Anda di halaman 1dari 14

A.

SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN KESEHATAN


JIWA

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam


keadaan bugar dan nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar
dan nyaman adalah relatif, karena bersifat subjektif sesuai orang yang
mendefinisikan dan merasakan. Bagi seorang kuli bangunan, kaki
kejatuhan batu, tergencet, dan berdarah-darah adalah hal biasa, karena
hanya dengan sedikit dibersihkannya, kemudian disobekkan pakaian
kumalnya, lalu dibungkus, kemudian dapat melanjutkan pekerjaan lagi.
Namun, bagi sebagian orang, sakit kepala sedikit harus berobat ke luar
negeri. Seluruh komponen tubuh juga relatif, apakah karena adanya panu,
kudis, atau kurap pada kulit, seseorang disebut tidak sehat? Padahal
komponen tubuh manusia bukan hanya fisik, melainkan juga psikologis
dan lingkungan sosial bahkan spiritual. Jiwa yang sehat sulit didefinisikan
dengan tepat. Meskipun demikian, ada beberapa indikator untuk menilai
kesehatan jiwa. Karl Menninger mendefinisikan orang yang sehat jiwanya
adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri pada
lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan
bahagia. Michael Kirk Patrick mendefinisikan orang yang sehat jiwa
adalah orang yang bebas dari gejala gangguan psikis, serta dapat berfungsi
optimal sesuai apa yang ada padanya. Clausen mengatakan bahwa orang
yang sehat jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental
akibat berbagai stresor, serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor,
intensitas, makna, budaya, kepercayaan, agama, dan sebagainya. Banyak
sejarah kperawatan kesehatan jiwa antara lain :
a. Zaman Mesir Kuno
Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena
adanya roh jahat yang bersarang di otak. Oleh karena itu, cara
menyembuhkannya dengan membuat lubang pada tengkorak
kepala untuk mengeluarkan roh jahat yang bersarang di otak
tersebut. Hal ini terbukti dengan ditemukannya lubang di kepala
pada orang yang pernah mengalami gangguan jiwa. Selain itu,

1
ditemukan pada tulisan Mesir Kuno tentang siapa saja yang
pernah kena roh jahat dan telah dilubangi kepalanya. Tahun-
tahun berikutnya, pasien yang mengalami gangguan jiwa diobati
dengan dibakar, dipukuli, atau dimasukkan dalam air dingin
dengan cara diajak jalan melewati sebuah jembatan lalu
diceburkan dalam air dingin dengan maksud agar terkejut, yakni
semacam syok terapi dengan harapan agar gangguannya
menghilang.Hasil pengamatan berikutnya diketahui ternyata
orang yang menderita skizofrenia tidak ada yang mengalami
epilepsi (kejang atau hiperplasia). Padahal penderita epilepsi
setelah kejangnya hilang dapat pulih kembali. Oleh karenanya,
pada orang skizofrenia dicoba dibuat hiperplasia dengan
membuat terapi koma insulin dan terapi kejang listrik .

b. Zaman Yunani (Hypocrates)


Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu
penyakit. Upaya pengobatannya dilakukan oleh dokter dan
orang yang berdoa untuk mengeluarkan roh jahat. Pada waktu
itu, orang sakit jiwa yang miskin dikumpulkan dan dimasukkan
dalam rumah sakit jiwa. Jadi, rumah sakit jiwa lebih banyak
digunakan sebagai tempat penampungan orang gangguan jiwa
yang miskin, sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok.
Sementara orang kaya yang mangalami gangguan jiwa dirawat
di rumah sendiri. Pada tahun 1841, Dorothea Line Dick melihat
keadaan perawatan gangguan jiwa. Ia tersentuh hatinya,
sehingga berusaha memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa.
Bersamaan dengan itu, Herophillus dan Erasistratus memikirkan
apa yang sebenarnya ada dalam otak, sehingga ia mempelajari
anatomi otak pada binatang. Khale kurang puas hanya
mempelajari otak, sehingga ia berusaha mempelajari seluruh
sistem tubuh hewan (Notosoedirjo, 2001).

2
c. Zaman Vesalius
Vesalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi
hewan saja, sehingga ia ingin mempelajari otak dan sistem tubuh
manusia. Namun, membelah kepala manusia untuk dipelajari
merupakan hal yang mustahil, apalagi mempelajari seluruh sistem
tubuh manusia. Akhirnya, ia berusaha mencuri mayat manusia
untuk dipelajari. Sayangnya kegiatannya tersebut diketahui
masyarakat, sehingga ia ditangkap, diadili, dan diancam hukuman
mati (pancung). Namun, ia bisa membuktikan bahwa kegiatannya
itu untuk kepentingan keilmuan, maka akhirnya ia dibebaskan.
Versailus bahkan mendapat penghargaan karena bisa
menunjukkan adanya perbedaan antara manusia dan binatang.
Sejak saat itu dapat diterima bahwa gangguan jiwa adalah suatu
penyakit. Namun kenyatannya, pelayanan di rumah sakit jiwa
tidak pernah berubah. Orang yang mengalami gangguan jiwa
dirantai, karena petugasnya khawatir dengan keadaan pasien.
d. Revolusi Prancis I
Phillipe Pinel, seorang direktur di RS Bicetri Prancis,
berusaha memanfaatkan Revolusi Prancis untuk membebaskan
belenggu pada pasien gangguan jiwa. Revolusi Prancis ini dikenal
dengan revolusi humanisme dengan semboyan utamanya
“Liberty, Equality, Fraternity”. Ia meminta kepada walikota agar
melepaskan belenggu untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya,
walikota menolak. Namun, Pinel menggunakan alasan revolusi,
yaitu “Jika tidak, kita harus siap diterkam binatang buas yang
berwajah manusia”. Perjuangan ini diteruskan oleh murid-murid
Pinel sampai Revolusi II.
e. Revolusi Kesehatan Jiwa II
Dengan diterima gangguan jiwa sebagai suatu penyakit,
maka terjadilah perubahan orientasi pada organo biologis. Pada
saat ini, Qubius menuntut agar gangguan jiwa masuk dalam
bidang kedokteran. Oleh karena itu, ganguan jiwa dituntut

3
mengikuti paradigma natural sciences, yaitu ada taksonomi
(penggolongan penyakit) dan nosologi (ada tanda/gejala
penyakit). Akhirnya, Emil Craepelee mampu membuat
penggolongan dari tanda-tanda gangguan jiwa. Sejak saat itu,
kesehatan jiwa terus berkembang dengan berbagai tokoh dan
spesfikasinya masing-masing.
f. Revolusi Kesehatan Jiwa III
Pola perkembangan pada Revolusi Kesehatan Jiwa II
masih berorientasi pada berbasis rumah sakit (hospital base),
maka pada perkembangan berikutnya dikembangkanlah basis
komunitas (community base) dengan adanya upaya pusat
kesehatan mental komunitas (community mental health centre)
yang dipelopori oleh J.F. Kennedy. Pada saat inilah disebut
revolusi kesehatan jiwa III.

4
TREND ISUE
PENGARUH SPIRITUAL TERHADAP KEPERAWATAN JIWA GLOBAL
Judul jurnal : The Effect of Spirituality on Mental Health
Penulis : Dr. Ajay Kumar Chaudhary dan Ms. Jyoti
Meghwal
Publikasi : Paripex
Tahun : 2015
Penelaah : kelompok 4
Tanggal Penelaah : 16 september 2018
Ringkasan Jurnal :
Spiritualitas adalah cara menerima kenyataan bahwa ada kekuatan
spiritual di alam semesta yang lebih besar dari semua umat manusia. (John
henrick Clarke). Agama dan spiritualitas biasanya dianggap sebagai faktor
protektif terhadap sejumlah hasil kesehatan negatif. Menurut jurnal “ The
Effect of Spirituality on Mental Health” telah mendokumentasikan beberapa
asosiasi antara spiritualitas dan hasil kesehatan fisik dan mental. Sebagian
besar terbukti tentang pengaruh agama pada kesehatan umum menunjukkan
bahwa agama umumnya memainkan peran positif. Di sisi lain, agama dan
spiritualitas juga dapat bersifat patologis dengan efek-efek berbahaya seperti
yang dangkal secara harafiah, otoriter atau secara membabi buta dan lain - lain.
Berbagai faktor dengan mekanisme yang berbeda mempengaruhi hubungan
antara spiritual dan keperawatan jiwa global manusia dan identifikasi variabel
pemoderasi dan mediasi ini penting untuk mengambil keputusan lebih lanjut.
Spiritual dikaitkan dengan hasil kesehatan mental yang positif bagi individu
dengan serius penyakit mental, namun layanan yang diberikan spiritualitas
jarang ditawarkan di lembaga kesehatan mental sektor publik. Konsep
spiritualitas bersifat inklusif dan mempengaruhi semua orang. Ini tumpang
tindih dengan agama, tetapi tidak seperti spiritualitas, agama berpotensi
memecah belah dan diadopsi hanya oleh beberapa orang. Dengan mengijinkan
pertimbangan kegiatan spiritual 'sekuler' dan argumen-argumen destruktif
tentang keyakinan, perspektif yang berharga dapat diterapkan ke seluruh
bidang perawatan kesehatan mental. Bukti penelitian komprehensif 2

5
menunjukkan bahwa keyakinan dan praktik keagamaan dan spiritual membantu
mencegah banyak penyakit fisik dan mental, mengurangi keparahan gejala dan
tingkat kambuh, mempercepat dan meningkatkan pemulihan, serta membuat
kesulitan dan kecacatan lebih mudah untuk bertahan. Terutama penting adalah
bahwa faktor agama dan spiritual dapat secara signifikan mempengaruhi
penyajian gangguan mental. Selain itu, pasien psikiatris secara konsisten
mengidentifikasi kebutuhan spiritual sebagai masalah penting, dan perawatan
spiritual berkontribusi pada meredakan gejala dan kesejahteraan umum Oleh
karena itu perawatan psikiatri harus secara rutin termasuk penilaian yang hati-
hati dan simpatik atau 'skrining spiritual'. Dalam dekade terakhir atau lebih,
para peneliti di berbagai disiplin telah mulai mengeksplorasi dan mengakui
kontribusi positif spiritualitas dapat membuat kesehatan mental. Pengguna
layanan dan orang yang selamat juga telah mengidentifikasi cara-cara di mana
aktivitas spiritual dapat berkontribusi pada kesehatan mental dan kesejahteraan,
penyakit mental, dan pemulihan. Maka dari itu spiritual sangat berpengaruh
terhadap keperawatan jiwa atau kesehan pada manusia itu sendiri.

6
PENDAHULUAN

Spiritualitas adalah cara menerima kenyataan bahwa ada kekuatan


spiritual di alam semesta yang lebih besar dari semua umat manusia.. Spiritual
adalah intervensi yang jarang digunakan untuk pasien, meskipun penelitian
menunjukkan hal itu mungkin efektif dan sangat berpengaruh terhadap
kesehatan manusi. Sebuah pencarian literature dilakukan untuk meneliti
pengaruh spiritual terhadap keperawatan jiwa. Ini menunjukkan bahwa spiritual ,
bila digunakan untuk keperawatan jiwa mengurangi tingkat kejiwaan pada
pasien jiwa. Tubuh dan pikiran tidak terpisahkan, pikiran yang sehat dalam
tubuh yang sehat dan sebaliknya, Kesehatan keduanya saling bertautan. Untuk
keseimbangan hidup yang sehat dan bermakna antara keduanya tidak hanya
cukup tetapi juga merupakan kondisi yang diperlukan. WHO (1958)
mendefinisikan kesehatan tidak hanya sebagai ketiadaan penyakit tetapi juga
sebagai fisik, mental, dan kesejahteraan sosial. Semua dimensi ini harus
beroperasi secara harmonis. Dewasa ini spiritualitas dan kesehatan mental
adalah bidang yang sangat diperhatikan oleh para peneliti dan psikolog karena
sangat penting dalam setiap level profesi. Kesehatan mental mengacu pada rasa
sejahtera dan kebebasan dari depresi dan penyakit mental. Kesehatan mental
menunjukkan keselarasan antara domain kognitif, afektif dan perilaku -
keseimbangan antara berpikir, merasakan, dan bertindak. Rehabilitasi
psikososial meninjau kerohanian cenderung mendefinisikannya sebagai sistem
kepercayaan pribadi yang luas daripada sistem keagamaan yang terorganisasi.
Psikolog Amerika Spaniol (2002) membahas definisi psikososial spiritualitas
dan pandangan dunia positifnya. Ini adalah “hubungan dengan seseorang atau
sesuatu di luar diri kita, seseorang atau sesuatu yang menjaga dan menghibur
kita, membimbing pengambilan keputusan kita, memaafkan ketidaksempurnaan
kita, dan merayakan perjalanan kita melalui hidup.

7
PEMBAHASAN

a. Definisi Spiritual
Spiritualitas dan religiusitas saling terkait satu sama lain, karena
keduanya terhubung dengan gagasan suci Meskipun demikian, perbedaan
yang bermanfaat dapat ditarik, Meskipun definisi bervariasi, spiritualitas
diidentifikasi dengan keyakinan pribadi sedangkan religiusitas biasanya
selaras dengankelembagaan dan tradisional International Journal of
Medicine yang secara Musim Semi 2016 Tuangkan Ashouri dkk, terkait
perilaku dan praktik. Dengan kata lain, spiritualitas terjadi baik di dalam dan
terpisah dari institusi agama Religiusitas dapat didefinisikan sebagai
ekspresi kelembagaan, formal dan lahiriah dari yang sakral dan diperiksa
oleh variabel termasuk kepercayaan pada Tuhan, pentingnya agama,
frekuensi doa, kehadiran pelayanan keagamaan, dan meditasi.

Spiritualitas dapat dianggap sebagai ekspresi pribadi, internal, dan


emosional dari yang sakral dan dinilai oleh kedamaian dan kenyamanan
yang berasal dari iman, kesejahteraan rohani, koping spiritual atau agama,
dan keterhubungan spiritual. Berdasarkan mayoritas penulis, agama adalah
objek multifaset, menggabungkan aspek emosional, kognitif, perilaku, dan
motivasi

b. Definisi keperawatan kesehatan jiwa


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam
keadaan bugar dan nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Menurut
beberapa ahli yaitu
1. Karl Menninger mendefinisikan orang yang sehat jiwanya
adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan
berinteraksi dengan baik, tepat, dan bahagia.
2. Michael Kirk Patrick mendefinisikan orang yang sehat jiwa
adalah orang yang bebas dari gejala gangguan psikis, serta
dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya.
3. Clausen mengatakan bahwa orang yang sehat jiwa adalah
orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai

8
stresor, serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas,
makna, budaya, kepercayaan, agama, dan sebagainya.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan
kriteria orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal
berikut :
1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun
kenyataan itu buruk.
2. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
c. Macam – macam klien yang membutuhkan spiritual Keperawatan Jiwa
Disamping memenuhi kriteria dasar di atas maka sebagai
kebutuhan untuk menerima pengobatan/ perawatan yang optimal maka
klien-klien yang perlu untuk memperoleh terapi spiritual diantaranya :
1. Klien skizofrenia tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah
lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil keluarganya.
2. Klien dengan gejala samar skizofrenia residual, kondisinya masih
pasif apatis, keluarga tidak mau merawatnya di rumah dengan
alasan apapun.
3. Klien psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda, tapi
masih impulsif dan cenderung melarikan diri dari rumah sakit.
4. Klien psikosis polimorf akut (E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah
reda gaduh gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum berani
mengambil.
5. Klien klien depresi berat dengan gejala psikotik yang waham dan
halusinasinya sudah reda; tetapi harus hati-hati dalam melakukan
terapi karena terapi spiritual bisa menyulut waham bersalah dan
berdosanya.

d. Tujuan Spiritualitas terhadap Keperawatan Jiwa


Terapi spiritual untuk gangguan mental dapat dilakukan pada
klien non psikotik dan klien psikotik. Kelompok non psikotik diantaranya
klien dengan gangguan cemas, gangguan somatoform, depresi, gangguan
kepribadian dan lain-lain; sedangkan klien dengan gangguan psikotik antara
lain skizofrenia, gangguan afektif berat dengan gejala psikotik ( bipolar

9
manik dan depresi berat), skizoafektif, psikosis polimorfik akut, gangguan
waham menetap, psikosis non organik lainnya dan gangguan psikotik
organic
Pada klien skizofrenia, terapi spiritual tidak bisa langsung
dilakukan bahkan dapat merupakan kontra indikasi, karena pada gangguan
psikotik (skizofrenia) klien mengalami ego yang collaps atau disfungsi,
kemampuan penalaran runtuh, adanya waham yang merupakan distorsi
pikiran, halusinasi pendengaran, visual, penciuman, taktil , gangguan
asosiasi, pikiran yang inkoheren, tingkah laku kacau atau katatonik,
gangguan daya nilai realitas, dan tidak adanya kesesuaian antara pikiran
dengan perasaan dan tindakan. Kondisi adanya gejala-gejala di atas pada
klien psikotik (skizofrenia) mengakibatkan klien tidak mampu
mengarahkan kemauannya secara sadar, tilikan diri jelek atau tidak ada, dan
tidak bisa mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Pada keadaan ini pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan
secara salah oleh klien disebabkan gejala-gejala itu semuanya berpengaruh
kuat pada proses pikirnya sehingga akan dapat memunculkan perasaan
bersalah, berdosa dan tidak berguna yang berlanjut ke usaha bunuh diri,
dapat juga mendorong munculnya kembali waham paranoid karena klien
merasa mau didoktrin ide-ide agama oleh musuh-musuhnya secara terencana.
e. Dampak Positif Spiritualitas terhadap Keperawatan Jiwa
1. Memperluas pemahaman klien tentang jatidirinya.
2. Mendorong klien untuk menyadarii sumber daya internal kekuatan
yang dimilikinya yang tidak pernah disadari kepemilikannya oleh
klien.
3. Belajar mengembangkan kepercayaan diri.
4. Mengurangi kecemasan, depresi dan kesepian.
5. Meningkatkan harga diri dan motivasi diri.
6. Memperkuat klien dalam melakukan hubungan dengan orang lain
(relationship).
7. Membantu menemukan tujuan hidupnya.
f. Dampak negatif Spiritualitas terhadap Keperawatan Jiwa

10
1. Efek yang merugikan pada metabolisme dan penggunaan obat dari
para penyembah ketika berpuasa
2. Pengaruh Alkitab mengakibatkan orang menghentikan obat yang
diperlukan
3. Risiko yang terkait dengan orang yang gagal untuk mencari
perawatan medis tepat waktu
4. Risiko ketika orang mencari alternatif, pengobatan agama yang
tidak berhasil
5. Efek psikologis negatif pada orang-orang yang tidak setuju dengan
kelompok yang melibatkan kritik dan kehilangan dukungan
6. Efek negatif pada kesehatan psikologis yang terkait dengan
keyakinan seseorang dalam Keadilan yang jauh atau tidak
bertoleransi
g. Mekanisme Terapi Spiritual Pada Keperawatan Jiwa
Terapi spiritual diberikan kepada klien untuk membangkitkan
memperkuat spirit, semangat hidup klien, biasanya akan dikaitkan dengan
keyakinan dan agamanya. Sebagai contoh klien pemeluk agama Islam
cenderung untuk melakukan terapi spiritualnya sesuai dengan ajaran Islam,
misalnya berzikir, berdoa, berpuasa, sholat. Demikian juga dalam agama
lainnya terdapat kegiatan ritual untuk penyembuhan baik dibimbing oleh
rohaniawan maupun oleh klien sendiri dengan bimbingan perawat. Teknik
relaksasi yang dikembangkan oleh Benson untuk menghilangkan nyeri,
insomnia, kecemasan merupakan bagian dari terapi spiritual. Pelaksanaan
terapi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa bimbingan dari perawat,
dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh klien. Dalam terapi ini
klien dibimbing untuk berupaya memusatkan perhatian pada suatu fokus
fikiran, ide dan harapan yang positif dengan menyebut berulang- ulang
kalimat ritual yang merupakan lafal doa sesuai keyakinan dan agamanya,
menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Teknik ini dapat
dilakukan selama 10 sampai 30 menit sebanyak dua kali dalam sehari.

Langkah-langkah respon relaksasi dapat dilakukan sebagai berikut :

11
1. Klien dibimbing untuk memilih kalimat spiritual (lafal doa) yang
akan digunakan sesuai dengan ide, harapannya dan dipahami
maknanya.
2. Klien dianjurkan duduk di tempat yang nyaman dan dalam
keadaan santai santai.
3. Klien dibimbing untuk menutup mata dan mengendorkan otot-
otot.
4. Klien dianjurkan dan dibimbing untuk bernafas secara natural
menikmati keluar masuknya udara melalui hidung.
5. Klien dibimbing dan dianjurkan untuk mengucapkan kalimat
spiritual (lafal doa) yang dilakukan secara berulang ulang.
6. Bila klien dalam melaksanakan doanya mengalami gangguan
konsentrasi atau pikiran, perawat hendaknya memfokuskan
kembali pikirannya.
7. Kegiatan terapi respon relaksasi ini dilakukan 10 sampai 30
menit.
8. Setelah melakukan teknik respon relaksasi, klien dianjurkan
untuk duduk dan istirahat terlebih dahulu, membuka pikirannya
kembali kepada situasi di sekitarnya kemudian barulah diijinkan
bangkit untuk melakukan kegiatan sehari-harinya.

Kesimpulan
Perspektif yang berbeda dari pengasuh profesional dan awam datang
bersama-sama melalui nilai-nilai spiritualitas yang menyatukan dan
menyembuhkan, yang menawarkan landasan bersama untuk diskusi yang
konstruktif ketika penderitaan tetap ada meskipun upaya terbaik semua orang.
Yang juga penting, spiritualitas menawarkan ruang diam yang akan datang
dengan penuh kasih bersama dan berbagi dalam kesedihan ketika hal-hal

12
kecil lainnya dapat dilakukan. Hal ini memungkinkan untuk kebingungan,
ketakutan, rasa bersalah, kemarahan dan perasaan menyakitkan lainnya secara
bertahap untuk menetap dan, dengan menumbuhkan rasa saling menghormati,
itu mempromosikan kekuatan penyembuhan dari pengampunan dan cinta.
Oleh karena itu, spiritualitas patut direnungkan dan didiskusikan sebagai
keprihatinan manusia yang mendalam, apakah itu merupakan bagian dari
tradisi iman tertentu, terutama dalam konteks perawatan kesehatan mental, di
mana rasa sakit dan duka emosional sangat sering dijumpai. Ada konsensus
yang berkembang bahwa kesehatan mental dan kesehatan spiritual terkait erat

saran

Selesainya makalah ini tidak terlepas dari banyaknya kekurangan-


kekurangan pembahasannya dikarenakan oleh berbagai macam faktor
keterbatasan waktu, pemikiran dan pengetahuan penulis yang terbatas, oleh
karena itu untuk kesempernuan makalah ini penulis sangat membutuhkan
saran-saran dan masukan yang bersifat membangun kepada semua pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Ah. Yusuf.2015.Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

Ann-marie Yamada, CarolineS. lime. 2014. State of Spirituality-Infused Mental


Health Services in Los Angeles County Wellness and Client-Run Centers.

13
Benjamin Loynes and Jean O’Hara. 2014. How can mental health
clinicians, working in intellectual disability services, meet the spiritual needs
of their service users?. VOL. 9 NO. 1 2015, pp. 9-18, C Emerald Group
Publishing Limited, ISSN 2044-1282

Dr. Ajay Kumar Chaudhary, Ms, Jyoti Meghwal. 2015. The Effect of Spirituality
on Mental Health. 369 Paripex – INDIAN JOURNAL OF RESEARCH.

Fazilat Pour Ashouri. 2016. The relationships between religion / spirituality and
mental and Physical Health : A review. International Electronic Journal of
Medicine.

14

Anda mungkin juga menyukai