Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina

Mata memiliki diameter rata-rata 24 mm dan berat sekitar 8 g. Dinding


mata memiliki tiga lapisan berbeda, yang disebut tunika: (1) lapisan serat luar, (2)
lapisan pembuluh darah menengah (uvea), dan (3) lapisan bagian dalam yang
dalam (retina). Reseptor visual, atau fotoreseptor, terletak di lapisan dalam
(Gambar 2.1).1

Gambar 2.1 Anatomi mata 1

Lapisan dalam, atau retina, adalah lapisan paling dalam mata. Ini terdiri
dari lapisan luar yang tipis yang disebut bagian berpigmen, dan lapisan dalam
yang tebal disebut bagian saraf (Gambar 2.1). Bagian berpigmen dari retina
menyerap cahaya yang melewati bagian saraf, mencegah cahaya memantul
kembali melalui bagian saraf dan menghasilkan "gema" visual. Sel-sel pigmen
juga memiliki interaksi biokimia yang penting dengan reseptor cahaya retina,
yang terletak di bagian saraf retina. Selain reseptor cahaya, bagian saraf retina
mengandung sel-sel pendukung dan neuron yang melakukan pemrosesan awal
dan integrasi informasi visual.

1
Gambar 2.2 Struktur Retina; (a) Bagian posterior bola mata, (b) sel pada lapisan neural
retina, (c) fotomikrograf dari retina1

Pada gambar 2.2 (a), bagian saraf retina mengandung beberapa lapisan
sel. Lapisan terluar, paling dekat dengan bagian berpigmen retina, mengandung
fotoreseptor, sel-sel yang mendeteksi cahaya.1
Mata memiliki dua jenis utama fotoreseptor: batang dan kerucut. Batang
tidak membedakan warna cahaya. Sangat sensitif terhadap cahaya,
memungkinkan kita untuk melihat di ruangan yang remang-remang, saat senja,
dan dalam cahaya bulan pucat. Kerucut memberi kita penglihatan warna.
Manusia memiliki tiga jenis kerucut, dan masing-masing jenis mengandung
pigmen visual yang berbeda: merah, hijau, dan biru. Seseorang yang melihat
ketiga warna primer ini memiliki penglihatan warna normal dan karenanya
disebut sebagai trichromat. Stimulasi berbagai kombinasi pigmen tersebut

2
memungkinkan kita untuk merasakan warna yang berbeda. Kerucut memberi kita
gambar yang lebih tajam, lebih jelas daripada batang, tetapi kerucut
membutuhkan cahaya yang lebih intens.2 Jenis ketiga fotoreseptor adalah sel
ganglion retina fotosensitif intrinsik (SGRFI). Fotopigmen dalam ipRGC adalah
melanopsin. Sel-sel ini diketahui merespons berbagai tingkat kecerahan dan
memengaruhi ritme sirkadian 24 jam tubuh (jam biologis).1
Sel batang dan kerucut tidak terdistribusi secara merata di seluruh retina.
Sekitar 125 juta batang membentuk pita lebar di sekitar pinggiran retina. Saat
bergerak menjauh dari pinggiran, menuju pusat retina, kepadatan batang secara
bertahap berkurang. Sebaliknya, sebagian besar dari sekitar 6 juta kerucut
terkonsentrasi di daerah di mana gambar visual tiba setelah melewati kornea
dan lensa. Wilayah ini, yang dikenal sebagai makula, tidak memiliki batang.
Konsentrasi kerucut yang paling tinggi terjadi di pusat makula, daerah yang
disebut fovea sentral. Biasanya disebut sebagai fovea (Gambar 2.2(c)). Fovea
adalah tempat penglihatan paling tajam. Ketika seseorang melihat langsung pada
suatu objek, mata akan menempatkan gambarnya di fovea, pusat penglihatan
warna.2
Sel batang dan kerucut bersinap pada 6 juta neuron yang disebut sel
bipolar (Gambar 2.2(a)). Sel-sel ini selanjutnya bersinaps pada lapisan neuron
yang disebut sel ganglion, yang terletak berdekatan dengan rongga posterior.
Terdapat sel penghubung yang secara horizontal memanjang melintasi bagian
saraf retina pada tingkat sinapsis antara fotoreseptor dan sel bipolar. Selain itu
juga terdapat lapisan sel amakrin. Sel horizontal dan sel amakrin dapat
memfasilitasi atau menghambat komunikasi antara fotoreseptor dan sel ganglion,
mengubah sensitivitas retina. Sel- sel ini memainkan peran penting dalam
penyesuaian mata terhadap lingkungan yang redup atau terang.1

3
2.2 Fisiologi Retina

Transduksi energi cahaya menjadi potensial reseptor terjadi di segmen


luar dari kedua sel batang dan kerucut. Fotopigmen adalah protein integral
dalam membran plasma pada segmen luar. Dalam membran plasma sel kerucut
dilipat bolak-balik dan di sel batang dilepas dari membran plasma untuk
membentuk cakram. Bagian luar masing-masing batang berisi tumpukan sekitar
1000 cakram, ditumpuk seperti koin di dalam pembungkus.3

Gambar 2.3 Struktur dari sel kerucut dan batang3

Segmen luar fotoreseptor memperbarui dengan kecepatan yang sangat


cepat. Dalam sel batang, satu atau tiga cakram baru ditambahkan ke dasar
segmen luar setiap jam sementara cakram lama mengelupas di ujung dan
difagositosis oleh sel-sel epitel pigmen. Bagian dalam berisi inti sel, kompleks
Golgi, dan banyak mitokondria. Pada ujung proksimalnya, fotoreseptor
berkembang menjadi terminal sinaptis seperti bola yang diisi dengan vesikel
sinaptik.3
Langkah pertama dalam transduksi visual adalah penyerapan cahaya oleh
pigmen cahaya, protein berwarna yang mengalami perubahan struktural ketika

4
menyerap cahaya, di segmen luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya memulai
peristiwa yang mengarah pada produksi potensi reseptor. Jenis tunggal
fotopigmen dalam sel batang adalah rhodopsin.Tiga pigmen kerucut yang
berbeda ada di retina, satu di masing-masing dari tiga jenis kerucut. Penglihatan
warna dihasilkan dari berbagai warna cahaya yang secara selektif diaktifkan pada
pigmen kerucut.3
Retina adalah bagian penyerap cahaya dari semua fotopigmen visual. Di
retina manusia, ada empat opsins berbeda, tiga di kerucut dan satu di batang
(rhodopsin). Variasi kecil dalam urutan asam amino dari opsin yang berbeda
memungkinkan batang dan kerucut untuk menyerap warna (panjang gelombang)
yang berbeda dari cahaya yang masuk.3

Gambar 2.4 Siklus bleaching dan regenerasi fotopigmen3

Fotopigmen merespons cahaya dalam proses siklus berikut ini (Gambar 2.4 ):3

 Dalam kegelapan, retina memiliki bentuk bengkok, yang disebut cis- retinal, yang
pas dengan bagian fotopigmen opsin. Ketika cis-retinal menyerap foton cahaya,
itu meluruskan ke bentuk yang disebut trans- retinal. Konversi cis-to-trans ini
disebut isomerisasi dan merupakan langkah pertama dalam transduksi visual.

5
Setelah isomerisasi retina, beberapa zat antara kimia yang tidak stabil terbentuk
dan menghilang. Perubahan kimia ini menyebabkan produksi potensial reseptor.
 Dalam sekitar satu menit, trans-retinal sepenuhnya terpisah dari opsin. Produk
akhir terlihat tidak berwarna, jadi bagian dari siklus ini disebut pemutihan
fotopigmentasi.
 Enzim yang disebut isomerase retina mengubah trans-retina kembali menjadi cis-
retinal.

 Cis-retinal kemudian dapat berikatan dengan opsin, membentuk

photopigment fungsional. Bagian dari siklus ini disebut regenerasi.

Lapisan berpigmen dari retina yang berdekatan dengan fotoreseptor


menyimpan sejumlah besar vitamin A dan berkontribusi pada proses regenerasi
dalam batang. Tingkat regenerasi rhodopsin berkurang secara drastis jika retina
terlepas dari lapisan berpigmen. Fotopigmen kerucut regenerasi jauh lebih cepat
daripada rhodopsin dalam batang dan kurang tergantung pada lapisan
berpigmen. Setelah pemutihan total, regenerasi setengah dari rhodopsin
membutuhkan waktu 5 menit; setengah dari foto kerucut regenerasi hanya
dalam 90 detik. Regenerasi penuh rhodopsin yang diputihkan membutuhkan
waktu 30 hingga 40 menit.3

Gambar 2.5 Peran dari sel batang (a)pada ruangan gelap (b) pada ruang terang6

6
Penyerapan cahaya dan isomerisasi retina memulai perubahan kimia
dalam segmen luar fotoreseptor yang mengarah pada produksi potensi reseptor.
Dalam kegelapan, ion-ion natrium (Na) mengalir ke segmen luar fotoreseptor
melalui saluran Na yang diberi ligan (Gambar 2.5). Ligan yang menahan saluran ini
terbuka adalah siklik guanosin monofosfat (GMP siklik) atau cGMP. Masuknya
Na, disebut "arus gelap," sebagian mendepolarisasi fotoreseptor. Akibatnya,
dalam kegelapan potensi membran fotoreseptor sekitar 30 mV. Ini jauh lebih
dekat ke nol daripada potensial membran istirahat khas neuron sebesar 70 mV.
Depolarisasi parsial selama kegelapan memicu pelepasan neurotransmiter terus
menerus di terminal sinaptik. Neurotransmiter dalam batang, dan mungkin
dalam kerucut, adalah asam amino glutamat (asam glutamat). Pada sinapsis
antara batang dan beberapa sel bipolar, glutamat adalah neurotransmiter
penghambat: Glutamat memicu potensial penghambat postinaptik yang
menghambat hiperpolarisasi sel- sel bipolar dan mencegahnya mentransmisikan
sinyal ke sel-sel ganglion.3
Ketika cahaya menyerang retina dan cis-retinal mengalami isomerisasi,
enzim diaktifkan yang memecah cGMP. Akibatnya, beberapa saluran Na-cGMP
tertutup, aliran inflow menurun, dan potensi membran menjadi lebih negatif,
mendekati 70 mV (Gambar 2.5 b). Urutan peristiwa ini menghasilkan potensi
reseptor hiperpolarisasi yang mengurangi pelepasan glutamat. Lampu redup
menyebabkan potensi reseptor kecil dan singkat yang mematikan sebagian
pelepasan glutamat; lampu yang terang menimbulkan potensi reseptor yang
lebih besar dan lebih lama yang lebih mematikan pelepasan neurotransmiter.
Dengan demikian, cahaya menggairahkan sel-sel bipolar yang sinapsis dengan
batang dengan mematikan pelepasan neurotransmitter penghambat. Sel-sel
bipolar tereksitasi kemudian merangsang sel-sel ganglion untuk membentuk
potensi aksi di akson mereka.3

7
2.3 Retinopati Diabetik

2.3.1 Definisi

Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular pada


diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan 2 yang terjadi akibat proses hiperglikemia
dalam jangka waktu yang lama. Retinopati diabetik diklasifikasikan atas non
proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic retinopathy
(PDR). Non proliferative diabetic retinopathy merupakan tahap awal dari
retinopati diabetik yang terdiri dari mild, moderate, severe dan very severe
NPDR. Proliferative diabetic retinopathy yang merupakan tahap lanjut dari
retinopati diabetik terdiri atas early, high risk dan advanced PDR.4

2.3.2 Epidemiologi

Diabetes mellitus (DM) mempengaruhi sekitar 400 juta orang dewasa di


seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2030
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) WHO, laporan
global tentang diabetes.5 Berdasarkan riskesdas 2018, prevalensi diabetes
melitus pada usia ≥ 15 tahun meningkat dari pada tahun 2018 dibandingkan
dengan 2013. Di Sumatera Barat penigkatan prevalensi diabetes juga terjadi
(Gambar 2.6).6

8
Gambar 2.6 Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk
umur ≥ 15 tahun menurut provinsi, 2013-20186

Retinopati diabetik adalah penyebab utama hilangnya penglihatan pada


orang dewasa berusia 20-74 tahun. Pada tahun 2010, dari sekitar 285 juta orang
di seluruh dunia dengan diabetes, lebih dari sepertiga memiliki tanda-tanda
retinopati diabetik, dan sepertiga dari mereka menderita vision-threatening
diabetic retinopathy (VTDR), yang didefinisikan sebagai retinopati deabitik non-
proliferasi berat atau retinopati diabetik proliferatif ( RDP).7
Sebuah meta-analisis yang dilakukan di seluruh dunia dari 1980 hingga
2008 yang memperkirakan prevalensi umum dari retinopati diabetik dan RDP di
antara pasien dengan diabetes masing-masing 35,4 dan 7,5%.7 Prevalensi
retinopati diabetik dan PDR lebih tinggi pada mereka yang menderita diabetes
tipe 1, dibandingkan dengan mereka yang menderita diabetes tipe 2 (77,3 vs
25,2% untuk setiap retinopati diabetik , 32,4 vs 3,0% untuk PDR). Sebagian besar
negara Asia melaporkan prevalensi retinopati diabetik antara 12,1-23,0%, dan
prevalensi VTDR antara 4,3-4,6%.8
Di RSCM, kompilkasi diabetes melitus berupa retinopati diabetik mencapai
33,4% dari penderita diabetes melitus pada tahun 2011.9 Pada tahun 2017, kasus
retinopati diabetik non poliperatif berjumlah 305 kasus dan retinopati diabetik
poliperatif berjumlah 145 kasus yang ditemukan di poliklinik mata RSUP M.Djamil
Padang.

9
2.3.3 Etiologi

Perubahan abnormalitas sebagian besar meliputi perubahan anatomis,


hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya
retinopati diabetik antara lain:4
 Perubahan anatomis
o Capilaropathy
a) Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit
b) Proliferasi sel endotel
c) Penebalam membran basalis
o Sumbatan mikrovaskuuler
a) Arteriovenous shunts
o Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
a) Neovaskularisasi
 Perubahan hematologi:
o Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi eritrosit yang
meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas darah.
o Abnormalitas lipid serum
o Fibrinolisis yang tidak sempurna
o Abnormalitas dari sekresi growth hormone
 Perubahan biokimia
o Jalur poliol
o Glikasi nonenzimatik
o Protein kinase C

2.3.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Retina merupakan bagian dari sistem saraf pusat, dengan karakter blood- retinal
barrier (BRB) yang menyerupai karakter blood-brain barrier (BBB). Retina terdiri
atas 10 lapisan berbeda. Melalui lapisan-lapisan retina, pembuluh darah
memberi nutrisi dan oksigen, dan dapat dibagi menjadi lapisan mikrovaskuler
superfisial (arteriol dan venul), lapisan kapiler medial dan lapisan kapiler dalam.10

10
Mekanisme terjadinya penyakit mikrovaskuler diabetes masih belum jelas,
namun keadaan hiperglikemia jangka lama dapat mengubah fisiologi dan
biokimia, sehingga terjadi kerusakan endotelial. Hiperglikemi terlalu lama
menyebabkan aktivasi sejumlah jalur biokimia yang berkontribusi pada patologi
retinopati diabetik. Jalur utama yang terlibat dalam patogenesis retinopati
diabetik termasuk peningkatan fluks glukosa melalui jalur poliol dan heksosamin,
aktivasi protein kinase C (PKC), terlalu aktifnya jalur plasma kallikrein-kinin (PKK)
dan akumulasi produk akhir glikasi lanjutan. Stres oksidatif terjadi sebagai akibat
dari kelebihan produksi superoksida mitokondria yang diinduksi hiperglikemia.
Stess oksidatif ini yang menyebakan gangguan neuroglial, hiperpermiabel
vaskular, dan inflamasi pada retina.11

 Polyol Pathway:
Aldose reductase mereduksi glukosa menjadi sorbitol dengan kofaktor
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Kemudian sorbitol
diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol dehydroginase (SDH).7 Sorbitol bersifat
hidrofilik dan tidak dapat berdifusi ke dalam membran sel, sehingga terjadi
akumulasi yang menyebabkan kerusakan osmotik endotel pembuluh darah
retina, kehilangan perisit, dan penebalan membran basement.7 Fruktosa berikatan
dengan fosfat menjadi fructose-3-phosphate dan kemudian dipecah menjadi 3-
deoxyglucosone, yang nantinya dibentuk menjadi advanced glycation end
products (AGEs).12

 Advanced glycation end products (AGEs):


AGE merupakan protein atau lemak yang dihasilkan dari reaksi glikasi non-
enzimatik dan oksidasi setelah terpapar gula aldose.12 Produk awal reaksi non-
enzimatik adalah schiff base, yang kemudian spontan berubah menjadi Amadori
product. Proses glikasi protein dan lemak menyebabkan perubahan molekuler
yang menghasilkan AGE. AGE ditemukan di pembuluh darah retina dengan kadar
serum berkorelasi dengan derajat keparahan retinopati. AGE dapat berikatan
dengan reseptor permukaan sel seperti RAGE, galectin-3, CD36, dan reseptor

11
makrofag.13 AGE memodifikasi hormon, sitokin, dan matriks ekstraseluler,
sehingga terjadi kerusakan vaskuler. Selain itu, AGE juga menghambat sintesis
DNA, meningkatkan mRNA VEGF, meningkatkan NF-kB di endotelium vaskuler,
dan memicu apoptosis perisit retina.10

 Aktivasi Protein Kinase C (Pkc) Pathway:


PKC merupakan serine kinase yang berperan dalam transduksi hormonal,
neuronal, dan stimulus growth factor. Keadaan hiperglikemia meningkatkan
sintesis diacylglycerol (DAG), yang merupakan aktivator PKC. PKC β1/2 berperan
penting dalam proses terjadinya retinopati diabetes.14 Aktivasi PKC berperan
dalam kejadian komplikasi diabetes, seperti: perubahan aliran darah, mengatur
sintesis protein matriks ekstraseluler, permeabilitas pembuluh darah,
angiogenesis, sel pertumbuhan, dan enzymatic activity alteration (MAPK). Selain
itu, vascular endothelial growth factor (VEGF) di jaringan retina juga ikut
meningkat, memicu terjadinya edema makula dan retinopati proliferasi.13

 Faktor Genetik:
Gen aldo-keto reductase family 1 member B1 (AKR1B1) berkaitan dengan
komplikasi mikrovaskuler termasuk retinopati.10

 Inflamasi:
Hiperglikemia merupakan keadaan proinflamasi, meningkatkan sintesis nitrit
oksida (iNOS), leukotrien, dan cyclooxigenase-2 (COX-2).10 Respons inflamasi
memperburuk proses inflamasi pada pathway lainnya melalui sitokin, adhesi
molekul, sinyal VEGF, reseptor AGE, dan perubahan regulasi nitric oxide.
Beberapa obat anti-inflamasi seperti intravitreal triamcinolone acetonide (IVTA)
dan obat anti-inflamasi nonsteroid dilaporkan dapat menurunkan aktivasi VEGF,
menormalisasi permeabilitas endotel, menurunkan apoptosis dan leukostasis,
dan meningkatkan tajam penglihatan. Anti- TNF α dalam proses penelitian fase III
untuk menurunkan ketebalan makula.14

12
 Stres Oksidasi:

Salah satu faktor penyebab retinopati diabetes adalah ketidakseimbangan antara


pembentukan dan eliminasi reactive oxygen species (ROS)(Gambar 2.7). Pada
fisiologi normal, ROS membantu tubuh untuk merusak mikroorganisme asing
yang dapat merusak sel. Akan tetapi, kadar ROS tinggi dapat merusak sel melaui
peroksidase lipid, modifikasi DNA, destruksi protein, dan kerusakan
mitokondria.12 ROS mengaktifkan poly-(ADP-ribose)-polymerase (PARP).
PARPmenghambat glyceraldehyde phosphate dehydrogenase (GAPDH), sehingga
terjadi akumulasi metabolit glikolitik. Metabolit ini kemudian mengaktifkan AGE,
PKC, polyol, dan hexosamine pathway, sehingga memperburuk keadaan
retinopati.14,15

Gambar 2.7 Skema patogenesis retinopati diabetik11

13
Retinopati diabetik muncul melalui interaksi yang kompleks antara kerusakan
neuroglial dan vaskular yang dihasilkan dari stres metabolik yang diinduksi
hiperglikemia. Dari perspektif mikrovaskular, hipoperfusi pada awal penyakit
karena hilangnya sel-sel penyusun endotelium akhirnya mengarah pada
pertumbuhan kompensasi pembuluh darah baru yang rapuh dan bocor.
Kompensasi integritas barier darah retina menyebabkan ekstravasasi cairan dan
mediator inflamasi, menciptakan edema yang mengancam penglihatan dan
memperburuk kondisi inflamasi. 16

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of anatomy & physiology.
Ed. 9. San Francisco : Pearson ;2012 .p. 555-74.
2. Marieb EN, Joehn K. Human anatomy & physio logi. Ed. 9. USA: Pearson;2013.
p. 545-65.
3. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy & physiologi. Ed. 14. USA :
Wiley; 2014. p. 580-94.
4. American Academy of Ophthalmology Retina/Vitreous Panel. Preferred
Pratice Pattern® Guidelines Diabetic Retinopathy. San Francisco, CA:
American Academy of Ophthalmology; 2016. Available at www.aao.org/ppp
(diakses tanggal 7 Desember 2019).
5. Rowley WR, Bezold C, Arikan Y, Byrne E, Krohe S. Diabetes 2030: insights
from yesterday, today, and future trends. Population Health Management.
2017; 20: 6–12.
6. Kementerian kesehatan RI. Hasil utama riskesdas. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan;2018.
7. Hendrik A M, Gibson MV, Kulshreshtha A. Diabetic retinopathy. Prim Care
Clin Office Pract. 2015; 42(3) 451–464
8. Lee R, Wong TY, Sabanayagam C. Epidemiology of diabetic retinopathy,
diabetic macular edema and related vision loss. Lee et al. Eye and
Vision.2015;2:17.
9. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin. Situasi dan analisi diabetes. Jakarta :
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014.
10. Eshaq RS, Aldalati AMZ, Alexander JS, Harris NR. Diabetic retinopathy:
Breaking the barrier. Pathophysiology. 2017;24(4):229-41.
11. Stitt AW, Curtis TM, Chen M, Medina RJ, McKay GJ, Jenkins A, et al. The
progress in understanding and treatment of diabetic retinopathy. Prog Retin
Eye Res. 2016; 51: 156–86.
12. Elvira, Suryawijaya EE. Retinopati Diabetes. CDK-274.2019;46(3):220-4.
13. Cen S, Hsu Y, Lin Y, Huang YC, Chen CJ, Lin WD, et al. Current concepts

15
regarding developmental mechanisms in diabetic retinopathy in Taiwan.
Biomedicine. 2016; 6:1-8.
14. Wang W, Lo ACY. Diabetic retinopathy: Pathophysiology and Treatments. Int.
J. Mol. Sci. 2018;19 (1816).
15. Ahsan H. Diabetic retinopathy-biomolecules and multiple pathophysiology.
Diab Met Syndr: Clin Res Rev: 2014.
16. Lechner J, O’Leary OE, Stitt AW. The pathology associated with diabetic
retinopathy. Vision Research. 2017; 139: 7–14.

16

Anda mungkin juga menyukai