PEREKONOMIAN INDONESIA
“Kebijaksanaan Fiskal”
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
PEMBAHASAN
1. Penerimaan dari perpajakan (baik pajak langsung maupun tidak langsung, baik di dalam
negeri maupun pajak dari perdagangan internasional), dan
2. Penerimaan bukan pajak (PNBP), semua penerimaan negara yang bukan pajak seperti
halnya uang sekolah (SPP), penerimaan dari penjualan bibit oleh departemen yang
membuat pembibitan untuk rakyat, aset milik pemerintah yang dijual kepada rakyat
seperti misalnya rumah dinas, mobil dinas, dan sebagainya. Anggaran untuk dua
komponen ini untuk 2002-2007 (dalam miliar rupiah) adalah seperti pada Tabel 9.5.
Tabel 9.5: Anggaran Penerimaan Dari Pajak dan Bukan Pajak, 2002-2007
Dari Pajak Dari Bukan Pajak Jumlah
Tahun
Miliar Rp Proporsi Miliar Rp Proporsi Miliar Rp
2002 210.088 0,7037 88.44 0,2963 298.528
2003 242.048 0,7099 98.88 0,2901 340.929
2004 272.175 0,7790 77.125 0,2210 349.300
2005 351.974 0,6608 180.697 0,3392 532.671
2006 425.053 0,6491 229.829 0,3509 654.882
2007 492.011 0,7128 198.254 0,2872 690.265
Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007
Dari angka-angka dalam tabel 9.5 ternyata bahwa baik anggaran penerimaan negara dari
perpajakan maupun bukan pajak telah mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat dalam kurun
waktu enam tahun dari 2002 sampai 2007, yakni untuk penerimaan negara dari perpajakan telah
menjadi 2,34 kali dari jumlah tahun 2002, sedangkan dari sumber bukan pajak telah menjadi
2,24 dari jumlah tahun 2002. Ini berarti usaha-usaha intensifikasi dan ekstensifikasi penagihan
pajak dan bukan pajak telah membuahkan hasil, meskipun tidak tertutup kemungkinan perbaikan
di masa akan datang.
Dari sudut jumlah penerimaan pajak telah terjadi kenaikan yang terus menerus dari tahun
2002 sejumlah Rp210.088 miliar menjadi Rp492.001 miliar pada tahun 2007, sedangkan angka-
angka untuk bukan pajak juga terus mengalami peningkatan dari Rp88.440 miliar pada tahun
2002 menjadi Rp198.254 miliar pada tahun 2007. Perbandingan di antara keduanya adalah
sekitar dua pertiga untuk pajak dan sisanya sepertiga dari sumber bukan pajak.
Selanjutnya penerimaan negara dari pajak dibedakan menjadi:
1. Pajak Dalam Negeri, yang terdiri dari komponen: Pajak Penghasilan (Pph) dari Migas
dan Nonmigas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Cukai, dan Pajak Lainnya, dan
2. Pajak dari perdagangan internasional, pajak impor dan pungutan administrasi ekspor.
2
Untuk periode 2002 sampai dengan 2007 anggaran penerimaan pemerintahdari pajak dalam
negeri dan pajak perdagangan internasional ditunjukkan oleh Tabel 9.6, di mana ternyata
bahwa lebih dari sembulan puluh lima persen merupakan pajak dari dalam negeri dan sisanya
kurang dari lima persen berasal dari pajak perdagangan internasional. Anggaran Pendapatan
dari Perpajakan dalam Negeri untuk 2002-2007 ditunjukkan pada Tabel 9.7. di mana sekitar
50 persen dari pajak dalam negei datang dari pajak penghasilan perorangan dan perusahaan,
dari jumlah mana sebagian besar berasal dari pajak atas migas.
3
Sedangkan pajak dari perdagangan internasional adalah sebagai berikut di mana sebagian
besar karena bea masuk untuk impor, sedangkan pajak ekspornya hanyalah sekedar bea
administrasi ekspor seperti terlihat pada Tabel 9.8 berikut.
Komponen penerimaan negara dari bukan pajak beserta jumlah (dalam miliar rupiah) dapat
dilihat pada Tabel 9.9 di bawah ini. Dari tabel tersebut kelihatan bahwa komponen
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang paling besar adalah dari sumber daya alam, di mana
minyak bumi mempunyai pangsa lebih dari 60 persen, kemudian diikuti oleh gas alam sekitar
20 persen dari total sumbangan sumber daya alam. Komponen lain dari penerimaan bukan
pajak, selain dari penerimaan dari SDA, adalah bagian laba BUMN, surplus Bank Indonesia,
dan PNBP lainnya (lihat tabel).
Tabel 9.9: ANggaran Pendapatan dari Bukan Pajak (Rp miliar), 2002-2007
2002 2003 2004 2005 2006 2007
Penerimaan Bukan Pajak 88.440 98.880 77.125 180.697 229.829 198.254
−Penerimaan dari SDA 64.755 67.739 47.241 144.361 165.695 115.053
*Minyak Bumi 47.686 48.871 28.248 102.196 122.964 78.235
*Gas Alam 12.325 12.631 15.754 36.364 36.825 29.484
*SDA lainnya 4.744 6.238 3.238 5.801 5.906 7.334
−Bagian laba BUMN 9.760 12.833 11.454 12.000 20.800 21.800
−Surplus Bank Indonesia − − − − − 13.669
−PNBP lainnya 13.925 18.308 18.430 24.336 43.334 47.731
Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007
4
anggaran belanjanya lebih dari dua kali lipat dari sebesar Rp322 triliun pada tahun 2002 menjadi
lebih dari Rp752 triliun pada tahun 2007. Kelipatan ini juga berlaku baik untuk belanja
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Rincian Anggaran Belanja Rutin Pemerintah Pusat ditunjukkan pada Tabel 9.12 berikut. Hal
perlu mendapat perhatian di sini adalaha anggaran rutin untuk pembayaran bunga hutang dalam
dan luar negeri. Jumlah pembayaran bunga hutang ini sekitar 90 triliun rupiah dari anggaran
rutin sejumlah 186 triliun rupiah pada tahun 2002, mengalami penurunan untuk tiga tahun
beturut-turut (2003, 2004, 2005) menjadi sekitar 60an triliun rupiah dari anggaran rutin 2005-P
sekitar 326 triliun untuk kemudian meningkat ke level semula untuk tahun 2007-P, menjadi lebih
dari 83 triliun rupiah. Terjadi perubahan pembayaran bunga hutang dari untuk hutang luar negeri
(makin menurun) diganti dengan untuk hutang dalam negeri (makin meningkat).
5
Komponen lain yang perlu mendapat perhatian dalam anggaran rutin pemerintah pusat
adalah untuk pembayaran subsidi (BBM dan NonBBM) yang selalu mengalami peningkatan dari
sekitar 44 triliun rupiah pada anggaran 2002 menjadi sekitar 120 triliun rupiah untuk anggaran
205-P dan terus berada di atas 100 triliun sampai 2007-P. Anggaran untuk pembayaran bunga
hutang dan untuk subsidi menelan sebagaian besar anggaran rutin. Katakanlah untuk anggaran
2002, anggaran untuk dua komponen ini lebih dari 130 triliun rupiah dari anggaran rutin yang
jumlahnya hanya 186 triliun rupiah (sekitar 65 persen), dan untuk anggaran 2005-P jumlah ini
mendekati 190 triliun rupiah dari anggaran rutin sebesar 326 triliun rupiah (sekitar 65 persen).
Jumlah ini berada jauh di atas anggaran untuk pembayarannn gaji pegawai, yang untuk anggaran
2005-P hanya berjumlah 61 triliun, dan untuk anggaran 2007-P berjumlah 98 triliun.
6
Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007
Anggaran belanja negara untuk pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari dana perimbangan
dan dana otonomi khusus (+penyeimbang). Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana
alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi
Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada
provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan pemerintahan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana Alokasi
Umum (DAU) adalah dana yang di alokasikan pada setiap daerah Otonom di Indonesia sebagai
dana pembangunan. Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai
pelaksaan otonomi khusus suatu daerah. Contohnya : Aceh, dan Papua. Anggaran untuk
pembiayaan pemerintah daerah untuk 2002 - 2007-P secara rinci ditunjukkan pada Tabel 9.14.
7
2.3 Kebijakan Perpajakan dan Pengeluaran Pemerintah Sebagai Bagian dari Kebijakan
Fiskal
Sebagaimana kita ketahui bahwa anggaran belanja pemerintah (dan anggaran untuk lembaga
sosial) berbeda dengan anggaran belanja rumah tangga pribadi. Kalau dalam anggaran untuk
rumah tangga pribadi pertama-tama ditentukan penerimaan rumah tangga tersebut sebagai dasar
untuk menentukan anggaran pengeluarannya, maka keadaan sebaliknya berlaku untuk anggaran
rumah tangga pemerintah dan lembaga sosial, dimana pertama-tama ditentukan jumlah
pengeluaran yang diperlukan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar dan dari mana saja
beban belanja tersebut bersumber. Dari sejak awal, katakanlah dari zaman raja-aja dahulu,
setelah menentukan (kalau dibuat anggaran) jumlah pengeluaran pemerintah, sumber pertama
yang terbayang adalah dari pajak. hanya saja pemerintahan modern, baru terpikirkan sumber
dana lain, seperti dari mencetak uang, dari pinjaman dalam negeri, dari pinjaman luar negeri, dan
sebagainya. Dalam tulisan ini, sebagaimana biasa dijumpai dalam literatur ekonomi makro.
Diumpamakan bahwa dana yang bersumber dari pajak cukup, dan hanya cukup, tidak lebih dan
tidak kurang, untuk beban pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain diumpamakan terjadi
anggaran belanja seimbang. Baik pengeluaran pemerintah maupun pajak, keduanya mempunyai
pengaruh terhadap penghasilan nasional.
8
kenaikan penghasilan masyrakat sebagai akibat dari adanya pengeluaran pemerintah adalah
jumlah pengeluaran pemerintah itu dikalikan dengan faktor pengganda. Dengan
mengumpamakan bahwa MPC dan MPS untuk setiap orang yang dikatakan di atas sama (orang
ke 1, 2,3…), maka dengan memakai manipulasi aljabar dasar diperoleh faktor pengganda sebesar
k = 1/MPS. Kalau setiap orang yang menerima tambahan penghasilan mempunyai
kecenderungan untuk menabung sebesar 20 persen dari tambahan penghasilannya, maka k =
1/0,20 = 0,5.
Pengganda untuk anggaran berimbang. Oleh karena dalam anggaran berimbang, contoh kita
di atas, jumlah pengeluaran pemerintah sama dengan jumlah pajak, maka akibat dari anggaran
belanja yang seimabang terhadap penghasilan nasional adalah: (Jumlah kenaikan penghasilan
nasional karena pengeluaran pemerintah) dikurangi (jumlah pengurangan penghasilan nasional
karena adanya pajak). Karena yang pertama adalah sebesar (1/MPS) kali jumlah pengeluaran
pemerintah, dan yang disebut belakanganadalah –(1/MPS – 1 ), maka tambahan penghasilan neto
karena anggaan seimbang adalah (1/MPS) – (1/MPS – 1) = 1 kali anggaran berimabng tersebut.
dengan kata lain faktor pengganda untuk anggaran berimbang adalah (+1).
9
pembangunan ekonomi dari dalam negeri dapat berupa tabungan perseorangan, tabungan
perusahaan, dan tabungan pemerintah, sedangkan yang bersumber dari luar negeri bisa berupa
bantuan dan pinjaman luar negeri, penanaman modal langsung dari luar negeri atau penanaman
modal tidak langsung dari luar negeri.
Yang dimaksud dengan tabungan pemerintah adalah semua penerimaan dari dalam negeri
dikurangi dengan semua pengeluaran rutin. Namun untuk Indonesia masih dikurangi lagi dengan
anggaran belanja untuk daerah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat tiap tahun (bersifat
rutin). Tabungan pemerintah untuk tahun 2002-2007 disajikan pada Tabel 9.15, yang ternyata
terus mengalami peningkatan dari hanya 13,6 triliun rupiah pada tahun 2002 sampai mencapai
52,3 triliun rupiah pada tahun 2005 dan kembali mengalami penurunan menjadi hanya 25,6
triliun pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 hanya menjadi 9,6 tiliun. Jadi pemerintah telah
menyisakan penerimaan dalam negerinya untuk sebagian ditabung. Dalam persentase jumlah
tabungan pemerintah ini berkisar dari sedikit di bawah 5 persen pada tahun 2002, terus
mengalami peningkatan sampai menjadi 13 persen pada tahun 2004, lalu mengalami penurunan
menjadi hanya 1,3 persen dari total penerimaan dalam negeinya. Kalau kita bandingkan jumlah
tabungan pemerintah ini dengan jumlah pembiayaan rupiah dalam rencana pembangunan
tahunannya, ternyata, seperti terlihat pada Tabel 9.15, julah tabungan pemeintah ini selalu lebih
kecil. Ini berarti bahwa tiap tahun (dari 2002 sampai 2007) pemerintah harus menggali sumber-
sumber pembiayaan dalam negeri untuk menalangi pembiayaan rupiah dari rencana
pembangunannya, yang mungkin berupa pinjaman dari Bank Indonesia atau pinjaman jangka
pendek yang biasa disebut Treasury Bill.
Tabel 9.15: Tabungan Pemerintah Indonesia, 2002-2007 (miliar Rp)
2002 2003 2004 2005-P 2006-P 2007-P
1. Penerimaan dalam negeri 298.528 340.929 349.300 532.671 654.882 690.265
2. Pengeluaran rutin 186.651 186.944 184.438 326.924 408.470 426.488
3. Anggaran belanja untuk daerah 98.204 120.314 119.042 153.402 220.850 254.201
4. = 2 + 3 284.855 307.258 303.480 480.326 629.320 680.689
5. Tabungan (1-4) - miliar Rp 13.673 33.671 45.820 52.345 25.562 9.576
% dari penerimaan dalam negeri 4,58% 9,88% 13,12% 9,83% 3,90% 1,39%
6. Pengeluaran Pembangunan 37.325 69.247 70.871 84.743 69.780 71.684
7. = 5:7 x 100 % (persen) 36,63% 48,62% 64,47% 61,18% 36,63% 13,36%
8. Pembiayaan rupiah 25.608 47.510 50.500 54.747 55.258 70.826
9. Pembiayaan proyek 11.717 21.737 20.371 29.997 25.475 23.205
Sumber: Diolah dari Tabel 9.1
10
DAFTAR PUSTAKA
11