Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Afiks dan Afiksasi

Ramlan (1983 : 48) menyatakan bahwa afiks ialah suatu satuan gramatik

terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok

kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk

kata atau pokok kata baru. Misalnya kata minuman. Kata ini terdiri dari dua unsur,

ialah minum yang merupakan kata dan –an yang merupakan satuan terikat. Maka

morfem –an diduga merupakan afiks. Setiap afiks berupa satuan terikat, artinya

dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara garamatikal selalu melekat

pada satuan lain. Afiks-afiks yang terletak di lajur paling depan disebut prefiks

karena selalu melekat di depan bentuk dasar; yang terletak di jalur tengah disebut

infiks karena selalu melekat di tengah bentuk dasar, dan yang terletak di lajur

belakang disebut sufiks karena selalu melekat di belakang bentuk dasar. Ketiga

macam afiks itu biasa juga disebut awalan, sisipan, dan akhiran (Ramlan, 1983 : 50).

Menurut Cahyono (1995 : 141) morfem terikat itu ialah afiks. Morfem ini

tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki arti sebelum melekat pada satuan lain.

Berdasarkan kedudukan morfem terikat dengan morfem bebas itu, pembubuhan

dapat dibedakan menjadi empat, yaitu pembubuhan depan, pembubuhan tengah,

pembubuhan akhir, dan pembubuhan terbelah (Parera, 1988 dalam Cahyono, 1995 :

145). Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Fromkin dan Rodman (1998:519

Universitas Sumatera Utara


dalam Yogianto, 2010) yang menyatakan bahwa afiks adalah morfem terikat yang

dilekatkan pada morfem dasar atau akar.

Sementara itu, Muslich (2008 : 41) mengemukakan bahwa afiks ialah bentuk

kebahasaan terikat yang hanya mempunyai arti gramatikal, yang merupakan unsur

langsung suatu kata, tetapi bukan merupakan bentuk dasar, yang memiliki

kesanggupan untuk membentuk kata-kata baru.

Afiksasi (affixation) adalah penambahan dengan afiks (affix). Afiks itu selalu

berupa morfem terikat, dan dapat ditambahkan pada awal kata (prefiks; prefix) dalam

proses yang disebut prefiksasi (prefixation), pada akhir kata (sufiks; suffix) dalam

proses yang disebut sufiksasi (suffixation), untuk sebagian pada awal kata serta untuk

sebagian pada akhir kata (konfiks, ambifiks, atau simulfiks; confix, ambifix, simulfix)

dalam proses yang disebut konfiksasi, ambifiksasi atau simulfiksasi (confixation,

ambifixation, simulfixation), atau di dalam kata itu sendiri sebagai suatu “sisipan”

(infiks; infix) dalam proses yang disebut infiksasi (infixation) (Verhaar, 1988 : 60).

Samsuri (1994 : 190) menyatakan bahwa afiksasi yaitu penggabungan akar

atau pokok dengan afiks (-afik).

Kridalaksana berpendapat bahwa afiksasi adalah proses yang mengubah

leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2)

menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah berstatus kata

berganti kategori), (3) sedikit banyak berubah maknanya (1996 : 28). Selanjutnya ia

menambahkan bahwa proses afiksasi bukanlah hanya sekadar perubahan bentuk saja,

melainkan juga pembentukan leksem menjadi kelas kata tertentu (1996 : 32). Jenis

afiks secara tradisional dapat diklasifikasikan atas:

a. Prefiks, yaitu afiks yang diletakkan di muka dasar,

Universitas Sumatera Utara


Contoh: me-, di-, ber-, ke-, ter-, pe-, per-, se-,

b. Infiks, yaitu afiks yang diletakkan di dalam dasar,

Contoh: -el-, -er-, -em-, dan –in-.

c. Sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar,

Contoh: -an, -kan, -i.

d. Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental

yang dileburkan pada dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks

dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk

dasar, dan fungsinya ialah membentuk verba atau memverbalkan nomina,

ajektiva atau kelas kata lain. Contoh berikut terdapat dalam bahasa

Indonesia non-standar: kopi-ngopi, soto-nyoto, sate-nyate, kebut-ngebut.

e. Konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar

dan satu di belakang bentuk dasar; dan berfungsi sebagai salah satu

morfem terbagi.

Contoh: ke-an, pe-an, per-an, dan ber-an (Kridalaksana, 1996 : 29).

Proses afiksasi dimungkinkan oleh dua hal pokok yaitu adanya afiks

(imbuhan) dan bentuk dasar. Proses pembubuhan afiks (afiksasi) ialah peristiwa

pembentukan kata dengan jalan membubuhkan afiks pada bentuk dasar (Muslich,

2008 : 38). Menurutnya, segala morfem imbuhan, baik imbuhan awal (prefiks),

imbuhan tengah (infiks), imbuhan akhir (sufiks), maupun imbuhan terbelah (konfiks

atau simulfiks), dapat bergabung dengan bentuk dasar bebas.

Universitas Sumatera Utara


2.1.2 Bahasa Nias

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa yang digunakan oleh sekelompok

masyarakat yang terdapat di Sumatera Utara, tepatnya di sebelah barat pulau

Sumatera yang dikenal dengan nama Pulau Nias. Dalam wikipedia (2010) dikatakan

bahwa Pulau Nias disebut dengan istilah Tanö Niha yang berasal dari kata Tanö

(tanah) dan Niha (manusia).

Penduduk asli pulau Nias dikenal dengan sebutan suku Nias. Suku Nias

adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih

tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö, yang mengatur segala segi

kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.

Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (suatu istilah yang

menunjuk pada peninggalan-peninggalan budaya prasejarah yang menggunakan

batu-batu besar). Hal ini dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada

batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai

sekarang.

Penduduk Nias masih mengandalkan hasil pertanian sebagai penghasilan

utamanya hingga saat ini. Hal tersebut didukung oleh alam Nias yang menawarkan

lahan potensial untuk dibudidayakan. Hasil-hasil pertanian yang terdapat di Nias

antara lain yaitu karet, kelapa, kopi, cengkeh dan nilam.

Hampir seluruh masyarakat Nias menggunakan bahasa Nias sebagai alat

komunikasi. Bahasa yang dikenal dengan ciri khasnya yang tidak memiliki konsonan

di akhir fonem ini juga merupakan bahasa pertama bagi anak-anak. Namun, dengan

diberlakukannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan,

maka bahasa Indonesia memiliki peluang untuk digunakan sebagai media

Universitas Sumatera Utara


komunikasi dalam berinteraksi. Hal ini juga ikut dipengaruhi oleh mobilitas

penduduk yang semakin dinamis dan perkembangan teknologi yang sekarang bisa

menjalar ke pelosok-pelosok.

Gambaran tentang pulau Nias dapat dilihat pada peta berikut:

PETA PULAU NIAS

Universitas Sumatera Utara


2.2 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori morfologi struktural.

Morfologi struktural merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji struktur

dan proses pembentukan kata. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta

pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau

dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk

kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun

fungsi semantik (Ramlan, 1983 : 16). Ilmu morfologi menyangkut struktur “internal”

(Verhaar, 2001 : 11). Verhaar (2001) juga berpendapat bahwa cabang yang namanya

“morfologi” mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan

gramatikal. Morfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa

serta pengaruh perubahan bentuk bahasa pada fungsi dan arti kata. Sasaran

pengkajian dalam morfologi ialah kata dan morfem (Cahyono, 1995 : 140).

Dalam membentuk sebuah kata dikenal adanya proses morfologis. Menurut

Samsuri (1994 : 190), cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem

yang satu dengan morfem yang lain disebut proses morfologis. Pembentukan kata-

kata ini melalui beberapa proses yaitu proses pembubuhan afiks (afiksasi), proses

pengulangan (reduplikasi), dan proses pemajemukan. Proses pembubuhan afiks ialah

pembubuhan afiks pada sesuatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal

maupun bentuk kompleks untuk membentuk kata. Proses pengulangan ialah

pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan

variasi fonem maupun tidak. Proses pemajemukan ialah penggabungan dua kata yang

menimbulkan suatu kata baru (Ramlan, 1983 : 47, 55, 67).

Universitas Sumatera Utara


Proses morfologis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah proses

pembubuhan afiks. Hal ini sejalan dengan topik yang diteliti oleh peneliti, yaitu

proses afiksasi dalam bahasa Nias.

Pengertian afiksasi atau pengimbuhan menurut Putrayasa (2008 : 5) adalah

proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar,

baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks.

Menurut Verhaar (2001 : 107-108) afiks ada 4 macam:

a. Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut

“prefiksasi”.

Contoh: prefiks {men-} seperti dalam: mencuri, menyalak, melintang, dan

merintis; prefiks {pen-} seperti dalam pengurus, pemarah, pencipta, dan

penyatu; prefiks {ke-} dalam kedua, ketiga; prefiks {se-} seperti dalam

setinggi dan sesuai; {ber-} seperti dalam berjuang, belajar; {memper-}

seperti dalam memperbanyak atau memperkuat.

b. Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang

disebut “ sufiksasi”.

Contoh: sufiks {-an}, seperti dalam akhiran dan tuntutan, {-wan} dan {-

wati} seperti dalam wartawan dan wartawati; {-ku}, {-mu} dan {-nya}

seperti dalam permainanku, permainanmu dan permainannya.

c. Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam

proses yang namanya “infiksasi”.

Contoh: infiks {-in-} dalam kata kesinambungan.

d. Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks, yang diimbuhkan

untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah

Universitas Sumatera Utara


kanannya, dalam proses yang dinamai “konfiksasi, atau “simulfiksasi”,

atau “ambifiksasi”, atau “sirkumfiksasi”.

Contoh: konfiks {men-kan}, {memper-kan}, {men-i}, {memper-i} seperti

dalam menyembelihkan, mempermainkan, menduduki, dan memperingati;

{ke-an}seperti dalam keindahan, ketinggian.

Proses pembubuhan afiks pada morfem lain sering diikuti dengan perubahan-

perubahan fonem. Perubahan itu bisa berupa perubahan fonem ke fonem lain,

penambahan fonem, dan penghilangan fonem. Contoh: morfem afiks {meN-} yang

memiliki tiga fonem, yaitu /m/, /e/, dan /N/, setelah bergabung dengan bentuk dasar

potong, fonem /N/ berubah menjadi /m/, sehingga pertemuan itu menghasilkan kata

memotong. Dengan demikian, pada proses morfologis itu terjadi pula proses

morfofonemis yang berupa perubahan fonem, yaitu perubahan fonem /N/ menjadi

/m/: {meN]  {mem} (Muslich, 2008 : 41).

Proses pembubuhan afiks meliputi fungsi dan arti. Fungsi ialah kemampuan

morfem untuk membentuk kelas kata tertentu (Muslich, 2008 : 94). Dalam hal ini,

yang dimaksud dengan morfem yang membentuk kelas kata itu adalah morfem

imbuhan.

Contoh 1:

Bentuk dasar gergaji yang berkelas kata benda apabila mendapatkan morfem

imbuhan {meN-} akan menjadi kelas kata kerja (menggergaji). Dari contoh ini

dapat diketahui bahwa prefiks {meN-} berfungsi untuk membentuk kata kerja.

Universitas Sumatera Utara


Contoh 2:

Bentuk dasar malas yang berkelas kata sifat apabila mendapatkan morfem

imbuhan {peN-} akan menjadi kelas kata benda (pemalas). Dari contoh ini dapat

diketahui bahwa prefiks {peN-} berfungsi untuk membentuk kata benda.

Contoh 3:

Bentuk dasar makan yang berkelas kata kerja apabila mendapatkan morfem

imbuhan {-an} akan menjadi kelas kata benda (makanan). Dari contoh ini dapat

diketahui bahwa sufiks {-an} berfungsi untuk membentuk kata benda.

Contoh 4:

Bentuk dasar wibawa yang berkelas kata benda apabila mendapatkan morfem

imbuhan {ber-} akan menjadi kelas kata sifat (berwibawa). Dari contoh ini dapat

diketahui bahwa prefiks {ber-} berfungsi untuk membentuk kata sifat.

Contoh 5:

Bentuk dasar lelah yang berkelas kata sifat apabila mendapatkan morfem

imbuhan {ke-an} akan menjadi kelas kata kerja (kelelahan). Dari contoh ini dapat

diketahui bahwa konfiks {ke-an} berfungsi untuk membentuk kata kerja.

Contoh 6:

Bentuk dasar ikat yang berkelas kata kerja apabila mendapatkan morfem

imbuhan {ter-} akan menjadi kelas kata sifat (terikat). Dari contoh ini dapat

diketahui bahwa prefiks {ter-} berfungsi untuk membentuk kata sifat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembubuhan afiks pada kata

dapat menyebabkan perubahan golongan kata. Perubahan golongan kata ini dapat

berupa perubahan dari golongan kata benda menjadi kata kerja ataupun sebaliknya,

dari golongan kata sifat menjadi kata benda ataupun sebaliknya, dan dari golongan

Universitas Sumatera Utara


kata sifat menjadi kata kerja atau dari golongan kata kerja menjadi kata sifat.

Perubahan-perubahan tersebut tentu saja tidak terlepas dari imbuhan yang melekati

bentuk dasar dari golongan kata tertentu.

Arti atau nosi adalah arti yang ditimbulkan oleh proses afiksasi. Arti ini

timbul sebagai akibat bergabungnya morfem satu dengan yang lain. Muslich (2008 :

66) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arti pada pembicaraan ini bukanlah

arti suatu kata yang terdapat dalam kamus, arti leksikal, tetapi arti sebagai akibat

bergabungnya morfem satu dengan yang lain, arti struktural atau arti gramatikal.

Jika fungsi gramatik disebut sebagai fungsi, maka fungsi semantik disebut

sebagai arti atau nosi dalam proses pengimbuhan morfem. Arti morfem imbuhan

selalu bergantung pada kelas kata bentuk dasarnya. Selain itu, arti morfem imbuhan

tidak dapat dipisahkan dengan fungsi morfem itu sendiri.

Contoh 1:

Prefiks{meN-} mempunyai arti ‘melakukan tindakan seperti yang tersebut

pada bentuk dasarnya’. Misalnya, dalam kata membaca, menendang, mengantar.

Contoh 2:

Infiks {-er-} mempunyai arti ‘menyatakan banyak dan bermacam-macam’.

Misalnya dalam kata gigi-gerigi, sabut-serabut, titik-teritik.

Contoh 3:

Sufiks {-i} mempunyai arti ‘menyatakan intensitas, pekerjaan yang

dilangsungkan berulang-ulang (frekuentatif), atau pelakunya lebih dari satu orang.

Misalnya, dalam kata menembaki, melontari, melompati.

Universitas Sumatera Utara


Contoh 4:

Konfiks {me-kan} mempunyai arti ‘menjadikan sesuatu atau menganggap

sebagai ‘. Misalnya, dalam kata-kata memperhambakan, mempermasalahkan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap proses pembentukan kata, khususnya terhadap proses

afiksasi pernah dilakukan sebelumnya. Tambun (1980) dalam skripsinya yang

berjudul “Perbandingan Afiksasi antara Bahasa Alas dengan Bahasa Indonesia”

membandingkan afiksasi bahasa Alas dengan afiksasi bahasa Indonesia yang

meliputi prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Menurutnya, terdapat perbedaan dan

persamaan antara afiksasi bahasa Alas dengan bahasa Indonesia.

Syafii (1981), dalam skripsinya yang berjudul “Afiksasi Bahasa Kurinci

Tanjung Morawa” melakukan penelitian terhadap afiksasi dalam bahasa Kurinci.

Namun, penelitiannya dibatasi pada afiks yang produktif saja, seperti prefiks, sufiks,

dan konfiks.

Kasmi (1981), dalam skripsinya yang berjudul “Pemakaian Prefiks dalam

Bahasa Minangkabau” mengkaji tentang pembagian prefiks dalam bahasa

Minangkabau yang melingkupi bentuk, distribusi, fungsi dan nosi dari prefiks

tersebut.

Selain itu, dalam skripsi yang berjudul “Morfologi Bahasa Jawa Dialek

Gebang” (1981), Deliana meneliti morfologi dalam bahasa Jawa dialek Gebang yang

meliputi afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan klitisasi.

Penelitian tentang morfologi juga pernah dilakukan oleh Amilah (1982)

dalam skripsinya yang berjudul “Morfologi Bahasa Melayu Dialek Asahan”. Ia

Universitas Sumatera Utara


meneliti tentang morfologi dan proses morfologis yang di dalamnya mencakup

tentang awalan (prefiks) dan akhiran (sufiks).

Purba (1984), dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Komparatif antara

Prefiks Bahasa Nias dengan Prefiks Bahasa Pakpak Dairi” membahas persamaan

dan perbedaan prefiks antara kedua bahasa tersebut. Penelitian ini kemudian

dilanjutkan oleh Siahaan (1986) dalam skripsi yang judulnya sama, tetapi dengan

penguraian yang agak berbeda dari peneliti sebelumnya. Menurut Purba prefiksasi

adalah proses pembubuhan afiks atau imbuhan di depan kata dasar/pelekatan kepada

kata dasar dan membentuk kesatuan arti, sedangkan menurut Siahaan prefiksasi ialah

proses penambahan prefiks di awal bentuk dasar. Dari kedua skripsi tersebut

dijelaskan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara prefiks bahasa Nias

dengan prefiks bahasa Pakpak Dairi. Prefiks dalam bahasa Nias terdiri atas /maN-/,

/mo-/, /me-/, /mu-/, /la-/, /i-/, /te-/, /faN-/, /fa-/, /aN-/, /a-/, /da-/, /saN-/, sedangkan

prefiks dalam bahasa Pakpak Dairi terdiri atas /meN-/, /i-/, /ter-/, /pe-/, /per-/, /me-/,

/se-/, /ki-/, /N-/.

Bangun (1985) membandingkan prefiks bahasa Nias dengan bahasa Dairi

dalam skripsinya yang berjudul “Suatu Tinjauan Komparatif Perbandingan Prefiks

Bahasa Nias dengan Bahasa Dairi”. Menurutnya prefiks dalam bahasa Nias terdiri

atas /mo-/, /fa-/, /me-/, /faN-/, /maN-/, /i-/, /te-/, /mu-/, /saN-/, /da-/, /la-/, /a-/, /aN-/,

sedangkan prefiks bahasa Pakpak Dairi terdiri atas /men-/, /ter-/, /me-/, /pe-/, /per-/,

/i-/, /ki-/, /se-/, /N-/. Prefiks dari kedua bahasa tersebut memiliki persamaan dan

perbedaan. Berdasarkan pengamatan peneliti, skripsi Bangun tidak menjelaskan

proses morfofonemik yang terjadi dalam prefiksasi kedua bahasa yang ditelitinya.

Selain itu, pemakaian lambang morfem dalam skripsi tersebut kurang tepat karena

Universitas Sumatera Utara


lambang yang digunakannya adalah lambang fonetis. Hal lain yang juga tidak luput

dari pengamatan peneliti adalah setiap kata ‘prefiks’ dalam skripsi tersebut selalu

dituliskan dengan kata ‘prepiks’.

Butet Popy (1987), dalam skripsinya yang berjudul “Afiksasi Bahasa Pesisir

Sibolga” membahas tentang afiksasi yang terdapat dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Menurutnya afiks atau imbuhan ialah bentuk linguistik yang dapat melekat pada

berbagai-bagai kata untuk membentuk kata baru. Ia membahas tentang prefiks,

sufiks, dan simulfiks dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Sembiring (1992), dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Afiksasi

antara Bahasa Batak Karo dengan Bahasa Nias” membahas perbedaan dan

persamaan afiksasi antara kedua bahasa tersebut. Penelitiannya dibatasi pada prefiks,

infiks, dan sufiks. Sembiring menjelaskan bahwa afiksasi adalah pembubuhan afiks

pada bentuk dasar, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan baik dalam jenis

bentuk dan arti. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa prefiks dalam bahasa Nias terdiri

atas /man-/, /me-/, /mo-/, /mu-/, /la-/, /i-/, /te-/, /fan-/, /fa-/, /an-/, /da-/, /san-/, /a-/;

infiks hanya satu, yaitu /-ga-/; sufiks terdiri atas /-o/, /-go/, /-fo/, /-ni/, /-si/, /-ma/, /-i/,

/-so/, /-ta/, /-wa/, /-to/, /-nia/, /-la/, /-sa/, /-a/. Menurutnya terdapat persamaan dan

perbedaan antara bahasa Batak Karo dan bahasa Nias.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Sembiring adalah dalam

skripsi ini dijelaskan proses afiksasi yang meliputi prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks

sedangkan penelitian Sembiring dibatasi pada prefiks, infiks dan sufiks saja. Dalam

skripsi Sembiring dibandingkan dua bahasa sedangkan pada penelitian ini tidak ada

perbandingan dua bahasa. Selain itu, dalam skripsi ini diuraikan proses

morfofonemik tiap-tiap afiks, sedangkan dalam skripsi Sembiring tidak diuraikan.

Universitas Sumatera Utara


Dalam skripsi yang berjudul “Analisis Morfologis pada Novel La Barka

Karya Nh. Dini (1994), Harsani mengkaji proses morfologis pada novel tersebut

yang meliputi afiksasi, pengulangan, dan pemajemukan.

Nilawijaya (1997) membahas tentang morfem bebas dan morfem terikat,

proses morfologis (afiksasi, reduplikasi, dan kompositum) bahasa Melayu

Palembang dalam skripsinya yang berjudul “Morfologi Bahasa Melayu Palembang”.

Siregar (2000), dalam skripsinya yang berjudul “Morfologi Kata Kerja

Bahasa Angkola” membahas tentang morfologi kata kerja bahasa Angkola yang

meliputi ciri morfologis, sintaksis, semantis, dan bentuk kata kerja. Ia juga

membahas tentang reduplikasi dan kata kerja berimbuhan.

Perbandingan prefiks antara dua bahasa dilakukan oleh Siagian (2009) dalam

skripsinya yang berjudul “Perbandingan Prefiks Bahasa Indonesia dengan Prefiks

Bahasa Batak Toba”. Ia membandingkan antara prefiks bahasa Indonesia dan prefiks

bahasa Batak Toba dengan menjelaskan persamaan dan perbedaan prefiks dari kedua

bahasa tersebut.

Dari penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa pembentukan kata,

khususnya afiksasi, mencakup jenis-jenis afiks itu sendiri serta hal-hal yang meliputi

proses pengimbuhannya, seperti bentuk afiks, distribusi afiks, juga fungsi dan makna

afiks tersebut. Hasil penelitian tersebut dapat menjadi informasi dan acuan bagi

peneliti saat ini dalam meneliti afiksasi bahasa Nias.

Dalam penelitian ini, peneliti sendiri mengkaji tentang afiksasi dalam bahasa

Nias dialek Gunungsitoli yang meliputi prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Proses

pembubuhan afiks dalam bahasa Nias ini mencakup bentuk, distribusi, fungsi, dan

nosi.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai