Anda di halaman 1dari 19

LI 1.

Memahami dan menjelaskan Fisiologi dan Biokimia Insulin


LO 1.1 Struktur

Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang
dihubungkan oleh jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Ada perbedaan kecil dalam komposisi molekul asam amino dari suatu
spesies ke spesies lain. Perbedaan ini biasanya tidak cukup besar untuk dapat mempengaruhi
aktivitas biologis suatu insulin pada spesies heterolog tetapi sukup besar untuk menyebabkan
insulin bersifat antigenic. Bila insulin dari suatu spesies disuntikkan dalam jangka lama ke
spesies lain, akan terbentuk antibody antiinsulin yang menghambat insulin yang disuntikkan.
Hamper semua pasien yang pernah mendapat insulin sapi yang ada di pasaran selama lebih dari
2 bulanmembentuk antibody terhadap insulin sapi, tetapi titernya biasanya rendah. Insulin babi
berbeda dari insulin manusia hanya pada satu residu asam amino dan memiliki antigenisitas
yang rendah. Insulin manusia yang dihasilkan dalam bakteri oleh teknologi DNA rekombinan
sekarang digunakan secara luas untuk menghindari pembentukan antibodi.

LO 1.2 Regulasi

Glukosa masuk ke dalam semua sel melalui difusi terfasilitasi atau, di usus dan ginjal,
melalui transport aktif sekunder dengan Na+. di otot, jaringan lemak, dan sebagian jaringan
lain, insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah
transporter (pengangkut) glukosa di membrane sel.
Transporter glukosa yang berperan dalam difusi terfasilitasi glukosa melintasi
membrane sel adalah sekelompok protein yang berkaitan erat dan 12 kali melintasi membrane
sel serta memiliki terminal amino dan karboksil di dalam sel. Protein-protein ini berbeda, dan
tidak memiliki homologi, dengan transporter glukosa dependen natrium (sodium-dependent
glucose transporter), SGLT 1 dan SGLT 2, yang berperan dalam transport aktif sekunder
glukosa keluar usus dan tubulus ginjal, maupun SGLT juga memiliki 12 ranah (domain)
transmembran. Asam amino transporter fasilitatif, yang terutama terdapat dalam segmen heliks
transmembran 3, 5, 7, dan 11 tampaknya mengelilingi saluran tempat masuk glukosa.
Diperkirakan kemudian terjadi konformasi lalu perubahan, dan glukosa kemudian dilepaskan
ke dalam sel.
Telah diketahui tujuh transporter glukosa yang berbeda-beda, yang diberi nama sesuai
urutan penemuan GLUT 1-7. Molekul-molekul ini mengandung 492-524 residu asam amino,
dan afinitasnya terhadap glukosa bervariasi. Tiap-tiap transporter tampaknya memiliki tugas
khusus. GLUT 4 adalah transporter di jaringan otot dan adiposa yang dirangsang oleh insulin.
Dalam vesikel di sitoplasma sel-sel peka insulin, terdapat cadangan molekul GLUT 4. Bila
reseptor insulin di sel-sel ini diaktifkan,vesikel tersebut bergerak cepat ke membran sel dan
berfusi dengannya, menyelipkan transporter ke dalam membrane sel. Saat kerja insulin
terhenti, bercak membrane yang mengandung transporter mengalami endositosis, dan vesikel
siap untuk pajanan insulin berikutnya. Pengaktifan reseptor insulin menyebabkan pergerakan
vesikel ke membrane sel dengan mengaktifkan fosfoinositol 3-kinase, tetapi bagaimana
pengaktifan ini memicu pergerakan vesikel masih belum dipastikan.
Pada jaringan yang jumlah transporter glukosa di membrane selnya ditingkatkan oleh
insulin, kecepatan fosforilasi glukosa, setelah masuk ke dalam sel, diatur oleh hormone lain.
Hormone pertumbuhan dan kortisol menghambat fosforilasi di jaringan tertentu. Proses ini
dalam keadaan normal berlangsung sedemikian cepat sehingga bukanlah merupakan reaksi
penentu kecepatan (rate-limiting step) dalam metabolism glukosa. Namun, proses ini
merupakan reaksi penentu kecepatan di sel B.
Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati, tetapi bukan melalui
peningkatan jumlah transporter glukosa GLUT 4 di membrane sel, melainkan dengan memicu
glukokinase. Hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa sehingga kadar glukosa bebas intrasel
tetap rendah, mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel.
Jaringan peka insulin juga mengandung populasi vesikel GLUT 4 yang bergerak ke
dalam membrane sel sebagai respons dari berolahraga dan populasi vesikel ini tidak bergantung
pada kerja insulin. Hal ini merupakan penyebab mengapa berolahraga dapat menurunkan kadar
gula darah. Suatu kinase yang diaktifkan oleh 5’-AMP mungkin berperan dalam insersi vesikel
ini ke membrane sel.

LO 1.3 Sekresi

Sel-sel beta pancreas


mempunyai sejumlah besar
pengangkut glukosa (GLUT-2)
yang memungkinkan terjadinya ambilan glukosa dengan kecepatan yang sebanding dengan
nilai kisaran fisiologis konsentrasi glukosa dalam darah. Begitu berada di dalam sel, glukosa
akan terfosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh glukokinase. Langkah ini menjadi penentu
kecepatan metabolisme glukosa di sel beta dan dianggap sebagai mekanisme utama untuk
mendeteksi glukosa dna menyesuaikan jumlah insulin yang disekresikan dengan kadar glukosa
darah. Glukosa-6fosfatase selanjutnya dioksidasi untuk membentuk adenosine trifosfat (ATP)
yang menghambat kanal kalium yang peka-ATP di sel. Penutupan kanal kalium akan
mendepolarisasikan membrane sel sehingga akan membuka kanal natrium bergerbang voltase,
yang sensitive terhadap perubahan voltase membrane. Keadaan ini akan menimbulkan aliran
masuk kalsium yang merangsang penggabungan vesikel yang berisi insulin dengan membrane
sel dan sekresi insulin ke dalam cairan ekstrasel melalui eksositosis.

Insulin dibentuk dalam reticulum endoplasma kasar sel B. Insulin kemudian


dipindahkan ke apparatus golgi, tempat ia
mengalami pengemasan dalam granula
berlapis membrane. Granula ini bergerak
ke membrane plasma melalui suatu proses
yang melibatkan mikrotubulus, dan isi
granula dikeluarkan melalui eksitosis.
Insulin kemudian melintasi lamina basalis
sel B serta kapiler di dekatnya dan endotel
kapiler yang berpori untuk mencapai
aliran darah.
Seperti hormone polipeptida dan
protein serupa lain yang masuk ke dalam
reticulum endoplasma, insulin disintesis
sebagai suatu bagian dari praprohormon
yang berukuran besar. Pada manusia, gen
untuk insulin terletak di lengan pendek
kromosom 11. Praproinsulin memiliki peptide sinyal asam amino 23 yang dikeluarkan sewaktu
molekul ini molekul ini memasuki reticulum endoplasma. Molekul sisanya kemudian berlipat,
lalu terbentuk ikatan disulfide sehingga akhirnya terbentuk proinsulin. Segmen peptide yang
menghubungkanrantai A dan B, connecting peptide (peptide C), mempermudah melipatnya
molekul dan kemudian terlepas dari granula sebelum sekresi. Peptide C dapat diukur dengan
radioimmunoassay, dan kadarnya digunakan untuk menilai indeks fungsi sel B pada pasien
yang mendapat insulin eksogen.

A. Fase 1 (acute insulin secretion response) : sekresi insulin segera setelah ada rangsangan
sel beta, muncul cepat dan berakhir cepat mencegah hiperglikemi akut.
B. Fase 2 (sustained phase) : setelah fase 1, sekresi insulin mulai meningkat perlahan dan
bertahan dalam waktu relative lebih lama

Jika fase 1 tidak adekuat  mekanisme kompensasi  peningkatan sekresi insulin fase
2

LO 1.4 Ekskresi
Pada orang normal dan pasien DM tanpa komplikasi, masa paruh insulin di plasma
sekitar 5-6 menit,sedangkan pada DM yang mempunyai antibody anti-insulin nilai tersebut
memanjang. Proinsulin masa paruhnya lebih panjang (+ 17 menit). Insulin dalam peredaran
darah didistribusi ke seluruh tubuh melalui cairan ekstrasel.
Degradasinya terjadi di hepar, ginjal, otak, dan sekitar 50% insulin di hepar akan
dirusak dan tidak akan mencapai sirkulasi sistemik. Klirens peptide-C di hepar lebih rendah,
karenanya masa paruhnya lebih panjang (+ 30 menit). Hormon ini mengalami filtrasi glomeruli
dan reabsrobsi serta degradasi di tubuli ginjal. Gangguan fungsi ginjal yang berat dapat
mempengaruhi kecepatan eliminasi insulin.
Ada 2 enzim yang berperan pada degradasi insulin yaitu (1) enzim glutation insulin
transhidrogenase yang menggunakan glutation tereduksi untuk memecah jembatan disulfide
dan (2) enzim proteolitik yang memecah rantai asam amino. Akibat pemecahan jembatan
disulfide maka rantai A bebas dapat ditemukan dalam plasma dan urin.

LI 3. Diabetes Melitus
LO 3.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diabetes Melitus tipe 2
adalah diabetes yang tidak tergantung insulin, sekresi insulin mungkin normal atau bahkan
meningkat, tetapi sel sasaran insulin kurang peka terhadap hormone ini dibandingkan dengan
sel normal.

LO 3.2 Etiologi
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi resistensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,
namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001).
Faktor resiko Diabetes Melitus dari emedicine health :
1. Usia diatas 45 tahun
Pada orang-orang berumur fungsi organ tubuh semakin menurun, hal ini diakibatkan
aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin menjadi berkurang dan
sensifisitas sel-sel jaringan menurun sehinga tidak menerima insulin.
2. Obesitas atau kegemukan
Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga dapat memicu
DM. selain itu, asam-asam lemak pada obesitas dapat menumpuk abnormal di otot dan
mengganggu kerja insulin di otot, asam lemak berlebih juga dapat memicu apoptosis
sel beta pankreas.
3. Pola makan
Pola makan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian
masyarakat perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai kebutuhan tubuh dapat menjadi
penyebab DM, misalnya makanan gorengan yang mengandung nilai gizi yang minim.
4. Riwayat Diabetes Melitus pada keluarga
15-20% penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus) atau DM tipe 2
mempunya riwayat keluarga DM, sedangkan IDDM (Insulin Dependen Diabetes
Melitus) tipe 1 sebanyak 57% keluarga DM.
5. Kurang berolahraga atau beraktivitas
Dapat menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin sehingga mengakibatkan
penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan DM.
6. Infeksi
Virus : Rubella, mumps, human coxsackievirus B4. Melalui infeksi sitolitik dalam sel
beta pankreas virus ini menyebabkan kerusakan dan destruksi sel. Dapa tjuga
menyarang melalui reaksi autoimunitas sehingga hilangnya autoimun dalam sel beta
pankreas. DM akibat bakteri masih belum bias di deteksi.
(Waspadji, 2002)

LI 3.3 Klasifikasi

LO 3.4 Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek
utama akibat kurangnya insulin berikut :
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol
pada dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng
parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180
mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya
poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine
maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta
cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga
pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya
protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia
yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada
saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.

Patofisiologi DM (Brunner and Suddarth, 2002) :


1. Diabetes Tipe 1
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pankreas telah
dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial
(sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin
(glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan,
keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih
(poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2. Diabetes Tipe II
Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah
harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II,
namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe
II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah
akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat
intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II
dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh,
infeksi dan pandangan yang kabur.
3. Diabetes Gestasional
Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama sekali didapat selama
kehamilan (Michael F. Greenean dan Caren G. Solomon, 2005)

LO 3.5 Manifestasi klinik

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM


perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini :
 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
 Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Melitus apabila
menderita dua dari tiga gejala yaitu :
a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl.
Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah :
Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat Badan enurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun,
Bisul/luka, Keputihan (Waspadji, 1996).

LO 3.6 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil
yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah
2 jam < 140 mg/dL.

Kriteria diagnosis DM :
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria
diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan
baik.

Catatan :
Untuk
kelompok risiko
tinggi yang tidak

menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45
tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Pemeriksaan Fisik :
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI),untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri
tepi
c. Pemeriksaan funduskopi
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
e. Pemeriksaan jantung
f. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
g. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
h. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

Evaluasi Laboratoris / penunjang lain :


i. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
ii. A1C
iii. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
iv. Kreatinin serum
v. Albuminuria
vi. Keton, sedimen, dan protein dalam urin
vii. Elektrokardiogram
viii. Foto sinar-x dada

LO 3.7 Diagnosis banding

A. Insulin Resistance
Resistensi Insulin (IR) adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak memadai untuk
menghasilkan respons insulin normal dari sel lemak, sel otot dan sel hati. resistensi insulin
umumnya bersifat "pasca-reseptor", yang berarti masalah terletak pada respon sel terhadap
insulin alih-alih produksi insulin. Kadar plasma yang tinggi dari insulin dan glukosa
akibat resistensi insulin diyakini sebagai asal usul sindrom metabolik dan diabetes tipe 2,
termasuk komplikasinya.

B. Hiperglikemi reaktif
Hiperglikemi reaktif adalah gangguan regulasi gula darah yang dapat terjadisebagai reaksi non
spesifik terhadap terjadinya stress kerusakan jaringan, sehinggaterjadi peningkatan glukosa
darah dari pada rentang kadar puasa normal 80 – 90 mg / dl darah, atau rentang non puasa
sekitar 140 – 160 mg /100 ml darah (Pulsinelli,1996), hyperglikemia reaktif ini diartikan
sebagai peningkatan kadar glukosa darahpuasa lebih dari 110 mg/dl (zacharia, dkk, 2005),
reaksi ini adalah fenomena yangtidak berdiri sendiri dan merupakan salah satu aspek perubahan
biokimiawi multipleyang berhubungan dengan stroke akut (Candelise, dkk, 1985).

C. Glucose intolerance
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam.
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosadarah menunjukkan salah
satu dari tersebut dibawah ini :
1. Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah istilah yang dipakai untuk
menyatakan adanya disglikemi yaitu kenaikan glukosa plasma 2 jam setelah
beban 75 gram glukosa pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) yaitu
antara 140 mg/dl sampai dengan 199 mg/dl. Keadaan ini disebut juga sebagai
prediabetes oleh karena risiko untuk mendapat Diabetes Melitus tipe 2 dan
penyakit kardiovaskuler sangat besar. Disebut TGT jika gula darah setelah makan
tidak normal, atau berkisar antara 140-199 mg/dL. Sedangkan gula darah puasa
normal.
2. Gula darah puasa terganggu (GDPT = IFG)
Kadar gula darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk menjadi diabetes.
Disebut GPT jika kadar gula darah puasa (8-10 jam tidak mendapat asupan kalori)
tidak normal, atau berkisar 100-125 mg/dL.

LO 3.8 Tatalaksana
 Non-Farmakoterapi
A. Edukasi
DM umumnya terjadi saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan.
Timkes mendampingi pasien untuk menuju perubahan perilaku sehat. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

B. Terapi gizii medis

Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan
berat badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah,
Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem
koagulsi darah.
Tujuan terapi gizi medis ini adlah untuk mencapai dan mempertahankan:
a) Kadar glukosa darah mendekati normal
b) Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl.
c) Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl.
d) Kadar A1c <7%.
e) Tekanan darah <130/80 mmHg.
f) Profil Lipid
g) Kolesterol LDL<100 mg/dl
h) Kolesterol HDL >40 mg/dl.
i) Trigliserida < 150 mg/dl.
j) Beran badan senormal mungkin.

Jenis Bahan Makanan

KARBOHIDRAT
Sebagai sumber energi, KH yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih dar 55-65% dari
total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA: monounsaturated fatty acids). Pada
setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4kilokalori.
Rekomendasi karbohidrat :

o Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih ditentukan oleh
jumlahnya dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri.
o Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari sumber KH.
o Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH maksimal 70% dari total
kebutuhan kalori perhari.
o Julah serat 25-50 gram per hari.
o Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari
total kebutuhan kalori perhari.
o Sebagai pemanis dapat digunakan pmanis non kalori seperti sakarin, aspartame,
acesulfame, dan sukralosa.
o Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dar10 gram/hari.
o Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.
o Makanan yang mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori
perhari. Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai
40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energi sebesar 2 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein:

o Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.


o Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi
konsentrasi glukosa darah.
o Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari.
o Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari dan
tidak kurang dari 40gram.
o Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dibanding protein hewani.

LEMAK
Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini
sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K.
Berdasarkan rantai karbonnya , lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh.
Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti
dapat memperbaiki profil lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak tidak jenuh
rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang
dapat memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi, dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar
kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid=
PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi
trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di
dalam hati dan eningkatkan aktivitas enzyme lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar
VLDL di jarngan perifer. Sehingga dapat menurunkan kadar kolestrol LDL.
Rekomendasi Pemberian Lemak:

o Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total
kebutuhan kalori per hari.
o Jika kadar kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori perhari.
o Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, maka
maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
o Batasi asam lemak bentuk trans.
o Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang.
o Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori perhari.

Penghitungan Jumlah Kalori


Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan
kegiatan jasmani. Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus
Brocca.

Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT


IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat
tinggi badan (dalam meter) kuadrat.

o Berat badan kurang <18,5


o Berat badan normal 18,5-22,9
o Berat badan lebih ≥ 23,0
o Dengan resiko 23-24.9
o Obes I 25-29,9
o Obes II ≥ 30

Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca


Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus:

berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm - 100) -10%.

Penetuan stasus gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%

o Berat badan kurang BB <90% BBI


o Berat badan normal BB 90-110% BBI
o Berat badan lebih BB 110-120% BBI
o Gemuk BB>120% BBI

Untuk kepentingan praktis dalam praktek digunakan rumus Brocca.


Penentuan kebutuhan kalori perhari:
1. Kebutuhan basal:

o Laki-laki : BB idaman (Kg) x 30 kalor


o Wanita : BB idaman (Kg) x 25 kalori

2. Koreksi atau penyesuaian:

o Umur diatas 40 tahun : -5%


o Aktivitas ringan : +10%
o Aktifitas sedang : +20%
o Aktifitas berat : +30%
o Berat badan gemuk : -20%
o Berat badan lebih : -10%
o Berat badan kurus : +10%

3. Stress metabolik : +10-30%


4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori
5. Kehamilan trimester II dan menyusui : +500 kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang
(25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak
berbeda dengan orang normal, kecuali dengan pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori.
Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan
penderita.

C. Latihan jasmani
- Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,
mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar
kolesterol HDL.
- Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu
dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau
90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapai denyutjantung>70%
maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

 Famakoterapi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Terapi Insulin
a. Sediaan :Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan insulin
dulakukan dengan IV, IM, SK (jangka panjang). Pada SK insulin akan berdifusi ke
sirkulasi perifer yang seharusnya langsung masuk ke sirkulasi portal, karena efek
langsung hormone ini pada hepar menjadi kurang.
b. Indikasi dan tujuan : Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak dapat
diatasi dengan diet/ antidiabetik oral, dll. Tujuan pemberian insulin adalah selain
untuk menormalkan kadar insulin juga untuk memperbaiki semua aspek
metabolism.
c. Dosis : Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung dari keadaan
pasien.
- Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB
- Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-30mnt sblm makan
pagi, dan 4-5 U sebelum makan malam.
- DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam.
d. ES : Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem,
kembung,dll.
e. Interaksi : antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin, GH,
Tiroid, estrogen, glucagon,dll)

2. Obat Antidiabetik Oral

a. Sulfonylurea ( insulin secretagogues )


- Pemberian : 15-30 mnt sebelum makan
- Mek. Kerja : berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel beta
depolarisasi membrane dan keadaan ini membuka kanal Ca. sehingga Ca masuk sel
beta, merangsang sekresi insulin.
- Farmakokinetik :masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1 sangat bervariasi.
Semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui ginjal, sediaan ini
tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
- ES : hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic (leukopenia,
agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg.
- Indikasi : untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia diatas 40 tahun.
Kegagalan disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran yang
terlalu cepat.
- Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile,
pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan
keadaan gawat.
- Interaksi : meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid,
kloramfenikol)

b. Meglitinid
- Pemberian : sesaat sebelum makan
- Mek. Kerja : sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya berbeda. Merangsang
insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta pankreas.
- Pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam.
Masa paruh 1 jam, sehingga harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan.
- Farmakokinetik : metabolism utama di hepar, 10% di ginjal.
- ES : hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.

c. Biguanid
- Pemberian : sebelum/saat/sesudah makan
- Teridiri : fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat), buformin,
metformin.
- Mek. Kerja : merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan produksi
glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap
insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein
kinase). Pada DM yang gemuk, biguanid dapat menurunkan BB.
- Farmakokinetik : metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat
protein plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam.
- Dosis : awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat makan.
- Indikasi : pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat diatasi
dengan metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.
- ES :mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan
insulin eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh.
- KI : kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit
jantung kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras
intravena atau yang akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.

d. Tiazolidinedion
- Pemberian : tidak bergantung pada jadwal makan
- Mek. Kerja : berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor ɣ (PPAR ɣ)
suatu resptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer.
- ES: peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal jantung
kongestif, hipoglikemi.
- KI : gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala.
- Interaksi : dengan insulin dapat menyebabkan edem.

e. Penghambat enzim Alfa-glikosidase (Acarbose)


- Pemberian : bersama makan suapan pertama
- Mek. Kerja : memperlambat absoprsi glukosa (polisakarida, dekstrin, dan disakarida)
di usus halus, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin.
- ES : kembung, flatulens.
- Interaksi : dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.
f. DPP-4 Inhibitor
- Pemberian : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
- Mek. Kerja : glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L dimukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan
insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun, sekresi GLP-1
menurun pada DM-2.

LO 3.9 Komplikasi
Diabetes Mellitus (DM) dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)
dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi berupa komplikasi akut (yang terjadi secara
mendadak) dan komplikasi kronis (yang terjadi secara menahun).
1. Komplikasi akut dapat berupa :
1. Hipoglikemia yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/d
2. Keto Asidosis Diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis metabolic dan
hiperketogenesis
3. Koma Lakto Asidosis yaitu penurunan kesadaran hipoksia yang ditimbulkan oleh
hiperlaktatemia.
4. Koma Hiperosmolar Non Ketotik, gejala sama dengan no 2 dan 3 hanya saja tidak
ada hiperketogenesis dan hiperlaktatemia.

2. Komplikasi kronis :
Kadar gula darah tetap tinggi sheingga timbul komplikasi kronik. Komplikasi kronik
diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bias menyebabkan serangan
jantung, gangguan ginjal, gangguan saraf.
- (Nephropathy ) : kerusakan ginjal. DM dapat mempengaruhi struktur dan fungsi
ginjal. Sehingga ginjal tidak dapat menyaring zat yang terkandung dalam urin. Bila
ada kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang
seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar (proteinuria).
- Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar (pembuluh darah yang dapat
dilihat secara mikroskopis) antara lain pembuluh darah jantung / Penyakit Jantung
Koroner, pembuluh darah otak /stroke, dan pembuluh darah tepi / Peripheral Artery
Disease.
- Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah mikroskopis antara lain retinopati
diabetika (mengenai retina mata) dan nefropati diabetika (mengenai ginjal).
- (Neuropathy) : Bisa terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol
dengan baik dan berlangsung sampai 10 tahun lebih. Akhirnya saraf tidak bias
mengirim atau mengahntar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim, atau
terlambat dikirim. Meyebabkan kelemahan otot sampai penderita tidak bias jalan.
- (Retinopathy) : kerusakan retina mata. Glukosa tinggi menyebabkan rusaknya
pembuluh darah retina bahkan dapat menyebabkan kebocoran pembuluh darah
kapiler. Darah akan menutup sinar yang menuju ke retina sehingga pasien DM
penglihatan menjadi kabur.
- Penyakit jantung : DM merusak pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan
lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Jika pembuluh
darah coroner menyempit, otot jantung akan kekurangan O2 dan makanan akibat
suplai darah kurang.
- Hipertensi : DM cenderung terkena hipertensi 2x lipat dari orang normal. Dan dapat
memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke.
- Gangguan saluran pencernaan : menyebabkan urat saraf lambung akan rusak
sehingga fungsi lambung untuk mengahncurkan makanan menjadi lemah.
Gejalanya adalah sukar BAB, perut gembung, dan kotoran keras.

LO 3.10 Prognosis
Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak
selamanya buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III) yang
terawat baik prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam
keadaan koma hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada
pasien usia lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang
permanen. Karena hiporesmolar adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan
angka kematiannya tinggi.

LO 3.11 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya
harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya
pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak
masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya
kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak
terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang
cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah
satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyandang diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa, dan
GIT. Skrinning direkomendasikan untuk :
i. Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes
ii. Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
iii. Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler
iv. Orang-orang yang gemuk

b. Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan
pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan
menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu
dibantu dengan diet dan bergerak badan.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik masih
merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan
jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral.
Obat hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu
dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel beta
pancreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.

Tabel 2
Aktivitas Obat Hipoglisemik Oral
Obat Lamanya jam Dosis lazim/hari
Klorpropamid (diabinise) 60 1
Glizipid (glucotrol) 12-24 1-2
Gliburid (diabeta, micronase) 16-24 1-2
Tolazamid (tolinase) 14-16 1-2
Tolbutamid (orinase) 6-12 1-3

c. DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan yang
masuk harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari.
Adalah sangat penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara
makanan yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe
II, cenderung kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan
hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan berat
badan. (Hendrawan,2002). Modifikasi dari faktor-faktor resiko
a) Menjaga berat badan
b) Tekanan darah
c) Kadar kolesterol
d) Berhenti merokok
e) Membiasakan diri untuk hidup sehat
f) Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik
yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang
berulang untuk mencapai kebugaran.
g) Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama,
karena hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
h) Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan.
garam yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar
karbohidrat dan lemak tinggi.
i) Konsumsi sayuran dan buah-buahan.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada
pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis
rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah
mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan
penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang
dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan
pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah
sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal,
mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat
diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006).

Anda mungkin juga menyukai