Anda di halaman 1dari 8

Menurut Islam, wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria, yaitu sebagai

hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di hadapan Allah, yang membedakan manusia satu dengan
yang lain adalah ketaqwaannya. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan oleh wanita atau pria,
akan mendapat pahala yang sama. Demikian juga dengan dosa. Oleh karena itu, baik pria atau
wanita bebas berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka memiliki tanggung jawab yang sama
dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran. Hanya saja, pada tataran praktis selanjutnya,
Islam membedakan peran wanita dengan pria berkaitan dengan sifat kodrati masing-masing.

َ‫ت َو ْالخَا ِشعِين‬


ِ ‫صابِ َرا‬َّ ‫صابِ ِرينَ َوال‬ َّ ‫ت َوال‬ِ ‫صا ِد َقا‬ َّ ‫صا ِدقِينَ َوال‬ َّ ‫ت َوال‬ ِ ‫ت َو ْالقَانِتِينَ َو ْالقَانِت َا‬
ِ ‫ت َو ْال ُمؤْ ِمنِينَ َو ْال ُمؤْ ِمنَا‬ِ ‫إِ َّن ْال ُم ْس ِل ِمينَ َو ْال ُم ْس ِل َما‬
ِ ‫َّللا َك ِثيرا َوالذَّا ِك َرا‬
‫ت‬ َ َّ َ‫ت َوالذَّا ِك ِرين‬ َ ‫ت َو ْال َحا ِف ِظينَ فُ ُرو َج ُه ْم َو ْال َحا ِف‬
ِ ‫ظا‬ ِ ‫صا ِئ َما‬َّ ‫صا ِئ ِمينَ َوال‬َّ ‫ت َوال‬ َ َ ‫ص ِدقِينَ َو ْال ُمت‬
ِ ‫ص ِدقَا‬ َ َ ‫ت َو ْال ُمت‬ ِ ‫َو ْالخَا ِش َعا‬
َ
‫َّللاُ لَ ُهم َّم ْغ ِف َرة َوأجْ را َع ِظيما‬
َّ ‫أ َع َّد‬َ

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

Kehidupan wanita di jaman jahilian yaitu di arab dan di dunia secara umum, adalah di
dalam kehinaan dan kerendahan. Khususnya di bumi arab , para wanita dibenci kelahiran dan
kehadirannya di dunia. Sehingga kelahiran bagi mereka, adalah awal dari kematian mereka. Para
bayi wanita yang dilahirkan di masa itu segera di kubur hidup-hidup di bawah tanah. Kalaupun
para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan.
Ini firman Allah

ٍ ‫ بِأَي ِ ذَن‬. ْ‫سئِلَت‬


ْ‫ب قُتِلَت‬ ُ ُ‫َوإِذَا ا ْل َم ْوؤُو َدة‬
“Ketika bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh”
(QS At Takwir : 8-9)

Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam
harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka. Yang ketika telah
puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi
banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.
Perilaku yang diterima wanita pada jaman itu bisa dikatakan sangat tidak
berperikemanusiaan. Jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian
telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka
boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu
yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang
menyetubuhinya tadi. Hal itu sering disebut dengan nikah istibdha’, sangat merugikan pihak
wanita.

Para budak perempuan dijadikan sebagai pelacur. Di depan pintu rumah si budak
perempuan akan dipasang bendera merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan
para lelaki akan mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah
berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya.

Sesungguhnya Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan


perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak,
istri, ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan
sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang sebagian besar
ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan, peranan dan
perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.

Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang:
Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai manusia dengan
sempurna sama dengan pria.
Kedua, Bidang Sosial , terbuka lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara
mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan
tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya,
semakin bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri,
sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta,
kasih dan penghormatan.
Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna
dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang
berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.
Berikut ini adalah cuplikan dari khutbah haji wada’ Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang
memperintahkan kaum pria agar mereka bertaqwa dalam melindungi hak-hak wanita,

“Bertaqwalah kalian kepada Allah dalam urusan wanita, karena kalian mengambil mereka
dengan amanah Allah, kalian halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Untuk itu, hak
kalian adalah bahwa istri-istri kalian tidak boleh menghamparkan alasnya kepada orang yang
kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan itu , pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
melukai. Sedang hak mereka yang merupakan kewajiban kalian diberi nafkah dan sandang yang
layak.” (Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Ar-Rakhiqul Makhtum hal: 201)

Praktek kehidupan di Barat yang menjadikan wanita sebagai korban kekejian para lelaki
sudahlah merupakan mata rantai yang tidak pernah terputus sejak zaman Yunani kuno dahulu
kala, di mana mereka hanya dijadikan budak-budak pemuas yang pada akhirnya kaum wanita
marah dengan mengusung sebuah faham yang mereka sebut sebagai feminis.

Sungguh ini sangat berbeda dengan ajaran Islam dalam menempatkan wanita pada posisi yang
mulia di mata agama. Mereka adalah makhluk yang harus di lindungi dan di jaga oleh laki-laki
karena fitrah mereka yang mempunyai jasad yang lemah. Mereka juga merupakan makhluk yang
suci sehingga tak berhak seorang laki-laki merampas hak dan mendzalimi mereka.

Wanita diwajibkan berjilbab juga bukan dengan tujuan untuk mendiskriminasikan mereka, tetapi
lebih kepada arti yang mendalam dengan sebuah tujuan agar kehormatan mereka terjaga serta
aurat mereka tertutup dari hal-hal haram yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam
kebinasaan. Ini semua adalah konsekuansi bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dalam
menempatkan wanita dalam posisi yang mulia.

Berbeda dengan barat dimana mereka tak mengenal istilah menutup aurat, praktek seks bebas
para remaja, kumpul kebo, perkosaan berikut juga tindakan seks yang menyimpang seperti
homoseks dan lesbian merupakan sebuah panenan dari ketidak imanan mereka kepada Allah
Ta’ala.

Sara Bokker, salah seorang muallaf mantan artis dan model terkenal di Amerika Serikat yang
kini menjadi seorang direktur komunikasi di The March for Justice pun merasa jenuh terhadap
cara pandang hidup masyarakat Barat yang hanya bisa memuaskan nafsu jasmani mereka saja,
sehingga dia menjadi seorang muslimah karena Islam dapat mengisi kekosongan rohaninya
yang dulu selalu di jajah oleh kesenangan-kesenangan duniawi belaka.

Kehormatan dan kemuliaan itulah yang hanya bisa dinikmati oleh wanita yang beragama Islam,
karena seluruh tindak tanduk mereka diatur langsung oleh Sang Pencipta mereka sehingga tak
perlu lagi para muslimah menuntut agar hak-hak mereka harus disetarakan dengan laki-laki
karena mereka juga faham bahwasanya Islam telah menempatkan mereka secara adil dan sesuai
dengan fitrah sebagai seorang wanita.
Tetapi, pada hari ini juga ditemukan sebagian muslimah yang merasa telah didiskrimatifkan
oleh agama sehingga muncullah sosok feminis muslim seperti Aminah Wadud yang memimpin
aksi kontroversial seperti menjadi khatib dan imam sholat Jum’at. Yang kemudian tindakannya
di copy oleh aktivis-aktivis liberal di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia.

Tentu segala perbuatan mereka adalah hasil dari kajian para feminis di dunia Barat yang
kemudian mereka adopsi untuk memahami ajaran syari’at Islam. Framework feminis yang
notabene adalah kumpulan cara pandang orang-orang tidak beriman dimana mereka selalu
mengedapankan rasionalis dan materialis berusaha untuk di pakai dalam memahami Islam yang
sejak awal bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.

Maka antara konsep kafir yang mendewakan akal lalu kemudian di paksakan untuk memahami
Islam yang di dasari iman pasti menghasilkan sesuatu yang absurd. Dan inilah yang dipraktikan
oleh wanita yang mengklaim dirinya sebagai feminis muslim dimana cara pandang mereka
bukan lagi atas dasar iman. Sehingga wanita yang pada awalnya sudah mulia di mata agama
Islam kembali dirusak oleh sekawanan orang-orang Islam yang terpengaruh pola fikir laa
iimaana (tidak beriman) ala Barat.

Kemuliaan wanita dalam Islam yang menempatkan mereka dalam posisi adil tidak akan pernah
ditemukan dalam ajaran manapun, dari sejak lahir hingga wafat wanita diberlakukan sesuai
dengan fitrah kodrati mereka. Sehingga ketika ada wanita muslimah yang mengatakan bahwa
ajaran Islam adalah ajaran yang diskriminatif terhadap wanita, sungguh orang tersebut bukan
karena tidak tahu tentang keadilan Islam akan tetapi otak dan pola fikir mereka telah tercuci
oleh cara pandang hidup Barat yang sejak awal selalu memberlakukan wanita secara tidak adil
dan tidak beradab serta ingkar terhadap keimanan, dimana timgullah pejuang feminis yang
pada akhirnya berusaha untuk memberontak dari fitrah kewanitaan yang ada dalam diri
mereka. Allahu A’lamu Bish Shawab

Pengertian Hak Wanita dan Pria di Era Islam


hak wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta
pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa
Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi
wanita, Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat
derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita. Semua
sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling
bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.
Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi
Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan kaum
pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria. Mencermati pemahaman
tersebut, Penulis tertarik mengkaji lebih mendalam terkait emansipasi wanita dalam perspektif
hukum islam.
Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat
besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun
peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan sebuah surat dalam Al-Qur’an
kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang sebagian besar ayat dalam surat ini
membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan, peranan dan perlindungan hukum
terhadap hak-hak wanita.
Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang:
Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai manusia dengan sempurna
sama dengan pria.
Kedua, Bidang Sosial , terbuka lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara mereka
menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya,
masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula
hak-hak wanita, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang
menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.
Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna
dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang
berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.
Secara lebih rinci, hukum islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang konon
diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai
berikut.
1) Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
Kedudukan wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS.
Al-Ahzab : 35.

 Islam Basics: About Islam and American Muslim, Council on American-Islamic Relations (CAIR), Copyright
© 2007.
 Religions & Ethics: Islam at a glance, BBC - homepage, © MMVII.

‫ت َو ْالقَا ِن ِتين‬ِ ‫ت َو ْال ُمؤْ ِم ِنينَ َو ْال ُمؤْ ِمنَا‬ ِ ‫ِإ َّن ْال ُم ْس ِل ِمينَ َو ْال ُم ْس ِل َما‬
‫ت‬ ِ ‫صا ِب َرا‬ َ ‫صا ِب ِرينَ َوال‬ َّ ‫ت َوال‬ ِ ‫صا ِدقَا‬ َّ ‫صا ِد ِقينَ َوال‬ َّ ‫ت َوال‬ ِ ‫َو ْالقَا ِنتَا‬
َ‫صائِ ِمين‬ َّ ‫ت َوال‬ َ َ ‫ص ِدِّقِينَ َو ْال ُمت‬
ِ ‫ص ِدِّقَا‬ َ َ‫ت َو ْال ُمت‬ ِ ‫َو ْالخَا ِش ِعينَ َو ْالخَا ِشعَا‬
‫يرا‬ َّ َ‫ت َوالذَّا ِك ِرين‬
ً ِ‫َّللاَ َكث‬ ِ ‫ظا‬ َ ِ‫ت َو ْال َحافِ ِظينَ فُ ُرو َج ُه ْم َو ْال َحاف‬ ِ ‫صائِ َما‬ َّ ‫َوال‬
‫ع ِظي ًما‬ َ ‫َّللاُ لَ ُه ْم َم ْغ ِف َرة ً َوأَ ْج ًرا‬
َّ َّ‫ت أَ َعد‬ ِ ‫َوالذَّا ِك َرا‬
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan
pahala yang besar”.
Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah dan
menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah orang-orang
yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam
menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria adalah sama, yang membedakan adalah
iman dan ketakwaannya.
2) Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki,
menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS. An-
Nisa : 4.

ً ‫ش ْيءٍ ِم ْنهُ نَ ْف‬


‫سا‬ َ ‫صدُقَاتِ ِه َّن نِ ْحلَةً فَإِ ْن ِطبْنَ لَ ُك ْم‬
َ ‫ع ْن‬ َ ‫سا َء‬ َ ِِّ‫َوآتُوا الن‬
‫فَ ُكلُوهُ َهنِيئًا َم ِريئًا‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu
dengan senang hati, makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”.
Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak,
karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan wanita dan
pria dalam berusaha memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan
dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’ : 32.

‫يب‬
ٌ ‫َص‬ ِ ‫لر َجا ِل ن‬ ٍ ‫علَى بَ ْع‬
ِّ ِ ‫ض ِل‬ َ ‫ض ُك ْم‬ َّ ‫ض َل‬
َ ‫َّللاُ ِب ِه بَ ْع‬ َّ َ‫َوال تَت َ َمنَّ ْوا َما ف‬
َّ ‫ض ِل ِه ِإ َّن‬
َ‫َّللا‬ َّ ‫سبْنَ َوا ْسأَلُوا‬
ْ َ‫َّللاَ ِم ْن ف‬ َ َ‫يب ِم َّما ا ْكت‬
ٌ ‫َص‬ ِ ‫اء ن‬ َ ِّ‫سبُوا َو ِلل ِن‬
ِ ‫س‬ َ َ ‫ِم َّما ا ْكت‬
‫ع ِلي ًما‬ َ ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫َكانَ ِب ُك ِِّل‬
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih
banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan, dan bagi
para (wanita) pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunianya.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
3) Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai
pembagian yang ditentukan
Kedudukan wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa: 7,

‫يب ِم َّما‬
ٌ ‫َص‬
ِ ‫اء ن‬ َ ِِّ‫ان َواأل ْق َربُونَ َو ِللن‬
ِ ‫س‬ ِ َ‫يب ِم َّما ت َ َر َك ْال َوا ِلد‬
ٌ ‫َص‬ِ ‫لر َجا ِل ن‬ ِّ ِ ‫ِل‬
‫ضا‬ً ‫َصيبًا َم ْف ُرو‬ ِ ‫ان َواأل ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أَ ْو َكث ُ َر ن‬ ِ َ‫ت َ َر َك ْال َوا ِلد‬
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Islam merupakan agama yang kaffah, pengaturan terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur
di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.
Hak dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu memiliki kodrat yang
menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-
hari, misalnya sebagai suami isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi Penanggu-
ng jawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggung jawab sebagai Ibu
rumahtangga.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah Penulis kemukakan, maka dapat diketahui bahwa islam
sangat menjunjung harkat wanita bahkan melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang
lebih kompleks.
EMANSIPASI BUKAN PEMBEBASAN DIRI
Wanita merupakan bagian terbesar dari komunitas masyarakat secara umum. Apabila mereka
baik, niscaya masyarakat pun akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila mereka rusak, masyarakat
pun akan rusak. Sungguh, apabila seorang wanita muslimah benar-benar memahami agama,
hukum dan syari’at Allah, niscaya mereka akan mampu melahirkan generasi-generasi baru yang
tangguh dan berguna bagi umat seluruhnya.
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman
yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan
kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, sebagaiman yang terkandung
dalam dalam firman-Nya ;
ً ‫صا ِل ًحا ِم ْن ذَ َك ٍر أ َ ْو أ ُ ْنثَى َو ُه َو ُمؤْ ِم ٌن فَلَنُ ْحيِيَنَّهُ َحيَاة‬ َ ‫ع ِم َل‬ َ ‫َم ْن‬
َ‫س ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬ َ ‫ط ِيِّبَةً َولَن َْج ِزيَنَّ ُه ْم أ َ ْج َر ُه ْم ِبأ َ ْح‬
َ
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah
semarak di panggung modernisasi. Hal tersebut dimanfaatkan sebagai peluang dan jembatan emas
bagi musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan
opini-opini sesat, adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita
Islam sehingga emansipasi lebih condong dimaknai sebagai bentuk pembebasan bagi kaum wanita.
Opini-opini sesat yang terbentuk terkait emansipasi memberikan kesan wanita-wanita
muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-
wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau
menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai
tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Oleh karena itu agar wanita dapat maju,
harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan cara yang sesuai dengan ajaran islam.
Sudah merupakan aksioma zaman modern, bahwa wanita itu mulia. Hanya saja semua orang
tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang digunakan dalam mengukur tingkat kemuliaannya.
Banyak yang melihat kepada kecantikannya. Ada juga yang melihat dari kemandirian dan posisi
sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang lebih abstrak, seperti kualitas spiritual dan
akhlaknya.
Para pembela kaum wanita terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara pria dan
wanita di semua bidang kehidupan . Sayangnya, usaha persamaan (emansipasi) itu cenderung
ditampilkan dengan menafikan berbagai perbedaan kodrati antara dua kelompok manusia
berlainan jenis ini. Ada sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia wanita itu dibatasi empat dinding
tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi oleh garis cakrawala. Maka emansipasi berarti
"mendobrak" dinding pemisah yang membatasi ruang gerak kaum wanita. Apakah benar demikian?
Tentunya harus merujuk kembali kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan
antara pria dan wanita ini agar dalam "ketidaksamaan" yang tak terpungkiri itu, tetap dapat
bertindak obyektif dan adil.
Perlu ditekankan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini, emansipasi
lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi pada bentuk kebebasan
memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Misalnya, memilih menjadi wanita karier, padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian seorang
suami. Hal tersebut dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sama.
Pada dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’.
Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”
Islam didzalimi dengan anggapan palsu, bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada
kaum wanita untuk aktif di dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh hak-hak politiknya.
Ini tidak lepas dari misunderstanding dan sikap apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Menurut
Yusuf Qardhawy, Islam membolehkan kaum wanita untuk menduduki posisi yang tertinggi di
dalam pengadilan, mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan mendapatkan hak-hak
politiknya secara umum. Intelek kondang Timur Tengah ini berdalilkan kepada QS : At-Taubah :
7 yang menyatakan: "Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin". (Orang-
orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menjadi auliya' antara satu sama
lain). Pengertian kataAuliya’, yang termaktub dalam ayat yang tersebut secara definitif mencakup
kerjasama, bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh untuk mengerjakan yang
ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
Hal tersebut berarti mencakup pula segala segi kebaikan ataupun usaha perbaikan kualitas
hidup umat, misalnya memberikan nasihat (kritik) kepada penguasa. Senada dengan pendapat
Yusuf Qardhawi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa membolehkan wanita untuk menjadi
hakim selain dalam perkara qishash dan hudud. Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga
berpendapat yang demikian.
Jadi, pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari berbagai aspek. tidak hanya
dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban.
Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja tetapi
mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh konkritnya,
wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai
hijabnya dalam bekerja dan mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan
sebagai ibu. Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum islam tidak hanya
menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban
merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk memuliakan wanita itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai