Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pasar Melati merupakan pusat perbelanjaan sembako dan keperluan rumah tangga
lainnya. Selain itu, di Pasar Melati juga terdapat banyak kios-kios yang menjual pakaian
bekas impor atau biasa disebut ‘monza’. Pasar Melati dikenal sebagai salah satu kawasan
penjualan monza terbesar. Hampir rata-rata para pedagang yang berjualan di kawasan pasar
ini adalah kaum wanita. Pasar ini sangat ramai pada Hari Selasa, Jumat dan Minggu
sedangkan pada hari lain tidak begitu banyak pedagang yang berjualan. Di Pasar Melati inilah
banyak dijumpai para kaum wanita yang bekerja sebagai pedagang. Mereka berjualan dari
pagi sampai menjelang malam.

Pasar Melati sangat berkembang dengan pesat karena pasar ini menjadi salah satu
pasar yang sangat ramai dikunjungi. Bahkan dari tahun ke tahun pasar ini terus meluas
sehingga semakin banyak pedagang yang berjualan di pasar ini. Awalnya pedagang wanita di
pasar ini masih sedikit dan hanya berdagang di pinggiran jalan saja. Namun dengan semakin
berkembangnya pasar ini semakin banyak pedagang wanita yang berjualan. Pasar Melati pun
semakin padat dengan para pedagang wanita yang tertarik untuk ikut berjualan di pasar ini.
Hal ini sempat membuat jalan di sekitar pasar menjadi macet karena para pedagang dan
pembeli yang menumpuk. Namun seiring dengan berjalannya waktu pasar ini sudah dikelola
dengan baik sehingga arus jalan tidak terganggu lagi.

Pasar Melati pun semakin meluas tidak hanya di pinggiran jalan saja, namun sudah
banyak tempat seperti kios-kios yang dibangun untuk menampung para pedagang. Pasar ini
juga semakin lengkap menjual kebutuhan masyarakat tidak hanya sekedar sayur-sayuran,
daging dan buah-buahan namun pasar ini semakin 4 dikenal sebagai pasar yang menjual
pakaian bekas atau monza. Hal ini menjadi salah satu daya tarik dari Pasar Melati, banyak
masyarakat yang berdatangan untuk membeli pakaian-pakaian bekas tersebut. Sehingga
membuat Pasar Melati menjadi salah satu pasar yang terkenal di Kota Medan.

Dengan melihat uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk lebih mengetahui
informasi mengenai Revitalisasi dan bagaimana Citra Kota di kawasan Pasar Melati. Hal ini
merupakan salah satu faktor penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam suatu
penelitian dengan melakukan survei ketempat kawasan dengan mempertimbangkan beberapa
hal yang harus di perhatikan.
A. Pengertian Revitalisasi

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota
yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi.
Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan
mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi
harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan
lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya
berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan
peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk
melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud
bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya
partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di
lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas (Laretna, 2002)

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasiterjadi melalui beberapa tahapan
dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Intervensi fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan
secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik
bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka
kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan
kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung,
intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun
menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan
konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka
panjang.

2. Rehabilitasi ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak


urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik
kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan
ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu
memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam
konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong
terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

3. Revitalisasi sosial/institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur


bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar
membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta
dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public
realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan
pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place
making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan
institusi yang baik
A. Revitalisasi Kawasan Kota Lama, Bukan Sekedar ‘Beautification’

Revitalisasi termasuk di dalamnya adalah konservasi-preservasi merupakan bagian


dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan fisik budaya masa lampau yang
memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural. Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian
lingkungan binaan agar tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses
kerusakan.Tergantung dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini
biasanya disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.

Upaya ini sebetulnya lebih ditujukan untuk kawasan-kawasan pusat kota tua (down
town), di mana pada kawasan tersebut dimasa kejayaannya merupakan kawasan yang di
rancang dan ditata sedemikian rupa sehingga dapat memberikan identitas/karakter/citra yang
unik yang dapat memberikan khasana struktur visual kota. Menurut Kevin Lynch (1960),
obyek-obyek tersebut dapat berupa landmark, node (titik pertemuan) utama atau focal point
dalam kawasan.

Wacana tentang preservasi sudah ada ketika munculnya paham ‘new


urbanism’ bermisi revitalisasi bagian kota untuk mengembalikan identitas kota ke wajah kota
semula. Upaya ini diyakini akan memberikan kontribusi berupa PAD yang besar bagi kota,
jika dikelola dengan baik serta memperhatikan aspek ekonomi, serta keuntungan budaya yang
meliputi sumber-sumber sejarah yang memberikan nilai tambah bagi kebudayaan/estetika
kota.

Di beberapa kota di Amerika telah membuktikan bahwa ‘historic preservation’ dapat


menjadi katalisator (pendorong) untuk meremajakan kembali seluruh lingkungan. Pada
kawasan sejarah Beacon Hill, Boston yang merupakan kawasan perumahan, nilai propertynya
meningkat menjadi 3 kali lipat antara tahun 1955 dan tahun 1962. Di kota Vieux Corre, New
Oreleans, turis berdatangan ke kawasan tersebut khusus untuk melihat kenangan sejarah,
sehingga meningkatkan pendapatan kota $ 150 juta per tahun dan menjadikan kota konvensi
utama. (Roaddewing, 1983).

B. Revitalisasi Ruang Terbuka

Ruang terbuka menyangkut semua landscape, elemen keras (hardscape) yang


meliputi jalan, pedestrian, taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan perkotaan
(Shirvani, 1985). Sedangkan Prinz (1980) menyatakan ruang terbuka merupakan pembentuk
struktur dasar sketsa sebuah kota. Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di tengah kota,
jalan-jalan, tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil. Simpulan yang bisa ditarik
dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang yang terbentuk, berupa
softscape dan hardscape, dengan kepemilikan privat maupun publik untuk melakukan
aktivitas bersama (komunal) dalam konteks perkotaan. Secara garis besar tipologi ruang
terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front(area yang
berbatasan air), street (jalan) dan lost space. Selanjutnya dalam konteks Jakarta Kota Tua,
ruang terbuka yang dibahas lebih lanjut adalah ruang publik (umum).
Ruang publik merupakan suatu lokasi yang didesain (walau hanya minimal) dimana
siapa saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya, interaksi diantara individu didalamnya
tidak terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku para pelaku didalamnya merupakan
subyek tidak lain dari norma sosial kemasyarakatan. Sebuah ruang publik/ruang terbuka
dapat dikatakan dapat berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah seperti
etika (kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan estetika/keindahan (Jokomono, 2004)

Aspek etika mengandung pengertian tentang bagaimana sebuah ruang publik dapat
‘diterima’ keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin dimunculkan yang
senantiasa melekat dengan keberadaan ruang publik tersebut. Aspek fungsional setidaknya
terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial, ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial
merupakan syarat utama menghidupkan ruang publik, terdapat orang berkumpul dan terjadi
interaksi. Selain sosial juga terdapat faktor lingkungan dimana ligkungan yang nyaman
mampu menjadi daya tarik bagi orang untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika
ruang publik terdapat tiga tingkatan, estetika formal, fenomenologi/ pengalaman dan estetika
ekologi. Estetika formal merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak dengan
subyek. Estetika pengalaman dimana obyek dinikmati dengan partisipasi atau interaksi dan
estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses partisipasi dan adaptasi yang
memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang tersebut.

B. Pengertian Citra Kota

Pengertin Citra Kota, Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia (1987), kata citra itu
sendiri mengandung arti: rupa, gambar, gambaran, gambaran yang dimiliki orang banyak
mengenai pribadi, perusahaan/organisasi/produk. Dapat juga diartikan sebagai kesan mental
atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kota. Dengan demikian secara harafiah
citra kota dapat diartikan sebagai kumpulan dari interaksi sensorik langsung seperti
diimplementasikan melalui sistem nilai pengamat dan diakomodasikan kedalam penyimpanan
memori dimana input dari sumber tak langsung sama pentingnya David Rhind & Ray
Hudson, (1980) : Land Use, 18

citra sangat tergantung pada persepsi atau cara pandang orang masing-masing. Citra juga
berkaitan dengan hal-hal fisik. Citra kota sendiri dapat diartikan sebagai gambaran mental
dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata pandangan masyarakatnya Markus Zahnd (1999) :
Perancangan Sistem Kota Secara Terpadu, 157. Diterjemahkan melalui gambaran mental dari
sebuah kata sesuai dengan rata-rata pandangan masyarakatnya Linch (1982) : Image Of The
City, 46.

Sebuah citra lingkungan kota menurut Lynch (1982) : Image Of The City, 46 memiliki
komponen yang meliputi:

 Identitas, suatu objek harus dapat dibedakan dengan objek-objek lain sehingga
dikenal sebagai sesuatu yang berbeda atau mandiri.
 Struktur, citra harus meliputi hubungan spasial atau hubungan pola citra objek dengan
pengamat dan dengan objek-objek lainnya.
 Makna, yaitu suatu objek harus mempunyai arti tertentu bagi pengamat baik secara
kegunaan maupun emosi yang ditimbulkan.

Citra kota menurut Lynch (1982) : Image Of The City, 46. terbentuk dari elemen-elemen
pembentuk citra kotanya yang terdiri dari: 29

1. Tetenger (Landmark), yang merupakan titik referensi seperti elemen simpul tetapi tidak
masuk kedalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Tetenger adalah elemen eksternal
yang merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota misalnya gunung, bukit, gedung
tinggi, menara, tanah tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi dan lain-lain. Beberapa tetenger
letaknya dekat sedangkan yang lain jauh sampai diluar kota. Tetenger adalah elemen penting
dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengenali suatu daerah.

2. Jalur (Path), yang merupakan elemen paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch
menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan
orang meragukan citra kotanya secara keseluruhan. Jalur merupakan alur pergerakan yang
secara umum digunakan oleh manusia seperti jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan
kereta api, saluran dan sebagainya. Jalur mempunyai identitas yang lebih baik jika memiliki
tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun) serta ada penampakan yang kuat
(misalnya pohon) atau ada belokan yang jelas.

3. Kawasan (District), yang merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi.
Sebuah kawasan memiliki ciri khas mirip (bentuk, pola dan wujudnya) dan khas pula dalam
batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. Kawasan dalam kota
dapat dilihat sebagai referensi interior maupun eksterior. Kawasan menpunyai identitas yang
lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain.

4. Simpul (Nodes), yang merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah
atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah arah atau aktivitasnya misalnya
persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, dan jembatan. Kota secara keseluruhan
dalam skala makro misalnya pasar, taman, square dan lain sebagainya. Simpul adalah suatu
tempat dimana orang mempunyai perasaan masuk dan keluar dalam tempat yang sama.

5. Batas atau tepian (Edge), yang merupakan elemen linier yang tidak dipakai atau dilihat
sebagai jalur. Batas berada diantara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus
linier misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, topografi dan lain-lain.
Batas lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat
koordinasi (linkage). Batas merupakan penghalang 30 walaupun kadang-kadang ada tempat
untuk masuk. Batas merupakan pengakhiran dari sebuah kawasan atau batasan sebuah
kawasan dengan yang lainnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas membagi atau
menyatukan.
1.2. Permasalahan
1.3.
Bagaimana citra kota/image kota di kecamatan Medan Tuntungan pada kawasan Pasar
Melati berdasarkan teori 5 elemen pembentuk citra kota Kevin Lynch (Landmark, Nodes,
Path, Edges, serta District) dan Roger Trancick ( Figure/Ground Theory, Linkage Theory
dan Place Theory ) dan bagaimana revitalisasi yang ada pada kawasan tersebut.

1.4.Tujuan dan Sasaran

1.3.1. Tujuan

Mengetahui tentang Revitalisasi dan Citra Kota di Kecamatan Medan Tuntungan dan
mengenali Image (citra kawasan) pada kawasan Pasar Melati.

1.3.2. Sasaran

• Mendapatkan dan memahami tentang Medan Tuntungan di sekitar kawasan Pasar Melati
• Mendapatkan, memahami dan merumuskan Image (citra kawasan) Kota Maumere
berdasarkan elemen-elemen dan teori pembentuk kota
1.5.Lingkup Pembahasan
a) Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi
dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan
potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat)
b) Pembahasan melingkupi pada hal-hal yang terkait terhadap 5 elemen Kota :
− Path
− Edges
− Landmark
− District
− Nodes
a) Dalam ke 5 unsur ini akan di bahas sesuai atau meurut beberapa aspek atau elemen
yang dominan. − teori elemen kota :
− Figure/Ground Theory 34
− Linkage Theory dan Place Theory

1.6.Metode Pembahasan

Metodologi yang akan dipakai adalah Metodologi Deskriptif Kuantitatif yang mencakup
terhadap

a. Studi kepustakaan ( library research ), yaitu sistem pengumpulan data dengan mempelajari
berbagai literatur serta karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi Lapangan ( Field Research), yaitu peninjauan langsung ke lokasi yang berhubungan
dengan judul penelitian guna mengambil data yang dibutuhkan. Sebagai contoh, melakukan
survei ke lapangan dan mendokumentasikan hasil survei.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1.Deskripsi Lokasi

Kecamatan Medan Tuntungan, Medan adalah salah satu dari 21 kecamatan di


kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Tuntungan, Medan berbatasan
dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, Medan Johor di timur, Kabupaten Deli
Serdang di selatan, dan Medan Selayang di utara.

Pada tahun 2001, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 65.645 jiwa. Luasnya adalah
20,68 km² dan kepadatan penduduknya adalah 3.174,32 jiwa/km².
Sebagaian besar penduduk di kecamatan ini adalah suku-suku pendatang seperti: Tionghoa,
Minang, Batak, Aceh dan Jawa sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 40% saja. Luas
Wilayah : 21,58 Km2
Kawasan yang akan di survei adalah kawasan Pasar Melati.

Pajak Melati Medan – Pamela (Pajak Melati Mall), pusat penjualan pakaian bekas, terbesar di
Medan. Sejarah berdirinya Pamela yang pada awalnya adalah sebidang sawah dan pemilik
tanah yakni orang Karo. Sekarang sudah banyak yang menjadi pemilik dari petak tanahnya.
Informasi Pamela; diperoleh dari Pak Tarigan yang pengakuannya menjaga parkiran di
Tarigan Purba Bre Karona *bidang tanah berbeda pemilik.

Pasar melati terletak di kecamatan Medan Tuntungan


1.2. Revitalisasi di Kawasan Pasar Melati

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang
dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala
revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup
perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu
mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra
tempat).

Sebelum berdirinya Pasar Melati kawasan berdirinya Pasar Melati merupakan kawasan
persawahan dan perternakan.perekonomian pada kawasan itu hanya berkutik pada bagian
pertanian dan perternakan. Kawasan kota yang masih jauh dari hingar – bingar kebisingan,
kemacetan, dan lain – lain yang berhubungan dengan kota yang besar.

Namun setelah
berdirinya Pasar Melati,
ekonomi pada kawasan
tersebut perlahan – lahan
mulai beralih ke perdagangan
dan komersial. Pasar Melati
sangat berkembang dengan
pesat karena pasar ini menjadi
salah satu pasar yang sangat
ramai dikunjungi. Bahkan
dari tahun ke tahun pasar ini
terus meluas sehingga semakin banyak pedagang yang berjualan di pasar ini. Awalnya
pedagang wanita di pasar ini masih sedikit dan hanya berdagang di pinggiran jalan saja.
Namun dengan semakin berkembangnya pasar ini semakin banyak pedagang wanita yang
berjualan. Pasar Melati pun semakin padat dengan para pedagang wanita yang tertarik untuk
ikut berjualan di pasar ini. Hal ini sempat membuat jalan di sekitar pasar menjadi macet
karena para pedagang dan pembeli yang menumpuk. Namun seiring dengan berjalannya
waktu pasar ini sudah dikelola dengan baik sehingga arus jalan tidak terganggu lagi.

Pasar Melati pun semakin meluas tidak hanya di pinggiran jalan saja, namun sudah
banyak tempat seperti kios-kios yang dibangun untuk menampung para pedagang. Pasar ini
juga semakin lengkap menjual kebutuhan masyarakat tidak hanya sekedar sayur-sayuran,
daging dan buah-buahan namun pasar ini semakin 4 dikenal sebagai pasar yang menjual
pakaian bekas atau monza. Hal ini menjadi salah satu daya tarik dari Pasar Melati, banyak
masyarakat yang berdatangan untuk membeli pakaian-pakaian bekas tersebut. Sehingga
membuat Pasar Melati menjadi salah satu pasar yang terkenal di Kota Medan.
Hasil Survei :

Revitalisasi pada kawasan Pasar Melati

Pada saat ini perkembangan pada kawasan Pasar Melati terus mengalami perkembangan yang
pesat. Banyak faktor yang mempengaruhi cepatnya perkembangan di kawasan Pasar Melati.
Diantaranya :

 Faktor banyaknya konsumen yang berdatangan ke pasar melati dari medan maupun
dari luar medan
 Berdekatan dengan tempat – tempat penting, seperti:
- RSU Adam Malik
- Gereja Velangkani
 Telah menjadi kawasan wisata yang harus di datangi wisatawan ke medan.

Kini banyak toko monja yang baru buka di sekitaran Pasar Melati, tidak hanya membuka
toko, namun ada juga yang berjualan di tepi jalan dengan hanya memanfaatkan tepian jalan.
Semakin banyak nya toko dan pedagang kaki di sekitaran Pasar Melati membuat kawasan
tersebut mengalami perkembangan yang pesat. Kesemrautan yang ada di pasar melati
membuat kemacetan pada jalan Flamboyan dan Bunga Raya.

Sempitnya jalan akibat banyaknya pengendara yang memarkirkan kenderaannya di tepi jalan
merupakan faktor utama terjadinyanya kemacetan di kawasan tersebut.

Akibat dari padatnya jumlah toko dan jumlah manusia yang beraktivitas di kawan pasar
membuat para pedagang membuka toko ataupun lapak mereka di sekitaran pasar tepatnya di
tepi jalan – jalan besar. Sehingga membuat banyak toko atau lapak baru yang di dirikan oleh
pedagang.

Lapak baru yang berdiri di tepi jalan Bunga


Raya. Mereka berjulan jauh dari sekitaran
kawasan Pamela.
Akibat dari butuhnya tempat parkir di sekitaran kawasan pasar, banyak dari masyarakat
setempat membuka tempat untuk parkiran kenderaan para kosumen.

Dari segi kebersihan, kawasan Pasar Melati bisa dibilang sangat jorok. Banyak sampah yang
berserakan di tepi – tepi jalan sekitaran kawasan pasar. Tidak terciptanya sistem kebersihan
yang baik pada kawasan pasar yang membuat banyaknya sampah berserakan di kawasan
pasar. Tidak banyak tempat sampah yang tersedia di kawasan pasar, ada sebagian tempat
sampah namun itu juga memiliki ukuran yang kecil dan tidak mampu menampung sampah –
sampah yang dihasilkan dari Pasar.
1.3. Citra Kota Pada Kawasan Pasar Melati

1. Tetenger (Landmark), yang merupakan titik referensi seperti elemen simpul tetapi
tidak masuk kedalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya.

Di kawasan Pasar Melati memiliki satu landmark yaitu Gereja Velangkanni. Gereja
ini merupakan salah satu tempat wisata yang berada di medan.

2. Jalur (Path), yang merupakan elemen paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch
menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka
kebanyakan orang meragukan citra kotanya secara keseluruhan. Jalur merupakan alur
pergerakan yang secara umum digunakan oleh manusia seperti jalan, gang-gang
utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya.

Pada kawasan Pasar Melati terdapat 2 jalur utama yaitu Jalan Flamboyan dan Jalan
Bunga Raya.
3. Simpul (Nodes), yang merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah
atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah arah atau aktivitasnya misalnya
persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, dan jembatan.

Pasar Melati terletak pada sebuah simpul, dimana di situ tempat bertemunya antara
jalan Bunga Raya dan Jalan Flamboyan. Simpul ini lah yang menjadi faktor utama
mejadikan Pasar Melati menjadi ramai.

4. Batas atau tepian (Edge), yang merupakan elemen linier yang tidak dipakai atau
dilihat sebagai jalur. Batas berada diantara dua kawasan tertentu dan berfungsi
sebagai pemutus linier misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api,
topografi dan lain-lain.

Pada kawasan Pasar Melati terdapat Sungai yang letaknya dekat dengan Pasar Melati.
5. Kawasan (District), yang merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi.
Sebuah kawasan memiliki ciri khas mirip (bentuk, pola dan wujudnya) dan khas pula
dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. Kawasan
dalam kota dapat dilihat sebagai referensi interior maupun eksterior. Kawasan
menpunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas berdiri
sendiri atau dikaitkan dengan yang lain.

Kawasan Pasar Melati juga merupakan suatu kawasan (district) perdagangan. Terlihat
dari banyaknya toko, pasar, pedagang kaki lima yang membuka usaha di kawasan
tersebut.
1.4. Vistas dan Skyline

Vistas

Arti vista secara harafiah berhubungan dengan view yang berarti pandangan sejauh yang
dapat tertangkap oleh mata manusia. View hanya dapat dibatasi oleh sesuatu yang
menghalangi.

View merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perencanaan kawasan. Bagaimana
suatu kawasan mempunyai nilai estetika yang baik sangat ditentukan oleh faktor view.
Hal ini berhubungan dengan kontur, gaya bangunan, jalur jalan dan elemen-elemen lain
seperti furniscape, taman kota, dan public area.

Vista yang berhubungan dengan path, edge, district, dan node akan sangat mempengaruhi
citra kota. Path atau jalur yang vital seperti jalur transportasi menurut Kevin Lynch
(Perancangan Kota Secara Terpadu (Markus Zahnd, 2006)) adalah sesuatu yang mewakili
gambaran kota secara keseluruhan.

Vistas Pada Kawasan Pasar Melati

View yang terdapat di kawasan pasar melati memiliki kesan kumuh dan tidak bersih. Ciri
khas bangunan – bangunan yang terdapat di kawasan tersebut banyak merupakan
ruko/toko. Bila di lihat dari jalan Bunga Raya kesan awal melihat ke kawasan pasar
adalah terlihat kumuh atau berantakan. Tinggi bangunan yang acak atau tidak sama
terlihat sekali pada kawasan ini.

Jalan – jalan yang macet akibat banyaknya kenderaan yang masuk ke kawasa tersebut.
Sampah yang berserakan di tepian jalan – jalan akses masuk ke kawaasan tersebut.

Skyline

Bangunan dalam suatu kawasan memang memberikan warna pada wajah kota.
Namun hal tersebut hanya jika dilihat dari sudut pandang yang memungkinkan. Begitu juga
dengan ketinggian bangunan beraneka ragam, akan membentuk skyline dari kawasan
tersebut. Ketinggian bangunan yang hanya dapat dilihat puncaknya saja akan memberi nilai
artistik luar biasa bagi kawasan tersebut. Keunikan dari tata bangunan dapat menjadi
landmark tersendiri bagi kawasan tersebut.
Selain menambah nilai artistik suatu kawasan, ketinggian bangunan yang berbeda-
beda dapat memberikan informasi mengenai fungsi bangunan tersebut. Bentuk bangunan
yang dapat terlihat jelas dari jarak jauh dapat mengindikasikan apakah suatu bangunan
sebagai bangunan hunian, komersial, pemerintahan maupun fungsi lainnya. Dengan demikian
akan mudah bagi pengunjung untuk menentukan arah dan sebagai penanda kawasan.

Pada kawasan Pasar Melati bangunan di kawasan tersebut memiliki ciri khas yaitu Ruko dan
toko. Bangunan tersebut memiliki ketinggian yang berbeda – beda.

Anda mungkin juga menyukai