Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Varisela adalah infeksi akut primer oleh virus varisela zoster yang

menyerang kulit dan mukosa, manifestasi klinis didahului gejala konstitusi,

kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Penyebab

varisela adalah virus varisela-zoster (VVZ) (Aisah & Handoko, 2015 : 129).

Insidensi varisela di Amerika diperkirakan 3,1 sampai 3,5 juta setiap

tahun. Meskipun belum ada penelitian di Indonesia, namun kasus varisela

yang dirawat di beberapa rumah sakit besar di 5 provinsi menunjukkan angka

yang cukup tinggi. Sekitar 607 kasus dilaporkan oleh rumah sakit tersebut

selama kurun waktu tahun 1994-1995. Di Indonesia, dari data rumah sakit

yang terbatas itu, sebagian besar penderita berusia 5 sampai 44 tahun.

Di Amerika Serikat sekitar 90 % penduduk dewasa mempunyai kekebalan

terhadap varisela. Angka kematian penyakit ini relatif rendah. Di Amerika

Serikat rata-rata kematian adalah 2 per 100.000 kasus pada dewasa. Kematian

biasa terjadi karena adanya komplikasi. Mortalitas kasus dengan komplikasi

cukup tinggi yaitu 5 sampai 25%. Pada penderita yang selamat akan

mempunyai sekuele yang menetap berupa kejang, retardasi mental, dan

kelainan atau perubahan perilaku (Irianto, 2013 : 619).

Varisela termasuk penyakit yang kontagius (menular) dan penularan

terjadi dengan cepat secara airborn infection, terutama pada orang serumah

dan pada orang dengan imunokompromais. Pada orang dengan

imunokompromais (misalnya pasien dengan HIV) dan kelompok tertentu

1
2

biasanya gejala lebih berat dan mudah mengalami komplikasi (Aisah &

Handoko, 2015 : 128).

Gejala klinis dimulai dengan gejala prodromal, yakni demam yang

tidak terlalu tinggi, malaise dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya

erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah

menjadi vesikel.Penyebaran biasanya di daerah badan, kemudian menyebar

secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput

lendir mata, mulut, dan saluran napas bagian atas (Aisah & Handoko, 2015 :

129).

Berbagai jenis obat antivirus berguna menghambat replikasi virus

varisela-zoster, misalnya asiklovir, valasiklovir, famsiklovir, dan foskarnet.

Obat antivirus bermanfaat bila dalam waktu 24 jam setelah muncul erupsi

kulit. Imunisasi vaksin Varisela di Indonesia tidak termasuk imunisasi yang

diharuskan (Aisah & Handoko, 2015 : 128).

Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam,

sedangkan pada pasien dengan imunokompromais, prognosis menjadi dubia

ad bonam (Permenkes, 2014 : 22).

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun

2012, varisela merupakan penyakit yang masuk dalam kategori 4A.

Berdasarkan kategori 4A, maka lulusan dokter harus mampu mendiagnosis

dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas (SKDI, 2012 : 54).

Berdasarkan keadaan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik

untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Varisela”.


3

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari varisela ?

2. Bagaimana epidemiologi dari varisela ?

3. Apa etiologi dari varisela ?

4. Bagaimana patogenesis dari varisela ?

5. Bagaimana cara menegakkan diagnosis dari varisela ?

6. Apa diagnosis banding dari varisela ?

7. Bagaimana terapi dari varisela ?

8. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan oleh varisela ?

9. Bagaimana prognosis dari varisela ?

10. Bagaimana pencegahan dari varisela ?

11. Bagaimana rehabilitasi dari varisela ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi varisela

2. Untuk mengetahui epidemiologi varisela

3. Untuk mengetahui etiologi dari varisela

4. Untuk mengetahui patogenesis dari varisela

5. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis varisela

6. Untuk mengetahui diagnosis banding varisela

7. Untuk mengetahui terapi varisela

8. Untuk mengetahui komplikasi varisela

9. Untuk mengatahui prognosis varisela

10. Untuk mengetahui pencegahan varisela

11. Untuk mengetahui rehabilitasi dari varisela


4

1.4 Manfaat Penulisan

1. Untuk institusi

Sebagai tambahan referensi dan tinjauan pustaka tentang varisela

2. Untuk masyarakat

Menambah pengetahuan tentang varisela

3. Untuk penulis

Menambah pengetahuan tentang varisela dan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked)


BAB II
ISI

2.1 Definisi

Varisela adalah infeksi akut oleh virus varisela-zoster yang

menyerang kulit dan mukosa, manifestasi klinis didahului gejala konstitusi,

kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Nama lain

dari varisela adalah Chicken pox, cacar air (Aisah & Handoko, 2015 : 129).

Varisela atau cacar adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan

oleh paparan virus varisela zoster (VVZ), dan ditandai dengan ruam vesikuler

makulopapular; demam dan malaise (Bhatti et all, 2014 ; Siregar, 2014 : 88).

2.2 Epidemiologi

Varisela menyebar di seluruh dunia dan bersifat endemik, terutama

menyerang anak-anak, serta juga menyerang orang dewasa (Aisah &

Handoko, 2015 : 129). Setengah infeksi primer terjadi sebelum usia 5 tahun

dan 85 % terjadi sebelum pubertas (Griffith et all, 2016). Di Eropa dan

Amerika Utara pada era pra-vaksinasi, 90 % kasus terjadi pada anak-anak

yang kurang dari 10 tahun dan kurang dari 5 % pada individu yang berusia

lebih dari 15 tahun. Tahun 1988 sampai 1995, sekitar 11.000 orang menjalani

rawat inap dan terjadi 100 kematian yang disebabkan oleh varisela setiap

tahun di Amerika Serikat. Risiko rawat inap dan kematian jauh lebih tinggi

pada bayi dan orang dewasa dari pada anak-anak (Wofl et all, 2012 : 2383)

5
6

Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan kasus varisela

di Amerika Serikat. Tahun 1995 hingga tahun 2000, kasus varisela yang

dilaporkan ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for

Disease Control/CDC) mengalami penurunan dari 84 % menjadi 71 %. Pada

tahun 2005 kejadian varisela menurun 90 %. Penurunan terbesar terjadi pada

kelompok anak-anak berusia 1 sampai 4 tahun, namun kasus menurun pada

semua kelompok umur, termasuk bayi dan orang dewasa (Wolf et all, 2012 :

2384).

Pada daerah dengan iklim sedang, varisela merupakan penyakit

musiman yang fluktuatif, insiden paling sering terjadi pada musim hujan dan

awal musim panas. Data terkait musim lebih jarang dilaporkan pada daerah

tropis. Varisela sangat menular. Penularannya lebih tinggi daripada rubella

dan mumps, tapi lebih rendah daripada campak (CDC, 2015).

Penyakit ini cepat sekali menular pada orang-orang di lingkungan

penderita (Bhatti et all, 2014). Tingkat penularan terjadi 87 % di antara

saudara kandung yang rentan di rumah tangga dan hampir 70 % di antara

pasien yang rentan di bangsal rumah sakit. Lebih dari 95 % kasus varicella

yang menunjukkan tanda-tanda secara klinis, meskipun kadang-kadang tidak

menunjukkan tanda-tanda klinis (Wolf et all, 2012 : 2384).

Penularan terjadi melalui traktus respiratorius. Cara penularannya

melalui sekret dari traktus respiratorius. Transmisi juga dapat terjadi melalui

droplet, kontak langsung, atau dari inhalasi aerosol, baik dari cairan vesikuler

atau luka kulit dari varisela maupun herpes zoster yang akut (CDC, 2015).
7

Berbeda dengan varisela, meskipun virusnya sama VVZ, namun,

herpes zoster jarang (hanya 3 %) mengenai anak-anak. Morbiditas meningkat

seiring bertambahnya usia. Bila ditemukan hespes zoster pada anak, sebaiknya

dicurigai kemungkinan pasien tersebut immunokompromais (Aisah &

Handoko, 2015 : 129).

2.3 Etiologi

Penyebab varisela adalah virus varisela-zoster (VVZ). Penamaan

virus ini memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini menyebabkan

penyakit varisela, sedangkan reaktivasinya menyebabkan herpes zoster (Aisah

& Handoko, 2015 : 129 ; Harahap, 2013 : 94). Virus varisela zoster

merupakan anggota famili herpes virus. Virion VVZ berbentuk bulat, diameter

150 – 200 nm (Aisah & Handoko, 2015 : 129). Kelompok lain dari herpes

virus yang patogen untuk manusia adalah HSV-1 dan HSV-2, sitomegalovirus

(CMV), virus Epstein-Barr (EBV), HHV-6 dan HHV-7 yang menyebabkan

roseola, dan sarkoma kaposi terkait herpes virus, atau disebut juga HHV-8.

DNA VVZ mengkode lebih dari 70 macam protein, yang sebagian besar

memiliki urutan DNA yang sama dengan virus herpes lainnya (Wolf et all,

2012 : 2385). Salah satunya adalah enzim thymidine kinase yang rentan

terhadap obat antivirus karena memfosforilasi asiklovir sehingga dapat

menghambat replikasi DNA virus. Virus menginfeksi sel Human diploid

fibroblast in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel dan sel epidermal in

vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. Virus varisela dapat

membentuk cyncitial cell dan menyebar secara langsung dari sel ke sel

(Pusponegoro, 2014 : 9). DNA terletak diantara nukleokapsid, dan dikelilingi


8

oleh selaput membran luar dengan sedikitnya terdapat tiga tonjolan

glikoprotein mayor. Glikoprotein ini yang merupakan target imunitas humoral

dan seluler (Aisah & Handoko, 2015 : 129 ; Wolf et all, 2012 : 2385).

2.4 Patogenesis

Virus masuk melalui mukosa saluran pernapasan bagian atas dan

orofaring. Virus kemudian bermultiplikasi di tempat masuk (port d’entry), dan

menyebar melalui aliran darah dan limfe yang mengakibatkan terjadinya

viremia primer (Aisah & Handoko, 2015 : 129). Virus akan difagosit oleh sel

retikuloendotelial. Selama masa inkubasi, replikasi virus terjadi di sel

retikuloendotelial (Wolf et all, 2012 : 2385). Selama masa inkubasi tubuh

mencoba mengeliminasi virus terutama melalui sistem pertahanan tubuh non-

spesifik dan imunitas spesifik terhadap VVZ (CDC, 2015). Apabila

pertahanan tubuh gagal mengeliminasi virus, maka akan terjadi viremia

sekunder yang terjadi 2 minggu setelah infeksi. Hal ini menyebabkan panas

dan malaise serta timbulnya erupsi varisela, terutama di bagian sentral tubuh

(Harahap, 2013 : 96).

Gambar 1. Patogenesis virus varisela zoster


(Dikutip dari jurnal Varizela zoster virus, 2015)
9

Setelah erupsi kulit, virus masuk ke ujung saraf sensorik kemudian

menjadi laten di ganglion dorsalis posterior. Pada suatu saat, bila terjadi

reaktivasi VVZ, dapat terjadi menifestasi herpes zoster, sesuai dermatom yang

terkena (Kumar et all, 2013).

Gambar 2.Varisela dan herpes zoster.


(Dikutip dari Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Edition)

2.5 Penegakan Diagnosis

Masa inkubasi penyakit ini adalah 14 sampai 21 hari (Permenkes,

2014 : 19). Gejala klinis dimulai dengan gejala prodromal. Pada anak-anak,

jarang terjadi gejala prodromal (Wolf et all, 2012 : 2386). Pada remaja dan

orang dewasa, munculnya erupsi kulit seringkali didahului oleh gejala

prodromal berupa demam 2 sampai 3 hari, malaise, sakit kepala, anoreksia,

sakit punggung, dan pada beberapa individu dapat disertai sakit tenggorokan

dan batuk kering (Harahap, 2013 : 94).

Gejala prodromal ini kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa

papul eritematosa yang berkembang cepat menjadi vesikel (Aisah & Handoko,

2015 : 129). Ciri khas dari vesikel varisela adalah berdiameter 2 sampai
10

3 mm, berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit,

letaknya superfisialis, berdinding tipis, dengan dasar yang eritematosa seperti

tetesan embun (tear drops). Dalam beberapa jam, cairan vesikel akan berubah

menjadi keruh akibat masuknya sel-sel inflamasi, menjadi menyerupai pustula

dan kemudian menjadi krusta. Lesi penyembuhan dapat meninggalkan

hipopigmentasi yang menetap selama beberapa minggu atau bulan (Wolf et

all, 2012 : 2387).

Gambar 3. Gejala klinis varisela


(Dikutip dari Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Edition)

Vesikel yang baru akan timbul lagi di sekitar vesikel yang lama,

sehingga akan tampak gambaran polimorf (Harahap, 2013 : 95). Studi

retrospektif menunjukkan bahwa rata-rata jumlah lesi pada anak-anak yang

sehat berkisar antara 250-500 (Wolf et all, 2012 : 2387).

Demam berlangsung selama lesi baru terus muncul, tingginya

demam menunjukkan beratnya keparahan penyakit. Demam dapat mencapai

40,50 C (1050 F) pada kasus yang berat disertai luasnya erupsi kulit. Demam

yang berkepanjangan atau terjadinya peningkatan demam setelah sebelumnya

terjadi penurunan suhu tubuh dapat menandakan terjadinya infeksi bakteri

sekunder atau komplikasi yang lain. Jika terdapat infeksi sekunder akan terjadi
11

pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai rasa

gatal (Wolf et all, 2012 : 2387).

Penyebaran lesi terutama di daerah badan, kemudian menyebar

secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput

lendir mata, mulut, dan saluran pernapasan atas (Aisah & Handoko, 2015 :

129).

Gambar 4. Gejala klinis varisela


(Dikutip dari Rook’s Textbook of Dermatology, 2016)

2.5.1 Anamnesa

Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan

diagnosis yang tepat pada kondisi-kondisi yang mengenai kulit. Keluhan

utama tersering diantaranya muncul ruam berupa papul dan vesikel,

letaknya sentripental, bengkak, ulkus, perubahan warna kulit, dan

pengamatan tidak sengaja saat pasien datang dengan keluhan utama

kondisi medis lain (Gleadle, 2005 : 42).

Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu

beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa

tetesan embun (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian
12

menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-

vesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk

varisela. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal (Aisah & Handoko,

2015 : 129).

Pada penderita varisela yang perlu ditanyakan apakah adanya

demam, malaise, sakit kepala, lesi kulit yang gatal, adanya riwayat

kontak dengan penderita varisela dan apakah penderita dalam keadaan

sakit berat atau sehabis dirawat di rumah sakit (Permenkes, 2014 : 20).

2.5.2 Pemeriksaan fisik

Ditemukan papul eritematosa, vesikel yang khas mirip tetesan

embun (tear drops) di atas dasar yang eritematosa, pustul, dan krusta.

Tampak gambaran polimorf. Penyebaran terutama di daerah badan,

kemudian menyebar secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta

dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas bagian

atas. Jika terdapat infeksi sekunder maka akan terjadi pembesaran

kelenjar getah bening regional (Aisah & Handoko, 2015 : 129).

Gambar 5. Pemeriksaan fisik varisela


(Dikutip dari Permenkes No. 5 Tahun 2014)
13

2.5.3 Pemeriksaan penunjang

Umumnya tidak diperlukan pada varisela tanpa komplikasi,

sediaan darah tepi dapat ditemukan penurunan leukosit, dan peningkatan

enzim hepatik (Aisah & Handoko, 2015 : 129).

Lesi varisela dan herpes zoster sangat sukar dibedakan secara

histopatologi. Ditemukannya sel datia berinti banyak dan sel epitel yang

mengandung badan inklusi intranuklear asidofilik dapat membedakan

lesi kulit yang disebabkan oleh VVZ. Sel-sel ini dapat ditemukan pada

pemeriksaan tes Tzanck. Bahan pemeriksaan diambil dari dasar vesikel

yang masih baru, lalu ditaruh di object glass, fiksasi dengan

menggunakan aseton atau metanol, kemudian diwarnai dengan

hematoxylin-eosin, Giemsa (Wolf et all, 2012 : 2391). Namun, hasil

pemeriksaan ini tidak spesifik untuk varisela (Aisah & Handoko, 2015 :

129).

Diagnosis pasti infeksi VVZ, serta untuk membedakannya

dengan infeksi dari HSV adalah dengan dilakukan isolasi kultur virus

dengan mengambil sampel dari cairan vesikel, darah, cairan

serebrospinal, atau jaringan yang terinfeksi atau dengan mengidentifikasi

langsung antigen VVZ. Isolasi virus merupakan satu-satunya teknik

yang dapat mengkultur VVZ untuk analisis lebih lanjut, misalnya untuk

menentukan kepekaan terhadap obat antivirus (Wolf et all, 2012 : 2391).

Immunofluorescent telah menjadi metode diagnostik pilihan di

banyak tempat. Metode ini dapat mendeteksi infeksi VVZ lebih cepat

dan lebih akurat dibanding dengan isolasi virus. Pemeriksaan enzim


14

immunoassay merupakan metode lain yang cepat dan sensitif untuk

mendeteksi antigen VVZ (Wolf et all, 2012 : 2391).

Cara lainnya adalah dengan mendeteksi DNA VVZ

menggunakan teknik PCR yang memberikan sensitivitas yang besar,

spesifisitas sangat tinggi, dan waktu yang cepat. Cara ini telah

merevolusi diagnosis infeksi VVZ (Wolf et all, 2012 : 2392).

2.6 Diagnosis Banding

1. Variola

Variola ialah penyakit virus yang disertai keadaan umum yang

buruk, dapat menyebabkan kematian, efloresensinya bersifat monomorf

terutama terdapat di perifer tubuh. Gejala klinis diawali oleh stadium

prodromal, yaitu nyeri kepala, nyeri tulang dan sendi disertai demam

tinggi, menggigil, lemas, dan muntah-muntah. Timbul banyak makula

eritematosa yang cepat menjadi papul, terutama di wajah dan ekstremitas,

termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Penunjang diagnosis terdiri atas

inokulasi pada karioalantoik, pemeriksaan virus dengan mikroskop

elektron, dan deteksi antigen virus pada agar-sel (Aisah & Handoko, 2015

: 130).

2. Skabies impetigenisata

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan

sensitisasi terhadap Sarcaptes scabiei var, hominis, dan produknya.

Ditandai gatal malam hari, mengenai sekelompok orang, dengan tempat

predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat, dan lembab. Gejala klinisnya

pruritus nokturna, adanya terowongan (kunikulus) pada tempat predileksi,


15

di ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi

sekunder ruam kulit berubah menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan

lain-lain). Kelainan kulit polimorf tersebar di seluruh badan. Pemeriksaan

penunjang diagnosis adalah dengan menemukan tungau pada terowongan

yang temukan (Aisah & Handoko, 2015 : 130).

3. Herpes zoster

Herpes zoster adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi

erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri

radikular unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Gejala

klinis herpes zoster dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa

nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, gatal. Dapat juga dijumpai gejala

konstitusi, nyeri kepala, malaise dan demam. Setelah awitan gejala

prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri terlokalisata

(terbatas di satu dermatom) berupa makula kemerahan, yang kemudian

berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok. Isi vesikel

menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta. Pemeriksaan yang

dilakukan untuk menunjang diagnosis adalah deteksi antigen atau nucleic

acid varicella zoster virus, isolasi virus dari sediaan hapus lesi atau

pemeriksaan antibody IgM spesifik. Pemeriksaan dengan PCR merupakan

tes diagnostik yang paling sensitif dan spesifik. (Wolf et all, 2012 : 2390)

4. Dermatitis kontak

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh

bahan/substansi yang menempel pada kulit. Terdiri dari dermatitis kontak

iritan dan dermatitis kontak alergik. Pada reaksi iritan kelainan kulit
16

bersifat monomorf dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustul, dan

erosi. Pada kontak alergi pasien umumnya mengeluh gatal, stadium akut

dimulai dengan bercak eritematosa berbatas tegas kemudian diikuti edema,

papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah

menyebabkan erosi dan eksudasi. Pada dermatitis kontak iritan, gambaran

histopatologiknya tidak khas, sedangkan pada dermatitis kontak alergik

dapat dilakukan uji tempel untuk menentukan alergen penyebabnya (Wolf

et all, 2012 : 2390).

5. Sifilis sekunder

Gejala dimulai dengan gejala konstitusi namun umumnya tidak

berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala,

demam yang tidak tinggi, dan atralgia. Kelainan kulit dapat menyerupai

berbagai penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Lesi dapat

berbentuk roseola (eritema macular, berbintik-bintik atau berbercak-

bercak, warnanya merah tembaga, bentuknya bulat atau lonjong), papul,

pustule, krusta yang berkonfluensi, dapat timbul ulkus yang ditutupi oleh

krusta. Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis adalah

pemeriksaan Treponema pallidum, tes serologik sifilis, dan pemeriksaan

lain yang dapat berupa pemeriksaan sinar Rontgen untuk melihat kelainan

yang khas pada tulang, pemeriksaan jumlah sel dan protein total pada

likuor serebrospinalis (tetapi tidak selalu terdapat neurosifilis) (Wolf et all,

2012 : 2390).
17

2.7 Terapi

2.7.1 Farmakoterapi

Pengobatan bersifat simtomatik dengan antipiretik dan

analgesik, untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedatif.

Antipiretik antara lain parasetamol, hindari salisilat atau aspirin karena

dapat menimbulkan sindrom Reye (Aisah & Handoko, 2015 : 130).

Terapi topikal ditujukan mencegah agar vesikel tidak pecah

terlalu dini, karena itu dapat diberikan bedak yang ditambah dengan zat

anti gatal (mentol, kamfora). Jika timbul infeksi sekunder dapat

diberikan antibiotik oral atau salap (Aisah & Handoko, 2015 : 130).

Analog nukleotida, asiklovir, famsiklovir, valasiklovir,

brivudin, dan foskarnet terbukti mengobati infeksi VVZ (Wolf et all,

2012 : 2394).

Asiklovir adalah analog guanosin yang dikatalisis oleh timidin

kinase pada sel yang terinfeksi VVZ. Asiklovir memiliki aktivitas in

vitro terhadap virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV), dan

herpesvirus-6 manusia (HHV-6), tetapi lebih lemah. Asiklovir

membutuhkan tiga tahap fosforilasi agar menjadi aktif (Safrin, 2012 :

816). Kemudian enzim seluler mengkonversi asiklovir monofosfat

menjadi asiklovir trifosfat yang menghambat sintesis DNA virus melalui

penghambatan pada DNA polymerase virus. Virus varisela zoster 10 kali

lipat kurang sensitif terhadap asiklovir dibandingkan HSV (Wolf et all,

2012 : 2394). Bioavailabilitas asiklovir oral adalah 15 – 20 % dan tidak

dipengaruhi oleh makanan. Pembersihan asiklovir oral terutama terjadi


18

melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Waktu paruhnya sekitar

3 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal dan 20 jam pada pasien

anuria. Asiklovir cepat dibersihkan melalui hemodialisis tetapi tidak

melalui dialisis peritoneal. Asiklovir cepat berdifusi ke dalam sebagian

besar jaringan dan cairan tubuh. Kadar asiklovir dalam cairan

serebrospinal adalah sebesar 50 % kadarnya dalam serum (Safrin, 2012 :

816). Efek samping asiklovir pada umumnya dapat ditoleransi dengan

baik. Asiklovir topikal dalam pembawa polietilen glikol dapat

menyebabkan iritasi mukosa dan rasa terbakar yang sifatnya sementara

jika dipakai pada luka genitalia. Asiklovir oral, walaupun jarang, dapat

menyebabkan mual, diare, ruam atau sakit kepala; dan sangat jarang

dapat menyebabkan insufisiensi renal dan neurotoksisitas (Louisa &

Setiabudy, 2012 : 643).

Valasiklovir dan famsiklovir lebih baik dan lebih cepat diserap

dibandingkan asiklovir pada pemberian oral, sehingga menghasilkan

konsentrasi dalam darah yang jauh lebih tinggi dan penggunaan dosis

yang lebih kurang dibandingkan asiklovir (Wolf et all, 2012 : 2394).

Valasiklovir merupakan ester L-valil dari asiklovir yang diubah melalui

enzim valasiklovir hidrolase di saluran cerna dan di hati. Bioavailabilitas

oralnya adalah 54 %, dan kadarnya dalam cairan serebrospinal adalah

50 % kadarnya dalam serum. Waktu-paruh eliminasinya 2,5 – 3,3 jam.

(Safrin, 2012 : 818).

Famsiklovir merupakan prodrug pensiklovir, analog nukleotida

yang mirip dengan asiklovir dalam mekanisme kerja terhadap VVZ.


19

Famsiklovir diubah melalui proses enzimatik menjadi pensiklovir setelah

penyerapan (Wolf et all, 2012 : 2394). Bioavailabilitas pensiklovir yang

berasal dari famsiklovir oral adalah 70 %. Pensiklovir trifosfat memiliki

waktu paruh intrasel selama 10 jam pada sel yang terinfeksi oleh HSV-1,

20 jam pada sel yang terinfeksi HSV-2, dan 7 jam pada sel yang

terinfeksi VVZ in vitro. Pensiklovir terutama dieksresi dalam urin

(Safrin, 2012 : 820).

Efek samping valasiklovir sama dengan asiklovir. Pernah

terdapat laporan valasiklovir menyebabkan mikroangiopati trombotik

pada pasien imunosupresi yang menerima beberapa macam obat. Efek

samping famsiklovir umumnya dapat ditoleransi dengan baik, namun

dapat juga menyebabkan sakit kepala, diare dan mual. Urtikaria dan

ruam sering terjadi pada pasien usia lanjut. Pernah juga terdapat laporan

halusinasi dan confusional state (kebingungan) (Louisa & Setiabudy,

2012 : 643-644).

Brivudin merupakan analog urasil yang mempunyai efektivitas

yang sangat tinggi terhadap VVZ (Wolf et all, 2012 : 2394). Brivudin

(setelah mengalami fosfolilasi intraseluler) bekerja sebagai penghambat

kompetitif DNA polymerase virus. Brivudin juga bekerja sebagai

substrat alternatif dan bergabung pada DNA virus, yang menyebabkan

penurunan integritas dan fungsi DNA virus. Kerja brivudin sangatlah

spesifik, karena fosforilasinya hanya dapat dikatalis oleh timin kinase

HSV-1 dan timidin kinase VVZ (Louisa & Setiabudy, 2012 : 645).
20

Foskarnet merupakan analog organik dari pirofosfat anorganik,

membentuk kompleks dengan DNA polimerase virus pada tempat ikatan

pirofosfat. Resistensi dapat terjadi yang disebabkan oleh mutasi pada

DNA polimerase virus. Efek samping, nefrotoksisitas dan hipokalsemia

simtomatik. Pernah juga dilaporkan terjadinya nekrosis tubuler akut,

glomerulopati, diabetes insipidus nefrogenik dan nefritis interstitial.

Sering terjadi abnormalitas metabolik (peningkatan atau penurunan

kalsium dan fosfat, hipermagnesemia dan hipokalemia). Efek samping

SSP adalah sakit kepala, iritabilitas, kejang dan halusinosis. Efek

samping lain adalah ruam kulit, demam, mual, muntah, anemia,

leukopenia, gangguan fungsi hati, perubahan EKG dan tromboflebitis

(Louisa & Setiabudy, 2012 : 645).

Indikasi pemberian antivirus adalah bila sebelumnya telah ada

anggota keluarga serumah yang menderita varisela, atau pada pasien

imunokompromais, antara lain pasien dengan keganasan, infeksi

HIV/AIDS, atau yang sedang mendapat pengobatan imunosupresan,

misalnya kortikosteroid jangka panjang, atau sitostatik dan pada

kehamilan (Aisah & Handoko, 2015 : 130).

Tabel 1. Dosis Antivirus


(Dikutip dari Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 2015: Hal. 130)
Status Dosis

Bayi/anak asiklovir 10-20 mg/kgBB/hari; dosis


terbagi 4-5 x 20 mg/kgBB/kali (maks.
800 mg/kali) selama 7 hari

Dewasa asiklovir 5 x 800 mg/hari selama 7 hari


atau
21

valasiklovir untuk dewasa 3 x 1


gram/hari selama 7 hari atau
famsiklovir 3 x 250 mg/hari selama 7
hari

Imunokompremais asiklovir 10 mg/kgBB, intravena atau


iv drip, 3x sehari, minimal 10 hari atau
asiklovir 5 x 800 mg/hari/oral minimal
10 hari atau
valasikolvir 3 x 1 gram/hari minimal
10 hari atau
famsiklovir 3 x 500 mg/hari selama
minimal 10 hari

2.7.2 Non Farmakoterapi

Istirahat yang cukup, menjaga kebersihan diri, mandi dapat

mengurangi rasa gatal. Mandi dengan menggunakan air dingin atau

hangat, jangan berendam terlalu lama. Makan makanan yang bergizi

karena akan meningkatkan daya tahan tubuh (Pusponegoro et all, 2014 :

30).

2.8 Komplikasi

Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi

yang paling sering terjadi adalah akibat infeksi bakteri sekunder dari lesi kulit

yang disebabkan oleh Staphylococcus dan Streptococcus yang menyebabkan

impetigo, furunkel, selulitis, erisipelas, dan ganggren, namun jarang terjadi.

(Wolf et all, 2012 : 2392). Limfadenitis regional dan abses subkutan dapat

terjadi (Arvin, 2015). Infeksi bakteri sekunder jarang menimbulkan masalah

yang serius (Griffiths, 2016). Terapi antibiotika terbukti mengurangi risiko

timbulnya infeksi bakteri sekunder (Arvin, 2015). Infeksi lokal sering

menyebabkan jaringan parut (Wolf et all, 2012 : 2392).


22

Komplikasi neurologis seperti meningoensefalitis, gejala yang dapat

ditemukan diantaranya berupa penurunan kesadaran, kaku kuduk, peningkatan

rangsang meningeal dan ataxia cerebral atau gangguan keseimbangan postur

tubuh merupakan gejala utama yang biasa terjadi. Komplikasi pada sususan

saraf pusat biasanya terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari

20 tahun. Varisela enselalitis biasanya dapat hilang dengan sendirinya dalam

waktu 24 jam hingga 72 jam. Begitu pula dengan ataxia cerebral biasanya

hilang dalam beberapa waktu (CDC, 2015).

Pneumonia sekunder akibat bakteri, otitis media, dan meningitis

supuratif adalah komplikasi lanjut pada varisela. Biasanya tidak berbahaya

jika mendapat terapi antibiotik yang sesuai. Namun, pada pasien leukopenia,

dapat terjadi “superinfeksi’ bakteri dan berpotensi mengancam jiwa (Wolf et

all, 2012 : 2392).

Sindrom Reye merupakan komplikasi yang tidak biasa dari varisela

maupun influenza dan muncul hampir selalu pada anak-anak yang

mengkonsumsi aspirin pada saat muncul gejala akut. Etiologinya masih belum

jelas, namun telah terjadi penurunan angka kejadian yang drastis dari sindrom

Reye berhubungan dengan penurunan penggunaan aspirin pada anak-anak

(CDC, 2015).

Komplikasi lebih banyak ditemukan pada orang dewasa (Aisah &

Handoko, 2015 : 129). Pada orang dewasa, demam dan gejala konstitusional

terjadi berkepanjangan, ruam varisela yang timbul lebih banyak. Pneumonia

varisela primer adalah komplikasi utama pada orang dewasa. Beberapa pasien

tanpa gejala, namun pada pasien yang lain menimbulkan gejala batuk, dispnea,
23

takipnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritik, sianosis, dan hemoptisis yang

terjadi 1 sampai 6 hari setelah timbulnya ruam. Mortalitasnya diperkirakan

antara 10 % sampai 30 %, tetapi pada pasien imunokompromise kurang dari

10 % (Wolf et all, 2012 : 2392).

Varisela selama kehamilan merupakan ancaman bagi ibu dan janin.

Infeksi yang menyebar luas dan terjadinya pneumonia dapat menyebabkan

kematian ibu. Secara substansial, varisela selama kehamilan tidak

meningkatkan angka kematian janin (Wolf et all, 2012 : 2392). Varisela pada

trimester pertama dapat menyebabkan kelainan kongenital, sedangkan bila

terjadi menjelang persalinan maka dapat menyebabkan varisela kongenital

(Aisah & Handoko, 2015 : 129).

Mortalitas dan morbilitas varisela meningkat pada pasien dengan

imunokompromais (CDC, 2015). Komplikasi lain yang mungkin terjadi

adalah ensefalitis, glomerulonefritis, karditis, keratitis, konjungtivitis, arteritis,

serta kelainan hematologi (Aisah & Handoko, 2015 : 129).

2.9 Prognosis

Perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi prognosis

yang baik dan dapat mencegah timbulnya jaringan parut (Aisah & Handoko,

2015 : 131).

Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam,

sedangkan pada pasien dengan imunokompromais, prognosis menjadi dubia

ad bonam (Permenkes, 2014 : 22).

2.10 Pencegahan
24

Beberapa studi yang dilakukan di Eropa, Jepang dan Amerika

Serikat dari tahun 1970 sampai tahun 1990 menunjukkan bahwa VVZ hidup

yang dilemahkan (Oka strain) mempunyai sifat imunogenik dan mampu

melindungi anak-anak yang rentan terhadap varisela. Pada tahun 1995, FDA

memberi lisensi pada vaksin varisela Oka / Merck di Amerika Serikat. Di

tahun 2005, FDA menyetujui gabungan campak, gondok, rubella dan

varisela (Mums, Measles, Rubella, Varicella / MMRV) untuk imunisasi

rutin pada anak 12 bulan sampai 12 tahun (Wolf et all, 2012 : 2396 ; CDC,

2015).

Imunisasi aktif dengan vaksin varisela yang dilemahkan (Oka

strain) dan kekebalan yang didapat dapat bertahan hingga 10 tahun. Vaksin

ini digunakan di Amerika sejak tahun 1995 dengan daya proteksi melawan

varisela berkisar 71 sampai 100 %. Vaksin ini efektif jika diberikan pada

umur ≥ 1 tahun dan direkomendasikan diberikan pada usia 12 sampai 18

bulan. Anak yang berusia ≤ 13 tahun yang tidak menderita varisela

direkomendasikan dibersikan dosis tunggal dan anak lebih tua diberikan

dalam 2 dosis dengan jarak 4 sampai 8 minggu dan diberikan secara

subkutan. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa demam ataupun

reaksi lokal seperti ruam makulopapular atau vesikel, tidak boleh diberikan

pada wanita hamil karena dapat menimbulkan terjadinya varisela kongenital

(Wolf et all, 2012 : 2396).

Imunisasi pasif menggunakan VZIG (Varicella zoster

immunoglobuline). Varisela zoster immunoglobulin (VZIG) adalah antibody

IgG terhadap virus varisela zoster dengan dosis pemberian satu vial untuk 10
25

kg/BB diberikan secara intramuskular. VZIG diindikasikan untuk individu

risiko tinggi, termasuk anak-anak imunodefisiensi, wanita hamil yang

pernah mempunyai kontak langsung dengan penderita varisela, neonatus

yang terpapar oleh ibu yang terinfeksi varisela, setidaknya diberikan dalam

waktu tidak lebih dari 96 jam. Antibodi yang diberikan setelah timbulnya

gejala tidak dapat mengurangi keparahan penyakit yang terjadi. Pada anak-

anak imonukompeten terbukti mencegah varisela sedangkan pada anak-anak

imonokompremais, hanya dapat meringankan gejala. VZIG dapat diberikan

pada anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun yang belum pernah

menderita varisela dan tidak mempunyai antibody terhadap VVZ, pada bayi

yang baru lahir, dimana ibunya menderita varisela dalam kurun waktu 5 hari

sebelum atau 48 jam setelah melahirkan, pada bayi prematur dan bayi usia ≤

14 hari yang ibunya belum pernah menderita varisela, pada anak-anak yang

menderita leukemia yang belum pernah menderita varisela (Wolf et all, 2012

: 2396).

2.11 Rehabilitasi

Rehabilitasi pada penderita varisela adalah dengan penanganan

jaringan parut yang ditimbulkan oleh bekas lesi. Salah satunya adalah

dengan cara eksisi. Tujuan eksisi adalah membuang secara lengkap ruam

patologik dan meninggalkan parut yang setipis mungkin. Biasa digunakan

skalpel No. 15. Perhatikan garis tensi kulit relaks (relaxed skin tension lines)

dengan cara menjepit kulit diantara jari telunjuk dan ibu jari sehingga

terlihat alur-alur kulit. Daerah yang akan disayat ditekan dengan jari tangan

dan skalpel diletakkan tegak lurus terhadap permukaan kulit. Kulit disayat
26

sampai sedalam jaringan lemak subkutan. Setelah itu, dengan gunting,

dilakukan pemisahan jaringan kulit dan subkutan dengan lapisan subkutan

yang lebih dalam. Dalamnya lapisan subkutan yang dipisahkan tergantung

pada jenis ruam patologik yang hendak diangkat dan letak anatomis ruam

tersebut. Di badan dan ekstremitas dilakukan di atas fasia. Di daerah muka

pemisahan jaringan dilakukan di bawah lapisan tipis subkutan. Bila pinggir

luka dapat dirapatkan dengan mudah tanpa tegangan dilakukan penjahitan.

Penjahitan dilakukan dengan nylon 5-0 atau 6-0 untuk daerah muka. Untuk

kepala, ekstremitas dan badan digunakan nylon 4-0. Kemudian luka

dibersihkan dengan garam fisiologik atau larutan hydrogen peroksida,

dikeringkan, dan diolesi salep antibiotic. Selanjutnya ditutup kain kasa dan

difiksasi dengan plester (Harahap, 2013 : 320-321).


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Varisela adalah infeksi akut oleh virus varisela zoster yang menyerang

kulit dan mukosa, manifestasi klinis didahului gejala konstitusi, kelainan

kulit polimorf, terutama berlokasi dibagian sentral tubuh.

2. Varisela menyebar di seluruh dunia dan bersifat endemik. Terutama

menyerang anak-anak, serta juga menyerang orang dewasa. Transmisi

penyakit ini secara aerogen.

3. Varisela disebabkan oleh virus varisela zoster. Virion VVZ berbentuk

bulat, diameter 150-200 nm, DNA terletak di antara nukleokapsid, dan

dikelilingi oleh selaput membran luar dengan sedikitnya terdapat tiga

tonjolan glikoprotein mayor.

4. Virus varisela zoster masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran napas

atas dan orofaring. Virus bermultiplikasi di tempat masuk (port d’entry),

menyebar melalui pembuluh darah dan limfe, mengakibatkan viremia

primer. Lalu timbul viremia sekunder kurang lebih dua minggu setelah

infeksi. Viremia ini ditandai oleh timbulnya erupsi varisela, terutama di

bagian sentral tubuh. Setelah erupsi kulit dan mukosa, virus masuk ke

ujung saraf sensorik kemudian menjadi laten di ganglion dorsalis

posterior. Pada suatu saat, bila terjadi reaktivasi VVZ, dapat terjadi

manifestasi herpes zoster, sesuai dermatom yang terkena.

5. Diagnosis varisela ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala prodromal,

rasa gatal, pemeriksaan fisik berupa manifestasi klinis sesuai tempat

27
28

predileksi dan morfologi yang khas varisela, dan dengan pemeriksaan

penunjang.

6. Diagnosis banding dari varisela adalah variola, skabies impetigenisata,

herpes zoster, erupsi obat, dermatitis kontak, impetigo bulosa, sifilis

sekunder.

7. Pengobatan bersifat simtomatik dengan antipiretik dan analgesik, untuk

menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedative, atau antihistamin yang

mempunyai efek sedatif. Dapat diberikan obat antivirus, asiklovir,

valasiklovir, famsiklovir.

8. Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang timbul dan lebih sering pada

orang dewasa berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonefritis, karditis,

hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan darah

(beberapa macam purpura). Dapat terjadi kelainan kengenital pada janin

yang terinfeksi.

9. Perawatan yang teliti dan memperhatikan hygiene memberi prognosis

yang baik dan dapat mencegah timbulnya jaringan parut.

10. Pencegahan varisela dapat dilakukan dengan vaksinasi yang berasal dari

virus varisela yang telah dilemahkan. Pemberian secara subkutan sebesar

0,5 ml pada anak usia 12 bulan sampai 12 tahun.

11. Rehabilitasi pada penderita varisela adalah dengan melakukan penanganan

jaringan parut yang terjadi akibat lesi kulit yang ditimbulkan varisela.

Biasanya dilakukan bedah eksisi.


29

3.2 Saran

1. Bagi institusi terkait

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian varisela

agar didapatkan data yang lebih lengkap untuk menunjang penelitian yang

akan dilakukan oleh peneliti-peneliti selanjutnya.

2. Bagi masyarakat

Perlu adanya kesadaran masyarakat tentang dampak varisela

pada anak sehingga setiap keluarga dapat melakukan pencegahan dari

penyakit varisela. Menyediakan makanan yang bergizi bagi anak agar

dapat mencegah terjadinya varisela karena dapat meningkatkan daya tahan

tubuh anak terhadap infeksi sehingga tidak menimbulkan dan

memperberat kejadian varisela pada anak.

3. Bagi penulis

Kiranya penulis dapat terus mengembangkan

wawasan/pengetahuan tentang varisela dan dampaknya. Sehingga melalui

wawasannya dan hasil penulisan yang dilakukan oleh penulis dapat

menjadi sumber referensi bagi penulis selanjutnya.


30

DAFTAR PUSTAKA

Aisah, S. & Handoko, R. 2015. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi 7. Badan
Penerbit FKUI, Jakarta: Hal. 126 – 131, 138 – 139

Arvin, AM. 2015. Varicella zoster virus Volume 9. Clinical Microbiology


Reviews: California

Bhatti, CVK. et all. 2014. Use of immunization as strategy for outbreak control of
varicella zoster in an institutional setting. Elsevier: India

Centers for Disease Control and Prevention Epidemiology and Prevention of


Vaccine-Preventable Diseases, 13th Edition. 2015: USA

Gleadle, J. 2005. At a Glance Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik. Erlangga,


Jakarta: Hal. 42

Griffiths, C. et all. 2016. Rook’s Textbook of Dermatology. United Kingdom:


Blackwell Publishing

Harahap, M. 2013. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta: Hal. 94 – 96, 320 –
231

Irianto, K. 2013. Epidemiologi Penyakit Menulaar & Tidak Menular. Alfabeta,


Bandung: Hal. 619

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 5 Tahun 2014, Jakarta: Hal. 19 – 22
31

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.


Jakarta: Hal. 54

Louisa, M. & Setiabudy, R. 2012. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Badan


Penerbit FKUI, Jakarta: Hal. 642 – 645

Pusponegoro, EHD, et all. 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia.


Badan Penerbit FKUI, Jakarta: Hal. 9, 30

Safrin, S. 2012. Farmakologi Dasar & Klinik Ed. 10. EGC, Jakarta: Hal. 816 –
820

Siregar, RS. 2016. Saripati Penyakit Kulit. EGC, Jakarta: Hal. 88

Wolff, K. et all. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Edition


Jilid II. United States: McGraw-Hill Education, Hal. 2383 – 2401.
32

Anda mungkin juga menyukai