Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh
perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah
suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi oleh faktor
biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor
yang berasal dari dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi
(Mansjoer, 2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa
disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis
ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit paru
obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).
Data yang diperoleh di Rekam Medis Rumah Sakit Margono Purwokerto pada
bulan Januari sampai Maret 2014 didapatkan data sebanyak 30 % pasien menderita
penyakit paru obstruksi kronis (RS Margono Soekardjo, 2014).
Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan
keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr.
Margono Soekardjo Purwokerto”. Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini
adalah karena penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal
sehingga perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan
fungsi paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami
perkembangan yang progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari
itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat,

1
perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita
penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
C. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi atau masukan kepada pihak Rumah Sakit dalam upaya
peningkatan pelayanan pasien PPOK eksaserbasi akut
2. Memberikan informasi kepada dokter dan tenaga kesehatan lainya mengenai
gambaran pasien PPOK eksaserbasi akut
3. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti di bidang penelitian dan
mengasah daya analisa peneliti
4. Sebagai sumber informasi terhadap penelitian yang akan datang mengenai
pasien PPOK eksaserbasi akut

2
BAB 2

KONSEP PENYAKIT

A. Definisi
PPOK adalah penyakit paru obstuksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif Dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Bronkitis
kronik dan emfisema tidak di masukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik
merupakan diagnosa klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosa patologi.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa
disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis
ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan
b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
c. Riwayat pajangan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar tempat
kerja)
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas
e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal)

B. Klasifikasi
1. PPOK ringan
Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya
abnormal.
Dengan gejala batuk atau tanpa batuk, dengan atau tanpa sputum, sesak nafas
derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2.

3
2. PPOK sedang
Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak
nafas yang dialaminya.
Gejala dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa sputum, sesak nafas derajat
3.
3. PPOK berat
Gejala sesak nafas derajat sesak 4 dan 5, ekserbasi sering terjadi.
4. PPOK sangat berat
Gejala sesak nafas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik, eksaserbasi
lebih sering terjadi, di sertai komplikasi korpulmonale atau gagal jantung kanan.

C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas.

Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :

Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi


kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk
dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek
sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada
batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan
produksi dahak yang semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat
badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu
secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut
tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik
banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.

4
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak
yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan
(isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya
oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam
melakukan pernafasan.

D. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.

Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru


obstruksi kronis adalah :

1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami
penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan
telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko
penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok.
Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu
antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan
dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan
peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas
kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam
terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan
resiko morbiditas PPOK.

5
E. Patofisiologi
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001)
adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan
mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan
lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama
kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi
menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel
goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus
dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag
alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri,
pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat
bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat.
Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di
sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi
pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan
rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan
campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini
menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan
normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi
terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama.
Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan
penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan
perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang
diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas
dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau
karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida

6
meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke
jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi
ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang
dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan
yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah
hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia
menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular
pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan
tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.

F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal
selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat
dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal
atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asma).

7
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang
terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III,
AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau
evaluasi program latihan.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi
ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5
g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.

8
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x
0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi
pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan
edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma
adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala
kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat.
Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah
untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan
berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses
fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi

9
beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak
menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral.
Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu
untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih
berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan
fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan
ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk
bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi
pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu
mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah
terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan
pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator,
ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan.
Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene
respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan
dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu
mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan
bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT
Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan
pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah
mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk
memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi
atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya,
dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada
bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang
terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.

10
4. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup
tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan
upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk
memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi
lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan
psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.

H. Terapi komplementer
a. Terapi hiperbarik
Terapi hiperbarik atau yang lebih di kenal dengan hiperbarik oksigen
teraphy (HBOT) adalah terapi dengan menggunakan oksigen. Tapi oksigen yang
di hirup pada saat terapi ini tekannanya lebih besar dari oksigen yang kita biasa
hirup di keadaan normal yaitu sebesar 2,4 atmosfer (keadaan normal adalah
sebesar 1 atmosfer). Dari namanya yaitu hiperbarik bisa di prediksi maksud
sebenarnya, yaitu hiper yang artinya lebih dan barik yang berasal dari kata bar
yang artinya tekanan.
b. Tai chi
Terapi alternatif yang menghubungkan pernafasan, pergerakan dan
meditasi untuk membersihkan, memperkuat dan sirkulasi energy dan darah
kehidupan yang penting.
Latihan yang di perlukan dalam tai chi meningkatkan kapasitas paru-paru
memeperkuat sistem pernafasan, stretch pada diafragma dan otot abdominal,
dan mengaktifkan parasympathetic sistem saraf, yang melepaskan ketegangan
dan kekhawatiran. Melalui peningkatan sisiten aktivitas otot yang diafragma di
tingkatkan dan sirkulasi darah, tai chi memberikan internal pijat ke perut, hati,
limpa, ginjal, dan intestinal, memperbaiki fungsi mereka (Novey 2000).
c. Akupuntur
Terapi acupressure merupakan terapi tradisisonal cina yang di percaya
mampu membantu prose penyembuhan penyakit. Pijatan-pijatan pada titik
tertentu dala terapi acupressure dapat merangsang gelombang saraf sehingga
mampu membantu melancarkan aliran darah, mengurangi nyeri, dan
memberikan rasa nyaman.

11
I. Komplikasi
paru-paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang
terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan
yang terjadi di dinding alveolar. pasien penyakit paru obstruksi menahun
menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi
Kroni s menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks
spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi
pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute
Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak
yaitu penyakit cor-pulmonale.
1. Acute Respiratory Failure (ARF).
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan
oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat.
Analisa gas darah bagi sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan
karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika
pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka
pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk
ventilasi secara mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan
pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari
penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme
kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit
paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh
secara menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ
maka hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita
dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis
menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan
meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan
ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel
kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel
kanan menjadi hipertrofi atau membesar.

12
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis
rendah dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan
edema perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang
lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi
oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit
jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo
berarti udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara
dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga
yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan
parietal paru-paru Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan
paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung.
Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-
paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini
menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM
lainnya yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara
yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena
udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi
tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar
tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan
dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan

J. Pencegahan
Orang-orang dengan PPOK lebih rentan untuk terkena infeksi paru, sehingga
sebaiknya di lakukan vaksinasi secara rutin, misalnya vaksinasi terhadap
pneumokokus untuk mencegah pneunomia dan vaksin flu.
Ada beberapa cara yang dapat di lakukan untuk menjaga tubuh agar tetap sehat :
1) Hindari segala sesuatu yang dapat mengiritasi paru-paru, misalnya asap,
polusi, serta udara yang kering dan dingin.
2) Gunakan filter udara di rumah
3) Ambil waktu untuk beristirahat sejenak

13
4) Olahraga secara teratur
5) Makan makanan bergizi
Sebagia besar kasus PPOK berhubungan langsung dengan merokok, sehingga
cara paling baik untuk mencegah PPOK adalah dengan cara tidak pernah merokok,
atau berhenti merokok.
Paparan dari lingkungan kerja terhadap uap kimia dan debu merupakan faktor
risiko PPOK yang lain. Untuk mengatasinya, lakukan berbagai cara untuk melindungi
paru-paru dari itasi tersebut, misalnya dengan menggunakan alat proteksi pernafasan.

K. PATHWAY
14
Faktor presdiposisi

Edema, spasme bronkus, peningkatan


Bersihan jalan nafas secret bronkiolus
tidak efektif Obstuksi bronkiolus awal
fase ekspirasi

Udara tertangkap dalam alveolus

Suplai O2 paO2 rendah Sesak nafas, nafas


jaringan rendah paCO2 tinggi pendek

Kompensasi Gangguan
kardiofaskuler Gangguan
metabolisme
pertukaran
Hipoksemi jaringan gas

Hipertensi pulmonal Metabolisme Insufisiensi/ gagal Pola nafas


an aerob nafas tidak efektif

Gagal
Produksi ATP
jantung
menurun
kanan Resiko
perubahan
Difisit energi nutrisi kurang
dari
kebutuhan
Lelah, lemah

Gangguan
Intoleransi Kurang
pola tidur
aktivitas perawatan diri

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2000) adalah :
a. Aktivitas dan istirahat
1) Gejala :
a) Keletihan, kelemahan, malaise.
b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
karena sulit bernafas.
c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk
tinggi.
d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau
latihan.
2) Tanda :
a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia.
c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
b. Sirkulasi
1) Gejala
a) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
2) Tanda :
a) Peningkatan tekanan darah.
b) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau
disritmia.
c) Distensi vena leher atau penyakit berat.
d) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP
dada)
f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau
sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.
g) Pucat dapat menunjukkan anemia.

16
c. Makanan atau cairan
1) Gejala :
a) Mual atau muntah.
b) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan
berat badan menunjukkan edema (bronchitis).
2) Tanda :
a) Turgor kulit buruk.
b) Edema dependen.
c) Berkeringat.
d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak
subkutan (emfisema).
e) Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali
(bronchitis).
d. Pernafasan
1) Gejala :
a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai
gejala menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca
atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada
tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b) Lapar udara kronis.
c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama
saat bangun selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun
sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning)
dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada
tahap dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau
iritan pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret
atau debu atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami
katun, serbuk gergaji.
f) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa
antritipsin (emfisema).

17
g) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
2) Tanda :
a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi
memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya
dengan eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan
bahu, retraksi fosa supraklavikula, melebarkan hidung.
d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter
AP (bentuk barrel chest), gerakan diafragma minimal.
e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi
(emfisema), menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar
(bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi
dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan
atau tak adanya bunyi nafas (asma).
f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya
jebakan udara dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru
misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata
sekaligus.
h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-
abuan keseluruhan, warna merah (bronkhitis kronis, biru
menggembung). Pasien dengan emfisema sedang sering
disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun
pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i) Tabuh pada jari-jari (emfisema).
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energi atau kelemahan.
a) Definisi

18
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari
saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas.
b) Batasan karakteristik
1) Tidak ada batuk
2) Perubahan frekuensi nafas
3) Sputum dalam jumlah yang berlebihan
4) Batuk tidak efektif
5) Dipsneu
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara),
kerusakan alveoli.
a) Definisi
Kelebihan atau defisit pada oksigen dan atau eliminasi karbon
dioksida pada membran alveolar-kapiler
b) Batasan karakteristik
1) Pernafasan abnormal
2) Warna kulit abnormal
3) Penurunan karbon dioksida
4) Dipsneu
5) Sakit kepala saat bangun
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual
atau muntah.
a) Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
b) Batasan karakteristik
1) Nyeri abdomen
2) Berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal
3) Diare
4) Bising usus hiperaktif
5) Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak

19
adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
a) Definisi
Mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik
b) Batasan karakteristik
1) Penyakit kronis
2) Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemanjanan
patogen
3) Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat
4) Ketidak adekuatan pertahan sekunder
5) Vaksinasi tidak adekuat
Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
a) Definisi
Ketidak cukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan
atau menyelesaikan aktifitas kehidupan sehari-hari yang harus atau
tidak dilakukan
b) Batasan karakteristik
1) Respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas
2) Respon frekuensi jantung abnornal terhadap aktivitas
3) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas
4) Dipneu setelah beraktivitas
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
a) Definisi
Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal
b) Batasan karateristik
1) Perubahan pola tidur normal
2) Ketidakpuasan tidur
3) Penurunan kemampuan berfungsi
4) Menyatakan sering terjaga

20
C. Intervensi keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas
bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku
untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan
mengeluarkan sekret.
a) Intervensi
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi,
krekels, ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau
ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara,
gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala
tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk
pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan
upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi
jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara
sebagai pengganti makanan.

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen


(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara),
kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan

21
dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program
pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
a) Intervensi
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot
aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi
yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau
nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau
bunyi tambahan.
6) Palpasi fremitus.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya
perubahan.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan
kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau
istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan
aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual
atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan
pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang
tepat.
a) Intervensi
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat
kesulitan makanan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi bunyi usus.

22
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah
khusus untuk sekali pakai dan tisu.
4) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah
makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
7) Timbang berat badan sesuai indikasi.

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya


pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak
adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu
dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk
mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan
teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
a) Intervensi
1) Awasi suhu.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi
sering, dan masukan cairan adekuat.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
Tekankan cuci tangan yang benar (perawat dan pasien) dan
penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu,
wadah sputum.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.

Engram (2000) menambahkan intervensi keperawatan pada pasien dengan


Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :

23
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan
kriteria hasil menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam
melaksanakan aktivitas.
a) Intervensi
1) Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas.
2) Lakukan penghematan energi dalam melaksanakan prosedur
berikut :
3) Berikan bantuan dalam melaksanakan AKS sesuai dengan yang
diperlukan.
4) Sediakan interval waktu diantara kegiatan untuk memungkinkan
istirahat diantara kegiatan.
5) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan peningkatan
hasil gas darah arteri dan dapat diantisipasinya tanda dan gejala
dari penekanan pernafasan.
6) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanan
yang mudah dikunyah.

b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
kebutuhan tidur terpenuhi dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat
istirahat.
a) Intervensi
1) Jika ada pengobatan untuk paru-paru aturlah pemberian obat
tersebut untuk diberikan sebelum waktu tidur. Berikan obat
anntitusif yang diprogramkan.
2) Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara
jika diperlukan. Anjurkan penggunaan oksigen selama tidur jika
diperlukan.
3) Pertahankan ruangan bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk
bunga dan pengharum ruangan.
4) Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat
atau mandi biasa.

24
5) Bantu pasien untuk mnedapatkan posisi yang nyaman, biasanya
dengan meninggikan bagian kepala tempat tidur sekitar 30 derajat.

25
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Kesimpulan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) atau PPOK merupakan
suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya.Diagnosa atau gangguan yang dialami.
Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak napas
khsususnya saat beraktivitas.ATS telah membagi skala sesak napas dari tingkat 0,
satu, dua, tiga dan empat, yang menuju ke tingkat keparahan. Sedangkan klasifikasi
PPOK terdiri dari ringan sedang dan berat yang diukur berdasarkan pemeriksaan
spirometri yang menghasilkan nilai VEP1 dibagi dengan KVP yaitu besarnya ratio
udara yang mampu dihisap dan dikeluarkan oleh paru-paru manusia. Faktor risiko
utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor, outdoor dan polutan di tempat
kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu genetik, gender, usia, konsumsi
alkohol dan kurang aktivitas fisik. Berdasarkan tingkat ekonomi ternyata PPOK
menduduki peringkat lima dari 10 PTM utama, sedangkan pada negara berkembang
menduduki peringkat enam berasarkan data morbiditas. WHO menyebutkan PPOK
merupakan penyebab kematian keempat didunia. Diperkirakan menyebabkan
kematian pada 2,75 juta orang atau setara dengan 4,8%.

26
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2.
Jakarta, EGC.
Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta:
EGC
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi Price,
Sylvia. 2003. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and
Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC.
Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.
Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa:
Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001
Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates ,
2000
Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1.
Jakarta , EGC, 2002

27

Anda mungkin juga menyukai