Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PROBLEMATIKA RADD DALAM PEMBAGIAN HARTA WARIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“FIQIH 3”

Dosen Pembimbing :

Drs. H. Bisri Djalil, M. Pd. I

Disusun Oleh :

1. Charisudin Ruba’i
2. Siti Rosyidah Nur L. M

PAI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA

(STAIM)

NGLAWAK - KERTOSOSNO - NGANJUK

2016
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Karena dengan Rahmat dan kasih sayang-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tidak lupa, sholawat serta salam semoga
senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, Nabi Agung Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqih 3 pada semester
III dengan judul “Problematika Radd Dalam Pembagian Harta Waris”. Diharapkan, makalah
ini dapat membuka pengetahuan pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Bisri Djalil, M. Pd. I selaku
dosen pembimbing mata kuliah Fiqih 3 yang telah memberi kami kesempatan untuk
memaparkan materi ini serta telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Juga, kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini, kami
mengucapkan terima kasih.

Nglawak, 28 November 2016

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar . ......................................................................................................
Daftar Isi . .................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang. .........................................................................................
B. Rumusan masalah. ....................................................................................
C. Tujuan. .......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan syarat Radd. ...........................................................................
B. Perselisihan pendapat ada dan tidaknya Radd. ..............................................
C. Ahli waris yang berhak mendapatkan Radd dan yang tidak berhak. .............
D. Macam-macam Radd. ....................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………....
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris meninggalkan harta
warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus mendapatkan harta warisan sesuai dengan
bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan
secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan
kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain
pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus
ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian
pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan radd yaitu ketika pembagian harta
warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan syarat Radd ?


2. Bagaimana perselisihan pendapat ada dan tidaknya Radd ?
3. Siapa saja ahli waris yang berhak mendapatkan Radd dan yang tidak berhak ?
4. Apa saja macam-macam Radd ?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dan syarat Radd.


2. Untuk mengetahui perselisihan pendapat ada dan tidaknya Radd.
3. Untuk mengetahui ahli waris yang berhak mendapatkan Radd dan yang tidak
berhak.
4. Untuk mengetahui macam-macam Radd.
.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Radd dan Syarat Radd

1. Pengertian Radd

Menurut bahasa Radd berarti kembali atau menghabiskan. Sedangkan menurut istilah
bahwa radd adalah mengembalikan sisa harta warisan kepada ahli warisannya sesuai dengan
bagiannya masing-masing sehingga harta warisan menjadi habis tidak tersisa. 1 Ada yang
mengatakan lagi bahwa Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang terdapat dalam
surat Al-Kahfi ayat 64 yaitu :2

Artinya : “Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula.”
Menurut istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya
jumlah bagian ashhabul furudh.
Ar-radd merupakan kebalikan dari al-‘aul. Misalnya, dalam suatu keadaan (dalam
pembagian hak waris), para ashabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi
ternyata harta warisan itu masih tersisa. Sementara itu, tidak ada sosok kerabat lain sebagai
ashobah maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi pada para ashhabul
furudh sesuai dengan bagian masing-masing. Ar-radd tidak akan terjadi kecuali kepada
orang-orang yang mempunyai bagian fardh (ashhabul furudh), sebab bagian warisan mereka
ini sudah ditentukan dan dibatasi. Bagian mereka juga bisa menghabiskan semua harta,
misalnya bagian ayah dan ibu dengan dua orang anak perempuan pewaris. Ayah dan ibu
memperoleh sepertiga dan dua orang anak perempuan memperoleh dua pertiga. Namun,
terkadang tidak sampai menghabiskan seperti bagian seorang anak perempuan bersama ibu
mayit. Anak perempuan yang seorang itu menerima seperdua, sedangkan ibu mendapatkan
seperenam. Dengan demikian, masih tersisa sepertiga (2/6).
Empat madzhab mengatakan bahwa sisa yang merupakan kelebihan fardh
dikembalikan kepada ahli waris yang menerima ‘ashobah (bagian yang tersisa). Kaalau orang
yang meninggal mempunyai seorang anak perempuan, dia mengambil bagian ½ , sedangkan

1
Beni Ahmad Saebani. Fiqih Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia 2009), hal 101

2
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd Syakur. Ilmu Mawaris Al-Faraidl. (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana 2005),
hal 212
sisanya (ashobah) diberikan kepada ayah pewaris. Kalau ayahnya sudah tidak ada sisa
tersebut diberikan kepada saudara-saudara perempuan kandung atau seayah. Mereka adalah
penerima-penerima ‘ashobah bila berada bersama seorang ank perempuan. Kalau mereka
juga tidak ada sisa tersebut diberikan kepada anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
(ibn al-akhi li abawain), dan bila tidak ada diberikan kepada anak saudara laki-laki pewaris
yang seayah (ibn al-akhi li abin), dan seterusnya kepada paman seibu–seayah, paman seayah,
anak paman kandung, dan anak paman seayah. Kalau orang-orang yang disebut tidak ada
bagian yang tersisa tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang mempunyai bagian fardh
sesuai dengan besar kecilnya bagian tetap mereka, kecuali suami dan istri. Kepada dua orang
ini, bagian yang tersisa tersebut tidak bisa dikembalikan. Seperti apabila orang yang
meninggal itu mempunyai seorang ibu dan seorang ank perempuan, ibu mengambil bagian
1/6 dan anak perempuan memperoleh bagian ½ sebagai faradh. Sisa yang harus dikembalikan
kepada mereka berdua dijadikan perempatan (menjadi empat bagian). Seperempat diberikan
kepada ibu dan ¾ nya diberikan pada anak perempuan. Demikian pula halnya bila orang yang
meninggal dunia itu mempunyai seorang saudara perempuan seayah dan saudara perempuan
seibu. Yang pertama mengambil bagian aeperti yang diambil oleh anak perempuan tunggal
pewaris sedangkan yang kedua mengambil bagian seperti bagian ibu.
Imam Syafi’i dan Imam Maliki mengatakan bahwa bila tidak terdapat orang-orang
yang mempunyai bagian ‘ashobah, sisa tirkah yang diambil oleh bagian furudh dikembalikan
pada baitul mal. Imamiyah mengatakan bahwa sisa tersebut dikembalikan kepada ahli waris
yang mempunyai bagian faradh sesui dengan besar kecilnya bagian mereka manakala tidak
terdapat kerabat yang setingkat dengannya. Bila terdapat ahli waris seperti itu mereka yang
mempunyai bagian faradh mengambil bagiannya terdahulu sedangkan sisanya diberikan
kepada kerabat dekat tersebut, misalnya ibu dan ayah. Ibu mengambil bagiannya terlebih
dahulu sisanya diserahkan kepada ayah. Akan tetapi bila terdapat ahli waris yang mempunyai
bagian faradh bersama-sama ahli waris lain yang bukan dari peringkatnya, ahli waris yang
mempunyai faradh itu mengambil bagian terlebih dahulu lalu sisanya dikembalikan pula
kepadanya, misalnya ibu dengan saudara laki-laki pewaris. Ibu mengambil bagian 1/3 sebagai
faradh lalu sisanya dikembalikan kepadanya sedangkan saudara laki-laki pewaris tidak
memperoleh bagian apapun. Hal itu karena saudara laki-laki tersebut berada pada tinggkat
kedua sedangkan ibu berada pada tinggkatan pertama. Demikian pula yang terjadi pada
saudara perempuan seayah dengan seorang paman. Saudara perempuan mengambil bagian ½
sebagai faradh dan ½ sebagai radd sedangkan paman tidak menerima bagian apa pun sebab
paman berada peringkatan ketiga sedangkan saudara perempuan berada pada peringgat
kedua.
Imamiyah tidak mengembalikan sisa tirkah kepada anak laki-laki ibu ( walad al-umm)
apabila dia berada bersama-sama anak laki-laki ayah (walad al-ab). Kalau pewaris itu
mempunyai seorang saudara perempuan dan seorang saudara perempuan seayah yang
pertama mengambil 1/6 dan yang kedua mengambil ½ dan sisanya dikembalikan pula
kepadanya (saudara perempuan seayah) dan tidak kepada saudara perempuan seibu. Tentu
saja sisa itu dikembalikan kepada anak ibu (walad al-umm) manakala tidak ada lagi orang
lain seperingkat dengan mereka. Misalnya, pewaris itu mempunyai anak perempuan dan ibu-
bapak serta saudara perempuan yang menghalangi ibu untuk memperoleh bagian 1/3 (lebih
dari1/6) sisa tirkah dikembalikan kepada ayah dan anak perempuan saja. Akan tetapi, bila
tidak ada yang menghalanginya menerima bagian 1/3 sisa tirkah dikembalikan kepada ayah
anak perempuan dan ibu sesuai dengan besar-kecilnya bagian mereka.

2. Syarat-syarat Radd

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam masalah Radd ada tiga, yaitu:3
a. Terwujudnya Ashabul Furudh.
b. Tidak adanya ahli waris Ashobah.
c. Ada sisa harta waris.

B. Perselisihan pendapat “ada” dan “tidaknya” Radd


Para ahli faraidh memperselisihkan ada dan tidak adanya masalah Radd, karena tidak
adanya nash yang jelas baik dari Al-Qur’an maupun hadist. Pendapat tentang Radd itu ada
dua pendapat:4
1. Pendapat yang tidak adanya Radd:
Para ulama’ yang berpendapat menolak adanya Radd adalah Zaid bin Tsabit,
sebagaian kecil sahabat , imam fuqoha, Malikiyah, Syafi’iyah. Mereka berpendapat bila harta
yang dibagi berlebihan, maka harta itu diserahkan ke Baitul Maal untuk kepentingan umat
Islam. Namun pendirian itu berubah setelah adanya perubahan kondisi dan situasi
(masyarakat setempat). Kemanfaatan dan penggunaan Baitul Maal. Oleh karena itu,
kelebihan harta benda tersebut di Raddkan kepada “Dzawil Furudh” dan “Dawil Arham”.

3
Beni Ahmad Saebani. Fiqih Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia 2009), hal 101
4
Ibid, hal 101
Alasan penolakan adanya Radd adalah bahwa:
a. Allah telah menentukan faradh-faradh para Dzawil Furudh sesudah qathi (jelas),
tidak perlu ditambah dan dikurangi.
b. Sisa uang/ harta benda setelah dibagi secara Furudhul Muqaddarah diserahkan ke
kas perbendaraan negara (Baitul Maal).
2. Pendapat yang menyetujui:
Pada Ulama’ yang menyetujui “adanya Radd “ adalah Jumhurul Shahabi, Tabi’in,
Imam-imam Madzhab seperti Imam Ahmad bin Hambal, Imam Hanafi,Fuqaha Mutaakhirin
Malikiyah, Syafi’iyah dan lain-lain.5
Alasan Jumhurul Ulama dalam mempertahankan “Adanya Radd” bagi Ashhabul
Furudh adalah karena fungsi Baitul Maal masih diragukan kegunaannya, tidak seperti dulu.
Adapun Ashhabul Furudh yang berhak menerima Radd menurut jumhur Ulama,
adalah:
a. Ibu
b. Nenek
c. Anak perempuan
d. Cucu perempuan dari anak laki-laki
e. Saudara perempuan kandung
f. Saudara perempuan seayah
g. Saudara perempuan seibu
h. Saudara laki-laki seibu

Adapun Ashabul Furudh yang tidak menerima Radd


Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd
hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab,
akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan.
Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak
berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi
hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan
atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
C. Ahli waris yang berhak mendapatkan Radd dan yang tidak berhak
mendapatkan Radd6

5
Ibid, hal 102
1. Ahli waris yang berhak mendapatkan Radd
Ar-Radd dapat terjadi dan dapat melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami
dan istri, bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris
yang ada. Ashhabul furudh yang dapat menerima Ar-Radd hanya ada delapan orang, yaitu:
a. Anak perempuan
b. cucu perempuan keturunan anak laki-laki
c. saudara kandung perempuan
d. saudara perempuan seayah
e. ibu kandung
f. nenek sahih (ibu dari bapak)
g. saudara perempuan seibu
h. saudara laki-laki seibu

Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh
dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam
keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya -ayah atau
kakek-maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai
'ashabah.
2. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd
hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab,
akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan.
Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak
berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi
hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan
atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

D. Macam-macam ar-Radd7
` Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum
tersendiri. Keempat macam Ar-radd tersebut adalah:

6
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd Syakur. Ilmu Mawaris Al-Faraidl. (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana 2005),
hal 216

7
Ibid, hal 217
1. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, tanpa adanya
suami atau istri.
2. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, tanpa
adanya suami atau istri.
3. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, dan dengan
adanya suami atau istri
4. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, dan
dengan adanya suami atau istri
1. Hukum Keadaan Pertama8

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan
bagian yang sama yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian
setengah, atau seperempat, dan seterusnya) dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau
istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan
untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara
yang paling mudah.

Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka
pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh
adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian
hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari
bagian yang sama.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung
perempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan
ar-radd.

Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan
seibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.

2. Hukum Keadaan Kedua


Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam dan tidak ada
salah satu dari suami atau istri maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan
dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan

8
Ibid, hal 217
seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu seperenam
(1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya
tiga, dan itulah angka yang dijadikan pokok masalah, yakni tiga.

Contoh-contoh keadaan kedua

a. Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu


perempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat, karena
jumlah bagiannya ada empat.
b. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta
saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok
masalahnya.
c. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima,
dan itulah pokok masalahnya.

3. Hukum keadaan Ketiga9

Apabila para ahli waris semuanya dari ashhabul furudh (bagian) yang sama, disertai
salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok
masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya
dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.
Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan
kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari
empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4)
merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-
laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat,
karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang
bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4).

9
Ibid, hal 218
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak
perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh yang tidak
dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8)
bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan
bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu
pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh, hitungan
(bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan seperdelapan dari empat puluh, berarti lima
bagian, sedangkan sisanya -tiga puluh lima bagian- dibagikan secara merata kepada kelima
anak perempuan pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh bagian.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak
perempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib
fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4)
bagian, sedangkan sisanya tiga per empat (3/4) dibagi secara merata untuk keempat anak
perempuan pewaris.

Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena
itu, pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga
pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti empat
bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara merata kepada keempat anak
perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak memperoleh tiga bagian.

4. Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di
dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus
menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami
atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Kemudian kita buat
diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah
satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang
dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Contohnya: Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara
perempuan seibu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian dan syarat Radd
Menurut bahasa Radd berarti kembali atau menghabiskan. Sedangkan menurut istilah
bahwa radd adalah mengembalikan sisa harta warisan kepada ahli warisannya sesuai dengan
bagiannya masing-masing sehingga harta warisan menjadi habis tidak tersisa. Ada yang
mengatakan lagi bahwa Ar-radd artinya kembali atau berpaling. Menurut istilah ar-
radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh.
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam masalah Radd ada tiga, yaitu:
a. Terwujudnya Ashabul Furudh.
b. Tidak adanya ahli waris Ashobah.
c. Ada sisa harta waris.
3. Ahli waris yang berhak mendapatkan Radd
Ashhabul furudh yang dapat menerima Ar-Radd hanya ada delapan orang, yaitu:
1. Anak perempuan
2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3. saudara kandung perempuan
4. saudara perempuan seayah
5. ibu kandung
6. nenek sahih (ibu dari bapak)
7. saudara perempuan seibu
8. saudara laki-laki seibu

4. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah
suami dan istri.

5. Macam-macam ar-Radd
` Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum
tersendiri. Keempat macam Ar-radd tersebut adalah:
a. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, tanpa adanya suami
atau istri.
b. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, tanpa adanya
suami atau istri.
c. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang sama, dan dengan adanya
suami atau istri
d. Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian waris yang berbeda-beda, dan dengan
adanya suami atau istri
DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia


Abta, Asyhari dan Syakur, Djunaidi Abd. 2005. Ilmu Mawaris Al-Faraidl. Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana

Anda mungkin juga menyukai