Anda di halaman 1dari 28

PENGARUH BELANJA PEMERINTAH

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI


Studi Kasus: Provinsi Sulawesi Barat, 2006–2013

Taufan Harry Prasetyo1, Eny Sulistyaningrum2


Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

INTISARI

Provinsi Sulawesi Barat adalah Daerah Otonom Baru (DOB) yang terbentuk
sejak sejak tahun 2004. Sebagai DOB, peran pemerintah daerah akan sangat
berperan dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi. Peran pemerintah daerah
dapat tercermin dalam pengalokasian belanja pemerintah. Penelitian terdahulu
menyatakan bahwa daerah yang memiliki sektor basis lebih dari 1 akan lebih cepat
berkembang dari pada yang tidak memiliki sektor basis. Sulawesi Barat belum
memiliki penelitian terkait sektor basis, sehingga penentuan sektor basis penting
dilakukan. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat fokus dalam pembangunan dan
tepat sasaran dalam pengalokasian belanjanya. Penelitian ini menjelaskan pengaruh
belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, serta menentukan sektor basis
dari Provinsi Sulawesi Barat.
Penelitian menggunakan data panel dengan melibatkan 5 kabupaten dengan
periode 8 tahun. Untuk dapat menentukan sektor basis Sulawesi Barat digunakan
analisis regional dengan menggunakan location quotient (LQ). Untuk menjelaskan
pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penelitian ini
membagi belanja pemerintah menjadi 2 model di mana Model-1 menggunakan
variabel belanja modal, belanja operasi, dan tenaga kerja. Model-2 menggunakan
belanja pemerintah bidang pendidikan, bidang kesehatan dan infrastruktur, serta
tenaga kerja, sedangkan variabel dijelaskan adalah variabel PDRB. Model regresi
yang dipilih menggunakan pendekatan teori Solow.
Hasil analisis LQ menghasilkan kesimpulan bahwa Sulawesi Barat memiliki
2 sektor basis yang memiliki keunggulan dari provinsi lainnya di Pulau Sulawesi.
Pengaruh belanja pemerintah terhadap PDRB Sulawesi Barat dapat dianalisis
menggunakan regresi data panel dengan menggunakan model fixed-effects dan
didapatkan kesimpulan bahwa belanja modal berpengaruh negatif terhadap PDRB,
sedangkan belanja operasi memiliki pengaruh positif terhadap PDRB. Belanja
pemerintah bidang pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap PDRB,
sedangkan belanja pemerintah bidang kesehatan tidak berpengaruh. Belanja
pemerintah bidang infrastruktur memiliki pengaruh negatif terhadap PDRB. Tenaga
kerja memiliki pengaruh positif PDRB.

Kata kunci: Pengeluaran pemerintah, regresi data panel, Sulawesi Barat,


pertumbuhan ekonomi.

1
Mahasiswa Magister Ekonomika Pembangunan Universitas Gadjah Mada.
2
Dosen Faklutas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.

3
1 Pendahuluan

Provinsi Sulawesi Barat adalah hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi

Selatan sejak 5 Oktober 2004 melalui UU No. 26 Tahun 2004. Sudah satu

dasawarsa Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menjadi daerah otonom baru.

Kajian atau penelitian perlu dilakukan untuk melihat apakah kebijakan pemerintah

telah dapat memenuhi tujuan utama dari terbentuknya daerah otonom baru ini.

Peran pemerintah dalam membuat kebijakan terkait belanja pemerintah dianggap

sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dampak kebijakan fiskal

pemerintah daerah akan lebih efektif jika alokasi anggaran dapat tepat sasaran,

efisien dan efektif

Para penganut Keynesian percaya bahwa pemerintah memiliki peran yang

besar dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal

ekspansif yang dilakukan untuk merangsang ekonomi dengan meningkatkan

pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak atau keduanya. Beberapa

penelitian telah memberikan bukti empiris adanya pengaruh belanja pemerintah

terhadap perekonomian sebuah negara atau daerah. Bataineh, (2012) menemukan

bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap GDP

di Jordan. Ambya (2014), menyatakan bahwa upaya untuk meningkatkan

pembangunan sangat bergantung pada kecukupan sumber pendapatan dan belanja

pemerintah. Ambya menyimpulkan bahwa belanja pemerintah bidang pendidikan

riil per kapita, kesehatan riil per kapita dan infrastruktur riil per kapita berpengaruh

positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan variabel tenaga kerja

berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada daerah

otonom baru di Indonesia. Selain itu, Nurudeen dan Usman (2010), menyimpulkan

5
bahwa belanja modal, pertanian, transportasi dan komunikasi, pendidikan,

kesehatan, dan inflasi, berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi di Nigeria.

Berbeda dengan Ambya (2014), Nurudeen dan Usman (2010), Bataineh

(2012), Hamsinah, et al. (2014), melakukan penelitian pengaruh belanja modal

terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan dan menyimpulkan

bahwa belanja modal tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penelitian ini menggunakan data panel terdiri dari 23 kabupaten/kota dengan

rentang waktu tahun 2006–2010. Perlu diketahui bahwa karakteristik

kabupaten/kota di Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan memiliki kesamaan, di

mana kabupaten/kota di Sulawesi Barat sebelumnya adalah bagian dari Sulawesi

Selatan. Hasil yang sama diperoleh oleh Simangkalit (2014), Muharni (2008),

Andriana (2009), di mana belanja modal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi.

Bappenas dan UNDP (2008), meneliti 32 Daerah Otonom Baru (DOB) pada

rentang waktu 2001–2007 diketahui bahwa pemekaran DOB tidak membawa

dampak pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi daerah DOB itu sendiri.

Pertumbuhan ekonomi DOB masih lebih rendah dari daerah induk sebelum daerah

tersebut menjadi DOB. Bappenas menyatakan umumnya pada daerah induk telah

terdapat basis industri yang dapat mendorong perekonomian sebesar 12 persen dari

total PDRB sementara DOB umumnya masih bergantung pada satu sektor basis

dasar seperti pertanian, perkebunan maupun sektor dasar lainnya. Dikatakan bahwa

semakin tinggi peran industri pengolahan dalam satu wilayah, maka semakin maju

daerah tersebut. Bappenas menyimpulkan salah satu faktor penyebab rendahnya

6
pertumbuhan ekonomi DOB adalah dependensi fiskal pada pemerintah pusat.

Selain itu, bukti empiris menunjukkan bahwa daerah yang memiliki lebih dari satu

sektor basis akan memiliki laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibanding

dengan daerah yang tidak memiliki sektor basis (Bappenas dan UNDP, 2007;

Ambya, 2014). Dengan mengetahui sektor basis ekonomi dan sektor-sektor yang

berpotensi menjadi sektor basis maka pembangunan pemerintah bisa lebih terarah.

Penelitian terkait sektor basis ekonomi di Sulawesi Barat belum pernah dilakukan

sebelumnya, padahal penentuan sektor basis penting untuk menentukan arah

kebijakan pembangunan Sulawesi Barat.

Sulawesi Barat merupakan DOB yang terbentuk sejak tahun 2004, namun

memiliki indikasi yang berbeda dengan kesimpulan dari penelitian Bapenas dan

UNDP (2008). Indikasi peran pemerintah dapat terlihat dari besarnya total belanja

pemerintah di Sulawesi Barat yang mencapai Rp4.206 miliar atau berarti 25,99

persen dari total PDRB Provinsi Sulawesi Barat sebesar Rp 16.184.01 miliar pada

tahun 2013. Pada tahun 2006-2013 persentase belanja pemerintah terhadap PDRB

riil berada pada kisaran 24,53 sampai dengan 31,02 persen. Jika kita berpegang

pada teori Keneysian bahwa pengeluaran pemerintah memiliki efek multipplier

maka dapat dilihat bahwa peran belanja pemerintah terhadap peningkatan PDRB

sangat besar.

Tahun 2008 Sulawesi Barat mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar

12,07 persen artinya pertumbuhannya di atas pertubuhan nasional yang hanya

sebesar 5,9 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat sebesar 8,85

persen lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan nasional yang hanya sebesar 5,57

persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat terpaut 1,83 persen di atas

7
rata-rata pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang hanya sebesar 7,02 persen.

Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat mengalami pertumbuhan yang impresif pada

beberapa tahun terakhir dengan menembus angka 2 digit, yaitu pada tahun 2008

sebesar 12,07 persen, 11,89 persen pada 2011 dan 10,32 persen pada tahun 2012.

Hal ini berbeda dengan kesimpulan Bappenas dan UNDP (2008), yang menyatakan

bahwa pada umumnya pertumbuhan ekonomi DOB masih dibawah pertumbuhan

ekonomi daerah induknya.

Indikasi lainnya adalah data menunjukkan bahwa belanja modal riil

mengalami penurunan besaran sejak tahun 2007–2011 dan mulai meningkat pada

tahun 2012–2013, namun peningkatan masih di bawah besaran tahun 2006. Sejak

tahun 2007 belanja operasi riil mengalami peningkatan hingga tahun 2013. Jika data

ini disandingkan dengan data pertumbuhan ekonomi, maka akan ditemukan

beberapa hal sebagai berikut.

1. Di saat belanja modal riil memiliki penurunan dari tahun 2006–2013,

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat justru mengalami peningkatan, bahkan

mencapai angka 2 digit pada tahun 2008, 2010, dan 2011.

2. Di saat belanja modal riil dan belanja operasi riil mengalami peningkatan dari

tahun 2012–2013, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat pada periode yang

sama justru melambat.

Menurut Romer (1990), faktor modal manusia/modal insani (human capital)

juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pemerintah memiliki

peran menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan untuk dapat

menggunakan teknologi yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan. Akai,

et al. (2007), menyatakan pemerintah berperan menyediakan barang publik yang

8
digunakan sektor privat sebagai masukan (input) produksi. Barang publik yang

dinikmati oleh sektor privat adalah sama besarnya. Pemerintah juga menyiapkan

tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan dengan belanja pemerintah pada

bidang kesehatan, dan pendidikan. Dengan begitu pemerintah dapat meningkatkan

kesehatan, melek huruf dan level IQ (Intelligence Quotient) warganya. Sektor

privat menggunakan tenaga kerja yang terampil dan terlatih sebagai masukan

(input) produksi untuk meningkatkan produksi.

Terdapat indikasi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dimulai

pada tahun 2005 dengan rata-rata IPM sebesar 65,52 terus meningkat hingga tahun

2012 mencapai 70,89. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya pemerintah untuk

meningkatkan modal manusia/modal insani. IPM kabupaten-kabupaten di Sulawesi

Barat masih di bawah rata-rata nasional. Peningkatan IPM adalah salah satu

indikator meningkatnya modal manusia/modal insani di suatu daerah, di mana

komponen pembentuk IPM antara lain adalah pendidikan dan kesehatan. Upaya

pemerintah dapat terlihat dari besarnya belanja pemerintah yang dialokasikan pada

bidang pendidikan dan kesehatan. Semakin besar alokasi belanja pemerintah pada

bidang pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan IPM dan

pertumbuhan ekonomi.

Dari pendahuluan yang telah disampaikan maka penelitian ini bertujuan

untuk untuk mengetahui apakah Provinsi Sulawesi Barat memiliki sektor basis

ekonomi pada kawasan regional Pulau Sulawesi. Penelitian ini juga ingin

mengetahui pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang

dalam penelitian ini di proksi dengan PDRB. Untuk mengetahui peran belanja

pemerintah penelitian ini membagi kedalam 2 model regresi di mana Model-1

9
menggunakan variabel Belanja Modal (BM), Belanja Operasi (BO), dan Tenaga

Kerja. Model-2 mengukur pengaruh belanja pemerintah melalui belanja pemerintah

bidang pendidikan (BPEND), belanja pemerintah bidang kesehatan (BKES),

belanja pemerintah bidang infrastruktur (BINFRA) dan tenaga kerja. Kontribusi

penelitian ini adalah memberikan referensi sektor ekonomi yang memiliki

keunggulan komparatif dengan daerah referensi regional Pulau Sulawesi, sehingga

pemerintah Sulawesi Barat dapat lebih terarah dalam mengalokasikan sumber daya

yang dimiliki. Penelitian ini juga memberikan kontribusi bagaimana peran

pemerintah daerah DOB dalam mengalokasikan sumber daya keuangan yang

terbatas untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi atau peningkatan PDRB.

2 Landasan Teori

2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi

World Bank (2012), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai

perubahan atas jumlah produksi atau perubahan pendapatan riil penduduk suatu

negara. Kuznets (1973), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan

jangka panjang atas kemampuan suatu negara untuk menyediakan atau

menghasilkan barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan

produksi ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi. Smith (1776), menyatakan

faktor yang saling berkaitan dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan

penduduk dan pertambahan total produksi. Pertumbuhan ekonomi bertumpu pada

3 hal yaitu sumber daya alam, tenaga kerja (jumlah penduduk) dan jumlah

persediaan (stok barang modal yang ada). Smith mengatakan bahwa pertambahan

penduduk akan memberikan tambahan hasil/produksi. Sumber daya alam

10
memerlukan kecukupan tenaga kerja untuk dapat menghasilkan output produksi

yang maksimal dalam sebuah perekonomian.

Dari beberapa teori pertumbuhan ada Arsyad (2010: 55), setidaknya terdapat

7 kelompok teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yaitu: mazhab

historismus, teori Klasik, teori Keynesian, teori Neo Klasik, teori Pertumbuhan

Endogen, teori Schumter serta teori Ketergantungan. Dari beberapa terori tersebut

hanya beberapa teori saja yang terkait dan dijelaskan dalam penelitian ini.

2.1.1 Keynesian Framework–Harrord Dommar

Banyak penelitian tentang belanja pemerintah (government expenditure),

belanja publik (public expenditure) dan hubungannya dengan pertumbuhan

ekonomi tak lepas dari sudut pandang dan pemikiran Keynes. Keynes menganggap

pengeluaran pemerintah dan pengeluaran publik adalah faktor eksogen yang dapat

digunakan sebagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pengeluaran pemerintah diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi

pertumbuhan ekonomi. Chude (2013), menyatakan peningkatan konsumsi

pemerintah, dapat menurunkan pengangguran, meningkatkan profitabilitas, dan

investasi melalui multiplier effects pada agregat permintaan. Belanja pemerintah

menambah agregat permintaan, dan akan meningkatkan produksi yang tergantung

pada efek multiplier yang dihasilkan belanja itu sendiri.

2.1.2 Solow

Teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada

pertambahan faktor-faktor produksi antara lain tenaga kerja, akumulasi modal, serta

kemajuan teknologi. Teori ini didasarkan pada teori klasik yang mengasumsikan

perekonomian akan selalu berada pada kondisi “full employment” sehingga

11
kapasitas produksi mesin dapat digunakan sepenuhnya. Sejak diperkenalkannya

teori ini pada tahun 1956, teori ini telah berperan dalam memacu pertumbuhan

ekonomi dalam penerapannya. Besarnya total produksi Y sangat bergantung pada

ketersediaan modal K dan tenaga kerja L. Teori ini berasumsi bahwa fungsi

produksi memiliki skala hasil yang tetap (constant return to scale) artinya kenaikan

produksi memiliki proporsi yang sama dengan penambahan masukan (input)

produksi. Asumsi ini dianggap realistis dan dapat mempermudah analisis yang

dilakukan (Mankiw, 2010: 193). Selain Mankiw, Romer (2011: 10) menyatakan

Solow fokus pada empat variabel yaitu:

Y = F(Kt, At, Lt) ................................................................................. (1)

Y adalah total produksi, K adalah kapital atau modal, L adalah tenaga kerja, A

adalah pengetahuan atau efektivitas dari tenaga kerja, dan t adalah waktu.

2.1.3 Endogenous

Teori endogenous adalah kerangka teoritis yang mencoba mengidentifikasi

dan menganalisis faktor faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari dalam sistem

ekonomi itu sendiri (Arsyad, 2010: 91). Model endogenous ini fokus melihat pada

faktor-faktor penentu dari teknologi. Teori ini percaya bahwa pertumbuhan

ekonomi dapat dicapai dengan pertumbuhan teknologi. Chude dan Chude (2013),

menyatakan suatu organisasi ekonomi memiliki kemampuan memanfaatkan

sumberdaya produktifnya dari waktu kewaktu untuk meningkatkan efektifitas.

Banyak dari kemampuan tersebut berasal dari proses belajar dan inovasi. Ickes

(1996), menjelaskan beberapa model pertumbuhan endogenous yang umum

digunakan yaitu model Rebelo, Romer, dan Barro (model dengan barang publik).

12
Model Rebelo berasumsi fungsi produksi linear pada masukan (input) dan

modal, sehingga akan menghasilkan skala yang konstan dan modal yang konstan

(Ickes, 1996). Fungsi produksi model Rebelo adalah:

𝑌 = 𝐹(𝐾, 𝐿) = 𝐴𝐾 ........................................................................... (2)

Y adalah keluaran produksi, A adalah konstanta (exogenous) dan K adalah agregat

modal yang dapat didefinisikan secara luas. K (modal) bisa terdiri dari modal fisik

(phisical capital) namun bisa juga berupa modal manusia (human capital) seperti

ilmu pengetahuan, termasuk sumberdaya keuangan untuk menciptakan modal

manusia.

Barro (1990), memperkenalkan model di mana belanja pemerintah

merupakan suatu pengeluaran yang produktif. Barro meyakini bahwa pengeluaran

pemerintah pada bidang infrastuktur akan mempengaruhi peningkatan produksi

pada sektor privat. Asumsinya adalah G merupakan agregat dari layanan publik

sehingga setiap produsen pada sektor privat akan mendapatkan alokasi layanan

tersebut. Ickes (1996), alokasi barang publik ini tidak selalu tepat dengan apa yang

diharapkan apalagi jika barang publik tersebut bersifat rival. Model yang

diperkenalkan Baro adalah:

𝑌 = 𝐴𝑘 1−𝛼 𝑔𝛼 ................................................................................... (3)

Y merupakan diminishing return terhadap k, bukan terhadap k dan g, dan setiap

produsen mendapatkan g dengan jumlah yang tetap atau sama. Y merupakan total

produksi, A adalah konstanta (exogenous) dan k adalah agregat modal sedangkan g

adalah layanan pemerintah.

Pada model yang diperkenalkan Romer (1994), peran dari teknologi menjadi

penting. Romer tidak puas terhadap model Solow yang kurang bisa menjelaskan

13
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Romer beranggapan peran penelitian

dan pengembangan (research and development) dalam menemukan teknologi

merupakan menjadi faktor yang mempercepat pertumbuhan. Hal ini didasarkan

pada asumsi bahwa perubahan teknologi merupakan akumulasi dari ilmu

pengetahuan. Fungsi produksi pada model Romer adalah:

𝑌 = 𝐹(𝑅, 𝐾, 𝐻) ................................................................................. (4)

Y adalah total produksi, R merupakan penelitian dan pengembangan, dan H adalah

akumulasi modal manusia dan K adalah akumulasi dari modal.

Arsyad (2010: 93), dalam praktiknya model ini seringkali digambarkan dalam

fungsi produksi “AK” yang ditunjukkan dengan persamaan:

𝑌 = 𝐴𝐾 ............................................................................................. (5)

Besar kecilnya peran R (penelitian dan pengembangan) sangat bergantung dari

besarnya alokasi investasi terhadap R itu sendiri. Dari sisi H (akumulasi modal

manusia) memiliki peran untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki

kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan untuk menggunakan dan memanfaatkan

teknologi yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan (research and

development). Modal K tetap memiliki peran di mana teknologi membutuhkan

modal (K) untuk bisa berproduksi.

2.2 Teori Pengeluaran Pemerintah

Para penganut aliran Keynesian percaya bahwa pengeluaran pemerintah dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam banyak penelitian pengeluaran

pemerintah yang umum juga disebut government spending, kerap diperdebatkan

dalam pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Lin (1994 dalam Ambya,

2014), salah satu jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah

14
penyediaan barang dan infrastruktur publik, pelayanan sosial dan intervensi seperti

subsidi dan ekspor.

Blaser (2006 dalam Ambya, 2014), dengan menyerahkan sebagian kebijakan

makro ekonomi ke pemerintah daerah tidak akan merusak stabilitas ekonomi makro

secara nasional. Penyerahan sebagian kebijakan makro ekonomi mendorong

pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluaran pemerintah daerah dengan

lebih efisien dan efektif pada berbagai potensi ekonomi lokal (Lin dan Liu, 2000).

Dengan demikian peran pemerintah daerah dituntut secara aktif mengelola dan

mengembangkan sektor publik dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah.

Josaphat dan Morrissey (2000), mendefinisikan modal K terdiri dari modal sektor

privat D dan modal sektor publik G atau K=KD+KG. Pemerintah memiliki peran

untuk meningkatkan modal dari sektor publik untuk meningkatkan output atau total

produksi. Selain itu, ia juga menganggap tenaga kerja L terdiri dari 2 sektor yaitu

privat dan sektor publik atau L=LD+LG. Tinjauan Pustaka

Shresta (2009), pengaruh pengeluaran pemerintah pada bidang pendidikan,

kesehatan, serta rasio belanja modal terhadap total pengeluaran, pengeluaran rutin,

dan rasio defisit keuangan terhadap GDP riil per kapita. Hasilnya pengeluaran

pemerintah di bidang pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap GDP riil

per kapita, sedangkan rasio belanja modal terhadap total pengeluaran berpengaruh

positif signifikan. Penelitian Ambya (2014), menggunakan variabel belanja

pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan tenaga kerja.

Penelitian ini juga memasukkan variabel dummy yaitu kabupaten/kota dan dummy

sektor basis 9 sektor ekonomi. Dari pengujian disimpulkan bahwa belanja

pemerintah bidang pendidikan riil per kapita, kesehatan riil per kapita dan

15
infrastruktur riil per kapita berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi. Garba dan Abdullahi (2013), melakukan penelitian untuk mendebat hasil

penelitian sebelumnya tentang arah kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan

belanja publik, yang menemukan bahwa kausalitas antara pengeluaran publik dan

pertumbuhan ekonomi di Nigeria adalah dua arah, bukan searah. Kesimpulan

penelitian ini adalah pengaruh pengeluaran pemerintah adalah positif dan signifikan

terhadap perekonomian (GDP riil) di Nigeria. Mercan dan Sezer (2014) melakukan

penelitian untuk mengetahui pengaruh dari komposisi pengeluaran pemerintah

terhadap pertumbuhan ekonomi di Turki. Variabel yang digunakan adalah GDP riil,

total pengeluaran pada bidang pendidikan. Hasilnya pengeluaran pemerintah

bidang pendidikan berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

3 Metoda Penelitian

Penelitian ini menggunakan data panel, yaitu gabungan antara data observasi

lintas sektor (cross section) dan data runtun waktu (time-series). Data lintas sektor

(cross section) yang dimaksud adalah 5 kabupaten/kota di Sulawesi Barat. Data

runtun waktu (time-series) yang dimaksud adalah data yang digunakan memiliki

periode tahun 2006-2013 (i=5 dan t=8).

Data yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian diperoleh dari

beberapa sumber yang berbeda. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),

serta data tenaga kerja diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi

Sulawesi Barat. Data realisasi anggaran belanja modal dan belanja operasi

diperoleh dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik

Indonesia (LHP BPK) Provinsi Sulawesi Barat. Data realisasi anggaran belanja

pemerintah per bidang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

16
Pusat dan Daerah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Direktorat

Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

3.1 Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini menggunakan 7 variabel yang terdiri dari variabel bebas

(variabel estimator) dan variabel tergantung (variabel dependen) yang kemudian

digunakan pada kedua model yang digunakan. Operasionalisasi variabel

independen dan dependen dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Belanja Modal (BM)

Variabel belanja modal adalah total pengeluaran pemerintah daerah yang masuk

dalam klasifikasi belanja modal dalam periode waktu satu tahun anggaran.

Variabel ini diukur dengan harga riil per kapita yaitu belanja modal dibagi

dengan PDRB deflator tahun bersangkutan dibagi dengan jumlah penduduk.

2. Belanja Operasi (BO)

Variabel belanja operasi adalah total pengeluaran pemerintah daerah yang

masuk dalam klasifikasi belanja operasi dalam periode waktu satu tahun

anggaran yaitu pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah

daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Variabel ini diukur dengan harga

riil per kapita yaitu belanja modal dibagi dengan PDRB deflator tahun

bersangkutan dibagi dengan jumlah penduduk.

3. Belanja pemerintah bidang pendidikan (BPEND)

Belanja pemerintah bidang pendidikan adalah total pengeluaran pemerintah

daerah untuk membiayai pendidikan dalam periode waktu satu tahun anggaran.

Variabel ini diukur dengan riil per kapita yaitu belanja bidang pendidikan dibagi

dengan PDRB deflator tahun bersangkutan dibagi dengan jumlah penduduk.

17
4. Belanja pemerintah bidang kesehatan (BKES)

Belanja pemerintah bidang kesehatan adalah total pengeluaran pemerintah

daerah untuk membiayai kesehatan dalam periode waktu satu tahun anggaran.

Variabel ini diukur dengan riil per kapita yaitu belanja bidang kesehatan dibagi

dengan PDRB deflator tahun bersangkutan dibagi dengan jumlah penduduk.

5. Belanja pemerintah bidang Infrastruktur (BINFRA)

Belanja pemerintah bidang infrastruktur adalah total pengeluaran pemerintah

daerah untuk membiayai kesehatan dalam periode waktu satu tahun anggaran.

Variabel ini diukur dengan harga riil yaitu belanja bidang kesehatan dibagi

dengan PDRB deflator tahun bersangkutan dibagi dengan jumlah penduduk.

6. Tenaga Kerja

Tenaga kerja adalah penduduk dengan usia 15 tahun keatas yang bekerja selama

satu minggu menurut lapangan kerja utama. Jumlah tenaga kerja, Variabel ini

diperoleh dari data statistik BPS masing-masing kabupaten/kota.

7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Sulawesi Barat. Variabel

ini diukur dengan PDRB riil dengan tahun dasar 2000. dibagi dengan jumlah

penduduk. Variabel ini diperoleh dari data statistik BPS masing-masing

kabupaten/kota.

3.2 Metode Analisis Regional

Analisis regional ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran potensi

ekonomi basis dan non basis, serta mengetahui sektor ekonomi yang potensial pada

masing masing kabupaten/kota. Analisis regional ini menggunakan Location

Quotient (LQ). LQ adalah suatu indeks yang dapat mengukur perbandingan relatif

18
dari sumbangan nilai tambah suatu sektor ekonomi kab/kota terhadap nilai tambah

sektor yang sama pada tingkat yang lebih tinggi (Bendavid-Val, 1997 dalam

Widodo, 2006: 116). Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi sektor basis

dari 9 sektor yang ada dalam tiap-tiap kab/kota dengan memperbandingkannya

dengan sektor yang sama pada tingkat nasional. Data yang digunakan adalah data

PDRB kab/kota dengan data PDRB provinsi dengan formulasi:


𝑋𝑖𝑗
⁄𝑋
𝑗
LQ = 𝑋𝑖𝑛⁄ ....................................................................................... (6)
𝑋

Keterangan:
Xij = PDRB Sektor i Kab/Kotaj
Xj = PDRB Total di Kab/Kota j
Xin = PDRB Sektor I di Provinsi
X = PDRB Seluruh Sektor di Provinsi.

Kriteria perhitungan LQ yang dipergunakan adalah sebagai berikut

(Bendavid-Val, 1997 dalam Widodo, 2006:116).

1. LQ pada sektor i=1, artinya laju pertumbuhan sektor i pada kab/kota j sama

dengan laju pertumbuhan sektor yang sama dalam perekonomian daerah

referensi (dalam hal ini regional Sulawesi).

2. LQ pada sektor i>1 maka laju pertumbuhan sektor i pada kab/kota j lebih besar

dibandingkan laju pertumbuhan sektor yang sama dalam perekonomian daerah

referensi dengan demikian sektor tersebut merupakan sektor basis (sektor

unggulan).

3. LQ<1 maka laju pertumbuhan sektor i pada kab/kota j lebih kecil dibandingkan

laju pertumbuhan sektor yang sama dalam perekonomian daerah referensi

dengan demikian sektor tersebut bukan merupakan sektor basis dan tidak

prospektif untuk dikembangkan.

19
3.3 Metode Analisis Regresi Data Panel

Analisis ini dilakukan untuk mengestimasi variabel bebas menggunakan data

panel. Estimasi data panel ini dapat meningkatkan derajat kebebasan, mengurangi

kolinearitas antara variabel bebas, dan efisiensi estismasi. Verbeek (2008: 342-

343), menjelaskan keuntungan regresi dengan data panel adalah kemampuannya

dalam mengidentifikasi parameter-parameter regresi secara pasti tanpa asumsi

kendala. Regresi data panel memiliki 3 tehnik regresi yang mungkin digunakan

dalam penelitian ini yaitu common effect, fixed effect dan random effect. Pilihan

tehnik yang digunakan didasarkan serangkaian pengujian yang dilakukan.

Penentuan penggunaan tehnik regresi data panel didasarkan pada hasil Uji Chow,

Uji Hausman dan Uji LM (Langrange Multiplier). Analisis regresi data panel juga

mensyaratkan uji asumsi klasik sehingga prediksi yang dihasilkan dapat bersifat

Best Linear Unibased Estimator (BLUE).

3.4 Model Regresi

Regresi Model-1 menganggap pengeluaran pemerintah diantaranya belanja

modal dan belanja operasi adalah adalah pengeluaran pemerintah untuk

menyediakan barang publik dan layanan publik yang digunakan sektor privat untuk

menghasilkan keluaran. Pada model ini pendekatan yang digunakan adalah agregat

fungsi produksi (Agregate Production Function) yang merujuk pada formulasi

dalam penelitian Frank dan Ismaell (2014). Regresi Model-2 menganggap bahwa

pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan, dan kesehatan dapat

meningkatkan pengetahuan serta efektifitas tenaga kerja. Peningkatan efektifitas

dapat meningkatkan output produksi suatu perekonomian. Selain itu, pengeluaran

pemerintah dalam bidang infrastruktur merupakan modal yang dikeluarkan

20
pemerintah yang digunakan untuk menyediakan fasilitas publik dan layanan publik.

Sektor privat menggunakan fasilitas publik atau layanan publik sebagai salah satu

input produksi. Dengan formulasi mengikuti fungsi agregat produksi model Solow.

Persamaan Model-1

Ln PDRBit = α0 + α1 ln BMit-1 + α2 ln BOit + α3 ln TKit + 𝜀it .................. (7)

Persamaan Model-2

Ln PDRBit = β0 + β1 ln BPENDit + β2 ln BKESit + β3 ln BINFRAit + β3 ln TKit + 𝜀it

........................................................................................................... (8)

di mana:
ln PDRBit = Logaritma Natural Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil
per kapita
α0, β0 = Intersept (konstanta)
ln BM = Logaritma Natural Belanja Modal (Belanja Modal riil per kapita)
ln BO = Logaritma Natural Belanja Operasi (Belanja Operasi riil per
kapita)
ln BPEND = Logaritma Natural Belanja pemerintah bidang pendidikan
(Belanja bidang pendidikan riil per kapita)
ln BKES = Logaritma Natural Belanja pemerintah bidang kesehatan (Belanja
bidang kesehatan riil per kapita)
ln BINFRA = Logaritma Natural Belanja pemerintah bidang infrastruktur
(Belanja bidang infrastukatur riil per kapita)
ln TK = Logaritma Natural Tenaga Kerja (Tenaga Kerja)
α(1-3) = koefisien variabel independen (variabel ln BM, ln BO dan ln TK)
β(1-4) = koefisien variabel independen (variabel ln BKES, ln BKES, ln
BINFRA dan ln TK)
𝜀it = error term

4 Analisis dan Pembahasan

4.1 Analisis Regional

Dengan mengetahui sektor ekonomi unggulan/sektor basis di Sulawesi Barat,

pemerintah daerah dapat lebih terarah dalam merumuskan kebijakan fiskal.

Penelitian Bappenas (2007), Ambya (2014), menunjukkan bahwa sektor basis

ekonomi memiliki peran dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Daerah

21
dikatakan memiliki sektor basis jika sektor ekonomi daerah tersebut memiliki

kapasitas ekspor, kebutuhan untuk daerah itu sendiri telah berhasil dicukupi dan

mampu berkontribusi kepada daerah lainnya. Berdasarkan analisis regional dengan

mengunakan Location Quetient (LQ) didapatkan hasil sebagai berikut.

1. Sektor Ekonomi Potensial Kabupaten

Kabupaten Majene memiliki 4 sektor basis, Kabupaten Polewali Mandar

memiliki 2 sektor basis, Kabupaten Mamasa memiliki 2 sektor basis, Mamuju

memiliki 5 sektor basis dan Kabupaten Mamuju Utara hanya memiliki 1 sektor

basis. Detail hasil perhitungan LQ dapat dilihat pada Tabel 1.

2. Sektor Ekonomi Potensial Provinsi Sulawesi Barat

Sektor pertanian dan sektor jasa-jasa menjadi sektor basis untuk Provinsi

Sulawesi Barat. Sulawesi Barat merupakan daerah yang memiliki sektor basis

paling sedikit. Perhitungan Location Quotient untuk Provinsi Sulawesi Barat

dengan daerah referensi provinsi di seluruh Pulau Sulawesi dapat ditampilkan

pada Tabel 2.

4.2 Analisis Regresi Data Panel

Uji Chow dan uji Hausman yang dilakukan terhadap Model-1 dan Model-2

dapat diketahui bahwa kedua model tepat menggunakan regresi data panel dengan

tehnik fixed-effects model (FEM). Hal ini didasarkan dari hasil uji Chow dan uji

Hausman yang dilakukan terhadap kedua model persamaan. Uji asumsi klasik yang

dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat gejala autokorelasi pada kedua model

regresi. Uji Park telah mengkonfirmasi bahwa kedua model regresi dalam penelitian

ini tidak terdapat gejala heterokedastisitas. Pengujian Partial Correlation

Coefficients menunjukkan bahwa tidak terdapat gejala multikolinearitas pada kedua

22
model. Selain itu, kedua model terbebas dari uji normalitas hal ini didasarkan pada

hasil pengujian Jarque-Bera.

4.2.1 Uji F atau Pengujian Secara Simultan dan Koefisien Determinasi

Model-1 yang memiliki F-statistik sebesar 17,77205 lebih besar dari F-tabel

sebesar 2,8662 serta Probabilitas-F sebesar 0,00000 lebih kecil dari tingkat

signifikansi 0,05 (α=5%). Dapat disimpulkan bahwa Model-1 dengan variabel

Belanja Modal (BM), Belanja Operasi (BO) dan Tenaga Kerja (TK) secara

bersama-sama/serempak signifikan mempengaruhi PDRB. Nilai Adj.R-squared

sebesar 0,7506 berarti variasi perubahan variabel BM, BO dan TK pada Model-1

dapat menjelaskan perubahan PDRB sebesar 75,06 persen, dan 24,94 persen

lainnya adalah variabel lain di luar model. Model-2 memiliki F-statistik sebesar

13,93146 lebih besar dari F-tabel sebesar 2,6414 dan Probabilitas-F sebesar

0,00000 lebih kecil dari tingkat signifikansi 0,05 (α=5%). Dapat disimpulkan

Model-2 dengan variabel BPEND, BKES, BINFRA, dan TK secara bersama-

sama/serempak signifikan mempengaruhi PDRB. Nilai Adj.R-squared sebesar

0,7262 berarti variabilitas variabel BPEND, BKES, BINFRA, dan TK pada Model-

2 dapat menjelaskan variabilitas PDRB sebesar 72,62 persen, dan 27,38 persen

lainnya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. Hasil regresi dengan disajikan

pada Tabel 3.

4.2.2 Pengujian Secara Parsial (Uji t)

Pengujian terhadap Model-1 menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas

secara parsial signifikan berpengaruh terhadap PDRB. Belanja Modal (BM)

memiliki koefisien negatif -0,1374 dengan probabilitas 0,0060 lebih kecil dari 0,05

(α=5%), yang berarti variabel ini berpengaruh negatif signifikan terhadap PDRB.

23
Artinya setiap peningkata 1 persen belanja modal (t-1) akan menyebabkan PDRB

riil menurun sebesar 0,1374 persen. Variabel Belanja Operasi (BO) memiliki

koefisien 0,5467 probabilitas 0,0000 lebih kecil dari 0,05 (α=5%), yang berarti

variabel ini berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB. Artinya setiap

peningkatan 1 persen belanja operasi akan meningkatkan PDRB riil sebesar 0,5467

persen. Variabel Tenaga Kerja (TK) memiliki koefisien 0,2309 dengan probabilitas

0,0488 lebih kecil dari 0,05 (α=5%) yang artinya variabel ini berpengaruh positif

signifikan terhadap PDRB. Artinya setiap peningkatan 1 persen tenaga kerja akan

meningkatkan PDRB riil sebesar 0,2309 persen.

Pengujian terhadap Model-2 diperoleh bahwa 3 dari 4 variabel bebas secara

parsial signifikan berpengaruh terhadap PDRB. Belanja pemerintah bidang

pendidikan (BPEND) memiliki koefisien 0,3127 dengan probabilitas 0,0002 lebih

kecil dari 0,05 (α=5%), yang artinya variabel ini berpengaruh positif signifikan

terhadap PDRB. Artinya setiap peningkatan 1 persen belanja pemerintah bidang

pendidikan akan meningkatkan PDRB riil sebesar 0,3127 persen. Variabel belanja

pemerintah bidang kesehatan (BKES) memiliki koefisien 0,0612 probabilitas

0,5945 lebih besar dari 0,05 (α=5%), yang berarti tidak berpengaruh terhadap

PDRB. Variabel belanja pemerintah bidang infrastruktur (BINFRA) memiliki

koefisien negatif -0,1128 dengan probabilitas 0,0134 lebih kecil dari 0,05 (α=5%),

variabel ini memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap PDRB. Artinya setiap

peningkatan 1 persen belanja pemerintah bidang infrastruktur akan menurunkan

PDRB riil sebesar 0,1128 persen. Tenaga Kerja (TK) memiliki koefisien 0,2899

dengan probabilitas 0,0162 lebih kecil dari 0,05 (α=5%), yang menunjukkan

variabel ini berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB. Artinya setiap

24
peningkatan 1 persen tenaga kerja akan meningkatkan PDRB riil sebesar 0,2899

persen. Hasil regresi dengan disajikan pada Tabel 3.

4.3 Implikasi Hasil

Berdasarkan hasil penelitian dan data data yang diperoleh dapat dirumuskan

beberapa implikasi hasil penelitian diantaranya:

1. Dapat diketahui bahwa pola alokasi belanja modal yang secara nominal

meningkat dari tahun ke tahun, namun jika diriilkan belanja modal per kapita

mengalami penurunan sejak tahun 2006.

2. Sulawesi Barat adalah provinsi baru dengan 5 kabupaten yang masih tergolong

dalam daerah tertinggal dengan sarana dan infrastruktur yang belum tersedia

ataupun belum memadai. Pola penerapan belanja modal yang kecil akan sangat

kurang dirasakan dampaknya pada peningkatan PDRB.

3. Peningkatan besaran belanja operasi dapat meningkatkan pertumbuhan PDRB

bila pengalokasiannya pada kegiatan yang menunjang sektor unggulan Sulawesi

Barat. Sosialisasi, penyuluhan ataupun bantuan sosial bisa lebih diarahkan ke

sektor yang mununjang sektor pertanian.

4. Sektor unggulan Sulawesi Barat adalah sektor pertanian maka, sebaiknya

pemerintah lebih fokus untuk menyediakan layanan pendidikan yang

mendukung sektor pertanian dan sub sektornya. Sebagai contoh mendirikan

SMK Perkebunan atau Pertanian, SMK perkapalan yang kemudian dapat

berkontribusi menerapkan teknologi pertanian, perkebunan atau perkapalan

untuk meningkatkan hasil produksi sektor pertanian.

25
5. Peningkatan sarana dan pelayanan kesehatan seperti pembangunan sarana

kesehatan dasar (Puskesmas) di wilayah yang belum tersentuh pelayanan

kesehatan, terutama pada sentra pertanian, perkebunan dan perikanan.

6. Pemerintah harus dapat menghitung ketersediaan lahan, potensi produksi dari

sektor pertanian dan kebutuhan tenaga kerja yang dapat memaksimalkan

produksi dari sektor pertanian.

5 Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan terhadap 5

kabupaten/kota di Sulawesi Barat dengan menggunakan Location Quotient (LQ)

dan regresi data panel selama periode 2006-2013. Hasil menunjukan bahwa

Sulawesi Barat memiliki sektor basis atau sektor yang memiliki keunggulan

komparatif di Pulau Sulawesi. Hasil analisis regresi memberikan bukti bahwa

belanja pemerintah memiliki peran dalam peningkatan PDRB Sulawesi Barat.

Sulawesi Barat memiliki 2 sektor basis yang memiliki keunggulan komparatif

dengan provinsi lain dalam Pulau Sulawesi yaitu sektor pertanian dengan rata-rata

LQ sebesar 1,78 dan sektor jasa-jasa dengan rata-rata LQ sebesar 1,49. Analisis

regresi data panel memberikan kesimpulan bahwa variabel belanja modal

berpengaruh negatif signifikan terhadap PDRB, belanja operasi berpengaruh positif

signifikan terhadap PDRB. Variabel belanja pemerintah bidang pendidikan

memiliki pengaruh positif signifikan terhadap PDRB, belanja pemerintah bidang

kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap PDRB, sedangkan belanja

pemerintah bidang infrastruktur memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap

PDRB. Tenaga Kerja memiliki pengaruh positif signifikan terhadap PDRB pada

kedua model.

26
DAFTAR PUSTAKA

Akai, Nobuo, Yukihiro Nishimura, and Masayo Sakata. 2007. Complementarity,


fiscal decentralization and economic growth, Economics of Governance
8.vol 4 p: 339-362.
Ambya, 2014. Belanja Pemerintah Daerah Dan Pertumbuhan Ekonomi: Studi
Daerah Otonom Baru (DOB) Di Indonesia, 2001-2010. Desertasi tidak
dipublikasikan, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Andriana, 2009. Pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan belanja
modal terhadap pertumbuhan ekonomi pada kabupaten-kota di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2004-2007. Tesis tidak dipublikasikan, Program Pasca Sarjana
UGM, Yogyakarta.
Arsyad, L. Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan.
Bappenas dan United Nations Development Programme (UNDP). 2008. Studi
Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah, Building and Reinventing
Decentralised Governance.
Barro, Robert J. 1990. Government spending in a simple model of endogeneous
growth. Journal of Political Economy 98(S5), p:103-125.
Bataineh, Ibrahem Mohamed. 2012. The Impact Of Government Expenditures On
Economic Growth In Jordan. Interdisciplinary Journal Of Contemporary
Research In Business, Vol 4, No 6 October.
Chude, N. P., & Chude, D. I. 2013. Impact of government expenditure on economic
growth in Nigeria. International journal of business and management
review, 1(4), 64-71.
Garba, T., & Abdullahi, Sabi’u. Ya’u 2013. Public Expenditure and Economic
Growth: An Application of Cointegration and Granger Causality Tests on
Nigeria1. Journal of Economic and social research, 15(1), 1.
Hamsinah, H., & Mursinto, D. 2014. Influence of Capital Expenditure to the
Economic Growth and Manpower Absorption and People Welfare in
Regencies/Cities in South Sulawesi. European Journal of Business and
Management, 6(16), 1-5.
Ickes, B. W. 1996. Endogenous Growth Models. Department of Economics,
Pennsylvania State University. University Park, PA, 16802.
Kuznets, S. 1973. Modern economic growth: findings and reflections. The
American economic review. p.247-258.
Lin, J. Y., & Liu, Z. 2000. Fiscal decentralization and economic growth in China*.
Economic development and cultural change, 49(1), 1-21.
Mankiw, N. G. 2003. Macroeconomics Worth Publishers, New York, NY 10010.
Mercan, M., & Sezer, S. 2014) The Effect of Education Expenditure on Economic
Growth: The Case of Turkey. Procedia-Social and Behavioral Sciences,
109, 925-930.

27
Muharni, 2008. Pengaruh belanja modal, dana alokasi khusus dan investasi swasta
terhadap pertumbuhan ekonomi Studi pada Kabupaten atau Kota di Provinsi
Riau. Tesis tidak dipublikasikan, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
Nurudeen, A., & Usman, A. 2010. Government expenditure and economic growth
in Nigeria, 1970-2008: A disaggregated analysis, Business and Economics
Journal, 2010, p: 1-11.
Romer, P. M. 1990. Human capital and growth: theory and evidence. Carnegie-
Rochester Conference Series on Public Policy. May (Vol. 32, pp. 251-286).
North-Holland.
Romer, David. 2011. Advanced Macroeconomic Theory, Fourth Edition Mcgraw-
hill.
Romer, P. M. 1994. The origins of endogenous growth. The journal of economic
perspectives, p: 3-22.
Shrestha, P. K. 2009. The Composition of Public Expenditure, Physical
Infrastructure and Economic Growth in Nepal. Nepal Rastra Bank, (21), 79.
Smith, A. 1976. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations.
Renascence Editions. ISO 690 Simangkalit, Taruli D, 2014. Analisis
Pengaruh Human Capital, Angkatan Kerja, Dan Belanja Modal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Barat, 2007-2011. Tesis tidak
dipublikasikan, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Verbeek, M. 2008. A guide to modern econometrics. John Wiley & Sons.
World Bank Group (Ed.). 2012. World development indicators 2012. World Bank
Publications.
Widodo, T. 2006. Perencanaan pembangunan: aplikasi komputer (era otonomi
daerah). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

28
Tabel 1 Rekapitulasi Rata-rata LQ Kabupaten di Sulawesi Barat, 2008-2013

Location Quotient Rata Rata


No Sektor Polewali Mamuju
Majene Mamasa Mamuju
Mandar Utara
1 Pertanian
0,99 1,00 1,19 0,99 0,86
2 Pertambangan & Penggalian
0,73 0,34 0,70 2,14 0,71
3 Industri Pengolahan
0,53 0,34 0,57 0,38 4,22
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
1,60 1,42 0,47 0,92 0,27
5 Konstruksi
1,27 0,54 1,27 1,34 0,83
6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran 0,94 1,81 0,79 0,71 0,14
7 Pengangkutan dan
Komunikasi 1,65 0,95 0,62 1,07 0,73
8 Keuangan, Real Estat, dan
Jasa Perusahaan 1,55 0,92 0,80 1,14 0,62
9 Jasa-Jasa
0,88 0,93 0,96 1,35 0,66
Keterangan: 1. LQ>1 = Sektor Basis/memiliki keunggulan komparatif
2. LQ<1 = Bukan Sektor Basis/tidak memiliki keunggulan komparatif
3. LQ=1 = Sektor memiliki laju pertumbuhan yang sama dengan provinsi

29
Tabel 2 Rekapitulasi Rata-rata LQ Provinsi Se-Sulawesi, 2006-2013

Location Quotient Rata Rata


No Sektor Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi
Gorontalo
Barat Selatan Tengah Utara Tenggara
1 Pertanian
1,71 1,03 0,99 1,13 0,69 1,12
2 Pertambangan & Penggalian
0,13 0,16 1,23 0,96 0,74 0,96
3 Industri Pengolahan
0,78 0,72 1,24 0,77 0,71 0,77
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
0,50 0,65 1,17 0,86 0,89 0,86
5 Konstruksi
0,71 1,03 0,66 1,06 1,94 1,06
6 Perdagangan, Hotel dan
0,53 0,88 1,03 1,04 1,01 1,04
Restoran
7 Pengangkutan dan
0,47 1,14 0,95 0,91 1,36 0,91
Komunikasi
8 Keuangan, Real Estat, dan
0,93 1,27 1,05 0,88 0,99 0,88
Jasa Perusahaan
9 Jasa-Jasa
1,26 1,51 0,87 0,99 1,23 0,99
Keterangan: 1. LQ>1 = Sektor Basis/memiliki keunggulan komparatif
2. LQ<1 = Bukan Sektor Basis/tidak memiliki keunggulan komparatif

30
Tabel 3 Ikhtisar Hasil Regresi Data Panel untuk Model-1 dan Model-2

Variabel Hasil
Model-1
Konstanta 2,9132***
(1,0549)
LN_BM_1 -0,1374***
(0,0467)
LN_BO 0,5467***
(0,1118)
LN_TK 0,2309**
(0,1127)
Adj. R-Squared 0.750646
F-Statistik 17.77205
Prob (F-Statistik) 0,00000
Model-2
Konstanta 3,6004***
(1,2857)
LN_BPEND 0,3127***
(0,0739)
LN_BKES 0,0611
(0,1137)
LN_BINFRA -0,1128**
(0,0430)
LN_TK 0,2899**
(0,1139)
Adj. R-Squared 0.726223
F-Statistik 13.93146
Prob (F-Statistik) 0,00000
Catatan: Signifikasi * 10%, ** 5%, ***1%
( ) Standar Error

31

Anda mungkin juga menyukai