Anda di halaman 1dari 71

BAB III

PETROLOGI

Petrologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan geologi yang


mempelajari batuan pembentuk kulit bumi, mencakup aspek pemerian (deskripsi)
dan aspek genesa-interpretasi. Pengertian luas dari petrologi adalah mempelajari
batuan secara mata telanjang, secara optik/ mikroskopis, secara kimia dan radio
isotop. Studi petrologi secara kimia sering disebut petrokimia yang dapat dipandang
sebagai bagian dari ilmu geokimia. Aspek pemerian antara lain meliputi warna,
tekstur, struktur, komposisi, berat jenis, kekerasan, kesarangan (porositas),
kelulusan (permebilitas) dan klasifikasi atau penamaan batuan. Aspek genesa –
interpretasi mencakup tentang sumber asal (“source”) hingga proses atau cara
terbentuknya batuan. Batuan didefinisikan sebagai semua bahan yang menyusun
kerak (kulit) bumi dan merupakan suatu agregat (kumpulan) mineral-mineral yang
telah menghablur (mengkristal). Dalam arti sempit, yang tidak termasuk batuan
adalah tanah dan bahan lepas lainnya yang merupakan hasil pelapukan kimia, fisis
maupun biologis, serta proses erosi dari batuan. Namun dalam arti luas tanah hasil
pelapukan dan erosi tersebut termasuk batuan.
Batuan sebagai agregat mineral pembentuk kulit bumi secara genesa dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis batuan, yaitu :
1. Batuan beku (“igneous rocks”), adalah kumpulan mineral silikat sebagai hasil
pembekuan daripada magma yang mendingin (Huang, 1962).
2. Batuan sedimen (“sedimentary rocks”), adalah batuan hasil litifikasi bahan
rombakan batuan yang berasal dari proses denudasi atau hasil reaksi kimia
maupun hasil kegiatan organisme (Pettijohn, 1964).
3. Batuan metamorf atau batuan malihan (“metamorphic rocks”), adalah batuan
yang berasal dari suatu batuan yang suda ad yang mengalami perubahan tekstur
dan komposisi mineral pada fasa padat sebagai perubahan kondisi fisika
(tekanan dan temperatur) (Winkler, 1967).
Dalam sejarah pembentukannya ketiga jenis batuan tersebut dapat
mengalami jentera (siklus) batuan seperti pada Gambar 3.1.

20
Gambar 1.3. Jentera batuan (Gillen, 1982).
Gambar 3.1. Jentera batuan (Gillen, 1982).

3.1. Batuan Beku


3.1.1. Dasar Teori
Batuan beku adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil
pembekuan daripada magma. Magma adalah bahan cair pijar di dalam
bumi, berasal dari bagian atas selubung bumi atau bagian bawah kerak
bumi, bersuhu tinggi (900 – 1300 oC) serta mempunyai kekentalan tinggi,
bersifat mudah bergerak dan cenderung menuju ke permukaan bumi.
Batuan beku dalam adalah batuan beku yang terbentuk di dalam
bumi; sering disebut batuan beku intrusi. Batuan beku luar adalah batuan
beku yang terbentuk di permukaan bumi; sering disebut batuan beku
ekstrusi. Batuan beku hipabisal adalah batuan beku intrusi dekat
permukaan, sering disebut batuan beku gang atau batuan beku korok, atau
sub volcanic intrusion.

21
3.1.1.1. Warna Batuan Beku
Warna segar batuan beku bervariasi dari hitam, abu-abu dan putih
cerah. Warna ini sangat dipengaruhi oleh komposisi mineral penyusun
batuan beku itu sendiri. Apabila terjadi percampuran mineral berwarna
gelap dengan mineral berwarna terang maka warna batuan beku dapat hitam
berbintik-bintik putih, abu-abu berbercak putih, atau putih berbercak hitam,
tergantung warna mineral mana yang dominan dan mana yang kurang
dominan. Pada batuan beku tertentu yang banyak mengandung mineral
berwarna merah daging maka warnanya menjadi putih-merah daging.

3.1.1.2. Tekstur Batuan Beku


Tekstur adalah hubungan antar mineral penyusun batuan. Dengan
demikian tekstur mencakup tingkat visualisasi ukuran butir atau
granularitas, tingkat kristalisasi mineral atau kristalinitas, tingkat
keseragaman butir kristal, ukuran butir kristal, dan bentuk kristal.

3.1.1.2.1. Tingkat Visualisasi Granularitas


Berdasarkan pengamatan dengan mata telanjang atau memakai
loupe, maka tekstur batuan beku dibagi dua, yaitu tekstur afanitik dan
tekstur faneritik.
a. Afanitik adalah kenampakan batuan beku berbutir sangat halus
sehingga mineral/kristal penyusunnya tidak dapat diamati secara mata
telanjang atau dengan loupe.
b. Fanerik (faneritik, firik = phyric) adalah apabila di dalam batuan
tersebut dapat terlihat mineral penyusunnya, meliputi bentuk kristal,
ukuran butir dan hubungan antar butir (kristal satu dengan kristal
lainnya atau kristal dengan kaca). Singkatnya, batuan beku mempunyai
tekstur fanerik apabila mineral penyusunnya, baik berupa kristal
maupun gelas/kaca, dapat diamati.

22
Apabila batuan beku mempunyai tekstur afanitik maka pemerian
tekstur lebih rinci tidak dapat diketahui, sehingga harus dihentikan.
Sebaliknya apabila batuan beku tersebut bertekstur fanerik maka pemerian
lebih lanjut dapat diteruskan.

3.1.1.2.2. Tingkat kristalisasi atau kristalinitas


a. Holokristalin, apabila batuan tersusun semuanya oleh kristal.
b. Holohialin, apabila batuan tersusun seluruhnya oleh gelas atau kaca.
c. Hipokristalin, apabila batuan tersusun sebagian oleh kaca dan
sebagian berupa kristal.

3.1.1.2.3. Tingkat Keseragaman Butir


a. Equigranular, apabila kristal penyusunnya berukuran butir relatif
seragam. Tekstur sakaroidal adalah tekstur dimana ukuran butirnya
seragam seperti gula pasir atau gula putih.
b. Inequigranular, jika ukuran butir kristal penyusunnya tidak sama.
Ukuran butir kristal :
< 1 mm -------- berbutir halus
1 – 5 mm -------- berbutir sedang
5 – 30 mm -------- berbutir kasar
> 30 mm -------- berbutir sangat kasar

3.1.1.2.4. Bentuk Kristal


a. Euhedral, jika kristal berbentuk sempurna/lengkap, dibatasi oleh
bidang kristal yang ideal (tegas, jelas dan teratur). Batuan beku yang
hampir semuanya tersusun oleh mineral dengan bentuk kristal euhedral,
disebut bertekstur idiomorfik granular atau panidiomorfik granular.
b. Subhedral, jika kristalnya dibatasi oleh bidang-bidang kristal yang
tidak begitu jelas, sebagian teratur dan sebagian tidak. Tekstur batuan

23
beku dengan mineral penyusun umumnya berbentuk kristal subhedral
disebut hipidiomorfik granular atau subidiomorfik granular.
c. Anhedral, kalau kristalnya dibatasi oleh bidang-bidang kristal yang
tidak teratur. Tekstur batuan yang tersusun oleh mineral dengan bentuk
kristal anhedral disebut alotriomorfik granular atau xenomorfik
granular.

Secara tiga dimensi, bentuk kristal disebut :


a. Kubus atau equidimensional, apabila ketiga dimensinya sama
panjang.
b. Tabular atau papan, apabila dua dimensi kristalnya lebih panjang dari
satu dimensi yang lain.
c. Prismatik atau balok, jika dua dimensi kristalnya lebih pendek dari
satu dimensi yang lain. Bentuk ini ada yang prismatik pendek (gemuk)
dan prismatik panjang (kurus, kadang-kadang seperti jarum).

Di dalam batuan beku bertekstur holokristalin inequigranular dan


hipokristalin terdapat kristal berukuran butir besar, disebut fenokris, yang
tertanam di dalam masadasar (groundmass). Kenampakan demikian
disebut tekstur porfir atau porfiri atau firik. Tekstur holokristalin
porfiritik adalah apabila di dalam batuan beku itu terdapat kristal besar
(fenokris) yang tertanam di dalam masadasar kristal yang lebih halus.
Tekstur hipokristalin porfiritik diperuntukkan bagi batuan beku yang
mempunyai fenokris tertanam di dalam masadasar gelas. Karena tekstur
holokristalin porfiritik dan hipokristalin porfiritik secara mata telanjang
dapat diidentifikasi maka kenampakan tersebut dapat disebut bertekstur
faneroporfiritik. Sebaliknya, apabila fenokrisnya tertanam di dalam
masadasar afanitik maka batuannya bertekstur porfiroafanitik. Tekstur
vitrofirik adalah tekstur dimana mineral penyusunnya secara dominan
adalah gelas, sedang kristalnya hanya sedikit (< 10 %).

24
Tekstur diabasik adalah tekstur dimana kristal plagioklas berbentuk
prismatik panjang (lath-like), berarah relatif sejajar dan di antaranya
terdapat butir-butir lebih kecil daripada kristal olivin dan piroksen. Tekstur
gabroik adalah tekstur holokristalin, berbutir sedang – kasar ( : 1 – 30
mm), tersusun secara dominan oleh mineral mafik (olivin, piroksen,
amfibol) dan plagioklas basa. Tekstur granitik adalah tekstur holokristalin
berbutir sedang-kasar tersusun oleh plagioklas asam, alkali felspar, dan
kuarsa. Tekstur pegmatitik adalah tekstur holokristalin kasar - sangat kasar
(  5 mm), tersusun oleh alkali felspar dan kuarsa. Tekstur dioritik
sebanding dengan tekstur gabroik dan granitik tetapi biasanya untuk batuan
beku menengah.

3.1.1.3. Struktur Batuan Beku


1. Masif atau pejal, umumnya terjadi pada batuan beku dalam. Pada batuan
beku luar yang cukup tebal, bagian tengahnya juga dapat berstruktur
masif.
2. Berlapis, terjadi sebagai akibat pemilahan kristal (segregasi) yang
berbeda pada saat pembekuan.
3. Vesikuler, yaitu struktur lubang bekas keluarnya gas pada saat
pendinginan. Struktur ini sangat khas terbentuk pada batuan beku luar.
Namun pada batuan beku intrusi dekat permukaan struktur vesikuler ini
kadang-kadang juga dijumpai. Bentuk lubang sangat beragam, ada yang
berupa lingkaran atau membulat, elip, dan meruncing atau menyudut,
demikian pula ukuran lubang tersebut. Vesikuler berbentuk melingkar
umumnya terjadi pada batuan beku luar yang berasal dari lava relatif
encer dan tidak mengalir cepat. Vesikuler bentuk elip menunjukkan lava
encer dan mengalir. Sumbu terpanjang elip sejajar arah sumber dan
aliran. Vesikuler meruncing umumnya terdapat pada lava yang kental.
4. Struktur skoria (scoriaceous structure) adalah struktur vesikuler
berbentuk membulat atau elip, rapat sekali sehingga berbentuk seperti
rumah lebah.

25
5. Struktur batuapung (pumiceous structure) adalah struktur vesikuler
dimana di dalam lubang terdapat serat-serat kaca.
6. Struktur amigdaloid (amygdaloidal structure) adalah struktur vesikuler
yang telah terisi oleh mineral-mineral asing atau sekunder.
7. Struktur aliran (flow structure), adalah struktur dimana kristal
berbentuk prismatik panjang memperlihatkan penjajaran dan aliran.

Struktur batuan beku tersebut di atas dapat diamati dari contoh


setangan (hand specimen) di laboratorium. Sedangkan struktur batuan
beku dalam lingkup lebih besar, yang dapat menunjukkan hubungan
dengan batuan di sekitarnya, seperti dike (retas), sill, volcanic neck,
kubah lava, aliran lava dan lain-lain hanya dapat diamati di lapangan.

3.1.1.4. Komposisi Mineral


Berdasarkan jumlah kehadiran dan asal-usulnya, maka di dalam
batuan beku terdapat mineral utama pembentuk batuan (essential minerals),
mineral tambahan (accessory minerals) dan mineral sekunder (secondary
minerals).
1. Essential minerals, adalah mineral yang terbentuk langsung dari
pembekuan magma, dalam jumlah melimpah sehingga kehadirannya
sangat menentukan nama batuan beku.
2. Accessory minerals , adalah mineral yang juga terbentuk pada saat
pembekuan magma tetapi jumlahnya sangat sedikit sehingga
kehadirannya tidak mempengaruhi penamaan batuan. Mineral ini
misalnya kromit, magnetit, ilmenit, rutil dan zirkon. Mineral esensiil dan
mineral tambahan di dalam batuan beku tersebut sering disebut sebagai
mineral primer, karena terbentuk langsung sebagai hasil pembekuan
daripada magma.
3. Secondary minerals adalah mineral ubahan dari mineral primer sebagai
akibat pelapukan, reaksi hidrotermal, atau hasil metamorfisme. Dengan
demikian mineral sekunder ini tidak ada hubungannya dengan

26
pembekuan magma. Mieral sekunder akan dipertimbangkan
mempengaruhi nama batuan ubahan saja, yang akan diuraikan pada
acara analisis batuan ubahan. Contoh mineral sekunder adalah kalsit,
klorit, pirit, limonit dan mineral lempung.
4. Gelas atau kaca, adalah mineral primer yang tidak membentuk kristal
atau amorf. Mineral ini sebagai hasil pembekuan magma yang sangat
cepat dan hanya terjadi pada batuan beku luar atau batuan gunungapi,
sehingga sering disebut kaca gunungapi (volcanic glass).
5. Mineral felsik adalah adalah mineral primer atau mineral utama
pembentuk batuan beku, berwarna cerah atau terang, tersusun oleh unsur-
unsur Al, Ca, K, dan Na. Mineral felsik dibagi menjadi tiga, yaitu
felspar, felspatoid (foid) dan kuarsa. Di dalam batuan, apabila mineral
foid ada maka kuarsa tidak muncul dan sebaliknya. Selanjutnya, felspar
dibagi lagi menjadi alkali felspar dan plagioklas.
6. Mineral mafik adalah mineral primer berwarna gelap, tersusun oleh
unsur-unsur Mg dan Fe. Mineral mafik terdiri dari olivin, piroksen,
amfibol (umumnya jenis hornblende), biotit dan muskovit.

Pemerian dan pengenalan mineral pembentuk batuan beku tersebut


secara megaskopik sudah harus dikuasai oleh para praktikan, seperti
diberikan pada kuliah dan praktikum kristalografi-mineralogi serta
dipraktekkan lagi pada acara I pengenalan mineral pembentuk batuan,
praktikum petrologi ini. Untuk mengetahui genesa masing-masing mineral
pembentuk batuan tersebut di atas, praktikan dianjurkan untuk mempelajari
Reaksi Seri Bowen yang terdapat di dalam buku-buku literatur Petrologi
(misal Middlemost, 1985, Magmas and magmatic rocks, Longman, Inc.,
London, 266 p).

3.1.1.5. Penamaan / Klasifikasi Batuan Beku


Berdasarkan letak pembekuannya maka batuan beku dapat dibagi
menjadi batuan beku intrusi dan batuan beku ekstrusi. Batuan beku intrusi

27
selanjutnya dapat dibagi menjadi batuan beku intrusi dalam dan batuan beku
intrusi dekat permukaan. Berdasarkan komposisi mineral pembentuknya
maka batuan beku dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu batuan beku
ultramafik, batuan beku mafik, batuan beku menengah dan batuan beku
felsik. Istilah mafik ini sering diganti dengan basa, dan istilah felsik diganti
dengan asam, sekalipun tidak tepat.
Termasuk batuan beku dalam ultramafik adalah dunit, piroksenit,
anortosit, peridotit dan norit. Dunit tersusun seluruhnya oleh mineral
olivin, sedang piroksenit oleh piroksen dan anortosit oleh plagioklas basa.
Peridotit terdiri dari mineral olivin dan piroksen; norit secara dominan
terdiri dari piroksen dan plagioklas basa. Batuan beku luar ultramafik
umumnya bertekstur gelas atau vitrofirik dan disebut pikrit.
Batuan beku dalam mafik disebut gabro, terdiri dari olivin,
piroksen dan plagioklas basa. Sebagai batuan beku luar kelompok ini adalah
basal. Batuan beku dalam menengah disebut diorit, tersusun oleh piroksen,
amfibol dan plagioklas menengah, sedang batuan beku luarnya dinamakan
andesit. Antara andesit dan basal ada nama batuan transisi yang disebut
andesit basal (basaltic andesit). Batuan beku dalam agak asam dinamakan
diorit kuarsa atau granodiorit, sedangkan batuan beku luarnya disebut
dasit. Mineral penyusunnya hampir mirip dengan diorit atau andesit, tetapi
ditambah kuarsa dan alkali felspar, sementara palgioklasnya secara
berangsur berubah ke asam. Apabila alkali felspar dan kuarsanya semakin
bertambah dan palgioklasnya semakin asam maka sebagai batuan beku
dalam asam dinamakan granit, sedang batuan beku luarnya adalah riolit.
Di dalam batuan beku asam ini mineral mafik yang mungkin hadir adalah
biotit, muskovit dan kadang-kadang amfibol. Batuan beku dalam sangat
asam, dimana alkali felspar lebih banyak daripada plagioklas adalah sienit,
sedang pegmatit hanyalah tersusun oleh alkali felspar dan kuarsa. Batuan
beku yang tersusun oleh gelas saja disebut obsidian, dan apabila berstruktur
perlapisan disebut perlit.

28
Nama-nama batuan beku tersebut di atas sering ditambah dengan
aspek tekstur, struktur dan atau komposisi mineral yang sangat menonjol.
Sebagai contoh, andesit porfir, basal vesikuler dan andesit piroksen.
Penambahan nama komposisi mineral tersebut umumnya diberikan apabila
persentase kehadirannya paling sedikit 10 %. Perkiraan persentase
kehadiran mineral pembentuk batuan (Tabel 3.1) dan tabel klasifikasi
batuan beku (Tabel 3.2.) dapat membantu memberikan nama terhadap
batuan beku.

Tabel 3.1. Diagram persentase untuk perkiraan komposisi berdasarkan volume.

4.

29
Tabel 3.2. Klasifikasi batuan beku (O’Dunn & Sill, 1986).

3.1.1.6. Batuan Piroklastika (Pyroclastic Rocks)


Batuan piroklastika adalah suatu batuan yang berasal dari letusan
gunungapi, sehingga merupakan hasil pembatuan daripada bahan hamburan atau
pecahan magma yang dilontarkan dari dalam bumi ke permukaan. Itulah sebabnya
dinamakan sebagai piroklastika, yang berasal dari kata pyro berarti api (magma
yang dihamburkan ke permukaan hampir selalu membara, berpendar atau berapi),
dan clast artinya fragmen, pecahan atau klastika. Dengan demikian, pada prinsipnya
batuan piroklastika adalah batuan beku luar yang bertekstur klastika. Hanya
saja pada proses pengendapan, batuan piroklastika ini mengikuti hukum-hukum di
dalam proses pembentukan batuan sedimen. Misalnya diangkut oleh angin atau air
dan membentuk struktur-struktur sedimen, sehingga kenampakan fisik secara
keseluruhan batuannya seperti batuan sedimen. Pada kenyataannya, setelah menjadi

30
batuan, tidak selalu mudah untuk menyatakan apakah batuan itu sebagai hasil
kegiatan langsung dari suatu letusan gunungapi (sebagai endapan primer
piroklastika), atau sudah mengalami pengerjaan kembali (reworking) sehingga
secara genetik dimasukkan sebagai endapan sekunder piroklastika atau endapan
epiklastika. Berdasarkan ukuran butir klastikanya, sebagai bahan lepas (endapan)
dan setelah menjadi batuan piroklastika, penamaannya seperti pada Tabel 3.6.
Bom gunungapi adalah klastika batuan gunungapi yang mempunyai
struktur-struktur pendinginan yang terjadi pada saat magma dilontarkan dan
membeku secara cepat di udara atau air dan di permukaan bumi. Salah satu struktur
yang sangat khas adalah struktur kerak roti (bread crust structure). Bom ini pada
umumnya mempunyai bentuk membulat, tetapi hal ini sangat tergantung dari
keenceran magma pada saat dilontarkan. Semakin encer magma yang dilontarkan,
maka material itu juga terpengaruh efek puntiran pada saat dilontarkan, sehingga
bentuknya dapat bervariasi. Selain itu, karena adanya pengeluaran gas dari dalam
material magmatik panas tersebut serta pendinginan yang sangat cepat maka pada
bom gunungapi juga terbentuk struktur vesikuler serta tekstur gelasan dan kasar
pada permukaannya. Bom gunungapi berstruktur vesikuler di dalamnya berserat
kaca dan sifatnya ringan disebut batuapung (pumice). Batuapung ini umumnya
berwarna putih terang atau kekuningan, tetapi ada juga yang merah daging dan
bahkan coklat sampai hitam. Batuapung umumnya dihasilkan oleh letusan besar
atau kuat suatu gunungapi dengan magma berkomposisi asam hingga menengah,
serta relatif kental. Bom gunungapi yang juga berstruktur vesikuler tetapi di
dalamnya tidak terdapat serat kaca, bentuk lubang melingkar, elip atau seperti
rumah lebah disebut skoria (scoria). Bom gunungapi jenis ini warnanya merah,
coklat sampai hitam, sifatnya lebih berat daripada batuapung dan dihasilkan oleh
letusan gunungapi lemah berkomposisi basa serta relatif encer. Bom gunungapi
berwarna hitam, struktur masif, sangat khas bertekstur gelasan, kilap kaca,
permukaan halus, pecahan konkoidal (seperti botol pecah) dinamakan obsidian.
Blok atau bongkah gunungapi dapat merupakan bom gunungapi yang bentuknya
meruncing, permukaan halus gelasan sampai hipokristalin dan tidak terlihat adanya
struktur-struktur pendinginan. Dengan demikian blok dapat merupakan pecahan

31
daripada bom gunungapi, yang hancur pada saat jatuh di permukaan tanah/batu.
Bom dan blok gunungapi yang berasal dari pendinginan magma secara langsung
tersebut disebut bahan magmatik primer, material esensial atau juvenile). Blok juga
dapat berasal dari pecahan batuan dinding (batuan gunungapi yang telah terbentuk
lebih dulu, sering disebut bahan aksesori), atau fragmen non-gunungapi yang ikut
terlontar pada saat letusan (bahan aksidental).

Tabel 3.3 Klasifikasi batuan piroklastika.

Ukuran butir Nama butiran (klastika) Nama batuan


 > 64 mm Bom gunungapi Aglomerat
Blok/bongkah gunungapi Breksi piroklastika
2 – 64 mm Lapili Batulapili
1 – 2 mm Abu gunungapi kasar (pasir kasar) Tuf kasar
 < 1 mm Abu gunungapi halus Tuf halus

Berdasarkan komposisi penyusunnya, tuf dapat dibagi menjadi tuf gelas, tuf
kristal dan tuf litik, apabila komponen yang dominan masing-masing berupa
gelas/kaca, kristal dan fragmen batuan. Tuf juga dapat dibagi menjadi tuf basal, tuf
andesit, tuf dasit dan tuf riolit, sesuai klasifikasi batuan beku. Apabila klastikanya
tersusun oleh fragmen batuapung atau skoria dapat juga disebut tuf batuapung atau
tuf skoria. Demikian pula untuk aglomerat batuapung, aglomerat skoria, breksi
batuapung, breksi skoria, batulapili batuapung dan batulapili skoria.

3.1.1.7. Petrogenesa Batuan Beku


Petrogenesa adalah bagian dari petrologi yang menjelaskan seluruh aspek
terbentuknya batuan mulai dari asal-usul atau sumber, proses primer terbentuknya
batuan hingga perubahan-perubahan (proses sekunder) pada batuan tersebut. Untuk
batuan beku, sebagai sumbernya adalah magma. Proses primer menjelaskan
rangkaian atau urutan kejadian dari pembentukan berbagai jenis magma sampai
dengan terbentuknya berbagai macam batuan beku, termasuk lokasi
pembekuannya. Setelah batuan beku itu terbentuk, batuan itu kemudian terkena

32
proses sekunder, antara lain berupa oksidasi, pelapukan, ubahan hidrotermal,
penggantian mineral (replacement), dan malihan, sehingga sifat fisik maupun
kimiawinya dapat berubah total dari batuan semula atau primernya.
Berhubung proses petrogenetik tersebut sebagian besar berlangsung lama (dalam
ukuran waktu geologi), dan umumnya terjadi di bawah permukaan bumi,
sehingga tidak dapat diamati langsung, maka analisis atau penjelasannya bersifat
interpretatif. Pembuktian mungkin dapat ditunjukkan berdasar hasil-hasil
eksperimen di laboratorium, sekalipun hanya pada batas-batas tertentu. Analisis
interpretatif tersebut tetap didasarkan pada data obyektif atau deskriptif hasil
pemerian yang meliputi warna, tekstur, struktur, komposisi mineral dan
kenampakan khusus lainnya. Dengan demikian studi petrogenesa pada prinsipnya
untuk mencari jawaban atau penjelasan terhadap pertanyaan “Mengapa” (Why)
dan “Bagaimana” (How) terhadap data perian batuan.

i. Lembar Tugas

33
ii. Lembar Tugas

34
iii. Lembar Tugas

35
iv. Lembar Tugas

36
v. Lembar Tugas

37
vi. Lembar Tugas

38
vii. Lembar Tugas

39
40
viii. Kesimpulan

41
3.2. Batuan Sedimen
3.2.1. Dasar Teori
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil pemadatan
endapan yang berupa bahan lepas. Hutton (1875; dalam Sanders, 1981)
menyatakan Sedimentary rocks are rocks which are formed by the “turning to
stone” of sediments and that sediments, in turn, are formed by the breakdown
of yet-older rocks. O’Dunn & Sill (1986) menyebutkan sedimentary rocks are
formed by the consolidation of sediment : loose materials delivered to
depositional sites by water, wind, glaciers, and landslides. They may also be
created by the precipitation of CaCO3, silica, salts, and other materials from
solution (Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk oleh konsolidasi
sedimen, sebagai material lepas, yang terangkut ke lokasi pengendapan oleh air,
angin, es dan longsoran gravitasi, gerakan tanah atau tanah longsor. Batuan
sedimen juga dapat terbentuk oleh penguapan larutan kalsium karbonat, silika,
garam dan material lain. Menurut Tucker (1991), 70 % batuan di permukaan
bumi berupa batuan sedimen. Tetapi batuan itu hanya 2 % dari volume seluruh
kerak bumi. Ini berarti batuan sedimen tersebar sangat luas di permukaan bumi,
tetapi ketebalannya relatif tipis.

3.2.1.1. Klasifikasi Umum


Pettijohn (1975), O’Dunn & Sill (1986) membagi batuan sedimen
berdasar teksturnya menjadi dua kelompok besar, yaitu batuan sedimen klastika
dan batuan sedimen non-klastika.
Batuan sedimen klastika (detritus, mekanik, eksogenik) adalah batuan
sedimen yang terbentuk sebagai hasil pengerjaan kembali (reworking) terhadap
batuan yang sudah ada. Proses pengerjaan kembali itu meliputi pelapukan,
erosi, transportasi dan kemudian redeposisi (pengendapan kembali). Sebagai
media proses tersebut adalah air, angin, es atau efek gravitasi (beratnya sendiri).
Media yang terakhir itu sebagai akibat longsoran batuan yang telah ada.
Kelompok batuan ini bersifat fragmental, atau terdiri dari butiran/pecahan
batuan (klastika) sehingga bertekstur klastika.

42
Batuan sedimen non-klastika adalah batuan sedimen yang terbentuk
sebagai hasil penguapan suatu larutan, atau pengendapan material di tempat itu
juga (insitu). Proses pembentukan batuan sedimen kelompok ini dapat secara
kimiawi, biologi /organik, dan kombinasi di antara keduanya (biokimia). Secara
kimia, endapan terbentuk sebagai hasil reaksi kimia, misalnya CaO + CO2 
CaCO3. Secara organik adalah pembentukan sedimen oleh aktivitas binatang
atau tumbuh-tumbuhan, sebagai contoh pembentukan rumah binatang laut
(karang), terkumpulnya cangkang binatang (fosil), atau terkuburnya kayu-
kayuan sebagai akibat penurunan daratan menjadi laut.
Sanders (1981) dan Tucker (1991), membagi batuan sedimen menjadi :
1. Batuan sedimen detritus (klastika)
2. Batuan sedimen kimia
3. Batuan sedimen organik, dan
4. Batuan sedimen klastika gunungapi.
Batuan sedimen jenis ke empat itu adalah batuan sedimen bertekstur
klastika dengan bahan penyusun utamanya berasal dari hasil kegiatan
gunungapi.
Graha (1987) membagi batuan sedimen menjadi 4 kelompok juga, yaitu
:
1. Batuan sedimen detritus (klastika/mekanis)
2. Batuan sedimen batubara (organik/tumbuh-tumbuhan)
3. Batuan sedimen silika, dan
4. Batuan sedimen karbonat

Batuan sedimen jenis kedua pada umumnya bertekstur non-klastika. Tetapi


batuan sedimen jenis ketiga dan keempat dapat merupakan batuan sedimen
klastika ataupun batuan sedimen non-klastika.
Berdasar komposisi penyusun utamanya, batuan sedimen klastika
(bertekstur klastika) dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Batuan sedimen silisiklastika, adalah batuan sedimen klastika dengan
mineral penyusun utamanya adalah kuarsa dan felspar.

43
2. Batuan sedimen klastika gunungapi adalah batuan sedimen dengan material
penyusun utamanya berasal dari hasil kegiatan gunungapi (kaca, kristal dan
atau litik), dan
3. Batuan sedimen klastika karbonat, atau batugamping klastika adalah batuan
sedimen klastika dengan mineral penyusun utamanya adalah material
karbonat (kalsit).

3.2.1.2. Warna Batuan Sedimen


Pada umumnya, batuan sedimen berwarna terang atau cerah, putih, kuning atau
abu-abu terang. Namun demikian, ada pula yang berwarna gelap, abu-abu gelap
sampai hitam, serta merah dan coklat. Dengan demikian warna batuan sedimen
sangat bervariasi, terutama sangat tergantung pada komposisi bahan
penyusunnya.

3.2.1.3. Kekompakan
Proses pemadatan dan pengompakan, dari bahan lepas (endapan) hingga
menjadi batuan sedimen disebut diagenesa. Proses diagenesa itu dapat terjadi
pada suhu dan tekanan atmosferik sampai dengan suhu 300 oC dan tekanan 1 –
2 kilobar, berlangsung mulai sedimen mengalami penguburan, hingga terangkat
dan tersingkap kembali di permukaan. Berdasarkan hal tersebut, ada 3 macam
diagenesa, yaitu :
1. Diagenesa eogenik, yaitu diagenesa awal pada sedimen di bawah muka air.
2. Diagenesa mesogenik, yaitu diagenesa pada waktu sedimen mengalami
penguburan semakin dalam.
3. Diagenesa telogenik, yaitu diagenesis pada saat batuan sedimen tersingkap
kembali di permukaan oleh karena pengangkatan dan erosi.

Dengan adanya berbagai macam diagenesa maka derajat kekompakan


batuan sedimen juga sangat bervariasi, yakni :
1. Bahan lepas (loose materials, masih berupa endapan atau sedimen)
2. Padu (indurated), pada tingkat ini konsolidasi material terjadi pada kondisi

44
kering, tetapi akan terurai bila dimasukkan ke dalam air.
3. Agak kompak (padat), pada tingkat ini masih ada butiran/fragmen yang
dapat dilepas dengan tangan atau kuku.
4. Kompak (keras), butiran tidak dapat dilepas dengan tangan/kuku.
5. Sangat kompak (sangat keras, biasanya sudah mengalami rekristalisasi).

3.2.1.4. Tekstur
Seperti diuraikan di atas, maka batuan sedimen dapat bertekstur
klastika atau non klastika. Namun demikian apabila batuannya sudah sangat
kompak dan telah terjadi rekristalisasi (pengkristalan kembali), maka batuan
sedimen itu bertekstur kristalin. Batuan sedimen kristalin umum terjadi pada
batugamping dan batuan sedimen kaya silika yang sangat kompak dan keras.

3.2.1.5. Bentuk Butir


Berdasar perbandingan diameter panjang (long) (l), menengah
(intermediate) (i) dan pendek (short) (s) maka terdapat empat bentuk butir di
dalam batuan sedimen, yaitu (Gambar 3.2):
1. Oblate, bila l = i tetapi tidak sama dengan s.
2. Equant, bila l = i = s.
3. Bladed, bila l tidak sama dengan i tidak sama dengan s.
4. Prolate, bila i = s, tetapi tidak sama dengan l.
Apabila bentuk-bentuk teratur tersebut tidak dapat diamati, maka cukup
disebutkan bentuknya tidak teratur. Pada kenyataannya, bentuk butir yang dapat
diamati secara megaskopik adalah yang berukuran paling kecil granule (kerikil,
  2 mm). Bentuk butir itu dapat disebutkan seperti halnya pemerian
kebundaran di bawah ini.

45
Gambar 3.2 Empat kelas bentuk butir berdasarkan perbandingan diameter panjang (l),
menengah (i) dan pendek (s) menurut T. Zingg. Kelas A = oblate (tabular atau bentuk disk); B
= equant (kubus atau bulat); C = bladed dan D = prolate (bentuk rod). Masing-masing kelas
bentuknya digambarkan seperti terlihat pada gambar 3.3.

3.2.1.6. Kebundaran
Berdasarkan kebundaran atau keruncingan butir sedimen maka
Pettijohn, dkk., (1987) membagi kategori kebundaran menjadi enam tingkatan
ditunjukkan dengan pembulatan rendah dan tinggi (Gambar 3.3). Keenam
kategori kebundaran tersebut yaitu:

1. Sangat meruncing (sangat menyudut) (very angular)


2. Meruncing (menyudut) (angular)
3. Meruncing (menyudut) tanggung (subangular)

46
4. Membundar (membulat) tanggung (subrounded)
5. Membundar (membulat (rounded), dan
6. Sangat membundar (membulat) (well-rounded).

Gambar 3.3 kategori kebundaran dan keruncingan butiran sedimen (Pettijohn, dkk., 1987).

3.2.1.7. Tekstur Permukaan


1. Kasar, bila pada permukaan butir terlihat meruncing dan terasa tajam.
Tekstur permukaan kasar biasanya dijumpai pada butir dengan tingkat
kebundaran sangat meruncing-meruncing.
2. Sedang, jika permukaan butirnya agak meruncing sampai agak rata. Tekstur
ini terdapat pada butir dengan tingkat kebundaran meruncing tanggung
hingga membulat tanggung.
3. Halus, bila pada permukaan butir sudah halus dan rata. Hal ini
mencerminkan proses abrasi permukaan butir yang sudah lanjut pada saat
mengalami transportasi. Dengan demikian butiran sedimen yang
mempunyai tekstur permukaan halus terjadi pada kebundaran membulat
sampai sangat membulat.

47
Gambar 3.3, sekalipun hal itu dinyatakan sebagai katagori kebundaran,
tingkatan ini nampaknya lebih didasarkan pada tekstur permukaan daripada
butir.

3.2.1.8. Ukuran Butir


Ukuran butir batuan sedimen klastika umumnya mengikuti Skala
Wentworth (1922, dalam Boggs, 1992) seperti tersebut pada Tabel 3.4. Butir
lanau dan lempung tidak dapat diamati dan diukur secara megaskopik. Ukuran
butir lanau dapat diketahui jika material itu diraba dengan tangan masih terasa
ada butir seperti pasir tetapi sangat halus. Ukuran butir lempung akan terasa
sangat halus dan lembut di tangan, tidak terasa ada gesekan butiran seperti pada
lanau, dan bila diberi air akan terasa sangat licin.

Tabel 3.4 Skala ukuran butir sedimen (disederhanakan).

Ukuran butir Nama Butiran Nama batuan


(mm)
 > 256 Boulder / block (bongkah) Breksi
64 – 256 Cobble (kerakal) (bentuk / kebundaran
butiran meruncing)
4 - 64 Pebble Konglomerat
2-4 Granule (kerikil) (bentuk / kebundaran
butiran membulat)
1/16 - 2 Sand (pasir) Batupasir
1/16 – 1/256 Silt (lanau) Batulanau
 < 1/256 Clay (lempung) Batulempung

3.2.1.9. Kemas atau Fabrik


1. Kemas tertutup, bila butiran fragmen di dalam batuan sedimen saling
bersentuhan atau bersinggungan atau berhimpitan, satu sama lain (grain/clast
supported). Apabila ukuran butir fragmen ada dua macam (besar dan kecil),

48
maka disebut bimodal clast supported. Tetapi bila ukuran butir fragmen ada tiga
macam atau lebih maka disebut polymodal clast supported.
2. Kemas terbuka, bila butiran fragmen tidak saling bersentuhan, karena di
antaranya terdapat material yang lebih halus yang disebut matrik (matrix
supported).
Gambar 3.4 memperlihatkan kemas di dalam batuan sedimen, meliputi
bentuk pengepakan (packing), hubungan antar butir/fragmen (contacts),
orientasi butir atau arah-arah memanjang (penjajaran) butir, dan hubungan
antara butir fragmen dan matriks.

Gambar 3.4. Batuan sedimen berkemas butir: paking, kontak dan orientasi butir serta
hubungan antara butir matrik.

3.2.1.10. Pemilahan
Pemilahan adalah keseragaman dari ukuran besar butir penyusun batuan
sedimen, artinya bila semakin seragam ukurannya dan besar butirnya maka
pemilahan semakin baik.

49
1. Pemilahan baik, bila ukuran butir di dalam batuan sedimen tersebut seragam.
Hal ini biasanya terjadi pada batuan sedimen dengan kemas tertutup.
2. Pemilahan sedang, bila ukuran butir di dalam batuan sedimen terdapat yang
seragam maupun yang tidak seragam.
3. Pemilahan buruk, bila ukuran butir di dalam batuan sedimen sangat beragam,
dari halus hingga kasar. Hal ini biasanya terdapat pada batuan sedimen dengan
kemas terbuka.

Gambar 3.5. Pemilahan ukuran butir di dalam batuan sedimen.

3.2.1.11. Porositas (Kesarangan)


Porositas adalah tingkatan banyaknya lubang (porous) rongga atau
pori-pori di dalam batuan. Batuan dikatakan mempunyai porositas tinggi
apabila pada batuan itu banyak dijumpai lubang (vesicles) atau pori-pori.
Sebaliknya, batuan dikatakan mempunyai porositas rendah apabila
kenampakannya kompak, padat atau tersemen dengan baik sehingga sedikit
sekali atau bahkan tidak mempunyai pori-pori.

50
3.2.1.12. Permeabilitas (Kelulusan)
Permeabilitas adalah tingkatan kemampuan batuan meluluskan air (zat
cair).
1. Permeable (lulus air), jika batuan tersebut dapat meluluskan air, yaitu :
a. Bahan lepas, atau terkompakkan lemah, biasanya berbutir pasir atau lebih
kasar.
b. Batuan dengan porositas tinggi, lubang-lubangnya saling berhubungan.
c. Batuan mempunyai pemilahan baik, kemas tertutup, dan ukuran butir pasir
atau lebih kasar.
d. Batuan yang pecah-pecah atau mempunyai banyak retakan / rekahan.
2. Impermeable (tidak lulus air), jika batuan itu tidak mampu meluluskan air,
yaitu :
a. Batuan berporositas tinggi, tetapi lubang-lubangnya tidak saling
berhubungan.
b. Batuan mempunyai pemilahan buruk, kemas terbuka, ukuran butir lanau –
lempung. Material lanau dan lempung itu yang menutup pori-pori antar
butir.
c. Batuan bertekstur non klastika atau kristalin, masif, kompak dan tidak ada
rekahan.
Secara praktis megaskopis, suatu batuan mempunyai tingkat kelulusan
tinggi apabila di permukaannya diteteskan air maka air itu segera habis meresap
ke dalam batuan. Sebaliknya, batuan mempunyai kelulusan rendah atau bahkan
tidak lulus air bila di permukaannya diteteskan air maka air itu tidak segera
meresap ke dalam batuan atau tetap di permukaan batuan.

3.2.1.13. Struktur Sedimen


1. Struktur di dalam batuan (features within strata) :
a. Struktur perlapisan (planar atau stratifikasi). Jika tebal perlapisan < 1 cm
disebut struktur laminasi.
b. Struktur perlapisan silang-siur (cross bedding / cross lamination).
c. Struktur perlapisan pilihan (graded bedding)

51
 Normal, jika butiran besar di bawah dan ke atas semakin halus.
 Terbalik (inverse), jika butiran halus di bawah dan ke atas semakin
kasar.
2. Struktur permukaan (surface features) :
a. Ripples (gelembur gelombang atau current ripple marks)
b. Cetakan kaki binatang (footprints of various walking animals)
c. Cetakan jejak binatang melata (tracks and trails of crowling animals)
d. Rekahan lumpur (mud cracks, polygonal cracks)
e. Gumuk pasir (dunes, antidunes)
3. Struktur erosi (erosional sedimentary structures)
a. Alur/galur (flute marks, groove marks,linear ridges)
b. Impact marks (bekas tertimpa butiran fragmen batuan atau fosil)
c. Saluran dan cekungan gerusan (channels and scours)
d. Cekungan gerusan dan pengisian (scours & fills)

Pettijohn (1975) membagi struktur sedimen menjadi 2 kelompok besar,


yaitu struktur inorganik (anorganik) (Gambar 3.6) dan struktur organik
(Gambar 3.7). Struktur anorganik di bagi lagi menjadi struktur primer (mekanis)
dan struktur sekunder (kimiawi) (Tabel 3.8).

3.2.1.14. Kompaksi
Batuan sedimen klastika berbutir kasar (rudites,  > 2 mm) biasanya
terdiri dari fragmen dan matriks. Fragmen adalah klastika butiran lebih besar
yang tertanam di dalam butiran yang lebih kecil atau matriks. Matriks mungkin
berbutir lempung sampai dengan pasir, atau bahkan granule. Sedangkan
fragmen berbutir pebble sampai boulder. Mineral utama penyusun batuan
silisiklastika adalah mineral silika (kuarsa, opal dan kalsedon), felspar serta
mineral lempung. Sebagai mineral tambahan adalah mineral berat (turmalin,
zirkon), mineral karbonat, klorit, dan mika. Untuk batuan klastika gunungapi
biasanya ditemukan gelas atau kaca gunungapi. Selain mineral, maka di dalam

52
batuan sedimen juga dijumpai fragmen batuan, serta fosil binatang dan fosil
tumbuh-tumbuhan.
Batuan karbonat (klastika dan non klastika) tersusun oleh mineral
kalsit, cangkang fosil dan kadang-kadang dolomit. Batuan evaporit (non
klastika hasil penguapan), utamanya tersusun oleh mineral gipsum
(CaSO4.2H2O), anhidrit (CaSO4) dan halit (NaCl). Batuan sedimen “ironstone”
tersusun oleh mineral oksida besi (hematit, magnetit, limonit, glaukonit dan
pirit). Batuan sedimen posfat tersusun oleh mineral apatit. Batubara tersusun
oleh mineral carbon. Batuan sedimen silika (chert atau opal)tersusun oleh
kuarsa dan kalsedon.
Fragmen dan matriks di dalam batuan sedimen lebih menyatu karena
adanya bahan semen. Bahan penyemen butiran fragmen dan matriks tersebut
adalah material karbonat, oksida besi, dan silika. Semen karbonat dicirikan
oleh bereaksinya dengan cairan HCl. Semen oksida besi, selain tidak bereaksi
dengan HCl secara khas berwarna coklat, Semen silika umumnya tidak
berwarna, tidak bereaksi dengan HCl dan batuan yang terbentuk sangat keras.
Semen itu tidak selalu dapat diamati secara megaskopik.

53
54
Gambar 3.6. Berbagai macam struktur sedimen. A. Current dan Graded; B. Daur Bouma; C.
Konvolut dan Dike Batupasir; D. Konkresi dan Nodule; E. Mudcracks; F. Striation dan Groove
casts; G dan K. Ripple bedding; H. Flute casts; I. Liniasi dan Furrow; J. Cone-in-cone dan Kristal
pasir.

55
Gambar 3.7 Beberapa perbedaan jejak fosil yang menunjukkan fasies sedimentasi.

Tabel 3.6. Klasifikasi struktur sedimen (Pettijohn, 1975).

INORGANIC STRUCTURE
MECHANICAL CHEMICAL ORGANIC
(“PRIMARY”) (“SECONDARY”) STRUCTURE

A. Beddding : geometry A. Solution structures A. Petrifactions


1. Laminations 1. Stylolites

56
2. Wavy bedding 2. Corrosion zone
3. Vugs, oolicasts etc.
B. Bedding internal B. Accretionary structures B. Bedding (weedia and
structures 1. Nodules other stromatolites)
1. Cross-bedding 2. Concretions
2. Ripple-bedding 3. Crystal aggregates
3. Graded bedding (sperulites & osettes)
4. Growth bedding 4. Veinlets
5. Color banding
C. Bedding-plane marking C. Composite structures C. Miscellaneous
(on surface) 1. Geodes 1. Borings
1. Scour or current 2. Septaria 2. Tracks and trails
marks (flutes) 3. Cone-in-cone 3. Casts and molds
2. Tool marks (grooves 4. Fecal pellets and
etc.) coprolites
D. Bedding-plane marking
(on surface)
1. Wave and swash
marks
2. Pits and prints (rain
etc.)
3. Parting lineation
E. Deformed bedding
1. Load and founder
structures
2. Synsedimentary folds
and breccias
3. Sandstone dikes and
sills

57
3.2.1.15. Penamaan Batuan Sedimen
Penaman batuan sedimen secara deskriptif, tergantung pada data
pemerian (data deskriptif) yang meliputi warna, tekstur, struktur dan komposisi.
Pembagian batuan sedimen silisiklastika umumnya berdasar ukuran butir,
ditambah dengan bentuk butir, struktur dan komposisi (Tabel 3.9), yaitu :

1. Rudit ( > 2 mm), termasuk breksi (fragmen meruncing), konglomerat


(fragmen membulat). Apabila komposisi fragmen batuan secara megaskopik
dapat diamati, maka penamaaan tambahan dapat diberikan berdasarkan
komposisi utama fragmen batuan tersebut. Misalnya breksi andesit, breksi
batuapung, konglomerat kuarsa.
2. Arenit, adalah batuan sedimen berbutir pasir (batupasir). Penamaan batupasir
ini dapat ditambahkan berdasar kenampakan struktur sedimen (contoh batupasir
berlapis, batupasir silangsiur), atau komposisi penyusun utamanya, misal
batupasir kuarsa.
3. Lutit, terdiri dari batulempung, batulanau, dan serpih. Batulempung berbutir
lempung, batulanau tersusun oleh mineral/fragmen batuan berbutir lanau.
Serpih adalah batulempung atau batulanau berstruktur laminasi.

Tabel 3.7. Penamaan batuan sedimen klastika secara megaskopis (Huang, 1965).
Komposisi Nama Ciri-ciri
Tekstur/Struktur
mineral/fragmen batuan khas

Fragmen
Komposisi Konglomerat umumnya
sejenis atau bulat atau
campuran, agak
terutama dengan membulat

58
Rudit rijang, kuarsa, Fragmen
(2 – 256 mm) granit, kuarsit, Breksi umumnya
batugamping dll. runcing, dan
menyudut
Kipas
Fanglomerat aluvial yang
mengalami
pembatuan
Umumnya
Pecahan batuan Tillit tidak
bercapur dengan terpisah.
semen Fragmen
batuan
terdapat
bekas
goresan
Terutama kuarsa Arenit atau Pemilahan
25%, felspar batupasir baik dan
kalium atau kuarsa bersih
Arenit plagioklas 10- Arkose Pemilahan
(1/16 – 2 mm) 25%. jelek, warna
Pecahan batuan: abu-abu
basal, riolit, kemerahan
batusabak dll. Batupasir Lebih
Mineral mika, felspatik dewasa dari
serisit, klorit, Graywacke arkose
bijih besi. subgraywacke antara
graywacke
dan arenit
Umumnya Batulanau Antara
Lutit mineral lempung, batupasir
kuarsa, opal, dan serpih

59
(1/16 – 1/256 kalsedon, klorit Serpih Mudah
mm) dan bijih besi. Batulumpur membelah,
Batulempung tidak plastis,
bila
dipanasi
menjadi
plastis

Untuk batuan karbonat bertekstur klastika :


1. Kalsirudit, adalah breksi atau konglomerat dengan fragmen batugamping.
2. Kalkarenit, adalah batupasir yang tersusun oleh mineral karbonat.
3. Kalsilutit, adalah batugamping klastis berbutir halus (lanau – lempung).

Untuk batugamping bertekstur non klastika, cukup diberi nama


batugamping non klastika. Apabila di dalam batugamping banyak
mengandung fosil maka dapat disebut batugamping berfosil. Sedangkan
batuan karbonat yang sudah tersusun oleh kristal kalsit atau dolomit disebut
batugamping kristalin. Napal adalah terminologi untuk batuan sedimen
berbutir lanau dan lempung, tersusun oleh bahan silisiklastika dan karbonat
(Tabel 3.10 dan Tabel 3.11).
Untuk batuan klastika gunungapi, tata namanya mengikuti batuan
piroklastika yang telah dijelaskan pada acara analisis batuan beku, yaitu terdiri
dari tuf (halus dan kasar), batulapili, breksi gunungapi dan aglomerat
(Gambar 3.8). Dalam beberapa hal, secara megaskopik, warna yang sangat khas
dapat ditambahkan untuk penamaan batuan, contoh tuf hijau, batupasir merah,
batulempung hitam dsb.

60
Tabel 3.8. Penamaan batuan sedimen non klastika secara megaskopis (Huang, 1965).

Tekstur/Strukt Komposisi Nama Ciri-ciri


ur mineral/fragm batuan khas
en
Breaksi
Rapat, afanitik, Terutama kalsit Batugampi dengan HCl,
berbutir kasar, ng mengandung
kristalin, porus, organik,
oolit dan mosaik bioklastika,
Tidak segera
Terutama Dolomit bereaksi
dolomit dengan HCl,
jarang
mengandung
fosil,
berbutir
sedang
Kristal halus Putih – abu-
dengan Kapur abu terang,
Berbutir halus mikroorganism sangat rapuh,
e mengandung
fosil
Karbonat dan Abu-abu
lempung Napal terang,
rapuh,
pecahan
konkoidal

61
Campuran Warna
silika, opal dan Rijang beragam,
Rapat dan kalsedon dll. keras, kilap
berlapis non logam,
konkoidal
Terutama gips Evaporit,
tidak sendiri
Anhidrit Gips melainkan
berasosiasi
Terutama malit dengan
mineral/batu
an lain.
Dijumpai
kristal yang
mengelompo
k
Masif atau Mineral fosfat Fosforit Diperlukan
berlapis dan fragmen penentuan
tulang kadar P2O3
Amorf, berlapis, Humus, Batubara, Warna
tebal tumbuhan lignit coklat,
pecahan
prismatik

3.2.1.16. Genesis
Berdasar data pemerian batuan sedimen tersebut di atas, maka secara
genesa dapat diinterpretasikan mengenai :
1. Asal-usul atau sumber batuan sedimen (provenance)
2. Energi pengangkut (angin, air, es, longsoran, letusan gunungapi atau kombinasi
di antaranya), jaraknya dengan sumber dan proses transportasinya.

62
3. Lingkungan pengendapan, di darat kering, darat berair tawar (danau, sungai), di
pantai atau di laut (dangkal atau dalam).
4. Diagenesa dan lain-lain.

63
3.2.2. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

64
3.2.2. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

65
3.2.2. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

66
3.2.2. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

67
3.2.2. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

68
3.2.2. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

69
. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

70
. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

71
. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

72
. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

73
. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

74
. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

75
. Lembar Tugas
3.2.3. Kesimpulan

76
3.3. Batuan Metamorf
3.3.1. Dasar Teori
Batuan asal atau batuan induk baik berupa batuan beku, batuan sedimen
maupun batuan metamorf dan telah mengalami perubahan mineralogi, tekstur serta
struktur sebagai akibat adanya perubahan temperatur (di atas proses diagenesa dan
di bawah titik lebur; 200-350oC < T < 650-800oC) dan tekanan yang tinggi (1 atm
< P < 10.000 atm) disebut batuan metamorf. Proses metamorfisme tersebut terjadi
di dalam bumi pada kedalaman lebih kurang 3 km – 20 km. Winkler (1989)
menyatakan bahwasannya proses-proses metamorfisme itu mengubah mineral-
mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh atau respons terhadap kondisi
fisika dan kimia di dalam kerak bumi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya.
Proses-proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan diagenesa.

3.3.1.1. Pembentukan Batuan Metamorf


Batuan beku dan sedimen dibentuk akibat interaksi dari proses kimia,
fisika, biologi dan kondisi-kondisinya di dalam bumi serta di permukaannya. Bumi
merupakan sistim yang dinamis, sehingga pada saat pembentukannya, batuan-
batuan mungkin mengalami keadaan yang baru dari kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan perubahan yang luas di dalam tekstur dan mineraloginya. Perubahan-
perubahan tersebut terjadi pada tekanan dan temperatur di atas diagenesa dan di
bawah pelelehan, maka akan menunjukkan sebagai proses metamorfisme.
Suatu batuan mungkin mengalami beberapa perubahan lingkungan sesuai
dengan waktu, yang dapat menghasilkan batuan polimetamorfik. Sifat-sifat yang
mendasar dari perubahan metamorfik adalah batuan tersebut terjadi selama batuan
berada dalam kondisi padat. Perubahan komposisi di dalam batuan kurang berarti
pada tahap ini, perubahan tersebut adalah isokimia yang terdiri dari distribusi
ulang elemen-elemen lokal dan volatil diantara mineral-mineral yang sangat
reaktif. Pendekatan umum untuk mengambarkan batas antara diagenesa dan
metamorfisme adalah menentukan batas terbawah dari metamorfisme sebagai
kenampakan pertama dari mineral yang tidak terbentuk secara normal di dalam
sedimen-sedimen permukaan, seperti epidot dan muskovit. Walaupun hal ini

77
dapat dihasilkan dalam batas yang lebih basah. Sebagai contoh, metamorfisme
shale yang menyebabkan reaksi kaolinit dengan konstituen lain untuk menghasilkan
muskovit. Bagaimanapun juga, eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa
reaksi ini tidak menempati pada temperatur tertentu tetapi terjadi antara 200C -
350C yang tergantung pada pH dan kandungan potasium dari material-material
disekitarnya. Mineral-mineral lain yang dipertimbangkan terbentuk pada awal
metamorfisme adalah laumonit, lawsonit, albit, paragonit atau piropilit. Masing-
masing terbentuk pada temperatur yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda,
tetapi secara umum terjadi kira-kira pada 150C atau dikehendaki lebih tinggi. Di
bawah permukaan, temperatur di sekitarnya 150C disertai oleh tekanan lithostatik
kira-kira 500 bar.
Batas atas metamorfisme diambil sebagai titik dimana kelihatan terjadi
pelelehan batuan. Di sini kita mempunyai satu variabel, sebagai variasi
temperatur pelelehan sebagai fungsi dari tipe batuan, tekanan lithostatik dan
tekanan uap. Satu kisaran dari 650C - 800C menutup sebagian besar kondisi
tersebut. Batas atas dari metamorfisme dapat ditentukan oleh kejadian dari
batuan yang disebut migmatit. Batuan ini menunjukkan kombinasi dari
kenampakan tekstur, beberapa darinya muncul menjadi batuan beku dan batuan
metamorf yang lain.

Berdasarkan tingkat malihannya, batuan metamorf dibagi menjadi dua yaitu


(1) metamorfisme tingkat rendah (low-grade metamorphism) dan (2) metamorfisme
tingkat tinggi (high-grade metamorphism) (Gambar 3.9). Pada batuan metamorf
tingkat rendah jejak kenampakan batuan asal masih bisa diamati dan penamaannya
menggunakan awalan meta (-sedimen, -beku), sedangkan pada batuan metamorf
tingkat tinggi jejak batuan asal sudah tidak nampak, malihan tertinggi membentuk
migmatit (batuan yang sebagian bertekstur malihan dan sebagian lagi bertekstur
beku atau igneous).

78
Gambar 3.8. memperlihatkan batuan asal yang mengalami metamorfisme tingkat rendah –
medium dan tingkat tinggi (O’Dunn dan Sill, 1986).

Pembentukan batuan metamorf selain didasarkan pada tingkat malihannya


juga didasarkan pada penyebabnya. Berdasarkan penyebabnya batuan metamorf
dibagi menjadi tiga yaitu (1) Metamorfisme kontak/ termal, pengaruh T dominan;
(2) Metamorfisme dinamo/ kataklastik/dislokasi/kinematik, pengaruh P dominan;
dan (3) Metamorfisme regional, terpengaruh P & T, serta daerah luas.
Metamorfisme kontak terjadi pada zona kontak atau sentuhan langsung dengan
tubuh magma (intrusi) dengan lebar antara 2 – 3 km (Gambar 3.10).

Gambar 3.9. memperlihatkan kontak aureole disekitar intrusi batuan beku (Gillen, 1982).

79
Metamorfisme dislokasi terjadi pada daerah sesar besar/ utama yaitu pada lokasi
dimana masa batuan tersebut mengalami penggerusan. Sedangkan metamorfisme
regional terjadi pada kulit bumi bagian dalam dan lebih intensif bilamana diikuti
juga oleh orogenesa (Gambar 3.10). penyebaran tubuh batuan metamorf ini luas
sekali mencapai ribuan kilometer.

Gambar 3.10 penampang yang memperlihatkan lokasi batuan metamorf (Gillen, 1982).

3.3.1.2. Pengenalan Batuan Metamorf


Pengenalan batuan metamorf dapat dilakukan melalui kenampakan-
kenampakan yang jelas pada singkapan dari batuan metamorf yang merupakan
akibat dari tekanan-tekanan yang tidak sama. Batuan-batuan tersebut mungkin
mengalami aliran plastis, peretakan dan pembutiran atau rekristalisasi. Beberapa
tekstur dan struktur di dalam batuan metamorf mungkin diturunkan dari batuan
pre-metamorfik (seperti: cross bedding), tetapi kebanyakan hal ini terhapus selama
metamorfisme. Penerapan dari tekanan yang tidak sama, khususnya jika disertai
oleh pembentukan mineral baru, sering menyebabkan kenampakan penjajaran
dari tekstur dan struktur. Jika planar disebut foliasi. Seandainya struktur planar
tersebut disusun oleh lapisan-lapisan yang menyebar atau melensa dari mineral-
mineral yang berbeda tekstur, misal: lapisan yang kaya akan mineral granular

80
(seperti: felspar dan kuarsa) berselang-seling dengan lapisan-lapisan kaya mineral-
mineral tabular atau prismatik (seperti: feromagnesium), tekstur tersebut
menunjukkan sebagai gneis. Seandainya foliasi tersebut disebabkan oleh
penyusunan yang sejajar dari mineral-mineral pipih berbutir sedang-kasar
(umumnya mika atau klorit) disebut skistosity. Pecahan batuan ini biasanya
sejajar dengan skistosity menghasilkan belahan batuan yang berkembang kurang
baik.
Pengenalan batuan metamorf tidak jauh berbeda dengan jenis batuan lain
yaitu didasarkan pada warna, tekstur, struktur dan komposisinya. Namun untuk
batuan metamorf ini mempunyai kekhasan dalam penentuannya yaitu pertama-tama
dilakukan tinjauan apakah termasuk dalam struktur foliasi (ada penjajaran mineral)
atau non foliasi (tanpa penjajaran mineral) (Tabel 3.12). Pada metamorfisme tingkat
tinggi akan berkembang struktur migmatit (Gambar 3.12). Setelah penentuan
struktur diketahui, maka penamaan batuan metamorf baik yang berstruktur foliasi
maupun berstruktur non foliasi dapat dilakukan. Misal: struktur skistose nama
batuannya sekis; gneisik untuk genis; slatycleavage untuk slate/ sabak. Sedangkan
non foliasi, misal: struktur hornfelsik nama batuannya hornfels; liniasi untuk asbes.

Table 3.11 Diagram alir untuk identifikasi batuan metamorf secara umum (Gillen, 1982).

81
Variasi yang luas dari tekstur, struktur dan komposisi dalam batuan
metamorf, membuatnya sulit untuk mendaftar satu atau lebih dari beberapa
kenampakkan yang diduga hasil dari proses metamorfisme. Oleh sebab itu hal
terbaik untuk mempertimbangkan secara menerus seperti kemungkinan banyaknya
perbedaan kenampakan-kenampakan yang ada.

Gambar 3.12 Berbagai struktur pada migmatit dengan leukosom (warna terang) (Compton, 1985).

3.3.1.3. Struktur Batuan Metamorf


Secara umum struktur yang dijumpai di dalam batuan metamorf dibagi menjadi
dua kelompok besar yaitu struktur foliasi dan struktur non foliasi. Struktur foliasi
ditunjukkan oleh adanya penjajaran mineral-mineral penyusun batuan metamorf,

82
sedang struktur non foliasi tidak memperlihatkan adanya penjajaran mineral-
mineral penyusun batuan metamorf.

3.3.1.3.1. Struktur Foliasi


a. Struktur Skistose: struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral pipih
(biotit, muskovit, felspar) lebih banyak dibanding mineral butiran.
b. Struktur Gneisik: struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral granular,
jumlah mineral granular relatif lebih banyak dibanding mineral pipih.
c. Struktur Slatycleavage: sama dengan struktur skistose, kesan kesejajaran
mineraloginya sangat halus (dalam mineral lempung).
d. Struktur Phylitic: sama dengan struktur slatycleavage, hanya mineral dan
kesejajarannya sudah mulai agak kasar.

3.3.1.3.2. Struktur Non Foliasi


a. Struktur Hornfelsik: struktur yang memperlihatkan butiran-butiran mineral
relatif seragam.
b. Struktur Kataklastik: struktur yang memperlihatkan adanya penghancuran
terhadap batuan asal.
c. Struktur Milonitik: struktur yang memperlihatkan liniasi oleh adanya orientasi
mineral yang berbentuk lentikuler dan butiran mineralnya halus.
d. Struktur Pilonitik: struktur yang memperlihatkan liniasi dari belahan
permukaan yang berbentuk paralel dan butiran mineralnya lebih kasar
dibanding struktur milonitik, malah mendekati tipe struktur filit.
e. Struktur Flaser: sama struktur kataklastik, namun struktur batuan asal
berbentuk lensa yang tertanam pada masa dasar milonit.
f. Struktur Augen: sama struktur flaser, hanya lensa-lensanya terdiri dari butir-
butir felspar dalam masa dasar yang lebih halus.
g. Struktur Granulose: sama dengan hornfelsik, hanya butirannya mempunyai
ukuran beragam.
h. Struktur Liniasi: struktur yang memperlihatkan adanya mineral yang berbentuk
jarus atau fibrous.

83
3.3.1.4. Tekstur Batuan Metamorf
Tekstur yang berkembang selama proses metamorfisme secara tipikal
penamaanya mengikuti kata-kata yang mempunyai akhiran -blastik. Contohnya,
batuan metamorf yang berkomposisi kristal-kristal berukuran seragam disebut
dengan granoblastik. Secara umum satu atau lebih mineral yang hadir berbeda
lebih besar dari rata-rata; kristal yang lebih besar tersebut dinamakan porphiroblast.
Porphiroblast, dalam pemeriksaan sekilas, mungkin membingungkan dengan
fenokris (pada batuan beku), tetapi biasanya mereka dapat dibedakan dari sifat
mineraloginya dan foliasi alami yang umum dari matrik. Pengujian mikroskopik
porphiroblast sering menampakkan butiran-butiran dari material matrik, dalam
hal ini disebut poikiloblast. Poikiloblast biasanya dianggap terbentuk oleh
pertumbuhan kristal yang lebih besar disekeliling sisa-sisa mineral terdahulu,
tetapi kemungkinan poikiloblast dapat diakibatkan dengan cara pertumbuhan
sederhana pada laju yang lebih cepat daripada mineral-mineral matriknya, dan yang
melingkupinya. Termasuk material yang menunjukkan (karena bentuknya,
orientasi atau penyebarannya) arah kenampakkan mula-mula dalam batuan
(seperti skistosity atau perlapisan asal); dalam hal ini porphiroblast atau poikiloblast
dikatakan mempunyai tekstur helicitik. Kadangkala batuan metamorf terdiri dari
kumpulan butiran-butiran yang berbentuk melensa atau elipsoida; bentuk dari
kumpulan-kumpulan ini disebut augen (German untuk “mata”), dan umumnya
hasil dari kataklastik (penghancuran, pembutiran, dan rotasi). Sisa kumpulan ini
dihasilkan dalam butiran matrik. Istilah umum untuk agregat adalah porphyroklast.

3.3.1.4.1. Tekstur Kristaloblastik


Tekstur batuan metamorf yang dicirikan dengan tekstur batuan asal sudah
tidak kelihatan lagi atau memperlihatkan kenampakan yang sama sekali baru.
Dalam penamaannya menggunakan akhiran kata –blastik. Berbagai kenampakan
tekstur batuan metamorf dapat dilihat pada Gambar 3.13.

a. Tekstur Porfiroblastik: sama dengan tekstur porfiritik (batuan beku), hanya


kristal besarnya disebut porfiroblast.

84
b. Tekstur Granoblastik: tekstur yang memperlihatkan butir-butir mineral
seragam.
c. Tekstur Lepidoblastik: tekstur yang memperlihatkan susunan mineral saling
sejajar dan berarah dengan bentuk mineral pipih.
d. Tekstur Nematoblastik: tekstur yang memperlihatkan adanya mineral-mineral
prismatik yang sejajar dan terarah.
e. Tekstur Idioblastik: tekstur yang memperlihatkan mineral-mineral berbentuk
euhedral.
f. Tekstur Xenoblastik: sama dengan tekstur idoblastik, namun mineralnya
berbentuk anhedral.

3.3.1.4.2. Tekstur Palimpset


Tekstur batuan metamorf yang dicirikan dengan tekstur sisa dari batuan asal masih
bisa diamati. Dalam penamaannya menggunakan awalan kata –blasto.

a. Tekstur Blastoporfiritik: tekstur yang memperlihatkan batuan asal yang


porfiritik.
b. Tekstur Blastopsefit: tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang
ukuran butirnya lebih besar dari pasir.
c. Tekstur Blastopsamit: sama dengan tekstur blastopsefit, hanya ukuran butirnya
sama dengan pasir.
d. Tekstur Blastopellit: tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang
ukuran butirnya lempung.

3.3.1.5. Komposisi Batuan Metamorf


Pertumbuhan dari mineral-mineral baru atau rekristalisasi dari mineral
yang ada sebelumnya sebagai akibat perubahan tekanan dan atau temperatur
menghasilkan pembentukan kristal lain yang baik, sedang atau perkembangan sisi
muka yang jelek; kristal ini dinamakan idioblastik, hypidioblastik, atau
xenoblastik. Secara umum batuan metamorf disusun oleh mineral-mineral tertentu
(Tabel 3.13), namun secara khusus mineral penyusun batuan metamorf

85
dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) mineral stress dan (2) mineral anti stress.
Mineral stress adalah mineral yang stabil dalam kondisi tekanan, dapat berbentuk
pipih/tabular, prismatik dan tumbuh tegak lurus terhadap arah gaya/stress meliputi:
mika, tremolit-aktinolit, hornblende, serpentin, silimanit, kianit, seolit, glaukopan,
klorit, epidot, staurolit dan antolit. Sedang mineral anti stress adalah mineral yang
terbentuk dalam kondisi tekanan, biasanya berbentuk equidimensional, meliputi:
kuarsa, felspar, garnet, kalsit dan kordierit.

Gambar 3.13 Tekstur batuan metamorf (Compton, 1985).


A. Tekstur Granoblastik, sebagian menunjukkan tekstur mosaik; B. Tekstur Granoblatik berbutir
iregular, dengan poikiloblast di kiri atas; C. Tekstur Skistose dengan porpiroblast euhedral; D.
Skistosity dengan domain granoblastik lentikuler; E. Tekstur Semiskistose dengan meta batupasir
di dalam matrik mika halus; F. Tekstur Semiskistose dengan klorit dan aktinolit di dalam masa
dasar blastoporfiritik metabasal; G. Granit milonit di dalam proto milonit; H. Ortomilonit di dalam
ultramilonit; I. Tekstur Granoblastik di dalam blastomilonit.

86
Tabel 3.9. Ciri-ciri fisik mineral-mineral penyusun batuan metamorf (Gillen, 1982)

Setelah kita menentukan batuan asal mula metamorf, kita harus


menamakan batuan tersebut. Sayangnya prosedur penamaan batuan metamorf
tidak sistematik seperti pada batuan beku dan sedimen. Nama-nama batuan
metamorf terutama didasarkan pada kenampakan tekstur dan struktur (Tabel
3.13). Nama yang umum sering dimodifikasi oleh awalan yang menunjukkan
kenampakan nyata atau aspek penting dari tekstur (contoh gneis augen), satu atau
lebih mineral yang ada (contoh skis klorit), atau nama dari batuan beku yang
mempunyai komposisi sama (contoh gneis granit). Beberapa nama batuan yang
didasarkan pada dominasi mineral (contoh metakuarsit) atau berhubungan dengan
facies metamorfik yang dipunyai batuan (contoh granulit).
Metamorfisme regional dari batulumpur melibatkan perubahan keduanya
baik tekanan dan temperatur secara awal menghasilkan rekristalisasi dan modifikasi
dari mineral lempung yang ada. Ukuran butiran secara mikroskopik tetap, tetapi
arah yang baru dari orientasi mungkin dapat berkembang sebagai hasil dari gaya
stres. Resultan batuan berbutir halus yang mempunyai belahan batuan yang baik
sekali dinamakan slate. Bilamana metamorfisme berlanjut sering menghasilkan
orientasi dari mineral-mineral pipih pada batuan dan penambahan ukuran butir dari
klorit dan mika. Hasil dari batuan yang berbutir halus ini dinamakan phylit,

87
sama seperti slate tetapi mempunyai kilap sutera pada belahan permukaannya.
Pengujian dengan menggunakan lensa tangan secara teliti kadangkala
memperlihatkan pecahan porpiroblast yang kecil licin mencerminkan permukaan
belahannya. Pada tingkat metamorfisme yang lebih tinggi, kristal tampak tanpa
lensa. Disini biasanya kita menjumpai mineral-mineral yang pipih dan
memanjang yang terorientasi kuat membentuk skistosity yang menyolok. Batuan
ini dinamakan skis, masih bisa dibelah menjadi lembaran-lembaran. Umumnya
berkembang porpiroblast; hal ini sering dapat diidentikkan dengan sifat khas
mineral metamorfik seperti garnet, staurolit, atau kordierit. Masih pada
metamorfisme tingkat tinggi disini skistosity menjadi kurang jelas; batuan terdiri
dari kumpulan butiran sedang sampai kasar dari tekstur dan mineralogi yang
berbeda menunjukkan tekstur gnessik dan batuannya dinamakan gneis. Kumpulan
yang terdiri dari lapisan yang relatif kaya kuarsa dan feldspar, kemungkinan
kumpulan tersebut terdiri dari mineral yang mengandung feromagnesium (mika,
piroksin, dan ampibol). Komposisi mineralogi sering sama dengan batuan beku,
tetapi tekstur gnessik biasanya menunjukkan asal metamorfisme; dalam
kumpulan yang cukup orientasi sering ada. Penambahan metamorfisme dapat
mengubah gneis menjadi migmatit. Dalam kasus ini, kumpulan berwarna terang
menyerupai batuan beku tertentu, dan perlapisan kaya feromagnesium mempunyai
aspek metamorfik tertentu.
Jenis batuan metamorf lain penamaannya hanya berdasarkan pada
komposisi mineral, seperti: Marmer disusun hampir semuanya dari kalsit atau
dolomit; secara tipikal bertekstur granoblastik. Kuarsit adalah batuan
metamorfik bertekstur granobastik dengan komposisi utama adalah kuarsa,
dibentuk oleh rekristalisasi dari batupasir atau chert/rijang. Secara umum jenis
batuan metamorfik yang lain adalah sebagai berikut:
Amphibolit: Batuan yang berbutir sedang sampai kasar komposisi utamanya
adalah ampibol (biasanya hornblende) dan plagioklas.
Eclogit: Batuan yang berbutir sedang komposisi utama adalah piroksin
klino ompasit tanpa plagioklas felspar (sodium dan diopsit kaya alumina) dan

88
garnet kaya pyrop. Eclogit mempunyai komposisi kimia seperti basal, tetapi
mengandung fase yang lebih berat. Beberapa eclogit berasal dari batuan beku.
Granulit: Batuan yang berbutir merata terdiri dari mineral (terutama kuarsa,
felspar, sedikit garnet dan piroksin) mempunyai tekstur granoblastik.
Perkembangan struktur gnessiknya lemah mungkin terdiri dari lensa-lensa datar
kuarsa dan/atau felspar.
Hornfels: Berbutir halus, batuan metamorfisme thermal terdiri dari
butiran-butiran yang equidimensional dalam orientasi acak. Beberapa
porphiroblast atau sisa fenokris mungkin ada. Butiran-butiran kasar yang sama
disebut granofels.
Milonit: Cerat berbutir halus atau kumpulan batuan yang dihasilkan oleh
pembutiran atau aliran dari batuan yang lebih kasar. Batuan mungkin menjadi
protomilonit, milonit, atau ultramilomit, tergantung atas jumlah dari fragmen yang
tersisa. Bilamana batuan mempunyai skistosity dengan kilap permukaan sutera,
rekristralisasi mika, batuannya disebut philonit.
Serpentinit: Batuan yang hampir seluruhnya terdiri dari mineral-mineral
dari kelompok serpentin. Mineral asesori meliputi klorit, talk, dan karbonat.
Serpentinit dihasilkan dari alterasi mineral silikat feromagnesium yang terlebih
dahulu ada, seperti olivin dan piroksen.
Skarn: Marmer yang tidak bersih/kotor yang mengandung kristal dari
mineral kapur-silikat seperti garnet, epidot, dan sebagainya. Skarn terjadi karena
perubahan komposisi batuan penutup (country rock) pada kontak batuan beku.

89
Tabel 3.10 Klasifikasi Batuan Metamorf (O’Dunn dan Sill, 1986).

90

Anda mungkin juga menyukai