Reporting Phase
Insiden
Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh
dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal
akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000
kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan
tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22%
pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000
kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya.
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus
fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum,
terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal
sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan
fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain
frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-
daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur
terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413
penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur
linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun
di Amerika Serikat.
Anatomi
Bagian cranium yang membungkus otak (neurocranium / brain box)
menutupi otak, labirin, dan telinga tengah. and middle ear. Tabula eksterna
dan tabula interna dihubungkan oleh tulang kanselosa dan celah tulang
rawan (diploë). Tulang-tulang yang membentuk atap cranium (calvaria)
pada remaja dan orang dewasa terhubung oleh sutura dan kartilago
(synchondroses) dengan kaku. Sutura coronaria memanjang melintasi
sepertiga frontal atap cranium. Sutura sagitalis berada pada garis tengah,
memanjang ke belakang dari sutura coronaria dan bercabang di occipital
untuk membentuk sutura lambdoidea. Daerah perhubungan os frontal,
parietal, temporal, dan sphenoidal disebut pterion, di bawah pterion
terdapat percabangan arteri meningeal media. Bagian dalam basis cranii
membentuk lantai cavitas cranii, yang dibagi menjadi fossa anterior, fossa
media, dan fossa posterior.
1. Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping,
lantainya dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os
ethmoidal, dan bagian depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini
menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari lobus
frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media dipisahkan di lateral
oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial oleh
jugum sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis
di bagian depan, alae minor os sphenoidale yang dengan bersama-sama
pars orbitalis os frontal membentuk atap orbita dengan struktur-
struktur di midline, diantaranya terdapat crista galli, pars cribriformis
dan pars sphenoidal.
2. Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior,
terutama ke arah lateral. Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior
alae minor, processus clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di
belakang dibatasi oleh batas atas os temporal dan dorsum sellae os
sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa ossis temporalis, os
parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk
permukaan basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa
hipofiseal di tengah. Di kedua sisi lateralnya terdapat tiga foramina
(foramen spinosum, foramen ovale, dan foramen rotundum). Pars
anterior dinding lateral fossa media dibentuk oleh alae major os
sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars squamosa
os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid
air cells serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous
mengandung membrane tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus,
incus, dan stapes), dan cochlea pada telinga dalam. Fossa media dan
fossa posterior dibatasi satu sama lain di lateral oleh bagian atas os
petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae.
3. Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan
tempat untuk cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial
dibatasi oleh dorsum sellae yang melanjutkan diri menjadi clivus.
Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi posterior pars petrosa ossis
temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior oleh os occipital.
Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os occipital
yaitu foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus
akustikus interna terdapat pada bagian posteromedial pars petrosa ossis
temporalis. Foramen jugular berada di kedua sisi lateral foramen
magnum. Foramen jugular dilalui oleh vena jugularis yang perluasan
ke anterior dari sinus sagitalis superior dan melanjutkan diri menjadi
sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Jenis penyebab dan pola fraktur, tipe, perluasan, dan posisi adalah hal-hal
yang penting dalam menentukan cedera yang ada. Tulang tengkorak
menebal di daerah glabella, protuberansia eksternal occipital, processus
mastoideus, dan processus angular eksternal dan disatukan oleh 3 arches
pada masing-masing sisinya. Lapisan tulang tengkorak disusun oleh tulang
cancellous (diploë) menyerupai roti sandwich di antara dua tablets, lamina
externa (1.5 mm), dan lamina interna (0.5 mm). Diploë tidak ditemukan
pada bagian tulang tengkorak yang dilapisi oleh otot, sehingga lebih tipis
dan rentan terhadap fraktur.
Patofisiologi
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang
diklasifikasikan menjadi :
a. fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
b. fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian
lebih dalam dari tulang tengkorak
c. fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan
lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau
suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis
cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada
pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii.
a. Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis
cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal,
transversal, dan tipe campuran (mixed).
b. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan
tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke
posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa
media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara
berurut.
c. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea
dan labyrinth, berakhir di fossa media.
d. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan
fraktur transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk
fraktur os temporal yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi
menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous
termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-
fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis
e. Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga
besar dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau
cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi
tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain
membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil
misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :
1. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang
mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini
adalah suatu fraktur yang stabil.
2. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun
akan meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II
dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya
ligamentum alae dan membran tectorial.
3. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai
akibat rotasi yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi
menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar
yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber
literatur mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan
oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk,
terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini
disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.
fraktur basis kranii – gejala klinisnya didapati; perdarahan telinga
(otorrhoe), perdarahan hidung (rhinorrhoe), hemotimpanum atau laserasi
liang telinga luar.
Rhinorrhoe Otorrhoe
2. Perdarahan intrakranial
a. Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial
yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di
tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di
kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang disebut
dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena,
dan membentuk periosteum tabula interna. Epidural hematom adalah
salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula
interna. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala
kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak
mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh
darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara
dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan
sebutan epidural hematom. Epidural hematom sebagai keadaan
neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan
linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga
menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan
dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di
bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural,
bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
Etiologi
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa
saja, beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom
adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan
motor.Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh
darah.
Anatomi Otak
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang
membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di
perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar
bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari
cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan secepatnya
dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian. Tepat
di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu
lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mngandung
pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah
yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di
bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika.Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa infeksi
dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas
memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit
kepala yang seksama bila galea terkoyak. Pada orang dewasa,
tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau
tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut
tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna.
Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang
lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna
mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior,
media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di
akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat
manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati
dengan segera. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges.
Ketiga lapisan meninges adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater:
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas
dua lapisan:– Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk
oleh periosteum yang membungkus dalam calvaria– Lapisan
meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat
yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater
spinalis yang membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang
laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung
banyak pembuluh darah.
Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak
dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal
bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini
sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri
meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang
membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang
dapat dikenal oleh tim medis. Tekanan dari herniasi unkus pda
sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla
oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat
nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks
hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin
membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi
pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan
terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala
terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan
diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan:
a. Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
b. Sinus duramatis
c. Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi
a.diploica dan vena diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah
saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat
pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak
menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu
setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala
yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di
rawat dan diperiksa dengan teliti.
Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara
progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar
di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan
yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus
di observasi dengan teliti.Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang
muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering
tampak :
a. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
b. Bingung
c. Penglihatan kabur
d. Susah bicara
e. Nyeri kepala yang hebat
f. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
g. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
h. Mual
i. Pusing
j. Berkeringat
k. Pucat
l. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Gambaran Radiologi
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya
fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.
Diagnosis Banding
Hematoma subdural : Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan
darah diantara dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma
subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang
berkembang lambat.Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala
yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai
tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural,
tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk
bulan sabit.
Penatalaksanaan
Penanganan darurat
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
c. Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada
cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk
mengurang tekanan intracranial dan meningkakan drainase vena.
d. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
1. Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
2. Keadaan pasien memburuk
3. Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan
untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka
operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan
emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life
saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
1. > 25 cc = desak ruang supra tentorial
2. > 10 cc = desak ruang infratentorial
3. > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang
signifikan :
a. Penurunan klinis
b. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5
mm dengan penurunan klinis yang progresif.
c. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
Prognosis
Prognosis tergantung pada :
a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
b. Besarnya
c. Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya
baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka
kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus.
Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi.
3. Kegawatdaruratan Neurologi
Apabila tekanan perfusi terus menurun, CBV tidak mampu meningkat lagi,
CBF terus menurun dan OEF tidak mampu meningkat lagi, maka CMRO2
menurun maka terjadilah iskemia otak dan secara klinis ditandai dengan
adanya defisit neurologi.
Proses biomolekuler kerusakan sel otak diawali akibat gagalnya pompa
natrium kalium sehingga natrium di dalam sel tidak mampu dikeluarkan
mengakibatkan terjadi depolarisasi membran presinaptik dengan keluarnya
neurotransmitter glutamat dan hal ini akan mengakibatkan terbukanya
reseptor NMDA dan hal ini mengakibatkan masuknya kalsium ke dalam
sel, dengan masuknya kalsium kedalam sel akan terjadi pengeluaran
kalsium oleh organel sel lainnya seperti mitokondria dan lisosom, hal ini
akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan kalsium yang bertambah
banyak di dalam sitoplasma sel. Kemudian kondisi ini akan memicu
terbukanya voltage channel calsium receptor (VSCC) maka dengan leluasa
kalsium masuk ke dalam sel, tingginya kadar kalsium di dalam sel akan
mengaktifkan enzim-enzim posfolifase, protease, dan radikal bebas
lainnya, enzim posfolifase ini akan melakukan hidrolisa dari membran
lipid sehingga terbentuk asam lemak bebas dan terbentuklah asam
arakidonat dan terjadilah pembentukkan peroksida sehingga timbul
kerusakan membran sel yang disebut sebagai nekrosis. Sedangkan daerah
penumbra proses kematian sel melalui proses apoptosis yaitu dengan
terbentuknya cytoplasmic bud kemudian menjadi apoptotic bud,
selanjutnya apoptocic bud ini ini akan ditangkap oleh makrofag, sebagian
dari apoptotic bud yang tidak tertangkap oleh makrofag akan mengalami
lisis disebut sebagai nekrosis sekunder.
Kedaruratan Kehidupan
Stroke tidak saja mengancam kematian sel tetapi juga dapat menimbulkan
kematian pada individu yang menderita. Hal ini umumnya disebabkan
karena adanya kegagalan fungsi otak, fungsi pernafasan, fungsi jantung,
dan organ-organ lainnya. Adanya edema serebri yang terjadi pada 24 jam
pertama, akan menimbulkan peningkatan tekanan di dalam kepala yang
berisiko terjadinya herniasi, di mana bagian otak akan keluar mencari
bagian-bagian atau rongga-rongga yang longgar untuk menempatkan
dirinya sehingga menimbulkan kegagalan dari kedua sistem otak baik
kanan maupun kiri atau terjadinya kegagalan sistem batang otak. Pengaruh
daripada stroke terhadap sistem kardiovaskular atau jantung dapat dilihat
dari aspek pengaruh sistem sentral yaitu peran sentral dalam mengontrol
fungsi jantung seperti kerusakan dari insula dan bagian-bagian dari batang
otak sehingga menimbulkan kegagalan aktifitas jantung di lain pihak
adanya stroke akan berdampak pada sistim hemodinamik maupun
berdampak pada viskositas darah yang pada akhirnya akan berisiko pada
gangguan koroner. Gangguan pernafasan, seperti di ketahui adanya peran
batang otak dalam mengatur ritme pernafasan, bila terjadi gangguan pada
batang otak maka akan menimbulkan gangguan pada sistim pernapasan.
Seperti terjadinya pernafasan biot atau cheynestoke. Keadaan edema
serebri akan meningkat tekanan intrakranial, hal ini akan mengakibakan
peningkatan frekuensi pernafasan sehingga terjadinya hipokapnia, keadaan
ini tidak saja dapat menimbulkan gagal nafas tetapi juga dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak akibat vasokontriksi
umum.
Kedaruratan Fungsional
Status Epileptikus
Definisi
Etiologi
Pengobatan
Terapi harus dilanjutkan secara bersamaan pada empat aspek: hentikan SE;
cegah munculnya kejang berulang setelah SE diatasi; atasi penyebab
timbulnya SE; atasi komplikasi.
Terapi Farmakologi
Tujuan utama dari terapi adalah penghentian bangkitan secara cepat dan
aman dan mencegah berulangnya bangkitan. Algoritme penggunaan obat
untuk SE diperlihatkan pada gambar.
Benzodiazepin
Diazepam 0.2 mg/kg IV over 1-2 min
Phenobarbital
20mg/kg IV at 50-75 mg/min
Seizure continuing
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Time (minutes)
Benzodiazepi
Obat ini bekerja sebagai antagonis dari reseptor GABAA dan secara
potensial menghambat aktivitas neuron. Mereka bekerja dengan cepat dan
karenanya mempunyai tempat untuk mengontrol SE. Lorazepam 0,1mg/kg
intravena (IV) sangat diperhitungkan menjadi obat pilihan pertama untuk
penatalaksanaan akut. Tapi sejak lorazepam IV tidak tersedia di Indonesia,
diazepam 0,2mg/kg dipertimbangkan untuk menjadi obat pilihan utama di
negara kita. Diazepam mempunyai durasi kerja yang sangat pendek karena
cepat diredistribusi ke cadangan lemak tubuh. Diazepam dapat diberikan
melalui rektal. Semua benzodiazepine menyebabkan sedasi dan depresi
pernapasan, dan dosis yang berulang mempunyai efek akumulasi. Efek
sedasi dapat menurunkan pemulihan kesadaran setelah SE berhenti.
Hidantoin
Fenobarbital
Anestesi umum
Ini merupakan terapi definitif bagi status epileptikus refrakter dan harus
dilakukan di unit rawat intensif. Pengobatan anti epilepsi kerja jangka
panjang, seperti fenitoin dan fenobarbital, harus dipertahankan selama fase
ini, pengawasan kadar obat dan dipertahankan pada batas atas dari kisaran
normal.
Terapi baru
4. Manajemen Rujukan
c. Peralatan ambulans
b. Pola perlukaan
c. Biomekanik trauma
d. Masalah khusus
c. Cara transport
d. Protokol rujukan
3. Dokumentasi
a. Permasalahan penderita
b. Terapi yang telah diberikan
c. Keadaan penderita saat akan dirujuk
d. Sebaiknya dengan fax agar data lebih cepat sampai
e. Sebelum rujukan
11. Luka :
6. Dokumentasi
7. Permasalahan
5. Tanatologi
Definisi Tanatologi
Manfaat
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat menetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan
menentukan wajar atau tidak wajarnya kematian korban. Menetapkan
apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui dari masih
adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematian. Tanda kehidupan dapat
kita nilai dari masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh
korban. Sebaliknya, tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian.
Jenis Kematian
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis
(mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati
batang otak).
a. Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena
sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang
bersifat menetap. Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak
ditemukan adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi
tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak
pernapasan dan suara napas tidak terdengar saat auskultasi.
b. Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga
sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada
kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
c. Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan
hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga
terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan.
d. Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer
otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan
kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler
masih berfungsi dengan bantuan alat.
e. Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk
batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati
batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak
dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.
1. Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf, ada lima hal yang
harus kita perhatikan yaitu tanda areflex, relaksasi, tidak ada
pegerakan, tidak ada tonus, dan elektro ensefalografi (EEG) mendatar/
flat.
2. Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada enam
hal yang harus kita perhatikan yaitu denyut nadi berhenti pada palpasi,
denyut jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi, elektro
kardiografi (EKG) mendatar/ flat, tidak ada tanda sianotik pada ujung
jari tangan setelah jari tangan korban kita ikat (tes magnus), daerah
sekitar tempat penyuntikan icard subkutan tidak berwarna kuning
kehijauan (tes icard), dan tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada
insisi arteri radialis.
3. Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada
beberapa hal yang harus kita perhatikan, antara lain tidak ada gerak
napas pada inspeksi dan palpasi, tidak ada bising napas pada
auskultasi, tidak ada gerakan permukaan air dalam gelas yang kita
taruh diatas perut korban pada tes, tidak ada uap air pada cermin yang
kita letakkan didepan lubang hidung atau mulut korban, serta tidak ada
gerakan bulu ayam yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.
Tanda Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini
pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut
dikenal sebagai tanda kematian yang nantinya akan dibagi lagi menjadi
tanda kematian pasti dan tanda kematian tidak pasti.
3. Kulit pucat.
1. Livor mortis
Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem
lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, dan
vibices. Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar merah
kebiruan atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh mayat
akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena terhentinya
kerja pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan bagian tubuh
mayat yang tertekan oleh alas keras. Bercak tersebut mulai tampak
oleh kita kira-kira 20-30 menit pasca kematian klinis. Makin lama
bercak tersebut makin luas dan lengkap, akhirnya menetap kira-kira
8-12 jam pasca kematian klinis.
Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita
temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai
dengan posisi mayat. Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat
terlentang, dapat kita lihat pada belakang kepala, daun telinga,
ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari dibawah kuku, dan
kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat kita
lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat kita
lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor
tungkai. Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat
kita lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
Lebam pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-
paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus
yang dibawah (dalam rongga panggul).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume darah
yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan warna
lebam. Volume darah yang beredar banyak menyebabkan lebam
mayat lebih cepat dan lebih luas terjadi. Sebaliknya lebih lambat dan
lebih terbatas penyebarannya pada volume darah yang sedikit,
misalnya pada anemia.
Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan penyebab kematian yaitu
Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah akibat
trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat trauma akan
menempati ruang tertentu dalam jaringan. Warna tersebut akan
hilang jika irisan jaringan kita siram dengan air.
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot
yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut
otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer; hal
mana disebabkan oleh karena terjadinya perubahan kimiawi pada
protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot.
a. Cadaveric spasme
Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan
dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-
kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi kematian somatis
dan tanpa melalui relaksasi primer.
b. Heat Stiffening
Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu
tinggi, misalnya pada kasus kebakaran.
c. Cold Stiffening
Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu
rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer,
atau bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga cairan
tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku.
4. Pembusukan
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien, lambung,
usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ yang
lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan
diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara lain kelenjar
prostat dan uterus non gravid. Larva lalat dapat kita temukan pada
mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk
memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena
keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan dengan cara
mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun
dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva
lalat.
6. Mummifikasi
C.P. Warlow et. Al. 2008. Stroke Practical Management, Third Edition.
Ekayuda I. 2006. Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 359-366
Hafid A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua,
Jong W.D. Jakarta: EGC. 818-819
Mc.Donald D. Epidural Hematoma, www.emedicine.com
Mansjoer A. 2000. Tanatologi, Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga,
jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Markam S. 2005. Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua,
Harsono.Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 314
Mardjono M. Sidharta P. 2003 Mekanisme Trauma Susunan Saraf,
Neurologi Kilinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 254-259
Price D. Epidural Hematoma, www.emedicine.com
Soertidewi L. 2002. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio
Serebral, Updates In Neuroemergencies, Tjokronegoro A.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 80