Anda di halaman 1dari 12

2.

1 Endometriosis
Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam
uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau kedua-
duanya dengan atau tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip
dengan endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, tetapi
dapat menyebar ke organ-organ dan susunan lainnya.1
Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium
yang masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri maupun di
miometrium (otot rahim).4 Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di
dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan
jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut
endometriosis eksterna atau endometriosis sejati.1-3 Pembagian ini sekarang sudah
tidak dianut lagi karena baik secara patologik, klinik ataupun etiologik
adenomiosis dan endometriosis berbeda.2

2.2 Lokasi Endometrosis


Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat
sebagai berikut :
1) Ovarium;
2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding
belakang uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum
rotundum, dan sigmoid.
3) Septum rektovaginal;
4) Kanalis inguinalis;
5) Apendiks;
6) Umbilikus;
7) Serviks uteri, vagina,
kandung kencing,
vulva, perineum;
8) Parut laparotomi;

1
9) Kelenjar limfe; dan
10) Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan,
paha, pleura, dan perikardium.

2.3 Patogenesis
Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab
terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan
kejadian endometriosis, antara lain :
2.3.1 Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)
Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi)
melalui tuba ke dalam rongga pelvis.1,2 Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid
ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini
kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.2 Teori ini paling banyak
penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di
luar pelvis.
2.3.2 Teori metaplasia (Rober Meyer)
Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal
dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini
akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan
endometrium.2 Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium,
endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama.1 Teori Robert
Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka
kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah
atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.2
2.3.3 Teori penyebaran secara limfogen (Halban)
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui
saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai
tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan
endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita
endometriosis.7
2.3.4 Teori imunologik

2
Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit
autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan,
bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan
menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa
danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka
bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati
penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada
monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.1

2.4 Patologi
Lokasi yang sering terdapat endometriosis ialah pada ovarium, dan
biasanya di dapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru
kecil sampai kista besar berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat
atau endometrioma). Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada
dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium
dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat
mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan
dinding kista, dan menyebabkan acute abdomen. Tuba pada endometriosis
biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, kavum
Douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau
beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada
permukaan sigmoid atau rektum seringkali ditemukan benjolan yang berwarna
kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari
jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar
kavum Douglasi.2

2.5 Gambaran Mikroskopik


Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi
endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, serta perdarahan
bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi
hemosiderin. Disekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi
dari jaringan endometriosis.2

3
2.6 Gambaran Klinis
Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni
sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus
meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala
endometriosis akan menghilang.1 Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada
penyakit endomeriosis berupa :
1) Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering
dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya
darah haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda.1 penyebab
dari dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan
adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada
waktu sebelum dan semasa haid.2
2) Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea,
keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.2
3) Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan
adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.2
4) Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung
kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi.2
5) Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila
kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium
terganggu.2
6) Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit
dimengerti.7 Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada
endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan
perlekatan jaringan disekitarnya.2
Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-
rekto-abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat
sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum Douglasi, dan pada ligamentum
sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mula-mula
dapat diraba sebagai tumor kecil, akan tetapi dapat membesar sampai sebesar
tinju.2

4
2.7 Klasifikasi Endometriosis
2.7.1 Klasifikasi endometriosis menurut Acosta (1973)3
1) Ringan
− Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau
posterior kavum Douglasi atau permukaan ovarium atau
peritoneum pelvis.
2) Sedang
− Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan
retraksi atau endometrioma kecil.
− Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami
endometriosis.
− Endometriosis pada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan
parut dan retraksi atau perlekatan, tanpa implantasi di kolon
sigmoid.
3) Berat
− Endometriosis pada satu atau dua ovarium, ukuran lebih dari 2 x 2
cm2.
− Perlekatan satu atau dua ovarium atau tuba atau kavum Douglasi
karena endometriosis.
− Implantasi atau perlekatan usus dan/ atau traktus urinarius yang
nyata.

2.7.2 Klasifikasi endometriosis menurut Revisi American Fertility Society


(1985)7

5
2.8 Diagnosis
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan
pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan
sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan
laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila
ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk
tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing.2
Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni 4:
1) Dismenorea : dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan
antara lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis.

6
2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable
bowel syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya.
3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba.

7
BAB III
PENGOBATAN ENDOMETRIOSIS

3.1 Pencegahan
Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis.
Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan
sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama,
dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang
diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya
merupaka profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari
terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan
pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat
menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.2

3.2 Terapi Medis


Standar terapi medis pada pasien endometriosis meliputi : analgesik
(NSAID atau acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik (danazol
[Danocrine]), agen progestogen (medroksiprogesteron asetat [Provera]),
hormon pelepas-gonadotropin (GnRH) misalnya leuprolid [Lupron], goserelin
[Zoladex], triptorelin [Trelstar Depot], nafarelin [Synarel]), and
antiprogestogen (gestrinone).4

8
Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan
fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang normal,
dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Data
laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis mengandung reseptor
estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen merangsang pertumbuhan
jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang progesteron masih
diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang mengandung efek androgenik
tampaknya menghambat pertumbuhan
endometriosis.2
Dari dasar tersebut, prinsip pertama
pengobatan hormonal endometriosis adalah
menciptakan lingkungan hormon rendah
estrogen dan asiklik, sehingga diharapkan
kadar estrogen yang rendah menyebabkan
atrofi jaringan endometriosis dan keadaan
yang asiklik mencegah terjadinya haid yang
berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan
endometrium yang normal maupun jaringan
endometriosis. Kemudian prinsip kedua
adalah menciptakan lingkungan hormon

9
tinggi androgen atau tinggi progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi
jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi
progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena
gangguan pada pertumbuhan folikel.2

3.3 Terapi Pembedahan


Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan
kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak
fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi
sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan.6
Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah
konservatif yakni mengangkat saranng-sarang endometriosis dengan
mempertahankan fungsi reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan
ovarium yang masih sehat, dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan.1,2
pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni
laparotomi atau laparoskopi operatif.2 Pembedahan konservatif pada pasien usia
duapuluhan akhir dan awal empatpuluhan terutama bila fertilitas di masa depan
dikehendaki, maka endometriosis yang cukup luas diterapi dengan 1) reseksi
endometriomata; 2) melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi
presakral (untuk mengurangi dismenorea); 3) suspensi uterus (melepaskan fiksasi
retroversi fundus uteri dari kavum Douglasi akibat perlekatan endometriotik); 4)
menghilangkan apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis
terdapat pada serosa apendiks.2,7
Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita
endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal
histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan sarang-sarang
endometriosis yang ditemukan.2,7,8
Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat
terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini
mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah
pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama

10
beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista
per-laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi
cara ini masih belum banyak dilakukan dan masih diperdebatkan.1

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam


: Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi
Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia
(KSERI), Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23.
2. Prabowo, Raden P. Endometriosis. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin
AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Edisi Ke-2, Jakarta 2005; 314-27.
3. Manuaba, Ida Bagus G. Endometriosis. Dalam : Manuaba, editor. Kapita
Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2001; 526-32.
4. Mounsey A, Wilgus A, Slawson DC. Diagnosis and Management of
Endometriosis. Dalam : American Academy of Family Physician 2006,
Vol. 74, No. 4; 594-602.
5. Bulun SE. Mechanisms of Disease Endometriosis. Dalam : The New
England Journal of Medicine 2009, Vol. 360, No. 3; 268-79.
6. Olive DL, Pritts EA. Treatment Endometriosis. Dalam : Wood AJ,
editor. The New England Journal of Medicine 2001, Vol. 345, No. 4; 266-
75.
7. Moore JG. Endometriosis dan Adenomiosis. Dalam : Christina Y, editor.
Esensial Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Hipokrates, Edisi Ke-2,
Jakarta 2001; 401-9.
8. Taber B. Endometriosis. Dalam : Melfiawati, editor. Kapita Selekta
Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1994;
200-5.

Anda mungkin juga menyukai