Anda di halaman 1dari 44

STEP 7

Reporting Phase

1. Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus


cranialis, kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan
cedera jaringan (parenkim) otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai
80% dari seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik
kontak dan dapat meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian besar sembuh
tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi melibatkan pergeseran
tulang tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam dan memerlukan
tindakan bedah saraf segera terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur
depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis
cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang
bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga
benturan yang besar, dan dapat menyebabkan kebocoran cairan
serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi indikasi untuk
evaluasi segera di bidang bedah saraf.

Insiden
Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh
dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal
akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000
kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan
tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22%
pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000
kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya.

Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus
fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum,
terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal
sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan
fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain
frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-
daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur
terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413
penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur
linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun
di Amerika Serikat.

Anatomi
Bagian cranium yang membungkus otak (neurocranium / brain box)
menutupi otak, labirin, dan telinga tengah. and middle ear. Tabula eksterna
dan tabula interna dihubungkan oleh tulang kanselosa dan celah tulang
rawan (diploë). Tulang-tulang yang membentuk atap cranium (calvaria)
pada remaja dan orang dewasa terhubung oleh sutura dan kartilago
(synchondroses) dengan kaku. Sutura coronaria memanjang melintasi
sepertiga frontal atap cranium. Sutura sagitalis berada pada garis tengah,
memanjang ke belakang dari sutura coronaria dan bercabang di occipital
untuk membentuk sutura lambdoidea. Daerah perhubungan os frontal,
parietal, temporal, dan sphenoidal disebut pterion, di bawah pterion
terdapat percabangan arteri meningeal media. Bagian dalam basis cranii
membentuk lantai cavitas cranii, yang dibagi menjadi fossa anterior, fossa
media, dan fossa posterior.
1. Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping,
lantainya dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os
ethmoidal, dan bagian depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini
menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari lobus
frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media dipisahkan di lateral
oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial oleh
jugum sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis
di bagian depan, alae minor os sphenoidale yang dengan bersama-sama
pars orbitalis os frontal membentuk atap orbita dengan struktur-
struktur di midline, diantaranya terdapat crista galli, pars cribriformis
dan pars sphenoidal.
2. Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior,
terutama ke arah lateral. Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior
alae minor, processus clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di
belakang dibatasi oleh batas atas os temporal dan dorsum sellae os
sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa ossis temporalis, os
parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk
permukaan basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa
hipofiseal di tengah. Di kedua sisi lateralnya terdapat tiga foramina
(foramen spinosum, foramen ovale, dan foramen rotundum). Pars
anterior dinding lateral fossa media dibentuk oleh alae major os
sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars squamosa
os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid
air cells serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous
mengandung membrane tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus,
incus, dan stapes), dan cochlea pada telinga dalam. Fossa media dan
fossa posterior dibatasi satu sama lain di lateral oleh bagian atas os
petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae.
3. Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan
tempat untuk cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial
dibatasi oleh dorsum sellae yang melanjutkan diri menjadi clivus.
Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi posterior pars petrosa ossis
temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior oleh os occipital.
Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os occipital
yaitu foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus
akustikus interna terdapat pada bagian posteromedial pars petrosa ossis
temporalis. Foramen jugular berada di kedua sisi lateral foramen
magnum. Foramen jugular dilalui oleh vena jugularis yang perluasan
ke anterior dari sinus sagitalis superior dan melanjutkan diri menjadi
sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Jenis penyebab dan pola fraktur, tipe, perluasan, dan posisi adalah hal-hal
yang penting dalam menentukan cedera yang ada. Tulang tengkorak
menebal di daerah glabella, protuberansia eksternal occipital, processus
mastoideus, dan processus angular eksternal dan disatukan oleh 3 arches
pada masing-masing sisinya. Lapisan tulang tengkorak disusun oleh tulang
cancellous (diploë) menyerupai roti sandwich di antara dua tablets, lamina
externa (1.5 mm), dan lamina interna (0.5 mm). Diploë tidak ditemukan
pada bagian tulang tengkorak yang dilapisi oleh otot, sehingga lebih tipis
dan rentan terhadap fraktur.

Patofisiologi
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang
diklasifikasikan menjadi :
a. fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
b. fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian
lebih dalam dari tulang tengkorak
c. fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan
lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau
suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.

Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis
cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada
pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii.
a. Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis
cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal,
transversal, dan tipe campuran (mixed).
b. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan
tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke
posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa
media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara
berurut.
c. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea
dan labyrinth, berakhir di fossa media.
d. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan
fraktur transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk
fraktur os temporal yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi
menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous
termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-
fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis
e. Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga
besar dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau
cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi
tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain
membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil
misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :
1. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang
mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini
adalah suatu fraktur yang stabil.
2. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun
akan meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II
dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya
ligamentum alae dan membran tectorial.
3. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai
akibat rotasi yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi
menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar
yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber
literatur mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan
oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk,
terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini
disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.
fraktur basis kranii – gejala klinisnya didapati; perdarahan telinga
(otorrhoe), perdarahan hidung (rhinorrhoe), hemotimpanum atau laserasi
liang telinga luar.

Rhinorrhoe Otorrhoe

post-auricular ecchymoses (Battle’s sign),

peri-orbital ecchymoses (Raccoon’s eyes), dan ditemukan cedera saraf


kranialis. Pemeriksaan penunjang foto kepala dengan posisi basis cranii
atau CT scan kepala.

2. Perdarahan intrakranial
a. Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial
yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di
tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di
kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang disebut
dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena,
dan membentuk periosteum tabula interna. Epidural hematom adalah
salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula
interna. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala
kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak
mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh
darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara
dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan
sebutan epidural hematom. Epidural hematom sebagai keadaan
neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan
linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga
menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan
dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di
bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural,
bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

Etiologi
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa
saja, beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom
adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan
motor.Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh
darah.

Anatomi Otak
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang
membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di
perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar
bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari
cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan secepatnya
dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian. Tepat
di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu
lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mngandung
pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah
yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di
bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika.Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa infeksi
dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas
memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit
kepala yang seksama bila galea terkoyak. Pada orang dewasa,
tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau
tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut
tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna.
Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang
lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna
mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior,
media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di
akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat
manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati
dengan segera. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges.
Ketiga lapisan meninges adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater:
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas
dua lapisan:– Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk
oleh periosteum yang membungkus dalam calvaria– Lapisan
meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat
yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater
spinalis yang membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang
laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung
banyak pembuluh darah.

Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak
dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal
bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini
sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri
meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang
membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang
dapat dikenal oleh tim medis. Tekanan dari herniasi unkus pda
sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla
oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat
nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks
hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin
membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi
pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan
terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala
terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan
diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan:
a. Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
b. Sinus duramatis
c. Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi
a.diploica dan vena diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah
saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat
pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak
menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu
setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala
yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di
rawat dan diperiksa dengan teliti.

Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara
progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar
di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan
yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus
di observasi dengan teliti.Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang
muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering
tampak :
a. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
b. Bingung
c. Penglihatan kabur
d. Susah bicara
e. Nyeri kepala yang hebat
f. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
g. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
h. Mual
i. Pusing
j. Berkeringat
k. Pucat
l. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai


hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran
pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan
masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada
tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.Jika
Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya
menjadi kabur.

Gambaran Radiologi

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma


kepala lebih mudah dikenali.

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya
fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan


potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke
sisi kontralateral.Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),
ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang


menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.
MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.

Diagnosis Banding
Hematoma subdural : Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan
darah diantara dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma
subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang
berkembang lambat.Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala
yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai
tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural,
tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk
bulan sabit.

Hematoma Subarachnoid : Perdarahan subarakhnoid terjadi karena


robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya.

Penatalaksanaan
Penanganan darurat
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
c. Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada
cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk
mengurang tekanan intracranial dan meningkakan drainase vena.

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah


golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian
dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3
mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri
yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih
mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk
mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan
jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-
hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer
yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih
superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi
tekanan intracranial.

Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang


meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia
dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10
mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/
kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar
serum 3-4mg%.

d. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
1. Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
2. Keadaan pasien memburuk
3. Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan
untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka
operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan
emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life
saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
1. > 25 cc = desak ruang supra tentorial
2. > 10 cc = desak ruang infratentorial
3. > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang
signifikan :
a. Penurunan klinis
b. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5
mm dengan penurunan klinis yang progresif.
c. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.

Prognosis
Prognosis tergantung pada :
a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
b. Besarnya
c. Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya
baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka
kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus.
Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi.

b. Perdarahan Subdural adalah perdarahan yang terletak diantara


duramater dan serebrospinal. Perdarahan subdural merupakan
perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi. Karakteristik
perdarahan subdural biasanya dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan
lama kejadian.
1. Perdarahan subdural akut
Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan
biasanya pasien dalam keadaan koma. 85 % persen pasien yang
koma memiliki gambaran kontusio parenkim. Gejala klinis
perdarahan subdural akut dapat berupa pusing, mual, bingung,
perubahan kepribadian, penurunan kesadaran, sulit berbicara,
dilatasi pupil ipsi lateral dari hematoma, hemiparese kontralateral
hematoma dan lemah anggota gerak.
2. Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga
hingga minggu ketiga setelah cedera.
3. Perdarahan subdural kronis
Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau
lebih. 25 hingga 50 persen dari pasien yang menderita perdarahan
subdural kronis tidak memiliki riwayat trauma kepala, biasanya
trauma kepala yang terjadi adalah trauma kepala ringan. Gejala
klinis dari perdarahan ini dapat berupa penurunan kesadaran,
pusing, kesulitan berjalan atau keseimbangan, disfungsi kognitif
atau hilang ingatan, perubahan kepribadian, defisit motorik, kejang,
dan inkontinensia.
c. Perdarahan Subserebrospinal adalah ekstravasasi darah ke dalam
rongga subaraknoidyang terdapat di antara lapisan piamater dan
membran araknoid. Etiologi yang paling sering dari perdarahan
subaraknoid non traumatik adalah pecahnya aneurisma intrakranial
(berryaneurism). Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh hingga
dua puluh hari setelah terjadinya ruptur. Gejala yang paling sering
berupa sakit kepala, nyeri daerah orbital, diplopia, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik dan motorik, kejang, ptosis, disfasia.
d. Perdarahan Intraventrikular merupakan penumpukan darah pada
ventrikel otak.Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi
perdarahan intraserebral.
e. Perdarahan Intraserebral merupakan penumpukan darah pada
jaringan otak yang semakin lama semakin banyak dan menimbulkan
tekanan pada jaringan otak sekitar. Hal inimenyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi.
Gejala klinis biasanya timbul dengan cepat bergantung pada lokasi
perdarahan. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, nausea,
muntah, letargi atau konfusi, kelemahan mendadak atau kebas pada
wajah, tangan atau kaki yang biasanya pada satu sisi, hilangnya
kesadaran, hilang penglihatan sementara, dan kejang.

3. Kegawatdaruratan Neurologi

Kedaruratan Neurologi pada Stroke

Stroke merupakan satu gangguan aliran darah ke otak, baik bersifat


regional maupun global yang berlangsung begitu cepat, yang dapat
menimbulkan kerusakan otak, dengan manifestasi yang ditimbulkannya
berupa kecacatan baik anggota gerak maupun fungsi-fungsi lainnya.
Proses stroke berlangsungnya begitu cepat dengan manifestasi gangguan
klinis yang sangat bervariasi sehingga WHO menekankan gejala stroke
harus bertahan dalam 24 jam pertama. Keberadaan dari kedaruratan stroke
akan mengancam kehidupan sel otak yang diketahui tidak mempunyai
cadangan energi sehingga menimbulkan kecacatan menetap dan hal ini
telah terbukti, kecacatan akibat stroke memegang rangking tertinggi di
dunia.

Ancaman kedaruratan ini juga dapat mengancam kehidupan penderita


stroke itu sendiri karena dengan terjadinya gangguan aliran darah otak,
maupun kejadian pecahnya pembuluh darah, dalam kurun waktu 24 jam
akan diikuti oleh edema serebri, edema serebri merupakan beban yang
begitu hebat kepada otak yang berada dalam ruang yang relatif sempit dan
daya kembang yang minimal sehingga dapat terjadi penonjolan atau
pendorongan bagian otak ketempat yang tidak semestinya ada dan hal ini
disebut herniasi. Herniasi akan mengakibatkan terjadinya penekanan pada
parenkim otak yang masing-masing menjadi pusat vital baik pusat
kesadaran, pusat pernafasan, pusat pergerakan jantung dan lainnya yang
selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi-fungsi
pusat pusat vital tersebut. Gangguan pusat pusat vital di otak akibat
herniasi pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Sehingga secara
umum dikatakan kematian akibat stroke menduduki rangking ke 3 sesudah
kanker dan penyakit kardiovaskular.

Patogenesis dan Patofisiologi Stroke

Terdapat perbedaan yang mendasar pada stroke hemoragik/subaraknoid


dengan stroke iskemik. Kedua tipe stroke ini berbeda dalam proses
terjadinya stroke, di mana pada stroke hemoragik terjadinya diskontuinitas
pembuluh darah berakibat keluarnya darah dari pembuluh darah dan akan
mengisi parenkim otak maupun rongga-rongga di dalam otak. Sedangkan
pada stroke iskemik/sumbatan mengakibatkan terputusnya aliran darah di
dalam pembuluh darah. Akibat adanya sumbatan ini maka terjadinya
gangguan suplai energi yang pada akhirnya menimbulkan kematian pada
jaringan otak.
Otak yang beratnya sekitar 2 % dari berat badan menerima 15-20 %
curahan darah dari jantung di mana cerebral blood flow (CBF)/aliran darah
ke otak di pertahakan konstan pada hitungan 50-60 cc/gram otak per
menit. Atau dapat dikatakan konsumsi otak sekitar 20 % dari total oksigen
tubuh dalam kondisi istirahat. Apabila terjadi gangguan aliran darah ini
apapun sebabnya dengan nilai di bawah 20 % dari nilai CBF atau sama
dengan 10-15 cc akan mengakibatkan kematian jaringan yang menetap.
Adanya aliran darah ke otak di antara 20 cc – di bawah 50 cc / gram otak
per menit, otak akan mengalami gangguan perfusi tetapi belum
menimbulkan kematian sel otak secara permanen. Kondisi ini dikenal
sebagai daerah penumbra. Adanya autoregulasi semata-mata bertujuan
untuk mempertahankan sel otak dari kematian. Cerebral Perfusi Pressure
(CPP) merupakan kelanjutan dari tekanan darah sistemik yang digunakan
untuk mempertahankan kelangsungan suplai energi ke otak secara konstan,
apabila terjadi penurunan tekanan darah yang berakibat penurunan CPP
maka pembuluh darah otak akan mengalami vasodilatasi sehingga
memungkinkan peningkatan cerebral blood volume (CBV). Hal ini akan
mampu mempertahankan CBF dalam kondisi konstan sehingga
keberadaan sel otak tetap normal, apabila penurunan tekanan darah
berkelanjutan yang berakibat terjadinya penurunan CPP berkelanjutan dan
otak sudah tidak mampu meningkatkan cerebral blood volume, kondisi ini
memungkinkan sel otak tetap hidup walaupun sudah terjadi kegagalan
perfusi, hal ini disebabkan peningkatan daripada efisiensi otak yaitu
dengan meningkatnya oksigen ekstration fraction (OEF). Walaupun
demikian pada kondisi ini cerebral blood flow mengalami penurunan tetapi
cerebral metabolisme rate for oxyigen (CMRO2) masih dalam batas
normal.

Apabila tekanan perfusi terus menurun, CBV tidak mampu meningkat lagi,
CBF terus menurun dan OEF tidak mampu meningkat lagi, maka CMRO2
menurun maka terjadilah iskemia otak dan secara klinis ditandai dengan
adanya defisit neurologi.
Proses biomolekuler kerusakan sel otak diawali akibat gagalnya pompa
natrium kalium sehingga natrium di dalam sel tidak mampu dikeluarkan
mengakibatkan terjadi depolarisasi membran presinaptik dengan keluarnya
neurotransmitter glutamat dan hal ini akan mengakibatkan terbukanya
reseptor NMDA dan hal ini mengakibatkan masuknya kalsium ke dalam
sel, dengan masuknya kalsium kedalam sel akan terjadi pengeluaran
kalsium oleh organel sel lainnya seperti mitokondria dan lisosom, hal ini
akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan kalsium yang bertambah
banyak di dalam sitoplasma sel. Kemudian kondisi ini akan memicu
terbukanya voltage channel calsium receptor (VSCC) maka dengan leluasa
kalsium masuk ke dalam sel, tingginya kadar kalsium di dalam sel akan
mengaktifkan enzim-enzim posfolifase, protease, dan radikal bebas
lainnya, enzim posfolifase ini akan melakukan hidrolisa dari membran
lipid sehingga terbentuk asam lemak bebas dan terbentuklah asam
arakidonat dan terjadilah pembentukkan peroksida sehingga timbul
kerusakan membran sel yang disebut sebagai nekrosis. Sedangkan daerah
penumbra proses kematian sel melalui proses apoptosis yaitu dengan
terbentuknya cytoplasmic bud kemudian menjadi apoptotic bud,
selanjutnya apoptocic bud ini ini akan ditangkap oleh makrofag, sebagian
dari apoptotic bud yang tidak tertangkap oleh makrofag akan mengalami
lisis disebut sebagai nekrosis sekunder.

Kedaruratan Kehidupan

Stroke tidak saja mengancam kematian sel tetapi juga dapat menimbulkan
kematian pada individu yang menderita. Hal ini umumnya disebabkan
karena adanya kegagalan fungsi otak, fungsi pernafasan, fungsi jantung,
dan organ-organ lainnya. Adanya edema serebri yang terjadi pada 24 jam
pertama, akan menimbulkan peningkatan tekanan di dalam kepala yang
berisiko terjadinya herniasi, di mana bagian otak akan keluar mencari
bagian-bagian atau rongga-rongga yang longgar untuk menempatkan
dirinya sehingga menimbulkan kegagalan dari kedua sistem otak baik
kanan maupun kiri atau terjadinya kegagalan sistem batang otak. Pengaruh
daripada stroke terhadap sistem kardiovaskular atau jantung dapat dilihat
dari aspek pengaruh sistem sentral yaitu peran sentral dalam mengontrol
fungsi jantung seperti kerusakan dari insula dan bagian-bagian dari batang
otak sehingga menimbulkan kegagalan aktifitas jantung di lain pihak
adanya stroke akan berdampak pada sistim hemodinamik maupun
berdampak pada viskositas darah yang pada akhirnya akan berisiko pada
gangguan koroner. Gangguan pernafasan, seperti di ketahui adanya peran
batang otak dalam mengatur ritme pernafasan, bila terjadi gangguan pada
batang otak maka akan menimbulkan gangguan pada sistim pernapasan.
Seperti terjadinya pernafasan biot atau cheynestoke. Keadaan edema
serebri akan meningkat tekanan intrakranial, hal ini akan mengakibakan
peningkatan frekuensi pernafasan sehingga terjadinya hipokapnia, keadaan
ini tidak saja dapat menimbulkan gagal nafas tetapi juga dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak akibat vasokontriksi
umum.

Kedaruratan Fungsional

Yang dimaksud dengan kedaruratan fungsional adalah kegagalan dalam


menyelamatkan sel otak akibat terjadinya stroke. Akibat kedaruratan
fungsional ini akan terlihat meningkatnya nilai kecacatan sehingga
penderita akan selamat dari kematian tetapi mengalami ketergantungan
terhadap lingkungan/orang lain (dependent). Nilai ketergantungan ini
dapat dilihat dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari seperti
makan, berjalan, mandi, membersihkan diri dari najis, menyisir rambut
dan sebagainya. Kedaruratan fungsional ini dapat dikurangi sedemikian
rupa sehingga penderita stroke setidak-tidaknya mampu menolong dirinya
sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Adanya pengobatan yang cepat tepat
dan akurat seperti pemberian trombolisis pada penderita stroke iskemik
yang sesuai dengan waktunya, akan dapat menyelamatkan kematian sel
sehingga keluaran fungsional (functional outcome) akan didapatkan lebih
baik dibandingkan tanpa penggunan trombolisis. Hal-hal yang dapat
meringankan risiko terjadinya kerusakan sel dapat dilakukan dari sejak
pertama kali penderita mengalami serangan stroke di mana penderita yang
mengalami serangan stroke akan mengalami gangguan hemodinamik
intraserebral sehingga sebaik-baiknya penderita diletakkan dalam posisi
tidur dengan posisi kepala maksimal 30o yang terangkat dari bahu sampai
ke kepala dengan tujuan memperbaiki venous return (bed rest).

Keberadaan penderita stroke yang tidak melakukan posisi tirah baring


akan berisiko terhadap regional perfusion pada daerah stroke yang akan
bertambah parah, hal ini akan berakibat terjadinya perluasan daerah infark
yang semula merupakan daerah penumbra. Pemberian obat-obat anti
hipertensi selayaknya ditinggalkan apabila tekanan darah rerata (MABP)
dibawah 130 mmHg. Hal ini didasarkan atas peningkatan tekanan darah
yang terjadi merupakan reaksi normal akibat terjadinya suatu gangguan
hemodinamik di otak. Apabila diperlukan penurunan tekanan darah
sebelum memberikan obat-obat tekanan darah haruslah dipastikan tidak
ada nyeri, tidak ada demam, tidak ada retensi urin dan sebagainya yang
mungkin berpengaruh terhadap tekanan darah. Adanya demam tidak
semata-mata berisiko terjadinya vasodilatasi yang akan berdampak
terjadinya steal syndrome, tetapi akan berpengaruh terhadap peningkatan
metabolisme otak yang sebanding dengan peningkatan suhu yang terjadi.
Adanya kejang haruslah dihindari demikian juga adanya peningkatan
kadar gula darah karena akan berakibat terjadinya lonjakan asam laktat di
daerah serebral yang berakibat timbulnya regional asidosis akhirnya akan
diikuti oleh kematian sel, demikian pula halnya pada kondisi gula darah
yang rendah akan berpengaruh negatif kepada metabolisme sel otak yang
sedang mengalami sekarat.

Pemberian oksigen dalam jumlah besar akan mengakibatkan PaO2


meningkat , apabila terjadi peningkatan berlebih maka akan diikuti oleh
kondisi hiperkapnia yang akan berisiko terjadinya vasodilatasi di luar
daerah penumbra yang pada akhirnya akan menimbulkan steal syndrome
pula. Sehingga dengan pengetahuan patofisiologi dan patogenesis stroke
tidak saja dapat menurunkan angka kematian tetapi juga dapat
meminimalisasi kecacatan pada penderita stroke.

Status Epileptikus

Status Epileptikus (SE) adalah suatu kegawatdaruratan medis mayor yang


sering dijumpai pada komunitas, mengenai antara 120.000 - 200.000 orang
per tahun di Amerika Serikat. Rata-rata frekuensi dari SE refrakter
berbeda-beda dari kira-kira 10% sampai dengan 40%. Kegagalan dalam
mendiagnosa dan mengobati SE secara akurat dan efektif menghasilkan
morbiditas dan mortalitas yang nyata.

Definisi

SE merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang berlangsung selama


30 menit atau lebih ATAU aktivitas bangkitan hilang timbul yang
berlangsung selama 30 menit atau lebih dan selama waktu tersebut tidak
terdapat pemulihan kesadaran.

Loweinstein dan kawan – kawan memberikan definisi “operasional” yang


bertujuan menentukan waktu pada saat pasien - pasien sebaiknya dapat
diterapi seolah - olah mereka berada dalam status epileptikus yang sedang
berlangsung, termasuk di antaranya bangkitan yang berlangsung kurang
dari 5 menit.

Klasifikasi dan Diagnosa

Beberapa tipe dari bangkitan epilepsi telah dapat dideskripsikan. SE dapat


diklasifikasikan dengan adanya kejang motorik (status epileptikus
konvulsivus) atau dari lena/absans (status epileptikus non konvulsivus).
Kemudian SE dapat dibagi lagi menjadi SE yang melibatkan seluruh tubuh
(SE Umum) atau hanya melibatkan sebagian tubuh (SE Parsial).

Terkait dengan hal tersebut, SE dapat dibagi menjadi konvulsivus umum


(SE tonik klonik), non konvulsivus umum (contoh : lena/absans),
konvulsivus parsial (kejang motorik parsial simpel) atau non konvulsivus
parsial (kejang parsial komplek).

Tabel 1. Klasifikasi status epileptikus

Konvulsi Non konvulsi


Umum Tonik klonik (grand mal) Absans/Lena
Tonik
Mioklonik
Parsial Bangkitan parsial motorik Bangkitan parsial
kompleks

SE dapat di diagnosis melalui observasi. Bangkitan ditandai dengan


hilangnya kesadaran, aktivitas tonik-klonik otot, mulut berbusa, lidah
tergigit, mata yang menatap keatas, dan inkontinensia urin. Diagnosis dari
SE biasanya jelas, dengan diagnosis banding berupa distonia umum dan
pseudo- status epilepsi. Pseudo-status epilepsi terdiri dari bangkitan yang
bersifat psikogenik.

SE non konvulsi lebih sulit didiagnosis. Gambaran klinik berupa


penurunan kesadaran, agitasi, afasia, confusion amnesia, nistagmus.
Diagnosis hanya dapat di konfirmasi dengan pasti melalui pemeriksaan
EEG4. Pada sebuah studi disebutkan 8% pasien-pasien dengan koma
menunjukkan SE non konvulsi5. Gambar 2 menunjukkan gambaran EEG
pada pasien SE non konvulsi dengan gambaran klinis berupa amnesia.

International League Against Epilepsy (ILAE) merekomendasikan


klasifikasi Status Epilepsi pada anak (tabel 2).3
Tabel 2. Klasifikasi Status Epileptikus Rekomendasi ILAE Berdasarkan
Etiologi (1993)

Akut Simtomatik Status Epileptikus pada anak yang


sebelumnya normal secara
neurologis, dalam seminggu disertai
etiologi penyerta termasuk infeksi
Susunan Saraf Pusat (SSP), kejang
demam yang memanjang,
ensefalopati, trauma kepala, penyakit
serebrovaskular, dan kelainan
metabolik atau toksik.
Remote symptomatic Status Epileptikus tanpa adanya
pencetus akut yang teridentifikasi
tetapi dengan riwayat abnormalitas
SSP lebih dari seminggu
sebelumnya.
Terkait dengan Epilepsi Idiopatik Status epileptikus yang tidak
simtomatik dan terjadi pada anak
dengan diagnosis epilepsi idiopatik
sebelumnya atau saat terjadi episode
status epileptikus adalah kali kedua
terjadinya bangkitan tanpa provokasi,
yang mengarah pada diagnosis
epilepsi idiopatik.
Terkait dengan Epilepsi Kriptogenik Status Epileptikus yang tidak
simtomatik dan terjadi pada anak
dengan diagnosis epilepsi
kriptogenik sebelumnya atau saat
terjadi episode status epileptikus
adalah kali kedua bangkitan tanpa
provokasi, yang mengarah pada
diagnosis epilepsi kriptogenik.
Tidak Terklasifikasi (unclassified) Status epileptikus yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam kelompok
yang lain.

Etiologi

Banyak kasus SE terjadi pada pasien dengan penyakit akut ataupun


penyakit neurologis akut. Sekitar 50% kasus terjadi tanpa adanya epilepsi
sebelumnya. Individu dengan riwayat epilepsi berisiko mengalami SE.
Etiologi SE dapat dibagi dalam proses akut dan kronik (disimpulkan dalam
tabel 3)

Tabel 3. Etiologi Status Epileptikus

Proses Akut Proses Kronik


Ketidakseimbangan elektrolit Epilepsi yang sudah ada
sebelumnya
Kelainan serebrovaskular Compliance atau kepatuhan
minum obat
antikejang/antikonvulsan
yang buruk atau perubahan
terapi antikonvulsan.
Trauma serebral Alkoholisme kronik
Toksisitas obat Tumor serebri
Kerusakan anoksik-hipoksik serebral
Infeksi SSP
Sindrom sepsis
Gagal ginjal

Pengobatan

Terapi harus dilanjutkan secara bersamaan pada empat aspek: hentikan SE;
cegah munculnya kejang berulang setelah SE diatasi; atasi penyebab
timbulnya SE; atasi komplikasi.

Prinsip utama pengelolaan kegawatdaruratan adalah bantuan hidup dasar


yang mencakup menjaga jalan nafas dan pernapasan dan menjaga sirkulasi
yang adekuat. Dalam SE, jalan napas harus dijaga mulai dari tahap awal
dan intubasi trakhea akan dibutuhkan saat bangkitan sedang diatasi
sehingga ventilasi yang adekuat dapat dipastikan dan aspirasi pulmonal
dapat dicegah.
Pemantauan harus dimulai, termasuk EKG, mengukur tekanan darah dan
pulse oksimetri pada semua pasien. Pengukuran gula darah di samping
tempat tidur harus dilakukan. Jika terdapat tanda hipoglikemi yang
signifikan, glukosa 50% 50 ml harus diberikan. Jika sebelumnya terdapat
riwayat atau curiga ke arah alkoholisme, thiamin 100 mg intravenous
harus diberikan bersamaan dengan glukosa untuk mencegah timbulnya
Ensefalopati Wernicke.

Anamnesa yang teliti tentang riwayat penyakit dahulu pasien dari


keluarganya mungkin dapat memberikan keterangan tentang faktor
penyebab seperti penggantian obat antikonvulsan baru – baru ini, alcohol
withdrawal, overdosis obat, dan stroke atau infeksi susunan saraf pusat.
Sken Tomografi Komputer (CT Scan) atau magnetic resonance imaging
(MRI) mungkin dibutuhkan untuk mengetahui proses fokal. Pemeriksaan
cairan serebrospinal mungkin juga diindikasikan jika tekanan intrakranial
tidak ditemukan.

Terapi Farmakologi

Tujuan utama dari terapi adalah penghentian bangkitan secara cepat dan
aman dan mencegah berulangnya bangkitan. Algoritme penggunaan obat
untuk SE diperlihatkan pada gambar.
Benzodiazepin
Diazepam 0.2 mg/kg IV over 1-2 min

(repeat 1x if no response after 5 min)


Seizure continuing

Fosphenytoin 20mg/kg IV @ 150mg/min


Phenytoin 20mg/kg IV @ 50 mg/min
Seizure continuing
Seizure continuing

Fosphenytoin 5-10mg/kg IV @ 150mg/min


Phenytoin 5-10mg/kg IV @ 50 mg/min

Seizure continuing Consider valproate


25 mg/kg IV

Phenobarbital
20mg/kg IV at 50-75 mg/min

Proceed immediately to anaesthesia with Seizure continuing


midazolam or poropofol if the patient develops
status epilepticus while in the intensive care unit, Phenobarbital
has severe systemic disturbance or has seizure (additional 5-10 mg/kg)
that have continued for more than 60 to 90 minutes

Seizure continuing

Anesthesia with midazolam or


propofol

0 10 20 30 40 50 60 70 80
Time (minutes)

Benzodiazepi

Obat ini bekerja sebagai antagonis dari reseptor GABAA dan secara
potensial menghambat aktivitas neuron. Mereka bekerja dengan cepat dan
karenanya mempunyai tempat untuk mengontrol SE. Lorazepam 0,1mg/kg
intravena (IV) sangat diperhitungkan menjadi obat pilihan pertama untuk
penatalaksanaan akut. Tapi sejak lorazepam IV tidak tersedia di Indonesia,
diazepam 0,2mg/kg dipertimbangkan untuk menjadi obat pilihan utama di
negara kita. Diazepam mempunyai durasi kerja yang sangat pendek karena
cepat diredistribusi ke cadangan lemak tubuh. Diazepam dapat diberikan
melalui rektal. Semua benzodiazepine menyebabkan sedasi dan depresi
pernapasan, dan dosis yang berulang mempunyai efek akumulasi. Efek
sedasi dapat menurunkan pemulihan kesadaran setelah SE berhenti.

Hidantoin

Apabila diazepam tidak berhasil menghentikan aktivitas bangkitan dalam


waktu 10 menit, atau apabila bangkitan intermiten berlangsung selama 20
menit atau lebih, maka harus ditambahkan obat lain. Fenitoin (atau
fosfofenitoin) masih menjadi obat pilihan untuk terapi lini kedua untuk
status epileptikus yang tidak berespons terhadap diazepam. Fenitoin sangat
larut dalam lemak dan mencapai puncaknya dalam waktu 15 menit setelah
pemberian intravena. Loading dose fenitoin (20 mg/kg) harus diberikan
berdasarkan berat badan dan menggunakan vena besar untuk
pemberiannya karena tingginya pH larutan. Pemberiannya harus dengan
cairan garam fisiologis dan pemberian bersama obat lain harus
dihindarkan, karena adanya risiko presipitasi.

Infus fenitoin merupakan faktor risiko signifikan terjadinya hipotensi,


aritmia, pemanjangan gelombang QT. Oleh karena itu, pemantauan EKG
dan tekanan darah sangat diperlukan.

Fenobarbital

Penggunaan fenobarbital intravena 10-20 mg/kg cenderung terbatas pada


penanganan status refrakter, yang mana penggunaannya masih efektif.
Mekanisme kerjanya dengan memperpanjang inhibisi potensial
pascasinaps melalui kerja kanal GABA Cl. Fenobarbital tidak memasuki
otak secepat obat-obatan yang lipofilik, akan tetapi kadar terapetik dicapai
dalam 3 menit dan dipertahankan untuk jangka waktu yang panjang, Efek
samping fenobarbital adalah sedasi dalam, depresi napas, hipotensi.

Anestesi umum

Ini merupakan terapi definitif bagi status epileptikus refrakter dan harus
dilakukan di unit rawat intensif. Pengobatan anti epilepsi kerja jangka
panjang, seperti fenitoin dan fenobarbital, harus dipertahankan selama fase
ini, pengawasan kadar obat dan dipertahankan pada batas atas dari kisaran
normal.

Thiopental adalah barbiturat intravena kerja cepat yang digunakan untuk


menangani status epileptikus. Thiopental menimbulkan hipotensi.
Barbiturat juga imunosupresif poten dan penggunaan jangka panjang
meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Propofol dapat digunakan
sebagai alternatif. Propofol memiliki efek seperti barbiturat dan
benzodiazepin pada reseptor GABA dan bekerja sebagai antikonvulsan
poten pada dosis klinis. Bolus awal sebesar 1 mg/kg diberikan dalam
waktu 5 menit dan diulang jika aktivitas bangkitan belum dapat
dikendalikan. Infus pemeliharaan harus disesuaikan antara 2-10 mg/kg/jam
sampai didapatkan kecepatan pemberian yang paling kecil yang dapat
menekan aktivitas epileptiform pada EEG. Penghentian tiba-tiba harus
dihindarkan karena berisiko menyebabkan terjadinya presipitasi bangkitan
akibat penghentian obat.

Terapi baru

Sediaan sodium valproat intravena baru-baru ini diperkenalkan. Beberapa


penelitian membuktikan sodium valproat intravena cukup efektif dan
memiliki profil efek samping yang lebih baik. Penelitian di Eropa
melaporkan 80-83% kasus status epileptikus dapat dikendalikan dengan
dosis 12-15 mg/kg.

4. Manajemen Rujukan

Menentukan perlunya rujukan


a. Kebanyakan penderita trauma dapat dilakukan tindak di RS setempat
b. Dalam menentukan rujukan penting diketahui kemampuan dokter dan
RS yang akan menerima rujukan
c. Bila sudah diputuskan dirujuk jangan menunda-nunda rujukan dengan
melakukan tindakan diagnostik (misal:DPL CT Scan dsb)
d. Waktu sangatlah penting dari mulai kejadian sampai dilakukan terapi
difinitif

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan rujukan

a. Jarak antara RS Pusat rujukan

b. Kesiapan tenaga terampil untuk mendampingi penderita

c. Peralatan ambulans

d. Keadaan penderita sebelum dan selama transport

Faktor-faktor yang menjadi dasar untuk rujukan

a. Kriteria fisiologis penderita syock yang sulit diatasi dengan penurunan


keadaan neurologis

b. Pola perlukaan

c. Biomekanik trauma

d. Masalah khusus

Sebaiknya stabilkan dulu keadaan penderita kemudian dilakukan rujukan

Kesulitan dalam melakukan rujukan

a. Penderita dalam keadaan gelisah dengan tidak kooperatif akan sangat


sulit, kadang-kadang penderita diikat kuat

b. Pemberian sedativa pada penderita tersebut sebaiknya dilakukan


intubasi
Cara rujukan

a. Dokter/perawat yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai


rujukan yaitu :

1. cara transport harus dipilih yang sesuai

2. perawatan dalam perjalanan

3. komunikasi dengan RS dirujuk

4. penderita dalam keadaan stabil saat akan dirujuk

5. laporkan prosedur tindakan yang telah dilakukan

b. Dokter/perawat yang dirujuk

1. Yakinkan bahwa RS mampu menerima penderita

2. Bersedia untuk menerima

3. Sebaiknya dapat membantu memilih cara transport

4. Komunikasi dapat membantu keamanan dalam transport penderita

c. Cara transport

1. Prinsip DO NO Further Harm sangat berperan

2. Udara-darat,laut dapat dilakukan dengan aman

3. Stabilkan penderita sebelum dilakukan transport

4. Persiapkan tenaga yang terlatih agar proses transport berjalan


dengan aman

d. Protokol rujukan

1. Sebelum melakukan rujukan harus melakukan komunikasi dengan


memberikan informasi ke RS rujukan tentang :
a. Identitas penderita ;nama, umur, kelamin,dll

b. Hasil anamnesa penderita dan termasuk data pra RS

c. Penemuan awal pemeriksaan dengan respon terapi

2. Informasi untuk petugas pendamping

a. Pengelolaan jalan nafas

b. Cairan yang telah/akan diberikan

c. Prosedur khusus yang mungkin diperlukan

d. GCS, resusitasi, dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi


dalam perjalanan.

3. Dokumentasi

Harus disertakan dengan penderita :

a. Permasalahan penderita
b. Terapi yang telah diberikan
c. Keadaan penderita saat akan dirujuk
d. Sebaiknya dengan fax agar data lebih cepat sampai
e. Sebelum rujukan

Sebelum dirujuk stabilkan dulu penderita, yaitu :

1. Airway : pasang OPA bila perlu intubasi

2. Breathing : tentukan laju pernafasan, oxygen bila perlu ventilasi


mekanik

3. Circulation : Kontrol pendarahan

4. Pasang infus bila perlu 2 jalur

5. Tentukan jenis cairan

6. Perbaiki kehilangan darah, bila perlu teruskan selama transportasi


7. Pemasangan kateter urin

8. Monitor kecepatan dan irama jantung

9. Berikan diuretik bila diperlukan

10. Bila curiga ada cedera cervikal dan tulang belakang

11. Luka :

a. hentikan pendarahan dengan balutan dan tehnik lainnya


b. profilaksis tetanus
c. antibiotik bila perlu

12. Fraktur : pasang bidai atau traksi

f. Pegelolaan selama transport

Petugas pendamping harus :

1. Monitor, tanda-tanda vital bila tersedia, pasang pulse oxymetry

2. Bantu kardio respirasi bila diperlukan

3. Pemberian darah bila diperlukan

4. Pemberian obat-obatan sesuai instruksi dokter atau sesuai protap

5. Melakukan komunikasi dengan dokter selama transportasi

6. Dokumentasi

7. Permasalahan

8. Pemindahan penderita dari satu tempat ke tempat lain tanpa


mempertimbangkan jarak selalu berbahaya

9. Harus dipikirkan masalah yang akan timbul selama transportasi.


Misal : ETT tercabut, pemakai monitor jantung, penggunaan listrik
yang tidak cocok

10. Terjadi penurunan tingkat kesadaran atau hemodinamika


11. Data dengan hasil pemeriksaan tertinggal

5. Tanatologi

Definisi Tanatologi

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan


kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu
Kedokteran Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
kematian yaitu definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada
tubuh setelah terjadi kematian dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan tersebut.

Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi


sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi
dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang
menjadi kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian
batang otak.

Manfaat

Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat menetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan
menentukan wajar atau tidak wajarnya kematian korban. Menetapkan
apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui dari masih
adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematian. Tanda kehidupan dapat
kita nilai dari masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh
korban. Sebaliknya, tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian.

Jenis Kematian

Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga sistem


yang mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut antara lain sistem
persarafan, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Ketiga sistem itu
sangat mempengaruhi satu sama lainnya, ketika terjadi gangguan pada satu
sistem, maka sistem-sistem yang lainnya juga akan ikut berpengaruh.

Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis
(mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati
batang otak).

a. Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena
sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang
bersifat menetap. Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak
ditemukan adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi
tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak
pernapasan dan suara napas tidak terdengar saat auskultasi.
b. Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga
sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada
kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
c. Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan
hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga
terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan.
d. Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer
otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan
kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler
masih berfungsi dengan bantuan alat.
e. Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk
batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati
batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak
dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.

Cara Mendeteksi Kematian


Melalui fungsi sistem saraf, kardiovaskuler, dan pernapasan, kita bisa
mendeteksi hidup matinya seseorang.

1. Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf, ada lima hal yang
harus kita perhatikan yaitu tanda areflex, relaksasi, tidak ada
pegerakan, tidak ada tonus, dan elektro ensefalografi (EEG) mendatar/
flat.
2. Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada enam
hal yang harus kita perhatikan yaitu denyut nadi berhenti pada palpasi,
denyut jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi, elektro
kardiografi (EKG) mendatar/ flat, tidak ada tanda sianotik pada ujung
jari tangan setelah jari tangan korban kita ikat (tes magnus), daerah
sekitar tempat penyuntikan icard subkutan tidak berwarna kuning
kehijauan (tes icard), dan tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada
insisi arteri radialis.
3. Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada
beberapa hal yang harus kita perhatikan, antara lain tidak ada gerak
napas pada inspeksi dan palpasi, tidak ada bising napas pada
auskultasi, tidak ada gerakan permukaan air dalam gelas yang kita
taruh diatas perut korban pada tes, tidak ada uap air pada cermin yang
kita letakkan didepan lubang hidung atau mulut korban, serta tidak ada
gerakan bulu ayam yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.

Tanda Kematian

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini
pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut
dikenal sebagai tanda kematian yang nantinya akan dibagi lagi menjadi
tanda kematian pasti dan tanda kematian tidak pasti.

A. Tanda kematian tidak pasti

1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.


2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak
teraba.

3. Kulit pucat.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.

5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah


kematian.

6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit


yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata.

B. Tanda kematian pasti

1. Livor mortis

Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem
lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, dan
vibices. Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar merah
kebiruan atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh mayat
akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena terhentinya
kerja pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan bagian tubuh
mayat yang tertekan oleh alas keras. Bercak tersebut mulai tampak
oleh kita kira-kira 20-30 menit pasca kematian klinis. Makin lama
bercak tersebut makin luas dan lengkap, akhirnya menetap kira-kira
8-12 jam pasca kematian klinis.

Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita


menekannya. Hal ini berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam
pasca kematian klinis. Juga lebam masih bisa berpindah sesuai
perubahan posisi mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita
hilangkan dengan penekanan jika lama kematian klinis sudah terjadi
kira-kira lebih dari 6-10 jam.

Ada 4 penyebab bercak makin lama semakin meluas dan menetap,


yaitu :
1. Ekstravasasi dan hemolisis sehingga hemoglobin keluar.
2. Kapiler sebagai bejana berhubungan.
3. Lemak tubuh mengental saat suhu tubuh menurun.
4. Pembuluh darah oleh otot saat rigor mortis.

Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita
temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai
dengan posisi mayat. Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat
terlentang, dapat kita lihat pada belakang kepala, daun telinga,
ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari dibawah kuku, dan
kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat kita
lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi.

Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat kita
lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor
tungkai. Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat
kita lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.

Lebam pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-
paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus
yang dibawah (dalam rongga panggul).

Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume darah
yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan warna
lebam. Volume darah yang beredar banyak menyebabkan lebam
mayat lebih cepat dan lebih luas terjadi. Sebaliknya lebih lambat dan
lebih terbatas penyebarannya pada volume darah yang sedikit,
misalnya pada anemia.

Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan penyebab kematian yaitu

1. warna merah kebiruan merupakan warna normal lebam,


2. warna merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN,
atau suhu dingin,
3. warna merah gelap menunjukkan asfiksia,
4. warna biru menunjukkan keracunan nitrit dan
5. warna coklat menandakan keracunan aniline.

Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti kematian,


tanda memperkirakan saat dan lama kematian, tanda memperkirakan
penyebab kematian dan posisi mayat setelah terjadi lebam bukan
pada saat mati.

Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah akibat
trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat trauma akan
menempati ruang tertentu dalam jaringan. Warna tersebut akan
hilang jika irisan jaringan kita siram dengan air.

2. Kaku mayat (rigor mortis)

Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot
yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut
otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer; hal
mana disebabkan oleh karena terjadinya perubahan kimiawi pada
protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot.

a. Cadaveric spasme
Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan
dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-
kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi kematian somatis
dan tanpa melalui relaksasi primer.
b. Heat Stiffening
Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu
tinggi, misalnya pada kasus kebakaran.
c. Cold Stiffening
Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu
rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer,
atau bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga cairan
tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku.

3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)

Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya


produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-
menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan perbedaan suhu
antara mayat dengan lingkungannya. Algor mortis merupakan salah
satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah
berada pada fase lanjut post mortem.

Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat


dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor, yaitu
masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat dan perbedaan
koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.

Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya


penurunan suhu tubuh mayat, yaitu :

1. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.


2. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin
lama penurunan suhu tubuhnya.
3. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
4. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat.
5. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat
penurunan suhu tubuh mayat.
6. Aktivitas sebelum meninggal.
7. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan
suhu tubuh tinggi.
8. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
9. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang
terpapar.

Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut,


antara lain :

1. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan


suhu tubuh mayat.
2. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.
3. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.
4. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.
5. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.
6. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya tergantung
dari suhu, aliran, dan keadaan airnya.
7. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu
(98,40F - suhu rectal 0F) : 1,50F.

4. Pembusukan

Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection.


Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama
protein akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk terutama
Klostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas
pembusukan berupa H2S, HCN, dan AA. H2S akan bereaksi dengan
hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang berwarna hijau
kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan yaitu adanya
mikroorganisme dan enzim proteolitik.

Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan baru


tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan
melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah
perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu
menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk.
Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak, mata
menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan mulut mengeluarkan
darah, lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung,
dan partus (gravid), badan gembung, bulla atau kulit ari terkelupas,
aborescent pattern/ marbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna
kehijauan, pembuluh darah bawah kulit melebar, dinding perut
pecah, skrotum atau vulva membengkak, kuku terlepas, rambut
terlepas, organ dalam membusuk, dan ditemukannya larva lalat.

Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien, lambung,
usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ yang
lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan
diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara lain kelenjar
prostat dan uterus non gravid. Larva lalat dapat kita temukan pada
mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk
memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena
keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan dengan cara
mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun
dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva
lalat.

Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya


pembusukan mayat, yaitu :

1. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat pembusukan.


2. Suhu optimal yaitu 21-370C mempercepat pembusukan
3. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.
4. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi
pembusukan.
5. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk daripada
tubuh kurus.
6. Sifat medium. Udara : air : tanah (1:2:8).
7. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan. Dehidrasi
memperlambat pembusukan.
8. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat
pembusukan. Arsen, stibium dan asam karbonat memperlambat
pembusukan.
9. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat
mengalami pembusukan.

Pada pembusukan mayat kita juga dapat menginterpretasikan suatu


kematian sebagai tanda pasti kematian, untuk menaksir saat
kematian, untuk menaksir lama kematian, serta dapat
membedakannya dengan bulla intravital

5. Adipocere (lilin mayat)

Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami


hidrolisis dan hidrogenisasi pada jaringan lemaknya, dan hidrolisis
ini dimungkinkan oleh karena terbentuknya lesitinase, suatu enzim
yang dihasilkan oleh Klostridium welchii, yang berpengaruh
terhadap jaringan lemak.

Untuk dapat terjadi adipocere dibutuhkan waktu yang lama,


sedikitnya beberapa minggu sampai beberapa bulan dan keuntungan
adanya adipocere ini, tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap
bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali, sampai ratusan tahun.

6. Mummifikasi

Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan menyebabkan


pengeringan dengan cepat sehingga dapat menghentikan proses
pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap, keras dan kering.
Pengeringan akan mengakibatkan menyusutnya alat-alat dalam
tubuh, sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan ringan. Untuk
dapat terjadi mummifikasi dibutuhkan waktu yang cukup lama,
beberapa minggu sampai beberapa bulan; yang dipengaruhi oleh
keadaan suhu lingkungan dan sifat aliran udara.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L. 1995. Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi,


edisi 4, Anugrah P. Jakarta: EGC. 1014-1016
Anonym. Epiduralhematoma. www.braininjury.com/epidural-subdural-
hematoma.html.
Anonym. Epidural hematoma, www.nyp.org
Anonym. Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com
ATLS. 2008. Advanced Trauma Life Support for Doctor eighth edition.
American College of Surgeons Committee in Trauma

C.P. Warlow et. Al. 2008. Stroke Practical Management, Third Edition.
Ekayuda I. 2006. Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 359-366
Hafid A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua,
Jong W.D. Jakarta: EGC. 818-819
Mc.Donald D. Epidural Hematoma, www.emedicine.com
Mansjoer A. 2000. Tanatologi, Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga,
jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Markam S. 2005. Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua,
Harsono.Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 314
Mardjono M. Sidharta P. 2003 Mekanisme Trauma Susunan Saraf,
Neurologi Kilinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 254-259
Price D. Epidural Hematoma, www.emedicine.com
Soertidewi L. 2002. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio
Serebral, Updates In Neuroemergencies, Tjokronegoro A.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 80

Anda mungkin juga menyukai