PEMBAHASAN
Definisi
Etiologi
Hampir setengah dari keseluruhan kasus epilepsi bersifat idiopatik yang
tidak dapat diketemukan adanya suatu lesi organik di otak. Penyebab utama
terjadinya kejang dapat terjadi oleh karena adanya gangguan metabolik seperti
hipoglikemia, hipomagnesemmia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Atau dapat juga oleh karena adanya riwayat trauma serebrovaskular, stroke,
penyakit demielinisasi. Epilepsi juga dapat terjadi karena adanya infeksi virus
pada wanita hamil, seperti sifilis, toksoplasma virus rubella, virus sitomegalo atau
herpes simplek, dapat menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya infeksi pada
susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis. Konsumsi alkohol atau narkoba
oleh wanita hamil dapat merusak otak janin sehingga dapat menyebabkan epilepsi.
Penggunaan konsumsi alkohol secara tiba-tiba pada seorang alkoholik;
penghentian secara tiba-tiba obat tertentu seperti obat anti epilepsi; keracunan
Karbon Monoksida (CO), timah atau air raksa; injeksi heroin atau kokain, dapat
pula menimbulkan epilepsi. 2
Epidemiologi
2
Penilitian epidemiologi tentang insiden dan prevalensi terjadinya
psikopatologi diantara serangan kejang masih sedikit. Namun penilitian yang ada
memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatri di
antara pasine-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa epilepsi.2
Klasifikasi
Kejang tonic klonik, serangan ini merupakan yang paling berat. Sewaktu
terjadi serangan kesadaran hilang dan penderita mengalami kejang-kejang.
Nafasnya terhenti, mulutnya bergetar, dan rahangnya terkatup kuat. Lengan dan
kaki terlentang kaku dan kejang-kejang, serta tangannya mengepal. Kemudian
penderita terjatuh. Mungkin juga penderita merasa sakit, lalu menangis dan
mengerang-erang, kemudian jatuh pingsan, tidak ingat sesuatupun juga. Mukanya
menjadi kelam, lalu jadi pucat. Saat serangan terjadi, penderita dapat kehilangan
kontrol diri, sehingga dapat kencing atau buang air besar yang tak terkendali, atau
menggigit lidahnya.3
3
rekuren yang tampak dan menghilang secara tiba-tiba gejala dapat disertai dengan
riwayat terjatuh atau pingsan. 3
1. Preiktal
Pada preiktal aura pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan,
dan sensai kognitif seprti deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan
seperti mimpi. Keadaan afektif dirasakan rasa takut, panik, depresi, dan elasi.4
2. Iktal
Perilaku singkat, kacau, dan tanpa hambatan menandai kejadian iktal.
Gejala kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode
penyelesaian delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat ditemukan di EEG
dalam 25 sampai 50% dari semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks.
Penggunaan elektroda sementara sphenoidal atau anterior dan kurang tidur EEG
dapat meningkatkan kemungkinan menemukan suatu kelainan EEG. EEG yang
normal Multiple sering diperoleh untuk pasien dengan epilepsi parsial kompleks,
sehingga pada EEG normal tidak dapat digunakan untuk mengecualikan diagnosis
epilepsi parsial kompleks. 4
3. Interiktal
a. Gangguan Kepribadian
Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada pasien dengan
epilepsi adalah gangguan kepribadian, dan ini sangat mungkin terjadi pada pasien
dengan epilepsi lobus temporal. Gambaran yang paling umum adalah perubahan
perilaku seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap relatif jarang terjadi, bahkan
pada mereka dengan kejang parsial kompleks asal lobus temporal. Banyak pasien
4
tidak terpengaruh oleh gangguan kepribadian, yang lainnya menderita berbagai
gangguan yang berbeda mencolok dari sindrom klasik. 4
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam percakapan
pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat, serius, membosankan, bertele-
tele, terlalu penuh dengan rincian yang tidak penting, dan sering mendalam.
Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak dapat menemukan cara sopan dan
sukses untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan berbicara, sering
tercermin dalam tulisan pasien, menghasilkan gejala yang dikenal sebagai
hypergraphia, yang beberapa dokter mempertimbangkan hampir patognomonik
untuk epilepsi parsial kompleks. 4
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh hypersexuality;
penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetisisme dan transvestisme, dan,
paling sering, hyposexuality. Hyposexuality ini ditandai baik oleh kurangnya
minat dalam hal-hal seksual dan dengan gairah seksual berkurang. Beberapa
pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas mungkin gagal
untuk mencapai tingkat normal minat seksual setelah pubertas, meskipun
karakteristik ini mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset
epilepsi parsial kompleks setelah pubertas, perubahan minat seksual mungkin
mengganggu dan mengkhawatirkan. 4
b. Gejala psikotik
Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-seperti
episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, terutama mereka yang
berasal lobus temporal. Diperkirakan 10 persen dari semua pasien dengan epilepsi
parsial kompleks memiliki gejala psikotik. Faktor risiko termasuk gejala jenis
kelamin wanita, kidal, timbulnya kejang selama masa pubertas, dan lesi sisi kiri. 4
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara klasik,
gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi untuk waktu yang
lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului oleh perkembangan perubahan
kepribadian terkait dengan aktivitas otak epilepsi. Gejala yang paling karakteristik
dari psikosis adalah halusinasi dan delusi paranoid. Pasien biasanya tetap hangat
dan tepat dalam mempengaruhi, berbeda dengan kelainan mempengaruhi sering
terlihat pada pasien dengan skizofrenia. Gejala-gejala gangguan berpikir pada
pasien dengan epilepsi psikotik paling sering yang melibatkan konseptualisasi dan
sifat terperinci, bukan gejala skizofrenia klasik memblokir dan kelonggaran. 4
5
c. Gejala Gangguan suasana hati
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang
sering pada epilepsi daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala gangguan
mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul paling sering ketika
fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari belahan otak dominan.
Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh peningkatan kejadian
percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. 4
Patofsiologi
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal
ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi
dikenal beberapa neurotransmiter seperti GABA yang dikenal sebagai inhibitorik,
glutamat (eksitatorik), serotonin, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai
yang bertanggung jawab terhadap memori dan proses belajar. Timbulnya serangan
kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng
merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi,
yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Sedang GABA menimbulkan
hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan eksitabilitas dan menekan
timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang mengganggu metabolisme otak seperti
penyakit metabolik, racun, beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan
pengaruh yang sama. 5
Penatalaksanaan
6
Obat-obat antiepilepsi lebih dikenal sebagai obat antikonvuksan. Walupun
memiliki efek anti kejang juga diduga memiliki aktivitas sebagai psikotropik.
Carabamazepin dan valproat memiliki kemampuan antimanik dan mood stabilizer.
Mekanisme kerja obat antikonvulsan terbagi menjadi 2 mekanisme penting, yaitu
mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epilepton di dalam
fokus epilepsi dan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron yang
normal akibat pegaruh fokus epilepsi. Mekanisme kerja lain sampai saat ini belum
banyak diketauhi secara jelasnya hanya dikatakan bahwa berbagai obat
antikonvulsan diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak
terutama mempengarui inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja
sebagai antikonvulsan.5
Prognosis
7
Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis baik bila kejang
dapat dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak mengalami
gangguan psikiatri dan hanya terjadi bila megalami kejang yang tidak terkontrol
dalan jangka panjang. Untuk masalah perilaku, obat anti konvulsan atau operasi
mungkin dapat mengatasi beberapa gejala seperti agresi, tetapi nungkin tidak
dapat mencegah munculnya gejala lain seperti psikosis dan perilaku suicidal. 2
Daftar Pustaka
8
2. Kusumarawdhani AAAA. Gangguan mental organik lainnya. Buku ajar psikiatri.
Edisi 2. Jakarta: FKUI; 2014.h. 110-115.
3. Ropper Allan H.,MD, Brown Robert H., MD. Epilepsy and Other Seizure
Disorders: Adam’s and Victor’s Prinsiples of Neurology. 8 th edition . New York:
The McGraw-Hill Companies; 2005.h. 271-313.
4. Kaplan & sadock. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2010.h. 75.
5. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta: EGC; 2009.h. 74-5.