Anda di halaman 1dari 5

Kemiskinan, Kekayaan dan Hidup Sederhana.

Uang berbunga, bunga berbunga, kekayaan meroket sambung-sinambung. Pemilik dan pewaris dengan
daya beli tak terbatas, mampu memiliki apapun yang diinginkan. Mabuk dengan segala sesuatu yang
dapat meningkatkan citra konglomerat, dengan seks, tahu asal dunia, tapi tidak tahu perginya kemana;
dengan lantang meluncur hilir mudik melalui jalan 3 jalur setiap sisi… darah sekali-kali memercik ke atas
aspal sebagai nikmat tambahan yang mendebarkan; sorga di kira-kanan, muka-belakang hingga plafon
datang took-toko swalayan, pelangi bertemu bumi di lantai joget club malam, kesantaian melambung
laksana ribuan bintang aneka kemilau; … rumah mewah setengah lusin, terang-benderang penuh lampu
pijar dan pantulan kuning, putih ungu mebel-mebel logam mulia dari lantai bawah, berputar-putar ke atas
lewat tangga lapis permadani buatan Persia. Kerajaan ini bagi para keturunannya, agaknya bakal menjadi
bahan tertawaan yang tak habis-habisnya – artinya kalau di asumsikan bahwa bakal masih ada keturunan,
sebab titik baliknya toh tidak lain dari pada segumpal awan raksasa berbentuk cendawan; tak ubahnya
seperti kawanan babi dari Gadara yang sambil lari-lari kecil dan dorong-dorongan kegirangan kian lama
kian mendekat ke bibir tebing maut, yang menjulang diatas laut.

Demikian kira-kira gambarannya kalau seorang filsuf seniman seperti Malcolm Muggeridge menyindir
kemakmuran dan kemewahan yang merajalela di dunia barat, materialism yang ndasarinya, kecetekannya,
keegoisannya. Kebagaimnaannya saja sudah cukup membuat hati tawar, apalagi kalau dibandingkan
denga ghetto-ghetto orang misi di perkotaan, gubuk-gubuk reot buruh tani, perkampungan-perkampungan
kumuh para nelayan di Negara-negara miskin, maka kemakmuran dunia barat itu menjadi sukar atau
hamir takbisa dimaafkan.

Konras antara kaya danmiskin sekali-kali tidak bersamaan dengan garis pemisah utara-selatan. Sesbab
Negara-negara OPEC adalah kaya, dan siapa bilang kemisinan tidak terdapat di Amerika Utara atau
Eropa? Misalnya di Inggris masih terdapat 6 juta orang yang hidup pada atau dibawah garis kemiskinan,
dan lebih dua kali jumlah itu yang hidup pas-pasan. Artinya, tidak kelaparan tapi kenyang pun tidak.
Itulah sebabnya dalam bulan juni 1982 gereja-geraja di Inggris melaksanakan suatu “aksi menanggung
kemiskinan”.

Yang benar ialah bahwa jurang diantara Kaya dan Miskin bukan saja terdapat di antara bangsa-bangsa,
melainkan juga di tengah sebagian terbesar bangsa-bangsa. Seperti dirumuskan para Uskup Roma
Khatolik Amerika Latin tahun1979 di Puebla: ‘kontras yang kejam antara kekayaan yang bermewah-
mewah dan kemiskinan yang hamper tak masuk akal yang begitu kentaranya, dapat disaksikan di seluruh
kontinen kita ini dan ditambah lagi dengan korupsi yang sering menyusup sampai kedalam lingkungan
pemerintahan dan profesi, menunjukkan betapa luasnya bangsa-bangsa kita di dominasi oleh nafsu
memperkaya diri sendiri”.

Tiga pendekatan terhadap problem kemiskinan

Bagaimana cara orang Kristen harus menghadapi fakta kemiskinan yang pahit dalam dunia masa kini?

Pertama, kita dapat menghadapi problema itu secara Nasional, dengan seperti meninjau data statistik,
akali dan dengan kepala dingin. Memang, dengan itulah kita mulai. Penduduk planet bumi kita jumlahnya
antara 40 dan 50 milyar, 1/5 hidup dalam kesengsaraan. Laporan Bank Dunia 1978 mengatakan bahwa,
sementara selama 25 tahun belakangan ini telah terjadi ‘perubahan-perubahan dan kemajuan tak
disangka-sangka dalam Negara-negara berkembang’, namun kendati catatan yang mengesankan ini, kira-
kira 800 juta orang masih saja terperangkap dalam… kemiskinan total: gizi, buta aksara, penyait,
lingkungan yang kotor, angka kematia bayi yang tinggi, dan harapan yang rendah akan umur panjang,
sehingga sedikitpun tak mendekati definisi kita tentang suatu kehidupan yang layak dan manusiawi.

Kita barangkali akan memaklumi keparahannya kalau kita tinjau keadaannya hanya dari satu sudut saja,
yaitu pengadaan air bersih dan aman untuk minuman. Di dunia barat, air disalurkan lewat pipa-pipa ke
setiap rumah, dan tinggal memutar kerannya saja kalau memerlukannya. Tak seorangpun di dunia barat
menganggap itu kemewahan. Semua orang berpendapat bahwa itu sudah dengan semestinya. Namun 50
% penduduk dunia III tidak memiliki kemudahan itu, dan 75 % dari mereka tidak mempunyai fasilitas
saniter, sehingga penyakit-penyakit akibat air kotor merenggut kira-kira 30.000 jiwa setiap hari, dan
memenuhi ½ dari jumlah tempat tidur rumah sakit di seluruh dunia. Itulah sebabnya PBB menetapkan
tahun 80-an sebagai ‘dekade air’ dan mengharapkan akan mampu membawa air dan sanitasi kepada 2
milliar manusia menjelang tahun 1990.

Sementara itu seperlima penduduk dunia tidak memiliki sarana-sarana yang paling primer untuk bisa
bertahan hidup sedang lebih seperlima lagi penduduk dunia hidup dalam kemewahan yang berlimpah-
limpah dengan melahap kira-kira 4/5 dari pendapatan dunia. Negara-negara makmur ini menyumbang
£200 milyar bagi perkembangan dunia III, suatu jumlah yang benar-benar menertawakan ketimbang
jumlah yang mereka peruntukkan bagi persenjataan yang 21 kali lipat besarnya (kira-kira £ 4.200
milyar). Kesenjangan yang mencolok antara kekayaan dan kemiskinan adalah suatu ketimpangan social
yang tak bisa dan tak boleh berterima bagi hati nurani kristiani.

Kedua,kita dapat menghadapi fenomena kemiskinan secara eosional, dengan angkara murka yang berapi-
api yang ditimbulkan oleh pemandangan, suara dan bau kebutuhan yang di derita manusia. Ketika saya
baru-baru ini singgah di pelabuhan udara Calcutta, matahari sudah terbenam. Seluruh kota itu diselubungi
kabut asab berbau tidak sedap, berasal dari kotoran lembu yang dibakar di atas api-api unggun. Tiba
diluar pelabuhan udara, seorang ibu yang kurus, yang mengendong bayi yang kurus kering, mengulurkan
tangannya yang keriputan memintah sedekah. Seorang laki-aki yang kedua kakinya sudah di amputasi
sampai diatas lutut, menyeret dirinya di atas trotoar dengan kedua belah tangan. Saya diberitahu
kemudian bahwa lebih ¼ juta penduduk yang tak punya rumah terpaksa tidur di atas aspal pada malam
hari, dan siang hariya menjemur selimutnya – sering milik mereka satu-satunya – pada pagar-pagar
kawat.

Pengalaman saya yang paling menususuk perasaan, ialah melihat pria wanita dan anak-anak mengais-
ngais sisa makanan di tempat-tempat pembuangan sampah, tak ubahnya anjing-anjing. Memang
kemiskinn yang amat sangat sungguh merendahkan martabat. Manusia dijabarkan menjadi setingkat
dengan binatang. Kita, orang Kristen patut digusarkan oleh praktek penyembahan berhala yang kita
jumpai di setiap kota orang hindu, sama seperti rasul Paulus digusarkan oleh pemujaan patung dewa-dewa
di Atena. Namun, sama seperti Yesus, tatkala melihat orang banyak yang kelaparan itu, maka kita juga
harus digerakkan oleh belas kasihan, sehingga rela untuk member makan mereka.

Tapi yang harus menimbulkan rasa belas kasihan kita, bukan saja kemiskinan Absolut yang terdapat di
Dunia III, melainkan juga kemiskinan relative (namun tidak kurang sungguhan) yang terdapat di sebagian
tertua dari semua kota barat yang besar, bagian yang kumuh, dipenuhi deretan rumah-rumah reot, dihuni
oleh bangsa sendiri yang tak punya, yang tak pernah disaksikan atau jarang oleh lapisan atas masyarakat.
Itulah yang menjadi bahan pembicaraan pokok David Sheppard, uskup Liverpool, dalam ceramahnya
yang disiarkan dalam rangka ‘Ceramah-ceramah Richard Dimbleby’ pada tahun 1984. Ia menyerukan
kiranya golongan ‘makmur’ orang Inggris mencoba menempatkan dirinya dulu dalam keadaan golongan
‘lain’ orang Inggris, yang tak punya. Ia berbicara dengan penuh perasaan tentang muda-mudi dan problem
pengangguran yang berkepanjangan, tentang perumaan yang diterlantarkan, tentang keterbatasan dan
kekurangserasian kesempatan bersekolah, tentang perasaan terasing dan bahkan dikucilkan. Ia tergugah
hatinya, bakan marah, melihat bagaian akibat kemiskinan orang merasa “jiwanya terbeleggu”, hubungan
antar manusia menjadi ‘tidak waras’, dan bakat-bakat peberian Allah tesia-siakan. Ia lalu menyarankan 4
‘kunci’ yang dapat megawali usaha pembebasan dari kungkungan kemisna itu.

Pendekatan ketiga yang semestinya menstimulasi baik akal maupun emosi secara simultan, ialah mencari
dasar-dasar penanggulangan kemiskinan yang tersurat dalam Alkitab. Bagaimana menurut kehendak
Allah yang dinyatakanNya dalam Alkitab, kita seyogianya harus berpikir tentang kekayaan dan
kemiskinan? Apakah Allah di pihak orang miskin? Apakah kita demikian juga? Apa kata Alkitab? Dan
lagi, kita harus waspada, agar sembari memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, kita dengar-dengaran
kepada firman Allah dan jangan coba-coba memanipulasikannya. Kita tidak punya kebebasan baik untuk
mengelakan tantangannya yang tidak menyenangkan, agar bisa bertahan dalam prasangka-prasangka kita,
maupun untuk tanpa kritik ersepakat ria diam-diam dengan interpretasi terpopuler masa kini.

Mazmur 113 agaknya tempat yang baik untuk memulai penjajakan kita. Dalam mazmur ini hamba-hamba
Yahweh, bakan semua manusia, diajak untuk ‘dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari’,
mahsyurkan namaNya, sebab Ia ‘tinggi mengatasi bangsa-bangsa, kemuliaanNya mengatasi langit’.
Kelanjutan mazmur ini adalah sebagai berikut.

‘siapakah seperti Tuhan, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri
untuk melihat ke langit dan ke bumi? Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan
mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para
bangsawan bangsaya. Ia mendudukan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak,
penuh sukacita’ (ayat 5-9).

Pemazmur tegas mengakui sesuatu yang istimewa – bahkan unik – tentang Yahweh, yang membuatnya
mampu mengajukan pertanyaan retorik, ‘siapakah seperti Tuhan, Allah kita?’ alasannya bukan semata-
mata karena Allah memerintah dari ketinggian, mengatasi semua bangsa dan langit; bukan pula karena
dari tempat kediamanNya yang tinggi itu ia merendakan diri untuk melihat jauh kebawah, ke langit dan
ke bumi; bahkan juga bukan karena di bumi yang jauh itu Ia mengamati betapa dalamnya kesengsaraan
manusia, orang-orang yang di campakan seperti sampah dan diinjak-injak ke dalam debu oleh para
penindasnya. Penyebabnya lebih dari semuanya itu. Adalah karena Ia secara nyata meninggikan orang
yang malang dan orang yang menderita; Ia tinggi; ‘Allah menegakan orang yang hina dari dalam debu
dan… medudukkan dia bersama paara bangsawan’. Allah misalnya menaruh belas kasihan kepada
perempuan mandul (yang kemandulannya dianggap aib) dan membuatnya menjadi ibu anak-anak

Begitulah Tuhan, Allah kita itu. Tidak ada Allah lain seperti Dia. Sebab kesukaanNya yang pertama
bukan berteman dengan orang-orang kaya dan termasyur. Ciri khas Allah ialah kegemaranNya khusus
untu membela orang-orang yang hina dina, melepaskan mereka dari kesengsaraan mereka, dan mengubah
mereka menjadi bnagsawan.

Penegasan ini berulang-ulang diberikan dan diperlihatkan contoh-contohnya dalam Alkitab, biasanya
dengan kosokbalinya yang wajar, bahwa Allah yang meninggikan orang yang hina, merendahkan orang
yang congkak. Inilah intisari puji-pujian Hana, tatkala sesudah bertahun-tahun mendul, ia melahirkan
Samuel, putranya:

Ia menegaka orang yang hina dari dalam debu,


Dan mengangkat orang yang miskin dari dalam lumpur,
Untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan
Dan membuat dia memiliki kursi kehormatan.
(1 Samuel 2:8)

Inilah juga tema nyanyian pujian yang dinyanyikan anak dara Maria tatkala mengetahui bahwa ia (bukan
wanita tersohor, agung atau kaya) telah terpilih menjadi ibu dari Mesias. Allah telah memperhatikan
rendahnya kedukukan Maria, demikian ia katakana; yang mahakuasa telah melakukan perbuatan-
perbuatan yang besar melalui dirinya, dank arena itulah ia bersyukur kepada Allah dan memuji Dia.

Ia memperlihatkan kuasaNya dengan perbuatan tanganNya.


Dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya.
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya
Dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang lapar,
Dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa.
(Lukas 1:51-53).
Dalam mazmur 113, juga dalam pengalaman Hana dan Maria, dilukiskan kontras tajam yang sama,
meskipun dalam kosa kata yang berbeda-beda. Orang yang tinggi hati direndahkan dan orang-orang yang
rendah hati ditinggikan; orang kaya dibuat miskin, orang miskin di buat kaya; orang yang kenyang
disuruh pergi dengan tangan hampa, orang yang lapar dikenyangkan dengan kebaikan-kebaikan; orang-
orang yang berkuasa di turunkan dari takhtanya, sedang orang-orang yang tak berdaya dan orang-orang
yang tertindas di beri kedudukan sebagai orang yang berkuasa. ‘siapakah seperti Tuhan, Allah kita?’ jalan
pikiran dan perbuatanNya lain dari kita. Ia adalah Allah yang menjungkirbalikan. Ia membuat tolak ukur
dan nilai-nilai dunia menjadi jungkir balik.

Yesus sendiri adalah contohnya yang paling akbar. Salah satu epigram yang nampaknya disukaiNYa ialah
bahwa ‘barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan’ (mis. Lukas 18:14). Tapi Ia bukan hanya memaklumatkan prinsip itu, melainkan secara
pribadi memperlihatkannya. Setelah mengosongkan diriNYa sendiri, ia mengambil rupa hamba, dan
kepatuhanNya kepada Allah Bapak bahkan membawaNYa ke kehinaan yang paling dalam, yaitu
digantung di kayu salib. ‘itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya
nama diatas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada
di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’, bagi
kemuliaan Allah, Bapak! (Fil.2:5-11).
Adalah prinsip ini yang menjadi jaminan bahwa nasib manusia bakal menjadi kebaikan dari pada yang
dialaminya, dan dengan demikian satu-satunya prinsip yang dapat memberi pengharapan kepada orang-
orang miskin yang terhina dan tertindas.

Anda mungkin juga menyukai