Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut WHO dan Undang Undang Lanjut Usia 1998, yang termasuk

lanjut usia (lansia) adalah yang berumur di atas 60 tahun. Jumlah lansia di

Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03 persen dari seluruh

penduduk Indonesia tahun 2014. Secara global populasi lansia diprediksi terus

mengalami peningkatan. Usia harapan hidup di Indonesia berkisar dari 66,5 tahun

(pria) sampai 71,4 tahun (wanita).(1), (2)

Seksualitas merupakan bagian penting bagi setiap orang dan

mengekspresikan hal itu merupakan kebutuhan dasar manusia serta hak setiap

individu tanpa memperhatikan usia, etnis, agama, disabilitas dan orientasi seksual.

Adanya liberalisasi, khususnya di dunia Barat, menimbulkan cara pandang dan

sikap masyarakat yang lebih positif tentang berbagai aspek tentang seksualitas

termasuk seksualitas pada lansia.(3)

Sebuah review data lintas kultural dari 106 masyarakat tradisional

menunjukkan bahwa perilaku seksual pada lansia laki-laki maupun perempuan

banyak ditemukan, meski bervariasi. Sebagai contoh, 84 % dari penelitan tentang

perilaku seksual pada lansia perempuan, mendapatkan adanya aktivitas dan minat

seksual yang berkelanjutan pada mereka. Kesimpulan dari review data tersebut

bahwa faktor kultural dan biologis berperan penting terhadap ekspresi seksual

pada lansia.(4)

1
Pengaruh gangguan mental terhadap fungsi seksual, dampak psikologis

disfungsi seksual terhadap kesehatan mental dan pengaruh obat-obat psikotropik

terhadap seksualitas membuktikan bahwa disfungsi seksual akan banyak

ditemukan pada pasien-pasien psikiatri. Prevalensi disfungsi seksual yang

tertinggi ditemukan pada lansia. Hal itu dimungkinkan karena adanya efek

penuaan dan penyakit medis terhadap respon seksual serta meningkatnya

sensitifitas lansia terhadap efek samping obat-obatan.(3)

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai seksualitas pada lansia,

meliputi siklus respon seksual; perubahan respon seksual pada lansia; anamnesis

riwayat seksual; disfungsi seksual pada lansia dan penanganannya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Respon Seksual

Siklus respon seksual pada manusia merupakan interaksi yang kompleks

dari berbagai faktor, yaitu psikologis, lingkungan dan fisiologis (hormonal,

vaskular, muskular dan neurologis). Menurut Helen Singer Kaplan siklus respon

seksual terdiri dari 3 fase, yaitu minat (desire), gairah (arousal) dan orgasme.

Sedangkan menurut Masters dan Johnson (1966) siklus respon seksual terdiri dari

4 fase, yaitu gairah (arousal), plateau, orgasme dan resolusi (Gambar 2.1). Fase-

fase tersebut ditandai dengan adanya perubahan-perubahan pada area genital dan

ekstragenital. Basson (2000) kemudian menyempurnakan model dari Masters dan

Johnson. Ia menambahkan bahwa siklus seksual pada wanita tidak bersifat linier,

melainkan siklik, serta bahwa minat dan gairah (arousal) pada wanita tidak dapat

dipisahkan. Pada model tersebut, titik awal untuk seksualitas adalah keinginan

akan sebuah keintiman dan kedekatan, bukan kebutuhan untuk pelepasan

ketegangan seksual. Banyak perempuan yang merasa puas dengan sebuah

keintiman yang tidak harus melibatkan senggama atau orgasme.(3), (4)

Fase inisial (minat dan keinginan) ditandai dengan adanya fantasi seksual

dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual. Hal ini merupakan keadaan

yang subyektif, yang dapat dipicu baik oleh isyarat-isyarat seksual yang berasal

dari internal maupun eksternal. Selain itu juga tergantung pada fungsi

neuroendokrin yang adekuat.(3), (5)

3
Fase gairah (arousal) diperantarai oleh sistem saraf parasimpatis dan

ditandai dengan adanya perasaan senang yang subyektif dan keluarnya cairan

lubrikasi pada vagina wanita dan pembesaran penis sehingga terjadi ereksi pada

laki-laki. Hormon testosteron berperan penting pada fase minat dan gairah baik

pada laki-laki maupun perempuan.(3), (5)

Pada individu baik laki-laki maupun perempuan, dapat diamati adanya

pendataran dari arousal, di mana individu tersebut terus merasa bergairah namun

tidak mengalami penambahan dalam tingkat gairahnya. Fase ini disebut plateau.

Pada fase ini jaringan erektil laki-laki maupun perempuan terisi penuh dengan

aliran darah. Respirasi, denyut nadi, tekanan darah dan ketegangan otot sangat

meningkat seiring dengan mendekatnya orgasme.(5)

Fase orgasme ditandai dengan adanya respon miotonik yang diperantarai

oleh sistem saraf simpatis. Pada fase ini kesenangan seksual mencapai puncaknya,

disertai pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmis dari otot perineum dan

organ reproduksi yang terletak di dasar panggul. Pada perempuan orgasme

ditandai dengan 3-15 kontraksi involunter dari sepertiga bawah vagina, kontraksi

kuat dan menetap dari uterus dimulai dari fundus hingga serviks. Pada laki-laki

terdapat perasaan subyektif bahwa ejakulasi tak tertahan (point of ejaculatory

inevitability) yang memicu orgasme dan dikeluarkannya cairan semen. Selain itu

terjadi 4-5 gerakan spasme yang ritmik dari prostat, vesikula seminalis dan

uretra. (3), (5)

Pada fase resolusi darah mengalir balik dari genitalia (detumesen) dan

tubuh kembali ke fase istirahat. Fase ini ditandai dengan timbulnya perasaan

4
sejahtera yang subyektif dan perasaan rileks. Laki-laki mengalami periode

refrakter setelah orgasme, yang berlangsung selama beberapa menit hingga

beberapa jam. Pada periode ini laki-laki tidak dapat dirangsang untuk mengalami

orgasme lagi. Sedangkan kebanyakan perempuan tidak mengalami periode

refrakter sehingga mereka dapat merasakan orgasme multipel serta berturut-turut.

Cara seseorang berespon secara seksual sangat bervariasi dan setiap fase dapat

dipengaruhi oleh proses penuaan, penyakit, obat-obatan, napza, serta faktor

psikologis dan relasi.(3), (5)

Gambar 1 Siklus Respon Seksual

2.2 Perubahan Respon Seksual pada Lansia

Seiring dengan proses penuaan terjadi perubahan respon seksual pada

lansia. Perubahan respon seksual pada perempuan lansia sebagai berikut.

 Selama fase arousal pada perempuan lansia, peningkatan aliran darah ke organ

pelvis mengalami penurunan dalam intensitasnya sehingga vasokongesti dari

5
dinding vagina dan lubrikasi vagina berkurang. Perubahan ini khususnya

tampak nyata ketika jaringan vagina telah menipis (atrofi) akibat berkurangnya

kadar estrogen. Berkurangnya kadar estrogen juga menyebabkan kemampuan

vagina untuk mengembang menjadi menurun. Atrofi vagina terjadi lebih berat

pada perempuan yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Sebaliknya

perempuan yang rutin melakukan hubungan seksual atau masturbasi cenderung

terlindungi dari perubahan akibat hormon ini. Sensitivitas klitoris terhadap

stimulasi seksual tidak terpengaruh, namun ketika jaringan di daerah pelvis

sudah mengalami atrofi maka klitoris rentan terhadap trauma dari stimulasi

fisik. Stimulasi akan menimbulkan sensasi iritasi atau nyeri, bukan gairah

seksual.

 Fase orgasme relatif tidak mengalami perubahan seiring proses penuaan.

Jumlah kontraksi vagina dan uterus yang terjadi selama orgasme cenderung

lebih sedikit, namun sensasinya dilaporkan tidak berubah. Perempuan-

perempuan yang mampu mencapai orgasme multipel tetap memiliki

kemampuan tersebut seiring bertambahnya usia. Terkadang kontraksi uterus

bersifat spasmodik, bukan ritmik, dan hal tersebut dirasakan sebagai nyeri.

 Fase resolusi pada perempuan lansia terjadi lebih cepat dibanding pada dewasa

muda.

Sementara perubahan respon seksual pada laki-laki lansia sebagai berikut.

 Pada fase arousal laki-laki lansia, timbulnya ereksi lebih lambat dan

memerlukan lebih banyak stimulasi taktil yang langsung dibanding pada laki-

laki muda, di mana stimulasi psikologis memainkan peran lebih besar. Ereksi

6
yang terjadi sifatnya kurang intens, yaitu kurang keras, kurang elevasi dan

bertahan untuk waktu yang lebih pendek. Meski penis mengalami ereksi yang

cukup untuk penetrasi, namun seringkali penis tidak menjadi kaku sepenuhnya

hingga saatnya ejakulasi. Ereksi dan mimpi basah di malam hari lebih jarang.

Perubahan pada skrotum dan testis akibat arousal menjadi kurang intens.

 Pada fase plateau, perasaan subyektif bahwa ejakulasi tak tertahan (point of

ejaculatory inevitability) kurang jelas dibanding saat usia muda. Dengan

demikian maka seorang laki-laki lansia dapat memperlama kesenangan yang

diperoleh pada fase plateau sebelum tiba masanya ejakulasi.

 Pada fase orgasme, ejakulasi berlangsung bersamaan dengan kontraksi yang

lebih sedikit. Selain itu volume ejakulat juga lebih sedikit dan kekuatan ejeksi

berkurang, namun sensasi orgasme tetap tidak berubah dalam intensitasnya.

Hubungan seksual sering tanpa disertai orgasme namun tetap memberikan

kesenangan.

 Fase resolusi terjadi lebih cepat pada laki-laki lansia. Selain itu periode

refraktori tampak lebih panjang secara nyata dibanding pada laki-laki usia

muda. Laki-laki lansia dapat mengalami periode refraktori selama 24 jam atau

lebih setelah orgasme, namun jika ejakulasi belum terjadi maka re-arousal

dapat timbul lebih cepat.(4), (6)

7
Tabel 1. Perubahan fisiologi seksual terkait penuaan

Fungsi Perubahan pada laki-laki Perubahan pada perempuan


Hormon seks Kadar testosteron menurun Produksi estrogen berhenti
Kadar testosteron menurun
Genitalia Sperma yang lebih sedikit dan Terhentinya ovulasi
fungsinya menurun
Aliran darah ke penis menurun Aliran darah ke pelvis berkurang
Berkurangnya relaksasi penis Vagina memendek dan menyempit
yang perlahan-lahan Atrofi mukosa vagina, labia
mayora&kelenjar Bartholin
Elastisitas vagina berkurang
Tonus otot vagina menurun
Fertilitas Angka konsepsi menurun Menghilang setelah menopause
Libido Bagi sebagian individu dapat Bagi sebagian individu dapat
menurun akibat kadar menurun akibat kadar testosteron
testosteron yang menurun yang menurun
Arousal Memerlukan stimulasi taktil Memerlukan stimulasi taktil yang
yang lebih lebih
Memerlukan waktu lebih lama Lubrikasi dan pengembangan
untuk ereksi vagina berkurang
Ereksi lebih lembek Klitoris lebih rentan terhadap
stimulasi fsik
Ereksi berlangsung lebih pendek
Orgasme Memerlukan waktu lebih lama Memerlukan waktu lebih lama
untuk mencapai orgasme untuk mencapai orgasme
Kekuatan ejakulasi berkurang Kontraksi vagina lebih sedikit
Volume ejakulat berkurang
Periode Memanjang (berjam-jam hingga Memanjang
refraktori berhari-hari)
Sumber: Sewell DD, Sexuality and Aging. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P.
Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Edisi ke-9. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009. Hlm 4238

8
Dampak perubahan respon seksual terhadap kualitas relasi seksual sangat

tergantung pada sikap dari pasangan dan pada seberapa bebas mereka dapat

berkomunikasi satu sama lain tentang kehidupan seks mereka. Kaplan (1989)

membedakan antara efek-efek yang patologis terhadap fisiologi seksual dengan

efek-efek dari penuaan yang normal terhadap fungsi ereksi, disebut juga dengan

presbirektia. Presbirektia dinilai dari 4 aspek klinis yaitu ereksi yang lebih

lembek, diperlukan stimulasi yang lebih, berlangsung lebih pendek dan lebih

rentan terhadap ansietas atau stres. Kemampuan pasangan suami istri untuk

menyesuaikan terhadap perubahan yang normal terkait usia ini penting untuk

bertahannya relasi seksual mereka.(6)

2.3 Anamnesis Riwayat Seksual

Disfungsi seksual kemungkinan akan ditemukan paling sering pada

kelompok lansia mengingat dampak dari penuaan dan penyakit fisik terhadap

respon seksual serta meningkatnya sensitifitas lansia terhadap efek samping dari

obat-obatan. Namun begitu gangguan seksual tidak selalu terungkap dengan

sendirinya kepada klinisi sehingga mereka perlu menyiapkan pikiran dan sikap

mereka dalam menghadapi tantangan ini dengan tenang. Pasien-pasien mungkin

mengungkap masalah seksual secara tidak terduga, saat membahas tentang hal

lain, dan klinisi harus mampu merespon hal tersebut dengan nyaman. (3), (6)

Pemeriksaan anamnesis riwayat seksual dapat menimbulkan ketakutan-

ketakutan tertentu, seperti (1) klinisi atau pasien menjadi bergairah saat

membicarakan tentang seks, (2) klinisi tidak tahu pertanyaan apa yang perlu

9
diajukan atau bagaimana membantu mengatasi masalah seksual pasien, (3) secara

tidak disengaja tersadar akan permasalahan seksual diri sendiri, (4) bahwa pasien

mengetahui kebencian klinisi terhadap praktek seksual tertentu. Kekhawatiran ini

dapat dikurangi dengan mengidentifikasi adanya hal-hal tersebut di dalam diri

klinisi, berpikir secara rasional mengenai hal tersebut, mempelajari tentang

rentang ekspresi seksual, memahami batasan profesional dan mencari

pengetahuan serta pengalaman tentang diagnosis maupun penatalaksanaan

disfungsi seksual.(4)

Prinsip-prinsip melakukan anamnesis riwayat seksual tidak berubah

seiring usia. Menurut Hawton (1985) prinsip yang perlu diperhatikan mencakup:

1) Menggunakan bahasa yang membuat nyaman bagi pewawancara dan

pasien, serta memungkinkan informasi dapat dipahami dengan jelas;

2) Menggunakan pertanyaan terbuka untuk mengeksplorasi perihal yang

akan didiskusikan, dan pertanyaan tertutup untuk mengetahui detail yang

pasti;

3) Mengklarifikasi masalah dengan menanyakan deskripsi situasi tertentu di

mana masalah muncul;

4) Mengetahui riwayat hidup secara longitudinal (mulai dari masa kanak-

kanak), sikap anggota keluarga, sumber informasi tentang seksual, relasi

yang pernah dijalin, dan khususnya riwayat awal mula relasi yang

sekarang;

5) Mencari informasi tentang periode di mana terdapat relasi yang baik serta

apa hal yang dikagumi pada diri masing-masing pasangan;

10
6) Mewawancara kedua pasangan yang masih menjalin hubungan, baik

secara terpisah maupun bersamaan;

7) Memperhatikan pentingnya riwayat medis dan psikiatri (penyakit-

penyakit yang diderita, operasi dan obat-obatan baik yang diresepkan

maupun yang tidak diresepkan);

8) Memformulasikan masalah, terkait faktor predisposisi, presipitasi dan

faktor yang mempertahankan masalah; memberitahukan formulasi

masalah tersebut kepada pasien (atau pasangan) serta memastikan mereka

memahami dan dapat menerimanya.(6)

2.4 Disfungsi Seksual pada Lansia

Berdasarkan penggolongan diagnosis DSM-5 (Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorder 5th Edition) terdapat 8 kategori disfungsi seksual,

yaitu ejakulasi lambat (delayed ejaculation), gangguan ereksi (erectile disorder),

gangguan orgasme pada perempuan (female orgasmic disoder), gangguan

minat/gairah seksual pada perempuan (female sexual interest/arousal disorder),

gangguan penetrasi/nyeri genitopelvik (genito-pelvic pain/penetration disorder),

gangguan minat seksual yang hipoaktif pada laki-laki (male hypoactive sexual

desire disorder), ejakulasi dini (premature ejaculation) dan disfungsi seksual

diinduksi oleh zat obat-obatan (substance/medication-induced sexual

dysfunction). Secara umum diagnosis disfungsi seksual didasarkan pada adanya

penurunan fungsi pada satu fase atau lebih dari siklus respon seksual (minat,

arousal dan orgasme).(7), (8)

11
Dari sebuah survey tentang disfungsi seksual yang dilakukan di Amerika

Serikat, melibatkan 1410 laki-laki dan 1749 perempuan berusia 18-59 tahun,

diketahui bahwa pada perempuan terdapat sebesar 32% mengeluh kehilangan

minat seksual, sebesar 26% mengeluh tidak mampu mencapai orgasme dan 16%

mengeluh nyeri pada saat bersenggama. Sementara pada laki-laki terdapat sebesar

31% mengeluh ejakulasi dini, 18% mengkhawatirkan performanya dan 18%

terdapat disfungsi ereksi. Minat seksual yang rendah berkaitan dengan ketidak-

bahagiaan secara umum, dan disfungsi seksual sangat berkaitan dengan hubungan

interpersonal yang tidak memuaskan.(9)

Dalam survey lainnya terhadap populasi lansia yang aktif secara seksual,

didapatkan bahwa sekitar setengah dari mereka melaporkan sedikitnya 1 masalah

seksual. Masalah seksual yang paling sering pada lansia perempuan adalah minat

yang menurun (43%), kekurangan cairan lubrikasi vagina (39%), dan

ketidakmampuan untuk orgasme (34%). Sedangkan pada lansia laki-laki masalah

yang paling sering adalah disfungsi ereksi (37%), kecemasan akan performa

(27%), dan ejakulasi dini (26%). Prevalensi lansia yang mendiskusikan seks

kepada dokter sebanyak 38% pada laki-laki dan 22% pada perempuan.(4)

Berbagai faktor berkontribusi terhadap etiologi disfungsi seksual pada

lansia yang sifatnya kompleks. Di antaranya adalah proses penuaan, adanya

penyakit fisik, mental dan efek dari obat-obatan. Disfungsi seksual pada lansia

bukanlah konsekuensi yang tak terhindarkan dari proses penuaan, melainkan

merupakan interaksi dari berbagai domain. (9), (10)

12
a. Disfungsi Seksual dan Penuaan

The Massachusetts Male Aging Study (MMAS) telah meneliti disfungsi

ereksi dan hormon-hormon pada laki-laki dengan sampel acak laki-laki usia 40-70

tahun, menggunakan metode wawancara. Pada studi tersebut usia merupakan

variabel independen yang utama dan tujuan khusus dari studi tersebut untuk

mengetahui variasi hormon sepanjang usia. Menurut MMAS, probabilitas

disfungsi ereksi komplit meningkat 3x lipat, dari 5% pada usia 40 tahun hingga

15% pada usia 70 tahun. Selain itu diketahui juga bahwa disfungsi ereksi yang

moderat berkorelasi dengan usia, kadar testosteron, dan skor depresi.(11)

Disfungsi seksual pada lansia dapat timbul hanya dari kurangnya

informasi tentang perubahan fisiologi seksual yang normal terkait usia. Fungsi

ereksi yang lebih lambat atau kurangnya kemampuan ejakulasi mungkin

diinterpretasikan oleh seorang suami sebagai onset timbulnya impotensi,

sementara oleh istri hal tersebut merupakan pertanda menurunnya minat terhadap

dirinya. Ketakutan-ketakutan tersebut kemudian dapat memperparah gejala yang

ada. Demikian juga halnya dengan berkurangnya cairan lubrikasi vagina yang

dapat menimbulkan gejala nyeri saat bersenggama, sehingga menyebabkan

perempuan lansia menghindari keintiman seksual. Hal tersebut dapat

diinterpretasikan oleh suami sebagai suatu bentuk penolakan terhadap ekspresi

cintanya.(3)

Selain mengalami perubahan fisiologi seksual yang normal terkait

penuaan, lansia juga bisa saja menyesali adanya perubahan pada tubuh mereka,

dalam hal ukuran, bentuk dan kekencangan yang berbeda secara nyata

13
dibandingkan sebelumnya. Lansia mungkin mengeluh tentang perubahan tubuh

dari pasangannya, menurunnya minat dan atensi terhadap keintiman seksual

maupun emosional, kebosanan dalam hal seksual, mengalami kecemburuan

terhadap orang yang lebih muda, serta perubahan dalam intensitas hubungan

seksual. Menopause, pembedahan dan berbagai kehilangan baik secara fisik

maupun psikologis dapat mengeksaserbasi keluhan-keluhan seksual.(3)

b. Disfungsi Seksual dan Penyakit fisik

Lansia pada umumnya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

menderita berbagai penyakit fisik. Mereka juga seringkali menjalani operasi yang

dapat menimbulkan sekuele psikologis maupun kerusakan organ. Sementara itu

salah satu alasan yang paling sering diungkapkan oleh lansia ketika mengakhiri

aktivitas seksualnya adalah timbulnya penyakit fisik. Penyakit fisik dapat

menimbulkan kecemasan yang tidak berdasar tentang risiko aktivitas seksual

(seperti pada penyakit jantung atau stroke). Selain itu penyakit fisik dapat

menimbulkan kesulitan saat senggama, kelelahan atau rasa nyeri (seperti pada

penyakit respirasi, artritis dan infeksi menular seksual. Penyakit fisik dapat

mengurangi responsivitas organ seksual (seperti pada diabetes melitus, penyakit

vaskular perifer). Lebih jauh lagi penyakit fisik dapat menurunkan kepercayaan

diri (self-confidence), perasaan atraktif (seperti pada kasus operasi mastektomi

dan kolostomi), serta menurunkan gairah seksual (seperti pada depresi, gagal

ginjal kronis dan penyakit Parkinson). (6), (9)

14
c. Disfungsi Seksual dan Gangguan Mental

Gangguan mental yang paling sering diderita oleh lansia adalah depresi,

demensia, gangguan waham dan delirium. Perilaku seksual dapat berubah secara

signifikan pada depresi dan demensia. Gangguan waham mungkin berkaitan

dengan kecemburuan yang patologis, yang menyebabkan distres berat pada

pasangannya juga membahayakan keselamatan dirinya sendiri. Disfungsi seksual

pada lansia yang menderita gangguan mental juga dapat diakibatkan oleh

penggunaan obat psikoaktif.(9)

d. Disfungsi Seksual dan Obat-obatan

Sebagian besar lansia mengonsumsi obat-obatan dan sering bersifat

polifarmasi. Daftar obat-obatan yang dapat memengaruhi fungsi seksual sangat

banyak. Di antaranya yang perlu diperhatikan adalah antidepresan dan

antipsikotik, benzodiazepin, obat-obat antihipertensi, diuretik golongan thiazide,

obat-obat golongan statin dan antikonvulsan. Jika dicurigai terdapat gangguan

seksual yang diinduksi obat maka penghentian atau penggantian obat biasanya

dapat memastikan penyebab. Selain itu obat-obatan dapat meningkatkan fungsi

seksual, meski lebih jarang terjadi, misal pengaruh L-dopa, lamotrigin dan

trazodon.(3)

2.5 Terapi Disfungsi Seksual pada Lansia

Disfungsi seksual pada lansia dapat menimbulkan distres yang nyata, sama

halnya seperti pada orang dewasa muda. Klinisi harus menyusun rencana

penatalaksanaan yang tepat dengan mengintegrasikan seluruh informasi yang

15
berkaitan. Jika terdapat faktor psikologis maka perlu diberikan konseling bagi

pasien dan atau pasangan. Sementara itu jika disfungsi seksual berkaitan dengan

faktor fisik atau biologikal maka edukasi dan obat-obatan dapat membantu.(4)

Pilihan terapi untuk disfungsi seksual adalah:

 Edukasi dan pemberian saran,

 Konseling atau psikoterapi seksual,

 Terapi hormonal,

 Terapi obat-obatan,

 Alat mekanis,

 Pembedahan vaskular.(9)

Sebagian besar ahli dalam seksualitas dan penuaan, dimulai dari Masters

dan Johnson (1996) hingga seterusnya, menekankan pentingnya memberikan

informasi tentang fisiologi seksual yang normal dan tentang penerimaan akan

perasaan dan perilaku seksual di masa lansia. Hal itu bertujuan untuk

menghilangkan anggapan dan sikap yang salah. Adanya publikasi buku-buku,

majalah yang mudah diakses oleh masyarakat umum serta program di radio dan

televisi merupakan media yang penting untuk edukasi. Edukasi tenaga kesehatan

dan sosial juga penting.(3)

Selain itu klinisi perlu memberikan edukasi kepada lansia tentang strategi

untuk meningkatkan fungsi seksualnya. Berikut ini beberapa strategi yang

dimaksud.

a) Mengoptimalkan kesehatan fisik dengan :

 Mempertahankan diet sehat,

16
 Istirahat yang cukup,

 Memeriksakan fungsi pendengaran dan mengoreksinya jika

diperlukan,

 Mempelajari dan mempraktekkan higiene gigi, mencakup

membersihkan gigi dengan benang (flossing), rutin memeriksakan

gigi ke dokter.

 Merawat kulit,

 Tidak merokok,

 Meminimalkan konsumsi alkohol,

 Berolah raga secara teratur,

 Mempelajari gerakan khusus yang dapat memperbaiki penampilan

dan fungsi, seperti sit-up dan mengangkat lutut untuk

mengencangkan perut atau latihan Kegel untuk menguatkan otot-

otot dasar panggul,

 Mendapat pengobatan yang adekuat untuk penyakit medis yang

dialami,

 Meminum obat-obatan untuk mencegah timbul nyeri atau sesak

yang dapat mengganggu hubungan seksual,

 Menggunakan lubrikasi untuk mengatasi kekeringan vagina.

b. Mengoptimalkan kesehatan psikologis dengan:

 Menyikapi perubahan seksual pada masa lansia dengan positif,

 Hindarkan ekspektasi performa seksual yang tidak realistik.

17
c. Mengoptimalkan relasi yang sehat dengan pasangan seksual, melalui:

 Mempertahankan komunikasi yang jujur dan terbuka,

 Identifikasi dan diskusikan perubahan dalam fungsi seksual,

 Diskusikan cara untuk menyesuaikan gaya hubungan seksual

dengan perubahan-perubahan tersebut,

 Memberi waktu dan energi lebih untuk foreplay yang sifatnya

sensual,

 Pilih gaya hubungan seksual dan posisi yang sesuai dengan kondisi

di mana ketahanan dan kekuatan telah menurun.(4)

Konseling psikoseksual juga merupakan bagian yang penting dalam

penatalaksanaan disfungsi seksual. Apapun penyebab yang melatarbelakangi

disfungsi seksual biasanya terdapat faktor psikologi yang membebani. Oleh

karena itu direkomendasikan untuk diberikan terapi obat-obatan kombinasi

dengan konseling.(9)

Terapi hormonal yang sering digunakan adalah pemberian testosteron.

Berbagai penyakit medis memiliki potensi menurunkan libido (minat seksual), di

antaranya gagal ginjal kronis, penyakit paru-paru kronis, sirosis hepatik,

hipertiroid dan HIV. Salah satu mekanisme di mana penyakit medis tersebut

mencetuskan penurunan libido adalah melalui penurunan kadar androgen

(testosteron serum, testosteron bebas atau dehidriepiandrosteron), sehingga

pemberian testosteron dapat menjadi pilihan terapi. Pemberian testosteron juga

dilakukan untuk mengatasi viropause (menopause pada laki-laki), namun masih

kontroversial. Terapi pengganti hormon untuk perempuan yang sudah menopause

18
juga masih kontroversial. Sebagai alternatifnya dapat diberikan gonadomimetik

tibolon.(4),(9)

Berbagai macam obat-obatan digunakan untuk terapi disfungsi ereksi pada

laki-laki, yaitu yohimbin, phentolamin oral, apomorfin tablet sublingual,

sildenafil, injeksi obat vasoaktif intra-kavernosal, insersi prostaglandin intra-

uretral dan krim vasoaktif. Sildenafil (Viagra) merupakan inhibitor

fosfodiesterase. Kesuksesannya cenderung menyebabkan obat-obatan lainnya

menjadi kurang penting. Sildenafil terbukti efektif untuk pengobatan disfungsi

ereksi non-organik (89% respon pada dosis 50 mg) maupun organik seperti akibat

diabetes melitus, hipertensi dan gangguan neurologis (dosis 100 mg). Obat ini

diabsorpsi dengan cepat meski jika ditelan bersama makanan akan diabsorspi

lebih lambat. Sildenafil memiliki keamanan dan efek samping yang ringan,

meliputi sakit kepala, flushing, dispepsia, kongesti nasal dan penglihatan

berkurang. Sildenafil dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat obat

golongan nitrat karena dapat memicu timbulnya hipotensi. Tidak setiap pasien

akan berespon terhadap sildenafil dan pasien dengan impotensi vaskulogenik atau

fibrosis kavernosal kecil kemungkinan akan berespon.(9)

Ejakulasi dini sebagian besar diterapi dengan metode psikologis seperti

teknik meremas (squeeze). Meski demikian terdapat laporan bahwa obat-obatan

tertentu seperti thioridazin, klomipramin dan SSRI, terbukti efektif. Dalam suatu

studi terbukti bahwa pemberian klomipramin 25 mg yang diminum 4 jam sebelum

melakukan hubungan seksual efektif mengatasi ejakulasi dini.(9)

19
Terdapat beberapa alat mekanis yang dapat digunakan untuk mengatasi

disfungsi ereksi, di antaranya adalah vacuum constriction devices. Alat tersebut

terutama digunakan oleh lansia laki-laki, populer sekitar tahun 1980. Selain itu

terdapat juga implan protesa penis, terdiri dari 3 tipe yaitu semirigid, positionable

dan multicomponent inflatable. Sementara itu pembedahan vaskular digunakan

secara okasional jika terbukti adanya abnormalitas pada arteri atau vena.(8),(9)

20
BAB III

KESIMPULAN

Seksualitas merupakan bagian penting bagi setiap orang, termasuk lansia.

Seiring dengan proses penuaan terjadi perubahan respon seksual pada lansia.

Kemampuan pasangan suami istri untuk menyesuaikan terhadap perubahan yang

normal terkait usia ini penting untuk bertahannya relasi seksual mereka.

Diketahui sekitar setengah dari populasi lansia melaporkan sedikitnya 1

masalah seksual. Masalah seksual yang paling sering pada lansia perempuan

adalah minat yang menurun, sementara pada lansia laki-laki masalah yang paling

sering adalah disfungsi ereksi. Disfungsi seksual pada lansia bukanlah

konsekuensi yang tak terhindarkan dari proses penuaan, melainkan merupakan

interaksi dari berbagai domain. Perlu dilakukan penatalaksanaan terhadap masalah

medis, psikiatri dan biologis yang mendasari disfungsi seksual pada lansia. Pilihan

terapi untuk disfungsi seksual adalah: edukasi dan pemberian saran; konseling

atau psikoterapi seksual; terapi hormonal; terapi obat-obatan; alat mekanis dan

pembedahan vaskular.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasrun MWS, Nuhriawangsa I, Sutiyanto A, Wibisono S. Modul Psikiatri


Geriatrik. Jakarta: Kolegium Psikiatri Indonesia; 2008.
2. Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014: Hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta; 2015.
3. Bouman WP. Sexuality in Later Life. In: Dening T, Thomas A, editors.
Oxford Textbook of Old Age Psychiatry. 2nd ed. New York: Oxford
University Press; 2013.
4. Sewell DD. Sexuality and Aging. In: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P,
editors. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry. 2. 9th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
5. Hock RR. Human Sexuality. 3th ed. New Jersey: Pearson Education, Inc;
2012.
6. Oppenheimer C. Sexuality in Old Age. In: Jacoby R, Oppenheimer C,
editors. Psychiatry in the Elderly. 3th ed. New York: OXford University
Press; 2002.
7. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition. Arlington, VA, American Psychiatric
Association, 2013.
8. Spar JE, Rue AL. Clinical Manual of Geriatric Psychiatry. 1st ed.
Arlington, VA: American Psychiatric Publishing; 2006.
9. Phanjoo AL. Sexual dysfunction in old age. Advances in Psychiatric
Treatment 2000;6:270-7.
10. Laumann EO, Das A, Waite LJ. Sexual Dysfunction among Older Adults:
Prevalence and Risk Factors from a Nationally Representative U.S.
Probability Sample of Men and Women 57-85 Years of Age. J Sex Med.
2008;5(10):2300-11.
11. Camacho ME, Reyes-Ortiz CA. Sexual dysfunction in the elderly:age or
disease? International Journal of Impotence Research 2005;17:S52-S6.

22

Anda mungkin juga menyukai