan
penyakit defisiensi vitamin A.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. OBESITAS
1. Definisi

Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang


ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.

2
Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan
pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada
umumnya digunakan :
a. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar
dan disebut obesitas bila BB> 120% BB standar.
b. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB).
Dikatakan obesitas bila BB/TB> persentile 95 atau >120% atau
Z-score = +2SD.
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfoldthickness
(teballipatankulit/TLK). Sebagai indicator obesitas bila TLK
Triceps > persentil ke 85.
d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri,
dan hidrometri namun tidak digunakan pada anak karena sulit
dan tidak praktis.
Obesitas merupakan keadaan patologis, yaitu terdapatnya
penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk
fungsi tubuh yang normal (Soetjiningsih, 1995). WHO (2000) secara
sederhana mendefinisikan obesitas sebagai kondisi abnormal atas
akumulasi lemak yang ekstrim pada jaringan adipose. Inti dari
obesitas ini adalah terjadinya keseimbangan energi positif yang
tidak diinginkan dan bertambahnya berat badan.
Obesitas pada anak merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian obesitas saat dewasa. Sekitar 26% bayi dan
anak-anak dengan status obes akan tetap menderita obes dua
puluh tahun kemudian.

2. Etiologi

Obesitas merupakan penyakit dengan etiologi yang sangat


kompleks dan belum sepenuhnya diketahui. Keadaan obesitas terjadi
jika makanan sehari- harinya mengandung energi yang melebihi
kebutuhan anak yang bersangkutan (positive energy balance). Pada
umumnya, berbagai faktor yang menentukan keadaan obesitas
seseorang seperti:
a. Herediter

3
Anak yang obes biasanya berasal dari keluarga penderita
obesitas. Bila kedua orangtua obes, sekitar 80% anak-anak
mereka akan menjadi obes. Bila salah satu orangtua obes
kejadiannya menjadi 40% dan bila kedua or ngtua idak obes
maka prevalens obesitas akan turun menjadi 14%. Peningkatan
risiko menjadi obesitas tersebut kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh ge atau faktor l ngkungan dalam keluarga.
b. Pola makan
Peran nutrisi dimulai sejak masa gestasi. Perilaku makan
mulai terkondisi dan terlatih sejak bulan-bulan pertama
kehidupan yaitu saat diasuh orangtua. Pemberian susu botol pada
bayi mempunyai kecenderungan diberikan pada jumlah yang
berlebihan sehingga risiko menjadi obesi as menjadi bih besar
daripada ASI saja. Akibatnya anak akan terbiasa untuk
mengkonsumsi makanan melebihi kebutuhan dan berlanjut ke
masa prasekolah, masa usia sekolah, sampai masa remaja.
Peranan diet terhadap terjadi ya obesitas sangat besar,
terutama diet tinggi kalori yang ber sal dari karbohidrat dan lemak.
Masukan energi tersebut lebih besar daripada energi yang
digunakan. Anak-anak usia sekolah mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi makanan cepat saji (junk foods dan fast foods),
yang umumnya mengandung energi tinggi karena 40-50% nya
berasal dari lemak.

Kebiasaan lain adalah mengkonsumsi makanan camilan yang


banyak mengandung gula sambil menonton televisi. Pilihan jenis
makanan camilan bisa dipengaruhi oleh iklan di televisi.
Penelitian yang dilakukan oleh Vanelli dkk (2005)
menemukan bahwa melewatkan makan pagi pada anak-anak
dapat meningkatkan risiko overweight dan obesitas. Pada anak-
anak yang melewatkan makan pagi dilaporkan 27,5% overweight
dan 9,6% obes (p=0,01 dan p=0,04 berturut-turut) dibandingkan

4
8
anak-anak yang makan pagi (9,1% dan 4,5% berturut-turut).
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Dubois dkk (2006)
ditemukan bahwa melewatkan makan pagi meningkatkan risiko
overweight hampir dua kali lipat dengan odds ratio = 1,9(1,2-3,2).
c. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik sehari-hari dipercaya menjadi salah satu faktor
munculnya obesitas pada seseorang. Suatu data menunjukkan
bahwa aktivitas fisik anak-anak cenderung menurun. Anak-anak
lebih banyak bermai di dalam rumah dibandingkan di luar
rumah, misalnya bermain games komputer maupun media
elektronik lain dan menonton televisi.

Sebaliknya menonton televisi akan menurunkan aktivitas dan


keluaran energi, karena mereka menjadi jarang atau kurang
berjalan, bersepeda, naik-turun tangga. Suatu penelitian kohort
mengatakan bahwa menonton televisi lebih dari lima jam
meningkatkan prevalens dan angka kejadian obesitas pada anak
6-12 tahun (18%), serta menurunkan angka keberhasilan sembuh
dari terapi obesitas sebanyak 33%.
d. Gangguan Hormon
Walaupun sangat jarang, adakalanya obesitas disebabkan oleh
endocrine disorder, seperti pada Sindroma Cushing, hiperaktivitas
adrenokortikal, hipogonadisme, dan penyakit hormon lain.

3. Patogenesis

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi


dengan keluaran energi (energy expenditures) sehingga terjadi
kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan
lemak. Asupan dan pengeluaran energi tubuh diatur oleh
mekanisme saraf dan hormonal. Hampir setiap individu, pada
saat asupan makanan meningkat, konsumsi kalorinya juga ikut
meningkat, begitupun sebaliknya. Karena itu, berat badan

5
dipertahankan secara baik dalam cakupan yang sempit dalam waktu
yang lama. Diperkirakan, keseimbangan yang baik ini
dipertahankan oleh internal set point atau lipostat, yang dapat
mendeteksi jumlah energi yang tersimpan (jaringan adiposa) dan
semestinya meregulasi asupan makanan supaya seimbang dengan
energi yang dibutuhkan.

Secara garis besar, ada tiga komponen pada sistem tersebut:

a. Sistem aferen, menghasilkan sinyal humoral dari


jaringan adiposa (leptin), pankreas (insulin), dan perut
(ghrelin).

b. Central processing unit, terutama terdapat pada


hipotalamus, yang mana terintegrasi dengan sinyal aferen.

c. Sistem efektor, membawa perintah dari nucleus


hipotalamus dalam bentuk reaksi untuk makan dan
pegeluaran energi.

Pada keadaan energy tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan


adiposa dan individu tersebut makan, sinyal adiposa aferen (insulin,
leptin, ghrelin) akan dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada
hipotalamus. Di sini, sinyal adiposa menghambat jalur anabolisme
dan mengaktifkan jalur katabolisme. Lengan efektor pada jalur
sentral ini kemudian mengatur keseimbangan energy dengan
menghambat masukan makanan dan memproduksi pengeluaran
energy. Hal ini akan mereuksi energy yang trsimpan. Sebaliknya, jika
energy yang tersimpan sedikit ketersediaan jalur katabolisme akan
digantikan dengan jalur anabolisme untuk menghasilkan energy yang
akan disimpan dalam bentuk jaringan adipose, sehingga tercipta
keseimbangan antara keduanya.

Tabel 2.1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit

6
Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan
epitel nasofaring atau kemungkinan konjungtiva

Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus


1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di
tempat infeksi pertama, dan pada RES regional maupun
daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus,
termasuk saluran nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ
menghilang

Sumber :Feiginet al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases5th


edition

4. Diagnosis
a. Anamnesis
Obesitas dapat terjadi pada setiap umur dan gambaran klinis
obesitas pada anak dapat bervariasi dari yang ringan sampai
dengan yang berat sekali. Berikut hasil yang bisa didapatan dari
anamnesis :
1) Pertumbuhan berjalan dengan cepat/pesat disertai adanya
ketidakseimbangan antara peningkatan berat badan yang
berlebihan dibandingkan dengan tinggi badannya.
2) Jaringan lemak bawah kulit menebal sehingga tebal lipatan
kulit lebih daripada yang normal dan kulit nampak lebih
kencang.
3) Kepala nampak relatif lebih kecil dibandingkan dengan
tubuhnya atau dibandingkan dengan dadanya (pada bayi).
4) Bentuk pipi lebih tembem, hidung dan mulut tampak relatif
lebih kecil, mungkin disertai dengan bentuk dagunya yang
berganda (dagu ganda).
5) Pada dada terjadi pembesaran payudara yang dapat
meresahkan bila terjadi pada anak laki-laki.

7
6) Perut membesar menyerupai bandul lonceng, dan kadang
disertai garis-garis putih atau ungu (striae).
7) Kelamin luar pada anak wanita tidak jelas ada kelainan, akan
tetapi pada anak laki-laki tampak relatif kecil.
8) Pubertas pada anak laki-laki terjadi lebih awal dan akibatnya
pertumbuhan kerangka lebih cepat berakhir sehingga tingginya
pada masa dewasa relatif lebih pendek.
9) Lingkar lengan atas dan paha lebih besar dari normal, tangan
relatif lebih kecil dan jari-jari bentuknya meruncing.
10) Dapat terjadi gangguan psikologis berupa : gangguan emosi,
sukar bergaul, senang menyendiri dan sebagainya.

b. Pemeriksaan Fisik
Perawatan kesehatan profesional mendefinisikan obesitas atau
kelebihan berat badan dengan menggunakan indeks massa tubuh
(BMI), yang merupakan metode yang sangat baik untuk
pengukuran langsung lemak tubuh. BMI = berat badan dalam kg /
(tinggi dalam meter)2. Selama masa kanak-kanak, tingkat
perubahan lemak tubuh dimulai dengan penyimpanan jaringan
adiposa yang tinggi selama masa kanak-kanak. Kadar lemak tubuh
menurun menjelang usia 5,5 tahun sampai periode yang disebut
"adiposity rebound", ketika lemak tubuh biasanya berada pada
tingkat terendah. Adipositas kemudian meningkat sampai awal
masa dewasa. Akibatnya, obesitas dan kelebihan berat badan
didefinisikan menggunakan persentil BMI, anak usia diatas 2 tahun
dengan persentil BMI ≥ 95 memenuhi kriteria untuk obesitas, dan
orang-orang dengan BMI antara persentil ke-85 dan ke-95
mengalami kelebihan berat badan.

8
Gambar 1. Kurva CDC Persentil Indeks Massa Tubuh per Umur
Untuk Anak Wanita

Gambar 2. Kurva CDC Persentil Indeks Massa Tubuh per Umur


Untuk Anak Laki-Laki

5. Tatalaksana
Pasien campak tanpa penyulit dapat berobat jalan dan
pengobatannya bersifat simtomatik, seperti (WHO, 2004):
a. Antipiretika
Parasetamol
7,5 – 10 mg/kgBB/kali, interval 6-8 jam.

9
b. Ekspektoran
Gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 – 100 mg tiap 2-6 jam,
dosis maksimum 600 mg/hari.
c. Antikonvulsi bila diperlukan

Selain itu juga perlu dilakukan terapi suportif, seperti :


a. Istirahat cukup
b. Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi
c. Perawatan kulit dan mata
d. Perawatan lain sesuai penyulit yang terjadi

Sedangkan pada campak dengan penyulit, hiperpireksia (suhu >


39o C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi
diindikasikan untuk dirawat inap. Di rumah sakit pasien campak
dirawat di bangsal isolasi sistem pernafasan, diperlukan perbaikan
keadaan umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang
memadai. Vitamin A diberikan dengan dosis 100.000 IU per oral untuk
usia 6 bulan – 1 tahun dan dosis 200.000 IU per oral untuk usia lebih
dari 1 tahun. Dosis diberikan satu kali baik untuk dengan komplikasi
maupun tidak, apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU perhari.
Parasetamol untuk menurunkan demam dosis 10-15mg/kg BB
(WHO,2004).
Antivirus seperti ribavirin (dosis 20-35 mg/kgBB/hari i.v) telah
dibuktikan secara in vitro terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan
penderita campak berat dan penderita dewasa yang
immunocompromissed. Namun penggunaan ribavirin ini masih dalam
tahap penelitian dan belum digunakan untuk penderita anak.
Apabila terdapat penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk
mengatasi penyulit yang timbul, yaitu(Cherry, 2004).:
a. Bronkopneumonia
Diberikan antibiotic ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis IV
dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/ hari IV dalam
4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum
obat per oral. Antibiotic diberikan sampai tiga hari demam reda.
Apabila di curigai infeksi spesifik, maka uji tuberculin dilakukan
setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji
tuberculin bisanya negative (anergi) pada saat anak menderita

10
campak. Gangguan reaksi delayed hypersensitivity disebabkan
oleh sel limfosit T yang terganggu fungsinya.
b. Enteritis
Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi. Pemberian
cairan IV dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis dan
dehidrasi.
c. Otitis media
Seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga perlu
diberikan antibiotic kotrimoksazol-sulfametoksazol (TMP 4
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis).

d. Ensefalopati
Perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga ¾ kebutuhan untuk
mengurangi edema otak, disamping pemberian kortikosteroid.
Perlu dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan gas darah.Bila ada
tanda ensefalopati diberikan kloramfenikol dosis 75 mg/kgbb/hari
dan ampisilin 100 mg/kgbb/hari selama 7-10 hari.
Kortikosteroid seperti deksametason 1 mg/kgbb/hari dapat
diberikan sebagai dosis awal kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran
membaik (bila pemberian lebih dari 5 hari lakukan tappering off).

Beberapa anjuran yang dapat diberikan, yaitu :


a. Bila campaknya ringan, anak cukup dirawat di rumah. Kalau
campaknya berat atau sampai terjadi komplikasi maka harus
dirawat di rumah sakit.
b. Anak campak perlu dirawat di tempat tersendiri agar tidak
menularkan penyakitnya kepada yang lain. Apalagi bila ada bayi di
rumah yang belum mendapat imunisasi campak.
c. Beri penderita asupan makanan bergizi seimbang dan cukup untuk
meningkatkan daya tahan tubuhnya. Makanannya harus mudah
dicerna, karena anak campak rentan terjangkit infeksi lain, seperti
radang tenggorokan, flu, atau lainnya. Masa rentan ini masih
berlangsung sebulan setelah sembuh karena daya tahan tubuh
penderita yang masih lemah.
d. Lakukan pengobatan yang tepat dengan berkonsultasi pada dokter.

11
e. Jaga kebersihan tubuh anak dengan tetap memandikannya.
f. Anak perlu beristirahat yang cukup.

6. Komplikasi
Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak
berumur lebih kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada
infeksi sekunder oleh bakteri. Beberapa penyulit campak adalah
(WHO, 2004) :
a. Bronkopneumonia
Merupakan salah satu penyulit tersering pada infeksi campak.
Dapat disebabkan oleh invasi langsung virus campak maupun
infeksi sekunder oleh bakteri (Pneumococcus, Streptococcus,
Staphylococcus, dan Haemophyllus influenza). Ditandai dengan
adanya ronki basah halus, batuk, dan meningkatnya frekuensi nafas.
Pada saat suhu menurun, gejala pneumonia karena virus campak
akan menghilang kecuali batuk yang masih akan bertahan selama
beberapa lama. Bila gejala tidak berkurang, perlu dicurigai adanya
infeksi sekunder oleh bakteri yang menginvasi mukosa saluran
nafas yang telah dirusak oleh virus campak. Penanganan dengan
antibiotik diperlukan agar tidak muncul akibat yang fatal.
b. Encephalitis
Komplikasi neurologis tidak jarang terjadi pada infeksi
campak. Gejala encephalitis biasanya timbul pada stadium erupsi
dan dalam 8 hari setelah onset penyakit. Biasanya gejala komplikasi
neurologis dari infeksi campak akan timbul pada stadium
prodromal. Tanda dari encephalitis yang dapat muncul adalah :
kejang, letargi, koma, nyeri kepala, kelainan frekuensi nafas,
twitching dan disorientasi. Dugaan penyebab timbulnya komplikasi
ini antara lain adalah adanya proses autoimun maupun akibat virus
campak tersebut.
c. Subacute Slcerosing Panencephalitis (SSPE)
Merupakan suatu proses degenerasi susunan syaraf pusat
dengan karakteristik gejala terjadinya deteriorisasi tingkah laku

12
dan intelektual yang diikuti kejang. Merupakan penyulit campak
onset lambat yang rata-rata baru muncul 7 tahun setelah infeksi
campak pertama kali. Insidensi pada anak laki-laki 3x lebih sering
dibandingkan dengan anak perempuan. Terjadi pada 1/25.000
kasus dan menyebabkan kerusakan otak progresif dan fatal. Anak
yang belum mendapat vaksinansi memiliki risiko 10x lebih tinggi
untuk terkena SSPE dibandingkan dengan anak yang telah
mendapat vaksinasi.
d. Konjungtivitis
Konjungtivitis terjadi pada hampir semua kasus campak.
Dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri yang dapat
menimbulkan hipopion, pan oftalmitis dan pada akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
e. Otitis Media
Gendang telinga biasanya hiperemi pada fase prodromal dan
stadium erupsi.
f. Diare
Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran
cerna sehingga mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai
akibat menurunnya daya tahan penderita campak .
g. Laringotrakheitis
Penyulit ini sering muncul dan kadang dapat sangat berat sehingga
dibutuhkan tindakan trakeotomi.
Tabel 2.2 Komplikasi Campak

Komplikasi Campak
Umum Tidak Umum
Pneumonia Encefalitis
Diare Miokarditis
Laringotrakheobronkitis Pneumotoraks
Malnutrisi Pneumomediastinum
Otitis Media Apendisitis
Ulcerasi Mulut Subakut
Konjungtivitis Subacute Slcerosing
Panencephalitis (SSPE)

B. DEFISIENSI VITAMIN A
1. Definisi
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos yang berarti
kencang atau tegang. Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang

13
ditandai kondisi spastik paralisis yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan
onset akut hypertonia , kontraksi otot yang menyakitkan ( biasanya
otot-otot rahang dan leher ) , dan kejang otot umum tanpa penyebab
medis yang jelas lainnya (Hinfey, 2016).
Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus
yang berarti lahir) 2 merupakan suatu istilah kedokteran yang
digunakan untuk menggambarkan masa sejak bayi lahir hingga usia
28 hari kehidupan. Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk
tetanus generalisasi yang terjadi pada masa neonatal. Tetanus yang
terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat,umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan
ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering
timbul adalah ketidakmampuanuntuk menetek,
kelemahan,irritablediikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh
yang khas yaitu trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Kematian biasanya disebabkan karenahenti nafas,hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung paru (Hinfey,
2016).

2. Etiologi

Bakteri yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani,


berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um
memiliki sifat (Soedarmo et al., 2010 ; Behram et al., 2007; Todar,
2013) :

a. Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya


sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket
tenis.
b. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam
lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan
flagella.
c. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan
dalam suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15

14
menit), kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora
dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik
dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun.
d. Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama
pada tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora
bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta
feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
e. Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin
dan tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti,
namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah.
Tetanospamin yang dapat menyebabkan penyakit tetanus,
merupakan toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada
panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis
mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5
ng/kgBB atau 175 ng untuk 70 kilogram (154lb) manusia.

f. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase,


tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan
glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase
dan indol positif.

Gambar 2.6 Mikroskopis Clostridium tetani

15
3. Patofisiologi
Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorikgagal
mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi
yang terjadi tidakdiimbangi dengan inhibisi otot yang lain.
Akibatnya baik otot agonis maupun antagonismengalami kontraksi
dan tidak terkontrol sehingga terjadi spasme otot yang
menjadigambaaran khas pada tetanus (Soedarmo et al., 2010).
Clostridium tetani menghasilkan endospora yang membutuhkan
kondisi anaerobic untuk dapat berkembang.Jaringan yang nekrosis atau
mengalami infeksi merupakan lokasiyang sangat mendukung bagi
tumbuhnya bakteri ini.Bakteri ini biasanya masuk ke situsluka dan
setelah melalui proses germinasi (berkisar antara 3-21 hari),
bakteri ini akanmenghasilkan 2 jenis exotoxin, yaitu tetanolisin
dan tetanospasmin. Tetanolisin yangdihasilkan oleh Clostridium
tetani bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini
denganmerusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan
mengoptimalkan suasana anaerob yangterbentuk pada situs luka
(Hinfey, 2016).
Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian menjadi
agenpenyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.
Tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin yang berbentuk
rantai polipeptidaganda. Rantai polipeptida ini terdiri atas sebuah
rantai polipeptida berat (100000 Da) dan 1 rantai polipeptida
ringan(50.000 Da). Ke dua rantai tersebut dihubungkan oleh
suatu jembatan disulfide (Hinfey, 2016).
Rantai polipeptida ringan (mengandung zinc metalloprotease) akan
berikatan dengan neuromuscular junction sedangkan rantai
polipeptida berat (mengandungsuatu amino terminus yang
berfungsi untuk memberi sinyal kepada sel)
menyebabkantetanospasmin dapat masuk ke dalam akson.
Tetanospasmin kemudian masuk ke dalam selhingga mencapai sistem
saraf pusat secara intra-aksonal. Setelah mencapai daerah
intrasel,tetanospasmin dapat berdifusi keluar dari sel dan berikatan
dengan reseptor interneuroninhibitorik (pada medulla spinalis).

16
Tetanospasmin akan diendositosis ke dalam selintraneuron
inhibitorik ini (Hinfey, 2016).
Di dalam sel, ikatan disulfida antara rantai polipeptida ringan dan
berat akan rusakakibat suasana asam, rantai polipeptida ringan
kemudian akan masuk ke sitoplasma selintraneuron. Kandungan zinc
metalloprotease yang terdapat pada rantai ringan ini kemudianakan
merusak synaptobrevin (protein membrane) yang dibutuhkan dalam
proses transportasineurotransmitter dari sel interneuron menuju saraf
motorik. Hal ini menyebabkan pelepasanneurotransmitter inhibitori
(terutama Gamma Amino Butric Acid/GABA) tidak
dapatdilakukan. Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan
refleks antagonis otot skeletalmenjadi hilang, akibatnya terjadi
kontraksi otot tidak terkontrol dan spasme dari otot-ototskeletal
(Hinfey, 2016).
Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem
musculoskeletal, padatahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis
sistem saraf simpatik, sehingga pada kondisitersebut, pelepasan
katekolamin storm atau disebhiper-adrenergik. Masa inkubasi pada
bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 3-
10hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau
awal minggu ke dua pascapersalinan sehingga sering kali disebut
sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of the seventhday). Hal ini
membantu membedakan tetanus neonatorum dengan penyakit
lain padaneonatus, di mana pada penyakit lain akan muncul gejala
pada 2 hari pertama kehidupan(Hinfey, 2016).

4. Diagnosis
a. Gejala Klinis
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum
dapat dilihat ketika bayi malas minum dan menangis yang terus
menerus. Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak sanggup
menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Hal
tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini (Soedarmo et
al., 2010).

17
Gambar 2.7
Trismus / Lockjaw

Kekakuan
rahang (trismus)
mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan
akhirnya berhenti. Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir
tertarik kearah lateral, dan alis tertarik ke atas) yang disebut risus
sardonicus.
Kaku kuduk,
disfagia dan
kekakuan pada
seluruh tubuh akan
menyusul dalam
beberapa jam
berikutnya.
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu
oleh rangsangan- rangsangan sensoris (suara atau sentuhan)
(Soedarmo et al., 2010)

Gambar 2.8 Risus Sardonicus, Eye sign , Kejang

18
Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan akhirnya
terus menerus. Spasme dan kejang berulang atau terus menerus
yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga
terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan akan terjadi apneu
dan bayi menjadi sianosis. Hal ini merupakan penyebab kematian
terbesar pada kasus tetanus neonatorum (Soedarmo et al., 2010)
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan
biasanya akan fleksi pada siku dan tertarik ke arah badan,
sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung
menyebabkan punggung tertarik menyerupai busur panah
(opisthotonos) (Soedarmo et al., 2010)

Gambar 2.9 Opisthotonus


Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala
berikutnya pada kasus tetanus neonatorum disebut periode
onset. Periode onset ini berperan penting dalam
menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek
periode onset
ini, semakin
buruk
prognosisnya
Periode onset
pada neonatus
lebih pendek
dibandingkan
dengan pada
anak atau dewasa (lebih ke arah beberapa jam daripada beberapa

19
hari seperti pada dewasa), hal ini mungkin disebabkan jarak akson
yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai CNS
(Soedarmo et al., 2010).

b. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosa tetanus neonatorum adalah dengan melihat
gambaran dan gejala klinis yang ada. Pemeriksaan kultur jarang
dilakukan karena ditemukan tidaknya bakteri Clostridium tetani
bukan merupakan suatu tanda karakterisitik pada infeksi
bakteri ini. Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan
untuk mendeteksi dini penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika
spatula disentuhkan ke orofaring lalu terjadi spasme pada otot
maseter dan bayi menggigit spatula lidah (Sumarmo, 2008 ; Hotez
dan Wilfert , 2004).

Gambar 2.10 Spasme


otot maseter pada uji
spatula

5. Tatalaksana
Pengobatan pada tetanus
terdiri dari

penatalaksanaan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi,


menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang,

20
perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan penatalaksanaan
khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus
(Soedarmo et al., 2010)
a. Penatalaksanaan umum (HTAI, 2008)
1) Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang
yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang
minimal, mutlak perawatan NICU.
2) Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena,
sekaligus memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3
infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan
pemberian secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat
dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan
dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
3) Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
4) Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
5) Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering
digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti
kejang, dan pelemas otot yang kuat tanpa menekan pusat
kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis
yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam.
Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk
BB > 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam
dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien.
Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2
mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse
kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui
OGT.
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang spontan,
badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai

21
gangguan nafas. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai
namun anak masih kejang atau mengalami spasme laringm
sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan
dengan dosis rumatan telah memberikan respon klinis yang
diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya
pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis
setiap 2 hari).
b. Penatalaksanaan khusus
1) Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif
dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik
lini pertama yang diberikan adalah metronidazole IV/oral
dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1
jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6
jam selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin
prokain 50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia> 8 tahun).
Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai (HTAI,
2008).
2) Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan
50.000 IU IM dan 50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-
hati akan terjadinya reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak
pemberian anti serum dapat disertai imunisasi aktif DT setelah
anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat
diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000
IU IM (HTAI, 2008).

Tabel 2.3 Perbandingan Antibiotik Penisislin dan Metronidazol


Penisilin Metronidazol
Spektrum Spektrum luas, Spektrum sempit,
bakteri gram + , obligat anaerob
anaerob (tidak dapat

22
menginduksi
superinfeksi)
Mekanisme Kerja Menghambat Menghambat
sintesis dinding sel sintesis DNA
Stabilitas Tidak stabil Stabil
Reaksi alergi Sering Jarang
Resistensi Sering Jarang
Struktur Strukturnya
menyerupai
GABA :
menginduksi
spasme
Penetrasi ke abses Rendah Baik
Akses IM Oral, Rektal, IV

Tabel 2.4 Pengelolaan Tetanus


Eradikasi Pembersihan
bakteri luka
penyebab
Antibiotik Metronidazol 15-30 mg/BB/hari dibagi tiap 8-
12 jam; tidak melebihi 2g/hari
Antitoksin Antitoksin kuda Human tetanus immune globulin
netralisasi atau manusia (3.000 – 6.000 IU/kg i.m)

23
terhadap Antitetanus serum (ATS) 50.000 IU im dan
luka 50.000 IU iv (terlebihdahulu dilakukan tes
kulit) (untuk tetanus neonatorum 10.000 IU
iv)
Terapi Kontrol spasme Diazepam (iv bolus)
suportif otot 0.1 – 0.3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam ,
selama fase tetanus neonatorum dosis awitan 0.1-0.2
akut mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40
mg/kgBB/hari
Dalam keadaan berat  diazepam drip 20
mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU
Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o.
dibagi dalam 6-8 dosis
Midazolam (iv infus/bolus)
Vekuronium
Bila spasme sangat hebat  pankuronium
bromid 0.02 mg/kgBB iv diikuti 0.05
mg/kgBB dosis berikan setip 2-3 jam
Sedasi Diazepam (iv bolus)
Midazolam (iv infus/bolus)
Morfin (im/iv)
Klorpromazin
Pemeliharaan Trakeostomi
jalan Tekanan positif intermitten
nafas/ventilasi Ventilasi
Pemeliharaan Penggantian volum yang cukup
hemodinamik
Sedasi (seperti di atas)
Inotropik
Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan
diberikan berta bloker seperti propranolol atau
alfa dan beta bloker (labetolol)
Rehabilitasi Nutrisi
Fisioterapi
Imunisasi Terapi primer
penuh dari
tetanus toksoid

6.Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada (Hinfey, 2016):


a. Sistem saluran pernafasan
Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena

24
akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan
minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan
atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan
emfisema mediastinal biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi.
b. Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan ransangan
miokardium.
c. Sistem musculoskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi
perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna
vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak
dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi
miositis ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain :
1) Laserasi lidah akibat kejang
2) Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
3) Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat oengatur suhu.

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa


bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

III. KESIMPULAN

1. Campak merupakanpenyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh


infeksi virus yang umumnya menyerang anak. Campak memiliki gejala klinis
khas yaitu terdiri dari 3 stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus
yaitu stadium prodormal, erupsi, dan konvalesens. Pasien campak tanpa
penyulit dapat berobat jalan dan pengobatannya bersifat simtomatik.
Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak berumur lebih

25
kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada infeksi sekunder oleh
bakteri.
2. Tetanus neonatorummerupakan tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir,
disebabkan adanya infeksi tali pusat. Gejala yang sering timbul adalah ketidak
mampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme, trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal.Pengobatan
pada tetanus meliputi penatalaksanaan umum yang terdiri dari kebutuhan
cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi
kejang, perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan penatalaksanaan
khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus. Penyebab
kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa bronkopneumonia,
cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. 2007. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics.17thed. Jenson Publisher: Saunders. hal951-3.3.

26
Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan (eds)
Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3. Philadelphia.
Saunders. p.2283 – 2298

Feigin et al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases5th edition

Garna, Herry. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi
ke-3. Bandung: FK UNPAD

Giarsawan, Asmara, dan Yulianti. 2014. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi


Kejadian Caampak di Puskesmas Tejakula 1 Kecamatan Tejakula
Kabupaten Buleleng Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vo.4 No. 2
: 140-145

Health Technology Assessment Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus Pada


Anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Hinfey, Patrick. 2016. Tetanus. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.

Hotez dan Wilfert. 2004. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus.


Dalam:Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugman’s Infectious
Diseases of Children. Edisi ke11. USA: Mosby; hal 655-62

Pan American Health Organitation. 2005. Neonatal Tetanus Elimination: Field


Guide.2nd Edition. Washington.

Setiawan, I. 2008. Penyakit Campak. Jakarta: Sagung Seto.

Soedarmo dan Sumarmo . 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta: badan Penerbit IDAI

Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. 2010. Buku Ajar
Infeksi &Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
hal.322-9.2.

27
Soedarmo, S. 2012. Campak. In S. Soedarmo, H. Garna, S. Hadinegoro, & H.
Satari, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (pp. 109-18). Jakarta: IDAI.

Soegijanto, Soegeng. 2002. Campak. dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.)
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI. Hal. 125

Stephen, Arnon. 2004. Tetanus (Clostridium tetani). In: Behrman RE, Kliegman
RM, JensonHB. Nelson Textbook of Pediatrics. 17thed. p 951-953.
Philadelphia PA: W.B. Saunders

Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. 2008. Buku Ajar Infeksi dan
penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI.

Todar K. 2013. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. Available


from: http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.4.

World Health Organization. 2004. Treating Measles In Children. Departement of


Immunization, Vaccines, and Biologicals, Department of Child and
Adolescent Health.

28

Anda mungkin juga menyukai