Anda di halaman 1dari 441

SNI 03-2835-2002

Standar Nasional Indonesia

Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan tanah

ICS 91.010.20 Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-2335-2002

Prakata

Untuk menentukan biaya bangunan / building cost rancangan pekerjaan konstruksi dari
suatu gedung dan perumahan, diperlukan suatu acuan dasar. Acuan tersebut adalah analisa
biaya konstruksi yang disusun melalui kegiatan penelitian produktifitas pekerja dilapangan.

Khususnya analisa biaya konstruksi seperti yang termuat dalam buku ini merupakan hasil
penelitian yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman pada tahun
1988 hingga tahun 1991. Sebagian besar telah dijadikan standar bernomor SNI. Agar lebih
luas cakupannya maka pada tahun 2001 dilakukan penyusunan dan penyempurnaan
terhadap SNI tersebut.

Diharapkan analisa ini dapat menunjang usaha pemerintah baik pusat maupun daerah
dalam meng-efisiensikan dana pembangunan yang dialokasikan.

Bandung, November 2001

Panitia Teknis Standarisasi


Bidang Konstruksi Bangunan

i
SNI 03-2835-2002

Daftar isi

Daftar isi....................................................................................................................... ii
Pendahuluan............................................................................................................... iii
1 Ruang lingkup ........................................................................................................1
2 Acuan normatif.......................................................................................................1
3 Persyaratan ...........................................................................................................1
4 Istilah dan definisi ..................................................................................................2
5 Contoh pengisian ...................................................................................................3
6 Analisa biaya konstruksi pekerjaan tanah..............................................................3

ii
SNI 03-2835-2002

Pendahuluan

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan pembangunan gedung dan


perumahan, diperlukan suatu sarana dasar perhitungan harga satuan yaitu Analisa Biaya
Konstruksi disingkat ABK. Analisa biaya konstruksi yang selama ini dikenal yaitu analisa
BOW (Burgeslijke Openbare Werken) 28 Pebruari 1921, No. 5372 A, perlu diadakan
perbaikan atau revisi. Ditinjau dari perkembangan industri konstruksi saat ini, analisa
tersebut belum memuat pengerjaan beberapa jenis bahan bangunan yang ditemukan
dipasaran bahan bangunan dan konstruksi dewasa ini. Untuk ini Pusat Penelitian dan
Pengembangan permukiman pada tahun 1987 sampai tahun 1991 melakukan penelitian
untuk mengembangkan analisa tersebut diatas.

Pendekatan penelitian yang dilakukan yaitu melalui pengumpulan data sekunder berupa
analisa biaya yang dipakai oleh beberapa kontraktor dalam menghitung harga satuan
pekerjaan. Disamping itu dilakukan pula pengumpulan data primer, melalui penelitian
lapangan pada proyek-proyek pembangunan perumahan. Data primer yang diperoleh
dipakai sebagai pembanding / cross-check terhadap kesimpulan data sekunder yang
diperoleh. Kegiatan tersebut diatas telah menghasilkan produk analisa biaya konstruksi yang
telah dikukuhkan sebagai Standar Nasional Indonesia / SNI pada tahun 1991 – 1992, namun
hanya untuk perumahan sederhana.

Agar lebih memperluas sasaran analisa biaya konstruksi ini, maka SNI tersebut diatas pada
tahun 2001 dikaji kembali untuk disempurnakan dengan sasaran lebih luas yaitu bangunan
gedung dan perumahan, sehingga judul analisa ini sebagai Analisa Biaya Konstruksi
Bangunan Gedung dan Perumahan.

Bandung, November 2001

iii
SNI 03-2835-2002

Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan tanah

1 Ruang lingkup

Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan disusun sebagai acuan dasar yang seragam
para pelaksana pembangunan gedung dan perumahan dalam menghitung besarnya harga
satuan berbagai pekerjaan untuk bangunan gedung dan perumahan. Jenis pekerjaan yang
dicakup meliputi :
1. Pekerjaan galian tanah biasa dan tanah keras dalam berbagai kedalaman
2. Pekerjaan Stripping / Pembuangan Humus
3. Pekerjaan Pembuangan Tanah
4. Pekerjaan Urugan kembali, urugan pasir, pemadatan tanah, perbaikan tanah sulit dan
urugan sirtu.
5. Pekerjaan Pembuatan jalan sementara
Pelaksana pembangunan gedung dan perumahan yang dimaksudkan adalah pihak-pihak
yang terkait dalam pembangunan Gedung dan Perumahan yaiutu para perencana,
konsultan, kontraktor maupun perseorangan dalarn memperkirakan biaya bangunan
Tata cara perhitungan ini, memuat indeks bahan bangunan dan indeks tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi tehnis pekerjaan yang
bersangkutan.

2 Acuan normatif

Tata cara ini disusun merujuk kepada hasil pengkajian dari beberapa analisa pekerjaan yang
telah diaplikasikan oleh beberapa kontraktor dengan pembanding adalah analisa BOW 1921
dan penelitian analisa biaya konstruksi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman pada tahun 1988 sampai dengan 1993.
Tata cara ini merujuk pula kepada beberapa SNI Analisa Biaya Konstruksi antara lain :
SNI 03-2835-1992 / SK.SNI T-01-1991-03, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan
persiapan dan pekerjaan tanah untuk bangunan sederhana
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman tahun 1988 - 1991, Hasil Penelitian
Analisa Biaya Konstruksi

3 Persyaratan

3.1 Persyaratan umum

Persyaratan umum dalam perhitungan harga satuan sebagai berikut :


a. Perhitungan harga satuan pekerjaan berlaku untuk seluruh Indonesia, berdasarkan
harga bahan dan upah kerja sesuai dengan kondisi setempat,

1 dari 7
SNI 03-2835-2002

b. Spesifikasi dan cara pengerjaan setiap jenis pekerjaan disesuaikan dengan standar
spesifikasi teknis pekerjaan yang telah dibakukan.

3.2 Non teknis

Persyaratan non teknis dalam perhitungan harga satuan pekerjaan sebagai berikut :
a Pelaksanaan perhitungan satuan pekerjaan harus didasarkan kepada gambar dan
rencana kerja dan syarat-syarat (RKS) ;
b Perhitungan indeks bahan telah ditambahkan toleransi sebessar 15%-20% dimana
didalamnya termasuk angka susut, yang besarnya termasuk biaya langsung dan tidak
langsung;
c Jam kerja efektif untuk para pekerja diperhitungkan 5 jam per-hari

4 Istilah dan definisi

4.1
analisa biaya konstruksi
Suatu cara perhitungan harga satuan pekerjaan konstruksi, yang dijabarkan dalam
pekerjaan bahan bangunan dan upah kerja dengan harga bahan bangunan dan standar
pengupahan pekerja, untuk menyelesaikan persatuan pekerjaan konstruksi

4.2
harga satuan pekerjaan
harga yang harus dibayar untuk menyelesaikan satu jenis pekerjaan konstruksi

4.3
harga satuan bahan
harga yang harus dibayar untuk membeli persatuan jenis bahan bangunan

4.4
satuan pekerjaan
Satuan jenis kegiatan konstruksi bangunan yang dinyatakan dalam satuan panjang, luas,
volume dan unit

4.5
Indeks
faktor pengali / koefisien sebagai dasar perhitungan biaya bahan dan upah kerja

4.6
Indeks bahan
indeks kuantum yang menunjukan kebutuhan bahan bangunan untuk setiap satuan jenis
pekerjaan

2 dari 7
SNI 03-2835-2002

4.7
indeks tenaga kerja
indeks kuantum yang menunjukan kebutuhan waktu untuk mengerjakan setiap satuan jenis
pekerjaan

4.8
bangunan gedung dan perumahan
bangunan yang berfungsi untuk menampung kegiatan kehidupan bermasyarakat.

5 Contoh pengisian

5.1 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 5 Ps.

5.1.1 Bahan
- Batu belah 15/20 1,100 M3 x Rp.40.000,- = Rp. 44.000,-
- Semen portland 136,000 Kg x Rp. 400,- = Rp. 54.400,-
- Pasir pasang 0,544 M3 x Rp.45.000,- = Rp. 24.480,-
Jumlah (1) = Rp. 122.880,-

5.1.2 Tenaga
- Pekerja 1,500 HO x Rp.15.000.- = Rp. 22.500,-
- Tukang batu 0,600 HO x Rp.20.000,- = Rp. 12.000,-
- Kepala tukang 0,060 HO x Rp.25.000.- = Rp. 1.500,-
- Mandor 0,075 HO x Rp.30.000:- = Rp. 2.250,-
Jumlah (2) = Rp. 38.250,-
Jumlah (1) + (2) = Rp. 161.130,-

6 Analisa biaya konstruksi pekerjaan tanah

6.1 1 m3 Galian tanah biasa sedalam 1 meter.

6.1.1 Tenaga
- Pembantu tukang 0,400 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,040 Oh

6.2 1 m3 Galian tanah biasa sedalam 2 meter.

6.2.1 Tenaga
- Pembantu 0,526 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
3 dari 7
SNI 03-2835-2002

- Mandor 0,052 Oh

6.3 1 m3 Galian tanah biasa sedalam 3 meter.

6.3.1 Tenaga
- Pembantu tukang 0,735 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,073 Oh

6.4 1 m2 Galian tanah keras sedalam 1 meter.

6.4.1 Tenaga
- Pembantu 0,625 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,062 Oh

6.5 1 m3 Galian tanah cadas sedalam 1 meter.

6.5.1 Tenaga
- Pembantu tukang 1,250 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0, 125 Oh

6.6 1 m3 Galian tanah lumpur sedalam 1 meter.

6.6.1 Tenaga
- Pembantu tukang 0,823 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,083 Oh

6.7 1 m2 Pekerjaan stripping setinggi 1 meter.

6.7.1 Tenaga
- Pembantu tukang 0,050 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,005 Oh

6.8 1 m3 Pembuangan tanah sejauh 150 meter.

4 dari 7
SNI 03-2835-2002

6.8.1 Tenaga
- Pembantu tukang 0,516 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,050 Oh

6.9 1 m3 Urugan kembali.

6.9.1 Tenaga
- Pembantu tukang 0,192 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,019 Oh

6.10 1 m3 Pemadatan Tanah.

6.10.1 Tenaga
- Pembantu tukang 0,500 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,050 Oh

6.11 1 m3 Urugan pasir.

6.11.1 Bahan
- Pasir urug 1,200 M3

6.11.2 Tenaga
- Pembantu tukang 0,300 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,010 Oh

6.12 1 m3 Lapisan pudel campuran 1 Kp : 3Ps : 7 TL

6.12.1 Bahan
- Pasir urug 0,330 M3
- Kapur padam 0,109 M3
- Tanah liat 0,763 M3

6.12.2 Tenaga
- Pembantu tukang 0,833 Oh
- Tukang batu 0.416 Oh
- Kepala tukang 0,040 Oh
5 dari 7
SNI 03-2835-2002

- Mandor 0,083 Oh

6.13 1 m3 Lapisan pudel campuran 1 Kp: 5 TL.

6.13.1 Bahan
- Kapurpadam 0,200 M3
- Tanah liat 1,000 M3

6.13.2 Tenaga
- Pembantu tukang 0,833 Oh
- Tukang batu 0,416 Oh
- Kepala tukang 0,041 Oh
- Mandor 0,081 Oh

6.14 1 m3 Lapisan pudel campuran 1 Kp: 5 Ps

6.14.1 Bahan
- Kapur padam 0,200 M3
- Tanah liat 1,000 M3

6.14.2 Tenaga
- Pembantu tukang 0,833 Oh
- Tukang batu 0,416 Oh
- Kepala tukang 0,041 Oh
- Mandor 0,081 Oh

6.15 1 m2 Pemasangan lapisan ijuk.

6.15.1 Bahan
- Ijuk 1,200 M3

6.15.2 Tenaga
- Pembantu tukang 0, 150 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,015 Oh

6.16 1 m2 Urugan sirtu.

6.16.1 Bahan
- Sirtu 1,200 m3

6.16.2 Tenaga
- Pembantu tukang 0,250 Oh
- Tukang gali -
6 dari 7
SNI 03-2835-2002

- Kepala Tukang -
- Mandor 0,025 Oh

6.17 1 m2 pembuatan jalan sementara, tebal 25 cm.

6.17.1 Bahan
- Batu belah 0,250 m3
- Kerikil 0,030 m3
- Pasir 0,050 m3

6.17.2 Tenaga
- Pembantu tukang 1,00 Oh
- Tukang gali -
- Kepala Tukang -
- Mandor 0,10 Oh

7 dari 7
SNI 03-2836-2002

Standar Nasional Indonesia

Tata cara perhitungan harga satuan


pekerjaan pondasi

ICS 91.010.20 Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-2836-2002

Prakata

Untuk menentukan biaya bangunan / building cost rancangan pekerjaan konstruksi dari
suatu gedung dan perumahan, diperlukan suatu acuan dasar. Acuan tersebut adalah analisa
biaya konstruksi yang disusun melalui kegiatan penelitian produktifitas pekerja dilapangan.

Khususnya analisa biaya konstruksi seperti yang termuat dalam buku ini merupakan hasil
penelitian yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman pada tahun
1988 hingga tahun 1991. Sebagian besar telah dijadikan standar bernomor SNI. Agar lebih
luas cakupannya maka pada tahun 2001 dilakukan penyusunan dan penyempurnaan
terhadap SNI tersebut.

Diharapkan analisa ini dapat menunjang usaha pemerintah baik pusat maupun daerah
dalam meng-efisiensikan dana pembangunan yang dialokasikan.

Bandung, November 2001

Panitia Teknis Standarisasi


Bidang Konstruksi Bangunan

i
SNI 03-2836-2002

Daftar isi

Daftar isi.......................................................................................................................ii
Pendahuluan............................................................................................................... iii
1 Ruang lingkup ....................................................................................................... 1
2 Acuan normatif...................................................................................................... 1
3 Persyaratan .......................................................................................................... 1
4 Istilah dan definisi ................................................................................................. 2
5 Contoh pengisian .................................................................................................. 3
6 Analisa biaya konstruksi pekerjaan pondasi batu kali ........................................... 3

ii
SNI 03-2836-2002

Pendahuluan

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan pembangunan gedung dan


perumahan, diperlukan suatu sarana dasar perhitungan harga satuan yaitu Analisa Biaya
Konstruksi disingkat ABK. Analisa biaya konstruksi yang selama ini dikenal yaitu analisa
BOW (Burgeslijke Openbare Werken) 28 Pebruari 1921, No. 5372 A, perlu diadakan
perbaikan atau revisi. Ditinjau dari perkembangan industri konstruksi saat ini, analisa
tersebut belum memuat pengerjaan beberapa jenis bahan bangunan yang ditemukan
dipasaran bahan bangunan dan konstruksi dewasa ini. Untuk ini Pusat Penelitian dan
Pengembangan permukiman pada tahun 1987 sampai tahun 1991 melakukan penelitian
untuk mengembangkan analisa tersebut diatas.

Pendekatan penelitian yang dilakukan yaitu melalui pengumpulan data sekunder berupa
analisa biaya yang dipakai oleh beberapa kontraktor dalam menghitung harga satuan
pekerjaan. Disamping itu dilakukan pula pengumpulan data primer, melalui penelitian
lapangan pada proyek-proyek pembangunan perumahan. Data primer yang diperoleh
dipakai sebagai pembanding / cross-check terhadap kesimpulan data sekunder yang
diperoleh. Kegiatan tersebut diatas telah menghasilkan produk analisa biaya konstruksi yang
telah dikukuhkan sebagai Standar Nasional Indonesia / SNI pada tahun 1991 – 1992, namun
hanya untuk perumahan sederhana.

Agar lebih memperluas sasaran analisa biaya konstruksi ini, maka SNI tersebut diatas pada
tahun 2001 dikaji kembali untuk disempurnakan dengan sasaran lebih luas yaitu bangunan
gedung dan perumahan, sehingga judul analisa ini sebagai Analisa Biaya Konstruksi
Bangunan Gedung dan Perumahan.

Bandung, November 2001

iii
SNI 03-2836-2002

Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan pondasi

1 Ruang lingkup

Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan disusun sebagai acuan dasar yang seragam
bagi para pelaksana pembangunan gedung dan perumahan dalam menghitung besarnya
harga satuan berbagai pekerjaan untuk bangunan Gedung dan Perumahan. Jenis pekerjaan
yang dicakup meliputi :
1. Pekerjaan pembuatan pondasi batu kali, dalam berbagai komposisi spesi
2. Pemasangan anstamping 1 batu kosong
3. Pembuatan pondasi sumuran
4. Pembuatan tiang pancang
Pelaksana pembangunan gedung dan perumahan yang dimaksudkan adalah pihak-pihak
yang terkait dalam pembanounan gedung dan perumahan yaitu para perencana, konsultan,
kontraktor maupun perseorangan dalam memperkirakan biaya bangunan.
Tata cara perhitungan ini, memuat indeks bahan bangunan dan indeks tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis pekerjaan yang
bersangkutan.

2 Acuan normatif

Tata cara ini disusun merujuk kepada hasil pengkajian dari beberapa analisa pekerjaan yang
telah diaplikasikan oleh beberapa kontraktor dengan pembanding adalah analisa BOW 1921
dan penelitian analisa biaya konstruksi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman pada tahun 1988 sampai dengan 1993.
Tata cara ini merujuk pula kepada beberapa SNI-analisa biaya konstruksi antara lain :
Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan pondasi batu belah untuk bangunan
sederhana (SNI 03-2836-1992 / SKSNI T-01-1991-03)
Spesifikasi bahan bagunan bagian C (bahan bagunan dari logam bukan besi) SK
SNI-06-1989-F)
Hasil Penelitian Analisa Biaya Konstruksi - Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman tahun 1988-1991.

3 Persyaratan

3.1 Persyaratan umurn

Persyaratan umum dalam perhitungan harga satuan sebagai berikut:


a) Perhitungan harga satuan pekerjaari bertaku untuk seluruh Indonesia, berdasarkan harga
bahan dan upah kerja sesuai dengan kondisi setempat;

1 dari 8
SNI 03-2836-2002

b) Spesifikasi dan cara pengerjaan setiap jenis pekerjaan disesuaikan dengan standar
spesifikasi teknis pekerjaan yang telah dibakukan.

3.2 Non teknis

Persyaratan non teknis dalam perhitungan harga satuan pekerjaan sebagai berikut:
a) Pelaksanaan perhitungan satuan pekerjaan harus didasarkan kepada gambar teknis dan
rencana kerja dan syarat-syarat (RKS)
b) Perhitungan indeks bahan telah ditambahkan toleransi sebesar 15%-20%, dimana
didalamnya termasuk angka susut yang besamya tergantung dari jenis bahan dan
komposisi adukan, termasuk biaya langsung dan tidak langsung;
c) Jam kerja efektif untuk para pekerja diperhitungkan 5 jam per-hari.

4 Istilah dan definisi

4.1
Analisa biaya konstruksi
Suatu cara perhitungan harga satuan pekerjaan konstruksi, yang dijabarkan dalam perkalian
indeks bahan bangunan dan upah keria dengan harga bahan bangunan dan standar
pengupahan pekerja, untuk menyelesaikan per-satuan pekerjaan konstruksi

4.2
Harga satuan pekerjaan
harga yang harus dibayar untuk menyelesaikan satu jenis pekerjaan/konstruksi

4.3
Harga satuan bahan
harga yang harus dibayar untuk membeli per-satuan jenis bahan bangunan

4.4
Satuan pekerjaan
satuan jenis kegiatan konstruksi bangunan yang dinyatakan dalam satuan panjang, luas,
volume dan unit

4.5
Indeks
faktor pengali/koefisien sebagai dasar perhitungan tiap bahan dan upah kerja.

4.6
Indeks bahan
indeks kuantum yang menunjukan kebutuhan bahan bangunan untuk setiap satuan jenis
pekerjaan

2 dari 8
SNI 03-2836-2002

4.7
Indeks tenaga kerja
indeks kuantum yang menunjukan kebutuhan waktu untuk mengerjakan setiap satuan jenis
pekerjaan

4.8
Bangunan gedung dan perumahan
bangunan yang berfungsi untuk menampung kegiatan kehidupan bermasyarakat

5 Contoh pengisian

5.1 1 m3 Pasang Pondasi Batu Kali, 1 Pc : 5 Ps.

5.1.1 Bahan
- Batu belah 15/20 1.100 m3 X Rp. 40.000,- = Rp. 44.000,-
- Semen Portland 136.000 Kg X Rp. 400,- = Rp. 54.400,-
- Pasir Pasang 0.544 m3 X Rp. 45.000,- = Rp. 24.480,-
Jumlah (1) = Rp. 122.880,-

5.1.2 Tenaga
- Pekerja 1,500 HO X Rp. 15.000,- = Rp. 22.500,-
- Tukang batu 0,600 HO X Rp. 20.000,- = Rp. 12.000,-
- Kepala tukang 0,060 HO X Rp. 25.000,- = Rp. 1.500,-
- Mandor 0,075 HO X Rp. 30.000,- = Rp. 38.500,-
Jumlah (1) + (2) = Rp. 161.130,-

6 Analisa biaya konstruksi pekerjaan pondasi batu kali

6.1 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 1 Ps

6.1.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,200 m3
- Semen portland 392.000 Kg
- Pasir pasang 0,314 m3

6.1.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.2 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 2 Ps.

6.2.1 Bahan
3 dari 8
SNI 03-2836-2002

- Batu belah 15/20 cm 1.100 m3


- Semen Portland 267.000 Kg
- Pasir pasang 0,427 m3

6.2.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.3 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 2,5 Ps.

6.3.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,130 m3
- Semen portland 392 000 Kg
- Pasir pasang 0,314 m3

6.3.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.4 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 3 Ps

6.4.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Semen portland 202.000 Kg
- Pasir pasang 0,485 m3

6.4.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.5 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 4 Ps.

6.5.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1, 100 m3
- Semen portland 163.000 Kg
- Pasir pasang 0,520 m3

6.5.2 Tenaga
- Pekerja 1.500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075
4 dari 8
SNI 03-2836-2002

6.6 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 5 Ps.

6.6.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Semen portland 136,000 Kg
- Pasir pasang 0,544 m3

6.6.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.7 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 6 Ps.

6.7.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Semen portland 117,000 Kg
- Pasir pasang 0,561 m3

6.7.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.8 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 8 Ps.

6.8.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Semen Portland 91,000 Kg
- Pasir pasang 0,561 m3

6.8.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.9 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Kp : 1 Sm : 1 PS.

6.9.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Kapur pasang 0,229 Kg
- Semen merah 0,229 m3
- Pasir pasang 0,544 m3

6.9.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

5 dari 8
SNI 03-2836-2002

6.10 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Kp: 1 SM : 2 Ps.

6.10.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,1C0 m3
- Kapurpasang 0,170 Kg
- Semen merah 0,170 m3
- Pasir pasang 0,340 m3

6.10.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.11 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : ¼ Kp : 4 Ps.

6.11.1 Bahan
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Semen portland 156 000 Kg
- Kapur pasang 0,032 m3
- Pasir pasang 0,584 m3

6.11.2 Tenaga
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.12 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 3 Kp : 10 Ps.

6.12.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Semen portland 61,000 Kg
- Kapurpasang 0,147 m3
- Pasir pasang 0,492 m3

6.12.2 T e n a g a
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
- Mandor 0,075

6.13 1 m3 Pasang pondasi batu kali, ¼ Pc : 1 Kp : 4 Ps.

6.13.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,100 m3
- Semen portland 41,000 Kg
- Kapurpasang 0,131 m3
- Pasir pasang 0,523 m3

6.13.2 T e n a g a
- Pekerja 1,500
- Tukang batu 0,600
- Kepala tukang 0,060
6 dari 8
SNI 03-2836-2002

- Mandor 0,075

6.14 1 m3 Pasang pondasi batu kosong

6.14.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 1,200 m3
- Pasir urug 0,300 m3

6.14.2 Tenaga
- Pekerja 0,780
- Tukang batu 0,390
- Kepala tukang 0.039
- Mandor 0,039

6.15 1 m3 Pasang pondasi siklop, 40% batu kali.

6.15.1 B a h a n
- Besi Beton 75,000 Kg
- Semen Abu-abu 202,00 Kg
- Pasir Beton 0,320 m3
- Koral Beton 0,490 m3
- Kawat Beton 0,800 Kg

6.15.2 T e n a g a
- Pekerja 3,000
- Tukang batu 0,850
- Kepala tukang 0.085
- Mandor 0,150

6.16 1 m3 Pasang pondasi sumuran, diameter 100 Cm.

6.16.1 B a h a n
- Batu belah 15/20 cm 0,450 m3
- Semen Abu-abu 280,00 Kg
- Pasir Beton 0,450 m3
- Koral Beton 0,670 m3

6.16.2 T e n a g a
- Pekerja 2,380
- Tukang batu 0,300
- Kepala tukang 0,030
- Mandor 0,080

6.17 1 m3 Pembuatan tiang pancang 40 cm X 40 cm beton bertulang

6.17.1 B a h a n
- Pasir urug darat 0,019 m3
- Pasir Beton 0,094 m3
- Koral beton 0,150 m3
- Semen Abu-abu 60,50 Kg
- Besi beton 45,00 Kg
- Kawat beton 0,900 Kg
- Kayu Kaso 5/7 0,032 m3
- Paku 0,120 Kg
7 dari 8
SNI 03-2836-2002

- Minyak bekisting 0,090 Lt


- Plamuur Tembok 0,240 Kg

6.17.2 T e n a g a
- Pekerja 1,000
- Tukang batu 0,670
- Kepala tukang 0,067
- Mandor 0,050

6.18 1 m3 Pembuatan tiang pancang 35 Cm X 35 Cm beton bertulang

6.18.1 B a h a n
- Pasir urug darat 0,016 m3
- Pasir Beton 0,080 m3
- Koral beton 0,125 m3
- Semen Abu-abu 49,00 Kg
- Besi beton 34,50 Kg
- Kawat beton 0,700 Kg
- Kayu Kaso 5/7 0,027 m3
- Paku 0,120 Kg
- Minyak bekisting 0,090 Lt
- Plamur Tembok 0,200 Kg

6.18.2 T e n a g a
- Pekerja 0,800
- Tukang batu 0,500
- Kepala tukang 0,050
- Mandor 0,040

8 dari 8
SNI 03-6897-2002

Standar Nasional Indonesia

Tata cara perhitungan harga satuan


pekerjaan pasangan dinding

ICS 91.080.30 Badan Standardisasi Nasional


BADAN STANDARDISASI NASIONAL - BSN
Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 3-4
Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan Jakarta 10270
Telp: 021- 574 7043; Faks: 021- 5747045; e-mail : bsn@bsn.or.id
SNI 03-6897-2002

Daftar isi

Daftar isi.............................................................................................................................................i
Prakata..............................................................................................................................................ii
Pendahuluan.................................................................................................................................... iii
1 Ruang Iingkup ........................................................................................................................... 1
2 Acuan normatif .......................................................................................................................... 1
3 Persyaratan ............................................................................................................................... 2
4 Istilah dan definisi ...................................................................................................................... 2
5 Contoh pengisian ...................................................................................................................... 3
6 Analisa biaya konstruksi pekerjaan pasangan dinding............................................................. 3

i
SNI 03-6897-2002

- Tukang batu 0,150


- Kepala tukang 0,015
- Mandor 0,015

6.27 1 m2 Pasang dinding anyaman bambu, rangka kayu

6.27.1 Bahan
- Bilik Bambo 0,150
- Kayu 5/7 0,014
- Paku 0,012
- List kayu 2/4 0,003

6.27.2 Tenaga
- Pekerja 0,100
- Tukang batu 0,050
- Kepala tukang 0,005
- Mandor 0,002

12 dari 12
SNI 03-6897-2002

Prakata

Untuk menentukan biaya bangunan / building cost rancangan pekerjaan konstruksi dari
suatu gedung dan perumahan, diperlukan suatu acuan dasar. Acuan tersebut adalah
analisa biaya konstruksi yang disusun melalui kegiatan penelitian produktifitas pekerja
dilapangan.

Khususnya analisa biaya konstruksi seperti yang termuat dalam buku ini merupakan
hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman
pada tahun 1988 hingga tahun 1991. Sebagian besar telah dijadikan standar bernomor
SNI. Agar Iebih Iuas cakupannya maka pada tahun 2001 dilakukan penyusunan dan
penyempurnaan terhadap SNI tersebut.

Diharapkan analisa ini dapat menunjang usaha pemerintah baik pusat maupun daerah
dalam mengefisiensikan dana pembangunan yang dialokasikan.

Bandung, November 2001

Panitia Teknis Standardisasi


Bidang Konstruksi Bangunan

ii
SNI 03-6897-2002

- Pekerja 0,340
- Tukang batu 0,107
- Tukang besi 0,007
- Kepala tukang 0,0114
- Mandor 0,017

6.24 1 m2 Pasang dinding lantai

6.24.1 Bahan
- Bondbeam 40x20x20 cm 2,500 Buah
- Semen portland 5,100 Kg
- Pasir beton 0,080 m3
- Besi beton polos 1,500 Kg
- Koral beton 0,150 m3

6.24.2 Tenaga
- Pekerja 0,100
- Tukang batu 0,030
- Tukang besi 0,030
- Kepala tukang 0,006
- Mandor 0,005

6.25 1 m2 Pasang dinding roster/krawang 12 x 11 x 24

6.25.1 Bahan
- Roster/krawang 36,000 Buah
- Semen portland 12,800 Kg
- Pasir pasang 0,035 m3

6.25.2 Tenaga
- Pekerja 0,307
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.26 1 m2 Pasang bata berongga ukuran 5 x 11 x 24 cm

6.26.1 Bahan
- Bata barongga 80,000 Buah
- Semen Portland 23,650 Kg
- Pasir pasang 0,570 m3

6.26.2 Tenaga
- Pekerja 0,320

11 dari 12
SNI 03-6897-2002

Pendahuluan

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan pembangunan gedung dan


perumahan, diperlukan suatu sarana dasar perhitungan harga satuan yaitu Analisa
Biaya Konstruksi disingkat ABK. Analisa biaya konstruksi yang selama ini dikenal yaitu
analisa BOW (Burgeslijke Openbare Werken ) 28 Pebruari 1921, No.5372 A, perlu
diadakan perbaikan atau revisi. Ditinjau dari perkembangan industri konstruksi saat ini,
analisa tersebut belum memuat pengerjaan beberapa jenis bahan bangunan yang
ditemukan dipasaran bahan bangunan dan konstruksi dewasa ini. Untuk ini Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman pada tahun 1987 sampai tahun 1991
melakukan penelitian untuk mengembangkan analisa tersebut diatas.

Pendekatan penelitian yang dilakukan yaitu melalui pengumpulan data sekunder berupa
analisa biaya yang dipakai oleh beberapa korrtraktor dalam menghitung harga satuan
pekerjaan. Disamping itu dilakukan pula pengumpulan data primer, melelui penelitian
lapangan pada proyek-proyek pembangunan perumahan. Data primer yang diperoleh
dipakai sebagai pembanding / cross-check terhadap kesimpulan data sekunder yang
diperoleh. Kegiatan tersebut diatas telah menghasilkan produk analisa biaya konstruksi
yang telah dikukuhkan sebagai Standar Nasional Indonesia / SNI pada tahun 1991-
1992, namun hanya untuk perumahan sederhana

Agar lebih memperluas sasaran analisa biaya konstruksi ini, maka SNI tersebut diatas
pada tahun 2001 dikaji kembali untuk disempurnakan dengan sasaran lebih luas yaitu
bangunan gedung dan perumahan, sehingga judul analisa ini sebagai Analisa Biaya
Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan.

iii
SNI 03-6897-2002

- Kawat beton 0,030 Kg


- Koral beton 0,005 Kg

6.21.2 Tenaga
- Pekerja 0,370
- Tukang batu 0,157
- Tukang besi 0,007
- Kepala tukang 0,0164
- Mandor 0,0185

6.22 1 m2 Pasangan dinding conblock (CB. 15).

6.22.1 Bahan
- Concrete block (CB. 15) 12,500 Buah
- Semen portland 10,460 Kg
- Pasir baton 0,003 m3
- Pasir pasang 0,032 m3
- Besi baton polos 0,870 Kg
- Paku biasa 2" – 5 " 0,004 Kg
- Kayu terentang 0,001 Kg
- Kawat beton 0,020 Kg
- Koral beton 0,004 Kg

6.22.2 Tenaga
- Pekerja 0,340
- Tukang batu 0,130
- Tukang besi 0,007
- Kepala tukang 0,0137
- Mandor 0,017

6.23 1 m2 Pasangan dinding conblock (CB. 10).

6.23.1 Bahan
- Concrete block (CB. 10) 12,500 Buah
- Semen portland 7,200 Kg
- Pasir baton 0,002 m3
- Pasir pasang 0,021 m3
- Besi beton polos 2,540 Kg
- Paku biasa 2" – 5 " 0,003 Kg
- Kayu terentang 0,001 Kg
- Kawat baton 0,015 Kg
- Koral beton 0,003 Kg

6.23.2 Tenaga

10 dari 12
SNI 03-6897-2002

6.18.1 Tenaga
- Pekerja 0,350
- Tukang batu 0,150
- Kepala tukang 0,015
- Mandor 0,017

6.19 1m2 Pasangan dinding hollowblock (HB. 15).

6.19.1 Bahan
- Hollow block (HB. 15) 12,500 Buah
- Semen portland 10,450 Kg
- Pasir pasang 0,038 m3
- Besi beton polos 1,950 Kg

6.19.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang bate 0,120
- Kepala tukang 0,012
- Mandor 0,015

6.20 1 m2 Pasangan dinding hollowblock (HB. 10).

6.20.1 Bahan
- Hollow block (HB. 10) 12,500 Buah
- Semen portland 7,500 Kg
- Pasir pasang 0,027 m3
- Besi beton polos 1,950 Kg

6.20.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.21 1 m2 Pasangan dinding conblock (CB. 10).

6.21.1 Bahan
- Concrete block (CB. 10) 12,500 Buah
- Semen portland 14,050 Kg
- Pasir beton 0,004 m3
- Pasir pasang 0,042 m3
- Besi beton polos 3,870 Kg
- Paku biasa 2" – 5 " 0,006 Kg
- Kayu terentang 0,001 Kg

9 dari 12
SNI 03-6897-2002

Tata cara perhitungan harga satuan


Pekerjaan pasangan dinding

1 Ruang Iingkup

Tata cara perhitungan Harga Satuan Pekerjaan disusun sebagai acuan dasar yang seragam
bagi para pelaksana pembangunan gedung dan perumahan dalam menghitung besarnya
harga satuan berbagai pekerjaan untuk bangunan Gedung dan Perumahan. Jenis pekerjaan
yang dicakup meliputi :
1) Pekerjaan pasangan bata merah berbagai ketebalan dan spesi
2) Pekerjaan pasangan conblock berbagai dimensi dan spesi
3) Pekerjaan pemasangan roster atau bata berongga
4) Pekerjaan pasangan anyaman bambu untuk dinding rumah sederhana

Pelaksana pembangunan gedung dan perumahan yang dimaksudkan adalah pihak-pihak


yang terkait dalam pembangunan Gedung dan Perumahan yaitu para perencana, konsultan,
kontraktor maupun perseorangan dalam memperkirakan biaya bangunan.

Tata cara perhitungan ini, memuat indeks bahan bangunan dan indeks tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis pekerjaan yang
bersangkutan.

2 Acuan normatif

Tata cara ini disusun merujuk kepada hasil pangkajian dari beberapa analisa pekerjaan yang
telah diaplikasikan oleh beberapa kontraktor dengan pembanding adalah analisa BOW 1921
dan penelitian analisa biaya konstruksi yang dilakukan oleh Pusat PeneIitian dan
Pengembangan Permukiman pada tahun 1988 sampai dengan 1993.

Tata cara ini merujuk pula kepada beberapa SNI-Analisa Biaya Konstruksi antara lain :
SNI 03-2837-1992 / SK.SNI T-05-1991-03, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan
dinding tembok dan plesteran untuk bangunan sederhana
SNI 03-2445-1991 / SK.SNI S-05-1990-F, Spesifikasi ukuran kayu gergajian untuk bangunan
rumah dan gedung
SNI 4.3-53.1987/UDC 674.048.004.1, Spesifikasi kayu awet untuk perumahan dan gedung
SK SNI S-04-1989-F, Specifikasi bahan bangunan bagian A (bahan bangunan bukan
logam)
SK SNI S-03-1994-03, Spesifikasi peralatan pernasangan dinding beta dan plesteran
SK SNI-S-06-1989-F, Spesifikasi bahan bangunan bagian C (bahan bangunan dari logam
bukan besi)
SNI 03-1726-1989/SK SNI 1-03-53-1987, Tata cara perencan an ketahanan gempa untuk
rumah dan gedung
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman tahun 1988 – 1991, Hasil Penelitian
Analisa Biaya Konstnaksi

1 dari 12
SNI 03-6897-2002

- Kapur padam 0,015 m3

6.15.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.16 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Kp : 1 Sm : 1 Ps

6.16.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen merah 0,018 Kg
- Pasir pasang 0,018 m3
- Kapur padam 0,018 m3

6.16.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,110
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.17 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Kp : 1 Sm : 2 Ps

6.17.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen merah 0,014 Kg
- Pasir pasang 0,028 m3
- Kapur padam 0,014 m3

6.17.2 Tenaga
- Pekeria 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.18 1 m2 Pasangan dinding hollowblock (HB. 20)

6.18.1 Bahan
- Hollow block (HB. 20) 12,500 Buah
- Semen portland 13,500 Kg
- Pasir pasang 0,048 m3
- Besi beton polos 1,950 Kg

8 dari 12
SNI 03-6897-2002

3 Persyaratan

3.1 Persyaratan umum

Persyaratan umum dalam perhitungan harga satuan sebagai berikut:


a) Perhitungan harga satuan pekerjaan berlaku untuk seluruh Indonesia, berdasarkan
harga bahan dan upah kerja sesuai dengan kondisi setempat;
b) Spesifikasi dan cara pengerjaan setiap jenis pekerjaan disesuaikan dengan standar
spesifikasi teknis pekerjaan yang telah dibakukan.

3.2. Non teknis

Persyaratan non teknis dalam perhitungan harga satuan pekerjaan sebagai berikut :
a) Pelaksanaan perhitungan satuan pekerjaan harus didasarkan kepada gambar teknis
dan rencana kerja dan syarat-syarat (RKS);
b) Perhitungan indeks bahan telah ditambahkan toleransi sebesar 15%-20%, dimana
didalamnya termasuk angka susut yang besarnya tergantung dari jenis bahan dan
komposisi adukan, termasuk biaya langsung dan tidak Iangsung;
c) Jam kerja efektif untuk para pekerja diperhitungkan 5 jam per-hari.

4 Istilah dan definisi

4.1
analisa biaya konstruksi
suatu cara perhitungan harga satuan pekerjaan konstruksi, yang dijabarkan dalam perkalian
indeks bahan bangunan dan upah kerja dengan harga bahan bangunan dan standar
pengupahan pekerja, untuk menyelesaikan persatuan pekerjaan konstruksi

4.2
harga satuan pekerjaan
harga yang harus dibayar untuk menyelesaikan satu jenis pekerjaan / konstruksi

4.3
harga satuan bahan
harga yang hams dibayar untuk membeli per-satuan jenis bahan bangunan.

4.4
satuan pekerjaan
satuan jenis kegiatan konstruksi bangunan yang dinyatakan dalam satuan panjang, luas,
volume dan unit

4.5
indeks
faktor pengali / koefisien sebagai dasar perhitungan biaya bahan dan upah kerja.

4.6
indeks bahan

2 dari 12
SNI 03-6897-2002

6.12 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 PC : 5 Ps

6.12.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 9,680 Kg
- Pasir pasang 0,045 m3

6.12.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.13 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Pc : 6 Ps

6.13.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 8,320 Kg
- Pasir pasang 0,049 m3

6.13.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.14 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Pc : 8 Ps

6.14.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 6,500 Kg
- Pasir pasang 0,050 m3

6.14.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.15 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Pc : 3 Kp : 10 Ps

6.15.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 4,500 Kg
- Pasir pasang 0,050 m3

7 dari 12
SNI 03-6897-2002

indeks kuantum yang menunjukan kebutuhan bahan bangunan untuk setiap satuan jenis
pekerjaan

4.7
Indeks tenaga kerja
indeks kuantum yang menunjukan kebutuhan waktu untuk mengerjakan setiap satuan jenis
pekerjaan

4.8
bangunan gedung dan perumahan
bangunan yang berfungsi untuk menampung kegiatan kehidupan bermasyarakat.

5 Contoh pengisian

5.1 1 m3 Pasang pondasi batu kali, 1 Pc : 5 Ps.

5.1.1 Bahan
- Batu Merah 140.000 Bh x Rp. 240,- = Rp.33.600,-
- Semen portland 64,030 Kg x Rp. 400,- = Rp.25.612,-
- Pasir pasang 0,059 M x Rp.45.000,- = Rp. 2.655,-
Jumlah (I) = Rp.61.867,-

5.1.2 Tenaga
- Pekerja 0,650 HO x Rp.15.000,- = Rp. 9.750,-
- Tukang batu 0,200 HO x Rp.20.000,- = Rp. 4.000,-
- Kepala tukang 0,020 HO x Rp.25.000,- = Rp. 500,-
- Mandor 0,030 HO x Rp.30.000 - = Rp. 900,-
Jumlah (2) = Rp.15.150,-
= Rp.77.017,-

6 Analisa biaya konstruksi pekerjaan pasangan dinding

6.1 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1 bata, 1 Pc : 1 Ps

6.1.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 140,000 Buah
- Semen portland 64,030 Kg
- Pasir pasang 0,059

6.1.2 Tenaga
- Pekerja 0,650
- Tukang batu 0,200
- Kepala tukang 0,020
- Mandor 0,030

3 dari 12
SNI 03-6897-2002

- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.9 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Pc : 2 Ps

6.9.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 18,950 Kg
- Pasir pasang 0,038 m3

6.9.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.10 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Pc : 3 Ps

6.10.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 14,370 Kg
- Pasir pasang 0,004 m3

6.10.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6.11 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Pc : 4 Ps

6.11.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 11,500 Kg
- Pasir pasang 0,043 m3

6.11.2 Tenaga
- Pekerja 0,320
- Tukang batu 0,100
- Kepala tukang 0,010
- Mandor 0,015

6 dari 12
SNI 03-6897-2002

6.2 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1 bata, 1 Pc : 2 Ps.

6.2.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 140,000 Buah
- Semen portland 43,500 Kg
- Pasir pasang 0,080 m3

6.2.2 Tenaga
- Pekerja 0,650
- Tukang batu 0,200
- Kepala tukang 0,020
- Mandor 0,030

6.3.1 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1 bata, 1 Pc : 3 Ps

6.3.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 140,000 Buah
- Semen portland 32,950 Kg
- Pasir pasang 0,091 m3

6.3.2 Tenaga
- Pekerja 0,650
- Tukang batu 0,200
- Kepala tukang 0,020
- Mandor 0,030

6.4 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1 bata, 1 Pc : 4 Ps

6.4.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 140,000 Buah
- Semen portland 26,550 Kg
- Pasir pasang 0,093 m3

6.4.2 Tenaga
- Pekerja 0,650
- Tukang batu 0,200
- Kepala tukang 0,020
- Mandor 0,030

6.5 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1 bata, 1 Pc : 5 Ps

6.5.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 140,000 Buah

4 dari 12
SNI 03-6897-2002

- Semen portland 22,200 Kg


- Pasir pasang 0,m3

6.5.2 Tenaga
- Pekerja 0,650
- Tukang batu 0,200
- Kepala tukang 0,020
- Mandor 0,030

6.6 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1 bata, 1 Pc : 6 Ps

6.6.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 140,000 Buah
- Semen portland 22,200 Kg
- Pasir pasang 0,102 m3

6.6.2 Tenaga
- Pekerja 0,650
- Tukang batu 0,200
- Kepala tukang 0,020
- Mandor 0,030

6.7 1 m2 Pasangan bata merah tebai 1 bata, 1 Pc : 3 Kp : 10 Ps

6.7.1 Bahan
- Bata merah 5 x 11 x 22 140,000 Buah
- Semen portland 10,080 Kg
- Pasir pasang 0,0925 m3
- Kapur pasang 0,0275 m3

6.7.2 Tenaga
- Pekerja 0,650
- Tukang batu 0,200
- Kepala tukang 0,020
- Mandor 0,030

6.8 1 m2 Pasangan bata merah tebal 1/2 bata, 1 Pc : 1 Ps

6.8.1 B a h a n
- Bata merah 5 x 11 x 22 70,000 Buah
- Semen portland 27,800 Kg
- Pasir pasang 0,028 m3

6.8.2 Tenaga

5 dari 12
SNI 03-1745-2000
Kembali

Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan
gedung.

1. Ruang lingkup.

1.1. Standar ini mencakup persyaratan minimal untuk instalasi pipa tegak dan sistem hidran
/slang pada bangunan gedung.

1.2. Standar ini tidak mencakup persyaratan untuk pemeriksaan berkala, pengujian, dan
pemeliharaan sistem pipa tegak.

2. Acuan.

a). NFPA 14, Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems, 1996 Edition.

b). Fire Safety Bureau, Singapore Civil Defence Force, “Fire Precautions in Buildings 1997”

3. Istilah dan definisi.


3.1.
alat pengatur tekanan.
suatu alat yang direncanakan untuk tujuan mengurangi, mengatur, mengendalikan, atau
membatasi tekanan air. Contoh; katup penurun tekanan, katup kontrol tekanan, dan alat pembatas
tekanan.

3.2.
alat pembatas tekanan.
suatu katup atau alat yang direncanakan untuk tujuan mengurangi tekanan aliran air pada kondisi
aliran akhir (residual).

3.3.
bangunan gedung bertingkat tinggi.
Suatu bangunan gedung yang mempunyai ketinggian lebih dari 24 m ( 80 feet ). Ketinggian
bangunan harus diukur dari permukaan terendah jalan masuk mobil pemadam kebakaran ke lantai
dari lantai tertinggi yang dihuni.

3.4.
disetujui.
BSN bukan instansi yang menyetujui, memeriksa, atau memberikan sertifikat pada setiap instalasi,
prosedur, peralatan atau bahan. Dalam menentukan persetujuan instalasi, prosedur, peralatan
atau bahan, instansi yang berwenang menggunakan dasar standar ini atau standar lain yang
setara bila dalam standar ini tidak tersebut.

3.5*.
instansi yang berwenang.
Suatu instansi yang berwenang dan bertanggung jawab untuk menyetujui ; peralatan, instalasi
atau prosedur.

1 dari 52
SNI 03-1745-2000

3.6.
katup kontrol.
suatu katup yang dipakai untuk mengontrol sistem pasokan air dari sistem pipa tegak.

3.7.
katup kontrol tekanan.
suatu katup penurun tekanan yang beroperasinya terkendali direncanakan untuk tujuan membatasi
tekanan air hilir ke nilai spesifik dibawah kondisi mengalir (akhir/residual) dan tidak mengalir
(statik).

3.8*.
katup penurun tekanan.
suatu katup yang direncanakan untuk tujuan mengurangi arus tekanan air pada kondisi mengalir
(sisa/residual) dan tidak mengalir (statik).

3.9.
katup slang.
katup pada sambungan slang tunggal.

3.10.
kebutuhan sistem.
laju aliran dan tekanan sisa yang disyaratkan dari suatu pasokan air, diukur pada titik sambungan
dari pasokan air ke sistem pipa tegak, untuk menyalurkan sebagai berikut :
a). laju aliran air total yang dipersyaratkan untuk sistem pipa tegak seperti yang dispesifikasi-
kan pada butir 7-9.

b). tekanan akhir (residual) minimum pada sambungan slang terjauh secara hidraulis seperti
dispesifikasikan pada butir 7-7; dan laju aliran air minimum untuk sambungan springkler
pada sistem kombinasi.
3.11.
kotak hidran.
suatu kotak yang di dalamnya terdiri dari rak slang, slang nozel, dan katup slang.

3.12.
pipa cabang.
suatu sistem pemipaan, umumnya dalam bidang horisontal, menghubungkan satu atau lebih
sambungan slang dengan pipa tegak.

3.13.
pipa tegak.
bagian pipa yang naik keatas dari sistem pemipaan yang menyalurkan pasokan air untuk
sambungan slang, dan springkler pada sistem kombinasi, tegak lurus dari lantai ke lantai.

3.14.
pipa tegak basah.
suatu sistem pipa tegak dimana pipa berisi air setiap saat.

2 dari 52
SNI 03-1745-2000

3.15.
pipa tegak kering.
suatu sistem pipa tegak yang direncanakan berisi air hanya bila sistem digunakan.

3.16.
pipa utama.
bagian dari sistem pipa tegak yang memasok air ke satu atau lebih pipa tegak.

3.17.
sambungan pemadam kebakaran.
suatu sambungan dimana petugas pemadam kebakaran dapat memompakan air ke dalam sistem
pipa tegak.

3.18.
sambungan slang.
suatu kombinasi peralatan yang disediakan untuk penyambungan slang ke sistem pipa tegak,
termasuk katup slang yang berulir.

3.19.
sistem kombinasi.
sistem pipa tegak yang mempunyai pemipaan untuk memasok sambungan slang dan sistem
springkler.

3.20.
sistem pipa tegak.
suatu susunan dari pemipaan, katup, sambungan slang, dan kesatuan peralatan dalam bangunan,
dengan sambungan slang yang dipasangkan sedemikian rupa sehingga air dapat dipancarkan
atau disemprotkan melalui slang dan nozel, untuk keperluan memadamkan api, untuk
mengamankan bangunan dan isinya, serta sebagai tambahan pengamanan penghuni. Ini dapat
dicapai dengan menghubungkannya ke sistem pasokan air atau dengan menggunakan pompa,
tangki, dan peralatan seperlunya untuk menyediakan pasokan air yang cukup ke sambungan
slang.

3.21.
sistem pipa tegak manual.
suatu sistem pipa tegak yang hanya dihubungkan dengan sambungan pemadam kebakaran untuk
memasok kebutuhan sistem.

3.22.
sistem pipa tegak otomatik.
suatu sistem pipa tegak yang dihubungkan ke suatu pasokan air yang mampu memasok
kebutuhan sistem pada setiap saat, dan tidak memerlukan kegiatan selain membuka katup slang
untuk menyalurkan air pada sambungan slang.

3.23.
sistem pipa tegak semi otomatik.
suatu sistem pipa tegak yang dihubungkan ke suatu pasokan air yang mampu memasok
kebutuhan sistem pada setiap saat dan memerlukan gerakan alat kontrol untuk menyalurkan air
pada sambungan slang.

3 dari 52
SNI 03-1745-2000

3.24.
tekanan akhir (residual).
tekanan yang bekerja pada suatu titik dalam sistem dengan suatu aliran yang disalurkan oleh
sistem.

3.25.
tekanan nozel.
tekanan yang dipersyaratkan pada sisi masuk nozel untuk menghasilkan pancaran air yang
dibutuhkan oleh sistem.

3.26.
tekanan statik.
Tekanan yang bekerja pada suatu titik dalam sistem dengan tanpa aliran dari sistem.

3.27.
terdaftar.
Sarana untuk mengidentifikasi peralatan terdaftar yang dilakukan oleh instansi yang berwenang
berdasarkan pengkajian kualitas produk. Peralatan yang belum terdaftar atau belum diberi label
harus tidak digunakan.

3.28.
zona sistem pipa tegak.
suatu sub bagian vertikal berdasarkan ketinggian dari sistem pipa tegak.
4. Komponen-komponen sistem.

4.1*. Umum.

Komponen sistem pipa tegak harus mengikuti ketentuan ini. Semua perlengkapan dan bahan yang
dipakai dalam sistem pipa tegak harus dari tipe yang disetujui. Komponen sistem harus mampu
menerima tekanan kerja tidak kurang dari pada tekanan maksimum yang ditimbulkan pada lokasi
yang terkait di dalam setiap kondisi sistem, termasuk tekanan yang terjadi bila pompa kebakaran
dipasang permanen yang bekerja dengan katup tertutup.

4.2. Pipa dan tabung.

4.2.1. Pipa atau tabung yang dipakai dalam sistem pipa tegak harus mengikuti ketentuan
yang berlaku.

4.2.2. Bilamana pipa baja yang dipakai dan penyambungan dengan las sesuai ketentuan
yang berlaku, tebal dinding nominal minimum untuk tekanan sampai dengan 20,7 bars (300 psi)
harus sesuai skedule 10 untuk ukuran pipa sampai dengan 125 mm (5 inci); 3,40 mm (0,134 inci)
untuk pipa 150 mm ( 6 inci ); dan 4,78 mm (0,188 inci) untuk pipa 200 mm (8 inci) dan 250 mm (10
inci).

4.2.3. Bilamana pipa baja disambung dengan fitting ulir, tebal dinding minimum harus sesuai
dengan pipa skedul 30 [untuk ukuran 200 mm (8 inci) dan lebih besar] atau pipa skedul 40 [untuk
ukuran pipa kurang dari 200 mm (8 inci)] dengan tekanan sampai dengan 20,7 bar (300 psi).

4.2.4. Tabung tembaga sesuai ketentuan yang berlaku, harus mempunyai tebal jenis K, L
atau M bila digunakan dalam sistem pipa tegak.

4 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.2.5. Pipa atau tabung jenis lain diteliti kesesuaiannya untuk digunakan pada instalasi pipa
tegak yang telah disetujui penggunaannya, boleh dipasang sesuai ketentuan yang berlaku .

4.2.6. Belokan pipa.

Belokan dari pipa baja skedul 40 dan jenis K dan L untuk tabung tembaga dibolehkan bila dibuat
dengan tanpa menekuk, merusak, mengurangi diameter, atau penyimpangan lain dari bentuk
bulat. Jari-jari belokan minimum harus 6 x diameter pipa untuk ukuran 50 mm ( 2 inci ) dan yang
lebih kecil, dan 5 x diameter pipa untuk ukuran 65 mm ( 2½ inci ) dan yang lebih besar.

4.3. Alat penyambung.

4.3.1. Alat penyambung yang dipakai dalam sistem pipa tegak harus memenuhi ketentuan
yang berlaku.

4.3.2. Alat penyambung jenis lain, diteliti kesesuaiannya untuk digunakan pada instalasi pipa
tegak yang telah terdaftar, boleh dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.3.3. Alat penyambung harus lebih kuat bila tekanan melampaui 12,1 bar (175 psi).

Pengecualian 1 :

Fitting dari besi tuang standar dengan ukuran diameter 50 mm ( 2 inci ) atau lebih kecil dibolehkan dipakai pada tekanan
tidak lebih dari 20,7 bar ( 300 psi ).

Pengecualian 2 :

Fitting dari besi tuang standar dengan ukuran diameter 150 mm ( 6 inci ) atau lebih kecil diboleh-kan dipakai pada
tekanan tidak lebih dari 20,7 bar ( 300 psi ).

4.3.3. Kopling dan union.

Union tidak boleh dipakai pada pipa yang lebih besar dari 50 mm ( 2 inci ). Kopling digunakan
untuk pipa yang lebih besar dari 50 mm ( 2 inci ).

4.3.4. Reduser dan bushing.

Reduser harus dipakai bila ukuran pipa berbeda.

4.4. Penyambungan pipa dan alat penyambung.

4.4.1. Pipa ulir dan alat penyambung.

4.4.1.1. Semua pipa dan alat penyambung yang diulir pembuatan ulirnya harus sesuai
ketentuan yang berlaku

4.4.1.2. Pita (tape) atau bahan sejenisnya harus dipakai hanya pada ulir laki-laki.

4.4.2. Pipa yang dilas dan alat penyambung.

4.4.2.1. Untuk penyambungan pipa proteksi kebakaran, metoda pengelasannya harus


memenuhi ketentuan yang berlaku.

5 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.4.2.2. Pemipaan pipa tegak harus dilas di bengkel/los kerja.

Pengecualian :

Pengelasan pipa tegak yang dipasang di dalam bangunan yang sedang dalam tahap konstruksi, diperbolehkan hanya
bila konstruksinya tidak mudah terbakar, kandungan di dalamnya tidak mudah terbakar, dan proses pengelasannya
sesuai ketentuan yang berlaku.

4.4.2.3. Alat penyambung yang digunakan untuk menyambung pipa harus disetujui, harus
dibuat di pabrik atau diproduksi sesuai standar yang berlaku. Penyambungan alat penyambung
dilakukan sesuai prosedur pengelasan yang baik.

Pengecualian :

Alat penyambung tidak diperlukan bila ujung pipa dilas buntu.

4.4.2.4. Pengelasan tidak boleh dilakukan bila hujan atau angin kencang di tempat pengelasan.

4.4.2.5. Bila dilakukan pengelasan, persyaratan berikut harus dipenuhi :

a). lubang-lubang pipa yang akan disambung harus sama dengan diameter_dalam dari alat
penyambung, sebelum alat penyambung disambungkan.

b). keping hasil perlubangan pipa harus dikeluarkan.

c). kerak dan sisa pengelasan harus dibuang.

d). alat penyambung tidak boleh menembus pipa.

e). plat baja tidak boleh dilas pada ujung pipa atau alat penyambung.

f). alat penyambung tidak boleh dimodifikasi.

g). mur, jepitan, batang bermata, tumpuan sudut atau pengikat-pengikat, tidak boleh dilas ke
pipa atau alat penyambung.

4.4.2.6. Apabila akan mengurangi ukuran pipa pada saat pemasangan, harus digunakan alat
penyambung pengurang ukuran yang dirancang untuk tujuan tersebut.

4.4.2.7. Pemotongan dan pengelasan dengan busur las tidak diijinkan dalam perbaikan dan
perubahan sistem pipa tegak.

4.4.2.7. Kualifikasi.

4.4.2.7.1. Suatu prosedur pengelasan yang baik harus ditentukan oleh kontraktor atau pabrik
sebelum pengelasan dilakukan. Kualifikasi dari prosedur pengelasan yang akan digunakan dan
kemampuan dari pengelas atau operator mesin las harus memenuhi atau melampaui persyaratan
sesuai ketentuan/standar yang berlaku.

Kontraktor atau pabrik harus bertanggung jawab untuk semua pengelasan yang mereka hasilkan.
Setiap kontraktor atau pabrik harus menyiapkan prosedur pengelasan untuk menjamin kualitas

6 dari 52
SNI 03-1745-2000

pengelasan secara tertulis dan disampaikan ke instansi yang berwenang sesuai persyaratan pada
butir 4.4.2.5.

4.4.2.8. Catatan-catatan.

4.4.2.9.1. Pengelas atau operator mesin las harus memaraf/tanda tangan pada sisi yang terdekat
dengan hasil lasannya pada penyelesaian setiap pengelasan.

4.4.2.9.2. Kontraktor atau pabrik harus menyiapkan catatan-catatan penting yang perlu
disampaikan ke instansi yang berwenang, mengenai prosedur-prosedur yang digunakan, pengelas
atau operator mesin las yang digunakan mereka bersama dengan paraf/tanda tangan hasil las
mereka. Catatan harus menunjukkan tanggal, hasil pengelasan dan kualifikasi kemampuannya.

4.4.3. Metoda penyambungan dengan alur/pasak.

4.4.3.1. Pipa disambungkan dengan alat penyambung yang beralur harus dengan suatu
kombinasi : alat penyambung yang terdaftar, gasket dan alur. Potongan alur harus sesuai dengan
alat penyambungnya.

4.4.3.2. Alat penyambung dengan alur, termasuk gasket yang dipakai pada sistem pipa tegak
kering harus terdaftar bila digunakan untuk pipa kering.

4.4.4. Penyambungan dengan solder.

4.4.4.1. Penyambungan pipa tembaga harus dilakukan dengan solder.

Pengecualian 1 :

Sambungan solder diijinkan untuk sistem pipa tegak basah yang tampak pada klasifikasi hunian bahaya kebakaran
ringan.

Pengecualian 2 :

Sambungan solder diijinkan untuk sistem pipa tegak basah pada klasifikasi hunian bahaya kebakaran ringan dan
sedang apabila pipa tegak basah tersebut tersembunyi.

4.4.4.2. Bahan las yang sangat korosif tidak boleh digunakan.

4.4.5. Metoda penyambungan lain

Metoda-metoda penyambungan yang lain diselidiki untuk kesesuaian dalam sistem pipa tegak dan
terdaftar penggunaannya, apabila dipasang menurut batasan-batasan yang terdaftar, termasuk
instruksi-instruksi pemasangannya.

4.4.6. Perlakuan akhir.

4.4.6.1. Setelah pemotongan, kotoran-kotoran akibat pemotongan pipa harus dibuang.

4.4.6.2. Pipa yang digunakan dengan alat penyambung yang terdaftar dan perlakuan pada
ujung pipa, harus sesuai dengan instruksi-instruksi pemasangan alat pemasang dari pembuat dan
alat penyambung yang terdaftar.

7 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5. Gantungan.

4.5.1. Umum.

Gantungan-gantungan harus memenuhi persyaratan dalam butir 4.5.1.1. sampai 4.5.1.7.

Pengecualian :

Gantungan yang direkomendasikan oleh asosiasi profesi, termasuk persyaratan berikut diijinkan untuk dipakai :

a). gantungan-gantungan direncanakan untuk dapat menahan lima kali berat pipa berisi air, ditambah 114 kg (250
lb) pada masing-masing titik penahan pemipaan.

b). semua titik-titik penahan cukup kuat menahan sistem pipa tegak.

c). bahan dari besi digunakan pada komponen gantungan.

Perhitungan detail yang menggambarkan tegangan yang terjadi pada penggantung dan pemipaan,
termasuk faktor keamanan, harus diserahkan, apabila disyaratkan oleh instansi yang berwenang
untuk penilaian.

4.5.1.1. Komponen gantungan yang dirakit, dimana dipasang secara langsung pada pipa atau
rangka gedung harus didaftar.

Pengecualian :

Gantungan baja lunak yang dibentuk dari besi batangan tidak dipersyaratkan didaftar.

4.5.1.2*. Gantungan-gantungan dan komponen-komponennya harus terbuat dari bahan yang


mengandung besi.

Pengecualian.

Komponen-komponen dari bahan yang tidak mengandung bahan besi yang telah dibuktikan dengan uji api untuk
pemakaian pada bahaya kebakaran dan terdaftar untuk tujuan ini, serta setara dengan persyaratan lain dari bagian ini
boleh digunakan.

4.5.1.3. Pemipaan pipa tegak harus ditahan secara tepat pada struktur bangunan, yang akan
menahan beban tambahan dari pipa berisi air ditambah minimum 114 kg ( 250 lb ), diterapkan
pada titik gantungan.

4.5.1.4. Apabila pemipaan pipa tegak dipasang di bawah dakting (ducting), pemipaan harus
ditahan pada struktur bangunan atau pada penahan dakting yang telah disiapkan mampu
menahan beban dakting dan beban spesifik sesuai butir 4.5.1.3.

4.5.1.5. Ukuran minimum besi siku atau pipa pada gantungan trapis yang membentang antara
gordeng atau anak balok yang tercantum dalam tabel 4.5.1.5.b.

Ukuran atau bentuk lain yang mempunyai momen inersia sama atau lebih besar dari besi siku atau
pipa boleh digunakan.

8 dari 52
SNI 03-1745-2000

Semua besi siku harus digunakan dengan sisi vertikal yang lebih panjang. Bagian dari gantungan
trapis harus diamankan untuk mencegah peluncuran.

Apabila sebuah pipa digantung pada sebuah gantungan trapis pipa dengan diameter kurang dari
diameter pipa yang ditahan, cincin, tali pengikat atau gantungan clevis dengan ukuran yang
disesuaikan dengan pipa penahan harus digunakan pada kedua ujungnya.

4.5.1.6. Ukuran batang-batang gantungan dan pengikat yang dibutuhkan untuk menahan besi
siku atau pipa yang ditunjukkan pada tabel 4.5.1.5.a harus memenuhi butir 4.5.4.

4.5.1.7. Pemipaan pipa tegak atau gantungan-gantungan tidak boleh digunakan untuk
menahan komponen sistem lain.

Tabel 4.5.1.5.(a) : Momen inersia yang dipersyaratkan untuk bagian dari trapis.(inci3)
Jarak gantungan
Diameter pipa ( inci )
trapis
(ft) (m) 1 1¼ 1½ 2 2½ 3 3½ 4 5 6 8 10
0,08 0,09 0,09 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,15 0,18 0,24 0,32
1 ft 6 in 0,46
0,08 0,09 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,15 0,18 0,22 0,30 0,41
0,11 0,12 0,12 0,13 0,13 0,15 0,16 0,17 0,20 0,24 0,32 0,43
2 ft 0 in 0,61
0,11 0,12 0,12 0,13 0,15 0,16 0,18 0,20 0,24 0,29 0,40 0,55
0,14 0,14 0,15 0,16 0,17 0,18 0,20 0,21 0,25 0,30 0,40 0,54
2 ft 6 in 0,76
0,14 0,15 0,15 0,16 0,18 0,21 0,22 0,25 0,30 0,36 0,50 0,68
0,17 0,17 0,18 0,19 0,20 0,22 0,24 0,26 0,31 0,36 0,48 0,65
3 ft 0,91
0,17 0,18 0,18 0,20 0,22 0,25 0,27 0,30 0,36 0,43 0,60 0,82
0,22 0,23 0,24 0,25 0,27 0,29 0,32 0,34 0,41 0,48 0,64 0,87
4 ft 1,22
0,22 0,24 0,24 0,26 0,29 0,33 0,36 0,40 0,48 0,58 0,80 1,09
0,28 0,29 0,30 0,31 0,34 0,37 0,40 0,43 0,51 0,59 0,80 1,08
5 ft 1,52
0,28 0,29 0,30 0,33 0,37 0,41 0,45 0,49 0,60 0,72 1,00 1,37
0,33 0,35 0,36 0,38 0,41 0,44 0,48 0,51 0,61 0,71 0,97 1,30
6 ft 1,83
0,34 0,35 0,36 0,39 0,44 0,49 0,54 0,59 0,72 0,87 1,20 1,64
0,39 0,40 0,41 0,44 0,47 0,52 0,55 0,60 0,71 0,83 1,13 1,52
7 ft 2,13
0,39 0,41 0,43 0,46 0,51 0,58 0,63 0,69 0,84 1,01 1,41 1,92
0,44 0,46 0,47 0,50 0,54 0,59 0,63 0,68 0,81 0,95 1,29 1,73
8 ft 2,44
0,45 0,47 0,49 0,52 0,59 0,66 0,72 0,79 0,96 1,16 1,61 2,19
0,50 0,52 0,53 0,56 0,61 0,66 0,71 0,77 0,92 1,07 1,45 1,95
9 ft 2,74
0,50 0,53 0,55 0,59 0,66 0,74 0,81 0,89 1,08 1,30 1,81 2,46
0,56 0,58 0,59 0,63 0,68 0,74 0,79 0,85 1,02 1,19 1,61 2,17
10 ft 3,05
0,56 0,59 0,61 0,65 0,74 0,82 0,90 0,99 1,20 1,44 2,01 2,74

Catatan tabel :
Nilai yang di atas untuk pipa skedul 10, nilai yang di bawah untuk pipa skedul 40.
Tabel ini didasarkan pada tegangan lentur maksimum yang diijinkan 15 KSI dan beban konsentrasi pada titik tengah
jarak gantungan dari 4,6 m ( 15 ft ) dari pipa air yang diisi air ditambah 113 kg ( 250 lb).

9 dari 52
SNI 03-1745-2000

Tabel 4.5.1.5.(b). Momen inersia dari gantungan trapis yang umum.


Pipa Modulus Modulus
Besi siku
( in ) ( inci3 ) ( inci 3 )
Skedul 10
1 0,12 1½ x 1½ x 3/16 0,10
1¼ 0,19 2 x 2 x 1/8 0,13
1½ 0,26 2 x 1½ x 3/16 0,18
2 0,42 2 x 2 x 3/16 0,19
2½ 0,69 2 x 2 x ¼ 0,25
3 1,04 2½ x 1½ x 3/16 0,28
3½ 1,38 2½ x 2 x 3/16 0,29
4 1,76 2 x 2 x 5/16 0,30
5 3,03 2½ x 2½ x 3/16 0,30
6 4,35 2 x 2 x 3/8 0,35
2½ x 2½ x ¼ 0,39
3 x 2½ x 3/16 0,41
Skedule 40 3 x 3 x 3/16 0,43
1 0,13 3 x x 3/16 0,44
1¼ 0,23 2½ x 2½ x 5/16 0,48
1½ 0,33 3 x 2 x ¼ 0,54
2 0,56 2½ x 2 x 3/8 0,55
2½ 1,06 2½ x 2½ x 3/8 0,57
3 1,72 3 x 3 x ¼ 0,58
3½ 2,39 3 x 3 x 5/16 0,71
4 3,21 2½ x 2½ x ½ 0,72
5 5,45 3½ x 2½ x ¼ 0,75
6 8,50 3 x 2½ x 3/8 0,81
3 x 3 x 3/8 0,83
3½ x 2½ x 5/16 0,93
3 x 3 x 7/16 0,95
4 x 4 x ¼ 1,05
3 x 3 x ½ 1,07
4 x 3 x 5/16 1,23
4 x 4 x 5/16 1,29
4 x 3 x 3/8 1,46
4 x 4 x 3/8 1,52
5 x 3½ x 5/16 1,94
4 x 4 x ½ 1,97
4 x 4 x 5/8 2,40
4 x 4 x ¾ 2,81
6 x 4 x 3/8 3,32
6 x 4 x ½ 4,33
6 x 4 x ¾ 6,25
6 x 6 x 1 8,57

10 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5.2. Gantungan pada beton.

4.5.2.1. Komponen yang dibenarkan yang tertanam dalam beton, boleh dipasang untuk
penahan gantungan. Klos kayu tidak boleh digunakan.

4.5.2.2. Penahan ekspansi yang terdaftar untuk menahan pipa-pipa pada konstruksi beton
boleh dipakai pada posisi horisontal dari sisi balok. Pada beton yang mempunyai batu kerikil atau
batu pecahan (aggregate), penahan ekspansi boleh dipakai pada posisi vertikal, untuk menahan
pipa-pipa dengan diameter 100 mm ( 4 inci ) atau kurang.

4.5.2.3. Untuk menahan pipa dengan diameter 125 mm ( 5 inci ) dan lebih besar, penahan
ekspansi, jika digunakan dalam posisi vertikal, harus dipasang selang seling dengan gantungan-
gantungan yang dihubungkan langsung ke bagian struktur, seperti konstruksi rangka atau anak
balok, atau sisi-sisi balok beton.

Bila tidak ada bagian struktur yang bisa dipakai, pipa dengan diameter 125 mm ( 5 inci ) dan lebih
besar boleh ditahan semuanya dengan penahan ekspansi pada posisi vertikal, tetapi harus diberi
jarak tidak boleh lebih dari 3 m ( 10 f).

4.5.2.4. Penahan ekspansi tidak boleh digunakan di langit-langit dari bahan gypsum atau
sejenisnya atau pada beton terak.

Pengecualian :

Penahan ekspansi boleh digunakan pada beton terak pada pipa cabang, dilengkapi selang seling dengan baut atau
gantungan yang melekat pada balok.

4.5.2.5. Dimana penahan ekspansi digunakan pada posisi vertikal,

4.5.2.6. Lubang-lubang untuk penahan ekspansi di sisi balok beton harus diletakkan diatas
garis tengah balok atau diatas dasar batang baja yang diperkuat.

4.5.3. Rangka cor-coran pada beton dan rangka las.

4.5.3.1. Rangka beton cor-coran dan rangka las dan perkakas yang digunakan untuk
memasang alat ini harus terdaftar. Ukuran pia, posisi pemasangan dan bahan konstruksi harus
sesuai dengan daftar tersendiri.

4.5.3.2. Contoh yang mewakili beton sebagai rangka harus diuji untuk menentukan rangka
dapat menahan beban minimum 341 kg ( 750 lb ) untuk pipa 50 mm ( 2 inci ) atau lebih kecil, 454
kg ( 1000 lb ) untuk pipa 65 mm ( 2½ inci ), 80 mm ( 3 inci ) dan 90 mm ( 3½ inci), dan 545 kg (
1200 lb) untuk pipa 100 mm ( 4 inci ) atau 125 mm ( 5 inci ).

4.5.3.3. Koppling penambah boleh dilekatkan langsung ke rangka cor-coran atau rangka las.

4.5.3.4. Rangka las atau bagian gantungan lainnya tidak boleh dilekatkan dengan las ke baja
kurang dari 12-gauge U.S standard.

11 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5.4. Batang-batang dan gantungan U.

4.5.4.1. Ukuran batang gantungan harus sama seperti yang disetujui untuk penggunaan
dengan gantungan yang dirakit dan tidak boleh kurang dari apa yang tercantum pada tabel
4.5.4.1.

Pengecualian.

Batang dengan diameter yang lebih kecil dibolehkan dipakai apabila gantungan yang dirakit telah diuji dan didaftar oleh
laboratorium dan dipasang di dalam batas-batas ukuran pipa yang ditentukan dalam daftar tersendiri. Untuk ulir yang di
roll, ukuran batang tidak boleh kurang dari diameter akan ulir.

Tabel 4.5.4.1. Ukuran batang gantungan.


Ukuran pipa Diameter batang
(inci) ( inci ) ( mm )
Sampai dengan dan termasuk 4 . 3/8 9,5
5, 6 dan 8 ½ 12,7
10 dan 12 5/8 15,9
4.5.4.2. Gantungan “U”.

Ukuran batang yang dipergunakan untuk membuat gantungan “U” tidak boleh kurang dari apa
yang tercantum dalam tabel 4.5.4.2. Sekerup boleh dipakai hanya pada posisi horisontal ( contoh
pada sisi balok yang berhubungan hanya dengan gantungan U).

Tabel 4.5.4.2. Ukuran gantungan U.


Ukuran pipa Diameter bahan gantungan
(inci) ( inci ) ( mm )
Sampai dengan dan termasuk 2 . 5/16 7,9
2 ½ sampai 6 3/8 9,5
8 ½ 12,7
4.5.4.3. Pengait.

4.5.4.3.1. Ukuran bahan batang untuk pengait tidak boleh kurang dari yang ditentukan pada tabel
4.5.4.3.1. Apabila pengait diikat ke bagian struktur kayu, boleh dilengkapi dengan washer datar
langsung ke bagian struktur, sebagai tambahan washer pengunci.

Tabel 4.5.4.3.1. Ukuran batang pengait.


Diameter batang
Ukuran pipa
Pengait tekuk Pengait las
(inci)
( inci ) ( mm ) ( inci ) ( mm )
sampai dengan 4 3/8 9,5 3/8 9,5
5 sampai 6 ½ 12.7 ½ 12,7
8 ¾ 19,1 ½ 12,7
4.5.4.3.2. Pengait harus diamankan dengan washer pengunci untuk mencegah gerakan lateral.

4.5.4.4. Bagian batang yang diulir tidak boleh dibentuk atau ditekuk.

12 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5.4.5. Sekerup.

Ukuran sekerup flens langit-langit dan gantungan “U” tidak boleh kurang dari apa yang tercantum
dalam tabel 4.5.4.5.

Pengecualian :

Apabila tebal papan kayu dan tebal flens tidak memungkinkan penggunaan sekerup yang panjangnya 50 mm (2 inci),
sekerup yang panjangnya 44 mm ( 1¾ inci) boleh dipakai dengan jarak antar gantungan tidak lebih dari 3 m (10 ft) .
Apabila tebal dari balok atau gording tidak memungkinkan menggunakan sekerup yang panjangnya 65 mm ( 2½ inci),
sekerup dengan panjang 50 mm ( 2 inci ) boleh dipakai dengan jarak antar gantungan tidak lebih dari 3 m ( 10 ft).

Tabel 4.5.4.5. Dimensi sekerup untuk flens langit-langit dan gantungan U.


Ukuran pipa Flens 2 sekerup
Sampai dengan 2 inci sekerup kayu No.18 x 1 ½ inci.

Ukuran pipa Flens 3 sekerup


Sampai dengan 2 inci sekerup kayu No. 18 x 1 ½ inci.
2 ½ inci, 3 inci, 3 ½ inci sekerup 3/8 inci x 2 inci
4 inci, 5 inci, 6 inci. sekerup ½ inci x 2 inci
8 inci. sekerup 5/8 inci x 2 inci

Ukuran pipa Flens 4 sekerup


Sampai dengan 2 inci sekerup kayu No. 18 x 1 ½ inci
2 ½ inci, 3 inci, 3 ½ inci. sekerup 3/8 inci x 1 ½ inci
4 inci, 5 inci, 6 inci. sekerup ½ inci x 2 inci.
8 inci. sekerup 5/8 inci x 2 inci.

Ukuran pipa. Gantungan U


sampai dengan 2 inci. sekerup No.16 x 2 inci.
2 ½ , 3 inci, 3 ½ inci sekerup ½ inci x 3 inci.
4 inci, 5 inci, 6 inci sekerup ½ inci x 3 inci.
8 inci sekerup 5/8 inci x 3 inci.

4.5.4.6. Ukuran baut dan sekerup yang digunakan dengan batang kait atau flens pada sisi dari
suatu balok tidak boleh kurang dari yang ditentukan dalam tabel 4.5.4.6.

Pengecualian :

Apabila tebal balok atau gording tidak memungkinkan menggunakan panjang sekerup 65 mm (2½ inci), sekerup dengan
panjang 50 mm ( 2 inci ) boleh dipakai dengan jarak antar gantungan tidak lebih dari 3 m ( 10 ft).

13 dari 52
SNI 03-1745-2000

Tabel 4.5.4.6. Ukuran minimum baut dan sekerup.


Ukuran baut atau Panjang sekerup yang digunakan dengan
Ukuran pipa sekerup balok kayu
( inci ) (mm) (inci) (mm)
Sampai dengan termasuk 3/8 9,5 2½ 64
2 inci.
2½ inci sampai dengan ½ 12,7 3 76
termasuk 6 inci
8 inci 5/8 15,9 3 76

4.5.4.7. Sekerup kayu harus dipasang dengan obeng. Paku tidak boleh digunakan untuk
pengikat gantungan.

4.5.4.8. Sekerup pada sisi kayu atau gording tidak boleh kurang 65 mm ( 2½ inci ) dari ujung
terbawah penahan pipa cabang dan tidak kurang 80 mm ( 3 inci ) dari penahan pipa utama.

Pengecualian :

Persyaratan ini tidak berlaku untuk untuk panjang 50 mm ( 2 inci ) atau pemakuan pada puncak balok baja.

4.5.4.9. Tebal papan minimum dan lebar minimum permukaan terendah dari balok atau gording
yang menggunakan batang sekerup harus ditentukan sesuai tabel 4.5.4.9.

Tabel 4.5.4.9. Tebal papan dan balok atau lebar gording.


Ukuran baut atau Panjang sekerup yang digunakan dengan
Ukuran pipa sekerup balok kayu
( inci ) (mm) (inci) (mm)
Sampai dengan termasuk 2 inci. 3/8 9,5 2½ 64
2½ inci sampai dengan 3 inci ½ 12,7 3 76
8 inci 5/8 15,9 3 76

4.5.4.10. Batang sekerup tidak boleh digunakan untuk menahan pipa yang lebih besar dari 150
mm ( 6 inci ). Semua lubang untuk batang sekerup harus pertama tama di bor 3,2 mm ( 18 inci )
lebih kecil dari pada diameter dasar dari ulir sekerup.

4.6. Katup.

Semua katup yang mengontrol sambungan ke pasokan air dan pipa tegak harus dari jenis katup
penunjuk yang terdaftar. Katup tersebut tidak boleh tertutup dalam waktu kurang dari 5 detik
apabila ditutup dengan cepat mulai dari keadaan terbuka penuh.

Pengecualian 1 :

Katup sorong bawah tanah yang dilengkapi dengan tonggak penunjuk boleh digunakan.

Pengecualian 2 :

14 dari 52
SNI 03-1745-2000

Katup pengatur yang terdaftar dan mempunyai penunjuk yang diandalkan dapat menunjukkan terbuka dan tertutupnya
katup dan dihubungkan dengan gardu pengawas yang jauh boleh digunakan.

Pengecualian 3 :

Kalau tidak digunakan katup penunjuk, dapat digunakan katup sorong bawah tanah yang ditempatkan dalam bak katup
jalan yang dilengkapi dengan kunci T yang harus disetujui oleh instansi yang berwenang boleh digunakan.

4.7. Kotak slang.

4.7.1. Lemari tertutup.

4.7.1.1. Lemari tertutup yang berisi slang kebakaran, harus berukuran cukup untuk
pemasangan peralatan penting dan dirancang tidak saling mengganggu pada waktu sambungan
slang, slang dan peralatan lain digunakan dengan cepat pada saat terjadi kebakaran.

Di dalam lemari, sambungan slang harus ditempatkan sehingga tidak kurang 25 mm ( 1 inci )
jaraknya antara setiap bagian dari lemari dan tangkai katup ketika katup dalam setiap kedudukan
dari terbuka penuh sampai tertutup penuh.

Lemari hanya digunakan untuk menempatkan peralatan kebakaran, dan setiap lemari di cat
dengan warna yang menyolok mata.

4.7.1.2. Apabila jenis “kaca mudah dipecah” (break glass) untuk tutup pelindung, harus
disediakan alat pembuka, alat yang disediakan untuk memecah panel kaca harus dilekatkan
dengan aman dan tidak jauh dari area panel kaca dan harus disusun sehingga alat tidak dapat
dipakai untuk memecahkan pintu lemari panal kaca lainnya.

4.7.1.3. Apabila suatu rakitan tahan api ditembus oleh lemari, ketahanan api dari rakitan harus
dijaga sesuai yang dipersyaratkan oleh ketentuan teknis bangunan gedung lokal.

4.7.2*. Slang.

Setiap sambungan slang yang disediakan untuk digunakan oleh penghuni bangunan ( sistem kelas
II dan kelas III), harus dipasang dengan panjang yang tidak lebih dari 30 m ( 100 ft) sesuai
terdaftar untuk diameter 40 mm ( 1½ inci ), lurus, dapat dilipat atau tidak dapat dilipat, slang
kebakaran dilekatkan dan siap untuk digunakan.

Pengecualian :

Apabila diameter slang kurang dari 40 mm ( 1½ inci) digunakan untuk kotak slang 40 mm (1½ inci) sesuai butir 5.5.2
dan 5.5.3, slang yang tidak bisa dilipat yang terdaftar boleh digunakan.

4.7.3. Rak slang.

Setiap kotak slang 40 mm ( 1½ inci) yang disediakan dengan slang 40 mm ( 1½ inci ) harus
dipasang dengan rak yang terdaftar atau fasilitas penyimpanan lain yang disetujui. Setiap kotak
slang 40 mm ( 1½ inci ) sesuai butir 5.3.2 dan 5.3.3. harus dipasang dengan gulungan aliran
menerus yang terdaftar.

15 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.7.4. Nozel.

Nozel disediakan untuk pelayanan kelas II harus terdaftar.

4.7.5. Label.

Masing-masing rak atau fasilitas penyimpanan untuk slang 40 mm ( 1½ inci ) atau lebih kecil harus
dibuatkan label dengan tulisan berbunyi “ Slang kebakaran untuk digunakan penghuni” dan
instruksi pemakaiannya.

4.8. Sambungan slang.

Sambungan slang harus mempunyai ulir sesuai ketentuan yang berlaku. Sambungan slang harus
dipasang dengan tutup (cap) untuk melindungi ulir slang.

4.9*. Sambungan pemadam kebakaran.

4.9.1. Sambungan pemadam kebakaran harus terdaftar untuk tekanan kerja sama atau lebih
besar dari tekanan yang dipersyaratkan oleh kebutuhan sistem.

4.9.2*. Setiap sambungan pemadam kebakaran harus mempunyai minimal dua buah inlet 65
mm (2½ inci ) dengan ulir sesuai ketentuan yang berlaku. Sambungan pemadam kebakaran harus
dipasang dengan penutup untuk melindungi sistem dari kotoran-kotoran yang masuk.

Pengecualian :

Apabila dinas kebakaran setempat menggunakan alat sambung yang berbeda dari yang ditentukan, alat penyambung
yang sesuai dengan peralatan dinas kebakaran setempat harus digunakan dan ukuran minimumnya harus 65 mm ( 2½
inci ).

4.10. Tanda-arah.

Tanda arah harus ditandai secara permanen dan harus dibuat dengan bahan tahan cuaca atau
bahan plastik kaku.

5. Persyaratan sistem.

5.1. Umum.

5.1.1. Jumlah dan susunan peralatan pipa tegak untuk proteksi yang benar diatur oleh
kondisi lokal, seperti; hunian, karakter, konstruksi bangunan gedung dan jalan masuknya.

Instansi yang berwenang harus diminta saran-sarannya sehubungan dengan tipe sistem yang
dipersyaratkan, kelas sistem dan persyaratan khusus.

5.1.2. Ruangan dan letak pipa tegak dan sambungan slang harus sesuai seperti dijelaskan
pada butir 7.

16 dari 52
SNI 03-1745-2000

5.2. Tipe sistem pipa tegak.

5.2.1. Kering – otomatik.

Sistem pipa tegak kering otomatik harus sistem pipa tegak kering yang dalam keadaan normal diisi
dengan udara bertekanan, diatur melalui penggunaan peralatan, seperti katup pipa kering, untuk
membolehkan air masuk ke dalam sistem pemipaan secara otomatik pada pembukaan katup
slang. Pasokan air untuk sistem pipa tegak kering otomatik harus mampu memasok kebutuhan
sistem.

5.2.2. Basah - otomatik.

Sistem pipa tegak basah otomatik harus sistem pipa tegak basah yang mnempunyai pasokan air
mampu memasok kebutuhan sistem secara otomatik.

5.2.3. Kering - semi otomatik.

Sistem pipa tegak kering semi otomatik harus sistem pipa tegak kering yang diatur melalui
penggunaan alat, seperti katup banjir (deluge), untuk membolehkan air masuk ke dalam sistem
pipa pada saat aktivasi peralatan kontrol jarak jauh yang ditempatkan pada sambungan slang. Alat
aktivasi kontrol jarak jauh harus dilengkapi pada setiap sambungan slang. Pasokan air untuk
sistem pipa tegak kering harus mampu memasok kebutuhan sistem.

5.2.4. Kering - manual.

Sistem pipa tegak kering manual haruslah sistem pipa tegak kering yang tidak mempunyai
pasokan air permanen yang menyatu dengan sistem. Sistem pipa tegak kering manual
membutuhkan air dari pompa pemadam kebakaran ( atau sejenisnya ) untuk dipompakan ke
dalam sistem melalui sambungan pemadam kebakaran untuk memasok kebutuhan sistem.

5.2.5. Basah - manual.

Sistem pipa tegak basah manual haruslah sistem pipa tegak basah yang dihubungkan ke pasokan
air yang kecil untuk tujuan memelihara air di dalam sistem tetapi tidak mempunyai kemampuan
memasok air untuk kebutuhan sistem.

5.1. Kelas sistem pipa tegak.

5.3.1. Sistem kelas I.

Sistem harus menyediakan sambungan slang ukuran 63,5 mm (2½ inci) untuk pasokan air yang
digunakan oleh petugas pemadam kebakaran dan mereka yang terlatih.

5.3.2. Sistem kelas II.

Sistem harus menyediakan kotak slang ukuran 38,1 mm (1½ inci) untuk memasok air yang
digunakan terutama oleh penghuni bangunan atau oleh petugas pemadam kebakaran selama
tindakan awal.

17 dari 52
SNI 03-1745-2000

Pengecualian.

Slang dengan ukuran minimum 25.4 mm ( 1 inci ) diizinkan digunakan untuk kotak slang pada tingkat kebakaran ringan
dengan persetujuan dari instansi yang berwenang.

5.3.3. Sistem kelas III.

Sistem harus menyediakan kotak slang ukuran 38,1 mm (1½ inci) untuk memasok air yang
digunakan oleh penghuni bangunan dan sambungan slang ukuran 63,5 mm (2½ inci) untuk
memasok air dengan volume lebih besar untuk digunakan oleh petugas pemadam kebakaran atau
mereka yang terlatih.

Pengecualian No.1 :

Slang ukuran minimum 25,4 mm (1 inci) diperkenankan digunakan untuk kotak slang pada pemakaian tingkat kebakaran
ringan dengan persetujuan dari instansi yang berwenang.

Pengecualian No. 2 :

Apabila seluruh bangunan diproteksi dengan sistem springkler otomatis yang disetujui, kotak slang yang digunakan
oleh penghuni bangunan tidak dipersyaratkan . Hal tersebut tergantung pada persetujuan instansi yang berwenang.

5.4. Persyaratan untuk sistem pipa tegak manual.

5.4.1. Sistem pipa tegak manual harus digunakan pada bangunan tinggi.

5.4.2. Setiap sambungan slang untuk pipa tegak manual harus disediakan dengan tanda
yang menyolok mata dengan bacaan :

“ PIPA TEGAK MANUAL HANYA DIGUNAKAN UNTUK PEMADAM KEBAKARAN”

5.4.3. Pipa tegak manual harus tidak digunakan untuk sistem kelas II atau kelas III.

5.5. Persyaratan untuk sistem pipa tegak kering.

5.5.1. Pipa tegak kering harus digunakan hanya apabila pemipaan terutama bila air dapat
membeku.

5.5.2. Pipa tegak kering harus tidak digunakan untuk sistem kelas II atau kelas III.

5.6*. Meteran.

5.6.1. Meteran tekanan jenis pegas dengan diameter 89 mm ( 3½ inci ) harus disambungkan
ke pipa pancaran dari pompa kebakaran dan saluran air umum yang menuju tangki tekan, pada
pompa udara yang memasok tangki tekan, dan pada puncak setiap pipa tegak. Meteran harus
diletakkan pada tempat yang sesuai sehingga air tidak dapat membeku. Setiap meteran harus
dikontrol dengan katup yang mempunyai susunan untuk pembuangan.

18 dari 52
SNI 03-1745-2000

Pengecualian :

Apabila beberapa pipa tegak dihubungkan di puncak, meteran tunggal yang diletakkan dengan benar dapat dibolehkan
untuk menggantikan meteran pada setiap pipa tegak.

5.6.2. Katup outlet untuk meteran tekanan harus dipasang pada sisi bagian atas dari setiap
alat pengatur tekanan.

5.7*. Alarm aliran air.

5.7.1. Apabila dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang untuk sistem otomatis dan semi
otomatis, alarm aliran air yang terdaftar harus disediakan.

5.7.2. Alarm aliran air harus memakai sensor mekanis yang cocok dengan jenis pipa
tegaknya.

5.7.3. Alarm aliran air jenis tongkat harus digunakan hanya pada sistem pipa tegak basah

6. Persyaratan instalasi.

6.1. Lokasi dan perlindungan pipa.

6.1.1. Lokasi pipa tegak kering.

Pipa tegak kering harus tidak dihubungkan pada dinding bangunan atau dipasang pada kolom
penguat dinding.

6.1.2. Perlindungan pipa.

6.1.2.1*. Pemipaan sistem pipa tegak harus tidak tembus melalui daerah berbahaya dan harus
ditempatkan sehingga terlindung dari kerusakan mekanis dan api.

6.1.2.2. Pipa tegak dan pemipaan lateral yang dipasok oleh pipa tegak harus ditempatkan
dalam tangga eksit yang diselubungi atau harus dilindungi dengan tingkat ketahanan api sama
dengan yang dipersyaratkan untuk tangga eksit yang diselubungi dalam bangunan dimana
pemipaan ini ditempatkan.

Pengecualian 1 :

Dalam bangunan yang dipasang dengan sistem springkler otomatis yang disetujui, pemipaan lateral sambungan slang
dengan diameter sampai 63,5 mm ( 2½ inci ) tidak dipersyaratkan untuk dilindungi.

Pengecualian 2 :

Pemipaan yang menyambungkan pipa tegak ke sambungan slang 38,1 mm ( 1½ inci ).

6.1.2.3. Apabila berada pada kondisi korosi, atau pemipaan dipasang terbuka ke udara luar,
pipa jenis tahan korosi, tabung, alat penyambung dan penggantung atau lapisan pelindung tahan
korosi harus digunakan. Jika pipa baja ditanam bawah tanah, harus dilindungi terhadap korosi
sebelum di tanam.

19 dari 52
SNI 03-1745-2000

6.1.2.4. Untuk meminimalkan atau mencegah pipa tegak pecah apabila terjadi gempa bumi,
sistem pipa tegak harus dilindungi sesuai ketentuan yang berlaku.

6.2. Katup sorong dan katup penahan balik.

6.2.1. Penyambungan untuk setiap pasokan air harus disediakan dengan katup jenis
penunjuk yang disetujui dan katup penahan balik yang ditempatkan dekat dengan pasokannya,
seperti tangki-tangki, pompa-pompa dan sambungan-sambungan dari sistem air.

Pengecualian :

Sambungan pemadam kebakaran.

6.2.2. Katup harus disediakan untuk memungkinkan penutupan pipa tegak tanpa menggangu
pasokan ke pipa tegak lain dari sumber pasokan yang sama.

6.2.3. Jenis katup penunjuk yang terdaftar harus dipasang pada pipa tegak untuk mengontrol
pipa cabang dari kotak slang yang jauh.

6.2.4. Apabila katup jenis keping tipis digunakan, katup harus dipasang sehingga tidak
mengganggu beroperasinya komponen-komponen sistem lainnya.

6.2.5. Katup-katup pada sistem kombinasi.

6.2.5.1. Setiap penyambungan pipa tegak yang merupakan bagian sistem kombinasi ke sistem
springkler harus mempunyai katup kendali yang tersendiri dengan ukuran yang sama dengan
ukuran penyambungnya.

6.2.5.2*. Setiap penyambung pipa tegak yang merupakan bagian sistem kombinasi ke sistem
springkler dan disambungkan bersama dengan pipa tegak lain, harus mempunyai katup kontrol
tersendiri dan katup penahan balik dengan ukuran yang sama dengan penyambungnya.

6.2.6. Katup pada sambungan ke pasokan air.

6.2.6.1. Sambungan ke sistem saluran air umum harus dikontrol oleh tonggak katup penunjuk
dari jenis yang disetujui yang diletakkan tidak kurang dari 12 m ( 40 ft) dari bangunan yang
dilindungi. Semua katup ditandai dengan jelas untuk menunjukkan terawat pada saat dikontrol.

Pengecualian 1 :

Apabila katup tidak dapat diletakkan pada kurang dari 12 m (40 ft) dari bangunan, katup ini harus dipasang di lokasi
yang disetujui, mudah dibaca dan dijangkau, dalam hal terjadi kebakaran terutama tidak menjadi rusak.

Pengecualian 2 :

Apabila tonggak katup penunjuk tidak dapat dipakai, katup bawah tanah boleh digunakan. Katup diletakkan langsung,
mudah dibuka, dan untuk perawatan mudah dikontrol dengan diberi tanda yang jelas pada bangunan yang dilayani.

6.2.6.2. Apabila pipa tegak dipasok dari pipa utama halaman atau pipa utama bangunan lain,
sambungan harus disediakan dengan katup jenis penunjuk yang terdaftar yang diletakkan diluar
pada jarak yang aman dari bangunan atau dari pipa utama.

20 dari 52
SNI 03-1745-2000

6.2.7. Katup supervisi.

Sistem katup pasokan air, katup kontrol pemisah dan katup-katup lain pada saluran masuk utama
harus mudah diawasi dengan cara yang disetujui dalam posisi terbuka oleh salah satu cara sebagi
berikut :

a). Melayani tanda bahaya ke gardu utama, pengelola bangunan, atau gardu jauh.

b). Pemasangan tanda bahaya lokal yang akan mengeluarkan suara pada suatu tempat yang
selalu dijaga.

c). Penguncian katup pada keadaan terbuka.

d). Penyegelan katup, tiap minggu dicatat apakah segel dalam keadaan baik. Penyegelan
hanya bisa dilakukan apabila katup diletakkan di ruangan tertutup di bawah penguasaan
pemilik gedung.

Pengecualian :

Katup sorong dalam tanah dengan kotak jalan tidak dipersyaratkan harus supervisi.

6.2.8. Tanda arah dan identifikasi ruang untuk katup.

6.2.8.1. Semua pipa utama dan bagian sistem katup kontrol, termasuk katup kontrol pasokan
air, harus disediakan tanda yang menunjukkan bagian sistem yang dikontrol oleh katup.

6.2.8.2. Semua kontrol, pengeringan, dan katup sambungan untuk pengujian harus disediakan
dengan tanda-tanda yang menunjukkan tujuannya.

6.2.8.3. Apabila pemipaan sistem springkler dipasok oleh sistem kombinasi oleh lebih dari satu
pipa tegak ( rancangan lup atau dua pasokan ), suatu penandaan harus diletakkan pada masing-
masing sambungan utama untuk sistem kombinasi pipa tegak untuk menunjukkan bahwa agar
pemisahan sistem springkler dilayani oleh katup kontrol, katup kontrol tambahan atau katup-katup
pada pipa tegak lain harus menutup. Penandaan juga harus mengidentifikasi lokasi penambahan
katup kontrol.

6.2.8.4. Apabila sistem katup utama atau bagiannya ditempatkan di ruang tertututp atau ruang
tersembunyi, perletakan katup harus ditunjukkan oleh suatu tanda di lokasi yang disetujui pada
pintu luar atau yang dekat dengan bukaan ke ruang yang tersembunyi.

6.3*. Sambungan pemadam kebakaran.

6.3.1. Harus tidak ada katup yang tertutup antara sambungan pemadam kebakaran dan
sistem.

6.3.2. Katup penahan balik harus dipasang pada masing-masing sambungan pemadam
kebakaran dan ditempatkan secara praktis di dekat titik penyambungan ke sistem.

6.3.3. Sambungan pemadam kebakaran harus dipasang sebagai berikut :

21 dari 52
SNI 03-1745-2000

a). Sistem pipa tegak basah otomatik dan basah manual.

Pada sisi sistem dari sistem katup kontrol , katup penahan balik, atau setiap pompa, tetapi
pada sisi pasokan dari setiap katup pemisah yang dipersyaratkan pada butir 6.2.2.

b). Sistem pipa tegak kering otomatik.

Pada sisi sistem dari katup kontrol dan katup penahan balik dan sisi pasokan dari katup pipa
kering.

c). Sistem pipa tegak kering semi otomatik.

Pada sisi sistem dari katup banjir.

d). Sistem pipa tegak kering manual.

Dihubungkan langsung ke pemipaan sistem.

6.3.4. Lokasi dan identifikasi.

6.3.4.1. Sambungan pemadam kebakaran harus pada sisi jalan dari bangunan, mudah terlihat
dan dikenal dari jalan atau terdekat dari titik jalan masuk peralatan pemadam kebakaran, dan
harus diletakkan dan disusun sehingga saluran slang dapat dilekatkan ke inlet tanpa mengganggu
sasaran yang berdekatan, termasuk bangunan, pagar, tonggak-tanggak atau sambungan
pemadam kebakaran.

6.3.4.2. Setiap sambungan pemadam kebakaran harus dirancang dengan suatu penandaan
dengan huruf besar, tidak kurang 25 mm ( 1 inci ) tingginya, di tulis pada plat yang terbaca : “PIPA
TEGAK” . Jika springkler otomatik juga dipasok oleh sambungan pemadam kebakaran, penandaan
atau kombinasi penandaan harus menunjukkan keduanya ( contoh : “PIPA TEGAK DAN
SPRINGKLER OTOMATIK” atau ‘SPRINGKLER OTOMATIK DAN PIPA TEGAK” ).

Suatu penandaan juga harus menunjukkan tekanan yang dipersyaratkan pada inlet untuk
penyaluran kebutuhan sistem.

6.3.4.3. Apabila sambungan pemadam kebakaran hanya melayani suatu bagian bangunan,
suatu penandaan harus dilekatkan menunjukkan bagian bangunan yang dilayani.

6.3.4.4*. Suatu sambungan pemadam kebakaran untuk masing-masing sistem pipa tegak harus
diletakkan tidak lebih dari 30 m ( 100 ft) dari hidran halaman terdekat yang dihubungkan ke
pasokan air yang disetujui.

6.3.5. Sambungan pemadam kebakaran harus diletakkan tidak kurang 45 cm ( 18 inci ), tidak
lebih dari 120 cm (48 inci) diatas permukaan tanah sebelah, jalan samping atau permukaan tanah.

6.3.6. Pemipaan sambungan pemadam kebakaran harus ditahan sesuai butir 6.4.

22 dari 52
SNI 03-1745-2000

6.4. Penahan pipa.

6.4.1. Penahan pipa tegak.

6.4.1.1. Pipa tegak harus ditahan oleh alat pelengkap yang dihubungkan langsung ke pipa
tegak.

6.4.1.2. Penahan pipa tegak harus disediakan pada lantai terendah, pada masing-masing lantai
pilihan, dan pada puncak dari pipa tegak. Penahan diatas lantai terendah harus menahan pipa
untuk mencegah gerakan gaya keatas dimana alat penyambung fleksibel digunakan.

6.4.1.3. Penjepit yang menahan pipa dengan menggunakan sekerup tidak boleh digunakan.

6.4.2. Penahan pipa horisontal.

6.4.2.1. Pemipaan horisontal dari pipa tegak ke sambungan slang yang panjangnya lebih dari
450 mm ( 18 inci ) harus disediakan gantungan.

6.4.2.2. Gantungan pemipaan horisontal jarak antar gantungannya maksimum 4,6 m ( 15 ft ).


Pemipaan harus ditahan untuk mencegah gerakan gaya horisontal apabila alat penyambung
fleksibel digunakan.

6.5. Pemasangan tanda-tanda.

Tanda-tanda harus diamankan terhadap alat atau dinding bangunan dengan kuat dan rantai tahan
korosi atau alat pengunci.

6.6. Tanda-tanda untuk pompa pemasok air.

Apabila pompa kebakaran disediakan, suatu penandaan harus diletakkan di daerah sekitar pompa
yang menunjukkan tekanan minimum dan aliran yang dibutuhkan pada flens pancaran pompa
untuk memenuhi kebutuhan sistem.

6.7*. Tanda informasi perancangan hidraulik

Kontraktor yang memasang harus menyediakan tanda identifikasi sebagai dasar perancangan
sistem seperti salah satunya perhitungan hidraulik atau skedul pipa. Tanda harus diletakkan pada
katup kontrol pasokan otomatik untuk sistem pipa tegak otomatik atau semi otomatik dan disetujui
penempatannya untuk sistem manual.

Penandaan harus menunjukkan sebagai berikut :

a). Lokasi dari dua sambungan slang yang secara hidraulik terjauh.

b). Rancangan laju aliran untuk identifikasi sambungan dalam butir 6.7.a.

c). Rancangan tekanan akhir (residual) inlet dan tekanan outlet untuk identifikasi sambungan
butir 6.7.a.

23 dari 52
SNI 03-1745-2000

d). Tekanan statik rancangan dan rancangan kebutuhan sistem ( yaitu aliran dan tekanan akhir )
pada katup kontrol sistem, atau pada flens pancaran pompa apabila pompa dipasang, dan
masing-masing sambungan pemadam kebakaran.

7. Perancangan.

7.1*. Umum.

Perancangan sistem pipa tegak ditentukan oleh tingginya bangunan gedung, luas per lantai kelas
hunian, perancangan sistem jalan keluar, persyaratan laju aliran dan tekanan sisa, dan jarak
sambungan slang dari sumber pasokan air.

7.2*. Batasan tekanan.

Tekanan maksimum pada titik dimanapun pada sistem, setiap saat tidak boleh melebihi 24,1 bar
(350 psi).

7.3. Letak sambungan slang.

7.3.1*. Umum.

Sambungan slang dan kotak hidran tidak boleh terhalang dan harus terletak tidak kurang dari 0,9
m (3 feet) atau lebih dari 1,5 m (5 feet) di atas permukaan lantai.

7.3.2*. Sistem kelas I.

Sistem kelas I dilengkapi dengan sambungan untuk slang dengan ukuran 65 mm (2½ inci) pada
tempat-tempat berikut :

a). pada setiap bordes diantara 2 lantai pada setiap tangga kebakaran yang dipersyaratkan.

Pengecualian :

Sambungan slang diizinkan untuk diletakkan pada lantai bangunan di dalam tangga kebakaran, atas persetujuan
instansi yang berwenang.

b). pada setiap sisi dinding yang berdekatan dengan bukaan jalan keluar horisontal

c). di setiap jalur jalan keluar (passageway) pada pintu masuk dari daerah bangunan menuju ke
jalan terusan (passageway).

d). di bangunan mal yang tertutup, pada pintu masuk ke setiap jalur jalan keluar atau koridor
jalan keluar dan pintu-pintu masuk untuk umum menuju ke mal.

e). pada lantai tangga kebakaran yang teratas dengan tangga yang dapat mencapai atap, dan
bila tangga tidak dapat mencapai atap, maka sambungan slang tambahan 65 mm (2½ inci)
harus disediakan pada pipa tegak yang terjauh (dihitung secara hidraulik) untuk memenuhi
keperluan pengujian.

f)*. apabila bagian lantai atau tingkat yang terjauh dan yang tidak dilindungi oleh springkler yang
jarak tempuhnya dari jalan keluar yang disyaratkan melampaui 45,7 m (150 feet) atau bagian

24 dari 52
SNI 03-1745-2000

lantai/tingkat yang terjauh dan dilindungi oleh springkler yang jarak tempuhnya melebihi 61
m (200 feet) dari jalan keluar yang disyaratkan, sambungan slang tambahan harus
disediakan pada tempat-tempat yang disetujui, dan yang disyaratkan oleh instansi pemadam
kebakaran setempat.

7.3.3*. Sistem kelas II.

Sistem kelas II harus dilengkapi kotak hidran dengan slang ukuran 40 mm (1½ inci) sedemikian
rupa sehingga setiap bagian dari lantai bangunan berada 39,7 m (130 feet) dari sambungan slang
yang dilengkapi dengan slang 40 mm (1½ inci).

7.3.4. Sistem kelas III.

Sistem kelas III harus dilengkapi dengan sambungan slang sebagaimana disyaratkan untuk sistem
kelas I dan sistem kelas II.

7.4. Jumlah pipa tegak.

Di setiap tangga kebakaran yang disyaratkan, harus dilengkapi dengan pipa tegak tersendiri.

7.5. Hubungan antar pipa tegak.

Apabila dua atau lebih pipa tegak dipasang pada bangunan yang sama atau bagian bangunan
yang sama, pipa-pipa tegak ini harus saling dihubungkan pada bagian bawahnya. Bilamana pipa-
pipa tegak ini dipasok dari tangki yang terletak pada bagian atas dari bangunan atau zona, pipa-
pipa tegak tersebut harus juga saling dihubungkan di bagian atas dan harus dilengkapi dengan
katup tahan aliran balik pada setiap pipa tegak untuk mencegah terjadinya sirkulasi.

7.6. Ukuran minimum pipa tegak.

7.6.1. Ukuran pipa tegak untuk sistem kelas I dan kelas III harus berukuran sekurang-
kurangnya 100 mm (4 inci).

7.6.2. Pipa tegak yang merupakan bagian dari sistem kombinasi harus berukuran sekurang-
kurangnya 150 mm (6 inci).

Pengecualian :

Untuk bangunan yang seluruhnya dilengkapi dengan springkler, dan mempunyai kombinasi sistem pipa tegak yang
dihitung secara hidraulik, ukuran minimum pipa tegaknya adalah 100 mm (4 inci ).

7.7*. Tekanan minimum untuk perancangan sistem dan penentuan ukuran pipa.

Sistem pipa tegak harus dirancang sedemikian rupa sehingga kebutuhan sistem dapat dipasok
oleh sumber air yang tersedia sesuai dengan yang disyaratkan dan sambungan pipa harus sesuai
dengan sambungan milik mobil pemadam kebakaran.

Mengenai pasokan air yang tersedia dari mobil pompa pemadam kebakaran milik instansi
pemadam kebakaran, harus dikonsultasikan dengan instansi yang berwenang.

Sistem pipa tegak harus salah satu dari berikut ini :

25 dari 52
SNI 03-1745-2000

a). dirancang secara hidraulik untuk mendapatkan laju aliran air pada tekanan sisa 6,9 bar (100
psi) pada keluaran sambungan slang 65 mm (2½ inci) terjauh dihitung secara hidraulik, dan
4,5 bar (65 psi ) pada ujung kotak hidran 40 mm (1½ inci) terjauh dihitung secara hidraulik.

Pengecualian :

Bilamana instansi yang berwenang mengijinkan tekanan lebih rendah dari 6,9 bar (100 psi) untuk sambungan slang
ukuran 65 mm ( 2½ inci), berdasarkan taktik pemadaman, tekanan dapat dikurangi hingga paling rendah 4,5 bar (65
psi).

b). ukuran pipa dengan laju aliran yang disyaratkan pada tekanan sisa 6,9 bar (100 psi) pada
ujung slang terjauh dengan ukuran 65 mm (2½ inci) dan tekanan 4,5 bar (65 psi) pada ujung
slang terjauh dengan ukuran 40 mm (1½ inci), dirancang sesuai seperti tertera pada tabel
7.7.b . Perancangan yang menggunakan cara skedul pipa, harus dibatasi hanya untuk pipa
tegak basah dari bangunan yang tidak dikatagorikan sebagai bangunan tinggi.

Tabel 7.7.b.: Diameter pipa minimal (dalam inci ), ditinjau dari jarak total pipa dan total akumulasi
aliran

Total akumulasi aliran Jarak total pipa terjauh dari keluaran


gpm Liter/menit < 15,2 m 15,2 ~ 30,5 m > 30,5 m
100 379 2 inci 2 ½ inci 3 inci
101 ~ 500 382 ~ 1.893 4 inci 4 inci 6 inci
501 ~ 750 1.896 ~ 2.839 5 inci 5 inci 6 inci
751 ~ 1.250 2.843 ~ 4.731 6 inci 6 inci 6 inci
1.251 ke atas 4.735 keatas 8 inci 8 inci 8 inci

7.8*. Tekanan maksimum untuk sambungan slang.

7.8.1. Bilamana tekanan sisa pada keluaran ukuran 40 mm (1½ inci) pada sambungan slang
yang tersedia untuk digunakan oleh penghuni melampaui 6,9 bar (100 psi), alat pengatur tekanan
yang sudah diuji harus disediakan untuk membatasi tekanan sisa dengan aliran yang disyaratkan
di butir 5.9, pada tekanan 6,9 bar (100 psi).

7.8.2. Bilamana tekanan statis pada sambungan slang melampaui 12,1 bar (175 psi), alat
pengatur tekanan yang sudah diuji harus disediakan untuk membatasi tekanan statis dan tekanan
sisa, di ujung sambungan slang 40 mm (1½ inci) yang tersedia untuk digunakan oleh penghuni,
bertekanan 6,9 bar ( 100 psi), dan bertekanan 12,1 bar (175 psi) pada sambungan slang lainnya.

Tekanan pada sisi masukan dari alat pengatur keluaran harus tidak melebihi kemampuan tekanan
kerja alat.

7.9. Laju aliran minimum.

7.9.1. Sistem kelas I dan kelas III.

7.9.1.1*. Laju aliran minimum.

Untuk sistem kelas I dan kelas III, laju aliran minimum dari pipa tegak hidraulik terjauh harus
sebesar 1.893 liter/menit (550 gpm). Laju aliran minimum untuk pipa tegak tambahan harus

26 dari 52
SNI 03-1745-2000

sebesar 946 liter/menit (250 gpm) untuk setiap pipa tegak, yang jumlahnya tidak melampaui 4.731
liter/menit (1.250 gpm). Untuk sistem kombinasi, lihat butir 7.9.1.3.

Pengecualian :

Bila luas lantai lebih dari 7.432 m2 (80.000 feet2 ), maka pipa tegak terjauh berikutnya harus dirancang untuk dapat
menyalurkan 1.983 liter/menit (500 gpm).

7.9.1.2*. Prosedur perhitungan hidraulik.

Perhitungan hidraulik dan penentuan ukuran pipa untuk setiap pipa tegak harus berdasarkan pada
penyediaan sebesar 946 liter/menit (250 gpm) yang pada kedua sambungan slang terjauh secara
hidraulik pada pipa tegak dan pada outlet teratas dari setiap pipa tegak lainnya sesuai dengan
tekanan sisa minimum yang disyaratkan pada butir 7.7.

Pemipaan pasokan bersama harus dihitung untuk memenuhi syarat laju aliran semua pipa tegak
yang dihubungkan ke sistem pemipaan tersebut, dengan jumlah yang tidak melebihi 4.731
liter/menit (1.250 gpm).

7.9.1.3. Sistem kombinasi.

7.9.1.3.1*. Untuk bangunan yang seluruhnya diproteksi dengan springkler otomatis yang telah
disetujui, kebutuhan sistem yang ditetapkan pada butir 7.7 dan 7.9.1 diperkenankan juga untuk
melayani sistem springkler. Sehubungan dengan hal tersebut maka kebutuhan terpisah untuk
springkler tidak dipersyaratkan lagi.

Pengecualian :

Bilamana kebutuhan pasokan air untuk sistem springkler termasuk kebutuhan aliran slang sebagaimana ditentukan
sesuai peraturan springkler yang berlaku melampaui kebutuhan sistem sebagaimana yang ditetapkan pada butir 7.7 dan
7.9.1, angka yang terbesarlah yang harus disediakan. Laju aliran yang disyaratkan untuk pipa tegak sistem kombinasi
dalam suatu bangunan yang seluruhnya diproteksi dengan sistem springkler otomatis tidak dipersyaratkan melampaui
3.785 liter/menit (1.000 gpm) kecuali bila disyaratkan oleh instansi yang berwenang.

7.9.1.3.2. Untuk sistem kombinasi pada bangunan yang dilengkapi dengan proteksi springkler
otomatis secara parsial, laju aliran sebagaimana yang dipersyaratkan pada butir 7.9.1 harus
dinaikkan dengan jumlah yang setara dengan kebutuhan springkler yang dihitung secara hidraulik
atau 568 liter/menit (150 gpm) untuk tingkat hunian bahaya kebakaran ringan atau 1.893 liter/menit
(500 gpm) untuk tingkat hunian bahaya kebakaran sedang.

7.9.1.3.3. Bilamana sistem pipa tegak yang ada mempunyai pipa tegak dengan diameter
minimum 100 mm (4 inci) akan digunakan untuk memasok sistem springkler yang harus diperbaiki,
pasokan air yang dipersyaratkan pada butir 7.9.1. maka air yang dibutuhkan tidak disyaratkan
untuk dilengkapi dengan sarana otomatis atau semi otomatis jika instansi yang berwenang
menyetujui, dan pasokan air cukup untuk memasok kebutuhan hidraulik dari sistem springkler.

27 dari 52
SNI 03-1745-2000

7.9.2. Sistem kelas II.

7.9.2.1. Laju aliran minimum.

Untuk sistem kelas II, laju aliran minimum untuk pipa tegak terjauh dan dihitung secara hidraulik
adalah 379 liter/menit (100 gpm). Aliran tambahan tidak dipersyaratkan bila terdapat lebih dari 1
(satu) pipa tegak.

7.9.2.2. Prosedur perhitungan hidraulik.

Perhitungan hidraulik dan penentuan ukuran pipa untuk setiap pipa tegak harus didasarkan pada
penyediaan 379 liter/menit (100 gpm) di sambungan slang yang secara hidraulik terjauh pada pipa
tegak dengan tekanan sisa minimum disyaratkan pada butir 7.7 Pemipaan pasokan bersama yang
melayani pipa tegak ganda harus dihitung untuk penyediaan 379 liter/menit (100 gpm).

7.10. Panjang pipa ekuivalen dari katup dan fitting untuk sistem perancangan
hidraulik.

7.10.1. Umum.

Tabel 7.10.1 harus dipakai untuk menentukan panjang pipa ekuivalen untuk fitting dan alat kecuali
data uji pabrik ada yang menunjukkan faktor-faktor lain.

7.10.2. Penyesuaian.

Tabel 7.10.1, harus dipakai hanya dimana faktor C dari Hazen-Williams adalah 120. Untuk nilai
lain dari C, nilai dalam tabel 7.10.1 harus dikalikan dengan faktor yang ditunjukkan dalam tabel
7.10.2(a). Tabel 7.10.2(b) menunjukkan faktor C dari bahan pipa yang umum dipakai.

Pengecualian :

Harus dimintakan izin dari Instansi yang berwenang untuk pemakaian nilai C yang lain.

Tabel 7.10.1 : Panjang pipa ekuivalen


Fitting dan Fitting dan katup dinyatakan dalam panjang ekuivalen pipa (feet)

28 dari 52
SNI 03-1745-2000

katup ¾“ 1” 1¼ “ 1½” 2” 2½” 3” 3½” 4” 5” 6” 8” 10” 12”


0
Elbow 45 1 1 1 2 2 3 3 3 4 5 7 9 11 13
Elbow standar
0 2 2 3 4 5 6 7 8 10 12 14 18 22 27
90
Elbow panjang
0 1 2 2 2 3 4 5 5 6 8 9 13 16 18
90
Tee atau silang
(sudut belok 3 5 6 8 10 12 15 17 20 25 30 35 50 60
0
90 )
Katup kupu-
6 7 10 12 9 10 12 19 21
kupu
Katup sorong. 1 1 1 1 2 2 3 4 5 6
Katup satu arah
5 7 9 11 14 16 19 22 27 32 45 55 65
ayun.
Katup bulat 46 70
Katup sudut 20 31
Untuk unit SI; 1 inci = 25,4 mm

Tabel 7.10.2(a).: Faktor penyesuaian untuk nilai C

Nilai C 100 130 140 150


Faktor perkalian 0,713 1,16 1,33 1,51

Tabel 7.10.2(b) : Nilai C dari Hazen-Williams

Pipa atau tabung Nilai C


Unlined cast or ductile iron 100
Black steel (dry systems, including preaction) 100
Black steel (wet systems, including deluge). 120
Galvanized (all) 120
Plastic (listed – all). 150
Cement-lined casr or ductile iron 140
Copper tube or stainless steel. 150

7.11*. Saluran pembuangan dan pipa tegak untuk keperluan pengujian.

7.11.1. Pipa tegak untuk pembuangan berukuran 76 mm (3 inci) yang dipasang secara
permanen berdekatan dengan setiap pipa tegak dan dilengkapi dengan peralatan pengaturan
tekanan untuk memungkinkan keperluan pengujian setiap peralatan.

Pipa tegak untuk pembuangan harus dipasang dengan tee 80 mm x 65 mm (3 inci x 2½ inci)

7.11.2. Setiap pipa tegak harus dilengkapi dengan sarana saluran pembuangan. Katup
pembuangan dengan pemipaannya dipasang pada titik terendah dari pipa tegak dan harus diatur
untuk dapay membuang air pada tempat yang disetujui.

29 dari 52
SNI 03-1745-2000

7.12. Sambungan mobil pemadam kebakaran.

7.12.1. Satu atau lebih sambungan mobil pemadam kebakaran harus disediakan untuk setiap
zona dari sistem pipa tegak kelas I atau kelas III.

Pengecualian :

Sambungan mobil pemadam kebakaran untuk zona yang tinggi tidak dipersyaratkan bila dilengkapi sesui butir 9-4.3.

7.12.2. Bangunan tinggi harus dilengkapi sekurang-kurangnya untuk setiap zona dengan 2
(dua) atau lebih sambungan untuk mobil pemadam kebakaran dengan penempatannya yang
berjauhan.

Pengecualian :

Sambungan tunggal mobil pemadam kebakaran untuk setiap zona diperkenankan, apabila diizinkan oleh instansi yang
berwenang.

8. Perencanaan dan perhitungan.

8.1*. Gambar rencana dan spesifikasi teknis.

Gambar rencana yang secara akurat menunjukkan detail dan pengaturan dari sistem pipa tegak
harus disiapkan untuk instansi yang berwenang sebelum sistem instalasi dilaksanakan. Gambar
rencana tersebut harus jelas, mudah dimengerti dan digambar dengan menggunakan skala.
Gambar-gambar harus menunjukkan lokasi, pengaturan, sumber air, peralatan, dan semua detail
yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa ketentuan ini dipenuhi.

Rencana harus mencakup spesifikasi teknis, sifat dari bahan-bahan yang digunakan dan harus
menguraikan semua komponen sistem. Rencana tersebut harus dilengkapi juga dengan diagram
yang menunjukkan ketinggian.

8.2*. Perhitungan hidraulis.

Bilamana sistem pemipaan pipa tegak dihitung secara hidraulik, maka bersamaan dengan
penyerahan gambar rencana disertakan juga perhitungan secara lengkap.

9. Pasokan air.

9.1*. Pasokan air yang dipersyaratkan.

9.1.1. Sistem pipa tegak otomatis harus dihubungkan dengan pasokan air yang telah
disetujui dan mampu memenuhi kebutuhan sistem.

Sistem pipa tegak manual harus mempunyai pasokan air yang telah disetujui dan dapat
dihubungkan dengan mobil pompa pemadam kebakaran.

Pasokan air otomatis tinggal dapat diizinkan untuk digunakan bilamana dapat memasok kebutuhan
sistem dalam waktu yang dipersyaratkan.

30 dari 52
SNI 03-1745-2000

Pengecualian :

Bilamana pasokan air sekunder disyaratkan, maka harus memenuhi seperti pada butir 9.4.3.

9.2. Pasokan minimum untuk sistem klas I dan klas III.

Sumber-sumber pasokan air yang diizinkan :

a). Suatu sistem pengairan umum yang tekanan dan laju alirannya mencukupi.

b). Pompa air otomatis yang dihubungkan dengan sumber air yang telah disetujui sesuai
standar yang disyaratkan.

c). Pompa-pompa pemadam kebakaran manual yang dikombinasikan dengan tangki-tangki


bertekanan.

d). Tangki-tangki bertekanan yang dipasang sesuai dengan standar.

e). Pompa pemadam api manual yang dapat dioperasikan dengan peralatan kendali jarak jauh
(remote control devices) pada setiap kotak hidran.

f). Tangki-tangki gravitasi yang dipasang sesuai standar.

9.3. Pasokan minimum untuk sistem klas II.

Pasokan air harus cukup tersedia untuk kebutuhan sistemsebagaimana ditetapkan pada butir 7.7
dan butir 7.9.1 yang sekurang-kurangnya untuk 45 menit.

9.4. Zona sistem pipa tegak.

Setiap zona yang membutuhkan pompa harus dilengkapi dengan bagian pompa terpisah,
sehingga memungkinkan untuk digunakannya pompa-pompa yang disusun secara seri.

9.4.1. Bilamana beberapa pompa yang melayani dua atau lebih zona terletak pada
ketinggian/level yang sama, maka setiap zona harus mempunyai pipa pemasok yang terpisah dan
langsung dengan ukuran yang tidak lebih kecil dari pipa tegak yang dilayani. Zona dengan dua
atau lebih pipa tegak harus mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) pipa pemasok langsung dari
ukuran yang tidak lebih kecil dari ukuran pipa tegak terbesar yang dilayani.

9.4.2. Bilamana pasokan untuk setiap zona dipompakan dari satu zona dibawahnya, dan pipa
tegak atau beberapa pipa tegak pada zona lebih di bawah digunakan untuk memasok zona lebih
di atas, pipa tegak tersebut harus sesuai dengan persyaratan untuk jalur pasokan yang disebut
pada butir 9.4.1. sekurang-kurangnya 2 (dua) jalur harus disediakan antara zona dan satu dari
jalur dimaksud harus diatur sedemikian hingga pasokan dapat dikirim secara otomatis dari bawah
ke zona lebih atas.

9.4.3. Untuk sistem dengan 2 (dua) zona atau lebih, zona dalam bagian dari zona kedua dan
zona lebih tinggi yang tidak dapat dipasok dengan menggunakan tekanan sisa yang disyaratkan
pada butir 7.7 dengan menggunakan pompa dan melalui sambungan mobil pemadam kebakaran,
maka prasarana bantu untuk pasokan air harus disediakan. Prasarana ini harus dalam bentuk

31 dari 52
SNI 03-1745-2000

reservoir air yang ditinggikan dengan peralatan pompa tambahan atau prasarana lainnya yang
dapat diterima oleh instansi yang berwenang.

10. Persetujuan sistem.

10.1*. Umum.

10.1.1. Semua sistem yang baru harus diuji terlebih dahulu sesuai tingkat hunian dari
bangunan gedung. Sistem pipa tegak yang sudah ada yang akan digunakan sebagai pipa tegak
untuk sistem kombinasi dalam rangka perbaikan sistem springkler harus diuji sesuai butir 10.4.

10.1.2. Kontraktor yang memasang harus melengkapi dan menanda tangani daftar bahan
yang benar dan sertifikat uji.

10.2. Pengglontoran pipa.

10.2.1. Pemipaan di bawah tanah yang memasok sistem harus diglontor sesuai ketentuan
yang berlaku.

10.2.2. Pemipaan antara sambungan pemadam kebakaran dan katup satu arah pada pipa
inlet harus diglontor dengan sejumlah air yang cukup untuk menghilangkan setiap puing-puing
konstruksi dan sampah-sampah yang dikumpulkan dalam pipa sebelumnya untuk melengkapi
sistem dan sebelum pemasangan sambungan pemadam kebakaran.

10.3. Ulir slang.

Semua ulir sambungan slang dan sambungan pemadam kebakaran harus diuji untuk
keseragaman dengan ulir yang dipakai instansi pemadam kebakaran lokal. Pengujian harus terdiri
dari contoh ulir kopling, tutup atau sumbat ke dalam alat yang dipasang.

10.4. Pengujian hidrostatik.

10.4.1*. Umum.

Semua sistem baru, termasuk pemipaan halaman dan sambungan pemadam kebakaran, harus di
uji secara hidrostatik pada tekanan tidak kurang dari 13,8 bar ( 200 psi) selama 2 jam, atau
dengan tambahan 3,5 bar (50 psi) dari tekanan maksimum apabila tekanan maksimum melebihi
10,3 bar (150 psi). Tekanan uji hidrostatik harus diukur pada titik ketinggian terendah dari sistim
individu atau zona yang akan diuji. Pemipaan sistem pipa tegak di dalam harus menunjukkan tidak
adanya kebocoran. Pipa di dalam tanah harus diuji sesuai ketentuan yang berlaku.

10.4.2. Sambungan mobil pemadam kebakaran.

Pemipaan antara sambungan pemadam kebakaran dan katup satu arah dalam pipa inlet harus
diuji secara hidrostatik dalam hal yang sama seperti menyeimbangkan sistem.

10.4.3. Sistem yang sudah ada.

Apabila sistem pipa tegak yang sudah ada, termasuk pemipaan halaman dan sambungan
pemadam kebakaran, di modifikasi, pemipaan yang baru harus diuji sesuai butir 10.4.1.

32 dari 52
SNI 03-1745-2000

10.4.4. Meteran.

Selama pengujian hidrostatik, tekanan di meteran pada puncak dari setiap pipa tegak harus
diperiksa dan dicatat tekanannya.

10.4.5. Additive air.

Aditive, larutan kimia seperti sodium silicate atau turunan dari sodium silicate, air garam, atau
kimia lainnya harus tidak dipakai untuk pengujian hidrostatik atau untuk menghentikan kebocoran.

10.5. Pengujian aliran.

10.5.1*. Pasokan air harus diuji apakah memenuhi rancangan. Uji ini harus dilakukan dengan
pengaliran air secara hidraulik dari sambungan slang terjauh.

10.5.2. Untuk pipa tegak manual, pompa pemadam kebakaran atau pompa jinjing dengan
kapasitas yang cukup ( yaitu aliran dan tekanan yang dipersyaratkan) harus digunakan untuk
menguji rancangan sistem dengan pemompaan ke dalam sambungan pemadam kebakaran.

10.5.3. Suatu uji aliran harus dilakukan pada setiap outlet atap untuk menguji bahwa tekanan
yang dipersyaratkan terpenuhi pada aliran yang dipersyaratkan.

10.5.4. Susunan pengisian untuk tangki isap harus diuji dengan menutup penuh semua
pasokan ke tangki, pembuangan tangki ke bawayh direncanakan pada permukaan air bawah, dan
kemudian membuka katup pasokan untuk menjamin beroperasinya secara otomatis.

10.5.5. Alat pengatur tekanan.

Setiap alat pengatur tekanan harus diuji untuk membuktikan bahwa pemasangannya betul, dan
beroperasi dengan benar dan tekanan inlet dan outlet dari alat sesuai yang direncanakan.
Tekanan statik dan akhir (residual) pada sisi inlet dan tekanan statik dan akhir (residual) pada sisi
outlet dan aliran harus dicatat pada sertifikat uji kontraktor.

10.5.6. Pengujian aliran pembuangan utama.

Katup pembuangan utama harus dibuka dan harus tetap terbuka sampai tekanan sistem stabil.
Tekanan statik dan akhir (residual) harus dicatat pada sertifikat uji kontraktor.

10.5.7. Pengujian otomatik dan semi otomatik dari pipa tegak.

Otomatik dan semi otomatik sistem kering harus diuji dengan memulai mengalirkan air secara
hidraulik dari sambungan salang terjauh. Sistem harus mengalirkan minimum 250 gpm (946
liter/menit) pada slang dalam waktu 3 menit pembukaan katup slang. Setiap alat kontrol jarak jauh
untuk mengop[erasikan sistem semi otomatik harus diuji sesuai instruksi yang dikeluarkan oleh
pabrik pembuatnya.

10.5.8. Sistem yang mempunyai pompa.

Aoabila pompa merupakan bagian dari pasokan air untuk sistem pipa tegak, pengujian harus
dilakukan dengan mengoperasikan pompa tersebut.

33 dari 52
SNI 03-1745-2000

10.6. Pengujian katup manual.

Setiap katup dimaksud harus dibuka dan ditutup dalam pengoperasiannya dengan memutar roda
putar atau kunci putar untuk membuka penuh dan kembali ke posisi normal. Tutup katup slang
harus cukup rapat untuk mencegah kebocoran selama pengujian dan dibuka setelah pengujian air
buangan dan pelepas tekanan.

10.7. Pengujian Alarm dan supervisi.

Setiap alarm dan alat supervisi yang disediakan harus diuji sesuai ketentuan yang berlaku.

10.8. Instruksi-instruksi.

Kontraktor yang memasang harus menyampaikan kepada pemebri tugas, hal-hal sebagi berikut :

a). Semua literatur dan instruksi yang diberikan oleh pabrik yang terdiri dari cara operasi yang
benar dan pemeliharaan peralatan dan alat-alat yang dipasang;

b). Sebuah kopi dari standar ini.

10.9. Tanda arah.

Pemasangan tanda-tanda arah yang dipersyaratkan oleh standar ini harus dibuktikan.

11. Gedung dalam tahap pembangunan.

11.1. Umum.

Apabila dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang, sistem pipa tegak, apakah sementara atau
tetap, harus disediakan dalam bangunan pada saat masih dalam tahap konstruksi sesuai
ketentuan bagian ini.

11.2. Sambungan pemadam kebakaran.

Pipa tegak harus disediakan dengan tanda yang menyolok mata dan mudah dibaca sambungan
pemadam kebakaran yang mudah dijangkau pada bagian luar bangunan pada permukaan jalan.

11.3. Manfaat lain dari sistem.

Ukuran pipa, sambungan slang, slang, pasokan air, dan detail lain untuk konstruksi baru harus
sesuai dengan standar ini.

11.4. Penahan pipa.

Pipa tegak harus disangga dan ditahan dengan aman pada setiap lantai yang dipilih.

11.5. Sambungan slang.

Tidak kurang satu sambungan slang harus disediakan pada setiap permukaan lantai. Katup slang
harus selalu ditutup setiap waktu dan dijaga terhadap kerusakan mekanis.

34 dari 52
SNI 03-1745-2000

11.6. Pengembangan sistem pemipaan.

Pipa tegak harus diperpanjang ke atas untuk setiap lantai dan ditutup aman pada puncaknya.

11.7. Instalasi sementara.

Pipa tegak sementara harus tetap melayani sampai pipa tegak permanen lengkap. Apabila pipa
tegak sementara dalam kondisi normal berisi air, pipa harus diproteksi terhadap pembekuan.

11.8. Saat pemasangan pasokan air.

Apabila konstruksi mencapai suatu ketinggian dimana tekanan saluran umum tidak mencukupi,
pompa kebakaran sementara atau permanen harus dipasang untuk menyediakan proteksi
terhadap lantai yang tertinggi atau untuk tinggi yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang.

Pengecualian :

Apabila peralatan pompa dari instansi pemadam kebakaran dianggap cukup oleh instansi yang berwenang untuk
memberi tekanan pada pipa tegak yang dipersyaratkan.

11.9. Proteksi sambungan slang dan sambungan mobil pemadam kebakaran.

Tutup (cap) dan sumbat (plug) harus dipasang pada sambungan pemadam kebakaran dan
sambungan slang. Sambungan instansi pemadam kebakaran dan sambungan slang harus
dilindungi terhadap kerusakan fisik.

35 dari 52
SNI 03-1745-2000

Apendiks
Penjelasan bahan
Lampiran ini bukan merupakan bagian dari standar ini, tetapi disertakan sebagai tambahan
informasi saja.

A.3.5. Instansi yang berwenang .

Penyebutan “instansi yang berwenang” digunakan pada dokumen dalam pengertian yang luas,
karena kewenangan dan instansi yang memberi persetujuan beragam, demikian pula pertanggung
jawabannya.

Bila keamanan publik di utamakan, maka instansi yang berwenang dapat saja pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dinas kebakaran setempat, atau pihak lainnya yang secara hukum
berwenang.

A.3.8 Katup penurun tekanan (Pressure Reducing Valve)

Katup pelepas tekanan (pressure relief valve) bukanlah katup penurun tekanan dan tidak boleh
digunakan untuk hal ini.

A.4.1 Penggunaan katup dan alat penyambung kelas standar, biasanya penggunaannya
dibatasi untuk bagian atas tingkat bangunan yang sangat tinggi dan pada peralatan yang
mempunyai tekanan tertinggi kurang dari 12,1 bar (175 psi).

A.4.5.1 Pemadam kebakaran banyak memasang saluran slang dari pompa kedalam bangunan
dan menyambungkannya ke katup outlet yang dapat dijangkau dengan menggunakan sambungan
ulir perempuan ganda (double female swivel) apabila sambungan untuk pemadam kebakaran
pada bangunan tidak dapat dijangkau atau tidak dapat dioperasikan.

Untuk meberi tekanan pada pipa tegak, katup slang dibuka dan mesin pompa akan memompakan
air ke sistem.

Bila pipa tegak dilengkapi dengan katup penurunan tekanan pada slang, katup akan bertindak
sebagai katup penahan balik, sehingga mencegah pemompaan ke dalam sistem apabila katup
terbuka.

Suatu sambungan inlet tunggal tambahan untuk pemadam kebakaran atau katup slang dengan ulir
perempuan pada suatu lokasi yang dapat dijangkau pada pipa tegak memungkinkan pemompaan
ke sistem.

A.4.5.1.2 Bila pipa tembaga dipasang di daerah yang lembab atau lingkungan lainnya yang
mendorong terjadinya korosi secara galvanis, maka harus digunakan gantungan dari bahan
tembaga atau gantungan-gantungan dari besi yang dilapisi bahan isolasi.

A.4.7.2 Standar untuk Slang Kebakaran .

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan rak atau alat penggulung untuk
penyimpanan slang ukuran 40 mm (1½ inci), adalah jumlah orang yang ada dan mampu untuk

36 dari 52
SNI 03-1745-2000

mengoperasikan peralatan serta sejauh mana tingkat keterampilannya. Dengan rak slang yang
semi otomatis atau tipe “satu orang”, katup slang harus dibuka lebar terlebih dahulu. Setelah mana
nozel harus dipegang dengan kuat dan saluran slang ditarik menuju ke api. Air secara otomatis
akan keluar bila gulungan slang hampir habis ditarik keluar dari rak.

A.4.9. Lihat gambar A.6.3.

A.4.9.2. Lihat butir 7.7 dan 7.12 untuk persyaratan rancangan.

A.5.6 Meteran tekanan tambahan yang dipasang pada bagian bawah dari pipa tegak
mungkin diperlukan pada beberapa peralatan, terutama pada pabrik besar dan pada bangunan
tinggi.

A.5.7 Alarm yang dapat didengar biasanya dipasang di bagian luar dari bangunan. Bel jenis
gong listrik, klakson atau sirene yang telah disetujui yang dipasang di dalam gedung atau dipasang
di dalam dan di luar gedung kadang-kadang disarankan.

A.6.1 Sambungan dari pompa-pompa kebakaran dan pasokan air dari luar bangunan
disarankan untuk dipasang pada bagian bawah dari pipa tegak.

A.6.1.2.1 Pipa tegak sebaiknya tidak diletakkan di daerah tanpa sprinkler pada konstruksi
bangunan yang mudah terbakar.

A.6.2.5.2 Kombinasi springkler otomatik dan pipa tegak sebaiknya tidak dihubungkan oleh
pemipaan sistem sprinkler.

A.6.3 Lihat Gambar A.6.3

37 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A.6.3. :Sambungan pemadam kebakaran untuk pipa tegak basah

A.6.3.5.4 Perancang sistem perlu menghubungi instansi yang berwenang sebelum menentukan
lokasi dari sambungan pemadam kebakaran.

A.6.7 Lihat Gambar A.6.7.

Lokasi dari dua sambungan slang yang secara hidraulik terjauh : ………………………………………..

Laju aliran rancangan untuk sambungan-sambungan yang teridentifikasi di atas :

Tekanan inlet rancangan dan outlet untuk sambungan-sambungan yang teridentifikasi di atas :
…………………………………………………………………………………………………………………….

Tekanan statik rancangan dan kebutuhan sistem rancangan ( contoh : aliran dan tekanan akhir/residual) pada
sistem katup kontrol, atau pada flens pancaran pompa apabila pompa dipasang, dan pada masing-masing
sambungan pemadam kebakaran : …………………………………………….

Gambar A.6.7 : Tanda Informasi Sistem Hidrolik .


A.7.1 Ketinggian bangunan menentukan jumlah dari zona vertikal. Luas dari suatu lantai atau
daerah kebakaran dan lokasi eksit serta klasifikasi penghuni, akan menentukan jumlah dan lokasi
dari sambungan slang.

Peraturan bangunan setempat mempengaruhi tipe dari sistem, klasifikasi dari sistem dan letak dari
sambungan slang. Ukuran pipa ditentukan oleh jumlah sambungan slang yang dialiri, kuantitas air
yang mengalir, tekanan akhir (residual) yang diperlukan dan jarak vertikal dan horisontal dari

38 dari 52
SNI 03-1745-2000

sambungan slang itu dari suatu sumber air. Untuk gambar elevasi yang tipikal, lihat Gambar A.7.1
(a), (b) dan (c).

Gambar A.7.1.(a) : Sistem zona tunggal

39 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A-7.1.(b) : Sistem dua zona

40 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A-7.1. ( c ) : Sistem banyak zona.

A.7.3.1 Slang diizinkan untuk diletakkan pada satu sisi dari pipa tegak dan dipasok oleh
sambungan lateral yang pendek pada pipa tegak, untuk menghindari rintangan.

41 dari 52
SNI 03-1745-2000

Sambungan slang untuk sistem-sistem Kelas I disarankan untuk dipasang dalam selubung tangga
jalan dan sambungan untuk sistem Kelas II disarankan diletakkan di koridor atau di ruangan
berdekatan dengan selubung tangga jalan keluar dan dihubungi melalui dinding ke pipa tegak.

Untuk sistem Kelas III, sambungan untuk selang 65 mm (2½ inci) disarankan diletakkan di
selubung tangga jalan keluar dan sambungan-sambungan kelas II disarankan diletakkan didalam
koridor atau di ruangan yang berdekatan dengan selubung tangga jalan keluar.

Pengaturan ini memungkinkan untuk menggunakan secara tepat slang sistem Kelas II bila tangga
jalan keluar penuh dengan orang-orang yang sedang lari keluar pada saat terjadinya kebakaran.
Dalam bangunan yang luas areanya besar, sambungan untuk sistem-sistem Kelas I dan Kelas III
dapat diletakkan pada kolom yang berada dalam bangunan.

A.7.3.2 Sambungan slang yang ditentukan untuk diletakkan pada bordes antar lantai untuk
mencegah terjadinya rintangan pada jalan pintu. Bila terdapat lebih dari satu bordes antara dua
lantai, maka sambungan slang disarankan untuk diletakkan pada bordes yang letaknya kurang
lebih di tengah-tengah antara lantai.

Diketahui bahwa petugas pemadam kebakaran sering menggunakan sambungan slang pada
lantai di bawah lantai yang terbakar, dan lokasi dari sambungan slang pada bordes, hal ini juga
mengurangi jangkauan jarak jalur slang. Pendekatan untuk meletakkan sambungan slang dengan
memperhatikan eksit diperlihatkan pada Gambar A.7.3.2 (a), (b) dan (c).

Gambar A.7.3.2.(a).: Lokasi sambungan slang pada tangga kebakaran.

42 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A.7.3.2. (b).: Lokasi sambungan slang pada eksit horisontal.

Gambar A.7.3.2. (c ).: Lokasi sambungan slang dalam jalan terusan eksit.

Untuk tujuan standar ini, istilah-istilah berikut ini ditentukan untuk digunakan dalam hal peletakan
sambungan slang.

a). Jalan terusan eksit.

Hall, lorong, koridor-koridor, jalan lintas dan terowongan digunakan sebagai komponen eksit
dan terpisah dari bagian bangunan lainnya .

43 dari 52
SNI 03-1745-2000

b). Eksit horisontal.

Suatu jalan terusan dari suatu daerah didalam bangunan ke suatu daerah di bangunan yang
lain pada kurang lebih satu level atau suatu jalan lintas melalui atau disekitar rintangan api
dari suatu daerah ke yang lainnya pada kurang lebih satu level didalam bangunan yang
sama yang dapat memberikan keamanan (safety) terhadap api dan asap yang berasal dari
daerah timbulnya dan daerah-daerah yang berhubungan dengannya.

A.7.3.2.(f). Butir ini bermaksud untuk memberikan kepada instansi pemadam kebakaran setempat
wewenang untuk mempersyaratkan slang tambahan di luar atau pemisah dengan ketahanan api 2
jam. Tambahan sambungan slang ini mungkin diperlukan oleh petugas pemadam kebakaran
untuk mematikan api dalam jangka waktu yang wajar; sesuai dengan panjang slang khusus yang
tersedia pada kotak pipa tegak untuk pemadam kebakaran atau pada kantong yang dibawa oleh
petugas.

Sementara itu sudah diketahui bahwa batasan jarak outlet akan membatasi panjangnya slang
yang diperlukan untuk memadamkan api, demikian pula dapat mengurangi beban fisik petugas
pemadam kebakaran.

Perlu dipahami juga bahwa dalam hal-hal tertentu berdasarkan denah arsitektur, mungkin
diperlukan outlet tambahan (additional outlets) didaerah lantai terbuka untuk dapat menjangkau
keseluruh lantai tersebut. Dalam hal-hal demikian, adalah hampir tak mungkin bahwa outlet
semacam itu dapat digunakan, karena tidak adanya daerah berpijak untuk petugas pemadam
kebakaran ketika akan menjangkau sambungan slang. Oleh karena itu, sambungan slang
tambahan perlu disediakan untuk memenuhi ketentuan jarak, dan disarankan untuk diletakkan
didalam koridor eksit yang mempunyai ketahanan api 1 jam. Hal ini memungkinkan menambah
tingkat keamanan bagi petugas pemadam kebakaran untuk menjangkau sambungan slang.

Sambungan slang demikian perletakan di setiap lantai juga harus seseragam mungkin sehingga
petugas pemadam kebakaran dapat dengan mudah menemukannya pada waktu terjadi
kebakaran.

Sudah diketahui bahwa jarak antar sambungan slang 61 m (200 ft) diizinkan untuk bangunan yang
dilengkapi springkler, namun mungkin masih diperlukan slang tambahan untuk dapat menjangkau
bagian dari lantai yang terjauh. Dengan adanya springkler otomatik akan memberikan waktu yang
cukup bagi petugas pemadam kebakaran untuk menyambung slang dalam kondisi letak api
berada di daerah yang terjauh.

A.7.3.3 Kotak slang sebaiknya disusun untuk memungkinkan pancaran langsung dari nozel
mencapai seluruh bagian yang penting dari bagian yang tertutup seperti lemari tanam dan bagian
yang tertutup sejenis.

A.7.7 Dalam menentukan tekanan pada outlet sambungan slang yang jauh, faktor hilangnya
tekanan pada katup slang perlu dipertimbangkan.

Adalah sangat penting bahwa instansi pemadam kebakaran memilih nozel yang sesuai untuk pipa
tegak yang mereka gunakan dalam operasi memadamkan api.

Nozel tipe semburan takanan konstan otomatik disarankan untuk tidak digunakan untuk operasi
pipa tegak, karena banyak dari tipe ini memerlukan tekanan minimum 6,9 bar (100 psi) pada
masukan nozel untuk memproduksi aliran air guna pemadaman api yang effektip dan wajar. Pada

44 dari 52
SNI 03-1745-2000

operasi pipa tegak, hilangnya tekanan akibat gesekan pada slang, dapat mengakibatkan tidak
tercapainya tekanan 6,9 bar (100 psi) pada nozel.

Pada sistem pipa tegak yang tinggi yang dilengkapi dengan katup penurunan tekanan, petugas
pemadam kebakaran hanya dapat sedikit mengatur atau sama sekali tidak dapat mengatur
tekanan keluaran katup slang.
Tabel A.7.7.: Kesimpulan kerugian gesekan pada aliran dalam slang.

No Aliran Katup outlet


Nozel/Slang
perhitungan (gpm) (L/menit) (psi) (bar)
Kombinasi nozel 2½ inci dengan
1 panjang slang 150 ft dan 250 946 123 8,5
diameter slang 2½ inci.
Lubang halus 2½” dengan ujung
2 1 18 inci dan slang 2½ inci 250 946 73 5
dengan panjang 150 ft.
Kombinasi dari nozel 1½ inci
dengan slang 1½” panjang 100 ft
3 250 946 149 10,3
per nozel, 2½ inci TY, dan slang
2½ inci panjang 50 ft.
Sama seperti perhitungan No.3
4 dengan dua slang diameter 1¾ 250 946 139 9,6
inci dan panjang 100 ft.
Sama seperti perhitungan No.3
5 dengan dua slang diameter 2 250 946 120 8,3
inci dan panjang slang 100 ft.
Kombinasi nozel 1½” dengan
6 panjang slang 150 ft dan 200 757 136 9,4
diameter slang 2 inci.
Sama seperti perhitungan No.6
7 200 757 168 11,6
dengan slang diameter 1¾ inci .
A.7.8 Akibat adanya perbedaan pembatasan tekanan sebagaimana ditetapkan di butir 7-8,
mungkin perlu dilakukan pengaturan susunan pemipaan sehingga dapat disediakan peralatan
pengaturan tekanan terpisah untuk sambungan slang Kelas I dan Kelas II.

A.7-9.1.1 Bila suatu sistem pasokan air memasok lebih dari satu bangunan atau lebih dari satu
daerah kebakaran, jumlah pasokan air dapat dihitung berdasarkan pada satu bangunan atau
daerah kebakaran, dengan kebutuhan jumlah pipa tegak yang terbanyak.

A.7.9.1.3.1 Daftar berikut ini menyediakan contoh-contoh hunian berdasarkan macam


klasifikasi bahaya kebakaran. Contoh-contoh ini bermaksud mewakili bentuk untuk tipe hunian
tersebut. Beban bahan bakar yang tidak lazim dan normal atau sifat yang mudah terbakar dan
mudah berubah terhadap sifat ini untuk suatu hunian tertentu, perlu dipertimbangkan dalam
melakukan seleksi dan klasifikasi.

Klasifikasi beban kebakaran ringan bermaksud untuk mencakup hunian, namun tidak menghalangi
penggunaan springkler untuk perumahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau bagian
hunian lainnya.

45 dari 52
SNI 03-1745-2000

a). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Ringan termasuk hunian yang mempunyai kondisi
serupa dengan :

1) Rumah ibadah

2) Gedung pertemuan (klub)

3) Bagian-bagian atap (‘eaves’) dan serambi-serambi (over hangs), bila konstruksi terbuat
dari bahan yang mudah terbakar dengan dibawahnya tidak ada bahan yang mudah
terbakar.

4) Bangunan pendidikan.

5) Rumah Sakit

6) Perpustakaan-perpustakaan, kecuali ruangan-ruangan dengan tumpukan besar.

7) Musium-musium

8) Rumah-rumah perawatan atau rumah-rumah pemulihan kesehatan

9) Bangunan-bangunan kantor, termasuk daerah prosessing data

10) Kediaman / perumahan

11) Restoran, daerah tempat duduk

12) Teater dan auditorium, tidak termasuk panggung dan ruangan-ruangan antara layar
dan orkes .

13) Ruangan atap yang tidak digunakan

b). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Sedang (Ordinary Hazard Occupancies) Kelompok 1,
termasuk hunian-hunian yang mempunyai kondisi-kondisi serupa dengan :

1) Parkir untuk mobil dan ruangan pamer

2) Bakeri

3) Pabrik pembuat minum

4) Pabrik pengalengan

5) Pabrik pembuat dan pemroses produk susu

6) Pabrik elektronik

7) Pabrik gelas dan membuat produk gelas

8) Binatu

9) Restoran, daerah servis

46 dari 52
SNI 03-1745-2000

c). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Sedang (Ordinary Hazard Occupancies) Kelompok 2,
termasuk hunian-hunian yang mempunyai kondisi-kondisi serupa dengan :

1) Penggilinga produk biji-bijian

2) Pabrik kimia (sedang)

3) Pabrik pembuat produk gula-gula

4) Pabrik destilasi

5) Pencucian dengan sistem kering/kimia

6) Penggilingan makanan ternak

7) Kandang kuda

8) Pabrik pengolahan bahan kulit

9) Perpustakaan (dengan daerah tumpukan besar)

10) Pabrik permesinan

11) Pabrik pekerjaan metal

12) Perdagangan (mercantile)

13) Penggilingan kertas dan pulp

14) Pebrik pemroses kertas

15) Kade dan dermaga

16) Kantor pos (besar)

17) Penerbitan dan percetakan

18) Bengkel reparasi mobil

19) Panggung teater

20) Pabrik textile

21) Pabrik ban

22) Pabrik pembuat produk tembakau

23) Pabrik pengerjaan kayu dengan mesin

24) Pabrik perakitan produk kayu

47 dari 52
SNI 03-1745-2000

d). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Besar (‘Extra Hazard Occupancies’) kelompok 1,
termasuk hunian yang mempunyai kondisi serupa dengan :

1) Hangga pesawat terbang

2) Daerah dimana digunakan fluida hidrolik yang mudah terbakar

3) Pengecoran

4) Ekstrusi metal

5) Pabrik plywood dan papan partikel

6) Percetakan (menggunakan tinta yang mempunyai titik nyala dibawah 37,9 oC (100oF)

7) Pabrik daur ulang karet, penggabungan karet, pengeringan karet, penggilingan karet,
vulkanisir karet .

8) Penggergajian kayu

9) Bangunan pemroses khusus tekstil seperti: textile picking, opening, blending, garneting
and carding, combining cotton, synthetics, wool shoddy or burlap.

10) Bengkel dimana dilakukan pekerjaan melapis dengan foam plastik (upholstering with
plastic foams)

e). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Besar (‘Extra Hazard Occupancies’) kelompok 2,
termasuk hunian yang mempunyai kondisi-kondisi serupa dengan :

1) Pabrik Asphalt Saturating

2) Pabrik yang mempunyai kegiatan penyemprotan dengan bahan cair yang mudah
terbakar (flammable liquids spraying)

3) Pabrik pemrosesan plastik

4) Solvent cleaning

5) Pabrik / bengkel dimana dilakukan pekerjaan varnish dan pengecatan dengan cara
pencelupan

6) Dan pabrik atau tempat-tempat tertentu dimana dilakukan pekerjaan dengan resiko
kebakaran yang tinggi lainnya sesuai dengan ketentuan pihak instansi yang
berwenang.

A.7.11 Selama melakukan pengetesan aliran dari katup-katup penurun tekanan, perlu
diperhatikan untuk membuat sambungan pembuangan (drain) pada pipa tegak . Suatu celah udara
(air gap) perlu dipertahankan untuk mencegah terjadinya hubungan silang (cross connection)
dengan pasokan air yang tidak memenuhi syarat untuk diminum (‘nonpotable water sources’).

A.8.1 Perencanaan perlu mengindentifikasi tipe dari peralatan pemadam kebakaran yang
direncanakan oleh sistem untuk dilayani, termasuk ukuran selang, panjang selang dan nozel.

48 dari 52
SNI 03-1745-2000

Peralatan tersebut diatas merupakan faktor dalam melakukan pemilihan tekanan sesuai dengan
butir 7.7.

A.8.2. Batas tekanan sistem diterapkan untuk menggantikan unit ketinggian sebelumnya.
Sebab permasalahannya ditujukan pada batas ketinggian yang selalu merupakan tekanan
maksimum. Pembatasan tekanan merupakan metoda yang lebih langsung untuk pengaturan dan
memungkinkan fleksibilitas dalam ketinggian unit dimana pompa digunakan, karena suatu kurva
pompa dengan tekanan lebih rendah pada pengaduk pompa (churn) sehingga menghasilkan
tekanan sistem maksimum yang lebih rendah pada saat mencapai kebutuhan sistem yang
diperlukan.

Tekanan sistem maksimum biasanya terjadi pada pengaduk pompa (churn). Pengukuran
dilakukan untuk kedua-duanya, tekanan pompa dan tekanan statis jaringan kota.

Batasan 24 bar ( 350 psi ) dipilih karena merupakan tekanan maksium yang dapat dipenuhi oleh
banyak komponen sistem, dan batasan tersebut menunjukkan mengetahui keperluan tekanan unit
yang wajar.

A.9.1 Dalam melakukan pemilihan pasokan air perlu dikoordinasikan dengan instansi yang
berwenang.

A.10.1 Bila sambungan pipa tegak dipasang dalam dinding-dinding atau partisi , tes hidrostatik
perlu dilakukan terlebih dahulu, sebelum mereka ditutup atau sebelum ditutup dengan bahan
penutup (seal) secara permanen.

Contoh : Tekanan uji hidrostatik yang dipersyaratkan. Pasokan air untuk suatu sistem pipa tegak,
adalah sambungan ke pipa-pipa utama untuk umum. Suatu pompa dengan tekanan yang
ditentukan 100 psi (6,9 bar) dipasang disambungan. Dengan tekanan maksimum normal pada
pasokan air untuk umum sebesar 70 psi (4,9 bar) pada titik elevasi yang rendah dari sistem atau
zona yang sedang dites dan dengan suatu tekanan pompa 120 psi (8,3 bar), maka tekanan tes
hidrolik adalah 70 psi + 120 psi + 50 psi atau 240 psi (16,6 bar).

(Lihat NFPA 24, Standard for the Installation of Private Fire Service Mains and Their
Appurtenances, for permitted leakage in underground piping).

A.10.4.1 Pengetesan dan penggelontoran dari pipa bawah tanah, perlu dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

A.10-5.1 Sambungan slang didalam suatu bangunan yang secara hidrolik yang terjauh,
umumnya berada di manifold pada atap, pada bagian teratas dari tangga yang menuju ke atap.
Pada sistem multizona, cara pengetesan pada umumnya dilakukan pada header untuk tes atau
pada suatu tanki isap (suction tank) pada lantai-lantai lebih tinggi.

Bila pengetesan aliran pada sambungan slang yang secara hidrolik paling jauh tidak praktis untuk
dilaksanakan, maka perlu dikonsultasikan kepada instansi yang berwenang untuk menentukan
tempat pengetesan yang cocok.

A.11.5 Disarankan agar ada suatu box yang kuat, diutamakan terbuat dari metal, diletakkan
pada sambungan selang yang tertinggi, dimana dilengkapi dengan kuantitas selang yang cukup
untuk menjangkau semua bagian-bagian dari lantai, suatu mulut slang (nozel) ukuran 29 mm (1 18
inci ), perkakas untuk membuka dan pengikat selang.

49 dari 52
SNI 03-1745-2000

A.11.6 Sambungan slang pada bagian teratas, disarankan untuk tidak diletakkan lebih dari
satu lantai dibawah perancah (forms) yang tertinggi, lantai kerja (staging) dan bahan serupa yang
mudah terbakar pada setiap waktu.

50 dari 52
SNI 03-1745-2000

PADANAN KATA.
Alat pengatur tekanan. Pressure Control valve
Alat penghambat tekanan. Pressure restricting device.
Bangunan bertingkat tinggi. High rise building.
Instansi yang berwenang. Authority having jurisdiction.
Katup kendali Control valve.
Katup kendali tekanan. Pressure regulating device.
Katup penurun tekanan. Pressure reducing valve.
Katup slang Hose valve.
Kebutuhan sistem System demand.
Kotak slang Hose station.
Pipa cabang Branch line.
Pipa tegak Standpipe
Pipa tegak basah Wet standpipe.
Pipa tegak kering Dry standpipe.
Pipa utama Feed main.
Sambungan regu pemadam kebakaran. Fire department connection.
Sambungan slang Hose connection.
Sistem kombinasi Combined system.
Sistem pipa tegak Standpipe system.
Sistem pipa tegak manual. Manual standpipe system.
Sistem pipa tegak otomatis Automatic standpipe system.
Sistem pipa tegak semi otomatis. Semiautomatic standpipe system.
Tekanan akhir. Pressure, residual.
Tekanan nozle. Pressure, nozzle.
Tekanan statis. Pressure, static.
Zona sistem pipa tegak Standpipe system zone.

51 dari 52
SNI 03-1745-2000

Bibliografi

1 NFPA 13 : Standard for Installation of Sprinkler Systems, 1994 edition.

2 NFPA 13E : Guide for Fire Department Operations in Prop[erties Protected by


Sprinkler and Standpipe systems, 1995 edition.

3 NFPA 20 : Standard for Installation of Centrifugal Fire Pumps, 1993 edition.

4 NFPA 22 : Standard for Water Tanks for Private Protection, 1996 edition.

5 NFPA 24 : Standard for Installation of Private Fire Service Mains and Their
Appurtenances, 1995 edition.

6 NFPA 25 : Standard for Inspection, Testing and Maintenance of Water Based Fire
Protection System, 1995 edition.

7 NFPA 101 : Life Safety Code, 1994 edition.

8 NFPA 1901 : Standard for Pumper Fire Apparatus, 1991 edition.

9 NFPA 1961 : Standard for Fire Hose, 1992 edition.

10 NFPA 1964 : Standard for Spray nozzle (Shutoff and Tip), 1993 edition.

11 ASTM E-380 : “Standard Practice for Use of the International System of Units (SI),
1993.

52 dari 52
SNI 03 - 1729 - 2002

SNI STANDAR NASIONAL INDONESIA

TATA CARA
PERENCANAAN STRUKTUR BAJA
UNTUK BANGUNAN GEDUNG

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM


TATA CARA
PERENCANAAN STRUKTUR BAJA
UNTUK BANGUNAN GEDUNG

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................ i dari xix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xvii dari xix
DAFTAR TABEL ..........................................................................xviii dari xix
1. MAKSUD DAN TUJUAN ................................................. 1 dari 184
1.1 Maksud ................................................................................... 1 dari 184
1.2 Tujuan..................................................................................... 1 dari 184

2. RUANG LINGKUP DAN UMUM..................................... 2 dari 184

3. ACUAN DAN PERSYARATAN-PERSYARATAN ........ 3 dari 184


3.1 Standar Nasional Indonesia .................................................... 3 dari 184
3.2 Persyaratan-persyaratan.......................................................... 3 dari 184
3.1.1 Struktur................................................................................... 3 dari 184
3.1.2 Penanggung jawab perhitungan.............................................. 4 dari 184

4. PENGERTIAN .................................................................... 5 dari 184


4.1 Penggunaan material atau metode alternatif .......................... 7 dari 184
4.1.1 Umum..................................................................................... 7 dari 184
4.1.2 Struktur yang telah berdiri...................................................... 7 dari 184
4.2 Perencanaan............................................................................ 7 dari 184
4.2.1 Data perencanaan ................................................................... 7 dari 184
4.2.2 Detail perencanaan ................................................................. 8 dari 184
4.2.3 Pelaksanaan ............................................................................ 8 dari 184

5. MATERIAL ........................................................................ 9 dari 184

i dari xix
5.1 Sifat mekanis baja .................................................................. 9 dari 184
5.1.1 Tegangan leleh ....................................................................... 9 dari 184
5.1.2 Tegangan putus....................................................................... 9 dari 184
5.1.3 Sifat-sifat mekanis lainnya ..................................................... 9 dari 184
5.2 Baja struktural ........................................................................ 9 dari 184
5.2.1 Syarat penerimaan baja .......................................................... 9 dari 184
5.2.2 Baja yang tidak teridentifikasi................................................ 9 dari 184
5.3 Alat sambung........................................................................ 10 dari 184
5.3.1 Baut, mur, dan ring............................................................... 10 dari 184
5.3.2 Alat sambung mutu tinggi .................................................... 10 dari 184
5.3.3 Las ........................................................................................ 10 dari 184
5.3.4 Penghubung geser jenis paku yang dilas.............................. 10 dari 184
5.3.5 Baut angker........................................................................... 10 dari 184

6. PERSYARATAN UMUM PERENCANAAN ................ 12 dari 184


6.1 Ketentuan umum .................................................................. 12 dari 184
6.2 Beban-beban dan aksi lainnya.............................................. 12 dari 184
6.2.1 Beban-beban......................................................................... 12 dari 184
6.2.2 Kombinasi pembebanan ....................................................... 13 dari 184
6.2.3 Aksi-aksi lainnya.................................................................. 13 dari 184
6.2.4 Gaya-gaya horisontal minimum yang perlu diperhitungkan 14 dari 184
6.3 Keadaan kekuatan batas ....................................................... 14 dari 184
6.4 Keadaan kemampuan-layan batas ........................................ 14 dari 184
6.4.1 Umum................................................................................... 14 dari 184
6.4.2 Metode.................................................................................. 15 dari 184
6.4.3 Batas-batas lendutan............................................................. 15 dari 184
6.4.4 Getaran balok-balok ............................................................. 16 dari 184
6.4.5 Keadaan kemampuan-layan batas baut ................................ 16 dari 184
6.4.6 Perlindungan terhadap korosi .............................................. 16 dari 184
6.5 Keadaan kekuatan dan kemampuan-layan batas dengan
percobaan beban .................................................................. 16 dari 184
6.6 Kebakaran............................................................................. 16 dari 184

ii dari xix
6.7 Gempa .................................................................................. 17 dari 184
6.8 Persyaratan perencanaan lainnya.......................................... 17 dari 184

7. BEBERAPA METODE DALAM ANALISIS STRUKTUR 19 dari 184


7.4.1 Beberapa metode dalam penentuan gaya-dalam .................. 19 dari 184
7.1.1 Beberapa definisi.................................................................. 19 dari 184
7.2 Bentuk-bentuk struktur pada analisis struktur...................... 19 dari 184
7.2.1 Struktur kaku ........................................................................ 20 dari 184
7.2.2 Struktur semi-kaku ............................................................... 20 dari 184
7.2.3 Struktur sederhana................................................................ 20 dari 184
7.2.4 Perencanaan sambungan....................................................... 20 dari 184
7.3 Anggapan dalam analisis...................................................... 20 dari 184
7.3.1 Panjang bentang ................................................................... 21 dari 184
7.3.2 Pengaturan beban hidup pada suatu gedung......................... 21 dari 184
7.3.3 Struktur sederhana................................................................ 21 dari 184
7.4 Analisis elastis...................................................................... 22 dari 184
7.4.1 Anggapan.............................................................................. 22 dari 184
7.4.2 Pengaruh orde kedua ............................................................ 22 dari 184
7.4.3 Analisis orde pertama........................................................... 22 dari 184
7.5 Analisis plastis...................................................................... 25 dari 184
7.5.1 Penerapan ............................................................................. 25 dari 184
7.5.2 Batasan ................................................................................. 25 dari 184
7.5.3 Anggapan analisis................................................................. 26 dari 184
7.6 Analisis tekuk komponen struktur........................................ 27 dari 184
7.6.1 Gaya tekuk elastis................................................................. 27 dari 184
7.6.2 Daya dukung nominal komponen struktur tekan ................. 27 dari 184
7.6.3 Faktor panjang tekuk ............................................................ 28 dari 184
7.6.4 Batas kelangsingan ............................................................... 29 dari 184

8. KOMPONEN STRUKTUR LENTUR ........................... 34 dari 184


8.1 Perencanaan untuk lentur ..................................................... 34 dari 184
8.1.1 Lentur terhadap sumbu utama kuat ...................................... 34 dari 184

iii dari xix


8.1.2 Momen lentur terhadap sumbu lemah .................................. 34 dari 184
8.1.3 Analisis plastis...................................................................... 34 dari 184
8.1.4 Lentur terhadap sumbu sebarang (bukan sumbu utama)...... 35 dari 184
8.1.5 Kombinasi lentur dengan gaya geser atau aksial.................. 35 dari 184
8.2 Kuat nominal lentur penampang dengan pengaruh
tekuk lokal ........................................................................... 35 dari 184
8.2.1 Batasan momen .................................................................... 35 dari 184
8.2.2 Kelangsingan penampang..................................................... 36 dari 184
8.2.3 Penampang kompak ............................................................. 36 dari 184
8.2.4 Penampang tak-kompak ....................................................... 36 dari 184
8.2.5 Penampang langsing............................................................. 36 dari 184
8.3 Kuat lentur nominal penampang dengan pengaruh tekuk
lateral ................................................................................... 37 dari 184
8.3.1 Batasan momen .................................................................... 37 dari 184
8.3.2 Pengekang lateral ................................................................. 37 dari 184
8.3.3 Bentang pendek .................................................................... 37 dari 184
8.3.4 Bentang menengah ............................................................... 38 dari 184
8.3.5 Bentang panjang ................................................................... 38 dari 184
8.4 Kuat lentur nominal balok pelat berdinding penuh .............. 38 dari 184
8.4.1 Batasan momen .................................................................... 38 dari 184
8.4.2 Kuat lentur berdasarkan faktor kelangsingan....................... 39 dari 184
8.4.3 Kasus λG ≤ λp ....................................................................... 40 dari 184
8.4.4 Kasus λp ≤ λG ≤ λr ................................................................ 40 dari 184
8.4.5 Kasus λr ≤ λG ........................................................................ 40 dari 184
8.5 Kasus-kasus lain ................................................................... 41 dari 184
8.5.1 Batasan perhitungan ............................................................. 41 dari 184
8.5.2 Cara perhitungan .................................................................. 41 dari 184
8.6 Pelat badan ........................................................................... 41 dari 184
8.6.1 Persyaratan ........................................................................... 41 dari 184
8.6.2 Definisi panel pelat badan .................................................... 42 dari 184
8.6.3 Tebal minimum panel pelat badan ....................................... 42 dari 184
8.7 Perencanaan pelat badan ...................................................... 42 dari 184

iv dari xix
8.7.1 Pelat badan yang tidak diperkaku......................................... 42 dari 184
8.7.2 Pengaku pemikul beban........................................................ 43 dari 184
8.7.3 Pelat penguat samping.......................................................... 43 dari 184
8.7.4 Pelat badan dengan pengaku vertikal ................................... 43 dari 184
8.7.5 Pelat badan dengan pengaku memanjang dan vertikal......... 43 dari 184
8.7.6 Ketebalan pelat untuk komponen struktur yang dianalisis
secara plastis ......................................................................... 44 dari 184
8.7.7 Lubang di pelat badan .......................................................... 45 dari 184
8.8 Kuat geser pelat badan ......................................................... 45 dari 184
8.8.1 Kuat geser............................................................................. 45 dari 184
8.8.2 Kuat geser nominal............................................................... 45 dari 184
8.8.3 Kuat geser............................................................................. 46 dari 184
8.8.4 Kuat tekuk geser elasto-plastis ............................................. 46 dari 184
8.8.5 Kuat tekuk geser elastis........................................................ 47 dari 184
8.9 Interaksi geser dan lentur ..................................................... 47 dari 184
8.9.1 Kuat geser pelat badan dengan adanya momen lentur ......... 47 dari 184
8.9.2 Metode distribusi.................................................................. 47 dari 184
8.9.3 Metode interaksi geser dan lentur ........................................ 48 dari 184
8.10 Gaya tekan tumpu................................................................. 48 dari 184
8.10.1 Kuat tumpu ........................................................................... 48 dari 184
8.10.2 Lentur pelat sayap ................................................................ 49 dari 184
8.10.3 Kuat leleh pelat badan .......................................................... 49 dari 184
8.10.4 Kuat tekuk dukung pelat badan ............................................ 49 dari 184
8.10.5 Kuat tekuk lateral pelat badan .............................................. 50 dari 184
8.10.6 Kuat tekuk lentur pelat badan............................................... 50 dari 184
8.10.7 Kuat geser daerah panel ....................................................... 50 dari 184
8.11 Perencanaan pengaku penumpu beban................................. 51 dari 184
8.11.1 Ukuran pengaku ................................................................... 51 dari 184
8.11.2 Lebar pengaku ...................................................................... 51 dari 184
8.11.3 Tebal pengaku ...................................................................... 51 dari 184
8.12 Perencanaan pengaku vertikal .............................................. 51 dari 184
8.12.1 Pemasangan pengaku ........................................................... 51 dari 184

v dari xix
8.12.2 Luas minimum...................................................................... 52 dari 184
8.12.3 Kekakuan minimum ............................................................. 52 dari 184
8.13 Perencanaan pengaku memanjang........................................ 52 dari 184
8.13.1 Pemasangan .......................................................................... 52 dari 184
8.13.2 Kekakuan minimum ............................................................. 53 dari 184
8.14 Daerah panel......................................................................... 53 dari 184
8.14.1 Kuat geser daerah panel ....................................................... 53 dari 184
8.14.2 Perhitungan Rv ...................................................................... 53 dari 184
8.14.3 Syarat pelat perkuatan .......................................................... 54 dari 184
8.15 Pengekang lateral ................................................................. 54 dari 184

9. KOMPONEN STRUKTUR TEKAN .............................. 55 dari 184


9.1 Perencanaan akibat gaya tekan............................................. 55 dari 184
9.2 Kuat tekan rencana akibat tekuk lentur-torsi........................ 55 dari 184
9.3 Komponen struktur tersusun prismatis dengan elemen yang
dihubungkan oleh pelat melintang dan memikul gaya sentris56 dari 184
9.4 Komponen struktur tersusun prismatis dengan elemen yang
dihubungkan oleh unsur diagonal dan memikul gaya sentris 60 dari 9.5
9.5 Komponen struktur tersusun yang tidak mempunyai sumbu
bahan.................................................................................... 61 dari 184
9.6 Komponen struktur tersusun yang jarak antaranya sama
dengan tebal pelat kopel ...................................................... 63 dari 184
9.7 Komponen struktur tak-prismatis dengan gaya tekan sentris64 dari 184
9.8 Komponen struktur tekan pada struktur rangka batang
bidang ................................................................................... 67 dari 184
9.8.1 Tekan pada komponen struktur tepi ..................................... 67 dari 184
9.8.2 Tekan pada batang-batang diagonal dan vertikal ................. 68 dari 184
9.9 Kolom pada bangunan portal ............................................... 69 dari 184

10. KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI


GAYA TARIK AKSIAL .................................................. 70 dari 184
10.1 Kuat tarik rencana ................................................................ 70 dari 184

vi dari xix
10.2 Penampang efektif................................................................ 70 dari 184
10.2.1 Kasus gaya tarik hanya disalurkan oleh baut ....................... 71 dari 184
10.2.2 Kasus gaya tarik disalurkan oleh las memanjang................. 71 dari 184
10.2.3 Kasus gaya tarik disalurkan oleh las melintang ................... 72 dari 184
10.2.4 Kasus gaya tarik disalurkan oleh las sepanjang dua sisi ...... 72 dari 184
10.3 Komponen struktur tersusun dari dua buah profil atau lebih72 dari 184
10.3.1 Umum................................................................................... 72 dari 184
10.3.2 Beban rencana untuk sambungan ......................................... 72 dari 184
10.3.3 Komponen struktur tarik tersusun dari dua buah profil
yang saling membelakangi .................................................. 73 dari 184
10.3.4 Komponen struktur tarik dengan penghubung ..................... 73 dari 184
10.4 Komponen struktur tarik dengan sambungan pen................ 74 dari 184

11. KOMPONEN STRUKTUR KOMPOSIT ...................... 75 dari 184


11.1 Umum................................................................................... 75 dari 184
11.2 Gaya dan momen terfaktor ................................................... 75 dari 184
11.3 Komponen struktur dengan penampang simetris yang
mengalami momen lentur dan gaya aksial ........................... 75 dari 184
11.4 Komponen struktur dengan penampang tak-simetris,
dan komponen struktur yang mengalami pembebanan
torsi dan kombinasi............................................................... 78 dari 184

12. KETENTUAN PERENCANAAN TAHAN GEMPA


UNTUK STRUKTUR BANGUNAN BAJA ................... 80 dari 184
12.1 Ruang lingkup ...................................................................... 80 dari 184
12.2 Prinsip-prinsip dasar perencanaan........................................ 80 dari 184
12.2.1 Penentuan gaya yang bekerja ............................................... 80 dari 184
12.2.2 Analisis elastis...................................................................... 80 dari 184
12.2.3 Analisis plastis...................................................................... 80 dari 184
12.2.4 Distribusi tegangan plastis.................................................... 80 dari 184
12.2.5 Distribusi tegangan elastis.................................................... 81 dari 184

vii dari xix


12.2.6 Balok komposit penuh.......................................................... 81 dari 184
12.2.7 Balok komposit parsial......................................................... 81 dari 184
12.2.8 Balok baja yang diberi selubung beton ................................ 82 dari 184
12.2.9 Kolom komposit ................................................................... 82 dari 184
12.3 Komponen struktur tekan ..................................................... 82 dari 184
12.3.1 Batasan ................................................................................. 82 dari 184
12.3.2 Kuat rencana......................................................................... 83 dari 184
12.3.3 Kolom komposit yang tersusun atas beberapa profil baja.... 84 dari 184
12.3.4 Penyaluran beban ................................................................. 84 dari 184
12.4 Komponen struktur lentur .................................................... 84 dari 184
12.4.1 Lebar efektif pelat beton....................................................... 84 dari 184
12.4.2 Kekuatan balok komposit dengan penghubung geser .......... 85 dari 184
12.4.3 Kekuatan balok baja yang diberi selubung beton................. 86 dari 184
12.4.4 Kekuatan struktur selama pelaksanaan................................. 86 dari 184
12.4.5 Dek baja bergelombang........................................................ 88 dari 184
12.4.6 Kuat geser rencana ............................................................... 89 dari 184
12.5 Kombinasi tekan dan lentur.................................................. 90 dari 184
12.6 Penghubung geser................................................................. 90 dari 184
12.6.1 Bahan.................................................................................... 91 dari 184
12.6.2 Gaya geser horizontal........................................................... 91 dari 184
12.6.3 Kekuatan penghubung geser jenis paku ............................... 91 dari 184
12.6.4 Kekuatan penghubung geser kanal....................................... 92 dari 184
12.6.5 Jumlah penghubung geser yang diperlukan ......................... 92 dari 184
12.6.6 Penempatan dan jarak antar penghubung geser ................... 92 dari 184
12.7 Kasus khusus ........................................................................ 93 dari 184

13. SAMBUNGAN................................................................... 94 dari 184


13.1 Umum................................................................................... 94 dari 184
13.1.1 Penjelasan............................................................................. 94 dari 184
13.1.2 Klasifikasi sambungan ......................................................... 95 dari 184
13.1.3 Perencanaan sambungan....................................................... 95 dari 184
13.1.4 Kuat rencana minimum sambungan ..................................... 96 dari 184

viii dari xix


13.1.5 Pertemuan............................................................................. 97 dari 184
13.1.6 Pemilihan alat pengencang................................................... 97 dari 184
13.1.7 Sambungan kombinasi ......................................................... 97 dari 184
13.1.8 Gaya ungkit .......................................................................... 98 dari 184
13.1.9 Komponen sambungan ......................................................... 98 dari 184
13.1.10 Pengurangan luas akibat baut ............................................... 98 dari 184
13.1.11 Sambungan pada profil berongga......................................... 99 dari 184
13.2 Perencanaan baut.................................................................. 99 dari 184
13.2.1 Jenis baut .............................................................................. 99 dari 184
13.2.2 Kekuatan baut....................................................................... 99 dari 184
13.2.3 Sambungan tanpa slip......................................................... 102 dari 184
13.3 Kelompok baut ................................................................... 103 dari 184
13.3.1 Kelompok baut yang memikul pembebanan sebidang....... 103 dari 184
13.3.2 Kelompok baut yang memikul pembebanan tidak sebidang103 dari 184
13.3.3 Kelompok baut yang menerima beban kombinasi sebidang
dan tidak sebidang .............................................................. 103 dari 184
13.4 Tata letak baut .................................................................... 103 dari 184
13.4.1 Jarak.................................................................................... 103 dari 184
13.4.2 Jarak tepi minimum ............................................................ 104 dari 184
13.4.3 Jarak maksimum................................................................. 104 dari 184
13.4.4 Jarak tepi maksimum.......................................................... 104 dari 184
13.4.5 Lubang................................................................................ 104 dari 184
13.5 Las ...................................................................................... 104 dari 184
13.5.1 Lingkup .............................................................................. 104 dari 184
13.5.2 Las tumpul penetrasi penuh dan sebagian.......................... 105 dari 184
13.5.3 Las sudut............................................................................. 107 dari 184
13.5.4 Las pengisi.......................................................................... 110 dari 184
13.6 Kelompok las...................................................................... 111 dari 184
13.6.1 Kelompok las yang memikul pembebanan dalam bidang.. 111 dari 184
13.6.2 Kelompok las yang memikul pembebanan luar bidang ..... 112 dari 184
13.6.3 Kelompok las yang memikul pembebanan dalam dan luar
bidang ................................................................................. 112 dari 184

ix dari xix
14. KETAHANAN API ........................................................ 113 dari 184
14.1 Umum................................................................................. 113 dari 184
14.2 Beberapa definisi................................................................ 113 dari 184
14.3 Penentuan periode kelayakan struktural............................. 114 dari 184
14.4 Variasi sifat-sifat mekanis baja terhadap temperatur ......... 115 dari 184
14.4.1 Variasi tegangan leleh terhadap temperatur ....................... 115 dari 184
14.4.2 Variasi modulus elastisitas terhadap temperatur ................ 115 dari 184
14.5 Penentuan temperatur batas baja ........................................ 116 dari 184
14.6 Penentuan waktu tercapainya temperatur batas untuk
komponen struktur yang terlindung................................... 117 dari 184
14.6.1 Metode................................................................................ 117 dari 184
14.6.2 Temperatur yang didasarkan pada rangkaian pengujian .... 117 dari 184
14.6.3 Temperatur yang didasarkan pada pengujian tunggal........ 119 dari 184
14.7 Penentuan waktu tercapainya temperatur batas untuk
komponen struktur yang tak-terlindung ............................ 120 dari 184
14.8 Penentuan Periode Kelayakan Struktural (PKS) dari suatu
pengujian tunggal .............................................................. 120 dari 184
14.9 Kondisi terekspos api tiga-sisi............................................ 121 dari 184
14.10 Pertimbangan-pertimbangan khusus .................................. 121 dari 184
14.10.1 Sambungan-sambungan...................................................... 121 dari 184
14.10.2 Penetrasi pelat badan. ......................................................... 121 dari 184

15. KETENTUAN PERENCANAAN TAHAN GEMPA


UNTUK STRUKTUR BANGUNAN BAJA ................. 124 dari 184
15.1 Ketentuan umum ................................................................ 124 dari 184
15.2 Parameter beban gempa...................................................... 124 dari 184
15.3 Beban, kombinasi beban, dan kuat nominal....................... 125 dari 184
15.3.1 Beban dan kombinasi beban............................................... 125 dari 184
15.3.2 Kuat nominal ...................................................................... 126 dari 184
15.4 Simpangan antar lantai ....................................................... 126 dari 184
15.4.1 Simpangan inelastis maksimum ......................................... 126 dari 184

x dari xix
15.4.2 Batasan simpangan antar lantai .......................................... 126 dari 184
15.5 Bahan.................................................................................. 127 dari 184
15.5.1 Spesifikasi bahan................................................................ 127 dari 184
15.5.2 Sifat bahan dalam menentukan kuat perlu sambungan
dan komponen struktur yang terkait ................................... 127 dari 184
15.6 Persyaratan kolom .............................................................. 128 dari 184
15.6.1 Kekuatan kolom ................................................................. 128 dari 184
15.6.2 Sambungan kolom.............................................................. 128 dari 184
15.7 Persyaratan untuk Sistem Rangka Pemikul Momen
Khusus (SRPMK) .............................................................. 129 dari 184
15.7.1 Ruang lingkup .................................................................... 129 dari 184
15.7.2 Sambungan balok-ke-kolom............................................... 129 dari 184
15.7.3 Daerah panel pada sambungan balok-ke-kolom ................ 130 dari 184
15.7.4 Batasan-batasan terhadap balok dan kolom ....................... 132 dari 184
15.7.5 Pelat terusan ....................................................................... 132 dari 184
15.7.6 Perbandingan momen kolom terhadap momen balok ........ 132 dari 184
15.7.7 Kekangan pada sambungan balok-ke-kolom ..................... 134 dari 184
15.7.8 Pengekang lateral pada balok ............................................. 135 dari 184
15.8 Persyaratan untuk Sistem Rangka Pemikul Momen
Terbatas (SRPMT).............................................................. 135 dari 184
15.8.1 Ruang lingkup .................................................................... 135 dari 184
15.8.2 Sambungan balok-ke-kolom............................................... 136 dari 184
15.8.3 Batasan-batasan terhadap balok dan kolom ....................... 136 dari 184
15.8.4 Pengekang lateral pada balok ............................................. 136 dari 184
15.9 Persyaratan untuk Sistem Rangka Pemikul Momen
Biasa (SRPMB) .................................................................. 137 dari 184
15.9.1 Ruang lingkup .................................................................... 137 dari 184
15.9.2 Sambungan balok-ke-kolom............................................... 137 dari 184
15.9.3 Pelat terusan ....................................................................... 138 dari 184
15.10 Persyaratan untuk Sistem Rangka Batang Pemikul Momen
Khusus (SRBPMK) ............................................................ 139 dari 184
15.10.1 Ruang lingkup .................................................................... 139 dari 184

xi dari xix
15.10.2 Segmen khusus ................................................................... 139 dari 184
15.10.3 Kuat nominal batang pada segmen khusus......................... 140 dari 184
15.10.4 Kuat nominal batang bukan segmen khusus ...................... 140 dari 184
15.10.5 Kekompakan....................................................................... 140 dari 184
15.10.6 Bresing lateral..................................................................... 141 dari 184
15.11 Persyaratan untuk Sistem Rangka Bresing Konsentrik
Khusus (SRBKK) ............................................................... 141 dari 184
15.11.1 Ruang lingkup .................................................................... 141 dari 184
15.11.2 Batang bresing.................................................................... 141 dari 184
15.11.3 Sambungan batang bresing................................................. 143 dari 184
15.11.4 Persyaratan khusus untuk konfigurasi bresing khusus ....... 143 dari 184
15.11.5 Kolom................................................................................. 144 dari 184
15.12 Persyaratan untuk Sistem Rangka Bresing Konsentrik
Biasa (SRBKB) .................................................................. 144 dari 184
15.12.1 Ruang lingkup .................................................................... 144 dari 184
15.12.2 Batang Bresing ................................................................... 145 dari 184
15.12.3 Sambungan batang bresing................................................. 146 dari 184
15.12.4 Persyaratan khusus untuk konfigurasi bresing ................... 147 dari 184
15.12.5 Bangunan-bangunan rendah ............................................... 147 dari 184
15.13 Persyaratan untuk Sistem Rangka Bresing Eksentrik
(SRBE) ............................................................................... 147 dari 184
15.13.1 Ruang lingkup .................................................................... 147 dari 184
15.13.2 Link .................................................................................... 148 dari 184
15.13.3 Pengaku Link...................................................................... 149 dari 184
15.13.4 Sambungan Link-ke-kolom................................................ 150 dari 184
15.13.5 Pengekang lateral pada Link .............................................. 151 dari 184
15.13.6 Batang bresing dan balok di luar Link ............................... 151 dari 184
15.13.7 Sambungan balok-ke-kolom............................................... 152 dari 184
15.13.8 Beban terfaktor kolom........................................................ 152 dari 184

16. PENGGAMBARAN........................................................ 155 dari 184


16.1 Aturan penggambaran ........................................................ 155 dari 184

xii dari xix


16.2 Informasi yang harus ditunjukan pada gambar .................. 155 dari 184
16.3 Penggambaran balok badan terbuka................................... 155 dari 184

17. PABRIKASI .................................................................... 157 dari 184


17.1 Umum................................................................................. 157 dari 184
17.2 Material .............................................................................. 157 dari 184
17.3 Prosedur pabrikasi .............................................................. 157 dari 184
17.3.1 Cara-cara ............................................................................ 157 dari 184
17.3.2 Sambungan tumpu kontak penuh ....................................... 158 dari 184
17.3.3 Pemotongan ........................................................................ 158 dari 184
17.3.4 Pengelasan .......................................................................... 159 dari 184
17.3.5 Pelubangan ......................................................................... 159 dari 184
17.3.6 Ukuran lubang .................................................................... 159 dari 184
17.3.7 Pembautan .......................................................................... 161 dari 184
17.3.8 Sambungan pen .................................................................. 162 dari 184
17.4 Toleransi............................................................................. 162 dari 184
17.4.1 Umum................................................................................. 162 dari 184
17.4.2 Penampang melintang ........................................................ 162 dari 184
17.4.3 Batang tekan ....................................................................... 166 dari 184
17.4.4 Balok .................................................................................. 167 dari 184
17.4.5 Batang tarik ........................................................................ 167 dari 184

18. MENDIRIKAN BANGUNAN ....................................... 169 dari 184


18.1 Umum................................................................................. 169 dari 184
18.1.1 Penolakan bagian struktur yang telah berdiri ..................... 169 dari 184
18.1.2 Keamanan waktu mendirikan bangunan ............................ 169 dari 184
18.1.3 Tumpuan peralatan ............................................................. 169 dari 184
18.1.4 Suhu referensi..................................................................... 169 dari 184
18.2 Prosedur mendirikan bangunan .......................................... 170 dari 184
18.2.1 Umum................................................................................. 170 dari 184
18.2.2 Pengangkutan, penyimpanan, dan pengangkatan............... 170 dari 184
18.2.3 Perakitan dan penyetelan.................................................... 170 dari 184

xiii dari xix


18.2.4 Perakitan sambungan dan pengencangan baut ................... 171 dari 184
18.2.5 Metode Pengencangan........................................................ 172 dari 184
18.3 Toleransi............................................................................. 174 dari 184
18.3.1 Lokasi baut angker ............................................................. 174 dari 184
18.3.2 Perletakan kolom................................................................ 175 dari 184
18.3.3 Pengelotan pada komponen struktur tekan......................... 176 dari 184
18.3.4 Sambungan kolom.............................................................. 176 dari 184
18.3.5 Ketinggian dan penyetelan balok ....................................... 176 dari 184
18.3.6 Posisi komponen struktur tarik........................................... 177 dari 184
18.3.7 Ukuran bangunan secara keseluruhan ................................ 177 dari 184
18.4 Pemeriksaan terhadap sambungan baut.............................. 179 dari 184
18.4.1 Baut tarik ............................................................................ 179 dari 184
18.4.2 Komponen yang rusak........................................................ 179 dari 184
18.5 Grouting pada tumpuan ...................................................... 179 dari 184
18.5.1 Landasan komponen struktur tekan dan balok ................... 179 dari 184
18.5.2 Grouting.............................................................................. 180 dari 184

19. PERUBAHAN STRUKTUR YANG SUDAH ADA ..... 181 dari 184
19.1 Umum................................................................................. 181 dari 184
19.2 Material .............................................................................. 181 dari 184
19.3 Pembersihan ....................................................................... 181 dari 184
19.4 Pengaturan khusus.............................................................. 181 dari 184
19.4.1 Pengelasan dan pemotongan .............................................. 181 dari 184
19.4.2 Urutan pengelasan .............................................................. 181 dari 184

20. PENGUJIAN STRUKTUR ATAU KOMPONEN


STRUKTUR .................................................................... 182 dari 184
20.1 Umum................................................................................. 182 dari 184
20.1.1 Ruang lingkup .................................................................... 182 dari 184
20.1.2 Hal-hal yang memerlukan pengujian ................................. 182 dari 184
20.2 Definisi ............................................................................... 182 dari 184
20.3 Persyaratan pengujian......................................................... 182 dari 184

xiv dari xix


20.4 Pengujian pembuktian ........................................................ 183 dari 184
20.4.1 Penerapan ........................................................................... 183 dari 184
20.4.2 Beban uji............................................................................. 183 dari 184
20.4.3 Kriteria penerimaan............................................................ 183 dari 184
20.5 Pengujian prototipe............................................................. 183 dari 184
20.5.1 Benda uji............................................................................. 183 dari 184
20.5.2 Beban uji............................................................................. 183 dari 184
20.5.3 Kriteria penerimaan............................................................ 184 dari 184
20.5.4 Penerimaan unit-unit yang diproduksi ............................... 184 dari 184
20.6 Laporan pengujian.............................................................. 184 dari 184
LAMPIRAN A DAFTAR NOTASI

xv dari xix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman


Gambar 7.5-1 Simbol untuk beberapa variabel penampang. .... 32 dari 184
Gambar 7.6-1 Nilai kc untuk kolom dengan ujung-ujung yang
ideal .................................................................. 32 dari 184
Gambar 7.6-2 (a) Nilai kc untuk komponen struktur tak
bergoyang, dan (b) untuk komponen struktur
bergoyang. ......................................................... 33 dari 184
Gambar 9.3-1 ............................................................................. 57 dari 184
Gambar 9.3-2 ............................................................................. 58 dari 184

Gambar 9.4-1 ............................................................................. 61 dari 184

Gambar 9.5-1 ............................................................................. 63 dari 184


Gambar 9.6-1 ............................................................................. 63 dari 184
Gambar 9.7-1 ............................................................................. 64 dari 184
Gambar 9.7-2. ............................................................................. 65 dari 184
Gambar 9.7-3 ............................................................................. 66 dari 184
Gambar 9.8-1 ............................................................................. 68 dari 184
Gambar 9.8-2 ............................................................................. 69 dari 184
Gambar 9.8-3 ............................................................................. 69 dari 184
Gambar 12.4 Persyaratan untuk dek baja bergelombang. ........ 87 dari 184

Gambar 13.1-1 Lubang selang-seling. ......................................... 98 dari 184


Gambar 13.1-2 Siku dengan lubang pada kedua kaki. ................ 99 dari 184
Gambar 13.5-1 Transisi ketebalan las tumpul yang memikul
gaya tarik ......................................................... 106 dari 184
Gambar 13.5-2 Ukuran las sudut. .............................................. 107 dari 184
Gambar 14.4 Variasi sifat mekanis baja terhadap temperatur 116 dari 184
Gambar 14.6. Definisi daerah interpolasi ............................... 119 dari 184
Gambar 14.9 Ketentuan-ketentuan kondisi terekspos
api tiga-sisi ........................................................ 122 dari 184
Gambar 14.10 Penetrasi pelat badan ........................................ 123 dari 184

xvi dari xix


Gambar 17.4-1 Toleransi pada suatu penampang melintang .... 164 dari 184
Gambar 17.7-2 Toleransi pada badan ........................................ 164 dari 184
Gambar 17.4-3 Toleransi pada bentuk dari suatu penampang
kotak tersusun .................................................. 165 dari 184
Gambar 17.4-4 Toleransi untuk penyimpangan badan dari
sumbu .............................................................. 165 dari 184
Gambar 17.4-5 Toleransi terhadap ketidak-rataan suatu flens .. 166 dari 184
Gambar 17.4-6 Toleransi ketidak-sikuan ujung pemotongan ... 166 dari 184
Gambar 17.4-7 Pengukuran lawan lendut dan lendutan
kesamping ......................................................... 168 dari 184
Gambar 18.3-1 Toleransi peletakan baut angker. ...................... 175 dari 184
Gambar 18.3-2 Penyimpangan terhadap panjang
(penampang tegak) ........................................... 178 dari 184
Gambar 18.3-3 Penyimpangan terhadap ketinggian
(penampang tegak) .......................................... 178 dari 184

xvii dari xix


DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman


Tabel 5.3 Sifat mekanis baja struktural...................................... 11 dari 184
Tabel 6.4 -1 Batas lendutan maksimum. ....................................... 15 dari 184
Tabel 6.4-2 Faktor reduksi (φ) untuk keadaan kekuatan batas. .... 18 dari 184
Tabel 7.5-1 Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal
untuk elemen tertekan (fy dinyatakan dalam
MPa, simbol mengacu pada Gambar 7.5-1) ............. 30 dari 184
Tabel 8.3-1 Momen kritis untuk tekuk lateral .............................. 37 dari 184
Tabel 8.3.2 Bentang untuk pengekangan lateral .......................... 38 dari 184
Tabel 9.7-1 Nilai-nilai cl, clx, dan cly. untuk Gambar 9.7-1b ........ 65 dari 184

Tabel 9.7-2 Nilai-nilai cl, clx, dan cly. untuk Gambar 9.7-2 ........... 65 dari 184

Tabel 9.7-3a Nilai clx. untuk Gambar 9.7-3 .................................... 66 dari 184

Tabel 9.7-3b Nilai cly. untuk Gambar 9.7-3 .................................... 66 dari 184

Tabel 13.4-1 Jarak Tepi Minimum ............................................... 104 dari 184


Tabel 13.5-1 Ukuran minimum las sudut. .................................... 108 dari 184
Tabel 15.2-1 Tabel di bawah ini menunjukkan klasifikasi
sistem struktur, sistem pemikul beban gempa,
faktor modifikasi respons, R, dan faktor kuat cadang
struktur, Ω0. ............................................................ 153 dari 184
Tabel 15.7-1 Nilai batas perbandingan lebar terhadap tebal, λp,
untuk elemen tekan ................................................. 154 dari 184

xviii dari xix


Tabel 17.3 Kekasaran Permukaan Potongan Maksimum ......... 159 dari 184
Tabel 18.2-1 Gaya tarik baur minimum ........................................ 172 dari 184
Tabel 18.2-2 Putaran mur dari kondisi kencang tangan ............... 173 dari 184
Tabel 20.5 Faktor-faktor untuk memperhitungkan variabilitas
dari unit struktural ................................................... 184 dari 184

xix dari xix


SNI 03 – 1729 – 2002

1. MAKSUD DAN TUJUAN

1.1 Maksud
Maksud Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan
Gedung ini adalah sebagai acuan bagi para perencana dan pelaksana
dalam melakukan pekerjaan perencanaan dan pelaksanaan struktur
baja.

1.2 Tujuan
Tujuan tata cara ini adalah untuk mengarahkan terciptanya pekerjaan
perencanaan dan pelaksanaan baja yang memenuhi ketentuan
minimum serta mendapatkan hasil pekerjaan struktur yang aman,
nyaman, dan ekonomis.

1 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

2. RUANG LINGKUP DAN UMUM


Standar ini meliputi persyaratan-persyaratan umum serta ketentuan-
ketentuan teknis perencanaan dan pelaksanaan struktur baja untuk
bangunan gedung, atau struktur bangunan lain yang mempunyai
kesamaan karakter dengan struktur gedung.
Tata cara ini mencakup:
1) ketentuan-ketentuan minimum untuk merencanakan, fabrikasi,
mendirikan bangunan, dan modifikasi atau renovasi pekerjaan
struktur baja, sesuai dengan metode perencanaan keadaan batas;
2) perencanaan struktur bangunan gedung atau struktur lainnya,
termasuk keran yang terbuat dari baja;
3) struktur dan material bangunan berikut:
a) komponen struktur baja, dengan tebal lebih dari 3 mm;
b) tegangan leleh ( f y ) komponen struktur kurang dari 450
MPa;
Komponen struktur canai dingin harus direncanakan sesuai dengan
ketentuan lain yang berlaku. Bangunan-bangunan yang tidak dicakup
dalam 1, 2, dan 3 di atas direncanakan dengan ketentuan lain yang
berlaku.

2 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

3. ACUAN DAN PERSYARATAN-PERSYARATAN

3.1 Standar Nasional Indonesia


Semua baja struktural sebelum difabrikasi, harus memenuhi ketentuan
berikut ini:

SK SNI S-05-1989-F: Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian B


(Bahan Bangunan dari Besi/baja);
SNI 07-0052-1987: Baja Kanal Bertepi Bulat Canai Panas, Mutu
dan Cara Uji;
SNI 07-0068-1987: Pipa Baja Karbon untuk Konstruksi Umum,
Mutu dan Cara Uji;
SNI 07-0138-1987: Baja Kanal C Ringan;
SNI 07-0329-1989: Baja Bentuk I Bertepi Bulat Canai Panas,
Mutu dan Cara Uji;
SNI 07-0358-1989-A: Baja, Peraturan Umum Pemeriksaan;
SNI 07-0722-1989: Baja Canai Panas untuk Konstruksi Umum;
SNI 07-0950-1989: Pipa dan Pelat Baja Bergelombang Lapis
Seng;
SNI 07-2054-1990: Baja Siku Sama Kaki Bertepi Bulat Canai
Panas, Mutu dan Cara Uji;
SNI 07-2610-1992: Baja Profil H Hasil Pengelasan dengan Filter
untuk Konstruksi Umum;
SNI 07-3014-1992: Baja untuk Keperluan Rekayasa Umum;
SNI 07-3015-1992: Baja Canai Panas untuk Konstruksi dengan
Pengelasan;
SNI 03-1726-1989: Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Rumah dan Gedung.
Ketentuan tambahan yang berbentuk SNI dan ketentuan-ketentuan
pengganti ketentuan di atas.

3.2 Persyaratan-persyaratan

3.2.1 Struktur
Dalam perencanaan struktur baja harus dipenuhi syarat-syarat
berikut:
1) analisis struktur harus dilakukan dengan cara-cara mekanika
teknik yang baku;
2) analisis dengan komputer, harus memberitahukan prinsip cara
kerja program dan harus ditunjukan dengan jelas data masukan
serta penjelasan data keluaran;

3 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

3) percobaan model diperbolehkan bila diperlukan untuk menunjang


analisis teoritis;
4) analisis struktur harus dilakukan dengan model-model matematis
yang mensimulasikan keadaan struktur yang sesungguhnya dilihat
dari segi sifat bahan dan kekakuan unsur-unsurnya;
5) bila cara perhitungan menyimpang dari tata cara ini, maka harus
mengikuti persyaratan sebagai berikut:
(1) struktur yang dihasilkan dapat dibuktikan dengan perhitungan
dan atau percobaan yang cukup aman;
(2) tanggung jawab atas penyimpangan, dipikul oleh perencana
dan pelaksana yang bersangkutan;
(3) perhitungan dan atau percobaan tersebut diajukan kepada
panitia yang ditunjuk oleh pengawas bangunan, yang terdiri
dari ahli-ahli yang diberi wewenang menentukan segala
keterangan dan cara-cara tersebut. Bila perlu, panitia dapat
meminta diadakan percobaan ulang, lanjutan atau tambahan.
Laporan panitia yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan penggunaan cara tersebut mempunyai kekuatan
yang sama dengan tata cara ini.

3.2.2 Penanggung jawab perhitungan


Nama penanggung jawab hasil perhitungan harus ditulis dan dibubuhi
tanda tangan serta tanggal yang jelas.

4 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

4. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan:
1) aksi adalah penyebab terjadinya tegangan atau deformasi pada
struktur;
2) beban adalah suatu gaya yang bekerja dari luar;
3) daktilitas adalah kemampuan struktur atau komponennya untuk
melakukan deformasi inelastis bolak-balik berulang di luar
batas titik leleh pertama, sambil mempertahankan sejumlah
besar kemampuan daya dukung bebannya;
4) faktor reduksi adalah suatu faktor yang dipakai untuk
mengalikan kuat nominal untuk mendapatkan kuat rencana;
5) keadaan batas adalah setiap kondisi batas, yang di luar batas
ini struktur tidak akan dapat lagi memenuhi fungsi yang
direncanakan;
6) ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang memenuhi
Butir 3.1 dan 3.2;
7) komponen struktur tak bergoyang adalah komponen struktur,
yang perpindahan transversal satu ujung terhadap ujung lainnya
pada komponen struktur vertikal, dikekang secara efektif;
8) kondisi terekspos api tiga sisi adalah komponen struktur baja
yang salah satu bidang sisinya bersentuhan dengan beton atau
lantai atau dinding pasangan;
9) kondisi terekspos api empat sisi adalah suatu komponen
struktur baja yang menghadap api pada seluruh bidang sisinya;
10) kuat perlu adalah kuat yang diperlukan oleh komponen struktur
yang ditentukan oleh persyaratan bangunan tahan gempa;
11) kuat rencana adalah perkalian antara kuat nominal dengan
faktor reduksi;
12) las tumpul penetrasi penuh adalah suatu las tumpul, yang
fusinya terjadi diantara material las dan metal induk, meliputi
seluruh ketebalan sambungan las;
13) las tumpul penetrasi sebagian adalah suatu las tumpul yang
kedalaman penetrasinya kurang dari seluruh ketebalan
sambungan;
14) pengaruh aksi atau pengaruh beban adalah gaya-dalam atau
momen lentur akibat aksi atau beban-beban yang bekerja;
15) pengaruh aksi beban rencana adalah efek aksi atau efek beban
yang dihitung dari aksi rencana atau beban rencana;

5 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

16) pengganti standar adalah standar dalam bentuk SII atau SNI
yang dibuat menggantikan standar yang saat ini berlaku;
17) pengaruh aksi terfaktor adalah efek aksi atau efek beban yang
didapat dari kombinasi pembebanan pada Butir 6.2.2;
18) pengencangan penuh adalah suatu metode memasang dan
menarik suatu baut yang sesuai dengan Butir 18.2.4. dan 18.2.5;
19) pembebanan gaya sebidang adalah pembebanan yang gaya-
gaya rencana dan momen lenturnya bekerja pada bidang
sambungan, sehingga efek aksi rencana yang bekerja pada
komponen sambungan hanya berbentuk gaya-gaya geser saja;
20) panjang batang tekan adalah panjang sebenarnya (L) suatu
komponen struktur yang dibebani gaya aksial tekan, diambil
dari panjang antara pusat-ke-pusat perpotongan dengan
komponen struktur penyangga atau panjang kantilever dalam
kasus komponen struktur yang berdiri bebas;
21) rangka kaku adalah suatu rangka struktur yang gaya-gaya
lateralnya dipikul oleh sistem struktur dengan sambungan-
sambungannya direncanakan secara kaku dan komponen
strukturnya direncanakan untuk memikul efek gaya aksial, gaya
geser, lentur, dan torsi;
22) rasio kelangsingan geometri adalah rasio kelangsingan
geometri (Lk/r), diambil sebagai panjang efektif (Lk), yang diatur
dalam Butir 7.6.3 atau 9.3, dibagi dengan jari-jari girasi (r),
yang dihitung untuk penampang kotor terhadap sumbu yang
relevan;
23) rasio luas permukaan ekspos adalah rasio atau perbandingan
luas permukaan yang menghadap api terhadap massa baja;
24) sambungan tipe tumpu adalah sambungan yang terjadi dengan
menggunakan baut atau baut mutu tinggi yang dikencangkan
menurut batas tarik baut minimum tertentu, sehingga gaya-gaya
rencana dipindahkan dengan tumpuan dan gesekan pada baut
dan elemen-elemen sambungan pada keadaan kekuatan batas;
25) sambungan tipe geser adalah sambungan yang didapat dengan
menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan menurut
batas tarik minimum tertentu sedemikian hingga hasil aksi
jepitan menyalurkan gaya geser rencana pada keadaan batas
layan yang bekerja pada bidang kontak bersama akibat gesekan
yang terjadi antara bidang-bidang kontak;
26) sistem ganda terdiri dari a) rangka ruang yang memikul seluruh
beban gravitasi, b) pemikul beban lateral berupa dinding geser
atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka

6 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

pemikul momen harus direncanakan secara terpisah dan mampu


memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral, c)
kedua sistem harus direncanakan mampu memikul secara
bersama-sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan
interaksi sistem ganda suatu sistem struktur yang gaya-gaya
lateralnya dipikul oleh rangka ruang pemikul momen daktail,
yang bekerja sejajar dengan dinding geser atau rangka
diperkaku dan yang memenuhi persyaratan pada Tabel 15.2-1
untuk suatu sistem pengaku ganda;
27) sistem perlindungan api adalah material pelindung kebakaran
beserta metode pelapisannya pada komponen struktur baja;
28) tingkat ketahanan api adalah periode atau derajat ketahanan
terhadap api bagi kelayakan struktur baja, dinyatakan dalam
menit, yang harus dipenuhi untuk dicapai dalam pengujian api
standar;
29) umur bangunan adalah periode/waktu selama suatu struktur
dipersyaratkan untuk tetap berfungsi seperti yang direncanakan;

4.1 Penggunaan material atau metode alternatif

4.1.1 Umum
Standar ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang untuk
menggunakan material atau metode perencanaan atau pelaksanaan
yang tidak tercantum di dalamnya, selama ketentuan-ketentuan pada
Butir 6 tetap dipenuhi.

4.1.2 Struktur yang telah berdiri


Bilamana kekuatan dan kemampuan layan suatu struktur bangunan
yang telah berdiri harus dievaluasi maka prinsip-prinsip umum
standar ini harus diterapkan. Perilaku material struktur yang
sebenarnya tetap harus digunakan.

4.2 Perencanaan

4.2.1 Data perencanaan


Data perencanaan berikut harus tercantum pada gambar kerja
1) nomor rujukan dan tanggal standar perencanaan yang digunakan
(yang masih berlaku);
2) beban-beban nominal;

7 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

3) proteksi karat, jika diperlukan;


4) taraf ketahanan kebakaran, jika diperlukan;
5) mutu baja yang digunakan.

4.2.2 Detail perencanaan


Gambar-gambar kerja atau spesifikasi atau kedua-duanya untuk
komponen struktur atau struktur baja secara keseluruhan harus
mencantumkan hal-hal berikut:
1) ukuran dan peruntukan tiap-tiap komponen struktur;
2) ukuran dan kategori baut dan pengelasan yang digunakan pada
sambungan-sambungan;
3) ukuran-ukuran komponen sambungan;
4) lokasi dan detail titik kumpul, serta sambungan dan sambungan
lewatan yang direncanakan;
5) setiap kendala pada saat pelaksanaan yang diasumsikan dalam
perencanaan;
6) lawan lendut untuk setiap komponen struktur;
7) ketentuan-ketentuan lainnya.

4.2.3 Pelaksanaan
Seluruh struktur baja yang direncanakan menurut standar ini, harus
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat dijamin dengan baik
ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan dalam perencanaan, seperti
yang tercantum dalam gambar dan spesifikasinya.

8 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

5. MATERIAL

5.1 Sifat mekanis baja


Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan
harus memenuhi persyaratan minimum yang diberikan pada Tabel
5.3.

5.1.1 Tegangan leleh


Tegangan leleh untuk perencanaan ( f y ) tidak boleh diambil melebihi
nilai yang diberikan Tabel 5.3.

5.1.2 Tegangan putus


Tegangan putus untuk perencanaan ( f u ) tidak boleh diambil melebihi
nilai yang diberikan Tabel 5.3.

5.1.3 Sifat-sifat mekanis lainnya


Sifat-sifat mekanis lainnya baja struktural untuk maksud perencanaan
ditetapkan sebagai berikut:
Modulus elastisitas : E = 200.000 MPa
Modulus geser : G = 80.000 MPa
Nisbah poisson : µ = 0,3
Koefisien pemuaian : α = 12 x 10-6 /oC

5.2 Baja struktural

5.2.1 Syarat penerimaan baja


Laporan uji material baja di pabrik yang disahkan oleh lembaga yang
berwenang dapat dianggap sebagai bukti yang cukup untuk
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam standar ini.

5.2.2 Baja yang tidak teridentifikasi


Baja yang tidak teridentifikasi boleh digunakan selama memenuhi
ketentuan berikut ini:
1) bebas dari cacat permukaan;
2) sifat fisik material dan kemudahannya untuk dilas tidak
mengurangi kekuatan dan kemampuan layan strukturnya;

9 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

3) ditest sesuai ketentuan yang berlaku. Tegangan leleh ( f y ) untuk


perencanaan tidak boleh diambil lebih dari 170 MPa sedangkan
tegangan putusnya ( f u ) tidak boleh diambil lebih dari 300 MPa.

5.3 Alat sambung

5.3.1 Baut, mur, dan ring


Baut, mur, dan ring harus memenuhi ketentuan yang berlaku.

5.3.2 Alat sambung mutu tinggi


Alat sambung mutu tinggi boleh digunakan bila memenuhi ketentuan
berikut:
1) komposisi kimiawi dan sifat mekanisnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
2) diameter batang, luas tumpu kepala baut, dan mur atau
penggantinya, harus lebih besar dari nilai nominal yang
ditetapkan dalam ketentuan yang berlaku. Ukuran lainnya boleh
berbeda;
3) cara penarikan baut dan prosedur pemeriksaan untuk alat
sambung boleh berbeda dari ketentuan Butir 18.2.5 dan Butir 18.4
selama persyaratan gaya tarik minimum alat sambung pada Tabel
18.2-1 dipenuhi dan prosedur penarikannya dapat diperiksa.

5.3.3 Las
Material pengelasan dan logam las harus sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

5.3.4 Penghubung geser jenis paku yang dilas


Semua penghubung geser jenis paku yang dilas harus sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

5.3.5 Baut angker


Baut angker harus memenuhi ketentuan Butir 5.3.1 atau dibuat dari
batang yang memenuhi ketentuan yang tercakup dalam Butir 3
selama ulirnya memenuhi ketentuan yang berlaku.

10 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Tabel 5.3 Sifat mekanis baja struktural


Jenis Baja Tegangan putus Tegangan leleh Peregangan
minimum, fu minimum, f y minimum
(MPa) (MPa) (%)
BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
BJ 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 55 550 410 13

11 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

6. PERSYARATAN UMUM PERENCANAAN

6.1 Ketentuan umum


Tujuan perencanaan struktur adalah untuk menghasilkan suatu
struktur yang stabil, cukup kuat, mampu-layan, awet, dan memenuhi
tujuan-tujuan lainnya seperti ekonomi dan kemudahan pelaksanaan.
Suatu struktur disebut stabil bila ia tidak mudah terguling, miring,
atau tergeser, selama umur bangunan yang direncanakan.
Suatu struktur disebut cukup kuat dan mampu-layan bila
kemungkinan terjadinya kegagalan-struktur dan kehilangan
kemampuan layan selama masa hidup yang direncanakan adalah kecil
dan dalam batas yang dapat diterima.
Suatu struktur disebut awet bila struktur tersebut dapat menerima
keausan dan kerusakan yang diharapkan terjadi selama umur
bangunan yang direncanakan tanpa pemeliharaan yang berlebihan.

6.2 Beban-beban dan aksi lainnya

6.2.1 Beban-beban
Perencanaan suatu struktur untuk keadaan-keadaan stabil batas,
kekuatan batas, dan kemampuan-layan batas harus memperhitungkan
pengaruh-pengaruh dari aksi sebagai akibat dari beban-beban berikut
ini:
1) beban hidup dan mati seperti disyaratkan pada SNI 03-1727-1989
atau penggantinya;
2) untuk perencanaan keran (alat pengangkat), semua beban yang
relevan yang disyaratkan pada SNI 03-1727-1989, atau
penggantinya;
3) untuk perencanaan pelataran tetap, lorong pejalan kaki, tangga,
semua beban yang relevan yang disyaratkan pada SNI 03-1727-
1989, atau penggantinya;
4) untuk perencanaan lift, semua beban yang relevan yang
disyaratkan pada SNI 03-1727-1989, atau penggantinya;
5) pembebanan gempa sesuai dengan SNI 03-1726-1989, atau
penggantinya;
6) beban-beban khusus lainnya, sesuai dengan kebutuhan.

12 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

6.2.2 Kombinasi pembebanan


Berdasarkan beban-beban tersebut di atas maka struktur baja harus
mampu memikul semua kombinasi pembebanan di bawah ini:
1,4D (6.2-1)
1,2D + 1,6 L + 0,5 (La atau H) (6.2-2)
1,2D + 1,6 (La atau H) + ( γ L L atau 0,8W) (6.2-3)
1,2D + 1,3 W + γ L L + 0,5 (La atau H) (6.2-4)
1,2D ± 1,0E + γ L L (6.2-5)
0,9D ± (1,3W atau 1,0E) (6.2-6)
Keterangan:
D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi
permanen, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap,
tangga, dan peralatan layan tetap
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan
gedung, termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban
lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain
La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama
perawatan oleh pekerja, peralatan, dan material, atau selama
penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan
genangan air
W adalah beban angin
E adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 03–1726–
1989, atau penggantinya
dengan,
γ L = 0,5 bila L< 5 kPa, dan γ L = 1 bila L≥ 5 kPa.
Kekecualian: Faktor beban untuk L di dalam kombinasi pembebanan
pada persamaan 6.2-3, 6.2-4, dan 6.2-5 harus sama dengan 1,0 untuk
garasi parkir, daerah yang digunakan untuk pertemuan umum, dan
semua daerah di mana beban hidup lebih besar daripada 5 kPa.

6.2.3 Aksi-aksi lainnya


Setiap aksi yang dapat mempengaruhi kestabilan, kekuatan, dan
kemampuan-layan struktur, termasuk yang disebutkan di bawah ini,
harus diperhitungkan:
1) gerakan-gerakan pondasi;
2) perubahan temperatur;
3) deformasi aksial akibat ketaksesuaian ukuran;
4) pengaruh-pengaruh dinamis;
5) pembebanan pelaksanaan.

13 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Jika ada pengaruh struktural akibat beban yang ditimbulkan oleh


fluida (F), tanah (S), genangan air (P), dan/atau temperatur (T) harus
ditinjau dalam kombinasi pembebanan di atas dengan menggunakan
faktor beban: 1,3F, 1,6S, 1,2P, dan 1,2T, sehingga menghasilkan
kombinasi pembebanan yang paling berbahaya.

6.2.4 Gaya-gaya horisontal minimum yang perlu diperhitungkan


Pada struktur bangunan berlantai banyak harus dianggap bekerja
gaya-gaya horisontal fiktif masing-masing sebesar 0,002 kali beban
vertikal yang bekerja pada setiap lantai. Gaya-gaya horisontal fiktif
ini harus dianggap bekerja bersama-sama hanya dengan beban mati
dan beban hidup rencana dari SNI 03-1727-1989, atau penggantinya
dan dibandingkan dengan persamaan (6.2-5) dan (6.2-6) untuk
menghasilkan kombinasi pembebanan yang lebih berbahaya untuk
keadaan-keadaan kekuatan batas dan kemampuan-layan batas. Gaya-
gaya horisontal fiktif ini tidak boleh dimasukkan untuk keadaan
kestabilan batas.

6.3 Keadaan kekuatan batas


Komponen struktur beserta sambungannya harus direncanakan untuk
keadaan kekuatan batas sebagai berikut:
1) beban-beban dan aksi-aksi harus ditentukan sesuai dengan Butir
6.2.1 dan 6.2.3 dan beban-beban keadaan kekuatan batas harus
ditentukan sesuai dengan Butir 6.2.2;
2) pengaruh-pengaruh aksi terfaktor (Ru) sebagai akibat dari beban-
beban keadaan batas harus ditentukan dengan analisis sesuai Butir
7;
3) kuat rencana (φRn) harus ditentukan dari kuat nominal (Rn) yang
ditentukan berdasarkan Butir 8 sampai dengan Butir 12, dikalikan
dengan faktor reduksi (φ) yang tercantum pada Tabel 6.4-2;
4) semua komponen struktur dan sambugan harus direncanakan
sedemikian rupa sehingga kuat rencana (φRn) tidak kurang dari
pengaruh aksi terfaktor (Ru), yaitu: Ru < φRn.

6.4 Keadaan kemampuan-layan batas

6.4.1 Umum
Sistem struktur dan komponen struktur harus direncanakan untuk
mempunyai kemampuan-layan batas dengan mengendalikan atau
membatasi lendutan dan getaran. Kemampuan layan batas ini juga
berlaku untuk setiap baut. Di samping itu untuk bangunan baja

14 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

diperlukan perlindungan terhadap korosi secukupnya. Kesemuanya


itu harus sesuai dengan persyaratan yang relevan pada Butir 6.4.2
sampai dengan 6.4.6.

6.4.2 Metode
Sistem struktur dan komponen struktur harus direncanakan untuk
keadaan kemampuan-layan batas sebagai berikut:
1) beban-beban dan aksi-aksi lainnya harus ditentukan sesuai dengan
Butir 6.2.1 dan 6.2.3 dan beban-beban keadaan kemampuan-layan
batas harus ditentukan berdasarkan Butir 6.2.2;
2) lendutan akibat beban dalam keadaan kemampuan-layan batas
harus ditentukan berdasarkan metode analisis elastis pada Butir
7.4 dengan semua faktor amplifikasi diambil sama dengan satu.
Lendutan harus memenuhi Butir 6.4.3;
3) perilaku getaran harus dikaji sesuai dengan Butir 6.4.4;
4) slip baut pada sambungan harus dibatasi bila diperlukan, sesuai
dengan Butir 6.4.5;
5) perlindungan terhadap korosi harus diberikan sesuai dengan Butir
6.4.6.

6.4.3 Batas-batas lendutan


Batas-batas lendutan untuk keadaan kemampuan-layan batas harus
sesuai dengan struktur, fungsi penggunaan, sifat pembebanan, serta
elemen-elemen yang didukung oleh struktur tersebut. Batas lendutan
maksimum diberikan dalam Tabel 6.4-1.
Tabel 6.4-1 Batas lendutan maksimum1.
Komponen struktur dengan beban tidak terfaktor Beban tetap Beban
sementara
Balok pemikul dinding atau finishing yang getas L/360 -
Balok biasa L/240 -
Kolom dengan analisis orde pertama saja h/500 h/200
Kolom dengan analisis orde kedua h/300 h/200

1
L adalah panjang bentang, h adalah tinggi tingkat, beban tetap adalah beban mati
dan beban hidup, beban sementara meliputi beban gempa atau beban angin.

15 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

6.4.4 Getaran balok-balok


Balok-balok yang mendukung lantai atau mesin-mesin harus
diperiksa untuk meyakinkan bahwa getaran yang diakibatkan oleh
mesin-mesin atau lalu-lintas kendaraan atau pejalan kaki tidak
berakibat buruk terhadap kemampuan-layan struktur. Dalam hal ada
kemungkinan bahwa suatu bangunan harus menerima getaran yang
diakibatkan misalnya oleh gaya-gaya angin atau mesin-mesin, harus
diambil tindakan untuk mencegah ketidaknyamanan atau perasaan
tidak aman, kerusakan terhadap struktur, atau gangguan terhadap
fungsi asalnya.

6.4.5 Keadaan kemampuan-layan batas baut


Pada suatu sambungan yang harus menghindari terjadinya slip pada
taraf beban rencana, maka alat-alat sambung harus dipilih sesuai
dengan Butir 13.1.6.

6.4.6 Perlindungan terhadap korosi


Dalam hal pekerjaan baja pada suatu bangunan harus menghadapi
lingkungan yang korosif, pekerjaan baja tersebut harus diberi
perlindungan terhadap korosi. Tingkat perlindungan yang digunakan
harus ditentukan berdasarkan pertimbangan atas fungsi bangunan,
pemeliharaan, dan kondisi iklim/cuaca serta kondisi setempat lainnya.

6.5 Keadaan kekuatan dan kemampuan-layan batas dengan


percobaan beban
Dengan tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan pada Butir 3.2, 6.3,
dan 6.4, suatu bangunan atau suatu komponen struktur atau
sambungan dapat direncanakan untuk keadaan kekuatan batas atau
kemampuan-layan batas atau kedua-duanya, dengan percobaan beban
sesuai dengan Butir 20. Bila prosedur alternatif ini yang diambil,
persyaratan-persyaratan yang relevan pada Butir 6.3. sampai 6.8,
tetap berlaku.

6.6 Kebakaran
Bangunan, komponen-komponen struktur, dan sambungan-
sambungannya harus direncanakan sesuai dengan Butir 14.

6.7 Gempa
Dalam hal gempa menjadi suatu pertimbangan perencanaan , seperti
yang ditentukan pada SNI 03-1726-1989, atau penggantinya,

16 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

bangunan dan komponen-komponen strukturnya harus direncanakan


sesuai dengan Butir 15.

6.8 Persyaratan perencanaan lainnya


Persyaratan-persyaratan selain yang dinyatakan pada Pasal 6.2.3,
seperti perbedaan penurunan, keruntuhan bertahap, dan semua
persyaratan kinerja khusus, harus dipertimbangkan bila relevan dan,
bila dianggap perlu, harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur
sesuai dengan prinsip-prinsip standar ini dan prinsip-prinsip rekayasa
yang baku.

17 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Tabel 6.4-2 Faktor reduksi (φ) untuk keadaan kekuatan batas.


Kuat rencana untuk Butir Faktor reduksi
Komponen struktur yang memikul lentur:
• balok 8.1, 8.2 & 8.3 0,90
• balok pelat berdinding penuh 8.4 0,90
• pelat badan yang memikul geser 8.8 & 8.9 0,90
• pelat badan pada tumpuan 8.10 0,90
• pengaku 8.11, 8.12, & 0,90
8.13
Komponen struktur yang memikul gaya tekan
aksial:
• kuat penampang 9.1 & 9.2 0,85
• kuat komponen struktur 9.1 & 9.3 0,85
Komponen struktur yang memikul gaya tarik
aksial:
• terhadap kuat tarik leleh 10.1 & 10.2 0,90
• terhadap kuat tarik fraktur 10.1 & 10.2 0,75
Komponen struktur yang memikul aksi-aksi
kombinasi:
• kuat lentur atau geser 11.3 & 11.4 0,90
• kuat tarik 11.3 & 11.4 0,90
• kuat tekan 11.3 & 11.4 0,85
Komponen struktur komposit:
• kuat tekan 12.3 0,85
• kuat tumpu beton 12.3.4 0,60
• kuat lentur dengan distribusi tegangan 12.4.2.1 & 12.4.2.3 0,85
plastik
• kuat lentur dengan distribusi tegangan 12.4.2.1 & 12.4.3 0,90
elastik
Sambungan baut:
• baut yang memikul geser 13.2.2.1 0,75
• baut yang memikul tarik 13.2.2.2 0,75
• baut yang memikul kombinasi geser dan 13.2.2.3 0,75
tarik
• lapis yang memikul tumpu 13.2.2.4 0,75
Sambungan las:
• las tumpul penetrasi penuh 13.5.2.7 0,90
• las sudut dan las tumpul penetrasi 13.5.3.10 0,75
sebagian
• las pengisi 13.5.4 0,75

18 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

7. BEBERAPA METODE DALAM ANALISIS STRUKTUR

7.1 Beberapa metode dalam penentuan gaya-dalam


Untuk memenuhi syarat-syarat stabilitas, kekuatan, dan kekakuan
yang ditetapkan dalam Butir 6, pengaruh-pengaruh gaya-dalam pada
suatu struktur dan terhadap komponen-komponennya serta
sambungannya yang diakibatkan oleh beban-beban yang bekerja
harus ditentukan melalui analisis struktur dengan menggunakan
anggapan-anggapan yang ditetapkan pada Butir 7.2 dan 7.3 dan
dengan salah satu metode berikut ini:
a) Analisis elastis: sesuai dengan Butir 7.4; atau
b) Analisis plastis: sesuai dengan Butir 7.5; atau
c) Analisis non-konvensional lainnya yang telah baku dan telah
diterima secara umum.
7.1.1 Beberapa definisi
Dalam butir ini berlaku beberapa definisi berikut ini:
a) Komponen struktur tak-bergoyang adalah komponen struktur
yang perpindahan transversal antara kedua ujungnya dikekang
secara efektif. Hal ini berlaku pada rangka segitiga dan rangka
batang atau pada rangka dengan kekakuan bidangnya diberikan
oleh bresing diagonal, atau oleh dinding geser, atau oleh pelat
lantai atau pelat atap yang menyatu dengan dinding atau sistem
bresing paralel terhadap bidang tekuk komponen struktur;
b) Komponen struktur bergoyang adalah komponen struktur yang
perpindahan transversal antara kedua ujungnya tidak dikekang.
Komponen struktur tersebut biasa dijumpai pada struktur yang
mengandalkan mekanisme lentur untuk mengendalikan goyangan.

7.2 Bentuk-bentuk struktur pada analisis struktur


Pendistribusian pengaruh gaya-dalam kepada komponen-komponen
struktur dan sambungan-sambungan pada suatu struktur ditetapkan
dengan menganggap salah satu atau kombinasi bentuk-bentuk
struktur berikut ini:
a) Kaku,
b) Semi-kaku,
c) Sederhana (bebas momen).
7.2.1 Struktur kaku
Pada struktur kaku, sambungan dianggap memiliki kekakuan yang
cukup untuk mempertahankan sudut-sudut di antara komponen-
komponen struktur yang disambung.

19 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

7.2.2 Struktur semi-kaku


Pada struktur semi-kaku, sambungan tidak memiliki kekakuan yang
cukup untuk mempertahankan sudut-sudut di antara komponen-
komponen struktur yang disambung, namun harus dianggap memiliki
kapasitas yang cukup untuk memberikan kekangan yang dapat diukur
terhadap perubahan sudut-sudut tersebut.
Tingkat kapasitas tersebut di atas terhadap taraf pembebabanan yang
bekerja ditetapkan dengan metode berdasarkan percobaan.
7.2.3 Struktur sederhana
Pada struktur sederhana, sambungan pada kedua ujung komponen
struktur dianggap bebas momen.
7.2.4 Perencanaan sambungan
Perencanaan semua sambungan harus konsisten dengan bentuk-
bentuk struktur, dan perilaku sambungan tidak boleh menimbulkan
pengaruh buruk terhadap bagian-bagian lainnya dalam suatu struktur
di luar dari yang direncanakan. Sambungan direncanakan sesuai
dengan Butir 13.

7.3 Anggapan dalam analisis


Suatu struktur dianalisis sebagai suatu kesatuan kecuali untuk:
a) Struktur-struktur beraturan dapat dianalisis sebagai rangkaian
suatu rangka dua dimensi, dan analisis struktur dilakukan masing-
masing untuk dua arah yang saling tegak lurus, kecuali bila terjadi
redistribusi beban yang besar di antara rangka-rangkanya;
b) Untuk beban vertikal pada suatu struktur gedung bertingkat tinggi
yang dilengkapi dengan bresing atau dinding geser untuk
memikul semua gaya-gaya lateral, setiap lantai bersama-sama
dengan kolom-kolom tepat di atas dan di bawahnya dapat
dianalisis secara terpisah; ujung-ujung jauh kolom dapat dianggap
terjepit.
Bila balok-balok lantai pada suatu struktur gedung bertingkat tinggi
dianalisis secara terpisah maka momen lentur pada tumpuan dapat
ditetapkan dengan menganggap bahwa lantai tersebut terjepit pada
suatu tumpuan di ujung jauh bentang berikutnya, asal saja lantai
tersebut bersifat menerus pada tumpuan yang dianggap terjepit.
7.3.1 Panjang bentang
Panjang bentang komponen struktur lentur diambil sebagai jarak as-
ke-as tumpuan.

20 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

7.3.2 Pengaturan beban hidup pada suatu gedung


Untuk struktur gedung, pengaturan beban hidup yang digunakan
dalam analisis dilakukan berikut ini:
a) Untuk pola pembebanan tetap, pengaturan sesuai dengan SNI 03-
1727-1989, atau penggantinya;
b) Bila beban hidup bervariasi dan tidak lebih besar daripada tiga
per empat beban mati maka beban hidup terfaktor dikerjakan pada
seluruh bentang;
c) Bila beban hidup bervariasi dan melebihi tiga per empat beban
mati, pengaturan untuk lantai tersebut terdiri dari:
(i) beban hidup terfaktor pada bentang-bentang yang
berselang-seling;
(ii) beban hidup terfaktor pada dua bentang yang
bersebelahan; dan
(iii) beban hidup terfaktor pada seluruh bentang.
7.3.3 Struktur sederhana
Komponen struktur lentur dianggap memiliki ujung-ujung yang
hanya dapat memikul geser dan bebas berotasi. Pada rangka
berbentuk segitiga, gaya-gaya aksial dapat ditetapkan dengan
menganggap bahwa semua komponen struktur terhubungkan dengan
sambungan pen.
Reaksi balok atau sejenisnya yang bekerja pada kolom harus diambil
minimum sejarak 100 mm dari muka kolom kearah tengah bentang
atau di tengah dudukan konsol, diambil eksentrisitas yang lebih besar,
kecuali untuk kepala kolom, beban harus dianggap bekerja di muka
kolom ke arah tengah bentang.
Untuk kolom menerus, momen lentur terfaktor (Mu) yang disebabkan
oleh eksentrisitas beban pada suatu lantai atau balok suatu rangka
diambil dengan anggapan bahwa:
a) lantai atau balok dari suatu rangka di atas dan di bawah lantai
atau balok yang ditinjau tidak mampu memikul momen; dan
b) didistribusikan kepada panjang kolom di atas dan di bawah lantai
atau balok yang ditinjau proporsional terhadap nilai I/L dari
kolom tersebut.

7.4 Analisis elastis

7.4.1 Anggapan
Setiap komponen struktur dianggap tetap dalam keadaan elastis pada
setiap kondisi beban terfaktor. Pengaruh dari voute atau perubahan

21 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

momen inersia penampang sepanjang sumbu komponen struktur


harus diperhatikan pada perhitungan dan, bila tidak dapat diabaikan,
harus diperhitungkan dalam penentuan kekakuan komponen struktur
tersebut.
7.4.2 Pengaruh orde kedua
Analisis struktur dilakukan dengan tetap memperhatikan titik tangkap
beban-beban yang bekerja pada struktur dan komponen-komponen
struktur setelah berdeformasi. Pengaruh orde kedua harus
diperhatikan melalui salah satu dari dua analisis berikut ini:
a) suatu analisis orde pertama dengan amplifikasi momen sesuai
dengan Butir 7.4.3; atau
b) analisis orde kedua menurut cara-cara yang telah baku dan telah
diterima secara umum.
7.4.3 Analisis orde pertama
Pada analisis orde pertama, perubahan geometri struktur dan
perubahan kekakuan komponen struktur akibat adanya gaya aksial
diabaikan. Pengaruh ini terhadap momen lentur yang didapat dari
analisis orde pertama perlu diperhitungkan dengan menggunakan
metode amplifikasi momen sesuai dengan Butir 7.4.3.2.
7.4.3.1 Amplifikasi momen untuk komponen struktur tak-bergoyang
Untuk komponen struktur tak-bergoyang tanpa gaya aksial atau
komponen struktur tak-bergoyang dengan gaya aksial tarik, momen
lentur terfaktor (Mu) dihitung sebagai berikut:
M u = M ntu (7.4-1)
dengan Mntu adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang
diakibatkan oleh beban-beban yang tidak menimbulkan goyangan.
Untuk komponen struktur tak-bergoyang dengan gaya aksial tekan
terfaktor (Nu) yang berasal dari analisis orde pertama, momen lentur
terfaktor (Mu) dihitung sebagai berikut:
M u = δ b M ntu (7.4-2)

dengan δb adalah faktor amplifikasi momen untuk komponen struktur


tak-bergoyang dan dihitung sebagai berikut:
cm
δb = ≥1 (7.4-3)
 N 
1 −  u 
 N crb 

22 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

dengan Nu adalah gaya aksial tekan terfaktor dan Ncrb adalah beban
kritis elastis, ditetapkan sesuai dengan Butir 7.6.1, untuk komponen
struktur tak-bergoyang.
Untuk komponen struktur tak-bergoyang tanpa beban transversal,
faktor cm dihitung berikut ini:
c m = 0,6 − 0,4 β m ≤ 1,0 (7.4-4)

dengan βm adalah perbandingan momen terkecil dan terbesar yang


bekerja di ujung-ujung komponen struktur, diambil positif bila
komponen struktur terlentur dengan kelengkungan yang berbalik
tanda dan negatif untuk kasus sebaliknya.
Untuk komponen struktur tak-bergoyang dengan beban transversal:
cm = 1 untuk komponen struktur dengan ujung-ujung
sederhana,
cm = 0,85 untuk komponen struktur dengan ujung-ujung
kaku.
7.4.3.2 Amplifikasi momen untuk komponen struktur bergoyang
Untuk komponen struktur bergoyang, momen lentur terfaktor (Mu)
dihitung menggunakan metode pada butir ini.
Dalam butir ini, momen lentur terfaktor (Mu) dihitung sebagai
berikut:
M u = δ b M ntu + δ s M ltu (7.4-5)
dengan Mltu adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang
diakibatkan oleh beban-beban yang dapat menimbulkan goyangan,
dan faktor amplifikasi momen (δs) ditetapkan sebagai berikut:
1
δs = (7.4-6a)
∆ 
1 − ∑ N u  oh 
 HL 

1
atau δ s = (7.4-6b)
 ∑ Nu 
1−  
∑N 
 crs 

23 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Keterangan:
ΣΝu adalah jumlah gaya aksial tekan terfaktor akibat beban
gravitasi untuk seluruh kolom pada satu tingkat yang
ditinjau, N
Ncrs adalah ditetapkan pada Butir 7.6.1 untuk kasus komponen
struktur bergoyang, N
∆oh adalah simpangan antar lantai pada tingkat yang sedang
ditinjau, mm
ΣΗ adalah jumlah gaya horizontal yang menghasilkan ∆oh pada
tingkat yang ditinjau, N
L adalah tinggi tingkat, mm
7.4.3.3 Persamaan interaksi aksial-momen
Dalam segala hal, salah satu dari dua persamaan interaksi aksial-
momen berikut ini harus dipenuhi oleh setiap komponen struktur
prismatis simetris ganda dan simetris tunggal.

Nu Nu 8  M ux M uy 
(i) Bila ≥ 0,2 maka +  +  ≤ 1,0 (7.4-7a)
φ Nn φ N n 9  φ b M nx φ b M ny 

Nu Nu  M ux M uy 
(ii) Bila < 0,2 maka + +  ≤ 1,0 (7.4-7b)
φ Nn 2φ N n  φ b M nx φ b M ny 

Keterangan:
Nu adalah gaya aksial terfaktor, N
Nn adalah kuat nominal penampang komponen struktur;
ditetapkan sesuai dengan Butir 7.6.2 untuk komponen
struktur tekan dan Butir 10.1 untuk komponen struktur
tarik, N
φ adalah faktor reduksi kekuatan
φ = φc adalah untuk komponen struktur tekan = 0,85
φ = φt adalah untuk komponen struktur tarik=0,9
φb adalah faktor reduksi kekuatan untuk komponen
struktur lentur = 0,90
Mnx, M ny adalah momen lentur nominal penampang komponen
struktur masing-masing terhadap sumbu-x dan -y
ditetapkan sesuai dengan Butir 8.2 dan 8.3, N-mm
Mux, M uy adalah momen lentur terfaktor masing-masing terhadap
sumbu-x dan -y, sudah termasuk pengaruh orde kedua,
N-mm

24 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

7.5 Analisis plastis

7.5.1 Penerapan
Pengaruh gaya-dalam di sebagian atau seluruh struktur dapat
ditetapkan menggunakan analisis plastis selama batasan pada Butir
7.5.2 dipenuhi. Distribusi gaya-gaya-dalam harus memenuhi syarat
keseimbangan dan syarat batas.
7.5.2 Batasan
Bila metode plastis digunakan, semua persyaratan di bawah ini harus
dipenuhi, yaitu:
a) Tegangan leleh baja yang digunakan tidak melebihi 450 MPa;
b) Pada daerah sendi plastis, tekuk setempat harus dapat dihindari
dengan mensyaratkan bahwa perbandingan lebar terhadap tebal,
b/t, lebih kecil daripada λ p . Nilai λ p tersebut ditetapkan sesuai
dengan Tabel 7.5-1;
c) Pada rangka dengan bresing, gaya aksial tekan terfaktor pada
kolom yang diakibatkan oleh beban gravitasi terfaktor dan beban
horizontal terfaktor tidak diperkenankan melampaui 0,85 Ab f y .
Pada rangka tanpa bresing, gaya aksial tekan terfaktor pada kolom
yang diakibatkan oleh beban gravitasi terfaktor dan beban
horizontal terfaktor tidak diperkenankan melampaui 0,75 Ab f y ;
d) Parameter kelangsingan kolom λc tidak boleh melebihi 1,5 kc.
Nilai kc ditetapkan sesuai dengan Butir 7.6.3.2 atau 7.6.3.3;
e) Untuk komponen struktur dengan penampang kompak yang
terlentur terhadap sumbu kuat penampang, panjang bagian pelat
sayap tanpa pengekang lateral, Lb, yang mengalami tekan pada
daerah sendi plastis yang mengalami mekanisme harus memenuhi
syarat Lb ≤ Lpd, yang ditetapkan berikut ini:
(i) Untuk profil-I simetris tunggal dan simetris ganda dengan
lebar pelat sayap tekan sama dengan atau lebih besar
daripada lebar pelat sayap tarik dan dibebani pada bidang
pelat sayap

  M1  r
25.000 + 15.000 M 2  y
L pd = (7.5-1)
fy

25 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Keterangan:
fy adalah tegangan leleh material, MPa
M1 adalah momen ujung yang terkecil, N-mm
M2 adalah momen ujung yang terbesar, N-mm
ry adalah jari-jari girasi terhadap sumbu lemah, mm
(M1/M2) bertanda positif untuk kasus kelengkungan ganda
dan negatif untuk kasus kelengkungan tunggal
L pd dinyatakan dalam mm
.
(ii) Untuk komponen struktur dengan penampang persegi
pejal dan balok kotak simetris
  M1  r
35.000 + 21.000  M 2  y 21.000 ry
L pd = ≥ (7.5-2)
fy fy

Tidak ada batasan terhadap Lb untuk komponen struktur


dengan penampang melintang bulat, atau bujursangkar, atau
penampang yang terlentur terhadap sumbu lemah.
f) Kekuatan komponen struktur harus direncanakan sesuai dengan
Butir 7.4.3.3;
g) Kuat lentur komponen struktur komposit harus ditentukan
berdasarkan distribusi tegangan plastis.
7.5.3 Anggapan analisis
Gaya-gaya-dalam ditetapkan menggunakan analisis plastis kaku.
Dalam analisis plastis harus dapat dianggap bahwa sambungan-
sambungan dapat memobilisasikan kekuatan penuhnya atau sebagian
dari kekuatan penuhnya, selama kekuatan sambungan-sambungan
tersebut direncanakan untuk tujuan ini, dan selama:
a) untuk sambungan dengan kekuatan penuh, yang kapasitas momen
sambungannya tidak kurang dari kapasitas momen penampang
komponen-komponen struktur yang disambung, perilaku
sambungan harus sedemikian rupa sehingga kapasitas rotasi
sambungan pada setiap sendi plastis tidak terlampaui pada saat
terjadinya mekanisme;
b) untuk sambungan dengan sebagian dari kekuatan penuhnya, yang
kapasitas momen sambungannya dapat lebih kecil daripada
kapasitas momen komponen-komponen struktur yang disambung,
perilaku sambungan harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan terjadinya semua sendi plastis yang diperlukan
untuk terjadinya mekanisme, sedemikian rupa sehingga kapasitas
rotasi sambungan pada setiap sendi plastis tidak terlampaui.

26 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

7.6 Analisis tekuk komponen struktur


Gaya tekuk elastis komponen struktur (Ncr) untuk keadaan tertentu
ujung-ujungnya yang diberikan oleh suatu rangka pendukung
ditetapkan sesuai dengan Butir 7.6.2. Gaya tekuk komponen struktur
(Ncrb) digunakan dalam menetapkan faktor amplifikasi momen pada
komponen struktur tak-bergoyang (δb) pada Butir 7.4.3.1, dan gaya
tekuk komponen struktur (Ncrs) digunakan pada penentuan faktor
amplifikasi momen pada komponen struktur bergoyang (δs) pada
Butir 7.4.3.2.
7.6.1 Gaya tekuk elastis
Gaya tekuk elastis komponen struktur (Ncr) ditetapkan sebagai
berikut:

Ab f y
N cr = (7.6-1)
λ2c
dengan parameter kelangsingan kolom, λc, ditetapkan sebagai berikut:

1 Lk fy
λc = (7.6-2)
π r E
dengan Lk = k c L dan fy adalah tegangan leleh material. Dalam hal
ini kc adalah faktor panjang tekuk, ditetapkan sesuai dengan Butir
7.6.3 dan L adalah panjang teoritis kolom.
7.6.2 Daya dukung nominal komponen struktur tekan
Untuk penampang yang mempunyai perbandingan lebar terhadap
tebalnya lebih kecil daripada nilai λr pada Tabel 7.5-1, daya dukung
nominal komponen struktur tekan dihitung sebagai berikut:
fy
N n = Ag f cr = Ag (7.6-3)
ω

fy
f cr = (7.6-4)
ω
untuk λc ≤ 0,25 maka ω = 1 (7.6-5a)
1,43
untuk 0,25 < λc < 1,2 maka ω = (7.6-5b)
1,6 − 0,67λc
untuk λc ≥ 1,2 maka ω = 1,25λ2c (7.6-5c)

Keterangan:
Ag adalah luas penampang bruto, mm2

27 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

fcr adalah tegangan kritis penampang, MPa


fy adalah tegangan leleh material, MPa

Untuk penampang yang mempunyai perbandingan lebar terhadap


tebalnya lebih besar daripada nilai λr pada Tabel 7.5-1, analisis
kekuatan dan kekakuannya dilakukan secara tersendiri dengan
mengacu pada metode-metode analisis yang rasional.
7.6.3 Faktor panjang tekuk
Nilai faktor panjang tekuk (kc) bergantung pada kekangan rotasi dan
translasi pada ujung-ujung komponen struktur. Pada Gambar 7.6-2(a)
untuk komponen struktur tak-bergoyang, kekangan translasi ujungnya
dianggap tak-hingga. Pada Gambar 7.6-2(b) untuk komponen struktur
bergoyang, kekangan translasi ujungnya dianggap nol.
Nilai faktor panjang tekuk (kc) ditetapkan sesuai dengan Butir 7.6.3.1
untuk komponen struktur dengan ujung-ujung yang ideal, atau sesuai
dengan Butir 7.6.3.2 untuk komponen struktur tak bergoyang pada
suatu rangka, atau untuk komponen struktur bergoyang pada suatu
rangka portal dengan pembebanan normal dan gaya aksial yang dapat
diabaikan.
7.6.3.1 Komponen struktur dengan ujung ideal
Nilai faktor panjang tekuk (kc) yang digunakan untuk komponen
struktur dengan ujung-ujung ideal ditunjukkan pada Gambar 7.6-1.
7.6.3.2 Komponen struktur dari suatu rangka
Untuk komponen struktur tekan yang merupakan bagian dari suatu
rangka bersambungan kaku, nilai faktor panjang tekuk (kc)
ditetapkan dari Gambar 7.6-2(a) untuk komponen struktur tak-
bergoyang dan dari Gambar 7.6-2(b) untuk komponen struktur
bergoyang. Pada gambar-gambar tersebut GA dan GB adalah
perbandingan antara kekakuan komponen struktur dengan tekan
dominan terhadap kekakuan komponen struktur relatif bebas tekan,
masing-masing pada ujung A dan ujung B. Nilai G ditetapkan
sesuai dengan Butir 7.6.3.3.
7.6.3.3 Perbandingan kekakuan pada rangka portal
Nilai G suatu komponen struktur pada rangka portal dapat
ditentukan sebagai berikut:
I
∑  L 
c
G= (7.6-6)
I
∑  L 
b

28 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

kecuali bahwa:
a) untuk komponen struktur tekan yang dasarnya tidak
terhubungkan secara kaku pada fondasi, nilai G tidak boleh
diambil kurang dari 10, kecuali bila dilakukan analisis khusus
untuk menetapkan nilai G tersebut; dan
b) untuk komponen struktur tekan yang dasarnya terhubungkan
secara kaku pada fondasi, nilai G tidak boleh diambil kurang
dari 1, kecuali bila dilakukan analisis khusus untuk menetapkan
nilai G tersebut.
I
Besaran ∑   dihitung dengan menjumlahkan kekakuan semua
 L c
komponen struktur tekan  dengan bidang lentur yang sama 
yang terhubungkan secara kaku pada ujung komponen struktur
yang sedang ditinjau, termasuk komponen struktur itu sendiri.
I
Besaran ∑   dihitung dengan menjumlahkan kekakuan semua
 L b
komponen struktur lentur  dengan bidang lentur yang sama 
yang terhubungkan secara kaku pada ujung komponen struktur
yang sedang ditinjau.
7.6.3.4 Komponen struktur pada struktur segitiga
Panjang efektif (Lk) komponen struktur pada suatu struktur segitiga
diambil tidak kurang dari panjang teoritisnya (L) dari as-ke-as
sambungan dengan komponen struktur lainnya, kecuali jika
dihitung dengan analisis lainnya yang lebih teliti.
7.6.4 Batas kelangsingan
Untuk batang-batang yang direncanakan terhadap tekan, angka
perbandingan kelangsingan λ=Lk/r dibatasi sebesar 200.
Untuk batang-batang yang direncanakan terhadap tarik, angka
perbandingan kelangsingan L/r dibatasi sebesar 300 untuk batang
sekunder dan 240 untuk batang primer. Ketentuan di atas tidak
berlaku untuk batang bulat dalam tarik. Batang-batang yang
ditentukan oleh gaya tarik, namun dapat berubah menjadi tekan yang
tidak dominan pada kombinasi pembebanan yang lain, tidak perlu
memenuhi batas kelangsingan batang tekan.

Tabel 7.5-1
Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal untuk elemen tertekan
( f y dinyatakan dalam MPa, simbol mengacu pada Gambar 7.5-1).

Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal

29 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

lebar terhadap
tebal
(λ) λp λr
(tak-kompak)
(kompak)
Pelat sayap balok-I dan b/t 170 / f y [c] 370 / f y − f r [e]
kanal dalam lentur
Pelat sayap balok-I hibrida b/t 170 / f yf 420
atau balok tersusun yang di [e][f]
las dalam lentur ( f yf − f r ) / k e

Pelat sayap dari komponen- b/t - 290 / f y / k e [f]


komponen struktur tersusun
dalam tekan

Sayap bebas dari profil siku b/t - 250 / fy


kembar yang menyatu pada
sayap lainnya, pelat sayap
dari komponen struktur
kanal dalam aksial tekan,
profil siku dan plat yang
menyatu dengan balok atau
komponen struktur tekan
Sayap dari profil siku b/t - 200 / fy
tunggal pada penyokong,
sayap dari profil siku ganda
dengan pelat kopel pada
penyokong, elemen yang
tidak diperkaku, yaitu, yang
ditumpu pada salah satu
sisinya
Pelat badan dari profil T d/t - 335 / fy

30 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Tabel 7.5-1 (Lanjutan)


Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal untuk elemen tertekan
( f y dinyatakan dalam MPa, simbol mengacu pada Gambar 7.5-1).

Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal


lebar
terhadap tebal λp λr
(λ) (tak-kompak)
(kompak)
Pelat sayap dari penampang b/t 500 / fy 625 / fy
persegi panjang dan
bujursangkar berongga
dengan ketebalan seragam
yang dibebani lentur atau
tekan; pelat penutup dari
pelat sayap dan pelat
diafragma yang terletak di
antara baut-baut atau las
Bagian lebar yang tak b/t - 830 / fy
terkekang dari pelat penutup
berlubang [b]
Bagian-bagian pelat badan h/tw 1.680 / f y [c] 2.550 / f y [g]
dalam tekan akibat lentur [a]
Bagian-bagian pelat badan h/tw Untuk [g]
dalam kombinasi tekan dan Nu /φbNy<0,125 [c] 2.550  0,74 Nu 
lentur 1 − 
1.680  2,75 N u  f y  φb N y 
1 − 
f y  φb N y 

Untuk Nu/φbNy>0,125
[c]
500  N u  665
2,33 − ≥
fy  φb N y  fy

Elemen-elemen lainnya yang b/t - 665 / fy


diperkaku dalam tekan h/tw
murni; yaitu dikekang
sepanjang kedua sisinya
Penampang bulat berongga D/t [d]
Pada tekan aksial - 22.000/fy
Pada lentur 14.800/fy 62.000/fy
[a] Untuk balok hibrida, gunakan tegangan leleh [e] fr = tegangan tekan residual pada pelat sayap
pelat sayap fyf sebagai ganti fy. = 70 MPa untuk penampang dirol
[b] Ambil luas neto plat pada lubang terbesar. = 115 MPa untuk penampang dilas
[c] Dianggap kapasitas rotasi inelastis sebesar 3. 4
Untuk struktur-struktur pada zona gempa tinggi [f] k e = tapi, 0,35 < ke < 0,763
diperlukan kapasitas rotasi yang lebih besar. h / tw
[d] Untuk perencanaan plastis gunakan 9.000/fy. [g] f y adalah tegangan leleh minimum.

31 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

b
f f b f
b

hc f

h fw h
hc

b b

h h

Gambar 7.5-1
Simbol untuk beberapa variabel penampang.

Gambar 7.6-1
Nilai kc untuk kolom dengan ujung-ujung yang ideal.

32 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Gambar 7.6-2
(a) Nilai kc untuk komponen struktur tak bergoyang, dan (b) untuk
komponen struktur bergoyang.

33 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

8. KOMPONEN STRUKTUR LENTUR

8.1 Perencanaan untuk lentur

8.1.1 Lentur terhadap sumbu utama kuat


Suatu komponen struktur yang memikul lentur terhadap sumbu kuat
(sumbu-x), dan dianalisis dengan metode elastis sesuai Butir 7.4,
harus memenuhi,

M ux ≤ φ M n (8.1-1)
Keterangan:
Mux adalah momen lentur terfaktor terhadap sumbu-x yang dihitung
menurut Butir 7.4, N-mm
φ adalah faktor reduksi = 0,9
Mn adalah kuat nominal dari momen lentur penampang
Mn diambil nilai yang lebih kecil dari kuat nominal penampang
untuk momen lentur terhadap sumbu-x yang ditentukan oleh
Butir 8.2, atau kuat nominal komponen struktur untuk momen
lentur terhadap sumbu-x yang ditentukan oleh Butir 8.3 pada
balok biasa, atau Butir 8.4 khusus untuk balok pelat berdinding
penuh, N-mm

8.1.2 Momen lentur terhadap sumbu lemah


Suatu komponen struktur yang memikul momen lentur pada sumbu
lemahnya (sumbu-y), dan dianalisis dengan metode elastis sesuai
Butir 7.4 harus memenuhi,

M uy ≤ φ M n (8.1-2)

Keterangan:
Muy adalah momen lentur perlu terhadap sumbu-y yang dihitung
menurut Butir 7.4, N-mm
Mn adalah kuat lentur nominal penampang terhadap sumbu-y yang
ditentukan pada Butir 8.2, N-mm

8.1.3 Analisis plastis


Suatu komponen struktur yang dianalisis dengan metode plastis
sesuai Butir 7.5 harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Berpenampang kompak (lihat Tabel 7.5-1);
b) Memenuhi L ≤ L p (lihat Tabel 8.3-2);

34 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

c) Memenuhi Butir 8.10.6;


d) Memenuhi persyaratan berikut ini.

Mu ≤ φ Mn (8.1-3)
Keterangan:
Mu adalah momen lentur rencana yang dihitung menurut Butir
7.5, N-mm
Mn adalah kuat lentur nominal penampang yang ditentukan
pada Butir 8.2.1(b) , N-mm

8.1.4 Lentur terhadap sumbu sebarang (bukan sumbu utama)


a) Suatu komponen struktur yang, karena adanya kekangan,
melentur pada suatu sumbu yang bukan sumbu utamanya harus
memenuhi ketentuan pada Butir 11;
b) Suatu komponen struktur yang tanpa dikekang melentur terhadap
suatu sumbu yang bukan sumbu utamanya harus memenuhi
ketentuan pada Butir 11.

8.1.5 Kombinasi lentur dengan gaya geser atau aksial


a) Suatu komponen struktur yang dibebani kombinasi lentur dan
gaya geser harus memenuhi ketentuan Butir 8.1 dan 8.9;
b) Suatu komponen struktur yang dibebani kombinasi lentur dan
gaya tekan atau tarik aksial harus memenuhi ketentuan pada Butir
11.

8.2 Kuat nominal lentur penampang dengan pengaruh tekuk lokal

8.2.1 Batasan momen


a) Momen leleh M y adalah momen lentur yang menyebabkan
penampang mulai mengalami tegangan leleh yaitu diambil sama
dengan f y S dan S adalah modulus penampang elastis yang
ditentukan menurut Butir 8.2.1(d);
b) Kuat lentur plastis M p momen lentur yang menyebabkan seluruh
penampang mengalami tegangan leleh harus diambil yang lebih
kecil dari f y Z atau 1,5 M y , dan Z adalah modulus penampang
plastis yang ditentukan dalam Butir 8.2.1(d);

35 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

c) Momen batas tekuk Mr diambil sama dengan S ( f y − f r ) dan fr


adalah tegangan sisa;
d) Perhitungan modulus penampang elastis dan plastis harus
dilakukan secermat mungkin dengan memperhitungkan adanya
lubang-lubang, perbedaan tegangan leleh pada penampang
hibrida, letak pelat tarik dan tekan, dan arah/sumbu lentur yang
ditinjau sedemikian sehingga kuat momen yang dihasilkan berada
dalam batas-batas ketelitian yang dapat diterima.

8.2.2 Kelangsingan penampang


Pengertian penampang kompak, tak-kompak, dan langsing suatu
komponen struktur yang memikul lentur, ditentukan oleh
kelangsingan elemen-elemen tekannya yang ditentukan pada Tabel
7.5-1.

8.2.3 Penampang kompak


Untuk penampang-penampang yang memenuhi λ ≤ λ p , kuat lentur
nominal penampang adalah,

Mn = M p (8.2-1.a)

8.2.4 Penampang tak-kompak


Untuk penampang yang memenuhi λ p < λ ≤ λ r , kuat lentur nominal
penampang ditentukan sebagai berikut:

λ − λp
M n = M p − (M p − M r ) (8.2-1.b)
λr − λ p

8.2.5 Penampang langsing


Untuk pelat sayap yang memenuhi λr≤λ, kuat lentur nominal
penampang adalah,

M n = M r (λ r / λ ) 2 (8.2-1.c)

Untuk pelat badan yang memenuhi λr≤λ, kuat lentur nominal


penampang ditentukan pada Butir 8.4.

36 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

8.3 Kuat lentur nominal penampang dengan pengaruh tekuk lateral

8.3.1 Batasan momen


a) Untuk pelat badan yang memenuhi λr≤λ, kuat lentur nominal
penampang ditentukan pada Butir 8.4;
b) Batasan M y , Mp, dan Mr dianut sesuai dengan Butir 8.2.1;
c) Momen kritis Mcr ditentukan dalam Tabel 8.3-1;
d) Faktor pengali momen Cb ditentukan oleh persamaan (8.3-1);
12,5M max
Cb = ≤ 2,3 (8.3-1)
2,5M max + 3M A + 4 M B + 3M C
dengan Mmax adalah momen maksimum pada bentang yang ditinjau
serta MA, MB, dan MC adalah masing-masing momen pada 1/4 bentang,
tengah bentang, dan 3/4 bentang komponen struktur yang ditinjau.

Tabel 8.3-1 Momen kritis untuk tekuk lateral


Profil Mcr

Profil-I dan kanal ganda 2


π  πE 
Cb EI y GJ +   I yIw
L  L 

Profil kotak pejal atau berongga JA


2Cb E
L / ry

8.3.2 Pengekang lateral


Kuat komponen struktur dalam memikul momen lentur tergantung
dari panjang bentang antara dua pengekang lateral yang berdekatan,
L. Batas-batas bentang pengekang lateral ditentukan dalam Tabel 8.3-
2.

8.3.3 Bentang pendek


Untuk komponen struktur yang memenuhi L ≤ L p kuat nominal
komponen struktur terhadap momen lentur adalah

Mn = M p (8.3-2.a)

37 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Tabel 8.3-2 Bentang untuk pengekangan lateral


Profil Lp Lr
Profil-I dan kanal E X 
ganda 1,76ry dengan ry  1  1 + 1 + X 2 f L2 dengan
fy  fL 
Iy fL = f y − fr
ry = adalah jari-
A π EGJA
jari girasi terhadap X1 =
S 2
sumbu lemah
2
 S  Iw
X 2 = 4 
 GJ  I y
Iw adalah konstanta puntir lengkung
J adalah konstanta puntir torsi
Profil kotak pejal JA JA
atau berongga 0,13Ery 2 Ery
Mp Mr

8.3.4 Bentang menengah


Untuk komponen struktur yang memenuhi L p ≤ L ≤ Lr , kuat
nominal komponen struktur terhadap momen lentur adalah

 ( Lr − L ) 
(
M n = Cb  M r + M p − M r ) ≤Mp
( Lr − L p ) 
(8.3-2.b)


8.3.5 Bentang panjang


Untuk komponen struktur yang memenuhi Lr ≤ L , kuat nominal
komponen struktur terhadap lentur adalah

M n = M cr ≤ M p (8.3-2.c)

8.4 Kuat lentur nominal balok pelat berdinding penuh

8.4.1 Batasan momen


a) Balok pelat berdinding penuh dalam hal ini adalah balok yang
mempunyai ukuran h/tw>λr. Kuat lentur nominal komponen
struktur dinyatakan dengan

38 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

M n = K g Sf cr (8.4-1)

Keterangan:
fcr adalah tegangan kritis yang ditentukan oleh Butir 8.4.3,
8.4.4 atau 8.4.5, MPa
S adalah modulus penampang yang ditentukan sesuai Butir
8.2.1, mm3
Kg adalah koefisien balok pelat berdinding penuh
Koefisien balok pelat berdinding penuh, Kg ditentukan sebagai
berikut:

 ar   h 2.550 
Kg = 1−   −  (8.4-2)
1.200 + 300a r   t w f cr 

Keterangan:
ar adalah perbandingan luas pelat badan terhadap pelat sayap
tekan
h adalah tinggi bersih balok pelat berdinding penuh (dua kali
jarak dari garis netral ke tempat mulai adanya alat
penyambung di sisi tekan), mm
b) Faktor pengali momen Cb ditentukan oleh persamaan (8.3-1).

8.4.2 Kuat lentur berdasarkan faktor kelangsingan


Untuk kuat lentur balok pelat berdinding penuh diambil nilai terkecil
dari keruntuhan akibat tekuk torsi lateral yang tergantung panjang
bentang dan akibat tekuk lokal yang ditentukan oleh tebal pelat
sayap.
8.4.2.1 Faktor kelangsingan berdasarkan panjang bentang
Faktor kelangsingan berdasarkan panjang bentang dinyatakan
dengan persamaan,
λG = L / rt (8.4-3.a)
Keterangan:
L adalah jarak antara pengekang lateral, mm
rt adalah jari-jari girasi daerah pelat sayap ditambah sepertiga
bagian pelat badan yang mengalami tekan, mm
Batas-batas kelangsingannya adalah
E
λ p = 1,76 (8.4-4.a)
fy

39 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

E
λ r = 4,40 (8.4-4.b)
fy

8.4.2.2 Faktor kelangsingan berdasarkan tebal pelat sayap


Faktor kelangsingan berdasarkan tebal pelat sayap dinyatakan
dengan persamaan,
bf
λG = (8.4-3.b)
2t f
Batas-batas kelangsingannya adalah
E
λ p = 0,38 (8.4-4.c)
fy

ke E
λ r = 1,35 (8.4-4.d)
fy

4
dengan k e = dengan 0,35 ≤ ke ≤ 0,763.
h
tw

8.4.3 Kasus λG ≤ λp
Komponen struktur yang memenuhi λG ≤ λp maka

f cr = f y (8.4-5.a)

8.4.4 Kasus λp ≤ λG ≤ λr
Komponen struktur yang memenuhi λp ≤ λG ≤ λr, maka

 (λ G − λ p ) 
f cr = Cb f y 1 −  ≤ fy (8.4-5.b)
 2(λ r − λ p ) 
 

8.4.5 Kasus λr ≤ λG
Komponen struktur yang memenuhi λr ≤ λG, maka

40 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

2
λ 
f cr = fc  r  (8.4-5.c)
 λg 
 
dengan,

Cb f y
fc = ≤ fy (8.4-6.a)
2
jika ditentukan oleh tekuk torsi lateral (Butir 8.4.2.1); atau

fy
fc = (8.4-6.b)
2
jika ditentukan oleh tekuk lokal (Butir 8.4.2.2).

8.5 Kasus-kasus lain

8.5.1 Batasan perhitungan


Perhitungan-perhitungan yang ditentukan dalam Butir 8.2, 8.3, dan
8.4 berlaku bagi kasus-kasus umum, penampang simetris, prismatis,
serta kondisi-kondisi pembebanan, perletakan, dan pengekangan yang
ideal dengan menggunakan penyederhanaan-penyederhanaan lainnya.

8.5.2 Cara perhitungan


Jika diperlukan ketelitian yang lebih tinggi ataupun bagi kasus yang
tidak tercakup dalam Butir 8.5.1, maka cara perhitungan untuk
menentukan kuat lentur nominal dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis yang baku atau rujukan lain yang dapat
diterima dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
standar ini.

8.6 Pelat badan

8.6.1 Persyaratan
a) Ukuran dan susunan pelat badan balok pelat berdinding penuh,
termasuk pengaku melintang dan memanjang, harus memenuhi
Butir 8.7;
b) Pelat badan yang mengalami gaya geser harus memenuhi Butir
8.8;

41 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

c) Pelat badan yang mengalami gaya geser dan momen lentur harus
memenuhi Butir 8.9;
d) Pelat badan yang mengalami gaya tumpu harus memenuhi Butir
8.10;
e) Pengaku gaya tumpu dan tiang ujung harus memenuhi Butir 8.11;
f) Pengaku melintang di tengah harus memenuhi Butir 8.12;
g) Pengaku memanjang harus memenuhi Butir 8.13;
h) Untuk kasus yang tidak tercakup dalam butir-butir tersebut di
atas, dapat dilakukan analisis yang rasional lainnya.

8.6.2 Definisi panel pelat badan


Panel pelat badan dengan tebal (tw) harus dianggap mencakup luas
pelat yang tidak diperkaku dengan ukuran dalam arah memanjang, a,
dan ukuran dalam arah tinggi balok, h. Batas-batas pelat badan adalah
pelat sayap, pengaku memanjang, pengaku vertikal, atau tepi bebas.

8.6.3 Tebal minimum panel pelat badan


Kecuali dianalisis secara cermat untuk menghasilkan ukuran yang
lebih kecil, tebal panel pelat badan harus memenuhi Butir 8.7.1, 8.7.4,
8.7.5, dan 8.7.6.

8.7 Perencanaan pelat badan

8.7.1 Pelat badan yang tidak diperkaku


Ketebalan pelat badan yang tidak diperkaku dan dibatasi di kedua sisi
memanjangnya oleh pelat sayap harus memenuhi

E
(h / t w ) ≤ 6,36 (8.7-1.a)
fy

dengan h adalah tinggi bersih pelat badan di antara kedua pelat sayap;
sedangkan jika pada salah satu sisi memanjang dibatasi oleh tepi
bebas maka harus memenuhi

E
(h / t w ) ≤ 3,18 (8.7-1.b)
fy

42 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

8.7.2 Pengaku pemikul beban


Pengaku pemikul beban harus diberikan berpasangan di tempat
pembebanan jika gaya tumpu tekan yang disalurkan melalui pelat
sayap melebihi kuat tumpu rencana (φRb) pelat badan yang ditentukan
dalam Butir 8.10.3, 8.10.4, 8.10.5 atau 8.10.6.

8.7.3 Pelat penguat samping


Pelat penguat samping tambahan dapat diberikan untuk menambah
kekuatan pelat badan. Jika menjadi tidak simetris, maka pengaruhnya
harus dipertimbangkan. Perhitungan gaya geser yang diterima dengan
adanya pelat ini sedemikian rupa sehingga tidak melebihi jumlah
gaya horisontal yang dapat disalurkan oleh alat sambung ke pelat
badan dan pelat sayap.

8.7.4 Pelat badan dengan pengaku vertikal


Ketebalan pelat badan dengan pengaku vertikal tetapi tanpa pengaku
memanjang harus memenuhi

E
(h / t w ) ≤ 7,07 jika 1,0 ≤ a/h ≤ 3,0 (8.7-2.a)
fy

E
(a / t w ) ≤ 7,07 jika 0,74≤ a/h ≤ 1,0 (8.7-2.b)
fy

E
(h / t w ) ≤ 9,55 jika a/h≤ 0,74 (8.7-2.c)
fy

Semua pelat badan yang mempunyai a/h>3,0 harus dianggap tidak


diperkaku, dengan h adalah tinggi panel yang terbesar di bentang
tersebut.

8.7.5 Pelat badan dengan pengaku memanjang dan vertikal


Ketebalan pelat badan yang diberi pengaku-pengaku memanjang
yang ditempatkan di salah satu sisi atau di kedua sisi pada jarak 0,2h
dari pelat sayap tekan harus memenuhi:

E
(h / t w ) ≤ 8,83 jika 1,0≤ a/h ≤3,0 (8.7-3.a)
fy

43 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

E
(a / t w ) ≤ 8,83 jika 0,74≤a/h≤1,0 (8.7-3.b)
fy

E
(h / t w ) ≤ 12,02 jika a/h≤0,74 (8.7-3.c)
fy

Ketebalan pelat badan dengan pengaku-pengaku memanjang


tambahan yang ditempatkan pada salah satu sisi atau di kedua sisi
pelat badan pada sumbu netral harus memenuhi

E
(h / t w ) ≤ 14,14 jika a/h≤1,5 (8.7-3.d)
fy

8.7.6 Ketebalan pelat untuk komponen struktur yang dianalisis secara


plastis
Tebal pelat badan yang mempunyai sendi plastis harus memenuhi

E
(h / t w ) ≤ 2,90 (8.7-4)
fy

Pengaku penumpu beban harus dipasang jika ada gaya tumpu atau
gaya geser yang bekerja dalam jarak h/2 dari lokasi sendi plastis dan
beban tumpu perlu atau gaya geser perlu melewati 0,1 kali kuat geser
rencana (φVf) suatu komponen yang ditentukan dengan Butir 8.8.3.
Pengaku-pengaku ini harus ditempatkan dalam jarak h/2 dari lokasi
sendi plastis di kedua sisi sendi plastis tersebut dan harus
direncanakan sesuai dengan Butir 8.11 untuk memikul gaya yang
lebih besar di antara gaya tumpu atau gaya geser.
Jika pengaku terbuat dari pelat lurus, kekakuannya (λ) seperti
didefinisikan dalam Butir 8.2.2, dengan menggunakan tegangan leleh
pengaku, harus lebih kecil dari batas plastisitas (λ p ) yang ditentukan
dalam Butir 8.2.2.
Untuk penampang pipa, maka ketebalannya harus memenuhi

E
( D / t ) ≤ 0,045 (8.7-5)
fy

dengan D adalah diameter pipa.

44 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

8.7.7 Lubang di pelat badan


Kecuali untuk balok dengan kastelasi, lubang pada pelat badan boleh
saja tidak diperkaku selama ukuran lubang bagian dalam yang
terbesar (Lw) memenuhi salah satu syarat berikut:

Lw/d≤0,10 (untuk pelat badan tanpa pengaku memanjang), atau (8.7-6.a)


Lw/d≤0,33 (untuk pelat badan dengan pengaku memanjang) (8.7-6.b)
Jarak memanjang antara batas lubang yang berdekatan paling tidak
tiga kali lebih besar daripada ukuran lubang bagian dalam yang
terbesar. Di samping itu hanya satu bagian berlubang yang boleh
tanpa pengaku, kecuali jika hasil analisis menunjukkan bahwa
pengaku tidak dibutuhkan.
Perencanaan balok dengan kastelasi atau balok dengan lubang
diperkaku harus berdasarkan analisis yang rasional.

8.8 Kuat geser pelat badan

8.8.1 Kuat geser


Pelat badan yang memikul gaya geser perlu (Vu) harus memenuhi

Vu ≤ φVn (8.8-1)
Keterangan:
φ adalah faktor reduksi sesuai Tabel 6.4-2
Vn adalah kuat geser nominal pelat badan berdasarkan Butir 8.8.2,
N

8.8.2 Kuat geser nominal


Kuat geser nominal (Vn ) pelat badan harus diambil seperti yang
ditentukan di bawah ini:
a) Jika perbandingan maksimum tinggi terhadap tebal panel h/tw
memenuhi;
k E
(h / t w ) ≤ 1,10 n (8.8-2.a)
fy
dengan,
5
kn = 5 +
(a h )2

45 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Kuat geser nominal pelat badan harus diambil seperti ditentukan


dalam Butir 8.8.3.
b) Jika perbandingan maksimum tinggi terhadap tebal panel h/tw
memenuhi;

kn E k E
1,10 ≤ (h / t w ) ≤ 1,37 n (8.8-2.b)
fy fy

Kuat geser nominal pelat badan ditentukan dalam Butir 8.8.4.


c) Jika perbandingan maksimum tinggi terhadap tebal panel h/tw
memenuhi;

kn E
1,37 ≤ (h / t w ) (8.8-2.c)
fy

Kuat geser nominal pelat badan ditentukan dalam Butir 8.8.5.

8.8.3 Kuat geser


Kuat geser nominal pelat badan harus dihitung sebagai berikut:

Vn = 0,6 f y Aw (8.8-3.a)

dengan Aw adalah luas kotor pelat badan.


Kuat geser nominal (Vn) penampang pipa harus dihitung sebagai
berikut:

Vn = 0,36 f y Ae (8.8-3.b)

dengan luas efektif penampang (Ae) harus diambil sebagai luas kotor
penampang bulat berongga jika tidak ada lubang yang besarnya lebih
dari yang dibutuhkan untuk alat sambung atau luas bersih lebih besar
dari 0,9 luas kotor. Jika tidak, luas efektif diambil sama dengan luas
bersih.

8.8.4 Kuat tekuk geser elasto-plastis


Kuat tekuk geser elasto-plastis pelat badan adalah sebagai berikut:

 k E 1
Vn = 0,6 f y Aw 1,10 n  (8.8-4.a)
 f y  (h / t w )

atau

46 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

 (1 − C v ) 
Vn = 0,6 f y Aw C v +  (8.8-4.b)
 1,15 1 + (a / h) 2 
 
dengan

kn E / f y
C v = 1,10
(h / t w )

8.8.5 Kuat tekuk geser elastis


Kuat tekuk geser elastis adalah sebagai berikut:

0,9 Aw k n E
Vn = (8.8-5.a)
(h / t w ) 2
atau

 (1 − C v ) 
Vn = 0,6 f y Aw C v +  (8.8-5.b)
 1,15 1 + (a / h) 2 
 
dengan

kn E 1
C v = 1,5
f y (h / t w ) 2

8.9 Interaksi geser dan lentur

8.9.1 Kuat geser pelat badan dengan adanya momen lentur


Kuat geser nominal pelat badan dengan adanya momen lentur harus
dihitung menggunakan ketentuan Butir 8.9.2 atau 8.9.3

8.9.2 Metode distribusi


Jika momen lentur dianggap dipikul hanya oleh pelat sayap dan
momen lentur perlu (Mu) memenuhi

M u ≤ φM f (8.9-1.a)

dengan M f adalah kuat lentur nominal dihitung hanya dengan pelat


sayap saja dan ditentukan sebagai berikut:

47 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

M f = Af d f f y (8.9-1.b)

Keterangan:
A f adalah luas efektif pelat sayap, mm2
A f adalah jarak antara titik berat pelat-pelat sayap, mm

Balok harus memenuhi


Vu ≤ φVn (8.9-1.c)

dengan Vn adalah kuat geser nominal pelat badan yang ditentukan


pada Butir 8.8.2.

8.9.3 Metode interaksi geser dan lentur


Jika momen lentur dianggap dipikul oleh seluruh penampang, maka
selain memenuhi Butir 8.1.1 dan 8.8.1, balok harus direncanakan
untuk memikul kombinasi lentur dan geser yaitu:

Mu V
+ 0,625 u ≤ 1,375 (8.9-2)
φM n φV n
Keterangan:
Vn adalah kuat geser nominal pelat badan akibat geser saja (lihat
Butir 8.8.2), N
Mn adalah kuat lentur nominal balok (lihat Butir 8.2, 8.3, atau 8.4),
N-mm

8.10 Gaya tekan tumpu

8.10.1 Kuat tumpu


Gaya tumpu perlu (Ru) pada pelat badan harus memenuhi

Ru ≤ φRb (8.10-1)
Keterangan:
φ adalah faktor reduksi sesuai Tabel 6.4-2
Rb adalah kuat tumpu nominal pelat badan akibat beban terpusat
atau setempat, yang harus diambil nilai yang terkecil dari kuat
tumpu yang ditentukan oleh Butir 8.10.3, 8.10.4, 8.10.5, 8.10.6,
atau 8.10.7, N

48 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

8.10.2 Lentur pelat sayap


Kuat tumpu terhadap lentur pelat sayap adalah

Rb = 6,25 t 2f f y (8.10-2)

dengan tf adalah tebal pelat sayap yang dibebani gaya tekan tumpu.

8.10.3 Kuat leleh pelat badan


Kuat tumpu terhadap leleh suatu pelat badan adalah:
a) bila jarak beban terpusat terhadap ujung balok lebih besar dari
tinggi balok;
Rb = (5k + N ) f y t w (8.10-3.a)
b) bila jarak beban terpusat terhadap ujung balok lebih kecil atau
sama dengan tinggi balok;
Rb = (2,5k + N ) f y t w (8.10-3.b)

Keterangan:
k adalah tebal pelat sayap ditambah jari-jari peralihan, mm
N adalah dimensi longitudinal pelat perletakan atau tumpuan,
minimal sebesar k, mm

8.10.4 Kuat tekuk dukung pelat badan


Kuat pelat badan terhadap tekuk di sekitar pelat sayap yang dibebani
adalah:
a) bila beban terpusat dikenakan pada jarak lebih dari d/2 dari ujung
balok;
  N  t w   Ef y t f
1,5
2
Rb = 0,79t w 1 + 3    (8.10-4.a)
  d  t f   tw
b) bila beban terpusat dikenakan pada jarak kurang dari d/2 dari
ujung balok dan untuk N/d≤0,2:

  N  t   Ef y t f
1,5
Rb = 0,39t w2 1 + 3  w   (8.10-4.b)
  d  t f   tw

atau, untuk N/d>0,2:

49 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

  N  t 
1,5 
Ef y t f
Rb = 0,39t w2 1 + 4  − 0,2 w t   (8.10-4.c)
  d  f   tw

8.10.5 Kuat tekuk lateral pelat badan


Kuat pelat badan terhadap tekuk lateral adalah
a) untuk pelat sayap yang dikekang terhadap rotasi dan dihitung bila
(h/tw)/(L/bf) ≤ 2,3;
C r Et w3 t f  (h / t w ) 3 
Rb = 1 + 0,4  (8.10-5.a)
h2  ( L / b f ) 3 

b) untuk pelat sayap yang tidak dikekang terhadap rotasi dan


dihitung jika (h/tw)/(L/bf) ≤ 1,7;
C r Et w3 t f  (h / t w ) 3 
Rb = 0,4  (8.10-5.b)
h2  ( L / b f ) 3 

dengan,
Cr = 3,25 untuk M ≤ M y
= 1,62 untuk M > M y

8.10.6 Kuat tekuk lentur pelat badan


Kuat pelat badan terhadap tekuk lentur akibat gaya tekan adalah

24,08t w3
Rb = Ef y (8.10-6)
h

8.10.7 Kuat geser daerah panel


Daerah panel adalah pelat badan yang keempat sisinya dibatasi oleh
pelat-pelat sayap balok dan kolom pada sambungan balok-kolom.
Kuat geser daerah panel ditentukan sesuai Butir 8.14.

50 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

8.11 Perencanaan pengaku penumpu beban

8.11.1 Ukuran pengaku


Jika kekuatan pelat badan Rb yang dihitung dalam Butir 8.10.3,
8.10.4, 8.10.5, dan 8.10.6 tidak memenuhi syarat, maka harus
dipasang pengaku sedemikian sehingga

Ru − φRb ≤ As f y (8.11-1)

dengan As adalah luas pengaku.

8.11.2 Lebar pengaku


Lebar pengaku pada setiap sisi pelat badan harus lebih besar dari
sepertiga lebar pelat sayap dikurangi setengah tebal pelat badan.

8.11.3 Tebal pengaku


Tebal pengaku harus lebih tebal dari setengah tebal pelat sayap dan
memenuhi

bs E
≤ 0,56 (8.11-2)
ts fy

Keterangan:
ts adalah ketebalan pengaku, mm
bs adalah lebar pengaku, mm

8.12 Perencanaan pengaku vertikal

8.12.1 Pemasangan pengaku


Bila kuat geser pelat badan pada Butir 8.8.4 dan 8.8.5 tidak
memenuhi syarat maka pengaku vertikal dipasang untuk mengubah
ukuran panel pelat badan. Pengaku vertikal pada pelat badan harus
berada di antara kedua pelat sayap dan jarak ujungnya dari pelat
sayap tidak boleh lebih dari empat kali tebal pelat badan. Pengaku
vertikal dipasang di salah satu sisi atau di kedua sisi pelat badan.

8.12.2 Luas minimum


Pengaku vertikal yang tidak menerima beban luar secara langsung
atau momen harus mempunyai luas As yang memenuhi

51 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

 ( a / h) 2 
 
As ≥ 0,5 Aw (1 − C v )(a / h) −  (8.12-1)
 1 + ( a / h) 2 

Keterangan:
Cv adalah perbandingan antara kuat geser yang ditentukan pada
Butir 8.8.4 atau 8.8.5 terhadap kuat geser yang ditentukan oleh
Butir 8.8.3
Aw adalah luas pelat badan, mm2
D = 1,0 untuk sepasang pengaku
= 1,8 untuk pengaku siku tunggal
= 2,4 untuk pengaku pelat tunggal

8.12.3 Kekakuan minimum


Pengaku vertikal pada pelat badan yang tidak menerima beban luar
secara langsung atau momen harus mempunyai momen inersia (Is)
terhadap garis tengah bidang pelat badan

I s ≥ 0,75ht w3 untuk (a/h)≤ √2 (8.12-2.a)

1,5h 3t w3
Is ≥ untuk (a/h)>√2 (8.12-2.b)
a2

8.13 Perencanaan pengaku memanjang

8.13.1 Pemasangan
Pengaku memanjang dipasang jika pelat badan tidak memenuhi syarat
yang ditetapkan pada Butir 8.7.5. Pengaku memanjang pada pelat
badan harus menerus dan harus mencapai pengaku melintang pada
pelat badan.

8.13.2 Kekakuan minimum


Jika pengaku memanjang diperlukan pada jarak 0,2 h dari pelat sayap
tekan, pengaku tersebut harus mempunyai momen inersia (Is)
terhadap muka pelat badan sedemikian sehingga

52 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

 4A  A 
I s ≥ 4ht w3 1 + s 1 + s  (8.13-1)
 Aw  Aw 

dengan As adalah luas pengaku memanjang.

Jika pada garis netral penampang dibutuhkan pengaku memanjang


yang kedua, pengaku tersebut harus mempunyai momen inersia (Is)
terhadap muka pelat badan

I s ≥ ht w3 (8.13-2)

8.14 Daerah panel


Daerah panel adalah pelat badan yang keempat sisinya dibatasi oleh
pelat-pelat sayap balok dan kolom pada sambungan balok-kolom.

8.14.1 Kuat geser daerah panel


Jika gaya geser terfaktor yang terjadi pada daerah panel tersebut
melebihi φ Rv maka harus dipasang pelat pengganda atau pengaku
diagonal.

8.14.2 Perhitungan Rv
a) Jika dalam analisis rangka stabilitas daerah panel tidak
diperhitungkan, maka,
untuk Nu ≤ 0,4 N y
Rv = 0,6 f y d c t w (8.14-1.a)
untuk Nu > 0,4 N y

 N 
Rv = 0,6 f y d c t w 1,4 − u  (8.14-1.b)
 N y 

b) Jika dalam analisis rangka stabilitas daerah panel diperhitungkan,
maka ,
untuk Nu ≤ 0,75 N y
 3bcf t cf2 

Rv = 0,6 f y d c t w 1 + (8.14-1.c)
 db dctw 
 
untuk Nu > 0,75 N y

53 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

 3bcf t cf2  


Rv = 0,6 f y d c t w 1 + 1,9 − 1,2 N u  (8.14-1.d)
 d b d c t w  Ny 
  

8.14.3 Syarat pelat perkuatan


Jika digunakan pelat pengganda maka harus memenuhi syarat-syarat
Butir 8.8 sedangkan jika digunakan pengaku diagonal maka harus
memenuhi syarat-syarat Butir 8.11.

8.15 Pengekang lateral

8.15.1 Pengekang lateral berupa batang harus mampu memikul gaya tekan
terfaktor Nu sebesar,
L
N u = 0 ,01At f y
Lkr
Keterangan:
At adalah luas sayap tertekan penampang komponen struktur yang
dikekang jika berpenampang kompak atau luas bagian tertekan
jika berpenampang tak kompak, mm2
fy adalah tegangan leleh batang pengkang lateral, MPa
L adalah jarak antar pengekang lateral, mm
Lkr adalah panjang tekuk batang pengekang lateral, mm

8.15.2 Jarak pengekang lateral ke tepi luar sayap tertekan tidak boleh lebih
dari 1/3 tinggi penampang komponen struktur yang dikekang.

54 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

9. KOMPONEN STRUKTUR TEKAN

9.1 Perencanaan akibat gaya tekan


Suatu komponen struktur yang mengalami gaya tekan konsentris
akibat beban terfaktor, N u , harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) N u ≤ φ n N n (9.1-1)
Keterangan:
φn adalah faktor reduksi kekuatan (lihat Tabel 6.4-2)
Nn adalah kuat tekan nominal komponen struktur yang
ditentukan berdasarkan Butir 7.6.2 dan 9.2, N
2) Perbandingan kelangsingan.
- kelangsingan elemen penampang (lihat Tabel 7.5-1) < λ r
L
- kelangsingan komponen struktur tekan, λ = k < 200
r
3) Komponen struktur tekan yang elemen penampangnya
mempunyai perbandingan lebar terhadap tebal lebih besar
daripada nilai λr yang ditentukan dalam Tabel 7.5-1 harus
direncanakan dengan analisis rasional yang dapat diterima.

9.2 Kuat tekan rencana akibat tekuk lentur-torsi


Kuat tekan rencana akibat tekuk lentur-torsi, φn Nnlt dari komponen
struktur tekan yang terdiri dari siku-ganda atau berbentuk T, dengan
elemen-elemen penampangnya mempunyai rasio lebar-tebal, λ r lebih
kecil daripada yang ditentukan dalam Tabel 7.5-1, harus memenuhi:

N u ≤ φ n N nlt (9.2-1)

dengan φn adalah faktor reduksi kekuatan (lihat Tabel 6.4-2)


N nlt = Ag f clt

 f cry + f crz  4 f cry f crz H 


f clt =   1 − 1 −  (9.2-1.a)
 2H 
 ( )
f cry + f crz 2 

GJ
dan f crz =
Aro2
dengan,
r0 adalah jari-jari girasi polar terhadap pusat geser

55 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Ix + Iy
ro2 = + xo2 + y o2 ,
A

 xo2 + y o2 
H = 1−  
 r2 
 o 

Keterangan:
xo, ,yo adalah koordinat pusat geser terhadap titik berat, x0 = 0
untuk siku ganda dan profil T (sumbu y - sumbu simetris)
f cry dihitung sesuai dengan persamaan (7.6-4), untuk tekuk
lentur terhadap sumbu lemah y-y, dan dengan menggunakan
harga λ c , yang dihitung dengan rumus
Lky fy
dan λc = ,
πr y E
dengan Lky adalah panjang tekuk dalam arah sumbu lemah y–y.

9.3 Komponen struktur tersusun prismatis dengan elemen yang


dihubungkan oleh pelat melintang dan memikul gaya sentris
1) Komponen struktur tersusun dari beberapa elemen yang disatukan
pada seluruh panjangnya boleh dihitung sebagai komponen
struktur tunggal;
2) Pada komponen struktur tersusun yang terdiri dari beberapa
elemen yang dihubungkan pada tempat-tempat tertentu,
kekuatannya harus dihitung terhadap sumbu bahan dan sumbu
bebas bahan. Sumbu bahan adalah sumbu yang memotong semua
elemen komponen struktur itu; sedangkan, sumbu bebas bahan
adalah sumbu yang sama sekali tidak, atau hanya memotong
sebagian dari elemen komponen struktur itu.
Sumbu bahan adalah sumbu yang memotong semua elemen
komponen struktur (lihat Gambar 9.3-1):
x− x adalah sumbu bahan,
y− y adalah sumbu bebas bahan,
l−l adalah sumbu minimum dari elemen komponen struktur,
adalah pelat kopel.
3) Kelangsingan pada arah tegak lurus sumbu x−x dihitung dengan
persamaan:

56 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Lkx
λx = (9.3-1)
rx
Keterangan:
Lkx adalah panjang tekuk komponen struktur tersusun pada arah
tegak lurus sumbu x−x, dengan memperhatikan pengekang
lateral yang ada, dan kondisi jepitan ujung-ujung komponen
struktur, mm
rx adalah jari-jari girasi komponen struktur tersusun terhadap
sumbu x− x, mm

y y y
l l l

a
y l
x x x x x x
x x
l l l l
y y y
a a a
m=2
m=2 m=2 m=2
(a) (b) (c) (d)
y y
l
l

x x
x x

a a l
a a a l
y y
m=3 m=4
(e) (f)
Gambar 9.3-1

Pada arah tegak lurus sumbu bebas bahan y−y, harus dihitung
kelangsingan ideal λiy dengan persamaan:

m 2
λiy = λ2y + λl (9.3-2)
2
Lky
λy = (9.3-3)
ry

57 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Ll
λl = (9.3-4)
rmin

Keterangan:
m adalah konstanta seperti tercantum pada Gambar 9.3-1
Lky adalah panjang tekuk komponen struktur tersusun pada
arah tegak lurus sumbu y−y, dengan memperhatikan
pengekang lateral yang ada dan kondisi jepitan ujung-
ujung komponen struktur, mm
ry adalah jari-jari girasi dari komponen struktur tersusun
terhadap sumbu y−y, mm
Ll adalah spasi antar pelat kopel pada arah komponen
struktur tekan, mm
rmin adalah jari-jari girasi elemen komponen struktur terhadap
sumbu yang memberikan nilai yang terkecil (sumbu l−l),
mm
Agar persamaan (9.3-2) dapat dipakai, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

a
Ll

Gambar 9.3-2
a) Pelat-pelat kopel membagi komponen struktur tersusun
menjadi beberapa bagian yang sama panjang atau dapat
dianggap sama panjang,

58 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

b) Banyaknya pembagian komponen struktur minimum adalah


3,
c) Hubungan antara pelat kopel dengan elemen komponen
struktur tekan harus kaku,
d) Pelat kopel harus cukup kaku, sehingga memenuhi
persamaan:
Ip Il
≥ 10 (9.3-5)
a Ll
Keterangan:
I p adalah momen inersia pelat kopel; untuk pelat kopel di
muka dan di belakang yang tebalnya t dan tingginya h,
1
maka: I p = 2 × th 3 , mm4
12
Il adalah momen inersia elemen komponen struktur
terhadap sumbu l−l, mm4
a adalah jarak antara dua pusat titik berat elemen
komponen struktur (lihat Gambar 9.3-2), mm
4) Koefisien tekuk ω x dan ω iy selanjutnya ditentukan oleh harga-
harga λ x dan λiy , sehingga kuat tekan nominal diambil sebagai
nilai yang terkecil di antara:
Ag f y
Nn = (9.3-6.a)
ωx
dan
Ag f y
Nn = (9.3-6.b)
ω iy
5) Selanjutnya, perencanaan komponen struktur tersusun ini dihitung
sesuai dengan persamaan (9.1-1).
6) Untuk menjaga kestabilan elemen-elemen penampang komponen
struktur tersusun maka harga-harga λ x dan λiy pada persamaan
(9.3-1) dan (9.3-2) harus memenuhi:
λ x ≥ 1,2λl
(9.3-7)
λiy ≥ 1,2λl
dan
λl ≤ 50

59 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

7) Pelat-pelat kopel harus dihitung dengan menganggap bahwa pada


seluruh panjang komponen struktur tersusun itu bekerja gaya
lintang sebesar:
Du = 0,02 N u (9.3-8)
dengan Nu adalah kuat tekan perlu komponen struktur tersusun
akibat beban-beban terfaktor.
Anggapan di atas tidak boleh dipakai apabila komponen struktur
yang ditinjau dibebani oleh gaya-gaya tegak lurus sumbu
komponen struktur atau dibebani oleh momen. Jadi tidak berlaku
untuk komponen struktur tersusun yang bebannya bukan hanya
tekan sentris saja. Dalam hal ini komponen struktur tersebut harus
direncanakan terhadap gaya lintang yang terbesar di antara yang
dihitung dengan persamaan (9.3-8) di atas dan gaya lintang yang
sebenarnya terjadi.

9.4 Komponen struktur tersusun prismatis dengan elemen yang


dihubungkan oleh unsur diagonal dan memikul gaya sentris
1) Untuk menghitung kelangsingan komponen tersusun yang
dihubungkan oleh unsur diagonal seperti pada Gambar 9.4-1a,
9.4-1b, 9.4-1c, dan 9.4-1d, berlaku persamaan (9.3-1), (9.3-2),
dan (9.3-3) dengan:

AL3d
λl = π (9.4-1)
zAd Ll a 2
Keterangan:
A adalah luas penampang komponen struktur tersusun, mm2
Ad adalah luas penampang satu unsur diagonal, mm2
Ld adalah panjang unsur diagonal, mm
Ll adalah panjang komponen struktur pada kedua ujungnya
yang dibatasi oleh unsur penghubung, mm
a adalah jarak antara dua pusat titik berat elemen komponen
struktur, mm
z adalah konstanta yang tercantum pada masing-masing
gambar (lihat Gambar 9.4-1)

60 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

α α α α α

Ll Ll Ll Ll Ll
Ld Ld Ld Ld Ld
Ll Ll Ll Ll Ll

z=2 z=2 z=4 z=4 z=2

(a) (b) (c) (d) (e)


Gambar 9.4-1
Pada komponen struktur tersusun yang dihubungkan dengan
unsur diagonal seperti terlihat pada Gambar 9.4-1e, berlaku
persamaan:

AL3d Aa
λl = π 2
+ (9.4-2)
zAd Ll a 2 Ah Ll

dengan Ah adalah luas penampang satu unsur penghubung


horizontal;
2) Koefisien tekuk ω x dan ω iy selanjutnya dapat ditentukan dari
harga-harga λ x dan λiy , sehingga pemeriksaan kekuatan dapat
dilakukan sesuai dengan persamaan (9.1-1) dan (9.3-6);
3) Kuat perlu unsur diagonal, Su, dihitung dengan persamaan:
Du
Su = (9.4-3)
n sin α
Keterangan:
Du adalah gaya lintang akibat beban terfaktor, N
n adalah jumlah unsur diagonal pada suatu potongan
mendatar
α adalah sudut antara unsur diagonal dengan vertikal, derajat

9.5 Komponen struktur tersusun yang tidak mempunyai sumbu


bahan
1) Kelangsingan ideal dari komponen struktur tersusun pada Gambar
9.5-1 terhadap sumbu x dan sumbu y dihitung sebagai berikut:

61 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

m 2
λix = λ2x + λl
2
(9.5-1)

m* 2
λiy = λ2y + λl
2
Harga λl dapat dihitung dengan persamaan (9.3-4) atau (9.4-1)
atau (9.4-2) dan nilai-nilai m dan m* tertera pada Gambar 9.5-1.
2) Koefisien-koefisien ωix dan ω iy selanjutnya ditentukan oleh
harga-harga λix dan λiy , sehingga pemeriksaan kekuatan nominal
dapat dihitung dari nilai terkecil, sesuai dengan modifikasi
persamaan (9.3-6):
Ag f y
Nn = (9.5-2.a)
ω ix
atau
Ag f y
Nn = (9.5-2.b)
ω iy
Selanjutnya pemeriksaan kekuatan dapat dihitung sesuai dengan
persamaan (9.1-1).
3) Untuk menjamin stabilitas komponen struktur maka harga-harga
λix dan λiy pada persamaan (9.5-1) harus memenuhi:
λix ≥ 1,2λl
(9.5-3)

λiy ≥ 1,2λl

4) Seperti pada Butir 9.3.7, pada komponen struktur tersusun yang


tidak mempunyai sumbu bahan, harus dianggap bekerja gaya
lintang pada kedua arah sumbu penampangnya:
D xu = 0,02 N u
(9.5-4)
D yu = 0,02 N u

62 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

y l
a
y l l y
m=2 m=2 m=2
l a
x x
x x x x
l l
y
y y
a
m* = 2 m* = 2 m* = 2
(a) (b) (c)
y
l y l
m=2 m=2
a l x
x x
l
x
y
y
a
m* = 2 (d) (e) m* = 4
Gambar 9.5-1

9.6 Komponen struktur tersusun yang jarak antaranya sama dengan


tebal pelat kopel
1) Komponen struktur tersusun yang terdiri dari dua baja siku seperti
pada Gambar 9.6-1a dan 9.6-1b, hanya perlu dihitung terhadap
tekuk pada arah sumbu bahan x− x;
2) Jika komponen struktur terdiri dari dua baja siku tidak sama kaki
seperti pada Gambar 9.6-1b maka dapat dipakai persamaan
pendekatan sebagai berikut:
rx = 0,87 ro (9.6-1)

0 l y y
0 l
x y x l y
l

x x x x

y l x y l x l
0 0 y l y

(a) (b) (c) (d)

Gambar 9.6-1

63 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

dengan ro adalah jari-jari girasi penampang komponen struktur


tersusun terhadap sumbu 0-0. Rumus yang lebih teliti senantiasa
dapat dipergunakan.
3) Komponen struktur tersusun yang terdiri dari dua buah profil baja
seperti pada Gambar 9.6-1c dan 9.6-1d, perlu dihitung terhadap
tekuk pada arah sumbu bebas bahan dan arah sumbu bahan;
4) Untuk komponen struktur tersusun menurut Gambar 9.6-1c dan
9.6-1d, maka λiy dapat diambil sama dengan λ y ;
5) Selanjutnya, perhitungan kekuatan dapat dilakukan sesuai dengan
Butir 7.6.3 dan persamaan (9.1-1);

9.7 Komponen struktur tak-prismatis dengan gaya tekan sentris


1) Komponen struktur yang penampangnya membesar ke tengah
bentang, boleh dihitung sebagai komponen struktur prismatis
dengan jari-jari girasi dari penampang yang terbesar dan panjang
tekuk idiil (lihat Gambar 9.7-1a) sebesar:
Lki = cl L (9.7-1a)
2) Apabila ada kemungkinan tekuk pada arah x dan y, harus
diperiksa dengan panjang tekuk idiil:
Lkix = clx L
(9.7-1b)
Lkiy = cly L
3) Harga cl , clx , cly untuk komponen struktur dengan kedua
ujungnya bersendi yang penampangnya berubah secara mendadak
seperti pada Gambar 9.7-1b tercantum pada Tabel 9.7-1;
y
I1
z A-A
Le Iz x x
A A
y
L I2 B-B
B B x x
Le
I1 (b) y

(a)
Gambar 9.7-1

64 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Tabel 9.7-1: Nilai-nilai cl, clx, dan cly untuk Gambar 9.7-1b
Le/L l1 / l 2
0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 1
0,4 2,60 1,90 1,40 1,20 1,10 1
0,3 2,10 1,56 1,30 1,12 1,08 1
0,2 1,50 1,22 1,12 1,08 1,04 1
0,1 1,10 1,06 1,04 1,02 1,01 1
0 1 1 1 1 1 1

4) Nilai cl , clx , dan cly untuk komponen struktur dengan


penampang yang tebal dan lebarnya berubah secara linier seperti
pada Gambar 9.7-2, tercantum pada Tabel 9.7-2;

y
A A A-A
x x

y
B B B-B
x x

Gambar 9.7-2.

Tabel 9.7-2: Nilai-nilai cl, clx, dan cly untuk Gambar 9.7-2.
Le/L I1/I2
0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 1
0,5 1,43 1,28 1,15 1,08 1,03 1
0,4 1,27 1,18 1,09 1,05 1,02 1
0,3 1,14 1,08 1,04 1,02 1,01 1
0,2 1,04 1,03 1,02 1 1 1
0,1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1

5) Untuk komponen struktur dengan penampang yang lebarnya


berubah secara linier, sedangkan tebalnya tetap, seperti pada
Gambar 9.7-3, harga clx dan cly tercantum pada Tabel 9.7-3a dan
9.7-3b;

65 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

A-A
A A x x

y
B-B
B B x x

Gambar 9.7-3

Tabel 9.7-3a: Nilai clx untuk Gambar 9.7-3.


Le/L I1/I2
0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 1
0,5 1,23 1,18 1,12 1,07 1,03 1
0,4 1,14 1,12 1,07 1,04 1,02 1
0,3 1,07 1,05 1,04 1,02 1,01 1
0,2 1,03 1,02 1,02 1 1 1
0,1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1

Tabel 9.7-3b: Nilai cly untuk Gambar 9.7-3.


Le/L I1/I2
0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 1
0,5 1,40 1,27 1,15 1,08 1,04 1
0,4 1,20 1,16 1,09 1,05 1,03 1
0,3 1,13 1,08 1,05 1,03 1,02 1
0,2 1,04 1,03 1,02 1 1 1
0,1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1

6) Dalam Tabel 9.7-1, 9.7-2, 9.7-3a, dan 9.7-3b, I1 adalah momen


inersia penampang ujung dan I2 adalah momen inersia penampang
tengah. Untuk tekuk pada arah sumbu-x, momen inersianya
adalah l y1 dan l y 2 . Untuk tekuk pada arah sumbu-y, momen
inersianya adalah l x1 dan l x 2 ;

66 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

7) Untuk nilai-nilai Le/L dan I1/I2 yang berada di antara nilai-nilai


yang tercantum pada tabel-tabel itu, nilai cl , clx , cly ditentukan
dengan cara interpolasi;
8) Dalam hal pemeriksaan tekuk terhadap sumbu-x dan sumbu-y,
Lkix
λix = (9.7-2)
rx2

Lkiy
λiy =
r y2
Nilai koefisien tekuk ω ditentukan dari nilai λ yang terbesar;
9) Selanjutnya perhitungan kekuatan struktur keseluruhan dapat
dilakukan sesuai dengan Butir 7.6.3 dan persamaan (9.1-1).

9.8 Komponen struktur tekan pada struktur rangka batang bidang

9.8.1 Tekan pada komponen struktur tepi


1) Untuk tekuk pada bidang gambar, panjang tekuk batang sama
dengan panjang skematisnya;
2) Untuk tekuk keluar bidang gambar, apabila titik kumpul kedua
ujung batang itu terkekang keluar bidang gambar, panjang tekuk
batang sama dengan panjang skematisnya;
3) Apabila titik kumpul A dan B (lihat Gambar 9.8-1) terkekang
keluar bidang gambar, sedangkan titik kumpul C tidak dikekang
keluar bidang gambar, dan gaya tekan pada batang AC lebih besar
dari pada gaya tekan pada batang BC, maka batang AB dapat
direncanakan terhadap kuat tekan perlu batang AC dengan
panjang tekuk:
 N 
Lk = 2 L 0,75 + 0,25 uBC  (9.8-1)
 N uAC 
dan, Lk ≥ L

Keterangan:
N uAC adalah kuat tekan perlu batang AC (yang lebih besar), N
N uBC adalah kuat tekan perlu batang BC (yang lebih kecil), N

Bilamana salah satu gaya di atas adalah gaya tarik, maka N uBC
adalah kuat tarik perlu dan nilainya diberi tanda negatif.

67 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

L L

A C B

Gambar 9.8-1
4) Apabila di antara kedua titik kumpul ujung-ujung batang tepi itu
bekerja gaya-gaya yang arahnya tegak lurus terhadap sumbu
batang, maka batang tersebut dianggap memikul kombinasi tekan
dan lentur, dan direncanakan menurut ketentuan pada Butir 11.

9.8.2 Tekan pada batang-batang diagonal dan vertikal


1) Untuk tekuk pada bidang gambar, panjang tekuk batang sama
dengan panjang skematisnya;
2) Untuk tekuk keluar bidang gambar, panjang tekuk batang sama
dengan panjang skematisnya;
3) Apabila batang diagonal atau batang vertikal itu adalah batang
tunggal berupa baja siku yang penampang pada sambungan di
titik kumpulnya seperti pada Gambar 9.8-2, batang tersebut harus
dianggap memikul kombinasi tekan dan lentur arah tegak lurus
sumbu x-x, dan harus memenuhi kedua ketentuan di bawah ini:
a) Ketentuan menurut Butir 11.3 dengan harga-harga:
Momen lentur terfaktor sebesar: Mu = Nu ex
Ag f y
Kekuatan nominal tekan sebesar: Nn =
ωx
b) N u ≤ φ n N nmin
Keterangan:
ex adalah eksentrisitas seperti terlihat pada Gambar 9.8-2
ωx adalah koefisien tekuk yang ditentukan dengan
mengambil panjang tekuk Lkx sama dengan 0,7 kali
panjang skematisnya, dan jari-jari girasi terhadap
sumbu-x (lihat Gambar 9.8-2)
ω max adalah koefisien tekuk yang ditentukan dengan
mengambil panjang tekuk Lk sama dengan panjang
skematisnya, dan jari-jari girasi rn terhadap sumbu η
(lihat Gambar 9.8-2)

68 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

dengan N nmin = Ag f y / ω max adalah kuat nominal tekan


dengan koefisien tekuk ω max .

y
η

x x
ex

η
y
Gambar 9.8-2

x x
ey

Gambar 9.8-3
4) Apabila batang tunggal pada Butir 9.8.2(3) berupa baja seperti
pada Gambar 9.8-3 maka batang dianggap memikul kombinasi
tekan dan lentur pada arah tegak lurus sumbu y-y dan
direncanakan menurut ketentuan pada Butir 11, dengan:
M uy = N u e y . Dalam hal ini, panjang tekuk Lky diambil sama
dengan 0,7 kali panjang skematisnya.

9.9 Kolom pada bangunan portal


Selain harus memenuhi ketentuan pada butir ini, komponen struktur
yang menerima gaya tekan aksial atau kombinasi lentur dan tekan
aksial harus juga memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan
pada Butir 7 dan Butir 11.

69 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

10. KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA


TARIK AKSIAL

10.1 Kuat tarik rencana


Komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor Nu harus
memenuhi:

Nu ≤ φ N n (10.1.1-1)

dengan φ Nn adalah kuat tarik rencana yang besarnya diambil sebagai


nilai terendah di antara dua perhitungan menggunakan harga-harga
φ dan Nn di bawah ini:

φ = 0,9
N n = Ag f y (10.1.1-2.a)
dan

φ = 0,75
N n = Ae f u (10.1.1-2.b)
Keterangan:
Ag adalah luas penampang bruto, mm2
Ae adalah luas penampang efektif menurut Butir 10.2, mm2
fy adalah tegangan leleh, MPa
fu adalah tegangan tarik putus, MPa

10.2 Penampang efektif


Luas penampang efektif komponen struktur yang mengalami gaya
tarik ditentukan sebagai berikut:

Ae = AU
Keterangan:
A adalah luas penampang menurut Butir 10.2.1 sampai dengan
10.2.4, mm2
U adalah faktor reduksi
= 1 - (x / L) ≤ 0,9, atau menurut Butir 10.2.3 dan 10.2.4
x adalah eksentrisitas sambungan, jarak tegak lurus arah gaya
tarik, antara titik berat penampang komponen yang disambung
dengan bidang sambungan, mm

70 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

L adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak


antara dua baut yang terjauh pada suatu sambungan atau
panjang las dalam arah gaya tarik, mm

10.2.1 Kasus gaya tarik hanya disalurkan oleh baut


1) A = Ant
adalah luas penampang neto terkecil antara potongan 1-3 dan
potongan 1-2-3,
tebal = t

1
u
Nu 2 Nu
u
3

s
Potongan 1-3: Ant = Ag - n d t
2
Potongan 1-2-3: Ant = Ag - n d t + Σ s t
4u
Keterangan:
Ag adalah luas penampang bruto, mm2
t adalah tebal penampang, mm
d adalah diameter lubang, mm
n adalah banyaknya lubang dalam garis potongan
s adalah jarak antara sumbu lubang pada arah sejajar sumbu
komponen struktur, mm
u adalah jarak antara sumbu lubang pada arah tegak lurus
sumbu komponen struktur
2) Dalam suatu potongan jumlah luas lubang tidak boleh melebihi
15% luas penampang utuh.

10.2.2 Kasus gaya tarik disalurkan oleh las memanjang


Bila gaya tarik hanya disalurkan oleh pengelasan memanjang ke
komponen struktur yang bukan pelat, atau oleh kombinasi pengelasan
memanjang dan melintang:

A = Ag , adalah luas penampang bruto komponen struktur,


mm2.

71 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

10.2.3 Kasus gaya tarik disalurkan oleh las melintang


Bila gaya tarik hanya disalurkan oleh pengelasan melintang:
A adalah jumlah luas penampang neto yang dihubungkan secara
langsung dan U = 1,0.

10.2.4 Kasus gaya tarik disalurkan oleh las sepanjang dua sisi
Bila gaya tarik disalurkan ke sebuah komponen struktur pelat dengan
pengelasan sepanjang kedua sisi pada ujung pelat, dengan l > w:
A adalah luas pelat,
untuk l > 2w U = 1,0
untuk 2w > l > 1,5w U = 0,87
untuk 1,5w > l > w U = 0,75
Keterangan:
l adalah panjang pengelasan, mm
w adalah lebar pelat (jarak antar sumbu pengelasan), mm
10.2.5 Nilai U dapat diambil lebih besar bila dapat dibuktikan melalui
pengujian atau ketentuan lain yang dapat diterima.

10.2.6 Untuk batang berulir, luas penampang neto diambil sebesar luas
penampang inti.

10.3 Komponen struktur tersusun dari dua buah profil atau lebih

10.3.1 Umum
Komponen struktur tarik tersusun yang terdiri dari dua elemen utama
atau lebih yang diharapkan berperilaku sebagai sebuah komponen
struktur harus memenuhi persyaratan pada Butir 10.3.2 sampai
dengan 10.3.4.

10.3.2 Beban rencana untuk sambungan


Jika komponen struktur tarik tersusun dari dua elemen utama atau
lebih, sambungan antar elemen harus direncanakan mampu untuk
memikul gaya-dalam akibat bekerjanya gaya-gaya luar termasuk
momen lentur (jika ada). Beban terfaktor untuk batang berterali, dan
beban terfaktor rencana maupun momen lentur (jika ada) untuk plat
kopel harus dibagi merata diantara bidang sambung yang sejajar
dengan arah gaya.

72 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

10.3.3 Komponen struktur tarik tersusun dari dua buah profil yang
saling membelakangi
Komponen struktur tarik tersusun dari dua profil sejenis yang saling
membelakangi baik secara kontak langsung ataupun dengan
perantaraan plat kopel dengan jarak yang memenuhi syarat, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Komponen struktur tarik dengan profil-profil yang terpisah.
Profil-profil tersebut harus dihubungkan dengan salah satu cara
berikut:
a) dengan las atau baut pada interval tertentu sehingga
kelangsingan untuk setiap elemen tidak melebihi 240; atau
b) dengan sistem sambungan yang direncanakan sedemikian
sehingga komponen struktur tersebut terbagi atas paling
sedikit tiga bentang sama panjang. Sistem sambungan harus
direncanakan dengan menganggap bahwa pada sepanjang
komponen struktur terdapat gaya lintang sebesar 0,02 kali
gaya aksial yang bekerja pada komponen struktur tersebut.
2) Komponen struktur tarik dengan profil yang bersinggungan
langsung dan saling membelakangi.
Profil-profil tersebut harus memenuhi ketentuan yang
disyaratkan dalam Butir 10.3.3(1b).

10.3.4 Komponen struktur tarik dengan penghubung


Komponen struktur tarik tersusun dari dua buah profil yang
dihubungkan dengan terali atau pelat kopel harus memenuhi:
1) Kelangsingan komponen dengan memperhitungkan jarak antar
elemen penghubung, tidak lebih dari 240 untuk komponen
struktur utama, dan tidak lebih dari 300 untuk komponen
sekunder;
2) Tebal elemen penghubung tidak kurang dari 0,02 kali jarak
antara garis sambungan pelat penghubung dengan komponen
utama;
3) Panjang pelat kopel tidak kurang dari 0,67 kali jarak antara garis
sambungan pelat kopel dengan komponen utama;
4) Pelat kopel yang disambung dengan baut harus menggunakan
paling sedikit dua buah baut yang diletakkan memanjang searah
sumbu komponen struktur tarik.

10.4 Komponen struktur tarik dengan sambungan pen

73 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Komponen struktur tarik dengan sambungan pen harus direncanakan


menurut Butir 10.1. Komponen yang disambung seperti pada Gambar
10.1 harus memenuhi persyaratan tambahan sebagai berikut:
1) Tebal komponen struktur tanpa pengaku yang mempunyai
lubang sambungan pen harus lebih besar atau sama dengan 0,25
kali jarak antara tepi lubang pen ke tepi komponen struktur yang
diukur dalam arah tegak lurus terhadap sumbu komponen
struktur. Batasan ini tidak berlaku untuk tebal lapisan-lapisan
yang menyusun komponen struktur tarik yang digabung
menggunakan baut;

a
Aaa
a
Tebal > 0,25 b1
Abb b
b Pin An Nu Abb > An
Aaa + Acc > 1,33 An
c
b1 Accc
c

Gambar 10.1
2) Luas irisan pada bagian ujung komponen struktur tarik di luar
lubang pen, sejajar, atau di dalam sudut 45° dari sumbu
komponen struktur tarik, harus lebih besar atau sama dengan
luas bersih yang diperlukan oleh komponen struktur tarik;
3) Jumlah luas sebuah lubang pen, pada potongan tegak lurus
sumbu komponen tarik, harus lebih besar atau sama dengan 1,33
kali luas bersih yang diperlukan oleh komponen struktur tarik;
4) Plat pen yang direncanakan untuk memperbesar luas bersih
komponen struktur, atau untuk menaikkan daya dukung pen,
harus disusun sehingga tidak menimbulkan eksentrisitas dan
harus direncanakan mampu menyalurkan gaya dari pen ke
komponen struktur tarik.
Bagian ujung dari komponen struktur dengan bentuk lainnya harus
dihitung dengan analisis yang dapat diterima.

10.5 Komponen struktur yang menerima gaya tarik dengan sambungan


terletak tidak simetris terhadap sumbu komponen yang
disambungkan, harus direncanakan menurut Butir 11.

74 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

11. KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA


KOMBINASI

11.1 Umum
Ketentuan pada butir ini berlaku untuk komponen struktur prismatis
yang mengalami kombinasi gaya aksial, momen lentur (terhadap satu
atau kedua sumbu simetris penampang), dan torsi.
Dalam butir ini, yang dimaksud dengan sumbu kuat penampang
adalah sumbu-x, sedangkan sumbu lemah penampang adalah sumbu-
y.

11.2 Gaya dan momen terfaktor


Dalam butir ini:
a) Nu merupakan gaya aksial terfaktor (tarik atau tekan) yang
terbesar yang bekerja pada komponen struktur;
b) Mu, yaitu Mux dan M uy , merupakan momen lentur terfaktor
(terhadap sumbu-x dan sumbu-y) yang terbesar yang dihasilkan
oleh beban pada rangka dan beban lateral pada komponen
struktur, dan telah memperhitungkan kontribusi momen lentur
orde kedua yang terjadi pada konfigurasi struktur yang telah
berdeformasi. Mu harus ditentukan dari salah satu metode analisis
yang dijelaskan pada Butir 7.

11.3 Komponen struktur dengan penampang simetris yang


mengalami momen lentur dan gaya aksial
Komponen struktur yang mengalami momen lentur dan gaya aksial
harus direncanakan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Nu
Untuk ≥ 0,2 :
φN n

N u 8  M ux M uy 
 ≤ 1,0
+ +
φN u 9  φ b M nx φ b M ny 

Nu
Untuk < 0,2 :
φN n

Nu  M ux M uy 
+ +  ≤ 1,0
2φN u  φ b M nx φ b M ny 

75 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Keterangan:
Nu adalah gaya aksial (tarik atau tekan) terfaktor, N
Nn adalah kuat nominal penampang, N
- sesuai dengan Butir 10.2 bila Nu adalah gaya aksial
tarik, atau
- sesuai dengan Butir 9.2 bila Nu adalah gaya aksial
tekan
φ adalah faktor reduksi kekuatan:
- sesuai dengan Butir 10.2 untuk gaya aksial tarik,
atau sama dengan 0,85 untuk gaya aksial tekan
Mux, Muy adalah momen lentur terfaktor terhadap sumbu-x dan
sumbu-y menurut Butir 7, N-mm
Mnx, Mny adalah kuat nominal lentur penampang terhadap
sumbu-x dan sumbu-y menurut Butir 8, N-mm
φb = 0,9 adalah faktor reduksi kuat lentur

11.3.1 Ketentuan dalam Butir 11.3.1 ini dapat digunakan bagi komponen
struktur berpenampang I dengan rasio b f / d ≤ 1,0 dan komponen
struktur berpenampang kotak, apabila komponen struktur tersebut
merupakan bagian dari struktur rangka dengan ikatan (bresing).
ζ ζ
 M   
 ux  +  M uy  ≤ 1,0
φ M '  φ M ' 
 b px   b py 
η η
 c mx M ux  c M 
  +  my uy  ≤ 1,0
φ M'  φ M' 
 b nx   b ny 

1) Komponen struktur berpenampang I:

untuk bf /d < 0,5: ζ = 1,0


Nu / N y
untuk 0,5 ≤ bf /d ≤ 1,0: ζ = 1,6 −
2[ln( N u / N y )]

untuk bf /d < 0,3: η = 1,0


Nu b f
untuk 0,3 ≤ bf /d ≤ 1,0: η = 0,4 + + ≥ 1,0
Ny d

76 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Keterangan:
bf adalah lebar sayap, mm
d adalah tinggi penampang, mm
cm adalah koefisien lentur kolom sesuai Butir 7.4.3.1

 N 
M 'px = 1,2 M px 1 −  u  ≤ M px
  N y 

  
2
N
M 'py = 1,2 M py 1 −  u  ≤M
  Ny   py
   

'  Nu  N 
M nx = M nx 1 − 1 − u 
 φc N n  N crx 

'  Nu  N 

M ny = M ny 1 −  1 − u
 φc N n 
 N cry 

2) Komponen struktur berpenampang kotak (box):

Nu / N y
ζ = 1,7 −
(
ln N u / N y )
b
Nu / N y N 
η = 1,7 − − aλ x  u  > 1,1
(
ln N u / N y )  Ny


untuk N u / N y ≤ 0,4: a = 0,06 b = 1,0


untuk N u / N y > 0,4: a = 0,15 b = 2,0

 N 
M 'px = 1,2M px 1 − u  ≤ M px
 N y 
 N 
M 'py = 1,2 M py 1 − u  ≤ M py
 N y 

 Nu  N 1,25 
'
M nx = M nx 1 − 1 − u
 1/ 3 
 φc N n  N crx (B / H ) 

77 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

'  Nu  N 1,25 


M ny = M ny 1 −  1 − u
 φc N n  N cry (B / H ) 
1/ 2

dengan N y = Ag f y dan N cr = Ag f y / λ2c ,

Keterangan:
λc adalah parameter kelangsingan menurut Butir 9.2
M px adalah momen plastis terhadap sumbu-x ≤ 1,5 fy Sx, N-
mm
M py adalah momen plastis terhadap sumbu-y ≤ 1,5 fy Sy, N-
mm
Sx , S y adalah modulus penampang terhadap sumbu-x dan y,
mm3
B adalah lebar luar penampang kotak, sejajar sumbu utama
x, mm
H adalah tinggi luar penampang kotak, tegak lurus sumbu
utama x, mm

11.3.2 Perencanaan dengan menggunakan persamaan interaksi yang berbeda


dari ketentuan di atas dapat dilakukan bila dapat dibuktikan dengan
perhitungan yang dapat diterima.

11.4 Komponen struktur dengan penampang tak-simetris, dan


komponen struktur yang mengalami pembebanan torsi dan
kombinasi
Ketentuan berikut ini berlaku bagi jenis komponen struktur dan jenis
pembebanan yang tidak termasuk dalam uraian Butir 11.3 di atas,
yaitu:
- komponen struktur yang tak-simetris,
- pembebanan torsi,
- pembebanan kombinasi: torsi, lentur, gaya lintang, dan/atau gaya
aksial.
Kuat rencana dari komponen struktur, φ f y , harus selalu lebih besar
atau sama dengan kuat perlu komponen struktur yang dinyatakan
dengan tegangan normal, fun, atau tegangan geser, fuv.
a) Untuk kondisi batas pada kasus leleh akibat tegangan normal:
fun ≤ φ f y , dengan φ = 0,90
b) Untuk kondisi batas pada kasus leleh akibat gaya geser:
fuv ≤ 0,6 φ f y , dengan φ = 0,90

78 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

c) Untuk kondisi batas pada kasus tekuk:


fun atau fuv ≤ φc fcr ,dengan φc = 0,85

Keterangan:
fy adalah tegangan leleh, MPa
fcr adalah tegangan kritis menurut Butir 9, MPa
fun, fuv adalah tegangan akibat beban terfaktor yang ditentukan
dengan analisis elastis, MPa

79 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

12. KOMPONEN STRUKTUR KOMPOSIT

12.1 Ruang lingkup


Pedoman ini berlaku untuk perencanaan:
1) Kolom komposit yang terbuat dari profil baja gilas atau baja
tersusun atau baja pipa atau baja berongga dan beton, yang
bekerja bersama-sama dalam memikul beban;
2) Balok baja yang memikul pelat beton bertulang dan bekerja
bersama-sama dengan pelat tersebut sebagai satu kesatuan dalam
memikul lentur;
3) Balok komposit sederhana atau menerus dengan penghubung
geser; atau profil baja yang diberi selubung beton, baik yang
dibangun dengan atau tanpa penumpu sementara (perancah).

12.2 Prinsip-prinsip dasar perencanaan

12.2.1 Penentuan gaya yang bekerja


Dalam menentukan besar gaya-gaya yang dipikul oleh komponen-
komponen struktur dan sambungan dari suatu sistem struktur
komposit harus diperhatikan luas efektif penampang komponen
struktur untuk setiap tahapan pembebanan yang ditinjau.

12.2.2 Analisis elastis


Nilai momen inersia penampang dapat dianggap konstan di sepanjang
bentang untuk analisis elastis struktur balok komposit yang menerus
dan tanpa voute di daerah tumpuan. Dalam hal ini, momen inersia
penampang komposit di daerah momen positif balok dapat diambil
sebagai nilai momen inersia yang berlaku di sepanjang bentang balok
yang ditinjau tersebut.

12.2.3 Analisis plastis


Analisis plastis untuk perhitungan kuat lentur komponen struktur
komposit dapat dilakukan dengan menggunakan distribusi tegangan
plastis.

12.2.4 Distribusi tegangan plastis


Untuk distribusi tegangan plastis pada daerah momen positif balok
komposit yang menggunakan penghubung geser, tegangan tekan
sebesar 0,85 f c' dianggap bekerja dengan distribusi merata di

80 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

sepanjang daerah tekan efektif penampang pelat beton. Kuat tarik


beton dalam hal ini diabaikan. Tegangan baja pada balok komposit
tersebut diambil sebesar f y dengan distribusi merata baik di daerah
tarik maupun di daerah tekan penampang baja.
Untuk distribusi tegangan plastis pada daerah momen negatif balok
komposit tersebut, tegangan tarik tulangan longitudinal yang berada
dalam daerah lebar efektif pelat beton diambil sebesar f yr , tegangan
tarik beton diabaikan, dan tegangan tarik baja diambil sebesar f y
dengan distribusi merata baik di daerah tarik maupun di daerah tekan
penampang baja.

12.2.5 Distribusi tegangan elastis


Distribusi tegangan elastis pada penampang ditentukan dengan
menganggap distribusi regangan beton dan baja yang linier pada
penampang komposit. Tegangan yang bekerja pada baja atau beton
tersebut merupakan hasil perkalian antara regangan yang terjadi
dengan modulus elastisitas baja E, atau modulus elastisitas beton Ec.
Kuat tarik beton diabaikan. Tegangan maksimum pada baja tidak
boleh melebihi f y sedangkan tegangan tekan maksimum pada beton
tidak boleh lebih dari 0,85 f c' . Untuk jenis balok hibrida komposit,
tegangan maksimum pada sayap penampang tidak boleh melebihi
f yf , namun regangan pada badan penampang boleh melebihi
regangan leleh. Pada kondisi seperti ini, tegangan pada badan
penampang diambil sebesar f yw .

12.2.6 Balok komposit penuh


Untuk balok komposit penuh, penghubung geser harus disediakan
dalam jumlah yang memadai sehingga balok mampu mencapai kuat
lentur maksimumnya. Pada penentuan distribusi tegangan elastis, slip
antara baja dan beton dianggap tidak terjadi.

12.2.7 Balok komposit parsial


Pada balok komposit parsial, kekuatan balok dalam memikul lentur
dibatasi oleh kekuatan penghubung geser. Perhitungan elastis untuk
balok ini, seperti pada penentuan defleksi atau tegangan akibat beban
layan, harus mempertimbangkan pengaruh adanya slip antara baja
dan beton.

81 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

12.2.8 Balok baja yang diberi selubung beton


Walaupun tidak diberi angker, balok baja yang diberi selubung beton
di semua permukaannya dianggap bekerja secara komposit dengan
beton, selama hal-hal berikut ini dipenuhi:
1) Tebal minimum selubung beton yang menyelimuti baja tidak
kurang daripada 50 mm, kecuali yang disebutkan pada Butir
12.2.8(2) di bawah;
2) Posisi tepi atas balok baja tidak boleh kurang daripada 40 mm di
bawah sisi atas pelat beton dan 50 mm di atas sisi bawah pelat;
3) Selubung beton harus diberi kawat jaring atau baja tulangan
dengan jumlah yang memadai untuk menghindari terlepasnya
bagian selubung tersebut pada saat balok memikul beban.

12.2.9 Kolom komposit


Kolom yang terbuat dari penampang baja gilas atau tersusun yang
diberi selubung beton di sekelilingnya, ataupun yang terbuat dari
penampang baja berongga yang diisi dengan beton struktural harus
direncanakan sesuai dengan Butir 12.3.

12.3 Komponen struktur tekan

12.3.1 Batasan
Kriteria untuk kolom komposit bagi komponen struktur tekan:
1) Luas penampang profil baja minimal sebesar 4% dari luas
penampang komposit total;
2) Selubung beton untuk penampang komposit yang berintikan baja
harus diberi tulangan baja longitudinal dan tulangan pengekang
lateral. Tulangan baja longitudinal harus menerus pada lantai
struktur portal, kecuali untuk tulangan longitudinal yang hanya
berfungsi memberi kekangan pada beton. Jarak antar pengikat
lateral tidak boleh melebihi 2/3 dari dimensi terkecil penampang
kolom komposit. Luas minimum penampang tulangan transversal
(atau longitudinal) tidak boleh kurang dari 0,18 mm2 untuk setiap
mm jarak antar tulangan transversal (atau longitudinal) terpasang.
Tebal bersih selimut beton dari tepi terluar tulangan longitudinal
dan transversal minimal sebesar 40 mm;
3) Mutu beton yang digunakan tidak lebih tinggi daripada 55 MPa
dan tidak kurang dari 21 MPa untuk beton normal dan tidak
kurang dari 28 MPa untuk beton ringan;

82 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

4) Tegangan leleh profil dan tulangan baja yang digunakan untuk


perhitungan kekuatan kolom komposit tidak boleh melebihi 380
MPa;
5) Tebal minimum dinding pipa baja atau penampang baja berongga
yang diisi beton adalah b f y / 3E untuk setiap sisi selebar b pada
penampang persegi dan D f y / 8 E untuk penampang bulat yang
mempunyai diameter luar D.

12.3.2 Kuat rencana


Kuat rencana kolom komposit yang menumpu beban aksial adalah
φ c N n , dengan φc = 0,85.

N n = As f cr (12.3-1)
f my
dan f cr =
ω
untuk λc ≤ 0,25 maka ω = 1
1,43
untuk 0,25< λ <1,2 maka ω =
1,6 − 0,67λc
untuk λc ≥ 1,2 maka ω = 1,25λ2c

dengan,

kc L f my
λc =
rmπ Em

A  A 
f my = f y + c1 f yr  r  + c 2 f c'  c 
 As   As 
A 
E m = E + c3 E c  c 
 As 

E c = 0,041 w1,5 f 'c


Keterangan:
Ac adalah luas penampang beton, mm2
Ar adalah luas penampang tulangan longitudinal, mm2
As adalah luas penampang profil baja, mm2
E adalah modulus elastisitas baja, MPa
Ec adalah modulus elastisitas beton, MPa

83 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

Em adalah modulus elastisitas untuk perhitungan kolom komposit,


MPa
fcr adalah tegangan tekan kritis, MPa
fy adalah tegangan leleh untuk perhitungan kolom komposit, MPa
fy adalah tegangan leleh profil baja, MPa
fc’ adalah kuat tekan karakteristik beton, MPa
kc adalah faktor panjang efektif kolom
L adalah panjang unsur struktur, mm
Nn adalah kuat aksial nominal, N
rm adalah jari-jari girasi kolom komposit, mm
w adalah berat jenis beton, kg/m3
λc adalah parameter kelangsingan
φc adalah faktor reduksi beban aksial tekan
ω adalah faktor tekuk
Pada persamaan di atas, c1, c2, dan c3 adalah koefisien yang besarnya:
a) Untuk pipa baja yang diisi beton:
c1=1,0, c2 = 0,85, dan c3 = 0,4
b) Untuk profil baja yang diberi selubung beton:
c1 = 0,7, c2 = 0,6, dan c3 = 0,2.

12.3.3 Kolom komposit yang tersusun atas beberapa profil baja


Jika penampang komposit terdiri atas dua atau lebih profil baja maka
profil-profil baja tersebut harus diikat satu sama lainnya dengan
menggunakan pelat pengikat atau teralis untuk mencegah terjadinya
tekuk pada masing-masing profil baja sebelum beton mengeras.

12.3.4 Penyaluran beban


Bagian dari kuat rencana kolom komposit pemikul beban aksial yang
diterima beton harus disalurkan melalui tumpuan langsung pada
sambungan. Bila luas beton penumpu lebih besar daripada luas daerah
pembebanan pada satu atau beberapa sisi, sedangkan pada sisi-sisi
lainnya pergerakannya terhadap pengembangan lateral dibatasi, maka
kuat rencana maksimum beton penumpu harus diambil sebesar,
1,7 φ c f c' AB , dengan φc = 0,60 dan AB adalah luas daerah pembebanan.

12.4 Komponen struktur lentur

12.4.1 Lebar efektif pelat beton


Lebar efektif pelat lantai yang membentang pada masing-masing sisi
dari sumbu balok tidak boleh melebihi:

84 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

a) Seperdelapan dari bentang balok (jarak antara tumpuan);


b) Setengah jarak bersih antara sumbu balok-balok yang
bersebelahan;
c) Jarak ke tepi pelat.

12.4.2 Kekuatan balok komposit dengan penghubung geser

12.4.2.1 Kuat lentur positif rencana φbMn, ditentukan sebagai berikut :


h 1.680
a) untuk ≤
tw f yf
dengan φb = 0,85 dan Mn dihitung berdasarkan distribusi
tegangan plastis pada penampang komposit.
h 1.680
b) untuk >
tw f yf
dengan φb = 0,90 dan Mn ditentukan berdasarkan superposisi
tegangan-tegangan elastis yang memperhitungkan pengaruh
tumpuan sementara (perancah).

12.4.2.2 Kuat lentur negatif rencana φbMn, harus dihitung untuk penampang
baja saja, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan pada Butir 8.
12.4.2.3 Sebagai alternatif, kuat lentur negatif rencana φbMn, dapat dihitung
dengan mengambil φb=0,85 dan Mn yang besarnya ditentukan
berdasarkan distribusi tegangan plastis pada penampang komposit,
selama hal-hal berikut dipenuhi:
1) Balok baja mempunyai penampang kompak yang diberi
pengaku yang memadai, sebagaimana yang didefinisikan pada
Butir 8;
2) Pelat beton dan balok baja di daerah momen negatif harus
disatukan dengan penghubung geser;
3) Tulangan pelat yang sejajar dengan balok baja di sepanjang
daerah lebar efektif pelat beton harus diangker dengan baik.
12.4.2.4 Perhitungan tegangan elastis dan lendutan pada balok komposit
parsial harus memperhitungkan pengaruh adanya slip antara pelat
beton dan balok baja. Untuk perhitungan elastis ini, momen inersia
efektif Ieff balok komposit parsial dihitung sebagai berikut:

I eff = I s + ( I tr − I s ) (∑ Qn /C f ) (12.4-1)

85 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

Keterangan:
Cf adalah gaya tekan pada pelat beton untuk kondisi komposit
penuh, N
Is adalah momen inersia penampang baja, mm4
Itr adalah momen inersia penampang balok komposit penuh
yang belum retak, mm4
ΣQn adalah jumlah kekuatan penghubung-penghubung geser di
sepanjang daerah yang dibatasi oleh momen positif
maksimum dan momen nol, N
Rasio ΣQn/Cf untuk balok komposit parsial tidak boleh kurang dari
0,25. Batasan ini diberlakukan agar tidak terjadi slip yang
berlebihan pada balok.

12.4.3 Kekuatan balok baja yang diberi selubung beton


Kuat lentur rencana balok baja yang diberi selubung beton φbMn,
dihitung dengan mengambil φb = 0,90 dan Mn yang nilainya
ditentukan berdasarkan superposisi tegangan-tegangan elastis yang
memperhitungkan pengaruh adanya tumpuan sementara (perancah).
Sebagai alternatif, kuat lentur rencana φbMn, dapat dihitung dengan
mengambil φb = 0,90 dan Mn ditentukan berdasarkan distribusi
tegangan plastis pada penampang baja saja.

12.4.4 Kekuatan struktur selama pelaksanaan


Jika tumpuan sementara (perancah) tidak digunakan dalam
pelaksanaan, penampang baja harus memiliki kekuatan yang cukup
untuk memikul semua pembebanan yang ada selama pelaksanaan
sebelum beton mencapai 75% dari kuat tekannya (fc’). Kuat lentur
rencana penampang baja tersebut dapat dihitung berdasarkan
ketentuan-ketentuan pada Butir 8.

86 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

Min 40 mm Plat beton

Min 50 mm

Hs hr < 75 mm

Wr
Dek baja bergelombang
Min 50 mm

(a)
Min 40 mm Plat beton

Min 50 mm

Hs
hr < 75 mm

Wr
Dek baja bergelombang
Min 50 mm
(b)
Min 40 mm

Min 50 mm

Hs hr < 75 mm

Wr Dek baja bergelombang


Min 50
(c)
Min 40 mm Plat beton

Hs
Dek baja bergelombang
Wr
Min 50 mm
(d)

Dek baja bergelombang

Wr
Min 50 mm
(e)
Gambar 12.4
Persyaratan untuk dek baja bergelombang.

87 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

12.4.5 Dek baja bergelombang

12.4.5.1 Umum
Kuat lentur rencana φbMn, dari suatu konstruksi komposit yang
terdiri dari pelat beton yang diletakkan di atas dek baja
bergelombang yang ditumpu pada balok baja dihitung dengan
menggunakan prinsip-prinsip pada Butir 12.4.2 dengan
memperhatikan catatan-catatan berikut.
1) Pasal ini hanya berlaku untuk dek baja yang mempunyai tinggi
nominal gelombang tidak lebih dari 75 mm. Lebar rata-rata dari
gelombang wr, tidak boleh kurang dari 50 mm, dan tidak boleh
lebih besar dari lebar bersih minimum pada tepi atas dek baja
(lihat Gambar 12.4). Untuk batasan-batasan lainnya lihat Butir
12.4.5.3;
2) Pelat beton harus disatukan dengan balok baja melalui
penghubung geser jenis paku yang dilas, yang mempunyai
diameter tidak lebih dari 20 mm. Penghubung geser jenis paku
dapat dilas pada dek baja atau langsung pada balok baja.
Setelah terpasang, ketinggian penghubung geser jenis paku
tidak boleh kurang dari 40 mm di atas sisi dek baja yang paling
atas;
3) Ketebalan pelat beton di atas dek baja tidak boleh kurang dari
50 mm.
12.4.5.2 Gelombang dek yang arahnya tegak lurus terhadap balok baja
penumpu
Untuk gelombang-gelombang dek yang arahnya tegak lurus
terhadap balok baja penumpu, tebal beton yang berada di bawah
tepi atas dek baja harus diabaikan dalam perhitungan karakteristik
penampang komposit dan dalam penentuan luas penampang pelat
beton Ac, yang diperlukan untuk perhitungan kapasitas gaya geser
horizontal balok komposit (Butir 12.6)
Jarak antara penghubung-penghubung geser jenis paku sepanjang
balok penumpu tidak boleh lebih dari 900 mm.
Kuat nominal penghubung geser jenis paku merupakan nilai yang
dihitung berdasarkan Butir 12.6, yang dikalikan dengan suatu
faktor reduksi, rs, sebagai berikut:

0,85  wr   H s  
rs =     − 1,0 ≤ 1,0 (12.4-2)
N r  hr   hr  

88 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

Keterangan:
rs adalah faktor reduksi
Nr adalah jumlah penghubung geser jenis paku pada setiap
gelombang pelat berprofil di perpotongannya dengan balok
Hs adalah tinggi penghubung geser jenis paku ≤ (hr + 75 mm)
hr adalah tinggi nominal gelombang pelat baja berprofil
wr adalah lebar efektif gelombang pelat baja berprofil
Untuk menahan pengaruh ungkitan, dek baja harus diangker pada
unsur-unsur penumpu dengan jarak antar angker tidak lebih dari
450 mm. Jenis angker yang boleh digunakan dapat berupa
penghubung geser jenis paku, kombinasi penghubung geser jenis
paku dengan las titik, atau jenis lainnya yang ditentukan oleh
perencana.
12.4.5.3 Gelombang dek yang arahnya sejajar dengan balok baja penumpu
Untuk gelombang dek yang arahnya sejajar dengan balok baja,
tebal beton yang berada di bawah tepi atas dek baja dapat
diperhitungkan dalam penentuan karakteristik penampang
komposit dan juga dalam luas penampang pelat beton Ac, yang
diperlukan untuk perhitungan kapasitas gaya geser horizontal balok
komposit (Butir 12.6).
Gelombang-gelombang dek baja di atas balok penumpu dapat
dipisahkan sepanjang arah longitudinal untuk membentuk voute
beton pada tumpuannya (Gambar 12.4.e).
Jika tinggi nominal dek baja lebih besar atau sama dengan 40 mm
maka lebar rata-rata dari gelombang yang ditumpu, wr, tidak boleh
kurang dari 50 mm + 4(ns-1)ds untuk penampang dengan jumlah
penghubung geser jenis paku sama dengan ns pada arah melintang;
dengan ds adalah diameter penghubung geser jenis paku tersebut.
Kuat nominal penghubung geser jenis paku ditentukan berdasarkan
Butir 12.6. Jika rasio wr/hr kurang dari 1,5, maka nilai yang
diberikan pada Butir 12.6 harus dikalikan dengan suatu faktor
reduksi rs, sebagai berikut:
w   H s  
rs = 0,6 r    − 1,0 ≤ 1,0 (12.4-3)
 hr   hr  

12.4.6 Kuat geser rencana


Kuat geser rencana balok komposit, φsVn, ditentukan berdasarkan kuat
geser pelat badan penampang baja yang perhitungannya dilakukan
dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan pada Butir 8.

89 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

12.5 Kombinasi tekan dan lentur


Interaksi beban aksial tekan dan lentur pada bidang simetris
komponen struktur komposit ditentukan berdasarkan persamaan-
persamaan berikut:
Nu
a) untuk ≥ 0,2
φc N n
Nu 8  M ux M uy 
+  +  ≤ 1,0 (12.5-1)
φ c N n 9  φ b M nx φ b M ny 

Nu
b) untuk < 0,2
φc N n
Nu  M ux M uy 
+ +  ≤ 1,0 (12.5-2)
2φ c N n  φ b M nx φ b M ny 

Keterangan:
Mnx adalah kuat lentur nominal terhadap sumbu-x
Mny adalah kuat lentur nominal terhadap sumbu-y
Mux adalah kuat lentur perlu terhadap sumbu-x
Muy adalah kuat lentur perlu terhadap sumbu-y
Nn adalah kuat aksial nominal
Nu adalah kuat aksial perlu

Nilai Mn pada persamaan-persamaan di atas dihitung berdasarkan


distribusi tegangan plastis pada penampang komposit. Namun jika
nilai (Nu/φcNn) pada persamaan-persamaan di atas kurang dari 0,3
maka kuat lentur nominal Mn dapat ditentukan berdasarkan interpolasi
linear antara nilai Mn yang dihitung berdasarkan distribusi tegangan
plastis pada penampang komposit disaat (Nu/φcNn) = 0,3 dan nilai Mn
pada saat Nu = 0 sebagaimana yang ditentukan berdasarkan Butir
12.4. Jika penghubung geser dibutuhkan pada saat Nu = 0 maka
penghubung geser tersebut juga harus disediakan selama nilai
(Nu/φcNn) kurang dari 0,3.

12.6 Penghubung geser


Pasal ini berlaku untuk perencanaan penghubung geser jenis paku dan
kanal. Untuk perencanaan penghubung geser jenis lainnya harus
mengacu pada Butir 12.7.

90 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

12.6.1 Bahan
Penghubung geser dapat dari jenis paku baja berkepala dengan
panjang dalam kondisi terpasang tidak kurang dari 4 kali diameternya
atau berupa penampang baja kanal gilas. Penghubung geser jenis
paku dan penghubung geser kanal harus mengikuti ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Massa jenis pelat beton yang digunakan pada
struktur balok komposit dengan penghubung geser tidak boleh kurang
dari 1.500 kg/m3.

12.6.2 Gaya geser horizontal


Kecuali untuk balok yang diberi selubung beton seperti yang
didefinisikan pada Butir 12.2, seluruh gaya geser horizontal pada
bidang kontak antara balok baja dan pelat beton harus disalurkan oleh
penghubung-penghubung geser. Untuk aksi komposit di mana beton
mengalami gaya tekan akibat lentur, gaya geser horizontal total yang
bekerja pada daerah yang dibatasi oleh titik-titik momen positif
maksimum dan momen nol yang berdekatan harus diambil sebagai
nilai terkecil dari:
1) 0,85 fc’ Ac,
2) Asfy,
3) ∑ Qn.
Untuk balok hibrida, gaya leleh harus dihitung secara terpisah untuk
masing-masing komponen yang membentuk penampang hibrida
tersebut. Nilai Asfy untuk seluruh penampang merupakan jumlah dari
gaya leleh yang terjadi pada masing-masing komponen.
Untuk balok komposit yang menerus di mana tulangan baja
longitudinal pada daerah momen negatif dapat dianggap bekerja
secara komposit dengan balok baja maka gaya geser horizontal total
yang bekerja pada daerah yang dibatasi oleh titik-titik momen negatif
maksimum dan momen nol yang berdekatan harus diambil sebagai
nilai terkecil dari Arfyr dan ∑ Qn.

12.6.3 Kekuatan penghubung geser jenis paku


Kuat nominal satu penghubung geser jenis paku yang ditanam di
dalam pelat beton masif adalah:

Qn = 0,5 Asc f c 'Ec ≤ Asc f u (12.6-1)

91 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

Keterangan:
Asc adalah luas penampang penghubung geser jenis paku, mm2
fu adalah tegangan putus penghubung geser jenis paku, MPa
Qn adalah kuat nominal geser untuk penghubung geser, N
Untuk penghubung geser jenis paku yang ditanam di dalam pelat
beton yang berada di atas dek baja bergelombang, suku
0,5 Asc f c 'Ec di atas harus dikalikan dengan faktor reduksi rs yang
diberikan oleh persamaan 12.4-2 atau 12.4-3.

12.6.4 Kekuatan penghubung geser kanal


Kuat nominal satu penghubung geser kanal yang ditanam di dalam
pelat beton masif adalah:

Qn = 0,3(t f + 0,5t w ) Lc f c 'E c (12.6-2)

Keterangan:
Lc adalah panjang penghubung geser kanal, mm
tf adalah tebal pelat sayap, mm
tw adalah tebal pelat badan, mm

12.6.5 Jumlah penghubung geser yang diperlukan


Jumlah penghubung geser yang diperlukan pada daerah yang dibatasi
oleh titik-titik momen lentur maksimum, positif atau negatif, dan
momen nol yang berdekatan adalah sama dengan gaya geser
horizontal total yang bekerja, sebagaimana yang ditentukan pada
Butir 12.6.2, dibagi dengan kuat nominal satu penghubung geser,
yang ditentukan berdasarkan Butir 12.6.3 atau 12.6.4, sesuai dengan
jenis penghubung geser yang digunakan.

12.6.6 Penempatan dan jarak antar penghubung geser


Kecuali ditentukan lain, penghubung geser yang diperlukan pada
daerah yang dibatasi oleh titik-titik momen lentur maksimum dan
momen nol yang berdekatan harus didistribusikan secara merata pada
daerah tersebut. Namun, jumlah penghubung geser yang diperlukan
pada daerah yang dibatasi oleh lokasi beban terpusat dan momen nol
yang terdekat harus sesuai jumlahnya dengan yang dibutuhkan untuk
mengembangkan momen maksimum yang terjadi di lokasi beban
terpusat tersebut.

92 dari 184
SNI 03 - 1729 - 2002

Penghubung geser harus mempunyai selimut beton pada arah lateral


setebal minimal 25 mm, kecuali untuk penghubung geser yang
dipasang pada gelombang-gelombang dek baja bergelombang.
Diameter penghubung geser jenis paku tidak boleh lebih besar dari
2,5 kali ketebalan pelat sayap penampang di mana penghubung geser
jenis paku tersebut dilaskan, kecuali yang terletak di atas pelat badan
penampang. Jarak minimum antara penghubung-penghubung geser
tidak boleh kurang dari 6 kali diameter di sepanjang sumbu
longitudinal balok penumpu dan tidak boleh kurang dari 4 kali
diameter di sepanjang sumbu tegak lurus terhadap sumbu longitudinal
balok penumpu. Untuk daerah di antara gelombang-gelombang dek
baja bergelombang, jarak minimum antar penghubung-penghubung
geser tersebut dapat diperkecil menjadi 4 kali diameter ke semua
arah. Jarak maksimum antara penghubung geser tidak boleh melebihi
8 kali ketebalan pelat total. Persyaratan lainnya dapat dilihat pada
Butir 12.4.5.2.

12.7 Kasus khusus


Jika suatu jenis konstruksi komposit tidak dapat dikategorikan dalam
salah satu ketentuan-ketentuan yang diuraikan pada Butir 12.1 sampai
dengan 12.6, maka kekuatan penghubung geser dan rincian
pelaksanaan untuk jenis struktur komposit tersebut harus didapat
melalui suatu bentuk pengujian laboratorium yang dilakukan oleh
badan yang berwenang.

93 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

13. SAMBUNGAN

13.1 Umum

13.1.1 Penjelasan
Sambungan terdiri dari komponen sambungan (pelat pengisi, pelat
buhul, pelat pendukung, dan pelat penyambung) dan alat pengencang
(baut dan las).
Sambungan tipe tumpu adalah sambungan yang dibuat dengan
menggunakan baut yang dikencangkan dengan tangan, atau baut mutu
tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum
yang disyaratkan, yang kuat rencananya disalurkan oleh gaya geser
pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan.
Sambungan tipe friksi adalah sambungan yang dibuat dengan
menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk
menimbulkan tarikan baut minimum yang disyaratkan sedemikian
rupa sehingga gaya-gaya geser rencana disalurkan melalui jepitan
yang bekerja dalam bidang kontak dan gesekan yang ditimbulkan
antara bidang-bidang kontak.
Pengencangan penuh adalah cara pemasangan dan pengencangan baut
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Butir 18.2.4 dan 18.2.5.
Pembebanan dalam bidang adalah pembebanan yang gaya dan
momen lentur rencananya berada dalam bidang sambungan
sedemikian rupa sehingga gaya yang ditimbulkan dalam komponen
sambungan hanya gaya geser.
Pengencang tanpa slip adalah pengencang yang tidak memungkinkan
terjadinya slip antara pelat atau unsur yang dihubungkan, sedemikian
rupa sehingga kedudukan relatifnya tidak berubah. Pengencang tanpa
slip dapat berupa sambungan tipe friksi dari baut mutu tinggi atau las.
Pembebanan tidak sebidang adalah pembebanan yang gaya atau
momen lentur rencananya menghasilkan gaya yang arahnya tegak
lurus bidang sambungan.
Gaya ungkit adalah gaya tarik tambahan yang timbul akibat
melenturnya suatu komponen pada sambungan yang memikul gaya
tarik sehingga terjadi gaya ungkit di ujung komponen yang melentur.
Kencang tangan adalah kekencangan baut yang diperoleh dengan
kekuatan penuh seseorang yang menggunakan alat pengencang
standar atau dengan beberapa pukulan alat pengencang impak.

94 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

13.1.2 Klasifikasi sambungan

13.1.2.1 Sambungan kaku


Sambungan harus memenuhi Butir 7.2.1. Deformasi titik kumpul
harus sedemikian rupa sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap
distribusi gaya maupun terhadap deformasi keseluruhan struktur.

13.1.2.2 Sambungan semi kaku


Sambungan harus memenuhi Butir 7.2.2. Pada sambungan semi
kaku, perhitungan kekakuan, penyebaran gaya, dan deformasinya
harus menggunakan analisis mekanika yang hasilnya didukung
oleh percobaan eksperimental.

13.1.2.3 Sambungan sendi


Sambungan harus memenuhi Butir 7.2.3. Sambungan sendi harus
dapat berubah bentuk agar memberikan rotasi yang diperlukan
pada sambungan. Sambungan tidak boleh mengakibatkan momen
lentur terhadap komponen struktur yang disambung. Detail
sambungan harus mempunyai kemampuan rotasi yang cukup.
Sambungan harus dapat memikul gaya reaksi yang bekerja pada
eksentrisitas yang sesuai dengan detail sambungannya.

13.1.3 Perencanaan sambungan


Kuat rencana setiap komponen sambungan tidak boleh kurang dari
beban terfaktor yang dihitung. Perencanaan sambungan harus
memenuhi persyaratan berikut:
a) Gaya-dalam yang disalurkan berada dalam keseimbangan dengan
gaya-gaya yang bekerja pada sambungan;
b) Deformasi pada sambungan masih berada dalam batas
kemampuan deformasi sambungan;
c) Sambungan dan komponen yang berdekatan harus mampu
memikul gaya-gaya yang bekerja padanya.

13.1.4 Kuat rencana minimum sambungan


Sambungan struktural (tidak termasuk di dalamnya sambungan tralis
dan wartel mur, gording, dan spalk) harus direncanakan agar
sedikitnya dapat menerima gaya sebesar:
a) gaya-gaya yang berasal dari komponen struktur, dan

95 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

b) gaya minimum yang dinyatakan dalam nilai atau fraksi kuat


rencana komponen struktur dengan nilai minimum yang diuraikan
di bawah ini:
(i) Sambungan kaku: momen lentur sebesar 0,5 kali momen
lentur rencana komponen struktur;
(ii) Sambungan sendi pada balok sederhana: gaya geser sebesar
40 kN;
(iii) Sambungan pada ujung komponen struktur tarik atau tekan:
suatu gaya sebesar 0,3 kali kuat rencana komponen struktur,
kecuali pada batang berulir dengan wartel mur yang bekerja
sebagai batang pengikat, gaya tarik minimum harus sama
dengan kuat rencana batang;
(iv) Sambungan lewatan komponen struktur tarik: suatu gaya
sebesar 0,3 kali kuat rencana komponen struktur tarik;
(v) Sambungan lewatan komponen struktur tekan: jika ujungnya
dirancang untuk kontak penuh sesuai dengan Butir 17.4.3.2
maka gaya tekan boleh dipikul melalui tumpuan pada bidang
kontak dan jumlah alat pengencang harus cukup untuk
memikul semua bagian di tempatnya dan harus cukup untuk
menyalurkan gaya sebesar 0,15 kali kuat rencana komponen
struktur tekan. Selain itu, sambungan yang berada di antara
pengekang lateral harus direncanakan untuk memikul gaya
aksial terfaktor, Nu, ditambah momen lentur terfaktor, Mu,
yang tidak kurang dari:
δ N u Ls
Mu = (13.1-1)
1000
Keterangan:
δ adalah faktor amplifikasi δb atau δs yang ditetapkan
sesuai dengan Butir 7.4
Ls adalah jarak antara titik pengekang lateral efektif
Bila komponen struktur tersebut tidak dipersiapkan untuk
kontak penuh, penyambung dan pengencangnya harus
dirancang untuk memikul semua komponennya tetap lurus
dan harus direncanakan untuk menyalurkan gaya sebesar 0,3
kali kuat rencana komponen struktur tekan.
(vi) Sambungan lewatan balok: suatu momen lentur sebesar 0,3
kali kuat lentur rencana balok, kecuali pada sambungan yang
direncanakan untuk menyalurkan gaya geser saja.
Sambungan yang memikul gaya geser saja harus
direncanakan untuk menyalurkan gaya geser dan momen
lentur yang ditimbulkan oleh eksentrisitas gaya terhadap titik
berat kelompok alat pengencang;

96 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

(vii) Sambungan lewatan komponen struktur yang memikul gaya


kombinasi: sambungan komponen struktur yang memikul
kombinasi antara gaya tarik atau tekan aksial dan momen
lentur harus memenuhi (iv), (v) dan (vi) sekaligus.

13.1.5 Pertemuan
Komponen struktur yang menyalurkan gaya-gaya pada sambungan,
sumbu netralnya harus direncanakan untuk bertemu pada suatu titik.
Bila terdapat eksentrisitas pada sambungan, komponen struktur dan
sambungannya harus dapat memikul momen yang diakibatkannya.

13.1.6 Pemilihan alat pengencang


Bila sambungan memikul kejut, getaran, atau tidak boleh slip maka
harus digunakan sambungan tipe friksi dengan baut mutu tinggi atau
las.

13.1.7 Sambungan kombinasi


Bila digunakan pengencang tanpa slip (baut mutu tinggi dalam
sambungan tipe friksi atau las) bersama dengan pengencang jenis slip
(seperti baut kencang tangan, atau baut mutu tinggi dalam sambungan
tipe tumpu) dalam suatu sambungan, semua beban terfaktor harus
dianggap dipikul oleh pengencang tanpa slip. Bila digunakan
kombinasi pengencang tanpa slip, beban terfaktor dapat dianggap
dipikul bersama. Akan tetapi apabila digunakan pengelasan dalam
sambungan bersama-sama dengan pengencang tanpa slip lainnya
maka:
a) setiap gaya yang mula-mula bekerja langsung pada las tidak
boleh dianggap turut dipikul oleh pengencang yang ditambahkan
setelah bekerjanya gaya tersebut; dan
b) setiap gaya yang bekerja setelah pengelasan harus dianggap
dipikul oleh las.

13.1.8 Gaya ungkit


Baut yang direncanakan untuk memikul gaya tarik terfaktor harus
dapat memikul setiap gaya tarik tambahan akibat gaya ungkit yang
terjadi akibat komponen yang melenting.

97 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

13.1.9 Komponen sambungan


Komponen sambungan (antara lain pelat pengisi, pelat buhul, pelat
pendukung), kecuali alat pengencang, kekuatannya harus
diperhitungkan sesuai dengan persyaratan pada Butir 8, 9, 10, dan 11.

13.1.10 Pengurangan luas akibat baut

13.1.10.1 Luas lubang


Luas lubang yang digunakan adalah luas penuh.

13.1.10.2 Lubang tidak selang-seling


Pada lubang yang tidak diselang-seling, luas pengurangnya adalah
jumlah maksimum luas lubang dalam irisan penampang tegak lurus
terhadap arah gaya yang bekerja pada unsur struktur.

13.1.10.3 Lubang selang-seling


Bila lubang dibuat selang-seling, luas yang dikurangkan setidaknya
harus sama dengan jumlah luas lubang dalam irisan zig-zag yang
dibuat dikurangi s 2p t / 4 s g untuk setiap spasi antara dua lubang
yang terpotong irisan tersebut, dengan t adalah tebal pelat yang
dilubangi serta s p dan sg dapat dilihat pada Gambar 13.1-1. Jika
didapatkan beberapa kemungkinan irisan penampang (termasuk
irisan lubang tidak selang-seling) maka harus dipilih irisan
penampang yang menghasilkan pengurangan luas yang maksimum.

Arah gaya
sg

sp

Gambar 13.1-1
Lubang selang-seling.

Untuk penampang seperti siku dengan lubang dalam kedua kaki,


s g diambil sebagai jumlah jarak tepi ke tiap lubang, dikurangi
tebal kaki (lihat Gambar 13.1-2).

98 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

sg = sg1 + sg2 - t

sg1

sg2

Gambar 13.1-2
Siku dengan lubang pada kedua kaki.

13.1.11 Sambungan pada profil berongga


Pada profil berongga pengaruh tegangan di sekitar sambungan harus
diperhitungkan.

13.2 Perencanaan baut

13.2.1 Jenis baut


Jenis baut yang dapat digunakan pada ketentuan-ketentuan Butir 13.2
dan 13.3 adalah baut yang jenisnya ditentukan dalam SII (0589-81,
0647-91 dan 0780-83, SII 0781-83) atau SNI (0541-89-A, 0571-89-
A, dan 0661-89-A) yang sesuai, atau penggantinya.

13.2.2 Kekuatan baut


Suatu baut yang memikul gaya terfaktor, Ru, harus memenuhi
Ru ≤ φ Rn (13.2-1)
Keterangan:
φ adalah faktor reduksi kekuatan
Rn adalah kuat nominal baut

13.2.2.1 Baut dalam geser

99 dari 184
SNI 03 – 1729 – 2002

Kuat geser rencana dari satu baut dihitung sebagai berikut:


Vd = φ f Vn = φ f r1 f ub Ab (13.2-2)

Keterangan:
r1 =0,5 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser
r1 =0,4 untuk baut dengan ulir pada bidang geser
φ f =0,75 adalah faktor reduksi kekuatan untuk fraktur
f ub adalah tegangan tarik putus baut
Ab adalah luas bruto penampang baut pada daerah tak
berulir
Kuat geser nominal baut yang mempunyai beberapa bidang geser
(bidang geser majemuk) adalah jumlah kekuatan masing-masing
yang dihitung untuk setiap bidang geser.

13.2.2.2 Baut yang memikul gaya tarik


Kuat tarik rencana satu baut dihitung sebagai berikut:
Td = φ f Tn = φ f 0,75 f ub Ab (13.2-3)

Keterangan:
φ f = 0,75 adalah faktor reduksi kekuatan untuk fraktur
f ub adalah tegangan tarik putus baut
Ab adalah luas bruto penampang baut pada daerah tak
berulir

13.2.2.3 Baut pada sambungan tipe tumpu yang memikul kombinasi geser
dan tarik
Baut yang memikul gaya geser terfaktor, Vu, dan gaya tarik
terfaktor, Tu, secara bersamaan harus memenuhi kedua persyaratan
berikut ini:
V
f uv = u ≤ r1φ f f ub m (13.2-4)
nAb
Tu
Td = φ f Tn = φ f f t Ab ≥ (13.2-5)
n
f t ≤ f1 − r2 f uv ≤ f 2 (13.2-6)

Keterangan:
φ f = 0,75 adalah faktor reduksi kekuatan untuk fraktur

100 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

n adalah jumlah baut


m adalah jumlah bidang geser
untuk baut mutu tinggi:

f1 = 807 MPa, f 2 = 621 MPa,


r2 =1,9 untuk baut dengan ulir pada bidang geser,
r2 =1,5 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser,

untuk baut mutu normal:


f1 = 410 MPa, f 2 = 310 MPa,
r2 =1,9.

13.2.2.4 Kuat tumpu


Kuat tumpu rencana bergantung pada yang terlemah dari baut atau
komponen pelat yang disambung. Apabila jarak lubang tepi
terdekat dengan sisi pelat dalam arah kerja gaya lebih besar
daripada 1,5 kali diameter lubang, jarak antar lubang lebih besar
daripada 3 kali diameter lubang, dan ada lebih dari satu baut dalam
arah kerja gaya, maka kuat rencana tumpu dapat dihitung sebagai
berikut,
Rd = φ f Rn = 2,4φ f d b t p f u (13.2-7)

Kuat tumpu yang didapat dari perhitungan di atas berlaku untuk


semua jenis lubang baut. Sedangkan untuk lubang baut selot
panjang tegak lurus arah kerja gaya berlaku persamaan berikut ini,
Rd = φ f Rn = 2,0φ f d b t p f u (13.2-8)

Keterangan:
φ f =0,75 adalah faktor reduksi kekuatan untuk fraktur
db adalah diameter baut nominal pada daerah tak berulir
tp adalah tebal pelat
fu adalah tegangan tarik putus yang terendah dari baut atau
pelat

13.2.2.5 Pelat pengisi


Pada sambungan-sambungan yang tebal pelat pengisinya antara 6
mm sampai dengan 20 mm, kuat geser nominal satu baut yang
ditetapkan pada Butir 13.2.2.1 harus dikurangi dengan 15 persen.
Pada sambungan-sambungan dengan bidang geser majemuk yang
lebih dari satu pelat pengisinya dilalui oleh satu baut, reduksinya

101 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

juga harus dihitung menggunakan ketebalan pelat pengisi yang


terbesar pada bidang geser yang dilalui oleh baut tersebut.

13.2.3 Sambungan tanpa slip

13.2.3.1 Perencanaan
Pada sambungan tipe friksi yang mengunakan baut mutu tinggi
yang slipnya dibatasi, satu baut yang hanya memikul gaya geser
terfaktor, Vu, dalam bidang permukaan friksi harus memenuhi:
Vu ≤ Vd (= φ Vn )
Kuat rencana, Vd = φ Vn, adalah kuat geser satu baut dalam
sambungan tipe friksi yang ditentukan sebagai berikut:
Vd = φ Vn = 1,13 φ µ m Tb (13.2-9)
Keterangan:
µ adalah koefisien gesek yang ditentukan pada Butir 13.2.3.2
m adalah jumlah bidang geser
Tb adalah gaya tarik baut minimum pada pemasangan seperti
yang disyaratkan pada Butir 18.2.5.2
φ = 1,0 untuk lubang standar
φ = 0,85 untuk lubang selot pendek dan lubang besar
φ = 0,70 untuk lubang selot panjang tegak lurus arah kerja gaya
φ = 0,60 untuk lubang selot panjang sejajar arah kerja gaya

13.2.3.2 Bidang-bidang kontak


Bila bidang-bidang kontak dalam keadaan bersih, koefisien gesek,
µ, harus diambil sebesar 0,35. Bila permukaannya diratakan, atau
keadaan permukaan lainnya termasuk permukaan yang diolah oleh
mesin, koefisien geseknya harus ditentukan berdasar hasil
percobaan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sambungan
yang menggunakan baut mutu tinggi harus diidentifikasi dan
gambarnya harus menunjukkan dengan jelas perlakuan permukaan
yang diperlukan pada sambungan tersebut apakah permukaan
tersebut perlu dilindungi saat pengecatan atau tidak.

13.2.3.3 Kombinasi geser dan tarik pada sambungan tipe friksi

102 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Baut pada sambungan yang slipnya dibatasi dan memikul gaya


tarik terfaktor, Tu, harus memenuhi ketentuan pada Butir 13.2.3.1
dengan kuat rencana slip Vd = φ Vn direduksi dengan faktor
 Tu 
1 −  (13.2-10)
 1,13Tb 

13.3 Kelompok baut

13.3.1 Kelompok baut yang memikul pembebanan sebidang


Kuat rencana kelompok baut harus ditentukan dengan analisis
berdasarkan anggapan berikut:
a) Pelat penyambung harus dianggap kaku dan berputar terhadap
suatu titik yang dianggap sebagai pusat sesaat kelompok baut;
b) Dalam hal kelompok baut yang memikul momen murni (kopel),
pusat sesaat perputaran sama dengan titik berat kelompok baut.
Jika kelompok baut memikul gaya geser sebidang yang bekerja
pada titik berat kelompok baut, pusat sesaat untuk perputaran
berada di tak-hingga dan gaya geser rencana terbagi rata pada
kelompok baut. Untuk kasus lainnya, harus digunakan cara
perhitungan yang standar;
c) Gaya geser rencana pada setiap baut harus dianggap bekerja tegak
lurus pada garis yang menghubungkan baut ke pusat sesaat, dan
harus diambil berbanding lurus dengan jarak antara baut dan
pusat sesaat. Tiap baut harus memenuhi ketentuan Butir 13.2.2.1
dan Butir 13.2.2.4, atau Butir 13.2.3.1.

13.3.2 Kelompok baut yang memikul pembebanan tidak sebidang


Beban pada setiap baut dalam kelompok baut yang memikul
pembebanan tidak sebidang ditetapkan sesuai dengan Butir 13.1.3.
Tiap baut harus memenuhi Butir 13.2.2.1, 13.2.2.2, 13.2.2.3, dan
13.2.2.4, atau Butir 13.2.3.1 dan 13.2.3.3.

13.3.3 Kelompok baut yang menerima beban kombinasi sebidang dan


tidak sebidang
Kuat rencana baut pada suatu kelompok baut ditentukan sesuai
dengan Butir 13.3.1 dan 13.3.2. Setiap baut harus memenuhi Butir
13.2.2.1, 13.2.2.2, 13.2.2.3, dan 13.2.2.4, atau Butir 13.2.3.1 dan
13.2.3.3.

103 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

13.4 Tata letak baut

13.4.1 Jarak
Jarak antar pusat lubang pengencang tidak boleh kurang dari 3 kali
diameter nominal pengencang. Jarak minimum pada pelat harus
memenuhi juga ketentuan Butir 13.2.2.4.

13.4.2 Jarak tepi minimum


Jarak minimum dari pusat pengencang ke tepi pelat atau pelat sayap
profil harus memenuhi spesifikasi dalam Tabel 13.4-1.
Tabel 13.4-1 Jarak tepi minimum.
Tepi dipotong dengan Tepi dipotong dengan Tepi profil bukan hasil
tangan mesin potongan
1,75 db 1,50 db 1,25 db
Dengan db adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir.
Jarak tepi pelat harus memenuhi juga ketentuan Butir 13.2.2.4.

13.4.3 Jarak maksimum


Jarak antara pusat pengencang tidak boleh melebihi 15 t p (dengan tp
adalah tebal pelat lapis tertipis didalam sambungan), atau 200 mm.
Pada pengencang yang tidak perlu memikul beban terfaktor dalam
daerah yang tidak mudah berkarat, jaraknya tidak boleh melebihi
32 t p atau 300 mm. Pada baris luar pengencang dalam arah gaya
rencana, jaraknya tidak boleh melebihi (4 t p + 100 mm) atau 200 mm.

13.4.4 Jarak tepi maksimum


Jarak dari pusat tiap pengencang ke tepi terdekat suatu bagian yang
berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12 kali tebal
pelat lapis luar tertipis dalam sambungan dan juga tidak boleh
melebihi 150 mm.

13.4.5 Lubang
Lubang baut harus memenuhi Butir 17.3.5.

104 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

13.5 Las

13.5.1 Lingkup

13.5.1.1 Umum
Pengelasan harus memenuhi standar SII yang berlaku (2441-89,
2442-89, 2443-89, 2444-89, 2445-89, 2446-89, dan 2447-89), atau
penggantinya.

13.5.1.2 Jenis las


Jenis las yang ditentukan dalam peraturan ini adalah las tumpul,
sudut, pengisi, atau tersusun.

13.5.1.3 Mutu las


Mutu las harus memenuhi ketentuan yang disebut dalam Butir
13.5.1.1.

13.5.2 Las tumpul penetrasi penuh dan sebagian

13.5.2.1 Penjelasan
Las Tumpul Penetrasi Penuh: las tumpul di mana terdapat
penyatuan antara las dan bahan induk sepanjang kedalaman penuh
sambungan.
Las Tumpul Penetrasi Sebagian: las tumpul di mana kedalaman
penetrasi lebih kecil daripada kedalaman penuh sambungan.

13.5.2.2 Ukuran las


Ukuran las adalah jarak antara permukaan luar las (tidak termasuk
perkuatannya) terhadap kedalaman penetrasinya yang terkecil.
Khusus sambungan antara dua bagian yang membentuk T atau
siku, ukuran las penetrasi penuh adalah tebal bagian yang
menumpu.

13.5.2.3 Tebal rencana las


Tebal rencana las ditetapkan sebagai berikut:
a) Las Tumpul Penetrasi Penuh: tebal rencana las untuk las
tumpul penetrasi penuh adalah ukuran las;

105 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

b) Las Tumpul Penetrasi Sebagian: tebal rencana las untuk las


tumpul penetrasi sebagian ditetapkan sesuai dengan ketentuan
dibawah ini:
(i) Sudut antara bagian yang disambung ≤ 60°
Satu sisi: tt =(d - 3) mm
Dua sisi: tt =(d3 + d4 - 6) mm
(ii) Sudut antara bagian yang disambung > 60°
Satu sisi: tt =d mm
Dua sisi: tt =(d3 + d4) mm
dengan d adalah kedalaman yang dipersiapkan untuk las (d3 dan
d4 adalah nilai untuk tiap sisi las).

13.5.2.4 Panjang efektif


Panjang efektif las tumpul adalah panjang las ukuran penuh yang
menerus.

13.5.2.5 Luas efektif


Luas efektif las tumpul adalah perkalian panjang efektif dengan
tebal rencana las.

13.5.2.6 Peralihan tebal atau lebar


Sambungan las tumpul antara bagian yang tebalnya berbeda atau
lebarnya tidak sama yang memikul gaya tarik harus mempunyai
peralihan halus antara permukaan dan ujung. Peralihan harus
dibuat dengan melandaikan bagian yang lebih tebal atau dengan
melandaikan permukaan las atau dengan kombinasi dari keduanya,
seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 13.5-1. Kelandaian
peralihan antara bagian-bagian tidak boleh lebih tajam dari 1:1.

13.5.2.7 Kekuatan las tumpul penetrasi penuh


Kuat las tumpul penetrasi penuh ditetapkan sebagai berikut:
(i) Bila sambungan dibebani dengan gaya tarik atau gaya tekan
aksial terhadap luas efektif maka,
φ y Rnw = 0,9t t f y (bahan dasar) (13.5-1a)
φ y Rnw = 0,9t t f yw (las) (13.5-1b)
(ii) Bila sambungan dibebani dengan gaya geser terhadap luas
efektif maka,
φ y Rnw = 0,9t t ( 0,6 f y ) (bahan dasar) (13.5-2a)
φ y Rnw = 0,8t t ( 0,6 f uw ) (las) (13.5-2b)

1:1 1:1

1:1 106 dari 184 1:1

1:1 1:1
SNI 03 – 1729 – 2002

Gambar 13.5-1
Transisi ketebalan las tumpul yang memikul gaya tarik.

Keterangan:
φy = 0,9 adalah faktor reduksi kekuatan saat leleh,
f y , f u adalah tegangan leleh dan tegangan tarik putus.

13.5.3 Las sudut

13.5.3.1 Ukuran las sudut


Ukuran las sudut ditentukan oleh panjang kaki. Panjang kaki harus
ditentukan sebagai panjang tw1, tw2, dari sisi yang terletak sepanjang
kaki segitiga yang terbentuk dalam penampang melintang las (lihat
Gambar 13.5-2). Bila kakinya sama panjang, ukurannya adalah tw.
Bila terdapat sela akar, ukuran tw diberikan oleh panjang kaki
segitiga yang terbentuk dengan mengurangi sela akar seperti
ditunjukan dalam Gambar 13.5-2.

13.5.3.2 Ukuran minimum las sudut


Ukuran minimum las sudut, selain dari las sudut yang digunakan
untuk memperkuat las tumpul, ditetapkan sesuai dengan Tabel
13.5-1 kecuali bila ukuran las tidak boleh melebihi tebal bagian
yang tertipis dalam sambungan.

tw tw
tt tt Perkuatan

tw tw

Las sudut konkaf Las sudut konveks

tw
Sela akar tt

tw

Las sudut sela akar

107 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Gambar 13.5-2
Ukuran las sudut.

Tabel 13.5-1 Ukuran minimum las sudut.


Tebal bagian paling tebal, t [mm] Tebal minimum las sudut, tw [mm]
t≤7 3
7 < t ≤ 10 4
10 < t ≤ 15 5
15 < t 6

13.5.3.3 Ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi


Ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi komponen yang
disambung adalah:
a) Untuk komponen dengan tebal kurang dari 6,4 mm, diambil
setebal komponen;
b) Untuk komponen dengan tebal 6,4 mm atau lebih, diambil 1,6
mm kurang dari tebal komponen kecuali jika dirancang agar
memperoleh tebal rencana las tertentu.

13.5.3.4 Tebal rencana las


Tebal rencana las, tt, suatu las sudut ditunjukan dalam Gambar
13.5-2.

13.5.3.5 Panjang efektif


Panjang efektif las sudut adalah seluruh panjang las sudut
berukuran penuh. Panjang efektif las sudut paling tidak harus 4 kali
ukuran las; jika kurang, maka ukuran las untuk perencanaan harus
dianggap sebesar 0,25 dikali panjang efektif. Persyaratan panjang
minimum berlaku juga pada sambungan pelat yang bertumpuk
(lap). Tiap segmen las sudut yang tidak menerus (selang-seling)
harus mempunyai panjang efektif tidak kurang dari 40 mm dan 4
kali ukuran nominal las.

13.5.3.6 Luas efektif


Luas efektif las sudut adalah perkalian panjang efektif dan tebal
rencana las.

13.5.3.7 Jarak melintang antar las sudut


Bila dua las sudut menerus sejajar menghubungkan dua komponen
dalam arah gaya untuk membentuk komponen struktur tersusun,

108 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

jarak melintang antara las tidak boleh melebihi 32 t p , kecuali untuk


kasus las sudut tidak menerus pada ujung komponen struktur tarik,
jarak melintang tidak boleh melebihi 16 t p atau 200 mm, dengan
t p adalah tebal terkecil dari dua komponen yang disambung. Agar
butir ini terpenuhi maka las sudut boleh berada dalam selot dan
lubang pada arah gaya.

13.5.3.8 Jarak antar las sudut tidak menerus


Kecuali pada ujung komponen struktur tersusun, jarak bersih
sepanjang garis las, antara las sudut tidak menerus yang
berdekatan, tidak boleh melebihi nilai terkecil dari:
(i) Untuk komponen yang menerima gaya tekan: 16 t p dan 300
mm;
(ii) Untuk komponen yang menerima gaya tarik: 24 t p dan 300
mm.

13.5.3.9 Komponen struktur tersusun - las sudut tidak menerus


Bila las sudut tidak menerus menghubungkan komponen dalam
membentuk komponen struktur tersusun, las harus memenuhi
persyaratan berikut:
a) Pada ujung sisi tarik atau tekan suatu balok, atau pada ujung
komponen struktur tarik, bila hanya digunakan las sudut pada
sisinya, las sudut tersebut harus mempunyai panjang
sambungan yang paling sedikit sama dengan lebar komponen
tersambung. Bila komponen tersambung dibuat menyempit,
panjang las paling tidak harus sebesar kedua nilai di bawah ini:
(i) lebar bagian paling lebar, dan
(ii) panjang bagian yang menyempit.
b) Pada pelat landas komponen struktur tekan, las harus
mempunyai panjang pada tiap garis sambungan di permukaan
kontak sebesar paling sedikit selebar komponen struktur yang
terbesar;
c) Bila balok dihubungkan pada permukaan komponen struktur
tekan, las yang menghubungkan komponen struktur tekan harus
mencapai tepi atas dan tepi bawah balok dan ditambah:
(i) untuk sambungan sederhana (bebas momen): suatu jarak d
di bawah permukaan bawah dari balok, dan
(ii) untuk sambungan kaku (tidak bebas momen): suatu jarak d
di atas dan di bawah permukaan atas dan bawah dari balok;
dengan d adalah dimensi maksimum penampang melintang dari
komponen struktur tekan.

109 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

13.5.3.10 Kuat las sudut


Las sudut yang memikul gaya terfaktor per satuan panjang las, Ru,
harus memenuhi:
Ru ≤ φ Rnw
dengan,
φ f Rnw = 0,75t t (0,6 f uw ) (las) (13.5-3a)

φ f Rnw = 0,75t t (0,6 f u ) (bahan dasar) (13.5-3b)

dengan φ f = 0,75 faktor reduksi kekuatan saat fraktur


Keterangan:
fuw adalah tegangan tarik putus logam las, MPa
fu adalah tegangan tarik putus bahan dasar, MPa
tt adalah tebal rencana las, mm

13.5.4 Las pengisi

13.5.4.1 Las pengisi (las sudut di sekeliling lubang bulat atau selot)
Las pengisi harus dianggap sebagai las sudut yang ditentukan
dalam Butir 13.5.3.5, dengan kuat nominal yang ditentukan dalam
Butir 13.5.3.10. Ukuran minimumnya sama dengan yang berlaku
untuk las sudut (lihat Butir 13.5.3.2).

13.5.4.2 Las pengisi dalam bentuk lubang terisi dengan metal las
Luas geser efektif, Aw, las dalam lubang terisi dengan logam las
harus dianggap sama dengan luas penampang melintang nominal
lubang bulat atau selot dalam bidang permukaan komponen
tersambung. Las pengisi demikian yang memikul gaya geser
terfaktor, Ru, harus memenuhi:
Ru ≤ φ Rnw
dengan,

φ f Rnw = 0,75(0,6 f uw ) Aw (13.5-4)

Keterangan:
φ f = 0,75 adalah faktor reduksi kekuatan saat fraktur
fuw adalah tegangan tarik putus logam las

110 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

13.5.4.3 Pembatasan
Las pengisi hanya boleh digunakan untuk menyalurkan geser
dalam sambungan tumpuk atau untuk mencegah tekuk dari bagian
yang bertumpuk atau untuk menyambung bagian komponen dari
komponen struktur tersusun.

13.6 Kelompok Las

13.6.1 Kelompok las yang memikul pembebanan dalam bidang

13.6.1.1 Cara analisis umum


Gaya rencana per satuan panjang dalam kelompok las sudut yang
memikul pembebanan dalam bidang ditentukan sesuai dengan hal-
hal berikut:
a) Pelat sambungan harus dianggap kaku dan berputar terhadap
pusat sesaat kelompok las;
b) Jika kelompok las hanya memikul momen murni (kopel), pusat
sesaat berimpit dengan titik berat kelompok las. Jika kelompok
las memikul gaya geser dalam bidang yang bekerja pada titik
berat kelompok las, pusat sesaat berada pada titik tak-hingga
dan gaya terfaktor per satuan panjang, Ru, terbagi merata pada
kelompok las. Untuk kasus lainnya harus digunakan cara
analisis yang standar;
c) Kuat perlu per satuan panjang, Ru, pada setiap titik dalam
kelompok las sudut harus dianggap bekerja tegak lurus pada
garis yang menghubungkan titik tersebut dan pusat sesaat, dan
berbanding lurus dengan jarak kedua titik tersebut. Las sudut
harus memenuhi persyaratan Butir 13.5.3.10 pada semua titik
dalam kelompok las sudut. Jika tebal rencana dalam kelompok
las sudut seragam, cukup meninjau satu titik yang jari-jarinya
terhadap pusat sesaat terbesar.

13.6.1.2 Analisis alternatif


Kuat rencana per satuan panjang dalam kelompok las sudut dapat
juga ditetapkan dengan menganggap kelompok las sudut sebagai
perluasan komponen struktur yang dihubungkan.

13.6.2 Kelompok las yang memikul pembebanan luar bidang

13.6.2.1 Cara analisis umum

111 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Kuat rencana per satuan panjang dari kelompok las sudut yang
memikul pembebanan tidak sebidang ditentukan sesuai dengan hal-
hal:
a) Kelompok las sudut harus ditinjau secara terpisah dari
komponen struktur yang dihubungkan, dan
b) Kuat rencana per satuan panjang dalam las sudut yang
dihasilkan dari momen lentur rencana harus dianggap
berbanding lurus dengan jarak terhadap sumbu garis netral
yang bersangkutan. Gaya rencana per satuan panjang dalam
kelompok las sudut yang dihasilkan dari tiap gaya geser atau
gaya aksial harus dianggap terbagi merata sepanjang kelompok
las sudut. Las sudut harus memenuhi persyaratan Butir
13.5.3.10 pada semua titik dalam kelompok las sudut.

13.6.2.2 Analisis alternatif


Kuat rencana per satuan panjang dalam kelompok las sudut dapat
juga ditentukan dengan menganggap kelompok las sudut sebagai
perluasan komponen struktur yang dihubungkan.

13.6.3 Kelompok las yang memikul pembebanan dalam dan luar bidang

13.6.3.1 Cara analisis umum


Kuat rencana per satuan panjang seperti yang ditetapkan sesuai
dengan Butir 13.6.1.1 dan 13.5.2.1 harus memenuhi Butir 13.5.3.10
pada semua titik dalam kelompok las sudut.

13.6.3.2 Analisis alternatif


Kuat rencana per satuan panjang sama dengan analisis yang
ditentukan pada Butir 13.6.1.2 dan 13.6.2.2.

112 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

14. KETAHANAN API

14.1 Umum
Butir ini berlaku untuk komponen struktur bangunan baja yang
disyaratkan mempunyai tingkat ketahanan api (TKA). Untuk
komponen struktur dan sambungan yang dilindungi terhadap api,
tebal bahan pelindung (hi) harus lebih besar atau sama dengan tebal
yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu periode kelayakan
struktural (PKS) yang sama dengan TKA yang diperlukan.
Untuk komponen struktur dan sambungan yang tidak dilindungi
terhadap api maka rasio luas permukaan ekspos berbanding massa
(ksm) harus lebih kecil atau sama dengan rasio yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu PKS yang sama dengan TKA yang diperlukan.
Periode kelayakan struktural (PKS) harus dihitung menurut Butir 14.3
menggunakan variasi-variasi perilaku mekanis baja terhadap
temperatur, yang diatur dalam Butir 14.4.
Sambungan-sambungan dan penetrasi pelat badan harus sesuai
dengan Butir 14.10.

14.2 Beberapa definisi


Pada butir ini berlaku definisi-definisi sebagai berikut:
Rasio luas permukaan ekspos berbanding massa (ksm) adalah rasio
luas bidang yang terekspos pada api terhadap massa baja. Dalam hal
komponen struktur yang menggunakan material pelindung api, luas
permukaan ekspos harus diambil sebagai luas bidang dalam dari
material pelindung api.
Kondisi terekspos api dapat berupa:
a) Kondisi terekspos api tiga-sisi adalah komponen struktur baja
yang tergabung atau menempel pada suatu dinding atau lantai
yang terbuat dari beton atau pasangan batu bata1;

1)
Kondisi terekspos api tiga-sisi harus diperhitungkan terpisah, kecuali
disebutkan lain seperti yang ditentukan dalam Butir 14.9;
Komponen struktur yang mempunyai permukaan yang menempel pada
lantai atau dinding yang terbuat dari beton atau pasangan batu bata lebih
dari satu sisi, dapat diperlakukan sebagai kondisi terekspos api tiga-sisi.

113 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

b) Kondisi terekspos api empat-sisi adalah komponen struktur baja


yang terekspos api pada semua sisi-sisinya.

Sistem perlidungan api adalah material pelindung api dan metode


pemasangannya pada komponen struktur baja.
Tingkat ketahanan api (TKA) adalah jangka waktu ketahanan api
yang khusus digunakan untuk menentukan kelayakan struktur, dalam
menit, yang dipersyaratkan untuk dapat dicapai, dalam suatu uji api
standar.
Periode kelayakan struktural (PKS) adalah jangka waktu (t), dalam
menit, bagi suatu komponen struktur untuk mencapai keadaan batas
kelayakan struktural dalam suatu uji api standar.
Prototipe adalah suatu benda uji, yang mewakili komponen struktur
baja dengan sistem pelindungannya terhadap api, yang dicoba dalam
suatu uji api standar.
Uji api standar adalah pengujian ketahanan api yang disyaratkan
dalam SNI 1741-1989-M.
Daya lekat adalah kemampuan sistem pelindung api untuk tetap
berada di tempatnya pada saat komponen struktur tersebut melendut
selama dicoba dalam uji api standar, menurut SNI 1741-1989-M.
Kelayakan struktural adalah kemampuan suatu komponen struktur
yang dikenakan uji api standar untuk mendukung suatu beban uji,
seperti yang ditentukan dalam SNI 1741-1989-M.

14.3 Penentuan periode kelayakan struktural


Periode kelayakan struktural (PKS) harus ditentukan dengan
menggunakan salah satu dari metode berikut ini:
a) dengan cara perhitungan di bawah ini:
(i) mulai dengan menghitung temperatur batas baja (T1), sesuai
dengan Butir 14.5; dan kemudian
(ii) menghitung PKS, sebagai selisih waktu antara dimulainya
pengujian (t) sampai dengan temperatur batas baja tercapai,
sesuai dengan Butir 14.6 (untuk unsur struktur yang
terlindung) dan Butir 14.7 (untuk unsur struktur yang tak
terlindung); atau

b) dengan penggunaan langsung suatu hasil pengujian tunggal sesuai


dengan Butir 14.8; atau

114 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

c) dengan analisis struktural sesuai dengan Butir 7, dengan


menggunakan sifat-sifat mekanis yang bervariasi terhadap
temperatur sesuai dengan Butir 14.4. Perhitungan temperatur
komponen struktur yang dimaksud harus menggunakan metode
analisis yang rasional dan dikonfirmasikan dengan data
pengujian.

14.4 Variasi sifat-sifat mekanis baja terhadap temperatur

14.4.1 Variasi tegangan leleh terhadap temperatur


Pengaruh temperatur terhadap tegangan leleh baja ditentukan sebagai
berikut:

f y (T )
= 1,0 untuk 0°C<T≤215°C (14.4-1a)
f y (30)

f y (T ) 905 − T
= untuk 215°C<T≤905°C (14.4-1b)
f y (30) 690

Keterangan:
f y (T ) adalah tegangan leleh baja pada T °C
f y (30) adalah tegangan leleh baja pada 30 °C
T adalah temperatur baja dalam °C
Hubungan ini diperlihatkan oleh Kurva 1 pada Gambar 14.4.

14.4.2 Variasi modulus elastisitas terhadap temperatur


Pengaruh temperatur terhadap modulus elastisitas baja harus diambil
sebagai berikut:
 
 
E (T )  T 
= 1.0 +   untuk 0°C<T≤600°C
E (30)  2000 ln T  
  1100  
   
(14.4-2a)
 T 
6901 − 
E (T )  1000 
= untuk 600°C<T≤1000°C
E (30) T − 53,5
(14.4-2b)

115 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

dengan,
E(T) adalah modulus elastisitas baja pada T °C,
E(30) adalah modulus elastisitas baja pada 30 °C.
Hubungan ini diperlihatkan oleh Kurva 2 pada Gambar 14.4.

Kurva 1: Rasio tegangan leleh


Kurva 2: Rasio modulus elatisitas
Rasio tegangan leleh atau modulus elastisitas

Temperatur baja (T), °C.

Gambar 14.4
Variasi sifat mekanis baja terhadap temperatur.

14.5 Penentuan temperatur batas baja


Temperatur batas baja (T1) harus dihitung sebagai berikut:

T1= 905 – 690 rf (14.5-1)


dengan r f adalah perbandingan antara gaya-dalam rencana yang
bekerja pada komponen struktur akibat beban rencana untuk suatu
kebakaran yang ditetapkan menurut standar yang diakui terhadap kuat
rencana komponen struktur (φRn) pada temperatur ruang.

116 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

14.6 Penentuan waktu tercapainya temperatur batas untuk komponen


struktur yang terlindung

14.6.1 Metode
Waktu (t) untuk mencapai temperatur batas (T1) ditentukan dengan
perhitungan berdasarkan pada rangkaian pengujian api sesuai dengan
Butir 14.6.2 atau dari hasil-hasil suatu pengujian tunggal sesuai
dengan Butir 14.6.3.
Untuk balok dan komponen struktur lainnya yang mempunyai kondisi
terekspos api empat-sisi, temperatur batas (T1) harus diambil sebagai
nilai rata-rata dari temperatur yang diukur pada lokasi termokopel
sebagaimana yang ditunjukkan dalam SNI 1741-1989-M.
Untuk kolom-kolom dengan kondisi terekspos api tiga-sisi, tem-
peratur batas (T1) harus diambil sebagai nilai rata-rata temperatur
yang diukur pada lokasi termokopel pada muka yang terjauh dari
dinding. Sebagai alternatif, dapat digunakan temperatur dari
komponen struktur yang mempunyai kondisi terekspos api empat-sisi
dan yang mempunyai rasio luas permukaan ekspos berbanding massa
yang sama.

14.6.2 Temperatur yang didasarkan pada rangkaian pengujian


Perhitungan variasi temperatur baja terhadap waktu harus didapat dari
interpolasi hasil-hasil rangkaian pengujian api menggunakan
persamaan analisis regresi yang ditentukan dalam Butir 14.6.2.1
dengan batasan dan kondisi yang tercantum pada Butir 14.6.2.2.
14.6.2.1 Analisis regresi
Hubungan antara temperatur (T) dan waktu (t) untuk suatu
rangkaian pengujian pada suatu kumpulan dihitung dengan regresi
kuadrat-terkecil sebagai berikut:
 h   hT   T 
t = k 0 + k1hi + k 2  i  + k3T + k 4 hiT + k5  i  + k 6  
 k sm   k sm   k sm 

(14.6-1)
Keterangan:
t adalah waktu dari saat awal pengujian, menit
ki adalah koefisien-koefisien regresi
hi adalah ketebalan material pelindung api, mm
T adalah temperatur baja, dalam derajat Celsius, T > 250 °C

117 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

ksm adalah rasio luas permukaan terekspos api terhadap massa,


m2/ton
14.6.2.2 Batasan dan kondisi penggunaan analisis regresi
Data pengujian yang digunakan sesuai dengan Butir 14.6.2.1 di
atas harus memenuhi hal-hal berikut ini:

a) Komponen struktur baja harus dilindungi dengan papan,


selimut hasil semprotan, atau bahan insulasi yang serupa, dan
yang mempunyai nilai kerapatan kering kurang dari 1.000
kg/m3;
b) Semua pengujian harus menggunakan sistem pelindung api
yang sama;
c) Semua komponen struktur harus mempunyai kondisi terekspos
api yang sama;
d) Rangkaian pengujian harus terdiri dari paling sedikit sembilan
pengujian;
e) Rangkaian pengujian dapat melibatkan prototipe-prototipe yang
belum pernah dibebani, asalkan daya lekatnya telah dibuktikan
sebelumnya;
f) Semua komponen struktur yang dianggap memiliki kondisi
terekspos api tiga-sisi harus berada dalam suatu kelompok
sesuai dengan Butir 14.9.

Persamaan regresi digunakan hanya untuk interpolasi. Batas-batas


interpolasi harus ditentukan seperti pada Gambar 14.6.
Persamaan regresi yang didapat untuk satu sistem perlindungan api
dapat digunakan pada sistem yang lain yang menggunakan material
pelindung api yang sama dan dengan kondisi terekspos api yang
sama, asalkan daya lekat untuk sistem yang kedua telah dibuktikan
sebelumnya.
Persamaan regresi yang didapat menggunakan prototipe dengan
kondisi terekspos api empat-sisi dapat digunakan pada komponen
struktur dengan kondisi terekspos api tiga-sisi, asalkan daya lekat
untuk kasus tiga sisi telah dibuktikan sebelumnya.

118 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Daerah interpolasi
Ketebalan bahan pelindung api (hi), mm.

X= Titik pengujian

Rasio luas permukaan ekspos terhadap masa (ksm), m2/ton.

Gambar 14.6.
Definisi daerah interpolasi.

14.6.3 Temperatur yang didasarkan pada pengujian tunggal


Variasi temperatur baja terhadap waktu yang diukur dalam suatu
pengujian api standar dapat digunakan tanpa modifikasi dengan
syarat:
a) sistem proteksi api adalah sama dengan prototipe;
b) kondisi terekspos api adalah sama dengan prototipe;
c) tebal material pelindung tahan api adalah sama dengan atau lebih
besar daripada prototipe;
d) rasio luas permukaan terekspos terhadap masa adalah sama
dengan atau lebih kecil daripada prototipe; dan
e) bilamana prototipe telah diuji pada suatu pengujian api standar
dalam keadaan tak-terbebani maka daya lekat sistem proteksi api
harus telah dibuktikan terlebih dahulu secara terpisah.

119 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

14.7 Penentuan waktu tercapainya temperatur batas untuk komponen


struktur yang tak-terlindung
Waktu (t) yang diperlukan untuk mencapai temperatur batas harus
dihitung sebagai berikut:
a) untuk kondisi terekspos api tiga-sisi:
 0,433T1 
t = −5,2 + 0,0221T1 +   (14.7-1)
 k sm 
b) untuk kondisi terekspos api empat-sisi:
 0,213T1 
t = −4,7 + 0,0263T1 +   (14.7-2)
 k sm 
Keterangan:
t adalah waktu dari saat awal pengujian, menit
T1 adalah temperatur batas baja, °C, 500°C≤T1≤750°C
ksm adalah rasio luas permukaan ekspos terhadap masa, 2 m2/ton
≤ ksm ≤ 35 m2/ton
Untuk temperatur di bawah 500°C, interpolasi linier harus digunakan
berdasarkan atas waktu pada 500°C dan suatu temperatur awal 30°C
pada t = 0.

14.8 Penentuan Periode Kelayakan Struktur (PKS) dari suatu


pengujian tunggal
Periode kelayakan struktural (PKS) yang ditentukan menurut SNI
1741-1989-M dari suatu pengujian tunggal dapat digunakan tanpa
modifikasi, dengan syarat:
a) sistem perlindungan api adalah sama dengan prototipe;
b) kondisi terekspos api adalah sama dengan prototipe;
c) tebal material pelindung api adalah sama dengan atau lebih besar
dari prototipe;
d) rasio luas permukaan terekspos terhadap masa adalah kurang
daripada atau sama dengan prototipe;
e) kondisi penyangga adalah sama dengan prototipe dan kondisi
pengekangan adalah minimal sama baik dengan yang dimiliki
oleh prototipe; dan
f) rasio beban rencana untuk kebakaran terhadap kapasitas rencana
komponen struktur tersebut adalah lebih kecil atau sama dengan
rasio yang dimiliki oleh prototipe.

120 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

14.9 Kondisi terekspos api tiga-sisi


Komponen struktur yang diperkirakan mempunyai kondisi terekspos
api tiga-sisi harus diperhitungkan dalam kelompok-kelompok yang
terpisah kecuali bila kondisi-kondisi berikut dipenuhi:
a) Karakteristik komponen struktur dalam suatu kelompok tidak
boleh bervariasi antara satu dengan lainnya lebih dari
tertinggi dalam kelompok
(i) kerapatan beton : ≤ 1,25; dan
terendah dalam kelompok
terbesar dalam kelompok
(ii) tebal efektif (he): ≤ 1,25
terkecil dalam kelompok
dengan tebal efektif (he) adalah sama dengan luas penampang
tanpa rongga per satuan lebar, seperti terlihat pada Gambar
14.9(a).

b) Rongga-rongga gelombang harus berupa


(i) semua terbuka; atau
(ii) semua terisi seperti terlihat pada Gambar 14.9(b).
Lantai beton dapat menggunakan cetakan lantai baja permanen.

14.10 Pertimbangan-pertimbangan khusus

14.10.1 Sambungan-sambungan
Agar dicapai tingkat ketahanan api yang diinginkan, sambungan-
sambungan harus dilindungi dengan material pelindung api yang
paling tebal yang disyaratkan untuk komponen-komponen struktur
yang berhubungan dengan sambungan-sambungan tersebut. Ketebalan
ini harus dipertahankan pada seluruh komponen sambungan, termasuk
kepala baut, las, dan pelat-pelat penyambung.

14.10.2 Penetrasi pelat badan


Tebal bahan pelindung api pada dan di sekitar lubang penetrasi pelat
badan harus diambil yang terbesar dari:
a) tebal yang dibutuhkan untuk daerah di atas lubang penetrasi yang
diperhitungkan sebagai suatu kondisi terekspos api tiga-sisi
(k sm1 ) (lihat Gambar 14.10);

121 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

b) tebal yang dibutuhkan untuk daerah di bawah lubang penetrasi


yang diperhitungkan sebagai suatu kondisi terekspos api empat-
sisi (k sm2 ) (lihat Gambar 14.10); dan
c) tebal yang dibutuhkan untuk penampang utuh secara keseluruhan
yang diperhitungkan sebagai suatu kondisi terekspos api tiga-sisi
(ksm) (lihat Gambar 14.10).

Ketebalan bahan tersebut harus meliputi seluruh tinggi balok dan


daerah sejauh jarak yang sama dengan tinggi balok dan tidak kurang
dari 300 mm dari masing-masing sisi lubang penetrasi.

hc

hc

(a) Ketebalan efektif.

Pelat beton
Rongga

Rongga terisi dengan


bahan pelindung api
Balok
baja
Bahan pelindung api

TAMPAK SAMPING POTONGAN PENAMPANG

(b) Kondisi rongga-rongga gelombang yang terisi.

Gambar 14.9
Ketentuan-ketentuan kondisi terekspos api tiga-sisi.

122 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

A B

A B

Tampak samping balok dengan lubang penetrasi pada pelat badan.

ksm1

ksm2 ksm
POTONGAN A-A POTONGAN B-B

Gambar 14.10
Penetrasi pelat badan.

123 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15. KETENTUAN PERENCANAAN TAHAN GEMPA UNTUK


STRUKTUR BANGUNAN BAJA

15.1 Ketentuan umum


Ketentuan ini dimaksudkan untuk perencanaan dan pelaksanaan
komponen struktur bangunan baja termasuk sambungan dalam
struktur dengan gaya yang bekerja dihasilkan dari beban gempa yang
telah ditentukan dengan memperhatikan disipasi energi di dalam
daerah respon nonlinier struktur bangunan tersebut.
Komponen struktur untuk bangunan baja tahan gempa harus
memenuhi,

φRn ≥ Ru (15.1-1)
Keterangan:
φ adalah faktor reduksi beban sesuai Tabel 6.4.2
Rn adalah kuat nominal komponen struktur sesuai Butir 8, 9, 10,
12, 13, dan 15
Ru adalah pengaruh aksi terfaktor, yaitu momen atau gaya yang
diakibatkan oleh suatu kombinasi pembebanan yang diberikan
dalam Butir 6 dan 15, atau pengaruh aksi perlu, yaitu momen
atau gaya yang disyaratkan untuk struktur tahan gempa yang
diberikan dalam Butir 15

15.2 Parameter beban gempa


Gaya geser dasar rencana total, V, pada suatu arah ditetapkan sebagai
berikut:
Cv I
V = Wt (15.2-1)
RT
Gaya geser dasar rencana total, V, tidak perlu lebih besar daripada
nilai berikut ini,
2,5Ca I
V ≤ Vmaks = Wt (15.2-2)
R
Keterangan:
V adalah gaya geser dasar rencana total, N
Vmaks adalah gaya geser dasar rencana maksimum, N
R adalah faktor modifikasi respons (lihat Tabel 15.2-1)
T adalah waktu getar dasar struktur, detik
Wt adalah berat total struktur, N

124 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

I adalah faktor kepentingan struktur yang ditetapkan oleh


ketentuan yang berlaku dalam Butir 3.1 dan 3.2
Ca dan Cv adalah koefisien percepatan gempa yang ditetapkan oleh
ketentuan yang berlaku dalam Butir 3.1 dan 3.2

Berat total struktur Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban


berikut ini:
1) Beban mati total dari struktur bangunan;
2) Bila digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai maka
harus diperhitungkan tambahan beban sebesar 0,5 kPa;
3) Pada gudang-gudang dan tempat-tempat penyimpanan barang
maka sekurang-kurangnya 25% dari beban hidup rencana harus
diperhitungkan;
4) Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan
harus diperhitungkan.

15.3 Beban, kombinasi beban, dan kuat nominal

15.3.1 Beban dan kombinasi beban


Beban dan kombinasi beban yang digunakan adalah yang telah diatur
pada Butir 6, kecuali bila ditentukan secara khusus pada butir ini.
Eh adalah pengaruh dari komponen horizontal gaya gempa yang
ditetapkan untuk suatu struktur bangunan. Bila dipersyaratkan dalam
standar ini maka pengaruh komponen horizontal gaya gempa yang
dikalikan suatu faktor amplifikasi, Ω0 Eh, harus digunakan sebagai
ganti dari Eh seperti dalam kombinasi beban di bawah ini. Faktor
amplifikasi Ω0 atau faktor kuat cadang struktur diberikan pada Tabel
15.2-1.
Kombinasi beban dengan memperhatikan faktor kuat cadang struktur,
Ω0, adalah:
1,2 D + γ L L + Ω0 Eh (15.3-1)

0,9 D - Ω0 Eh (15.3-2)
dengan γ L = 0,5 bila L< 5 kPa dan γ L = 1 bila L≥ 5 kPa.
Keterangan:
D adalah pengaruh beban mati yang disebabkan oleh berat elemen
struktur dan beban tetap pada struktur
L adalah pengaruh beban hidup akibat pengguna gedung dan
peralatan bergerak
Eh adalah pengaruh dari komponen horizontal gaya gempa

125 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Ω0 adalah faktor kuat cadang struktur (lihat Tabel 15.2-1)


Pengaruh orthogonalitas gaya gempa, yaitu pengaruh pembebanan
gempa pada dua arah yang saling tegak lurus, harus diperhitungkan
dalam perencanaan struktur bangunan. Pengaruh orthogonalitas tidak
perlu ditinjau bila dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa
digunakan Ω0 Eh.
15.3.2 Kuat nominal
Kuat nominal sistem rangka, komponen struktur, dan sambungan
harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada dalam standar ini
kecuali bila dipersyaratkan lain dalam butir ini.

15.4 Simpangan antar lantai

15.4.1 Simpangan inelastis maksimum


Simpangan antar lantai dihitung berdasarkan respons simpangan
inelastis maksimum, ∆M, dihitung sebagai berikut,

∆M = 0,7 R∆S (15.4-1)


dengan R adalah faktor modifikasi respons (lihat Table 12.2-1).
Pada persamaan (15.4-1), ∆S adalah respons statis simpangan elastis
struktur yang terjadi di titik-titik kritis akibat beban gempa horizontal
rencana yang ditetapkan pada Butir 15.2. Dalam melakukan
perhitungan simpangan tersebut pengaruh translasi dan rotasi
bangunan harus diperhitungkan. Simpangan elastis struktur juga
dapat dihitung menggunakan analisis dinamis.
15.4.2 Batasan simpangan antar lantai
Simpangan antar lantai yang dihitung berdasarkan persamaan (15.4-1)
tidak boleh melebihi 2,5 % dari jarak antar lantai untuk suatu struktur
dengan waktu getar dasar lebih kecil daripada atau sama dengan 0,7
detik. Untuk struktur bangunan dengan waktu getar dasar lebih besar
daripada 0,7 detik, simpangan antar lantai tersebut tidak boleh
melebihi 2,0 % dari jarak antar lantai.

15.5 Bahan

15.5.1 Spesifikasi bahan

126 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Untuk bangunan yang melebihi satu tingkat, bahan baja yang


digunakan pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK),
Sistem Rangka Pemikul Momen Terbatas (SRPMT), Sistem Rangka
Pemikul Momen Biasa (SRPMB), Sistem Rangka Batang Pemikul
Momen Khusus (SRBPMK), Sistem Rangka Bresing Konsentrik
Khusus (SRBKK), Sistem Rangka Bresing Konsentrik Biasa
(SRBKB), Sistem Rangka Bresing Eksentris (SRBE), harus
memenuhi persyaratan berikut ini:
a) Perbandingan tegangan leleh terhadap tegangan putus tariknya
adalah kurang dari 0,85,
b) Hubungan tegangan-regangan harus memperlihatkan daerah
plateau yang cukup panjang,
c) Pengujian uniaksial tarik pada spesimen baja memperlihatkan
perpanjangan maksimum tidak kurang daripada 20% untuk
daerah pengukuran sepanjang 50 mm,
d) Mempunyai sifat relatif mudah dilas.
Persyaratan tegangan leleh minimum dari bahan baja untuk
komponen struktur dengan perilaku inelastis diharapkan akan terjadi
berkenaan dengan kombinasi pembebanan (15.3-1) dan (15.3-2) tidak
boleh melebihi 350 MPa, kecuali bila dapat ditunjukkan secara
eksperimen atau secara rasional bahwa bahan baja yang digunakan
sesuai untuk tujuan tersebut. Persyaratan ini tidak berlaku bagi kolom
yang diharapkan perilaku inelastisnya hanya akan terjadi pada dasar
kolom yang mengalami leleh pada tingkat paling bawah.
15.5.2 Sifat bahan dalam menentukan kuat perlu sambungan dan
komponen struktur yang terkait
Bila disyaratkan oleh standar ini maka kuat perlu sambungan dan
komponen struktur yang terkait ditentukan berdasarkan tegangan
leleh yang dapat terjadi yaitu f ye dari komponen struktur yang
disambung, dengan
f ye = R y f y

dan f y adalah tegangan leleh bahan baja yang digunakan. Untuk


profil dan batang baja gilas R y adalah 1,5 bila digunakan BJ 41 atau
yang lebih lunak dan 1,3 bila digunakan BJ 50 atau yang lebih keras.
Untuk pelat baja nilai R y adalah 1,1. Nilai R y lainnya dapat
digunakan bila dapat didukung oleh hasil percobaan.

15.6 Persyaratan kolom

127 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.6.1 Kekuatan kolom


Bila N u / φN n > 0,4 , kolom untuk sistem rangka tahan gempa selain
harus memenuhi persyaratan sesuai dengan standar ini, juga harus
dibatasi pula oleh persyaratan sebagai berikut:
1) Gaya tekan aksial terfaktor kolom, tanpa adanya pengaruh
momen-momen yang bekerja, ditetapkan berdasarkan kombinasi
pembebanan persamaan (15.3-1);
2) Gaya tarik aksial terfaktor kolom, tanpa adanya pengaruh
momen-momen yang bekerja, ditetapkan berdasarkan kombinasi
pembebanan persamaan. (15.3-2);
3) Gaya aksial terfaktor yang ditetapkan pada Butir 15.6.1(1) dan
15.6.1(2) tidak perlu melampaui salah satu dari kedua nilai
berikut ini:
(i) Beban maksimum yang dipindahkan kepada kolom dengan
memperhitungkan 1,1 R y kali kuat nominal balok atau
bresing pada struktur bangunan yang merangka kepada
kolom tersebut.
(ii) Nilai batas yang ditentukan oleh kapasitas fondasi untuk
memikul gaya angkat akibat momen guling.

15.6.2 Sambungan kolom


Sambungan kolom harus mempunyai kuat rencana minimum untuk
memikul kuat perlu yang ditentukan pada Butir 15.6.1.
15.6.2.1 Sambungan yang menggunakan las sudut atau las tumpul penetrasi
sebagian, tidak boleh berjarak kurang dari 1.200 mm dari
sambungan balok-ke-kolom atau tidak boleh kurang dari setengah
kali panjang bersih kolom dari sambungan balok-ke-kolom.
Sambungan las kolom yang dibebani oleh gaya tarik neto akibat
kombinasi beban (15.3-2) harus memenuhi kedua persyaratan
berikut ini:
1) Sambungan las penetrasi sebagian harus mempunyai kuat
rencana minimum sebesar 200% dari kuat perlu;
2) Kuat perlu minimum dari setiap pelat sayap adalah R y f y A f ,
dengan R y f y adalah tegangan leleh yang dapat terjadi dari
bahan baja kolom dan Af adalah luas pelat sayap kolom yang
terkecil pada sambungan yang ditinjau.

128 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.6.2.2 Persyaratan transisi sambungan secara gradual tidak harus dipenuhi


apabila perubahan tebal dan lebar pelat sayap dan pelat badan
terjadi pada sambungan kolom yang mana sambungan las tumpul
penetrasi sebagian diijinkan sesuai dengan Butir 15.6.2.1.

15.7 Persyaratan untuk Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus


(SRPMK)

15.7.1 Ruang lingkup


SRPMK diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis yang besar
apabila dibebani oleh gaya-gaya yang berasal dari beban gempa
rencana. SRPMK harus memenuhi persyaratan pada Butir 15.7.
15.7.2 Sambungan balok-ke-kolom
15.7.2.1 Perencanaan semua sambungan balok-ke-kolom yang digunakan
pada Sistem Pemikul Beban Gempa harus didasarkan pada hasil-
hasil pengujian kualifikasi yang menunjukkan rotasi inelastis
sekurang-kurangnya 0,03 radian. Hasil-hasil pengujian kualifikasi
didapat terhadap sekurang-kurangnya dari dua pengujian siklik dan
diijinkan berdasarkan salah satu dari dua persyaratan berikut ini:
a) Laporan penelitian atau laporan pengujian yang dilakukan
untuk sambungan yang serupa dengan yang sedang
direncanakan untuk suatu proyek;
b) Pengujian yang dilakukan khusus untuk sambungan yang
sedang direncanakan untuk suatu proyek dan cukup mewakili
ukuran-ukuran komponen struktur, kekuatan bahan, konfigurasi
sambungan, dan urut-urutan pelaksanaan pada proyek tersebut.
Interpolasi atau ekstrapolasi dari hasil-hasil pengujian dengan
ukuran-ukuran komponen struktur yang berbeda-beda harus
dilakukan menggunakan analisis rasional yang memperlihatkan
distribusi tegangan dan besar gaya-gaya-dalam yang konsisten
terhadap model uji sambungan dan dengan memperhatikan
pengaruh negatif dari ukuran bahan dan ketebalan las yang lebih
besar serta variasi dari sifat-sifat bahan. Ekstrapolasi dari hasil-
hasil pengujian harus didasarkan pada kombinasi serupa dari
komponen struktur.
Sambungan yang sebenarnya harus dibuat menggunakan bahan,
konfigurasi, proses, dan kendali kualitas demikian sehingga dapat
menjamin keserupaannya dengan model uji sambungan. Balok-
balok dengan hasil pengujian tegangan leleh kurang dari 85% f ye
tidak boleh digunakan dalam pengujian kualifikasi.

129 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.7.2.2 Pengujian sambungan balok-ke-kolom harus memperlihatkan kuat


lentur, yang diukur di muka kolom, sekurang-kurangnya sama
dengan momen plastis nominal balok M p pada saat terjadinya
rotasi inelastis yang disyaratkan, kecuali bila:
a) Kuat lentur balok lebih ditentukan oleh tekuk lokal daripada
oleh tegangan leleh bahan, atau bila sambungan
menghubungkan balok dengan penampang melintang yang
direduksi maka kuat lentur minimumnya sama dengan 0,8 M p
dari balok pada pengujian;
b) Sambungan-sambungan yang memungkinkan terjadinya rotasi
dari komponen struktur yang tersambung dapat diijinkan,
selama dapat ditunjukkan menggunakan analisis yang rasional
bahwa tambahan simpangan antar lantai yang disebabkan oleh
deformasi sambungan dapat diakomodasikan oleh struktur
bangunan. Analisis rasional yang dilakukan harus
memperhitungkan stabilitas sistem rangka secara keseluruhan
dengan memperhatikan pengaruh orde kedua.
15.7.2.3 Gaya geser terfaktor, Vu, sambungan balok-ke-kolom harus
ditentukan menggunakan kombinasi beban 1,2D+0,5L ditambah
dengan gaya geser yang dihasilkan dari bekerjanya momen lentur
sebesar 1,1R y f y Z pada arah yang berlawanan pada masing-masing
ujung balok. Sebagai alternatif, nilai Vu yang lebih kecil dapat
digunakan selama dapat dibuktikan menggunakan analisis yang
rasional. Gaya geser terfaktor tidak perlu lebih besar daripada gaya
geser yang dihasilkan oleh kombinasi pembebanan (15.3-1).
15.7.3 Daerah panel pada sambungan balok-ke-kolom
(Badan balok sebidang dengan badan kolom)

15.7.3.1 Kuat Geser: Gaya geser terfaktor Vu pada daerah panel ditentukan
berdasarkan momen lentur balok sesuai dengan kombinasi
pembebanan (15.3-1) dan (15.3-2). Namun, Vu tidak perlu melebihi
gaya geser yang ditetapkan berdasarkan 0,8∑ R y M p dari balok-
balok yang merangka pada sayap kolom disambungan. Kuat geser
rencana φvVn panel ditentukan menggunakan persamaan berikut:

 3bcf t cf2 
Bila N u ≤ 0,75 N y , φ vVn = 0,6φ v f y d c t p 1 +  (15.7-1)
 d b d c t p 

130 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

 3bcf t cf2   1,2 N u 


Bila N u > 0,75 N y , φ vVn = 0,6φ v f y d c t p 1 +  1,9 − 
 d b d c t p   N y 

(15.7-2)
dengan φv = 0,75.
Keterangan:
t p adalah tebal total daerah panel, termasuk pelat pengganda,
mm
dc adalah tinggi keseluruhan penampang kolom, mm
bcf adalah lebar sayap kolom, mm
tcf adalah ketebalan dari sayap kolom, mm
db adalah tinggi bruto penampang balok, mm
fy adalah tegangan leleh bahan baja pada daerah panel, MPa

15.7.3.2 Tebal Daerah Panel: Ketebalan masing-masing pelat badan


penampang kolom atau pelat pengganda pada daerah panel,
ditetapkan menurut persamaan berikut:
t ≥ (dz + wz) / 90 (15.7-3)
Keterangan:
t adalah tebal pelat badan penampang kolom atau pelat
pengganda pada daerah panel, mm
dz adalah tinggi daerah panel di antara pelat terusan, mm
wz adalah lebar daerah panel di antara kedua sayap kolom, mm
Sebagai alternatif, apabila tekuk lokal pada pelat badan penampang
kolom dan pelat pengganda dicegah menggunakan las sumbat maka
tebal total daerah panel harus memenuhi persamaan (15.7-3).
15.7.3.3 Pelat-pelat Pengganda pada Daerah Panel: Pelat-pelat pengganda
harus dilas kepada pelat-pelat sayap kolom menggunakan las
tumpul penuh atau las sudut untuk mengembangkan kuat geser
rencana dari seluruh tebal pelat pengganda. Bila pelat pengganda
dipasang menempel pada pelat badan penampang kolom maka sisi-
sisi atas dan bawah pelat pengganda harus dilas terhadap pelat
badan penampang kolom sehingga dapat memikul bagian dari
gaya-gaya yang dipindahkan kepada pelat pengganda. Bila pelat
pengganda dipasang tidak menempel pada pelat badan penampang
kolom maka pelat pengganda harus dipasang berpasangan secara
simetris dan dilas kepada pelat terusan sehingga dapat memikul
bagian gaya yang dipindahkan kepada pelat pengganda.

131 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.7.4 Batasan-batasan terhadap balok dan kolom


15.7.4.1 Luas Sayap Balok: Tidak diperkenankan terjadi perubahan luas
sayap balok yang mendadak pada daerah sendi plastis. Pembuatan
lubang dan pengguntingan lebar pelat sayap dapat diijinkan selama
pengujian memperlihakan bahwa konfigurasi ini tetap dapat
mengembangkan sendi-sendi plastis yang disyaratkan pada Butir
15.7.2.2.
15.7.4.2 Rasio Lebar terhadap Tebal: Balok-balok harus memenuhi
persyaratan λ p pada Tabel 15.7-1. Apabila perbandingan pada
persamaan (15.7-4) lebih kecil atau sama dengan 1,25, kolom-
kolom harus memenuhi persyaratan λ p pada Tabel 15.7-1. Bila
hal-hal tersebut tidak dipenuhi maka kolom-kolom harus
memenuhi persyaratan λp pada Tabel 7.5-1.
15.7.5 Pelat terusan
Pelat terusan perlu diadakan sesuai dengan model uji sambungan.
15.7.6 Perbandingan momen kolom terhadap momen balok
Hubungan berikut ini harus dipenuhi pada sambungan balok-ke-
kolom:

∑ M *pc >1 (15.7-4)


∑ M *pb
Keterangan:

∑ M *pc adalah jumlah momen-momen kolom di bawah dan di atas


sambungan pada pertemuan antara as kolom dan as balok.
∑ M *pc ditentukan dengan menjumlahkan proyeksi kuat
lentur nominal kolom, termasuk voute bila ada, di atas dan
di bawah sambungan pada as balok dengan reduksi akibat
gaya aksial tekan kolom. Diperkenankan untuk mengambil
∑ M *pc = ∑ Z c ( f yc − N uc / Ag ) . Bila as balok-balok yang
bertemu di sambungan tidak membentuk satu titik maka
titik tengahnya dapat digunakan dalam perhitungan
∑ M *pb adalah jumlah momen-momen balok-balok pada pertemuan
as balok dan as kolom. ∑ M *pb ditentukan dengan
menjumlahkan proyeksi kuat lentur nominal balok di daerah
sendi plastis pada as kolom. Diperkenankan untuk
mengambil ∑ M *pb = ∑ (1,1R y M p + M y ) , dengan M y

132 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

adalah momen tambahan akibat amplifikasi gaya geser dari


lokasi sendi plastis ke as kolom. Sebagai alternatif,
diperkenankan untuk menentukan ∑ M *pb dari hasil
pengujian sesuai dengan persyaratan pada Butir 15.7.2.1
atau dengan analisis rasional berdasarkan pengujian. Bila
sambungan dibuat menggunakan penampang balok yang
direduksi maka diperkenankan untuk mengambil
∑ M *pb = ∑ (1,1R y f y Z + M y ) , dengan Z adalah modulus
plastis minimum pada penampang balok yang direduksi
Ag adalah luas penampang bruto kolom, mm2
f yc adalah tegangan leleh penampang kolom, MPa
Nuc adalah gaya aksial tekan terfaktor pada kolom, N
Zc adalah modulus plastis penampang kolom, mm3

Bila kolom-kolom memenuhi persyaratan pada Butir 15.7.4 maka


persyaratan di atas tidak harus dipenuhi untuk kasus-kasus di bawah
ini:

15.7.6.1 Kolom-kolom dengan N uc < 0,3 f yc Ag untuk semua kombinasi


pembebanan kecuali yang ditentukan oleh persamaan (15.3-1) dan
persamaan (15.3-2) dan memenuhi salah satu dari dua syarat
berikut ini:
1) Kolom-kolom pada bangunan satu tingkat atau ditingkat yang
tertinggi dari bangunan bertingkat tinggi;
2) Kolom-kolom dengan: (a) jumlah kuat geser rencana dari
kolom-kolom yang bukan merupakan bagian dari sistem
pemikul gaya gempa di suatu tingkat kurang daripada 20% dari
gaya geser tingkat terfaktor; dan (b) jumlah kuat geser rencana
dari kolom-kolom yang bukan merupakan bagian dari sistem
pemikul gaya gempa dalam suatu bidang kolom di suatu tingkat
kurang daripada 33% dari gaya geser tingkat terfaktor pada
bidang kolom tersebut. Bidang kolom adalah suatu bidang yang
mengandung kolom-kolom atau bidang-bidang paralel yang
mengandung kolom-kolom dengan jarak antar bidang-bidang
tersebut tidak lebih daripada 10% dari dimensi tapak bangunan
tegak lurus bidang tersebut.
15.7.6.2 Kolom-kolom pada suatu tingkat dengan perbandingan kuat geser
rencana terhadap gaya geser tingkat terfaktor adalah 50% lebih
besar daripada perbandingan tersebut untuk tingkat di atasnya.
15.7.7 Kekangan pada sambungan balok-ke-kolom

133 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.7.7.1 Kekangan sambungan:


1) Sayap-sayap kolom pada sambungan balok-ke-kolom perlu
dikekang secara lateral hanya pada daerah sayap atas balok bila
suatu kolom dapat ditunjukkan tetap berada dalam keadaan
elastis di luar daerah panel menggunakan salah satu dari dua
kriteria di bawah ini:
(a) Persamaan (15.7-4) memberikan hasil lebih besar dari 1,25;
(b) Suatu kolom tetap bersifat elastis akibat kombinasi
pembebanan (15.3-1) dan (15.3-2).
2) Bila suatu kolom tidak dapat ditunjukkan masih bersifat elastis
di luar daerah panel maka persyaratan berikut ini harus
dipenuhi:
(a) Sayap-sayap kolom dikekang secara lateral pada kedua sisi
atas dan sisi bawah sayap balok;
(b) Setiap pengekang lateral pelat sayap kolom direncanakan
terhadap gaya terfaktor sebesar 2,0% dari kuat nominal
satu sayap balok ( f y b f t bf ) ;
(c) Sayap-sayap kolom dikekang secara lateral dengan cara
langsung atau tidak langsung yaitu melalui pelat badan
kolom atau melalui pelat-pelat sayap balok.
15.7.7.2 Sambungan tanpa Pengekang Lateral: Suatu kolom dengan
sambungan balok-ke-kolom tanpa pengekang lateral keluar bidang
sistem rangka pemikul gaya gempa perlu direncanakan dengan
menganggap tinggi kolom sebesar jarak dari kekangan lateral yang
berdekatan dalam analisis tekuk keluar bidang sistem rangka
pemikul gempa dan perlu memenuhi ketentuan mengenai
komponen struktur dengan beban kombinasi dan torsi, kecuali bila:
1) Beban terfaktor pada kolom ditentukan dengan kombinasi
beban 1,2D+0,5L ± E, dengan E adalah yang terkecil dari kedua
nilai berikut ini:
(a) Beban gempa teramplifikasi sebesar Ω0 Eh;
(b) 125% dari kuat rencana rangka yang direncanakan
berdasarkan kuat lentur rencana balok atau kuat geser
rencana daerah panel.
2) Nilai L/r kolom tersebut tidak melampaui 60;
3) Kuat lentur perlu kolom keluar bidang sistem rangka pemikul
gaya gempa harus mencakup momen yang diakibatkan oleh
gaya pada sayap balok yang ditetapkan pada Butir 15.7.7.1(2.b)
ditambah dengan pengaruh momen orde kedua akibat
simpangan sayap kolom.
15.7.8 Pengekang lateral pada balok

134 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Kedua pelat sayap balok harus dikekang secara lateral dengan cara
langsung atau tak langsung. Panjang daerah yang tak terkekang
secara lateral tidak boleh melampaui 17.500ry / f y . Sebagai
tambahan, pengekang lateral harus dipasang dekat titik tangkap
beban-beban terpusat, perubahan penampang, dan lokasi-lokasi
lainnya yang mana analisis menunjukkan kemungkinan terbentuknya
sendi plastis pada saat terjadinya deformasi inelastis pada SRPMK.

15.8 Persyaratan untuk Sistem Rangka Pemikul Momen Terbatas


(SRPMT)

15.8.1 Ruang lingkup


SRPMT diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis secara
moderat akibat gaya gempa rencana. SRPMT harus memenuhi
persyaratan pada butir ini dan harus direncanakan sedemikian rupa
sehingga deformasi inelastis akibat beban gempa rencana
terakomodasi dengan tercapainya pelelehan pada komponen struktur
untuk rangka dengan sambungan kaku, atau tercapainya pelelehan
pada sambungan untuk rangka dengan sambungan semi kaku.
SRPMT harus memenuhi semua persyaratan untuk SRPMK pada
Butir 15.7 kecuali untuk beberapa persyaratan yang berubah yang
diberikan pada Butir 15.8.2, 15.8.3 dan 15.8.4 berikut:

15.8.2 Sambungan balok-ke-kolom

15.8.2.1 Perencanaan semua sambungan balok-ke-kolom yang digunakan


pada Sistem Pemikul Beban Gempa harus didasarkan pada hasil-
hasil pengujian kualifikasi yang menunjukkan rotasi inelastis
sekurang-kurangnya 0,02 radian. Hasil-hasil pengujian kualifikasi
didapat terhadap sekurang-kurangnya dari dua pengujian siklik dan
harus memenuhi persyaratan pada Butir 15.7.2.1.
15.8.2.2 Pengujian sambungan balok-ke-kolom harus memperlihatkan kuat
lentur, yang diukur di muka kolom, sekurang-kurangnya sama
dengan momen plastis nominal balok M p pada saat terjadinya
rotasi inelastis yang disyaratkan, kecuali bila:
a) Kuat lentur balok lebih ditentukan oleh tekuk lokal daripada
oleh tegangan leleh bahan, atau bila sambungan
menghubungkan balok dengan penampang melintang yang
direduksi maka kuat lentur minimumnya sama dengan
0,8M p dari balok pada pengujian;

135 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

b) Sambungan-sambungan yang memungkinkan terjadinya rotasi


dari komponen struktur yang tersambung dapat diijinkan,
selama dapat ditunjukkan menggunakan analisis yang rasional
bahwa tambahan simpangan antar lantai yang disebabkan oleh
deformasi sambungan dapat diakomodasikan oleh struktur
bangunan. Analisis rasional yang dilakukan harus
memperhitungkan stabilitas sistem rangka secara keseluruhan
dengan memperhatikan pengaruh orde kedua.

15.8.3 Batasan-batasan terhadap balok dan kolom


15.8.3.1 Rasio Lebar terhadap Tebal: Balok-balok harus memenuhi
persyaratan λ p pada Tabel 7.5-1. Apabila perbandingan pada
persamaan (15.7-4) adalah lebih kecil atau sama dengan 1,25,
kolom-kolom harus memenuhi persyaratan λ p pada Tabel 15.7-1.
Bila hal-hal tersebut tidak dipenuhi maka kolom-kolom harus
memenuhi persyaratan λ p pada Tabel 7.5-1.

15.8.4 Pengekang lateral pada balok


Kedua pelat sayap dari balok harus dikekang secara lateral dengan
cara langsung atau tak langsung. Panjang daerah yang tak terkekang
secara lateral tidak boleh melampaui 25.250ry / f y . Sebagai
tambahan, pengekang lateral harus dipasang dekat titik tangkap
beban-beban terpusat, perubahan penampang, dan lokasi-lokasi
lainnya yang mana menunjukkan kemungkinan terbentuknya sendi
plastis pada saat terjadinya deformasi inelastis pada SRPMT.

15.9 Persyaratan untuk Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa


(SRPMB)

15.9.1 Ruang lingkup


SRPMB diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis secara
terbatas pada komponen struktur dan sambungan-sambungannya
akibat gaya gempa rencana. SRPMB harus memenuhi persyaratan
pada butir-butir di bawah ini.
15.9.2 Sambungan balok-ke-kolom
15.9.2.1 Sambungan balok-ke-kolom harus menggunakan las atau baut
mutu tinggi. Dapat digunakan sambungan kaku atau sambungan
semi kaku sebagai berikut:
a) Sambungan kaku yang merupakan bagian dari Sistem Pemikul
Beban Gempa harus mempunyai kuat lentur perlu Mu yang

136 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

besarnya paling tidak sama dengan yang terkecil dari a)


1,1R y M p balok atau gelagar, atau b) momen terbesar yang
dapat disalurkan oleh sistem rangka pada titik terebut. Untuk
sambungan dengan sambungan pelat sayap yang dilas, pelapis
las dan kelebihan las harus dibuang dan diperbaiki kecuali
pelapis pelat sayap atas yang tetap diperbolehkan jika melekat
pada pelat sayap kolom dengan las sudut menerus di bawah las
tumpul sambungan penetrasi penuh. Las tumpul penetrasi
sebagian dan las sudut tidak boleh digunakan untuk memikul
gaya tarik pada sambungan;
Sebagai alternatif, perencanaan dari semua sambungan balok-
ke-kolom yang digunakan pada Sistem Pemikul Beban Gempa
harus didasarkan pada hasil-hasil pengujian kualifikasi yang
menunjukkan rotasi inelastis sekurang-kurangnya 0,01 radian.
Hasil-hasil pengujian kualifikasi didapat terhadap sekurang-
kurangnya dari dua pengujian siklik dan harus memenuhi
persyaratan pada Butir 15.7.2.1;
b) Sambungan semi kaku diizinkan jika syarat-syarat di bawah ini
dipenuhi:
(i) Sambungan tersebut harus memenuhi kekuatan yang
dipersyaratan pada Butir 15.1;
(ii) Kuat lentur nominal sambungan melebihi nilai yang lebih
kecil daripada 50% M p balok atau kolom yang
disambungkan;
(iii) Harus mempunyai kapasitas rotasi yang dibuktikan
dengan uji beban siklik sebesar yang dibutuhkan untuk
mencapai simpangan antar lantai;
(iv) Kekakuan dan kekuatan sambungan semi kaku ini harus
diperhitungkan dalam perencanaan, termasuk dalam
perhitungan stabilitas rangka secara keseluruhan.
15.9.2.2 Untuk sambungan kaku, gaya geser terfaktor Vu pada sambungan
balok-ke-kolom harus ditetapkan berdasarkan kombinasi
pembebanan 1,2 D + 0,5 L ditambah gaya geser yang berasal dari
Mu seperti yang ditentukan pada Butir 15.9.2.1(a). Untuk
sambungan semi kaku, Vu harus ditentukan berdasarkan kombinasi
pembebanan di atas ditambah dengan gaya geser yang berasal dari
momen ujung maksimum yang dapat dipikul oleh sambungan
tersebut.
15.9.3 Pelat terusan
Jika sambungan momen penuh dibuat dengan melas pelat sayap balok
atau pelat sambungan untuk sayap balok secara langsung ke pelat
sayap kolom maka harus digunakan pelat terusan untuk meneruskan

137 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

gaya dari pelat sayap balok ke pelat badan kolom. Pelat ini harus
mempunyai ketebalan minimum sebesar tebal pelat sayap balok atau
pelat sambungan sayap balok. Sambungan pelat terusan ke pelat
sayap kolom harus dilakukan dengan las tumpul penetrasi penuh, atau
las tumpul penetrasi sebagian dari kedua sisi yang diperkuat dengan
las sudut, atau las sudut di kedua sisi dan harus mempunyai kekuatan
sama dengan kuat rencana luas bidang kontak antara pelat terusan
dengan pelat sayap kolom. Sambungan pelat terusan ke pelat badan
kolom harus mempunyai kuat geser rencana sama dengan yang
terkecil dari persyaratan berikut:
a) Jumlah kuat rencana dari sambungan pelat terusan ke pelat sayap
kolom;
b) Kuat geser rencana bidang kontak pelat terusan dengan pelat
badan kolom;
c) Kuat rencana geser daerah panel;
d) Gaya sesungguhnya yang diteruskan oleh pengaku.
Pelat terusan tidak diperlukan jika model uji sambungan
menunjukkan bahwa rotasi plastis yang direncanakan dapat dicapai
tanpa menggunakan pelat terusan tersebut.

15.10 Persyaratan untuk Sistem Rangka Batang Pemikul Momen


Khusus (SRBPMK)

15.10.1 Ruang Lingkup


SRBPMK adalah suatu struktur rangka batang pemikul momen yang
dipasang secara horizontal. Pada SRBPMK ada suatu segmen khusus
yang terdiri dari beberapa panel dengan batang-batangnya
direncanakan secara khusus. SRBPMK direncanakan mengalami
deformasi inelastis yang cukup besar pada segmen khusus saat
memikul gaya-gaya akibat beban gempa rencana. Jarak antar kolom
pada SRBPMK dibatasi tidak lebih dari 20 meter dan tinggi
keseluruhan tidak lebih dari 2 meter. Kolom-kolom dan segmen
lainnya selain segmen khusus harus direncanakan untuk tetap dalam
keadaan elastis akibat gaya-gaya yang dihasilkan oleh segmen khusus
pada saat mengalami pelelehan penuh hingga tahap perkerasan
regangan. SRBPMK harus memenuhi ketentuan di bawah ini.
15.10.2 Segmen khusus
Setiap rangka batang horizontal yang menjadi bagian dari Sistem
Pemikul Beban Gempa harus mempunyai segmen khusus di bagian
tengah rangka batang. Panjang segmen khusus harus berada di antara
0,1 dan 0,5 kali panjang bentang rangka batang. Perbandingan

138 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

panjang terhadap tinggi setiap panel dari segmen khusus ini tidak
boleh lebih besar dari 1,5 dan tidak boleh lebih kecil dari 0,67.
Panel-panel dari segmen khusus harus berupa panel Vierendeel atau
panel bresing jenis X. Kombinasi antara keduanya atau konfigurasi
bresing lainnya tidak diizinkan. Jika batang diagonal digunakan dalam
segmen khusus maka harus diatur dalam pola berbentuk X yang
dipisahkan oleh komponen struktur vertikal. Batang diagonal ini harus
disambung ditempat persilangannya. Kuat rencana sambungan ini
harus mampu memikul gaya paling tidak sama dengan 0,25 kali kuat
tarik nominal batang diagonal. Sambungan baut tidak boleh digunakan
untuk batang diagonal pada segmen khusus.
Sambungan tidak boleh berada pada batang tepi atas dan tepi bawah
pada segmen khusus. Sambungan juga tidak boleh berada pada
daerah setengah panel dari ujung-ujung segmen khusus. Gaya-gaya
aksial pada batang diagonal pada segmen khusus akibat beban mati
dan beban hidup terfaktor tidak boleh melebihi 0,03 f y Ag .

15.10.3 Kuat nominal batang pada segmen khusus


Pada pelelehan penuh, segmen khusus mengerahkan kuat geser
nominal vertikal dari kuat nominal lentur batang-batang tepi dan
melalui kuat aksial tarik dan tekan nominal batang diagonal. Batang-
batang tepi bawah dan atas harus dibuat dari penampang prismatis
dan harus memberikan paling tidak 25% gaya geser vertikal yang
dibutuhkan dalam keadaan pelelehan penuh. Gaya aksial terfaktor
yang bekerja pada batang-batang tepi tidak boleh melampaui
0,45φ f y Ag , dengan φ = 0,9. Batang diagonal pada setiap panel pada
segmen khusus ini harus dibuat dari penampang yang sama
ukurannya. Sambungan ujung batang diagonal pada segmen khusus
harus mempunyai kuat rencana paling tidak sama dengan kuat tarik
aksial nominal batang diagonal, R y f y Ag .

15.10.4 Kuat nominal batang bukan segmen khusus


Semua batang dan sambungan pada SRBPMK, kecuali pada segmen
khusus seperti pada Butir 15.10.2, harus memiliki kuat rencana untuk
memikul kombinasi pembebanan (6.2-4), (6.2-5), dan (6.2-6) serta
beban lateral yang diperlukan untuk memobilisasi kuat geser nominal
vertikal pada setiap segmen, Vne, seperti berikut ini:
Vne = 3,75 R y M nc / Ls + 0,075 EI ( L − Ls ) / L3s + R y ( N nt + 0,3 N nc ) sinα
(15.10 -1)
Keterangan:
Ry adalah faktor modifikasi tegangan leleh sesuai Butir 15.5.2
Mnc adalah kuat lentur nominal batang tepi pada segmen khusus

139 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

EI adalah kekakuan lentur elastis batang tepi segmen khusus


L adalah panjang bentang SRBPMK
Ls adalah panjang segmen khusus
Nnt adalah kuat tarik aksial nominal batang diagonal pada segmen
khusus
Nnc adalah kuat tekan aksial nominal batang diagonal pada segmen
khusus
α adalah sudut antara batang diagonal dengan horizontal
15.10.5 Kekompakan
Batang diagonal pada segmen khusus harus dibuat dari batang pelat
dengan perbandingan lebar terhadap tebal lebih kecil atau sama
dengan 2,5. Perbandingan lebar terhadap tebal batang-batang tepi
tidak boleh melebihi nilai λ p pada Tabel 15.7-1. Perbandingan lebar
terhadap tebal penampang siku dan pelat sayap dan pelat badan
penampang T yang dipakai untuk batang-batang tepi pada segmen
khusus tidak boleh melebihi 135 / f y .

15.10.6 Bresing lateral


Batang tepi atas dan bawah dari SRBPMK harus dikekang secara
lateral pada ujung-ujung segmen khusus, dan pada interval tidak
melebihi L p sesuai dengan Butir 7 standar ini di sepanjang bentang
SRBPMK. Setiap bresing lateral pada ujung dan di dalam segmen
khusus harus direncanakan mempunyai kuat rencana paling tidak 5%
dari kuat tekan aksial nominal Nnc batang tepi pada segmen khusus.
Bresing lateral di luar segmen khusus harus mempunyai kuat rencana
paling tidak 2,5% dari kuat tekan nominal Nnc yang terbesar dari
batang tepi yang berdekatan.

15.11 Persyaratan untuk sistem rangka bresing konsentrik khusus


(SRBKK)

15.11.1 Ruang lingkup


SRBKK diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis yang cukup
besar akibat gaya gempa rencana. SRBKK memiliki tingkat daktilitas
yang lebih tinggi daripada tingkat daktilitas Sistem Rangka Bresing
Konsentrik Biasa (SRBKB) mengingat penurunan kekuatannya yang
lebih kecil pada saat terjadinya tekuk pada batang bresing tekan.
SRBKK harus memenuhi persyaratan-persyaratan di bawah ini:

15.11.2 Batang bresing

140 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.11.2.1 Kelangsingan batang bresing harus memenuhi syarat kelangsingan


k L 2.625
yaitu c ≤ .
r fy

15.11.2.2 Beban aksial terfaktor pada batang bresing tidak boleh melebihi
φcNn.
15.11.2.3 Distribusi Beban Lateral: Pada bidang bresing, batang-batang
bresing harus dipasang dengan arah selang-seling, sedemikian rupa
sehingga pada masing-masing arah gaya lateral yang sejajar dengan
bidang bresing, minimal 30% tapi tidak lebih dari 70% gaya
horizontal total harus dipikul oleh batang bresing tarik, kecuali jika
kuat nominal tekan Nn untuk setiap bresing lebih besar daripada
beban terfaktor Nu sesuai dengan kombinasi pembebanan (15.3-1)
dan (15.3-2). Bidang bresing adalah suatu bidang yang
mengandung batang-batang bresing atau bidang-bidang paralel
yang mengandung batang-batang bresing dengan jarak antar
bidang-bidang tersebut tidak lebih dari 10% dimensi tapak
bangunan tegak lurus bidang tersebut.
15.11.2.4 Perbandingan Lebar terhadap Tebal: Perbandingan lebar terhadap
tebal penampang batang bresing tekan yang diperkaku ataupun
yang tidak diperkaku harus memenuhi persyaratan dalam Tabel
7.5-1 dan persyaratan-persyaratan berikut ini:
1) Batang bresing harus bersifat kompak (yaitu λ < λ p ).
Perbandingan lebar terhadap tebal untuk penampang siku tidak
boleh lebih dari 135 f y ;
2) Penampang bulat berongga harus mempunyai perbandingan
diameter luar terhadap tebal dinding sesuai dengan Tabel 15.7-
1, kecuali jika dinding penampang tersebut diberi pengaku;
3) Penampang persegi berongga harus mempunyai perbandingan
lebar terhadap tebal dinding sesuai dengan Tabel 15.7-1,
kecuali jika dinding penampang tersebut diberi pengaku.
15.11.2.5 Batang Bresing Tersusun dengan Jahitan: Jarak antar jahitan pada
batang bresing tersusun harus sedemikian rupa sehingga
kelangsingan l/r dari setiap elemen yang berada di antara titik-titik
jahitan tidak melebihi 0,4 kali kelangsingan batang bresing
tersusun.
Kuat geser rencana total jahitan minimal sama dengan kuat tarik
rencana masing-masing elemen dari batang bresing. Jarak antar
jahitan harus seragam dan jumlah jahitan tidak kurang dari dua.

141 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Jahitan yang menggunakan baut tidak boleh diletakkan di daerah


1/4 bentang bersih batang bresing yang di tengah.
Pengecualian: Jika dapat dibuktikan bahwa batang bresing akan
mengalami tekuk tanpa menyebabkan geser pada jahitan maka
jarak antar jahitan harus sedemikian rupa sehingga kelangsingan l/r
setiap elemen yang berada di antara jahitan tidak melebihi 0,75 kali
kelangsingan maksimum batang bresing.

15.11.3 Sambungan batang bresing


15.11.3.1 Kuat Perlu: Kuat perlu sambungan bresing (termasuk dalam hal ini
sambungan-sambungan balok-ke-kolom yang merupakan bagian
dari sistem bresing) harus diambil sebagai nilai terkecil dari hal-hal
berikut:
a) Kuat nominal aksial tarik batang bresing yang ditetapkan
sebesar R y f y Ag ;
b) Gaya maksimum, berdasarkan hasil analisis, yang dapat
dipindahkan oleh sistem struktur ke batang bresing.
15.11.3.2 Kuat Tarik: Kuat tarik rencana batang-batang bresing dan
sambungannya, berdasarkan kuat batas tarik fraktur pada luas neto
penampang efektif dan kuat geser fraktur yang ditetapkan pada
Butir 10, minimal sama dengan kuat perlu pada Butir 15.11.3.1.
15.11.3.3 Kuat Lentur: Pada bidang kritis di mana tekuk batang bresing akan
terjadi maka kuat lentur rencana sambungan harus ≥ 1,1R y M p (kuat
lentur nominal yang diharapkan dari batang bresing terhadap
sumbu tekuk kritisnya).
Pengecualian: Sambungan-sambungan batang bresing yang
memenuhi persyaratan Butir 15.11.3.2, yang dapat mengakomodasi
rotasi inelastis sehubungan dengan deformasi bresing pasca tekuk,
dan yang mempunyai kuat rencana minimal sama dengan Ag f cr
(kuat tekan nominal batang bresing), dapat digunakan.
15.11.3.4 Pelat Buhul: Perencanaan pelat buhul harus memperhitungkan
pengaruh tekuk.
15.11.4 Persyaratan khusus untuk konfigurasi bresing khusus
15.11.4.1 Bresing Tipe V dan Tipe V Terbalik: Sistem rangka yang
menggunakan bresing tipe V dan tipe V terbalik harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1) Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus menerus
dari kolom-ke-kolom;

142 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

2) Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus


direncanakan untuk memikul pengaruh semua beban mati dan
hidup berdasarkan kombinasi pembebanan persamaan (6.2-4),
(6.2-2), dan (6.2-3), dengan menganggap bahwa batang bresing
tidak ada;
3) Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus
direncanakan untuk memikul pengaruh kombinasi pembebanan
(6.2-4) dan (6.2-5) kecuali bahwa beban Qb harus
disubstitusikan pada suku E. Qb adalah pengaruh dari beban
vertikal maksimum yang disebabkan oleh bertemunya batang
bresing dengan balok. Qb harus dihitung dengan menggunakan
minimum sebesar N y untuk bresing dalam tarik dan
maksimum sebesar 0,3 φcNn untuk bresing tekan;
4) Sayap-sayap atas dan bawah balok pada titik persilangan
dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul gaya
lateral yang besarnya sama dengan 2% kuat nominal sayap
balok f y b f t bf .

Kekecualian: Persyaratan pada Butir 15.11.4.1(2) dan 15.11.4.1(3)


di atas tidak berlaku untuk penthouse, bangunan bertingkat satu,
atau tingkat tertinggi bangunan.
15.11.4.2 Bresing Tipe K: Bresing tipe K tidak diperkenankan digunakan
pada SRBKK.
15.11.5 Kolom
Kolom pada SRBKK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
15.11.5.1 Perbandingan Lebar terhadap Tebal: Perbandingan lebar terhadap
tebal penampang kolom dalam tekan yang diberi pengaku ataupun
yang tidak diberi pengaku, harus memenuhi persyaratan untuk
batang bresing pada Butir 15.11.2.4.
15.11.5.2 Penyambungan: Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan
pada Butir 15.6.2, penyambungan kolom pada SRBKK juga harus
direncanakan untuk mampu memikul minimal kuat geser nominal
dari kolom terkecil yang disambung dan 50% kuat lentur nominal
penampang terkecil yang disambung. Penyambungan harus
ditempatkan di daerah 1/3 tinggi bersih kolom yang di tengah.

15.12 Persyaratan untuk Sistem Rangka Bresing Konsentrik Biasa


(SRBKB)

15.12.1 Ruang lingkup

143 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

SRBKB diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis secara


terbatas apabila dibebani oleh gaya-gaya yang berasal dari beban
gempa rencana. SRBKB harus memenuhi persyaratan pada Butir
15.12 berikut ini.
15.12.2 Batang bresing
15.12.2.1 Kelangsingan: Batang bresing harus memenuhi syarat kelangsingan
k c L 1.900
≤ , kecuali sesuai dengan yang diizinkan pada Butir
r fy
15.12.5.
15.12.2.2 Beban aksial terfaktor pada batang bresing tidak boleh melebihi
0,8φcNn.
15.12.2.3 Distribusi Beban Lateral: Pada bidang bresing, batang-batang
bresing harus dipasang dengan arah selang-seling, sedemikian rupa
sehingga pada masing-masing arah gaya lateral yang sejajar dengan
bidang bresing, minimal 30% tapi tidak lebih dari 70% gaya
horizontal total harus dipikul oleh batang bresing tarik, kecuali jika
kuat nominal tekan Nn untuk setiap batang bresing lebih besar
daripada beban terfaktor Nu sesuai dengan kombinasi pembebanan
(15.3-1) dan (15.3-2). Bidang bresing adalah suatu bidang yang
mengandung batang-batang bresing atau bidang-bidang paralel
yang mengandung batang-batang bresing di mana jarak antar
bidang-bidang tersebut tidak lebih daripada 10% dari dimensi tapak
bangunan tegak lurus bidang tersebut.
15.12.2.4 Perbandingan Lebar terhadap Tebal: Perbandingan lebar terhadap
tebal penampang batang bresing tekan yang diperkaku ataupun
yang tidak diperkaku harus memenuhi persyaratan-persyaratan
dalam Tabel 7.5-1 dan persyaratan-persyaratan berikut ini:
1) Batang bresing harus bersifat kompak atau tidak kompak, tetapi
tidak langsing (λ<λr). Perbandingan lebar terhadap tebal untuk
penampang siku tidak boleh lebih dari 135 / f y ;
2) Penampang bulat berongga harus mempunyai perbandingan
diameter luar terhadap tebal dinding sesuai dengan Tabel 15.7-
1, kecuali jika dinding penampang tersebut diberi pengaku;
3) Penampang persegi berongga harus mempunyai perbandingan
lebar terhadap tebal dinding sesuai dengan Tabel 15.7-1,
kecuali jika dinding penampang tersebut diberi pengaku.
15.12.2.5 Batang Bresing Tersusun dengan Jahitan: Untuk semua batang
bresing tersusun, jahitan pertama dari baut atau las pada setiap sisi
dari tengah batang tersusun harus direncanakan untuk meneruskan

144 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

gaya yang besarnya sama dengan 50% kuat nominal satu elemen.
Jumlah jahitan haruslah tidak kurang dari dua dan dipasang dengan
jarak (spasi) yang sama terhadap titik tengah batang bresing.
15.12.3 Sambungan batang bresing
15.12.3.1 Kuat Perlu: Kuat perlu sambungan bresing (termasuk dalam hal ini
sambungan-sambungan balok-ke-kolom yang merupakan bagian
dari sistem bresing) haruslah diambil sebagai nilai terkecil dari hal-
hal berikut:
a) Kuat nominal aksial tarik batang bresing yang ditetapkan
sebesar R y f y Ag ;
b) Gaya pada bresing akibat kombinasi pembebanan (15.3-1) dan
(15.3-2), dan gaya pada batang bresing yang merupakan hasil
dari kombinasi pembebanan (15.3-1) dan (15.3-2);
c) Gaya maksimum, berdasarkan hasil analisis, yang dapat
dipindahkan oleh sistem struktur ke batang bresing.
15.12.3.2 Kuat Tarik: Kuat tarik rencana batang-batang bresing dan
sambungannya, berdasarkan kuat batas tarik fraktur pada luas
bersih penampang efektif dan kuat geser fraktur yang ditetapkan
pada Butir 10, minimal sama dengan kuat perlu pada Butir
15.12.3.1.
15.12.3.3 Kuat Lentur: Pada bidang kritis di mana tekuk batang bresing akan
terjadi maka kuat lentur rencana sambungan harus ≥ 1,1R y M p
(kuat lentur nominal yang diharapkan dari batang bresing terhadap
sumbu tekuk kritisnya).
Pengecualian: Sambungan-sambungan batang bresing yang
memenuhi persyaratan Butir 15.12.3.2, yang dapat mengakomodasi
rotasi inelastis sehubungan dengan deformasi bresing pasca tekuk,
dan yang mempunyai kuat rencana minimal sama dengan Ag f cr
(kuat tekan nominal batang bresing), dapat digunakan.
15.12.3.4 Pelat Buhul: Perencanaan pelat buhul harus memperhitungkan
pengaruh tekuk.

15.12.4 Persyaratan khusus untuk konfigurasi bresing


15.12.4.1 Bresing Tipe V dan Tipe V Terbalik: Sistem rangka yang
menggunakan bresing tipe V dan tipe V terbalik harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1) Kuat rencana batang bresing minimal 1,5 kali beban terfaktor
berdasarkan kombinasi pembebanan (6.2-4), (6.2-5), dan (6.2-
6);

145 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

2) Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus menerus


dari kolom-ke-kolom;
3) Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus
direncanakan untuk memikul pengaruh semua beban mati dan
hidup berdasarkan kombinasi pembebanan (6.2-1) dan (6.2-2),
dengan menganggap bahwa batang bresing tidak ada;
4) Sayap-sayap atas dan bawah balok pada titik persilangan
dengan batang bresing harus direncanakan mampu memikul
gaya lateral yang besarnya sama dengan 2% kuat nominal
sayap balok f y b f t bf .

15.12.4.2 Bresing Tipe K: Bangunan dengan menggunakan bresing tipe K


tidak diperkenankan kecuali bila memenuhi persyaratan pada Butir
15.12.5.
15.12.5 Bangunan-bangunan rendah
Jika digunakan kombinasi pembebanan (6.2-1) dan (6.2-2) dalam
menentukan kuat perlu komponen-komponen struktur dan sambungan
maka diijinkan untuk merencanakan SRBKB pada struktur atap dan
bangunan dua tingkat atau kurang tanpa persyaratan khusus pada Butir
15.12.2 sampai dengan Butir 15.12.4.

15.13 Persyaratan untuk Sistem Rangka Bresing Eksentrik (SRBE)

15.13.1 Ruang lingkup


Pada SRBE ada suatu bagian dari balok yang disebut Link dan
direncanakan secara khusus. SRBE diharapkan dapat mengalami
deformasi inelastis yang cukup besar pada Link saat memikul gaya-
gaya akibat beban gempa rencana. Kolom-kolom, batang bresing, dan
bagian dari balok di luar Link harus direncanakan untuk tetap dalam
keadaan elastis akibat gaya-gaya yang dihasilkan oleh Link pada saat
mengalami pelelehan penuh hingga tahap perkerasan regangan
kecuali bila diatur lain dalam Butir 15.13. SRBE harus memenuhi
ketentuan di bawah ini.
15.13.2 Link
Link adalah bagian dari balok yang direncanakan untuk mendisipasi
energi pada saat terjadi gempa kuat.

146 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.13.2.1 Link harus memenuhi perbandingan lebar terhadap tebal sesuai


dengan Tabel 15.7-1.
15.13.2.2 Tegangan leleh bahan baja yang digunakan pada Link tidak boleh
melebihi 350 MPa.
15.13.2.3 Pelat badan dari Link harus berupa pelat tunggal tanpa pelat
pengganda dan tanpa penetrasi.
15.13.2.4 Kecuali diatur pada Butir 15.13.2.6, kuat geser rencana Link, φVn,
harus lebih besar daripada kuat geser perlu Vu, dengan:
Vn = kuat geser nominal Link, diambil yang terkecil dari V p atau
2M p / e
V p = 0,6 f y (d − 2t f )t w
φ = 0,9
e adalah panjang Link.

15.13.2.5 Apabila beban aksial terfaktor pada Link, Nu, tidak melebihi
0,15 N y , dengan N y = Ag f y , pengaruh gaya aksial pada kuat geser
rencana Link tidak perlu diperhitungkan.
15.13.2.6 Apabila beban terfaktor pada Link, Nu, melebihi 0,15 N y , ketentuan
tambahan berikut ini harus dipenuhi:
1) Kuat geser rencana Link harus ditentukan sebagai nilai terkecil
dari φ V pa atau 2φ M pa / e , dengan:

Vpa = V p 1 − ( N u / N y ) 2
[
Mpa = 1,18M p 1 − ( N u / N y ) ]
φ = 0,9
2) Panjang Link tidak boleh melebihi:
[ ]
1,15 − 0,5 ρ ' ( Aw / Ag ) 1,6 M p / V p untuk ρ’ (Aw/Ag) ≥ 0,3
1,6 M p / V p untuk ρ’ (Aw/Ag) < 0,3
dengan,
Aw = (d b − 2t f )t w
ρ’ = Nu/Vu
15.13.2.7 Sudut Rotasi Link adalah sudut inelastis antara Link dan bagian
balok di luar Link pada saat simpangan antar lantai sama dengan
simpangan antar lantai rencana, ∆M. Sudut Rotasi Link tidak boleh
melebihi harga-harga berikut:
1) 0,08 radian untuk e ≤ 1,6 M p / V p ;

147 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

2) 0,02 radian untuk e ≤ 2,6 M p / V p ;


3) Nilai Sudut Rotasi Link ditentukan dengan interpolasi linier
untuk nilai e yang berada di antara keduanya.
15.13.3 Pengaku Link
15.13.3.1 Di titik pertemuan dengan batang bresing, pada Link harus
dipasang pengaku setinggi badan Link dan berada di kedua sisi
pelat badan Link. Pengaku tersebut harus mempunyai lebar total
tidak kurang dari (bf - 2 tw) dan ketebalan yang tidak kurang dari
nilai terbesar dari 0,75 tw atau 10 mm, dengan bf dan tw adalah lebar
pelat sayap dan tebal pelat badan Link.
15.13.3.2 Pengaku badan antara harus direncanakan pada Link dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Link dengan panjang ≤ 1,6 M p / V p harus direncanakan
memiliki pengaku antara dengan spasi tidak melebihi harga-
harga berikut: (30t w − d / 5) untuk Sudut Rotasi Link 0,08
radian, atau (52t w − d / 5) untuk Sudut Rotasi Link ≤ 0,02
radian. Interpolasi linier digunakan untuk Sudut Rotasi Link di
antara 0,08 radian dan 0,02 radian;
2) Link dengan panjang di antara 2,6 M p / V p dan 5M p / V p harus
direncanakan memiliki pengaku antara berspasi 1,5b f dari
setiap ujung Link;
3) Link dengan panjang di antara 1,6 M p / V p dan 2,6 M p / V p
bf

(b1 + b2) ≥ (bf - 2 tw)


ts ≥ 0,75 tw atau 10 mm
Pengaku Link (yang terbesar)

b1 tw b2 ts

harus direncanakan memiliki pengaku antara yang memenuhi


ketentuan butir 1 dan butir 2 di atas;
4) Link dengan panjang lebih besar dari 5M p / V p tidak
memerlukan pengaku antara;
5) Pengaku antara pada Link harus direncanakan setinggi pelat
badan. Pengaku Link dengan tinggi profil lebih kecil dari 600

148 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

mm hanya diperlukan pada salah satu sisi pelat badan Link.


Ketebalan pengaku satu sisi tersebut tidak boleh lebih kecil dari
harga terbesar di antara tw atau 10 mm, dan lebarnya tidak boleh
lebih kecil dari (b f / 2 − t w ) . Untuk Link dengan tinggi profil
lebih besar daripada 600 mm, pengaku antara harus
direncanakan pada kedua sisi dari pelat badan Link;
15.13.3.3 Sambungan las sudut yang menghubungkan pengaku dengan pelat
badan Link harus mempunyai kuat rencana yang cukup untuk
memikul gaya sebesar Ast f y , dengan Ast adalah luas penampang
pengaku. Kuat rencana las sudut yang menghubungkan pengaku
dan pelat sayap Link harus mampu memikul gaya sebesar
Ast f y / 4 .

15.13.4 Sambungan Link-ke-kolom


Sambungan Link-ke-kolom harus memenuhi persyaratan tambahan
sebagai berikut:
15.13.4.1 Sambungan Link-ke-kolom harus direncanakan berdasarkan hasil
pengujian siklik yang menunjukkan kemampuan rotasi inelastis
20% lebih besar daripada nilai yang dihitung pada saat terjadinya
simpangan antar lantai rencana, ∆Μ. Hasil pengujian kualifikasi
harus sesuai dengan ketentuan pada Butir 15.7.2.1 dan Butir
15.7.2.2, kecuali bahwa sudut rotasi inelastis harus ditentukan
menurut Butir 15.13.2.7.
15.13.4.2 Apabila digunakan perkuatan pada sambungan balok-ke-kolom
diujung Link dan kelelehan dihindarkan terjadi pada bagian Link
yang diperkuat maka Link boleh dianggap sebagai bagian balok
dari ujung perkuatan sampai ke sambungan bresing. Bila digunakan
Link jenis ini dan panjang Link tidak melebihi 1,6 M p / V p maka
pengujian siklik terhadap sambungan yang diperkuat tidak
diperlukan bila kuat rencana bagian yang diperkuat dan sambungan
balok-ke-kolom lebih besar atau sama dengan kuat perlu yang
dihitung berdasarkan keadaan Link yang mengalami pengerasan
regangan sesuai dengan Butir 15.13.6.1. Pengaku setinggi pelat
badan sesuai Butir 15.13.3.1 harus ditempatkan diperalihan antara
Link dan perkuatan.
15.13.5 Pengekang lateral pada Link
Pada ujung-ujung Link, pengekang lateral harus ditempatkan pada
kedua pelat sayap Link (atas dan bawah). Pengekang lateral tersebut
harus mempunyai kekuatan rencana sebesar 6% dari kuat nominal
pelat sayap Link sebesar R y f y b f t f .

149 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

15.13.6 Batang bresing dan balok di luar Link


15.13.6.1 Kuat kombinasi-aksial-dan-lentur perlu batang bresing harus
direncanakan berdasarkan gaya aksial dan momen lentur yang
ditimbulkan oleh 1,25 kali kuat geser nominal dari Link sebesar
1,25 R yVn , dengan Vn ditentukan sesuai dengan Butir 15.13.2. Kuat
rencana batang bresing, seperti ditentukan pada Butir 11, harus
lebih besar daripada kuat perlu yang disebutkan di atas.
15.13.6.2 Balok di luar Link harus direncanakan memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) Kuat perlu balok yang terletak di luar Link harus ditentukan
berdasarkan gaya-gaya yang ditimbulkan oleh paling tidak 1,1
kali kuat geser nominal Link sebesar R yVn , dengan Vn
ditentukan sesuai dengan Butir 15.13.2. Kuat rencana balok di
luar Link ini dapat ditentukan menggunakan ketentuan kuat
rencana yang dihitung berdasarkan Butir 8 dan mengalikannya
dengan faktor Ry;
2) Bila diperlukan, balok di luar Link harus direncanakan
menggunakan pengekang lateral untuk menjaga kestabilan
balok. Pengekang lateral harus direncanakan pada kedua pelat
sayap balok (atas dan bawah), dan masing-masing pengekang
lateral harus mempunyai kuat perlu sebesar paling sedikit 2%
dari kuat nominal pelat sayap balok sebesar f y b f t f .

15.13.6.3 Pada sambungan antara batang bresing dan balok diujung Link,
pertemuan as batang bresing dan as balok harus terletak di ujung
Link atau di dalam Link.
15.13.6.4 Kuat perlu sambungan batang bresing-ke-balok, pada ujung Link
dari batang bresing, harus ditentukan lebih besar atau sama dengan
kuat nominal batang bresing seperti yang ditentukan pada Butir
15.13.6.1. Tidak ada bagian dari sambungan ini yang boleh
melampaui panjang Link. Apabila batang bresing memikul
sebagian momen ujung Link maka sambungan harus direncanakan
sebagai sambungan kaku.
15.13.6.5 Perbandingan antara lebar dan tebal batang bresing harus
memenuhi nilai λp yang ditentukan dalam Tabel 7.5-1.

15.13.7 Sambungan balok-ke-kolom


Sambungan balok-ke-kolom pada ujung jauh Link diijinkan
direncanakan sebagai sendi pada bidang pelat badan. Kuat rencana

150 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

sambungan harus mampu memikul torsi terhadap sumbu memanjang


balok yang dihitung sebagai dua buah gaya yang sama besar dan
berlawanan arah masing-masing sebesar 2% dari kuat nominal pelat
sayap balok sebesar f y b f t f dan bekerja dalam arah lateral pada
pelat sayap balok.
15.13.8 Beban terfaktor kolom
Sebagai tambahan dari ketentuan pada Butir 15.6, beban terfaktor
kolom harus ditentukan berdasarkan kombinasi pembebanan (6.2-5)
dan (6.2-6), kecuali bahwa momen dan gaya aksial yang diteruskan
kepada kolom pada sambungan Link atau batang bresing tidak kurang
dari gaya-gaya yang ditimbulkan oleh 1,1 kali kuat nominal Link
sebesar 1,1R yVn , dengan Vn ditentukan seperti pada Butir 15.13.2.4.

151 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Tabel 15.2-1 Tabel di bawah ini menunjukkan klasifikasi sistem struktur, sistem pemikul beban gempa, faktor
modifikasi respons, R, dan faktor kuat cadang struktur, Ω0.

Sistem Struktur Deskripsi Sistem Pemikul Beban Gempa R Ω0


1. Sistem Dinding Penumpu 1. Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan bresing 2,8 2,2
[Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban baja tarik
gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing
memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul 2. Rangka bresing di mana bresing memikul beban gravitasi 4,4 2,2
dinding geser atau rangka bresing.]
2. Sistem Rangka Bangunan 1. Sistem rangka bresing eksentris (SRBE) 7,0 2,8
[Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang 2. Sistem rangka bresing konsentrik biasa (SRBKB) 5,6 2,2
pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul
3. Sistem rangka bresing konsentrik khusus (SRBKK) 6,4 2,2
dinding geser atau rangka bresing.]
3. Sistem Rangka Pemikul Momen 1. Sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMK) 8,5 2,8
[Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang 2. Sistem rangka pemikul momen terbatas (SRPMT) 6,0 2,8
pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul
rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur.] 3. Sistem rangka pemikul momen biasa (SRPMB) 4,5 2,8
4. Sistem rangka batang pemikul momen khusus 6,5 2,8
(SRBPMK)
4. Sistem Ganda 1. Dinding geser beton dgn SRPMB baja 4,2 2,8
[Terdiri dari: 1) rangka ruang yang memikul seluruh beban 2. SRBE baja
gravitasi; 2) pemikul beban lateral berupa dinding geser atau a. Dengan SRPMK baja 8,5 2,8
rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul b. Dengan SRPMB baja 4,2 2,8
momen harus direncanakan secara terpisah mampu memikul 3. SRBKB baja
sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral; 3) kedua a. Dengan SRPMK baja 6,5 2,8
sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama- b. Dengan SRPMB baja 4,2 2,8
sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi 4. SRBKK baja
sistem ganda.] a. Dengan SRPMK baja 7,5 2,8
b. Dengan SRPMB baja 4,2 2,8
5. Sistem Bangunan Kolom Kantilever Komponen struktur kolom kantilever 2,2 2,0
[Sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk
memikul beban lateral.]

152 dari 184


SNI 03 – 1729 – 2002

Tabel 15.7-1 Nilai batas perbandingan lebar terhadap tebal, λ p , untuk


elemen tekan

Nilai batas perbandingan


Keterangan elemen Perbandingan lebar
lebar terhadap tebal
terhadap tebal
λp

Sayap-sayap profil I, b/t 135


profil hibrida atau profil fy
tersusun dan profil kanal
dalam lentur

Pelat-pelat badan pada hc/tw Bila N u / φ b N y ≤ 0,125


kombinasi lentur dan
aksial tekan 1.365  Nu 
1 − 1,54 
f y  φ b N y 

Bila N u / φ b N y > 0,125


500  N u  665
2.33 − ≥
f y  φ b N y  fy

Penampang baja bulat D/t 9.000


berongga dalam aksial
tekan atau lentur fy
Penampang baja persegi b/t atau hc/t
290
berongga dalam aksial
tekan atau lentur fy

153 dari 184


16. PENGGAMBARAN

16.1 Aturan penggambaran


Bab ini mengatur tata cara penggambaran untuk gambar rencana,
gambar kerja, gambar lapangan, dan gambar pelaksanaan.
Gambar-gambar harus dipersiapkan sesuai dengan standar-standar
mengenai tata cara pembuatan gambar teknik yang diakui. Demikian
juga penggunaan simbol-simbol untuk pengelasan harus mengikuti
pedoman dan standar-standar yang diakui.

16.2 Informasi yang harus ditunjukan pada gambar


Gambar-gambar harus memberikan informasi mengenai dimensi,
bentuk penampang, dan posisi relatif setiap komponen struktur.
Gambar-gambar tersebut juga harus menunjukkan dimensi,
ketinggian lantai, sumbu-sumbu kolom, dan titik-titik kumpul serta
sambungan-sambungan dari setiap komponen struktur.
Gambar-gambar harus disiapkan dengan skala yang cukup sehingga
dapat menyampaikan informasi dengan jelas.
Bila diperlukan, gambar-gambar harus menunjukan mutu material
baja yang harus digunakan.
Bila digunakan baut atau baut mutu tinggi, mutu baut harus
diperlihatkan secara jelas pada gambar.
Lawan lendut struktur rangka batang dan balok-balok harus
diperlihatkan pada gambar.
Pada bagian-bagian yang di rencanakan untuk kontak logam dengan
logam seperti pada pelat landas kolom, sambungan lapis kolom atau
pada tumpuan pengaku pada sayap balok, besarnya pemesinan atau
pembubutan yang diperlukan pada ujung-ujung bagian tersebut harus
diperlihatkan secukupnya.

16.3 Penggambaran balok badan terbuka


Balok badan terbuka adalah balok pemikul lantai yang pelat badannya
terdiri dari rangka batang.
Gambar-gambar rencana harus memperlihatkan:
a) jarak maksimum antar balok, lawan lendut, tinggi balok
maksimum, dan landasan;

154 dari 184


b) Ukuran dari pelat landas bila balok tidak ditumpu oleh komponen
struktur baja;
c) Pengangkeran yang diperlukan;
d) Pengaku yang diperlukan;
e) Cara dan jarak pengikatan lantai baja pada sisi atas balok.
Pada gambar-gambar rencana perlu dicantumkan peringatan bahwa
pengikatan untuk elemen-elemen mekanikal, elektrikal, dan pipa-pipa
lainnya harus menggunakan alat penjepit yang memenuhi syarat atau
baut penyambung berbentuk U. Pengeboran atau pemotongan hanya
boleh dilakukan seijin perencana.

155 dari 184


17. PABRIKASI

17.1 Umum
Suatu komponen struktur yang dipabrikasi harus ditolak bila:
a) mutu materialnya tidak memenuhi persyaratan pada Butir 17.2;
atau
b) pabrikasinya tidak memenuhi persyaratan pada Butir 17.3; atau
c) tidak memenuhi toleransi yang disyaratkan pada Butir 17.4.
Namun, komponen struktur yang dipabrikasi tersebut dapat juga
diterima bila memenuhi hal-hal berikut:
(i) dapat dibuktikan bahwa secara struktural tetap memenuhi syarat
dan fungsi yang diharapkan; atau
(ii) lulus pengujian sesuai dengan butir-butir yang bersangkutan pada
Butir 20.
Komponen-komponen struktur yang dipabrikasi yang tidak
memenuhi Butir 17.1(i) atau 17.1(ii) di atas dan juga tidak memenuhi
Butir 17.2, 17.3, atau 17.4 harus ditolak.

17.2 Material
Semua material harus memenuhi persyaratan-persyaratan standar
material yang sesuai dengan yang disyaratkan pada Butir 3.1 dan 5.3.
Cacat permukaan pada baja harus dihilangkan dengan menggunakan
cara-cara yang disyaratkan pada Butir 3.1.
Mutu baja harus dapat diidentifikasikan pada semua tahap pabrikasi,
atau bajanya harus dinyatakan sebagai baja yang tidak
teridentifikasikan dan hanya digunakan sesuai dengan Butir 5.2.2.
Setiap penandaan pekerjaan baja harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga tidak merusak mutu materialnya.

17.3 Prosedur pabrikasi

17.3.1 Cara-cara
Semua komponen harus diluruskan atau dibentuk menjadi konfigurasi
yang direncanakan dengan cara-cara yang tidak akan mengurangi
mutu material menjadi lebih kecil daripada nilai-nilai yang digunakan
pada perencanaan. Baja dapat ditekuk atau dipres menjadi bentuk
yang diinginkan baik dengan proses panas maupun proses dingin.

157 dari 184


Pemanasan setempat atau cara mekanis dapat digunakan untuk
menghasilkan atau memperbaiki lawan lendut, lendutan ke samping,
dan ketidaklurusan. Suhu pada bagian yang dipanaskan tidak boleh
melebihi 650°C.

17.3.2 Sambungan tumpu kontak penuh


Sambungan tumpu kontak penuh dapat dihasilkan dengan cara
pemotongan dingin dengan gergaji atau dengan pemesinan.
Permukaan-permukaan dari sambungan tersebut harus sedemikian
rupa sehingga pada saat kedua ujung elemen dipertemukan,
alinyemen dari elemen-elemen tersebut dan celah yang terjadi harus
berada dalam batas toleransi yang disyaratkan pada Butir 17.4.3.2

17.3.3 Pemotongan
Pemotongan dapat dilakukan dengan cara yang dipandang paling
sesuai seperti gergaji, menggunting, cropping, pemesinan, api las atau
plasma, yang dipandang paling sesuai.
Pengguntingan bahan dengan ketebalan melebihi 16 mm tidak boleh
dilakukan bila material tersebut akan digalvanisasi dan akan
menerima gaya tarik atau momen lentur, kecuali bila material itu
dihilangkan tegangan sisanya sesudahnya.
Setiap potongan baik yang dilas maupun tidak dilas harus memiliki
kekasaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagaimana yang
diberikan pada Tabel 17.3.
Kekasaran permukaan yang tidak memenuhi syarat harus diperbaiki
dengan gurinda. Tanda-tanda bekas gerinda harus sejajar terhadap
arah potongan.
Takik dan dekok yang berjarak lebih dari 20t (dengan t adalah tebal
elemen) dan tidak melebihi 1% dari luas permukaan total pada suatu
permukaan yang memenuhi syarat, dapat diterima apabila cacat-cacat
yang melebihi t/5 tapi yang tidak lebih dalam dari 2 mm dihilangkan
dengan menggunakan pemesinan atau gerinda. Cacat melebihi batas-
batas di atas harus diperbaiki dengan las sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Sudut-sudut yang membuka ke dalam harus dibentuk bebas dari takik
dengan radius minimum 10 mm.

158 dari 184


Tabel 17.3 Kekasaran permukaan potongan maksimum
Penggunaan Kekasaran Maksimum
(CLA)
mikron meter
Penggunaan normal, yaitu dimana permukaan dan 25
tepi tetap seperti saat dipotong atau dengan sedikit
penghalusan
Daerah pelelehan komponen struktur kategori 1, 2, 12
atau 3
Catatan:
1. Nilai kekasaran dapat diperkirakan dengan membandingkan dengan permukaan
replika.
2. Teknik pemotongan dengan api dilakukan dengan mengacu pada standar yang
berlaku.
3. CLA: Centre Line Average Method.

17.3.4 Pengelasan
Pengelasan untuk semua jenis elemen, termasuk penghubung geser
jenis paku, pengelasan harus memenuhi ketentuan yang berlaku.

17.3.5 Pelubangan
Suatu lubang bulat untuk baut harus dipotong dengan mesin
pemotong dengan api, atau dibor ukuran penuh, atau dipons 3 mm
lebih kecil dan kemudian diperbesar, atau dipons ukuran penuh.
Lubang selot harus dipotong dengan mesin api atau dipons sekaligus
atau dibentuk dengan mengebor dua lubang berdekatan kemudian
diselesaikan dengan api.
Pemotongan lubang baut dengan api menggunakan tangan tidak
diperkenankan kecuali sebagai perbaikan di lapangan untuk lubang-
lubang pada pelat landas kolom.
Suatu lubang yang dipons hanya diizinkan pada material dengan
tegangan leleh ( f y ) tidak melebihi 360 MPa dan ketebalannya tidak
melebihi (5.600/ f y ) mm

17.3.6 Ukuran lubang


Diameter nominal dari suatu lubang yang sudah jadi, harus 2 mm
lebih besar dari diameter nominal baut untuk suatu baut yang
diameternya tidak melebihi 24 mm, dan maksimum 3 mm lebih besar

159 dari 184


untuk baut dengan diameter lebih besar, kecuali untuk lubang pada
pelat landas.
a) Lubang yang diperbesar atau lubang selot.
Lubang yang diperbesar atau lubang selot dapat diizinkan apabila
persyaratan berikut dipenuhi:
(i) Diameter lubang yang diperbesar maksimum adalah yang
terbesar dari nilai 1,25 df atau (d f + 8) mm, dengan df adalah
diameter baut nominal dalam milimeter;
(ii) Panjang lubang selot pendek maksimum adalah yang terbesar
dari nilai 1,33 df atau (d f + 10) mm dan lebarnya tidak boleh
melebihi ukuran lubang yang sesuai pada butir ini;
(iii) Panjang lubang selot maksimum adalah 1,5 d f dan lebarnya
tidak melebihi ukuran lubang yang sesuai pada Butir 17.3.5.2.
b) Pembatasan penggunaan
Penggunaan lubang yang diperbesar atau lubang selot harus
dibatasi sedemikian rupa sehingga persyaratan berikut dipenuhi:
(i) Lubang yang diperbesar
Lubang yang diperbesar dapat digunakan pada salah satu atau
seluruh pelat lapis dari suatu sambungan tipe tumpu atau tipe
friksi dengan syarat dipasang cincin pelat atau cincin
diperkeras di atas lubang yang diperbesar yaitu di bawah
kepala baut dan mur.
(ii) Lubang selot pendek
Lubang selot pendek dapat digunakan pada salah satu atau
seluruh pelat lapis dari suatu sambungan tipe tumpu atau tipe
friksi, dengan syarat bahwa dipasang cincin pelat atau cincin
diperkeras di atas lubang selot yaitu di bawah kepala baut
dan mur.
Pada sambungan tipe friksi yang memikul gaya geser, lubang
selot pendek dapat digunakan tanpa memperhatikan arah
pembebanan.
Pada sambungan tipe tumpu yang memikul gaya geser,
lubang selot pendek hanya boleh digunakan bila sambungan
tidak dibebani secara eksentris dan bila baut dapat menumpu
secara merata, dan bila arah selot tegak lurus pada arah
beban.
(iii) Lubang selot panjang
Lubang selot panjang hanya dapat digunakan pada pelat lapis
secara berselang-seling dalam suatu sambungan tipe tumpu
atau tipe friksi dengan syarat bahwa digunakan cincin pelat
dengan tebal minimum 8 mm untuk menutup seluruh lubang
selot panjang di bawah kepala baut dan murnya.

160 dari 184


Pada sambungan tipe friksi yang memikul gaya geser, lubang
selot panjang dapat digunakan tanpa memperhatikan arah
beban.
Pada sambungan tipe tumpu yang memikul gaya geser,
lubang selot panjang hanya boleh digunakan bila sambungan
tidak dibebani secara eksentris dan bila baut dapat menumpu
merata, dan bila arah selot tegak lurus pada arah beban.

17.3.7 Pembautan
Semua baut, mur, dan cincinnya harus memenuhi standar mutu yang
disyaratkan pada Butir 5.3.1 Semua material yang berada diantara
jepitan baut harus terbuat dari baja dan material kompresibel tidak
diperkenankan berada di antara jepitan tersebut.
Panjang baut harus sedemikian rupa sehingga paling sedikit satu ulir
baut penuh tampak di atas mur dan paling sedikit satu ulir ditambah
dengan sisa ulir yang bersangkutan tampak penuh dibawah mur
sesudah pengencangan.
Di bawah bagian yang berputar harus dipasang sebuah cincin.
Apabila suatu permukaan bidang kontak dengan kepala baut ataupun
mur mempunyai kemiringan melebihi 1:20 maka harus digunakan
cincin baji untuk mengatasi permukaan bidang miring tadi.
Komponen yang tidak berputar dipasang setelah ring baji tersebut.

Mur-mur yang digunakan pada suatu sambungan yang menerima


getaran harus diperkuat untuk mencegah pengenduran.
17.3.7.1 Baut bertegangan
Baut mutu tinggi yang bertegangan yang dipasang pada saat
pabrikasi harus dipasang sesuai dengan Butir 18.2.4 dan Butir
18.2.5. Permukaan kontak dari suatu sambungan yang
menggunakan baut bertegangan harus dipersiapkan sesuai Butir
17.3.7.2.
17.3.7.2 Persiapan permukaan-permukaan yang bersentuhan
Permukaan-permukaan yang bersentuhan harus dipersiapkan
sebagai berikut:
a) Semua minyak, kotoran, karat lepas, kerak lepas, dan cacat-
cacat lainnya pada permukaan kontak yang dapat menghalangi
kedudukan rapat dari bagian-bagian yang berada pada keadaan
kencang tangan harus dibersihkan1;
1
- Bila diperlukan pembersihan untuk memenuhi persyaratan ini, maka
pembersihan harus dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku.

161 dari 184


b) Sambungan tipe friksi
Untuk sambungan tipe friksi, permukaan bidang kontak harus
bersih bekas gilas atau yang sejenis, dan selain harus memenuhi
syarat (a), juga harus bebas dari cat, sirlak, galvanis, atau bahan
penyelesai lainnya kecuali bila bahan penyelesai tersebut sudah
diuji untuk menentukan koefisien gesekan (lihat Butir
13.2.3.2).
Untuk sambungan yang tidak dicat, cat dan semua semprotan
tidak boleh berada pada daerah lubang baut sebatas satu
diameter baut, tapi tidak kurang dari 25 mm, dari tepi lubang
dan dari semua daerah pada suatu kelompok baut;
c) Sambungan tipe tumpu
Untuk sambungan tipe tumpu, suatu lapisan bahan penyelesai
pada bidang kontak dapat digunakan.

17.3.8 Sambungan pen


Pen dan lubangnya harus diselesaikan sedemikian rupa sehingga
gaya-gaya terdistribusi secara merata pada seluruh lapisan dari
sambungan.

17.4 Toleransi

17.4.1 Umum
Batas-batas toleransi pada butir ini harus dipenuhi setelah pabrikasi
selesai dan semua material pencegah karat telah dilapiskan. Toleransi
pada semua dimensi struktural harus sebesar 2 mm, kecuali
dinyatakan lain.

17.4.2 Penampang melintang


Sesudah pabrikasi, toleransi pada setiap penampang melintang dari
suatu profil giling atau pelat harus seperti yang disyaratkan pada
ketentuan yang berlaku, dalam kaitannya dengan tinggi, lebar sayap,
tebal sayap, tebal badan, ketidak-sikuan, dan penyimpangan sumbu
badan.
Untuk setiap profil tersusun, penyimpangan dari dimensi yang
disyaratkan pada penampang melintang tidak boleh melebihi sebagai
berikut;
a) Tinggi penampang (d) (lihat Gambar 17.4-1):

- Permukaan bersisik hasil penggilasan tidak perlu dibersihkan lebih lanjut.


- Kencang tangan didefinisikan seperti dalam Butir 18.2.5.2.

162 dari 184


untuk d<400 mm, 3,0 mm
untuk 400≤d<600 mm 4,0 mm
untuk d≥600 mm, 5,0 mm
b) Lebar sayap ( b f ) (lihat Gambar 17.4-1):
untuk semua b f 3.0 mm
c) Tebal sayap ( t f ) (lihat Gambar 17.4-1):
untuk t f <16 mm, 1,5 mm
untuk 16≤ t f <25 mm, 2,0 mm
untuk 25≤ t f <40 mm, 2,5 mm
untuk t f ≥40 mm, 3,0 mm
d) Tebal badan (tw) (lihat Gambar 17.4-1):
untuk tw<16 mm, 1,0 mm
untuk 16≤tw<25 mm, 1,5 mm
untuk 25≤tw<40 mm, 2,0 mm
untuk tw≥40 mm, 2,5 mm
e) Ketidak-sikuan dari suatu sayap, a0 atau a1 (lihat Gambar 17.4-1):
untuk d≤300 mm, ≤ (1,2 % × bf )mm, minimum 2,0 mm
untuk d>300 mm, ≤ (1,5 % × bf )mm, minimum 2,0 mm
f) Ketidak-dataran badan (∆w) (lihat Gambar 17.4-2):
untuk d<400 mm, 2,0 mm
untuk 400≤d<600 mm, 2,5 mm
untuk d≥600 mm, 3,0 mm
g) Penyimpangan terhadap garis vertikal dari badan pada suatu
tumpuan (∆v) (lihat Gambar 17.4-2):
untuk d≤900 mm, 3 mm
 bf 
untuk d>900 mm,  
 300  mm
 
h) Persyaratan sambungan menuntut toleransi yang lebih ketat.
Suatu penampang kotak tersusun tidak boleh penyimpang lebih
dari 5 mm atau [(a2+a3)/400] mm, diambil yang lebih besar pada
diafragmanya; ketentuan ini tidak berlaku pada bentuk dari suatu
penampang kotak tersusun.

163 dari 184


bf bf
(bf /2) ± e (bf /2) ± e
a1 a1

do tw d do tw d

tf
tf

ao ao

(bf /2) ± e (bf /2) ± e


Sumbu badan Sumbu badan
Catatan:
1. Dimensi d, do, ao, dan a1 diukur sejajar garis sumbu badan. Dimensi bf dan
(0,5 bf ± e) diukur sejajar dengan bidang sayap.
2. Dimensi d diukur pada garis sumbu badan.

Gambar 17.4-1
Toleransi pada suatu penampang melintang

∆v

∆w
d1 d

Gambar 17.7-2
Toleransi pada badan.

164 dari 184


Gambar 17.4-3
Toleransi pada bentuk dari suatu penampang kotak tersusun.

i) Ketidaktepatan sumbu pelat badan (e) (lihat Gambar 17.4-4):


untuk d≤300 3,0 mm
untuk d>300 4,5 mm

Gambar 17.4-4
Toleransi untuk penyimpangan badan dari sumbu nominalnya.

j) Ketidak-rataan suatu sayap ( ∆ f ) (lihat Gambar 17.4-5):


 bf 
untuk bf ≤ 450 mm  
 150  mm
 
untuk bf>450 mm 3 mm

165 dari 184


tepi sayap (flens)
bf
∆f
∆f

Gambar 17.4-5
Toleransi terhadap ketidak-rataan suatu flens.

k) Ketidak-sikuan dari ujung pemotongan profil (s) (lihat Gambar


17.4-6):
nilai yang terkecil dari ≤ 0,16 % dari b f atau d, atau 3,0 mm.

d bf

s s
Gambar 17.4-6
Toleransi ketidak-sikuan ujung pemotongan.

17.4.3 Batang tekan

17.4.3.1 Kelurusan
Penyimpangan dari kesemua sumbu-utama terhadap suatu garis
lurus yang ditarik di antara kedua ujung dari suatu komponen
struktur tidak boleh melebihi nilai terbesar dari L/1000 atau 3mm.
17.4.3.2 Sambungan tumpu kontak penuh
Bila ujung-ujung dari dua komponen struktur yang bertemu, atau
ujung dari suatu komponen struktur dengan bidang kontak dari
suatu pelat tertutup atau pelat landas yang menempel, disyaratkan
untuk bersentuhan secara sempurna maka persyaratan tersebut
harus dianggap dipenuhi bila permukaan tumpu dipersiapkan
sedemikian rupa sehingga apabila alinyemen sepanjang komponen
struktur yang bertemu tersebut memenuhi toleransi yang
disyaratkan pada Butir 18.3.3, kelonggaran maksimum dari
permukaan-permukaan yang bertemu tidak melebihi 1 mm, dan
tidak melebihi 0,5 mm pada paling sedikit 67% dari bidang kontak.

166 dari 184


17.4.3.3 Panjang
Panjang komponen struktur tidak boleh menyimpang dari panjang
yang ditentukan dengan toleransi 2 mm.

17.4.4 Balok

17.4.4.1 Kelurusan
Pada suatu balok, penyimpangan terhadap garis lurus antara kedua
ujung balok dibatasi sebagai berikut:
a) Lawan lendut: diukur dengan pelat badan dalam keadaan
horisontal pada suatu permukaan uji (lihat Gambar 17.4-7 (a)).
Toleransi terhadap lawan lendut yang disyaratkan adalah nilai
yang terkecil dari L/1000 atau 10mm;
b) Lendutan ke samping: diukur dengan pelat dalam keadaan
badan vertikal (lihat Gambar 17.4-7(b)). Lendutan kesamping
(dilihat dari atas) tidak boleh melebihi nilai terbesar dari
L/1000 atau 3 mm.
17.4.4.2 Panjang
Panjang suatu balok tidak boleh menyimpang dari panjang yang
ditentukan dengan toleransi 2 mm untuk panjang balok kurang dari
10 m, dan 4 mm untuk panjang balok lebih besar dari 10 m.

17.4.5 Batang tarik

17.4.5.1 Kelurusan
Suatu komponen struktur tidak boleh menyimpang terhadap garis
lurus yang ditarik di antara kedua ujungnya melebihi L/500, dengan
L adalah panjang antara ujung-ujungnya.
17.4.5.2 Panjang
Panjang suatu komponen struktur tarik tidak boleh menyimpang
dari panjang yang ditentukan dengan toleransi 2 mm untuk panjang
balok kurang dari 10 m, dan 4 mm untuk panjang balok lebih besar
dari 10 m.

167 dari 184


Penampang melintang

Lawan Lendutan ke
lendut samping

Garis lurus Garis lurus

Tampak atas Tampak atas

Gambar 17.4-7
Pengukuran lawan lendut dan lendutan kesamping.

168 dari 184


18. MENDIRIKAN BANGUNAN

18.1 Umum

18.1.1 Penolakan bagian struktur yang telah berdiri


Bagian struktur yang telah berdiri harus ditolak bila:
a)pelaksanaan tidak memenuhi persyaratan dalam Butir 18.2;
b)pelaksanaan tidak memenuhi toleransi dalam Butir 18.3.

Meskipun demikian bagian yang telah berdiri tersebut dapat diterima


juga bila:
(i) dapat dibuktikan bahwa struktur cukup memenuhi persyaratan
dan dalam penggunaannya tidak menimbulkan bahaya; atau
(ii) memenuhi persyaratan uji seperti yang disebut dalam Butir 18.

Bagian struktur yang telah berdiri yang tidak memenuhi baik syarat
(i) maupun (ii) dan tidak memenuhi baik Butir 18.2 maupun Butir
18.3 harus ditolak.
Baut, mur, dan ring yang merupakan bagian dari suatu struktur yang
telah berdiri harus ditolak apabila tidak memenuhi persyaratan seperti
yang tercantum dalam Butir 17.3.6, 18.2.4, dan 18.2.5, kecuali bila
dapat dibuktikan bahwa baut, mur, dan ring tersebut memenuhi syarat
yang cukup secara struktural dan tidak menimbulkan bahaya dalam
penggunaannya.
Grouting pada perletakan yang tidak memenuhi persyaratan dalam
Butir 18.5 harus ditolak.
18.1.2 Keamanan waktu mendirikan bangunan
Pada saat mendirikan bangunan, pekerjaan baja harus aman terhadap
beban-beban yang terjadi selama pelaksanaan, termasuk beban
peralatan yang digunakan pada saat pelaksanaan atau operasinya,
maupun beban angin.
18.1.3 Tumpuan peralatan
Peralatan yang ditumpu pada bagian struktur baja yang sedang
didirikan tidak boleh menimbulkan aksi yang melebihi kapasitas
rencana yang diijinkan dalam standar ini.
18.1.4 Suhu referensi
Semua dimensi harus diukur berdasarkan suhu referensi 30°C.

169 dari 184


18.2 Prosedur mendirikan bangunan

18.2.1 Umum
Persyaratan yang ditetapkan dalam Butir 17.3 harus dipenuhi selama
mendirikan rangka baja dan selama modifikasi pekerjaan baja saat
pelaksanaan. Persyaratan yang dimaksud berlaku untuk:
a) Sambungan tumpu kontak penuh (lihat Butir 17.3.2);
b) Pemotongan (lihat Butir 17.3.3);
c) Pengelasan (lihat Butir 17.3.4);
d) Pelubangan (lihat Butir 17.3.5);
e) Penyambungan dengan baut (lihat Butir 17.3.6).
Selama masa mendirikan bangunan, semua pekerjaan baja harus
dijamin keamanannya, dengan cara dibaut atau diikat, sehingga masih
dapat memikul gaya-gaya yang diakibatkan oleh berat peralatan
maupun beban yang timbul saat dioperasikannya alat tersebut. Batang
pengaku sementara dan pengekang harus tetap terpasang sampai saat
struktur yang sudah terpasang cukup kuat untuk berdiri sendiri.
Semua sambungan pada batang pengaku sementara dan komponen
struktur sementara lainnya, yang diperlukan pada saat pelaksanaan,
harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak memperlemah struktur
permanen utama ataupun menimbulkan akibat buruk dalam segi
kelayakannya. Pengelasan pada sambungan ataupun
pembongkarannya harus memenuhi ketentuan yang berlaku.
18.2.2 Pengangkutan, penyimpanan, dan pengangkatan
Komponen struktur, alat sambung, dan komponen lainnya harus
diangkat dan disimpan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
kerusakan. Perlakuan komponen harus diterapkan untuk mencegah
kerusakan pada lapisan pelindung korosi.
Baja harus dijaga agar tidak rusak saat pengangkutan. Pengamanan
khusus harus diberikan dengan memperkaku bagian ujung bebas,
menghindari distorsi permanen, dan melindungi permukaan bidang
kontak. Semua baut, mur, ring, sekrup dan potongan plat harus
dikemas dengan baik dan diberi tanda.
18.2.3 Perakitan dan penyetelan
Semua lubang baut atau lubang yang dibuat untuk alat sambung
lainnya harus dicocokkan sehingga dapat dibaut dengan mudah.
Penggunaan drip untuk penyetelan lubang harus dilakukan dengan
baik sehingga tidak merusak baja atau memperbesar lubang.
Setiap bagian struktur harus disetel sesegera mungkin setelah struktur
didirikan. Sambungan tidak boleh dikencangkan sebelum struktur

170 dari 184


dijajarkan, diratakan, ditegakkan, dan dibuat sambungan sementara,
untuk menjamin tidak terjadinya perpindahan posisi pada saat
mendirikan atau penyetelan bagian struktur berikutnya.
Setiap baut dan mur harus dipasang dengan paling sedikit satu cincin.
Cincin tersebut harus ditempatkan di bawah mur. Apabila suatu
permukaan bidang kontak dengan kepala baut ataupun mur
mempunyai kemiringan melebihi 1:20 maka harus digunakan cincin
baji untuk mengatasi permukaan bidang miring tadi. Komponen yang
tidak berputar dipasang setelah ring baji tersebut.
Baut kencang tangan harus dipasang sesuai dengan Butir 18.2.5.2(a).
Ring plat harus digunakan di bawah baut ataupun paku keling untuk
setiap pelebaran lubang seperti yang disebutkan dalam Butir
17.3.5.2(b).
18.2.4 Perakitan sambungan dan pengencangan baut
18.2.4.1 Penempatan mur
Mur harus ditempatkan sehingga tanda-tanda untuk identifikasi
mur mutu tinggi seperti yang ditetapkan dalam ketentuan untuk
baut mutu tinggi yang diakui dapat dibaca setelah pengencangan
mur.
18.2.4.2 Paking
Paking harus dipasang apabila dirasa perlu untuk menjamin adanya
penyaluran gaya pada saat pengencangan mur sampai kondisi
seperti ditentukan dalam Butir 18.2.5.2(a). Semua paking harus
terbuat dari baja dengan kondisi permukaannya sama dengan pelat-
pelat yang bersebelahan dengannya.
18.2.4.3 Cara pengencangan
Pengencangan tangan dan pengencangan akhir baut-baut dalam
suatu sambungan harus dikerjakan mulai dari bagian sambungan
yang paling kaku menuju ke tepi bebas.
Baut bermutu tinggi dapat digunakan sementara pada saat
mendirikan sampai perakitan, tetapi tidak boleh dikencangkan
penuh sampai semua baut pada sambungan terpasang sesuai dengan
urutannya.
18.2.4.4 Pengencangan ulang
Pengencangan ulang baut yang pernah dikencang penuh harus
dihindari, apabila terpaksa hal ini hanya diijinkan sekali saja dan
hanya pada baut dengan posisi lubang yang sama dan dengan
perlakuan yang sama pula.

171 dari 184


Pengencangan ulang baut galvanis tidak diijinkan.

Dalam kondisi apapun, baut yang pernah dikencangkan penuh tidak


boleh digunakan lagi di lubang yang lain.
Pengencangan baut yang sudah dikencangkan sebelumnya, tetapi
kemudian kendor lagi akibat pengencangan baut di sebelahnya,
tidak dimasukkan dalam kategori pengencangan ulang.
18.2.5 Metode pengencangan
18.2.5.1 Umum
Metode pengencangan harus menurut ketentuan dalam Butir
18.2.5.2 atau Butir 18.2.5.3. Pada saat sambungan selesai terpasang
dan semua baut telah kencang, semua baut harus mempunyai gaya
tarik minimum seperti yang ditetapkan dalam Tabel 18.2-1.

Tabel 18.2-1 Gaya tarik baut minimum.

Diameter nominal baut (mm) Gaya tarik minimum (KN)


16 95
20 145
24 210
30 335
36 490

18.2.5.2 Metode pengencangan putar sebagian


Pengencangan baut dengan metode putar sebagian harus mengikuti
prosedur di bawah ini:
a) Pada saat perakitan, semua baut dalam sistem sambungan
pertama-tama harus dikencangkan sampai kondisi kencang
tangan untuk menjamin adanya penyaluran gaya;
b) Setelah menyelesaikan pengencangan tangan, harus dibuat
suatu tanda untuk menentukan posisi relatif baut dan mur dan
mengontrol putaran mur,
Pengamatan putaran akhir mur dapat dilakukan dengan
menggunakan kunci soket bertanda, tetapi tanda lokasi harus
permanen atau tidak boleh terhapus untuk memudahkan di
dalam pengawasan ulang;

172 dari 184


c) Baut harus dikencangkan dengan memutar mur sesuai Tabel
18.2-2. Selama pengencangan akhir, komponen yang tidak
diputar dengan kunci tidak boleh berputar.

Tabel 18.2-2 Putaran mur dari kondisi kencang tangan.


Panjang baut Posisi permukaan luar bagian yang dibaut
(Bagian bawah (lihat Catatan 1, 2, 3, 4)
kepala baut sampai
ujung baut)
Semua permukaan Satu permukaan Semua permukaan
tegak lurus terhadap tegak lurus terhadap miring
sumbu baut sumbu baut, dan
yang lainnya miring
≤ 4d 1/3 putaran 1/2 putaran 2/3 putaran
4d < l ≤ 8d 1/2 putaran 2/3 putaran 5/6 putaran
8d < l ≤ 12d 2/3 putaran 5/6 putaran 1 putaran
(lihat catatan 5)
Catatan:
1. Toleransi putaran:
untuk ≤ 1/2 putaran, 0 < toleransi ≤ 1/12 putaran (30°)
untuk ≥ 2/3 putaran, 0 < toleransi ≤ 1/8 putaran (45°)
2. Gaya tarik baut yang tercapai pada putaran seperti disyaratkan pada Tabel 18.2-2
paling sedikit akan sama dengan gaya tarik baut minimum yang disyaratkan pada
Tabel 18.2-1.
3. Putaran mur adalah putaran relatif terhadap baut, tanpa melihat komponen mana
yang diputar.
4. Putaran baut yang disyaratkan hanya berlaku untuk sambungan dengan semua
bahan yang terjepit adalah baja.
5. Untuk baut yang panjangnya melebihi 12 diameter, putaran yang diperlukan
harus ditentukan berdasar pengujian sebenarnya pada suatu alat pengukur gaya
tarik yang sesuai yang dapat mensimulasikan kondisi baja yang disambung
dengan baut.
18.2.5.3 Pengencangan baut menggunakan peralatan penunjuk gaya tarik
langsung1
Pengencangan baut dengan menggunakan peralatan yang dapat
menunjukkan gaya tarik langsung harus memenuhi prosedur di
bawah ini:
a) Peralatan harus dicek dan dikalibrasi untuk menunjukkan
kemampuannya. Di dalam kalibrasi harus digunakan minimum
tiga buah baut untuk setiap diameter dan mutu baut. Test
kalibrasi harus menunjukkan kemampuan alat 1,05 kali kuat
tarik minimum baut yang disyaratkan dalam Tabel 18.2-1;

1
Pengencangan dengan menggunakan peralatan penunjuk gaya tarik baut harus
disesuaikan pula dengan spesifikasi teknis dari pabrik pembuatnya.

173 dari 184


b) Dalam perakitan, semua baut dan mur dalam sambungan harus
dikencangkan sampai kondisi kencang tangan seperti ketentuan
dalam Butir 18.2.5.2 (a);
c) Setelah mencapai kondisi kencang tangan, baut harus
dikencangkan sampai mencapai gaya tarik minimum baut
seperti yang ditetapkan dalam Butir 18.2.5.1. Ini harus
ditunjukkan oleh peralatan yang digunakan.

18.3 Toleransi

18.3.1 Lokasi baut angker


Baut angker harus tetap pada posisi arah vertikal maupun horizontal.
Baut angker harus dipasang sesuai dengan gambar kerja. Batasan
posisi pemasangan sesuai dengan gambar kerja tidak boleh melebihi
ketentuan sebagai berikut (lihat Gambar 18.3-1):
a) 3 mm untuk jarak pusat ke pusat antara dua buah sembarang baut
dalam satu kelompok baut angker, di mana kelompok baut angker
ini merupakan satu set baut angker yang menerima satu
komponen struktur baja tunggal;
b) 6 mm untuk jarak pusat ke pusat kelompok baut angker yang
berdekatan;
c) Akumulasi maksimum 6 mm per 30.000 mm sepanjang garis
kolom yang melewati beberapa kelompok baut angker, tetapi
tidak lebih dari total 25 mm. Garis kolom adalah garis baut di
lapangan yang menghubungkan pusat sumbu kelompok angker;
d) 6 mm dari pusat kelompok baut angker ke garis kolom yang
ditentukan.
Baut angker harus dipasang tegak lurus terhadap permukaan
perletakan teoritis, ulir harus dilindungi dan bebas dari beton, dan
mur harus dapat terpasang dengan mudah.
Proyeksi ujung baut angker dari permukaan perletakan teoritis tidak
boleh lebih panjang 25 mm ataupun lebih pendek 5 mm dari yang
ditentukan.

174 dari 184


1 2 3 4 n-1 n

dimensi yang ditetapkan (±6 untuk setiap 30 m tetapi tidak boleh melebihi ±25 secara keseluruhan)

penyimpangan maksimum ±6

penyimpangan maksimum ±6 bila


kolom di luar garis kolom utama

sumbu baut angker


angker
penyimpangan maksimum ±6
penyimpangan maksimum ±6

sumbu baut angker


±3
sumbu kisi-kisi

±3

sumbu kisi-kisi

Detail dari lokasi baut angker yang tidak terletak tepat pada sumbu

Keterangan:
n = jumlah total kolom
Semua dimensi dalam milimeter, kecuali dinyatakan lain

Gambar 18.3-1
Toleransi peletakan baut angker.

18.3.2 Perletakan Kolom


18.3.2.1 Posisi pada denah
Posisi perletakan kolom pada denah tidak boleh menyimpang lebih
dari 6 mm terhadap masing-masing sumbu utama bangunan.
18.3.2.2 Ketinggian
Ketinggian pelat landas kolom tidak boleh menyimpang lebih dari
10 mm terhadap posisi yang seharusnya.

175 dari 184


18.3.2.3 Kontak penuh
Apabila disyaratkan perletakan kolom dengan bidang kontak penuh
maka ketentuan dalam Butir 17.4.4.2 harus dipenuhi, kecuali jika
digunakan alat bantu untuk mengurangi celah sehingga memenuhi
ketentuan dalam butir tersebut. Peralatan bantu penumpu harus
datar dan terbuat dari baja yang sama mutunya dengan komponen
struktur utamanya. Apabila diperlukan adanya grouting maka harus
ditempatkan sedemikian rupa sehingga grouting bisa menyelimuti
peralatan bantu tersebut dengan ketebalan minimum 50 mm.
18.3.3 Pengelotan pada komponen struktur tekan
Penyetelan dan pengelotan batang tekan harus mengikuti dua
ketentuan berikut ini:
a) Penyimpangan terhadap posisi yang sebenarnya dari setiap titik di
atas perletakan komponen struktur tekan tidak boleh lebih dari
1/500 × tinggi, atau yang terkecil dari:
(i) Untuk suatu titik sampai dengan ketinggian 60 m dari
perletakan komponen, 25 mm;
(ii) Untuk suatu titik lebih dari 60 m dari perletakan komponen,
25 mm ditambah 1 mm untuk setiap kenaikan 3 m, sampai
maksimum 50 mm.
b) Penyimpangan ujung atas komponen struktur tekan dari posisi
sebenarnya relatif terhadap dasar pada suatu tingkat tidak boleh
lebih dari 1/500 tinggi tingkat.
18.3.4 Sambungan kolom
Pelat sambung kolom harus sesuai dengan ketentuan berikut ini:
a) Ketinggian bidang sambungan kolom tidak boleh menyimpang
lebih dari 10 mm terhadap ketinggian yang seharusnya;
b) Posisi sambungan kolom pada denah harus sesuai dengan
persyaratan toleransi pengelotan yang ditetapkan dalam Butir
18.3.3;
c) Penyimpangan relatif posisi mendatar dalam arah masing-masing
sumbu utama bangunan dari dua komponen struktur yang
disambungkan tidak boleh melebihi 2 mm dari yang seharusnya.
18.3.5 Ketinggian dan penyetelan balok
Dalam mendirikan struktur, balok dapat dianggap terpasang secara
benar apabila:
a) semua sambungan dan pelat sambungnya telah terpasang
sempurna;

176 dari 184


b) lendutan lateral maksimum yang terjadi kurang dari Lb/500,
dimana Lb adalah jarak antara titik-titik yang terkekang secara
efektif ;
c) balok berada pada ±10 mm dari ketinggian seharusnya pada
sambungan dengan komponen struktur lainnya; penyimpangan
balok terhadap ketinggian rencana pada sambungan dengan
komponen struktur lainnya tidak lebih dari 10 mm;
d) pada sambungan dengan komponen struktur lainnya,
penyimpangan horisontal pelat sayap balok tidak boleh lebih
besar dari 3 mm terhadap posisi seharusnya.
18.3.6 Posisi komponen struktur tarik
Komponen struktur tarik tidak boleh menyimpang lebih dari 3 mm
terhadap posisi relatif komponen struktur lain yang tersambung
kepadanya, diukur sepanjang sumbu pemasangan.
18.3.7 Ukuran bangunan secara keseluruhan
Ukuran bangunan secara keseluruhan tidak boleh menyimpang dari
ukuran sebenarnya melebihi ketentuan berikut ini:
a) Panjang (lihat Gambar 18.3-2):
untuk Σ Lc ≤ 30 m, Σ ∆Lc ≤ 20 mm
untuk Σ Lc > 30 m, Σ ∆Lc ≤ {20 mm + 0,25 (Σ Lc - 30) mm}
b) Tinggi (lihat Gambar 18.3-3):
untuk Σ hb ≤ 30 m, Σ ∆hb ≤ 20 mm
untuk Σ hb > 30 m, Σ ∆hb ≤ {20 mm + 0,25 (Σ hb - 30) mm}

dengan ketentuan bahwa:


i) jarak antar sumbu kolom yang berdekatan (Lc) pada setiap
potongan tidak boleh menyimpang lebih dari 15 mm dari jarak
sebenarnya;
ii) jarak vertikal antara permukaan atas balok (hb) antar tingkat pada
setiap potongan tidak boleh menyimpang lebih dari 20 mm dari
jarak yang sebenarnya;
iii) toleransi lainnya dalam butir ini mengikat.
Untuk kelengkapan dalam butir ini:
ΣLc adalah panjang keseluruhan struktur baja sebenarnya yaitu jarak
sumbu ke sumbu kolom terluar seperti pada Gambar 18.3-2, pada
setiap potongan sepanjang bangunan; dan
Σhb adalah tinggi keseluruhan konstruksi baja sebenarnya yaitu jarak
vertikal dari dasar kolom terbawah sampai ke permukaan lantai
teratas, pada setiap potongan sepanjang bangunan.

177 dari 184


~ ~ ~ ~ ~

LC + ∆ LC

LC +∆ LC

Σ ( LC + ∆ LC )

Keterangan:
Lc adalah jarak antar kolom, meter;
∆Lc adalah penyimpangan dari Lc, mm;
Σ Lc adalah panjang keseluruhan struktur baja yang sebenarnya, meter;
Σ∆Lc adalah penyimpangan terhadap ΣLc , mm.
Gambar 18.3-2
Penyimpangan terhadap panjang (penampang tegak).

hb + ∆hb Σ(hb + ∆hb)

Gambar 18.3-3
Penyimpangan terhadap ketinggian (penampang tegak).
Keterangan:
hb adalah jarak vertikal antara permukaan atas balok antar tingkat,
meter;
∆hb adalah penyimpangan terhadap hb, mm;

178 dari 184


Σhb adalah tinggi keseluruhan baja yang sebenarnya, meter;
Σ∆hb adalah penyimpangan terhadap Σhb , mm.

18.4 Pemeriksaan terhadap sambungan baut

18.4.1 Baut tarik


Metode pengencangan seperti yang disyaratkan dalam Butir 18.2.5
harus sesuai dengan ketentuan di bawah ini:
a) Pengencangan putar sebagian - pengencangan yang benar dari
posisi kencang tangan harus terukur dan teramati;
b) Peralatan dengan penunjuk tegangan - tegangan minimum yang
terjadi pada baut harus ditunjukkan langsung oleh peralatan
tersebut;
c) Rekomendasi dari pabrik untuk prosedur pemeriksaan harus
diikuti apabila digunakan peralatan dengan penunjuk tegangan
tarik;
d) Penggunaan kunci torsi hanya dapat digunakan untuk mengetahui
secara kasar kekurangan tegangan dari yang disyaratkan.
18.4.2 Komponen yang rusak
Baut, mur, dan ring yang secara visual menunjukkan kerusakan atau
cacat fisik harus diganti dengan yang baru.

18.5 Grouting pada tumpuan

18.5.1 Landasan komponen struktur tekan dan balok


Dudukan pelat landas komponen struktur tekan atau pelat landas
balok pada konstruksi batu kali atau beton harus diisi dengan adukan
semen atau bahan grouting.
Grouting atau paking hanya boleh dilakukan bila bagian struktur
tersebut (sejumlah tertentu kolom-kolom bawah pada bangunan
bertingkat) telah dijajarkan, diratakan, dilot, dan terpegang serta
diperkaku oleh bagian struktur lainnya yang telah terpasang
sempurna. Paking baja atau mur perata pada baut angker harus berada
di bawah plat landas untuk menyokong struktur baja. Ruang yang
terdapat di

bawah pelat landas baja harus dibersihkan dan bebas dari kelembaban
sesaat sebelum digrouting.

179 dari 184


18.5.2 Grouting
Bahan grouting harus secara sempurna mengisi ruangan yang ada
dengan tekanan. Bahan grouting harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

180 dari 184


SNI 03 - 1729 - 2000

19. PERUBAHAN STRUKTUR YANG SUDAH ADA

19.1 Umum
Ketentuan-ketentuan dalam standar ini berlaku juga untuk perubahan
struktur yang sudah ada atau bagian-bagiannya, kecuali jika
ditentukan lain dalam butir ini.

19.2 Material
Jenis logam dasar yang digunakan harus ditentukan sebelum
menyiapkan gambar dan spesifikasi yang mencakup perkuatan,
perbaikan, atau prosedur pengelasan struktur yang sudah ada atau
bagian dari struktur tersebut.

19.3 Pembersihan
Permukaan material yang ada, yang harus diperkuat, diperbaiki, atau
dilas, harus dibersihkan dari kotoran, karat, atau benda asing lainnya
kecuali yang berkaitan dengan perlindungan permukaan. Bagian
permukaan yang akan dilas tersebut harus dibersihkan dari segala
benda asing, termasuk lapisan cat, dalam jarak 50 mm dari kedua sisi
terluar pengelasan.

19.4 Pengaturan khusus

19.4.1 Pengelasan dan pemotongan


Kapasitas batang yang sedang dilas atau dipotong harus ditentukan
sesuai ketentuan dalam standar ini, dengan memperhitungkan bagian
dari penampang yang menjadi panas akibat pengelasan dan
pemotongan tersebut.
19.4.2 Urutan pengelasan
Urutan pengelasan harus dipilih sedemikian rupa sehingga
meminimumkan distorsi batang tersebut dan menjaga kelurusan di
dalam batas-batas yang disyaratkan pada Butir 17.4.3, 17.4.4, dan
17.4.5.

181 dari 184


SNI 03 - 1729 - 2000

20. PENGUJIAN STRUKTUR ATAU KOMPONEN STRUKTUR

20.1 Umum

20.1.1 Ruang lingkup


Metode pengujian pada butir ini dapat digunakan untuk pembuktian
dan pengujian prototipe dari struktur lengkap, komponen struktur,
elemen, atau sambungan. Metode-metode tersebut tidak dapat
digunakan untuk menguji model struktur atau untuk menetapkan
kriteria perencanaan umum atau data.
20.1.2 Hal-hal yang memerlukan pengujian
Struktur atau bagian dari struktur yang direncanakan sesuai dengan
standar ini tidak perlu diuji. Pengujian dapat diterima sebagai
alternatif terhadap perhitungan atau bila diperlukan dalam suatu
keadaan khusus.

20.2 Definisi
Pada butir ini berlaku definisi-definisi sebagai berikut:
Pengujian pembuktian adalah penerapan beban-beban uji pada suatu
struktur, komponen struktur, elemen, atau sambungan, untuk
mengetahui atau memastikan karakteristik struktur yang diuji
tersebut.
Pengujian prototipe adalah penerapan beban-beban uji pada satu atau
lebih struktur, komponen struktur, elemen atau sambungan, untuk
mengetahui atau memastikan karakteristik dari kelompok struktur,
komponen struktur, elemen, atau sambungan tersebut yang secara
nominal identik dengan unit yang diuji.

20.3 Persyaratan pengujian


Beban uji harus ditentukan menurut Butir 20.4.2 atau Butir 20.5.2,
sesuai dengan jenis pengujian yang dilakukan. Peralatan pembebanan
harus dikalibrasi dan harus diperhatikan agar tidak terdapat
pengekangan artifisial yang diakibatkan oleh sistem pembebanan
tersebut. Beban uji harus diterapkan terhadap unit yang diuji dengan
kecepatan pembebanan yang sedapat mungkin tidak berubah.
Distribusi dan lamanya gaya-gaya yang diterapkan pada pengujian
tersebut harus dapat mewakili gaya-gaya yang dipandang akan
bekerja terhadap struktur sesuai dengan ketentuan pada Butir 6.

182 dari 184


SNI 03 - 1729 - 2000

Sebagai persyaratan minimum, deformasi harus dicatat pada saat-saat


berikut ini:
a) Sebelum pembebanan;
b) Sesudah beban uji diterapkan;
c) Sesudah beban uji dihilangkan.

20.4 Pengujian pembuktian

20.4.1 Penerapan
Ayat ini dapat diterapkan untuk pengujian suatu struktur, komponen
struktur, elemen, atau sambungan, untuk menentukan apakah struktur,
komponen struktur, elemen, atau sambungan tersebut memenuhi
persyaratan kekuatan batas atau kelayanan batas yang sesuai.
20.4.2 Beban uji
Beban uji harus sama dengan beban rencana untuk keadaan batas
yang relevan.
20.4.3 Kriteria penerimaan
Kriteria penerimaan adalah sebagai berikut:
a) Untuk kekuatan: struktur, komponen struktur, elemen, atau
sambungan yang diuji dapat dianggap memenuhi syarat kekuatan
bila ia mampu bertahan terhadap beban uji kekuatan batas selama
paling sedikit 15 menit. Struktur ini kemudian harus diperiksa
untuk menentukan jenis dan besarnya kerusakan yang terjadi
selama pengujian. Pengaruh kerusakan harus ditinjau dan bila
perlu dilakukan perbaikan terhadap bagian-bagian yang rusak;
b) Untuk kemampuan layan: deformasi maksimum struktur atau
komponen struktur yang diuji pada beban batas layan harus
berada dalam batas-batas layan yang sesuai untuk struktur itu

20.5 Pengujian prototipe

20.5.1 Benda uji


Mutu material dan pembuatan prototipe harus memenuhi Butir 5 dan
17. Setiap persyaratan tambahan dari spesifikasi pembuatan harus
dipenuhi dan cara mendirikan yang digunakan harus mensimulasikan
cara yang akan digunakan dalam produksi.
20.5.2 Beban uji
Beban uji harus sama dengan beban rencana untuk keadaan batas
yang bersangkutan, dikalikan dengan faktor yang sesuai pada Tabel

183 dari 184


SNI 03 - 1729 - 2000

20.5, kecuali bila suatu analisis keandalan memperlihatkan bahwa


suatu nilai yang lebih kecil dapat dipakai.
20.5.3 Kriteria penerimaan
Kriteria penerimaan adalah sebagai berikut:
a) Untuk kekuatan: Unit yang diuji dapat dianggap memenuhi syarat
kekuatan bila mampu memikul beban uji kekuatan batas selama
paling sedikit 5 menit;
b) Untuk kemampuan layan: Deformasi maksimum yang diuji pada
beban uji kemampuan layan batas harus berada dalam batas-batas
layan struktur tersebut.
20.5.4 Penerimaan unit-unit yang diproduksi
Unit-unit yang diproduksi harus sama dalam segala hal dengan unit
yang diuji.

Tabel 20.5 Faktor-faktor untuk memperhitungkan


variabilitas dari unit struktural.

Jumlah unit Keadaan kekuatan Keadaan kemampuan


tipikal batas layan batas
1 1,5 1,2
2 1,4 1,2
3 1,3 1,2
4 1,3 1,1
5 1,3 1,1
10 1,2 1,1

20.6 Laporan pengujian


Laporan pengujian dari setiap unit selain harus berisi hasil pengujian
juga harus berisi penjelasan mengenai kondisi-kondisi pengujian,
termasuk cara pembebanan dan cara pengukuran lendutan, bersama-
sama dengan data lain yang berkaitan. Laporan harus juga berisi
penjelasan mengenai apakah struktur atau komponen struktur yang
diuji tersebut memenuhi kriteria penerimaan.

184 dari 184


LAMPIRAN A
DAFTAR NOTASI

Butir 6 PERSYARATAN UMUM PERENCANAAN


D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi
permanen, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap,
tangga, dan peralatan layan tetap
E adalah beban gempa
F adalah beban fluida
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan
air
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung,
termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti
angin, hujan, dan lain-lain
La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan
oleh pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan
biasa oleh orang dan benda bergerak
Ru adalah beban terfaktor atau kuat perlu
W adalah beban angin
φRn adalah kuat rencana
φ adalah faktor reduksi

Butir 7 BEBERAPA METODE DALAM ANALISIS STRUKTUR


Ab adalah luas penampang bruto, mm2
b adalah lebar elemen penampang, mm
cm adalah faktor yang menghubungkan diagram momen aktual
dengan diagram momen ekivalen
fcr adalah tegangan kritis penampang tertekan, MPa
fy adalah tegangan leleh material, MPa
G adalah faktor kekangan akibat adanya batang lentur yang
merangka ke batang tekan yang sedang ditinjau
H adalah gaya horizontal, N
I adalah momen inersia, mm4
kc adalah faktor panjang tekuk
L adalah tinggi tingkat atau panjang komponen struktur tekan, mm
Lb adalah panjang bagian pelat sayap tekan tanpa pengekang lateral,
mm

1 dari 12 - DAFTAR NOTASI


L pd adalah batas panjang bagian pelat sayap tekan tanpa pengekang
lateral, mm
M1 adalah momen ujung yang terkecil, N-mm
M2 adalah momen ujung yang terbesar, N-mm
Μltu adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang diakibatkan
oleh beban-beban yang dapat menimbulkan goyangan, N-mm
Mntu adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang diakibatkan
oleh beban-beban yang tidak menimbulkan goyangan, N-mm
Mnx, M ny adalah momen lentur nominal penampang komponen struktur
masing-masing terhadap sumbu-x dan –y, N-mm
Mu adalah momen lentur terfaktor atau momen perlu, N-mm
Mux, Muy adalah momen lentur terfaktor masing-masing terhadap sumbu-x
dan –y, N-mm
Ncr adalah beban kritis elastis, N
Ncrb adalah beban kritis elastis untuk komponen struktur tak
bergoyang, N
Ncrs adalah beban kritis elastis untuk komponen struktur dengan
goyangan, N
Nn adalah kuat aksial nominal komponen struktur, N
Nu adalah beban aksial terfaktor, N
ry adalah jari-jari girasi terhadap sumbu lemah, mm
t adalah tebal, mm
βm adalah perbandingan momen terkecil dan terbesar yang bekerja
pada ujung-ujung komponen struktur
∆oh adalah simpangan antar lantai pada tingkat yang sedang ditinjau
ΣΗ adalah jumlah gaya horizontal yang menghasilkan ∆oh pada
tingkat yang ditinjau, N
ΣΝu adalah jumlah gaya aksial tekan terfaktor akibat beban gravitasi
untuk seluruh kolom pada satu tingkat, N
δ adalah faktor amplifikasi momen
δb adalah faktor amplifikasi momen untuk komponen struktur yang
tidak dapat bergoyang
δs adalah faktor amplifikasi momen untuk komponen struktur yang
dapat bergoyang
φ adalah faktor reduksi
λc adalah parameter kelangsingan batang tekan
λp adalah batas perbandingan lebar terhadap tebal untuk penampang
kompak

2 dari 12 - DAFTAR NOTASI


λr adalah batas perbandingan lebar terhadap tebal untuk penampang
tak kompak

Butir 8 KOMPONEN STRUKTUR LENTUR


A adalah luas penampang, mm2
a adalah jarak antara dua pengaku vertikal, mm
Ae adalah luas efektif penampang, mm2
Af adalah luas efektif pelat sayap, mm2
ar adalah perbandingan luas pelat badan terhadap pelat sayap tekan
As adalah luas pengaku, mm2
Aw adalah luas pelat badan, mm2
b adalah lebar pelat atau penampang, mm
bf adalah lebar pelat sayap, mm
bcf adalah lebar pelat sayap penampang kolom, mm
bs adalah lebar pengaku, mm
Cb adalah koefisien pengali momen tekuk torsi lateral
Cr adalah konstanta untuk penentuan kekuatan tekuk lateral pelat
badan
Cv adalah rasio kuat geser
D adalah diameter penampang pipa, mm
d adalah tinggi penampang, mm
db adalah tinggi penampang balok, mm
dc adalah tinggi penampang kolom, mm
df adalah jarak antara titik berat pelat sayap, mm
E adalah modulus elastisitas baja, MPa
fc adalah tegangan acuan untuk momen kritis tekuk torsi lateral,
MPa
fcr adalah tegangan kritis, MPa
ff adalah tegangan leleh atau kritis pada pelat sayap tekan , MPa
fL adalah tegangan leleh dikurangi tegangan sisa, MPa
fr adalah tegangan sisa, MPa
fy adalah tegangan leleh, MPa
G adalah modulus geser baja, MPa
h adalah tinggi bersih balok pelat berdinding penuh, mm
Is adalah momen inersia pengaku terhadap muka pelat badan, mm4
Iw adalah konstanta puntir lengkung, mm6
J adalah konstanta puntir torsi, mm4
k adalah tebal pelat sayap ditambah hari-jari peralihan, mm
kc adalah faktor kelangsingan pelat badan

3 dari 12 - DAFTAR NOTASI


kv adalah koefisien tekuk geser pelat
L adalah panjang bentang antara dua pengekang lateral yang
berdekatan, mm
Lp adalah panjang bentang maksimum untuk balok yang mampu
menerima momen plastis, mm
Lr adalah panjang bentang minimum untuk balok yang kekuatannya
mulai ditentukan oleh momen kritis tekuk torsi lateral, mm
Lw adalah ukuran lubang pelat badan bagian dalam yang terbesar,
mm
Mu adalah momen lentur perlu, N-mm
Mcr adalah momen kritis terhadap tekuk torsi lateral, N-mm
Mf adalah kuat lentur nominal dihitung hanya dengan pelat sayap
saja , N-mm
Mp adalah momen lentur yang menyebabkan seluruh penampang
mengalami tegangan leleh, N-mm
Mr adalah momen batas tekuk, N-mm
Mn adalah kuat lentur nominal balok, N-mm
Mux adalah kuat lentur perlu terhadap sumbu-x, N-mm
M uy adalah kuat lentur perlu terhadap sumbu-y, N-mm
My adalah momen lentur yang menyebabkan penampang mulai
mengalami tegangan leleh, N-mm
Ny adalah gaya aksial yang menyebabkan kolom mengalami
tegangan leleh, N
N adalah dimensi longitudinal dari perletakan atau tumpuan, N
R adalah koefisien balok pelat berdinding penuh, N
Rb adalah kuat tumpu nominal pelat badan akibat beban terpusat atau
setempat atau terhadap tekuk, N
Rv adalah kuat geser panel, N
rt adalah jari-jari girasi daerah pelat sayap ditambah sepertiga
bagian pelat badan yang mengalami tekan, mm
ry adalah jari-jari girasi terhadap sumbu lemah, mm
S adalah modulus penampang, mm3
t cf adalah tebal pelat sayap penampang kolom, mm
tf adalah tebal pelat sayap, mm
ts adalah tebal pengaku, mm
tw adalah tebal pelat badan, mm
Vu adalah gaya geser perlu, N
Vv adalah kuat geser nominal pelat badan, N
X1 adalah koefisien untuk perhitungan momen tekuk torsi lateral,
MPa

4 dari 12 - DAFTAR NOTASI


X2 adalah koefisien untuk perhitungan momen tekuk torsi lateral,
(1/MPa)2
λ adalah kelangsingan
λG adalah kelangsingan balok pelat berdinding penuh
φ adalah faktor reduksi
λp adalah batas maksimum untuk penampang kompak
λr adalah batas maksimum untuk penampang tak-kompak

Butir 9 KOMPONEN STRUKTUR TEKAN


a adalah jarak antara dua pusat titik berat elemen komponen
struktur, mm
A adalah luas penampang komponen struktur tersusun, mm2
Ad adalah luas penampang satu unsur diagonal, mm2
Du adalah gaya lintang akibat beban terfaktor, N
ex adalah eksentrisitas seperti terlihat pada Gambar 9.8-2, mm
f cry adalah dihitung sesuai dengan persamaan (7.6-4), untuk tekuk
lentur terhadap sumbu lemah y, dan dengan menggunakan harga
λ c , yang dihitung dengan rumus , MPa
Lky fy
λc =
πry E
Ip adalah momen inersia pelat kopel; untuk pelat kopel di muka dan
di belakang yang tebalnya t dan tingginya h, mm4, maka:
1
I p = 2 × th 3
12
Il adalah momen inersia sebuah elemen pada komponen struktur
tersusun terhadap sumbu yang memberikan nilai terkecil (sumbu
l−l), mm4
Lkx adalah panjang tekuk komponen struktur tersusun pada arah tegak
lurus sumbu x−x, dengan memperhatikan pengekang lateral yang
ada, dan kondisi jepitan ujung-ujung komponen struktur, mm
Lky adalah panjang tekuk komponen struktur tersusun pada arah tegak
lurus sumbu y−y, dengan memperhatikan pengekang lateral yang
ada dan kondisi jepitan ujung-ujung komponen struktur, mm
Ld adalah panjang unsur diagonal, mm
Ll adalah panjang elemen pada komponen struktur, yang dibatasi
oleh dua ujung unsur penghubung, mm
m adalah konstanta seperti tercantum pada Gambar 9.3-1
n adalah jumlah unsur diagonal pada suatu potongan mendatar dari
komponen struktur tersusun

5 dari 12 - DAFTAR NOTASI


Nn adalah kuat tekan nominal komponen struktur, N
Nu adalah kuat tekan perlu yang merupakan gaya aksial tekan akibat
beban terfaktor, N
rx adalah jari-jari girasi komponen struktur terhadap sumbu x−x, mm
ry adalah jari-jari girasi komponen struktur terhadap sumbu y−y, mm
rmin adalah jari-jari girasi komponen struktur tersusun terhadap sumbu
yang memberikan nilai yang terkecil (sumbu l−l) , mm
xo, yo adalah koordinat pusat geser terhadap titik berat penampang, mm
z adalah konstanta yang tercantum pada masing-masing gambar
(lihat Gambar 9.4-1)
α adalah sudut antara unsur diagonal dengan elemen vertikal pada
komponen struktur tersusun
ωx adalah koefisien tekuk yang ditentukan dengan mengambil
panjang tekuk Lkx sama dengan 0,7 kali panjang skematisnya dan
jari-jari girasinya, rx
ωmax adalah koefisien tekuk komponen struktur pada rangka batang
yang ditentukan dengan mengambil panjang tekuk Lk sama
dengan panjang skematisnya, dan jari-jari girasi rη terhadap
sumbu η (lihat Gambar 9.8-2)
φn adalah faktor reduksi kekuatan

Butir 10 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA


TARIK AKSIAL
A adalah luas penampang menurut Butir 10.2.1 sampai dengan
10.2.4, mm2
Ag adalah luas penampang kotor, mm2
Ae adalah luas penampang efektif menurut Butir 10.2, mm2
d adalah diameter lubang baut, mm
fy adalah tegangan leleh, MPa
fu adalah tegangan tarik putus, MPa
L adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu panjang
pengelasan atau jarak antara dua baut yang terjauh pada sebuah
sambungan, mm
l adalah panjang pengelasan, mm
n adalah banyaknya lubang dalam garis potongan penampang
Nn adalah kuat tarik nominal, N
Nu adalah kuat tarik perlu yang merupakan gaya aksial tarik akibat
beban terfaktor, N
s adalah jarak antara sumbu lubang pada arah sejajar sumbu
komponen struktur, mm
t adalah tebal penampang, mm
U adalah faktor reduksi

6 dari 12 - DAFTAR NOTASI


u adalah jarak antara sumbu lubang pada arah tegak lurus sumbu
komponen struktur, mm
w adalah jarak antar sumbu pengelasan, mm
x adalah adalah eksentrisitas sambungan, jarak tegak lurus arah
gaya tarik, antara titik berat penampang komponen yang
disambung dengan bidang sambungan, mm
φ adalah faktor reduksi kekuatan (lihat Tabel 6.4-1) , mm

Butir 11 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA


KOMBINASI
B adalah lebar luar penampang kotak, sejajar sumbu utama x, mm
bf adalah lebar sayap, mm
cm adalah koefisien lentur kolom sesuai Butir 7.4.3
d adalah tinggi penampang, mm
fy adalah tegangan leleh, MPa
fcr adalah tegangan kritis menurut Butir 9, MPa
fun , fuv adalah tegangan normal dan tegangan gesek akibat beban
terfaktor yang ditentukan dengan analisis elastis, MPa
H adalah tinggi luar dari penampang kotak, tegaklurus sumbu utama
x, mm
φ adalah faktor reduksi kekuatan
φb adalah faktor reduksi kuat lentur
λc adalah parameter kelangsingan menurut Butir 9.2
Mp adalah momen plastis penampang ≤ 1,5 fy S, N-mm
Mux, M uy adalah pada komponen struktur, di mana telah diperhitungkan
kontribusi momen lentur orde kedua yang terjadi pada konfigurasi
struktur yang telah berdeformasi, N-mm
Mnx, M ny adalah kuat lentur nominal penampang terhadap sumbu-x dan
sumbu-y menurut Butir 8, N-mm
Nu adalah kuat perlu komponen struktur (gaya aksial terfaktor yang
terbesar (tarik atau tekan) yang bekerja), N
Nn adalah kuat nominal aksial komponen struktur (tarik atau tekan),
N

Butir 12 KOMPONEN STRUKTUR KOMPOSIT


AB adalah luas daerah tumpuan pada beton, mm2
Ac adalah luas penampang beton, mm2
Ar adalah luas penampang tulangan longitudinal, mm2
As adalah luas penampang profil baja, mm2
Asc adalah luas penampang penghubung geser jenis paku, mm2
b adalah lebar penampang persegi berongga, mm

7 dari 12 - DAFTAR NOTASI


c1 , c2 , c3 adalah koefisien untuk perhitungan karakteristik material kolom
komposit
Cf adalah gaya tekan pada pelat beton untuk kondisi komposit penuh,
N
D adalah diameter luar penampang baja, mm
E adalah modulus elastisitas baja, MPa
Ec adalah modulus elastisitas beton, MPa
Em adalah modulus elastisitas untuk perhitungan kolom komposit,
MPa
fcr adalah tegangan tekan kritis, MPa
f my adalah tegangan leleh untuk perhitungan kolom komposit, MPa
fu adalah kuat tarik putus penghubung geser jenis paku, MPa
fy adalah tegangan leleh profil baja, MPa
f yf adalah tegangan leleh bagian sayap profil baja, MPa
f yr adalah tegangan leleh tulangan longitudinal, MPa
f yw adalah tegangan leleh bagian badan profil baja, MPa
fc’ adalah kuat tekan karakteristik beton, MPa
Hs adalah tinggi penghubung geser jenis paku, mm
h adalah tinggi bersih badan baja profil, mm
hr adalah tinggi nominal gelombang pelat baja berprofil, mm
Is adalah momen inersia penampang baja, mm4
Itr adalah momen inersia penampang balok komposit penuh yang
belum retak, mm4
kc adalah faktor panjang efektif kolom
Lc adalah panjang penghubung geser kanal, mm
L adalah panjang komponen struktur, mm
Mn adalah kuat lentur nominal, N-mm
Mnx adalah kuat lentur nominal terhadap sumbu-x, N-mm
M ny adalah kuat lentur nominal terhadap sumbu-y, N-mm
Mux adalah kuat lentur perlu terhadap sumbu-x, N-mm
M uy adalah kuat lentur perlu terhadap sumbu-y, N-mm
Nr adalah jumlah penghubung geser jenis paku pada setiap
gelombang pelat berprofil di perpotongannya dengan balok, N
Nn adalah kuat aksial nominal, N
Nu adalah kuat aksial perlu, N
Qn adalah kapasitas geser untuk penghubung geser, N
rm adalah jari-jari girasi kolom komposit, mm
tf adalah tebal sayap, mm

8 dari 12 - DAFTAR NOTASI


tw adalah tebal badan, mm
w adalah berat jenis beton, kg/m3
wr adalah lebar efektif gelombang pelat baja berprofil, mm
λc adalah parameter kelangsingan
φb adalah faktor reduksi kuat lentur
φc adalah faktor reduksi kuat aksial tekan
ΣQn adalah jumlah kekuatan penghubung-penghubung geser di
sepanjang daerah yang dibatasi oleh momen maksimum dan
momen nol, N
ω adalah faktor tekuk

Butir 13 SAMBUNGAN
Ab adalah luas penampang bruto, mm2
d adalah kedalaman yang dipersiapkan untuk las, mm
db adalah diameter baut nominal pada daerah tak berulir, mm
f1,f2 adalah konstanta tegangan dalam perhitungan ft, MPa
ft adalah tegangan tarik dengan memperhitungkan ada atau tidak
adanya ulir baut pada bidang geser, MPa
fu adalah tegangan tarik putus pelat, MPa
f ub adalah tegangan tarik putus baut, MPa
fuv adalah tegangan geser akibat beban terfaktor pada suatu baut,
MPa
fuw adalah tegangan tarik putus material las, MPa
fy adalah tegangan leleh material, MPa
f yw adalah tegangan leleh material las, MPa
Ls adalah jarak antara titik pengekang lateral efektif, mm
Mu adalah momen lentur terfaktor atau momen perlu, N-mm
m adalah jumlah bidang geser
Nn adalah kuat tekan nominal komponen struktur, N
Nu adalah gaya aksial terfaktor, N
n adalah jumlah baut
Rd adalah kuat rencana, N
Rn adalah kuat nominal, N
Rnw adalah kuat nominal sambungan las, N
Ru adalah beban terfaktor atau kuat perlu, N
r1,r2 adalah faktor modifikasi tegangan untuk memperhitungkan ada
atau tidak adanya ulir baut pada bidang geser
sg adalah jarak pada arah tegak lurus gaya antara dua irisan yang
berdekatan yang mengandung lubang baut, mm
sp adalah jarak pada arah gaya antara dua irisan yang berdekatan
yang mengandung lubang baut, mm

9 dari 12 - DAFTAR NOTASI


Tb adalah gaya pratarik baut minimum yang diberikan pada saat
pengencangan, N
Td adalah kuat tarik rencana, N
Tn adalah kuat tarik nominal, N
Tu adalah gaya tarik terfaktor, N
t, t p adalah tebal pelat, mm
tt adalah tebal rencana las, mm
tw adalah tebal minimum las sudut, mm
Vd adalah kuat geser rencana baut, N
Vn adalah kuat geser nominal baut, N
Vu adalah gaya geser terfaktor, N
δ adalah faktor amplifikasi momen
δb adalah faktor amplifikasi momen untuk komponen struktur yang
tidak dapat bergoyang
δs adalah faktor amplifikasi momen untuk komponen struktur yang
dapat bergoyang
φ adalah faktor reduksi kekuatan
φf adalah faktor reduksi kekuatan saat fraktur
φy adalah faktor reduksi kekuatan saat leleh

Butir 14 KETAHANAN API


f y (T ) adalah tegangan leleh baja pada T °C
f y (30) adalah tegangan leleh baja pada 30 °C
hi adalah ketebalan material pelindung api, mm
ki adalah koefisien-koefisien regresi
ksm adalah rasio luas permukaan terekspos api terhadap massa, m2/ton
t adalah waktu dari saat awal pengujian, menit
T adalah temperatur baja dalam °C
T1 adalah temperatur batas baja, °C, 500°C≤T1≤750°C

Butir 15 KETENTUAN PERENCANAAN TAHAN GEMPA UNTUK


STRUKTUR BANGUNAN BAJA
Ag adalah luas penampang bruto kolom, mm2
bcf adalah lebar sayap kolom, mm
Ca dan Cv adalah koefisien percepatan gempa
db adalah tinggi bruto penampang balok, mm
dc adalah tinggi keseluruhan penampang kolom, mm
dz adalah tinggi daerah panel di antara pelat terusan, mm
D adalah pengaruh beban mati yang disebabkan oleh berat elemen
struktur dan beban tetap pada struktur, N

e adalah panjang Link, mm

10 dari 12 - DAFTAR NOTASI


EI adalah kekakuan lentur elastis batang tepi segmen khusus
Eh adalah pengaruh dari komponen horizontal gaya gempa
f yc adalah tegangan leleh penampang kolom, MPa
fy adalah tegangan leleh bahan baja, MPa
I adalah faktor kepentingan struktur, mm4
L adalah pengaruh beban hidup akibat pengguna gedung dan
peralatan bergerak
L adalah panjang bentang SRBPMK, mm
Ls adalah panjang segmen khusus, mm
Mnc adalah kuat lentur nominal batang tepi pada segmen khusus, N-
mm
Nnt adalah kuat tarik aksial nominal batang diagonal pada segmen
khusus, N
Nnc adalah kuat tekan aksial nominal batang diagonal pada segmen
khusus, N
Nuc adalah gaya aksial tekan terfaktor pada kolom, N
R adalah faktor modifikasi respons (lihat Tabel 15.2-1) , N
Ry adalah faktor modifikasi tegangan leleh sesuai Butir 15.5.2, N
tp adalah tebal total daerah panel, termasuk pelat pengganda, mm
t cf adalah ketebalan dari sayap kolom, mm
t adalah tebal pelat badan penampang kolom atau pelat pengganda
pada daerah panel, mm
T adalah waktu getar dasar struktur, N
V adalah gaya geser dasar rencana total, N
Vmaks adalah gaya geser dasar rencana maksimum, N
∑ M *pc adalah jumlah momen-momen kolom di bawah dan di atas
sambungan pada pertemuan antara as kolom dan as balok.
∑ M *pb adalah jumlah momen-momen balok-balok pada pertemuan as
balok dan as kolom.
Vn adalah kuat geser nominal Link, N
wz adalah lebar daerah panel di antara kedua sayap kolom, mm
Wt adalah berat total struktur, N
Zc adalah modulus plastis penampang kolom, ?
α adalah sudut antara batang diagonal dengan horizontal
Ω0 adalah faktor kuat cadang struktur (lihat Tabel 15.2-1)

Butir 17 PABRIKASI
a0, a1 adalah dimensi ketidak-sikuan sayap, mm
a2, a3 adalah dimensi diagonal penampang kotak, mm
b adalah dimensi terkecil pelat badan, mm

11 dari 12 - DAFTAR NOTASI


bf adalah lebar sayap, mm
d adalah tinggi penampang, mm
d0 adalah keseluruhan tinggi penampang termasuk dimensi ketidak-
sikuan, mm
d1 adalah tinggi bersih antara sayap dengan mengabaikan fillet atau
las, mm
e adalah dimensi penyimpangan-sumbu pelat badan, mm
s adalah ketidak-sikuan dari ujung pemotongan profil
L adalah panjang komponen struktur, mm
∆f adalah ketidak-dataran pelat sayap, mm
∆v adalah penyimpangan terhadap vertikal dari pelat badan pada
suatu tumpuan
∆w adalah ketidak-dataran badan

12 dari 12 - DAFTAR NOTASI


STANDAR PERENCANAAN KETAHANAN GEMPA

UNTUK STRUKTUR BANGUNAN GEDUNG

SNI – 1726 - 2002

APRIL 2002

DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERMUKIMAN
Jl. Panyaungan Cileunyi Wetan Kab. Bandung 40393 PO Box: 812, Bandung 40008
Phone: 62-22-7798393 (4 saluran), Fax. 62-22-7798392, E-mail: kapuskim@bdg.centrin.net.id
SNI-1726-2001

PRAKATA

Tatacara Prencanaan Ketahanan Gempa Untuk Rumah Dan Gedung, SNI 03-1726-1989 pada
saat ini sudah berumur lebih dari 10 tahun dan oleh para perencana bangunan gedung
dirasakan kurang dapat mengikuti perkembangan teknologi dewasa ini. Oleh karena itu
Tatacara ini perlu direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknik
sipil sehingga Tatacara ini akan tetap akurat dalam penggunaannya.

Selanjutnya Rancangan SNI yang ditunggu-tunggu dapat diselesaikan dengan baik dengan
judul Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Gedung, dan mudah-mudahan
dapat memenuhi tantangan yang dihadapi dalam dunia konstruksi bangunan khususnya
mengenai pesyaratan ketahanan gempa untuk gedung.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Tatacara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Gedung, terutama pada
Tim Penyusun yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Wiratman Wangsadinata.

Jakarta, Oktober 2001

Ketua Panitia Teknik


Bangunan Dan Konstruksi

i
SNI-1726-2001

DAFTAR ISI

PRAKATA i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

1. RUANG LINGKUP ................................................................................... 1

2. ACUAN ....................................................................................................... 1

3. ISTILAH DAN NOTASI ........................................................................... 1


3.1 Istilah ........................................................................................................... 1
3.2 Notasi ........................................................................................................... 5

4. KETENTUAN UMUM .............................................................................. 11


4.1 Gempa Rencana dan Kategori Gedung ....................................................... 11
4.2 Struktur Gedung Beraturan dan Tidak Beraturan ....................................... 12
4.3 Daktilitas Struktur Gedung dan Pembebanan Gempa Nominal .................. 13
4.4 Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor ..................................................... 17
4.5 Perencanaan Kapasitas ............................................................................... 17
4.6 Jenis Tanah dan Perambatan Gelombang Gempa ....................................... 17
4.7 Wilayah Gempa dan Spektrum Respons ..................................................... 19
4.8 Pengaruh Gempa Vertikal ........................................................................... 24

5. PERENCANAAN UMUM STRUKTUR GEDUNG ............................. 24


5.1 Struktur Atas dan Struktur Bawah ............................................................... 24
5.2 Struktur Penahan Beban Gempa .................................................................. 25
5.3 Lantai Tingkat Sebagai Diafragma .............................................................. 25
5.4 Eksentrisitas Pusat Massa Terhadap Pusat Rotasi Lantai Tingkat .............. 25
5.5 Kekakuan Struktur ....................................................................................... 26
5.6 Pembatasan Waktu Getar Alami Fundamental ........................................... 27
5.7 Pengaruh P-Delta ......................................................................................... 27
5.8 Arah Pembebanan Gempa ........................................................................... 27

6. PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERATURAN ................ 28


6.1 Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen .................................................... 28
6.2 Waktu Getar Alami Fundamental ............................................................... 28
6.3 Analisis Statik Ekuivalen ............................................................................ 29

7. PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG TIDAK BERATURAN ..... 29


7.1 Ketentuan Untuk Analisis Respons Dinamik .............................................. 29
7.2 Analisis Ragam Spektrum Respons ............................................................ 30
ii
SNI-1726-2001

7.3 Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu ................................................ 31

8. KINERJA STRUKTUR GEDUNG ....................................................... 32


8.1 Kinerja Batas Layan .................................................................................... 32
8.2 Kinerja Batas Ultimit .................................................................................. 32

9. PENGARUH GEMPA PADA STRUKTUR BAWAH ...................... 33


9.1 Pembebanan Gempa dari Struktur Atas ..................................................... 33
9.2 Pembebanan Gempa dari Gaya Inersia ....................................................... 35
9.3 Pembebanan Gempa dari Tanah Sekelilingnya ........................................... 35

10. PENGARUH GEMPA PADA UNSUR SEKUNDER, UNSUR


ARSITEKTUR DAN INSTALASI MESIN DAN LISTRIK ............. 36
10.1 Ruang Lingkup Pengamanan ....................................................................... 36
10.2 Tambatan ..................................................................................................... 36
10.3 Hubungan Antar-Unsur ............................................................................... 36
10.4 Pemutusan Otomatis Operasi Mesin dan Alat ............................................. 36
10.5 Pengaruh Gempa Rencana ........................................................................... 37

LAMPIRAN A : PENJELASAN
A.1 Ruang Lingkup ............................................................................................. 39
A.3 Istilah Dan Notasi ........................................................................................ 39
A.4 Ketentuan Umum ......................................................................................... 40
A.5 Perencanaan Umum Struktur Gedung ..... .................................................... 48
A.6 Perencanaan Struktur Gedung Beraturan ..................................................... 51
A.7 Perencanaan Struktur Gedung Tidak Beraturan .......................................... 53
A.8 Kinerja Struktur Gedung ............................................................................. 55
A.9 Pengaruh Gempa pada Struktur Bawah ....................................................... 56
A.10 Pengaruh Gempa pada Unsur Sekunder, Unsur Arsitektur dan Instalasi
Mesin dan Listrik ......................................................................................... 58

LAMPIRAN B :
B.1 Perencanaan Beban Dan Kuat Terfaktor Untuk Fondasi ............................ 61
B.2 Penjelasan Perencanaan Beban Dan Kuat Terfaktor Untuk Fondasi .......... 62

iii
SNI-1726-2001

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Faktor Keutamaan I Untuk Berbagai Kategori Gedung Dan Bangunan ...... 12

Tabel 2 Parameter Daktilitas Struktur Gedung ......................................................... 15

Tabel 3 Faktor Daktilitas Maksimum, Faktor Redukti Gempa Maksimum, Faktor


Kuat Lebih Struktur Dan Faktor Kuat Lebih Total Beberapa Jenis Sistem
Dan Subsistem Struktur Bangunan .............................................................. 16

Tabel 4 Jenis-Jenis Tanah ......................................................................................... 18

Tabel 5 Percepatan Puncak Batuan Dasar Dan Percepatan Puncak Muka Tanah
Untuk Masing-Masing Wilayah Gempa Indonesia ...................................... 19

Tabel 6 Spektrum Respons Gempa Rencana ............................................................ 22

Tabel 7 Koefisien ψ Untuk Menghitung Faktor Respons Gempa Vertikal Cv ......... 24

Tabel 8 Koefisien ξ Yang Membatasi Waktu Getar Alami Fundamental Struktur


Gedung ......................................................................................................... 27

Tabel 9 Faktor lebih struktur f2 dan faktor kuat lebih total f yang terkandung di
dalam struktur gedung .................................................................................. 34

Tabel 10 Faktor Kinerja Unsur Untuk Unsur Sekunder Dan Unsur Arsitektur .......... 38

Tabel 11 Faktor Kinerja Unsur Untuk Instalasi Mesin Dan Listrik ............................ 38

Tabel P.1 Faktor Reduksi Kekuatan φ Untuk Jenis Fondasi Telapak Dan Rakit ......... 61

Tabel P.2 Faktor Reduksi Kekuatan φ Untuk Jenis Tiang Pancang Dan Tiang Bor .... 62

iv
SNI-1726-2001

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Wilayah Gempa Indonesia Dengan Percepatan Puncak Batuan Dasar


Dengan Perioda Ulang 500 Tahunan .................................................... 21

Gambar 2 Respons Spektrum Gempa Rencana ..................................................... 23

Gambar P.1 Diagram Beban – Simpangan (Diagram V - δ ) Struktur Gedung ........ 42

Gambar P.2 Distribusi Besaran ln (Ru/Qu) Yang Berbentuk Lonceng ...................... 43

Gambar P. 3 Mekanisme Ideal Suatu Struktur Gedung Dengan Sendi Plastis


Terbentuk Pada Ujung-Ujung Balok, Kaki Kolom Dan Kaki Dinding
Geser ..................................................................................................... 44

Gambar P.4 Diagram Gaya Geser Tingkat Nominal Sepanjang Tinggi Struktur
Gedung .................................................................................................. 54

Gambar P.5 Diagram Momen – Simpangan Dari Suatu Sendi Plastis Pada Kaki
Kolom Atau Kaki Dinding Geser .......................................................... 57

v
SNI-1726-2002

1 Ruang lingkup
1.1 Standar ini dimaksudkan sebagai pengganti Standar Nasional Indonesia SNI 03-
1726-1989 dan untuk selanjutnya menjadi persyaratan minimum perencanaan ketahanan
gempa untuk struktur gedung, kecuali untuk struktur bangunan yang ditentukan dalam
Pasal 1.2.

1.2 Syarat-syarat perencanaan struktur gedung tahan gempa yang ditetapkan dalam
Standar ini tidak berlaku untuk bangunan sebagai berikut :
- Gedung dengan sistem struktur yang tidak umum atau yang masih memerlukan
pembuktian tentang kelayakannya.
- Gedung dengan sistem isolasi landasan (base isolation) untuk meredam pengaruh
gempa terhadap struktur atas.
- Bangunan Teknik Sipil seperti jembatan, bangunan air, dinding dan dermaga pelabuhan,
anjungan lepas pantai dan bangunan non-gedung lainnya.
- Rumah tinggal satu tingkat dan gedung-gedung non-teknis lainnya.

1.3 Standar ini bertujuan agar struktur gedung yang ketahanan gempanya
direncanakan menurut Standar ini dapat berfungsi :
- menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya gedung akibat gempa yang
kuat;
- membatasi kerusakan gedung akibat gempa ringan sampai sedang, sehingga masih
dapat diperbaiki;
- membatasi ketidaknyamanan penghunian bagi penghuni gedung ketika terjadi gempa
ringan sampai sedang;
- mempertahankan setiap saat layanan vital dari fungsi gedung.

2 Acuan
Standar ini menggunakan acuan dokumen:
− SNI 03-1726-1989, “Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Rumah Dan
Gedung”, Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum, Dit. Bintek, Ditjen Cipta Karya, 3
No. 1997
− National Earthquake Hazards Reduction Program (NEHERP) Recommended
Provisions for Seismic Regulation for New Buildings and Other Structures, 1997
Edition, Part 1 – Provisions, Part 2 – Commentary; FEMA 302, Feb. 1998
− Uniform Building Code (UBC), 1997 Edition, Volume 2, Structural Engineering
Design Provisions, International Conference of Building Officials, April 1997

3 Istilah dan notasi


3.1 Istilah
Kecuali tidak sesuai atau tidak ada hubungannya dengan yang ditetapkan dalam Standar
ini, maka dalam Standar ini berlaku beberapa pengertian sebagai berikut:

1 dari 63
SNI-1726-2002

3.1.1 Analisis
3.1.1.1
gempa ringan
gempa yang kemungkinan terjadinya adalah sekali saja atau dengan probabilitas sekitar
60% dalam kurun waktu umur gedung. Hal ini berarti bahwa untuk umur gedung biasa 50
tahun, perioda ulang gempa ringan adalah 50 tahun juga.

3.1.1.2
analisis beban dorong statik (static push over analysis) pada struktur gedung
suatu cara analisis statik 2 dimensi atau 3 dimensi linier dan non-linier, di mana pengaruh
Gempa Rencana terhadap struktur gedung dianggap sebagai beban-beban statik yang
menangkap pada pusat massa masing-masing lantai, yang nilainya ditingkatkan secara
berangsur-angsur sampai melampaui pembebanan yang menyebabkan terjadinya pelelehan
(sendi plastis) pertama di dalam struktur gedung, kemudian dengan peningkatan beban
lebih lanjut mengalami perubahan bentuk elasto-plastis yang besar sampai mencapai
kondisi di ambang keruntuhan.

3.1.1.3
analisis beban gempa statik ekuivalen pada struktur gedung beraturan
suatu cara analisis statik 3 dimensi linier dengan meninjau beban-beban gempa statik
ekuivalen, sehubungan dengan sifat struktur gedung beraturan yang praktis berperilaku
sebagai struktur 2 dimensi, sehingga respons dinamiknya praktis hanya ditentukan oleh
respons ragamnya yang pertama dan dapat ditampilkan sebagai akibat dari beban gempa
statik ekuivalen.

3.1.1.4
analisis beban gempa statik ekuivalen pada struktur gedung tidak beraturan
suatu cara analisis statik 3 dimensi linier dengan meninjau beban-beban gempa statik
ekuivalen yang telah dijabarkan dari pembagian gaya geser tingkat maksimum dinamik
sepanjang tinggi struktur gedung yang telah diperoleh dari hasil analisis respons dinamik
elastik linier 3 dimensi.

3.1.1.5
analisis perambatan gelombang
suatu analisis untuk menentukan pembesaran gelombang gempa yang merambat dari
kedalaman batuan dasar ke muka tanah, dengan data tanah di atas batuan dasar dan
gerakan gempa masukan pada kedalaman batuan dasar sebagai data masukannya.

3.1.1.6
analisis ragam spektrum respons
suatu cara analisis untuk menentukan respons dinamik struktur gedung 3 dimensi yang
berperilaku elastik penuh terhadap pengaruh suatu gempa melalui suatu metoda analisis
yang dikenal dengan analisis ragam spektrum respons, di mana respons dinamik total
struktur gedung tersebut didapat sebagai superposisi dari respons dinamik maksimum
masing-masing ragamnya yang didapat melalui spektrum respons Gempa Rencana.

3.1.1.7
analisis respons dinamik riwayat waktu linier
suatu cara analisis untuk menentukan riwayat waktu respons dinamik struktur gedung 3
dimensi yang berperilaku elastik penuh terhadap gerakan tanah akibat Gempa Rencana
2 dari 63
SNI-1726-2002

pada taraf pembebanan gempa nominal sebagai data masukan, di mana respons dinamik
dalam setiap interval waktu dihitung dengan metoda integrasi langsung atau dapat juga
melalui metoda analisis ragam.

3.1.1.8
analisis respons dinamik riwayat waktu non-linier
suatu cara analisis untuk menentukan riwayat waktu respons dinamik struktur gedung 3
dimensi yang berperilaku elastik penuh (linier) maupun elasto-plastis (non-linier) terhadap
gerakan tanah akibat Gempa Rencana sebagai data masukan, di mana respons dinamik
dalam setiap interval waktu dihitung dengan metoda integrasi langsung.

3.1.2 Beban Nominal


3.1.2.1
beban gempa nominal secara umum
beban gempa yang nilainya ditentukan oleh 3 hal, yaitu oleh besarnya probabilitas beban
itu dilampaui dalam kurun waktu tertentu, oleh tingkat daktilitas struktur yang
mengalaminya dan oleh kekuatan lebih yang terkandung di dalam struktur tersebut.
Menurut Standar ini, peluang dilampauinya beban tersebut dalam kurun waktu umur
gedung 50 tahun adalah 10% dan gempa yang menyebabkannya disebut Gempa Rencana
(dengan perioda ulang 500 tahun), tingkat daktilitas struktur gedung dapat ditetapkan
sesuai dengan kebutuhan, sedangkan faktor kuat lebih f1 untuk struktur gedung secara
umum nilainya adalah 1,6. Dengan demikian, beban gempa nominal adalah beban akibat
pengaruh Gempa Rencana yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama di dalam
struktur gedung, kemudian direduksi dengan faktor kuat lebih f1.

3.1.2.2
beban hidup nominal yang bekerja pada struktur gedung
beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan gedung tersebut, baik akibat beban
yang berasal dari orang maupun dari barang yang dapat berpindah atau mesin dan
peralatan serta komponen yang tidak merupakan bagian yang tetap dari gedung, yang nilai
seluruhnya adalah sedemikian rupa sehingga probabilitas untuk dilampauinya dalam kurun
waktu tertentu terbatas pada suatu persentase tertentu. Pada umumnya, probabilitas beban
tersebut untuk dilampaui adalah dalam kurun waktu umur gedung 50 tahun dan ditetapkan
sebesar 10%. Namun demikian, beban hidup rencana yang biasa ditetapkan dalam standar-
standar pembebanan struktur gedung, dapat dianggap sebagai beban hidup nominal.

3.1.2.3
beban mati nominal
beban yang berasal dari berat sendiri semua bagian dari gedung yang bersifat tetap,
termasuk dinding dan sekat pemisah, kolom, balok, lantai, atap, penyelesaian, mesin dan
peralatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gedung, yang nilai
seluruhnya adalah sedemikian rupa sehingga probabilitas untuk dilampauinya dalam kurun
waktu tertentu terbatas pada suatu persentase tertentu. Pada umumnya, probabilitas beban
tersebut untuk dilampaui adalah dalam kurun waktu umur gedung 50 tahun dan ditetapkan
sebesar 10%. Namun demikian, beban mati rencana yang biasa ditetapkan dalam standar-
standar pembebanan struktur gedung, dapat dianggap sebagai beban mati nominal.

3 dari 63
SNI-1726-2002

3.1.3 Daktilitas
3.1.3.1
daktilitas
kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar
secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang
menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan
kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah
berada dalam kondisi di ambang keruntuhan.

3.1.3.2
faktor Daktilitas
rasio antara simpangan maksimum struktur gedung pada saat mencapai kondisi di ambang
keruntuhan dan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama di
dalam struktur gedung.

3.1.3.3
daktail penuh
suatu tingkat daktilitas struktur gedung, di mana strukturnya mampu mengalami
simpangan pasca-elastik pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan yang paling
besar, yaitu dengan mencapai nilai faktor daktilitas sebesar 5,3.

3.1.3.4
daktail parsial
seluruh tingkat daktilitas struktur gedung dengan nilai faktor daktilitas di antara untuk
struktur gedung yang elastik penuh sebesar 1,0 dan untuk struktur gedung yang daktail
penuh sebesar 5,3.

3.1.4 Dinding Geser


3.1.4.1
dinding geser beton bertulang kantilever
suatu subsistem struktur gedung yang fungsi utamanya adalah untuk memikul beban geser
akibat pengaruh Gempa Rencana, yang runtuhnya disebabkan oleh momen lentur (bukan
oleh gaya geser) dengan terjadinya sendi plastis pada kakinya, di mana nilai momen
lelehnya dapat mengalami peningkatan terbatas akibat pengerasan regangan. Rasio antara
tinggi dan lebar dinding geser tidak boleh kurang dari 2 dan lebar tersebut tidak boleh
kurang dari 1,5 m.

3.1.4.2
dinding geser beton bertulang berangkai
suatu subsistem struktur gedung yang fungsi utamanya adalah untuk memikul beban geser
akibat pengaruh Gempa Rencana, yang terdiri dari dua buah atau lebih dinding geser yang
dirangkaikan oleh balok-balok perangkai dan yang runtuhnya terjadi dengan sesuatu
daktilitas tertentu oleh terjadinya sendi-sendi plastis pada ke dua ujung balok-balok
perangkai dan pada kaki semua dinding geser, di mana masing-masing momen lelehnya
dapat mengalami peningkatan hampir sepenuhnya akibat pengerasan regangan. Rasio
antara bentang dan tinggi balok perangkai tidak boleh lebih dari 4.

4 dari 63
SNI-1726-2002

3.2 Notasi
A Percepatan puncak Gempa Rencana pada taraf pembebanan nominal sebagai
gempa masukan untuk analisis respons dinamik linier riwayat waktu
struktur gedung.

Am Percepatan respons maksimum atau Faktor Respons Gempa maksimum


pada Spektrum Respons Gempa Rencana.
Ao Percepatan puncak muka tanah akibat pengaruh Gempa Rencana yang
bergantung pada Wilayah Gempa dan jenis tanah tempat struktur gedung
berada.

Ar Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C pada


Spektrum Respons Gempa Rencana.

b Ukuran horisontal terbesar denah struktur gedung pada lantai tingkat yang
ditinjau, diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa; dalam subskrip
menunjukkan struktur bawah.

c Dalam subskrip menunjukkan besaran beton.

C Faktor Respons Gempa dinyatakan dalam percepatan gravitasi yang nilainya


bergantung pada waktu getar alami struktur gedung dan kurvanya
ditampilkan dalam Spektrum Respons Gempa Rencana.

Cv Faktor Respons Gempa vertikal untuk mendapatkan beban gempa vertikal


nominal statik ekuivalen pada unsur struktur gedung yang memiliki
kepekaan yang tinggi terhadap beban gravitasi.

C1 Nilai Faktor Respons Gempa yang didapat dari Spektrum Respons Gempa
Rencana untuk waktu getar alami fundamental dari struktur gedung.

d Dalam subskrip menunjukkan besaran desain atau dinding geser.

di Simpangan horisontal lantai tingkat i dari hasil analisis 3 dimensi struktur


gedung akibat beban gempa nominal statik ekuivalen yang menangkap pada
pusat massa pada taraf lantai-lantai tingkat.

Dn Beban mati nominal yang dapat dianggap sama dengan beban mati rencana
yang ditetapkan dalam standar-standar pembebanan struktur gedung.

e Eksentrisitas teoretis antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat
struktur gedung; dalam subskrip menunjukkan kondisi elastik penuh.

ed Eksentrisitas rencana antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat
struktur gedung.

Ec Modulus elastisitas beton

En Beban gempa nominal yang nilainya ditentukan oleh besarnya probabilitas


beban itu dilampaui dalam kurun waktu tertentu, oleh faktor daktilitas
5 dari 63
SNI-1726-2002

struktur gedung μ yang mengalaminya dan oleh faktor kuat lebih beban dan
bahan f1 yang terkandung di dalam struktur gedung tersebut.

Es Modulus elastisitas baja (= 200 GPa)

f Faktor kuat lebih total yang terkandung di dalam struktur gedung secara
keseluruhan, rasio antara beban gempa maksimum akibat pengaruh Gempa
Rencana yang dapat diserap oleh struktur gedung pada saat mencapai
kondisi di ambang keruntuhan dan beban gempa nominal.

f1 Faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam suatu struktur
gedung akibat selalu adanya pembebanan dan dimensi penampang serta
kekuatan bahan terpasang yang berlebihan dan nilainya ditetapkan sebesar
1,6.

f2 Faktor kuat lebih struktur akibat kehiperstatikan struktur gedung yang


menyebabkan terjadinya redistribusi gaya-gaya oleh proses pembentukan
sendi plastis yang tidak serempak bersamaan; rasio antara beban gempa
maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat diserap oleh
struktur gedung pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan dan
beban gempa pada saat terjadinya pelelehan pertama.

Fb Beban gempa horisontal nominal statik ekuivalen akibat gaya inersia sendiri
yang menangkap pada pusat massa pada taraf masing-masing lantai besmen
struktur bawah gedung.

Fi Beban gempa nominal statik ekuivalen yang menangkap pada pusat massa
pada taraf lantai tingkat ke-i struktur atas gedung.

Fp Beban gempa nominal statik ekuivalen yang menangkap pada titik berat
massa unsur sekonder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik dalam
arah gempa yang paling berbahaya.

g Percepatan gravitasi; dalam subskrip menunjukkan momen yang bersifat


momen guling.

i Dalam subskrip menunjukkan nomor lantai tingkat atau nomor lapisan


tanah.

I Faktor Keutamaan gedung, faktor pengali dari pengaruh Gempa Rencana


pada berbagai kategori gedung, untuk menyesuaikan perioda ulang gempa
yang berkaitan dengan penyesuaian probabilitas dilampauinya pengaruh
tersebut selama umur gedung itu dan penyesuaian umur gedung itu.

I1 Faktor Keutamaan gedung untuk menyesuaikan perioda ulang gempa yang


berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama
umur gedung.

I2 Faktor Keutamaan gedung untuk menyesuaikan perioda ulang gempa yang


6 dari 63
SNI-1726-2002

berkaitan dengan penyesuaian umur gedung.

k Dalam subskrip menunjukkan kolom struktur gedung.

Kp Nilai koefisien pembesaran respons unsur sekonder, unsur arsitektur atau


instalasi mesin dan listrik, bergantung pada ketinggian tempat
kedudukannya terhadap taraf penjepitan lateral.

Ln Beban hidup nominal yang dapat dianggap sama dengan beban hidup
rencana yang ditetapkan dalam standar-standar pembebanan struktur
gedung.

m Jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan dasar.

M Momen lentur secara umum.

Mgm Momen guling maksimum dari struktur atas suatu gedung yang bekerja pada
struktur bawah pada taraf penjepitan lateral pada saat struktur atas berada
dalam kondisi di ambang keruntuhan akibat dikerahkannya faktor kuat lebih
total f yang terkandung di dalam struktur atas, atau akibat pengaruh momen
leleh akhir sendi-sendi plastis pada kaki semua kolom dan semua dinding
geser.

Mn Momen nominal suatu penampang unsur struktur gedung akibat pengaruh


Gempa Rencana pada taraf pembebanan nominal, atau akibat pengaruh
momen leleh sendi plastis yang sudah direduksi dengan faktor kuat lebih
beban dan bahan f1.

My Momen leleh awal sendi plastis yang terjadi pada ujung-ujung unsur
struktur gedung, kaki kolom dan kaki dinding geser pada saat di dalam
struktur tersebut akibat pengaruh Gempa Rencana terjadi pelelehan pertama.

My,d Momen leleh awal sendi plastis yang terjadi pada kaki dinding geser.

My,k Momen leleh awal sendi plastis yang terjadi pada kaki kolom.

n Nomor lantai tingkat paling atas (lantai puncak); jumlah lantai tingkat
struktur gedung; dalam subskrip menunjukkan besaran nominal.

N Nilai hasil Test Penetrasi Standar pada suatu lapisan tanah; gaya normal
secara umum.

Ni Nilai hasil Test Penetrasi Standar pada lapisan tanah ke-i.

N Nilai rata-rata berbobot hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah di atas
batuan dasar dengan tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya.

p Dalam subskrip menunjukkan unsur sekonder, unsur arsitektur atau instalasi


mesin dan listrik.

7 dari 63
SNI-1726-2002

P Faktor kinerja unsur, mencerminkan tingkat keutamaan unsur sekonder,


unsur arsitektur atau instalasi mesin dan listrik dalam kinerjanya selama
maupun setelah gempa berlangsung.

PI Indeks Plastisitas tanah lempung.

Qn Pembebanan nominal pada suatu struktur gedung, yaitu kombinasi beban-


beban nominal, masing-masing tanpa dikalikan dengan faktor beban.

Qu Pembebanan ultimit pada suatu struktur gedung, yaitu kombinasi beban-


beban ultimit, dihasilkan oleh kombinasi beban-beban nominal, masing-
masing dikalikan dengan faktor beban.

R Faktor reduksi gempa, rasio antara beban gempa maksimum akibat


pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung elastik penuh dan beban
gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung
daktail, bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut; faktor
reduksi gempa representatif struktur gedung tidak beraturan.

Rm Faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh suatu jenis
sistem atau subsistem struktur gedung.

Rn Kekuatan nominal suatu struktur gedung, dihasilkan oleh kekuatan nominal


unsur-unsurnya, masing-masing tanpa dikalikan dengan faktor reduksi.

Ru Kekuatan ultimit suatu struktur gedung, dihasilkan oleh kekuatan ultimit


unsur-unsurnya, yaitu kekuatan nominal yang masing-masing dikalikan
dengan faktor reduksi.

Rx Faktor reduksi gempa untuk pembebanan gempa dalam arah sumbu-x pada
struktur gedung tidak beraturan.

Ry Faktor reduksi gempa untuk pembebanan gempa dalam arah sumbu-y pada
struktur gedung tidak beraturan.

s Dalam subskrip menunjukkan besaran subsistem, struktur atau baja.

Su Kuat geser niralir lapisan tanah.

Sui Kuat geser niralir lapisan tanah ke-i.

Su Kuat geser niralir rata-rata berbobot dengan tebal lapisan tanah sebagai
besaran pembobotnya.

ti Tebal lapisan tanah ke-i.

T Waktu getar alami struktur gedung dinyatakan dalam detik yang


menentukan besarnya Faktor Respons Gempa struktur gedung dan kurvanya
ditampilkan dalam Spektrum Respons Gempa Rencana.
8 dari 63
SNI-1726-2002

T1 Waktu getar alami fundamental struktur gedung beraturan maupun tidak


beraturan dinyatakan dalam detik.

Tc Waktu getar alami sudut, yaitu waktu getar alami pada titik perubahan
diagram C dari garis datar menjadi kurva hiperbola pada Spektrum Respons
Gempa Rencana.

u Dalam subskrip menunjukkan besaran ultimit.

vs Kecepatan rambat gelombang geser.

vs Kecepatan rambat rata-rata berbobot gelombang geser dengan tebal lapisan


tanah sebagai besaran pembobotnya.

vsi Kecepatan rambat gelombang geser di lapisan tanah ke-i.

V Beban (gaya) geser dasar nominal statik ekuivalen akibat pengaruh Gempa
Rencana yang bekerja di tingkat dasar struktur gedung beraturan dengan
tingkat daktilitas umum, dihitung berdasarkan waktu getar alami
fundamental struktur gedung beraturan tersebut.

Ve Pembebanan gempa maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang


dapat diserap oleh struktur gedung elastik penuh dalam kondisi di ambang
keruntuhan.

Vm Pembebanan gempa maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang


dapat diserap oleh struktur gedung dalam kondisi di ambang keruntuhan
dengan pengerahan faktor kuat lebih total f yang terkandung di dalam
struktur gedung.

Vn Pengaruh Gempa Rencana pada taraf pembebanan nominal untuk struktur


gedung dengan tingkat daktilitas umum; pengaruh Gempa Rencana pada
saat di dalam struktur terjadi pelelehan pertama yang sudah direduksi
dengan faktor kuat lebih beban dan bahan f1.

Vs Gaya geser dasar nominal akibat beban gempa yang dipikul oleh suatu jenis
subsistem struktur gedung tertentu di tingkat dasar.

Vt Gaya geser dasar nominal akibat pengaruh Gempa Rencana pada taraf
pembebanan nominal yang bekerja di tingkat dasar struktur gedung dan
yang didapat dari hasil analisis ragam spektrum respons atau dari hasil
analisis respons dinamik riwayat waktu.

Vxo Gaya geser dasar nominal akibat pengaruh Gempa Rencana pada taraf
pembebanan nominal yang bekerja dalam arah sumbu-x di tingkat dasar
struktur gedung tidak beraturan.

Vyo Gaya geser dasar nominal akibat pengaruh Gempa Rencana pada taraf

9 dari 63
SNI-1726-2002

pembebanan nominal yang bekerja dalam arah sumbu-y di tingkat dasar


struktur gedung tidak beraturan.

V1 Gaya geser dasar nominal yang bekerja di tingkat dasar struktur gedung
tidak beraturan dengan tingkat daktilitas umum, dihitung berdasarkan waktu
getar alami fundamental struktur gedung.

wn Kadar air alami tanah.

Wb Berat lantai besmen struktur bawah suatu gedung, termasuk beban hidup
yang sesuai.

Wi Berat lantai tingkat ke-i struktur atas suatu gedung, termasuk beban hidup
yang sesuai.

Wp Berat unsur sekonder, unsur arsitektur atau instalasi mesin dan listrik.

Wt Berat total gedung, termasuk beban hidup yang sesuai.

x Penunjuk arah sumbu koordinat (juga dalam subskrip).

y Penunjuk arah sumbu koordinat (juga dalam subskrip); dalam subskrip


menunjukkan pembebanan pada saat terjadinya pelelehan pertama di dalam
struktur gedung atau momen yang bersifat momen leleh.

zi Ketinggian lantai tingkat ke-i suatu struktur gedung terhadap taraf


penjepitan lateral.

zn Ketinggian lantai tingkat puncak n suatu struktur gedung terhadap taraf


penjepitan lateral.

zp Ketinggian tempat kedudukan unsur sekonder, unsur arsitektur atau instalasi


mesin dan listrik terhadap taraf penjepitan lateral.

β (beta) Indeks kepercayaan (reliability index), suatu bilangan yang bila dikalikan
dengan deviasi standar distribusi besaran An (Ru/Qu), kemudian dikurangkan
dari nilai rata-rata besaran tersebut, menghasilkan suatu nilai besaran itu
yang probabilitas untuk dilampauinya terbatas pada suatu persentase
tertentu, di mana Ru adalah kekuatan ultimit struktur gedung yang ditinjau
dan Qu adalah pembebanan ultimit pada struktur gedung itu.

γ (gamma) Faktor beban secara umum.

γD (gamma-D) Faktor beban untuk beban mati nominal.

γE (gamma-E) Faktor beban untuk beban gempa nominal.

γL (gamma-L) Faktor beban untuk beban hidup nominal.

10 dari 63
SNI-1726-2002

δm (delta-m) Simpangan maksimum struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana


pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan.

δy (delta-y) Simpangan struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat
terjadinya pelelehan pertama.

ζ (zeta) Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung yang membatasi
waktu getar alami fundamental struktur gedung, bergantung pada Wilayah
Gempa.

η (eta) Faktor pengali dari simpangan struktur gedung akibat pengaruh Gempa
Rencana pada taraf pembebanan nominal untuk mendapatkan simpangan
struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama.

μ (mu) Faktor daktilitas struktur gedung, rasio antara simpangan maksimum


struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai
kondisi di ambang keruntuhan dan simpangan struktur gedung pada saat
terjadinya pelelehan pertama.

μm (mu-m) Nilai faktor daktilitas maksimum yang dapat dikerahkan oleh suatu sistem
atau subsistem struktur gedung.

ξ (ksi) Faktor pengali dari simpangan struktur gedung akibat pengaruh Gempa
Rencana pada taraf pembebanan nominal untuk mendapatkan simpangan
maksimum struktur gedung pada saat mencapai kondisi di ambang
keruntuhan.

σ (sigma) Deviasi standar distribusi besaran An (Ru/Qu), di mana Ru adalah kekuatan


ultimit struktur gedung yang ditinjau dan Qu adalah pembebanan ultimit
pada struktur gedung itu.

Σ (sigma) Tanda penjumlahan.

φ (phi) Faktor reduksi kekuatan secara umum.

ψ (psi) Koefisien pengali dari percepatan puncak muka tanah (termasuk faktor
keutamaannya) untuk mendapatkan faktor respons gempa vertikal,
bergantung pada Wilayah Gempa.

4 Ketentuan umum
4.1 Gempa rencana dan kategori gedung
4.1.1 Standar ini menentukan pengaruh Gempa Rencana yang harus ditinjau dalam
perencanaan struktur gedung serta berbagai bagian dan peralatannya secara umum. Akibat
pengaruh Gempa Rencana, struktur gedung secara keseluruhan harus masih berdiri,
walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Gempa Rencana ditetapkan
mempunyai perioda ulang 500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10%
selama umur gedung 50 tahun.

4.1.2 Untuk berbagai kategori gedung, bergantung pada probabilitas terjadinya


11 dari 63
SNI-1726-2002

keruntuhan struktur gedung selama umur gedung dan umur gedung tersebut yang
diharapkan, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu Faktor
Keutamaan I menurut persamaan :

I = I 1 I2 (1)

di mana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur gedung, sedangkan I2
adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa berkaitan dengan
penyesuaian umur gedung tersebut. Faktor-faktor Keutamaan I1, I2 dan I ditetapkan
menurut Tabel 1.

Tabel 1 Faktor Keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan

Faktor Keutamaan
Kategori gedung
I1 I2 I

Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0


perniagaan dan perkantoran

Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6

Gedung penting pasca gempa seperti rumah 1,4 1,0 1,4


sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televisi.

Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya 1,6 1,0 1,6


seperti gas, produk minyak bumi, asam,
bahan beracun.

Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5


Catatan :
Untuk semua struktur bangunan gedung yang ijin penggunaannya diterbitkan
sebelum berlakunya Standar ini maka Faktor Keutamaam, I, dapat dikalikan
80%.

4.2 Struktur gedung beraturan dan tidak beraturan


4.2.1 Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
- Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat
atau 40 m.
- Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun
mempunyai tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran
terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut.

12 dari 63
SNI-1726-2002

- Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun mempunyai
coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar
denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.
- Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral
yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal
denah struktur gedung secara keseluruhan.
- Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun
mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang
menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari 75% dari ukuran terbesar
denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap
yang tingginya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya
loncatan bidang muka.
- Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya
tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu tingkat, di mana
kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau
kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja
di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat.

- Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya setiap
lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di
atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi
ketentuan ini.

- Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban
lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan
tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.

- Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau
bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai
tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20%
dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.

Untuk struktur gedung beraturan, pengaruh Gempa Rencana dapat ditinjau sebagai
pengaruh beban gempa statik ekuivalen, sehingga menurut Standar ini analisisnya dapat
dilakukan berdasarkan analisis statik ekuivalen.

4.2.2 Struktur gedung yang tidak memenuhi ketentuan menurut Pasal 4.2.1, ditetapkan
sebagai struktur gedung tidak beraturan. Untuk struktur gedung tidak beraturan, pengaruh
Gempa Rencana harus ditinjau sebagai pengaruh pembebanan gempa dinamik, sehingga
analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis respons dinamik.

4.3 Daktilitas struktur bangunan dan pembebanan gempa nominal


4.3.1 Faktor daktilitas struktur gedung μ adalah rasio antara simpangan maksimum
struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang
keruntuhan δm dan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama δy,
yaitu :

13 dari 63
SNI-1726-2002

δm
1,0 ≤ μ = ≤ μm (2)
δy

Dalam pers. (2) μ = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur gedung yang
berperilaku elastik penuh, sedangkan μm adalah nilai faktor daktilitas maksimum yang
dapat dikerahkan oleh sistem struktur gedung yang bersangkutan menurut Pasal 4.3.4.

4.3.2 Apabila Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang
dapat diserap oleh struktur gedung elastik penuh dalam kondisi di ambang keruntuhan dan
Vy adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam struktur gedung,
maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktail dan struktur gedung elastik penuh
akibat pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan maksimum δm yang sama
dalam kondisi di ambang keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
Ve
Vy = (3)
μ
di mana μ adalah faktor daktilitas struktur gedung.

4.3.3 Apabila Vn adalah pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana
yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku hubungan sebagai
berikut :
Vy Ve
Vn = = (4)
f1 R
di mana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur
gedung dan nilainya ditetapkan sebesar :
f1 = 1,6 (5)
dan R disebut faktor reduksi gempa menurut persamaan :
1,6 ≤ R = μ f1 ≤ R m (6)
Dalam pers.(6) R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang
berperilaku elastik penuh, sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang
dapat dikerahkan oleh sistem struktur yang bersangkutan menurut Pasal 4.3.4.

Dalam Tabel 2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai μ yang bersangkutan, dengan
ketentuan bahwa nilai μ dan R tidak dapat melampaui nilai maksimumnya menurut Pasal
4.3.4.

14 dari 63
SNI-1726-2002

Tabel 2 Parameter daktilitas struktur gedung


Taraf kinerja struktur μ R
gedung pers.( 6)
Elastik penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
Daktail parsial 3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5

4.3.4 Nilai faktor daktilitas struktur gedung μ di dalam perencanaan struktur gedung
dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor
daktilitas maksimum μm yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem
struktur gedung. Dalam Tabel 3 ditetapkan nilai μm yang dapat dikerahkan oleh beberapa
jenis sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang
bersangkutan.

4.3.5 Apabila dalam arah pembebanan gempa akibat pengaruh Gempa Rencana sistem
struktur gedung terdiri dari beberapa jenis subsistem struktur gedung yang berbeda, faktor
reduksi gempa representatif dari struktur gedung itu untuk arah pembebanan gempa
tersebut, dapat dihitung sebagai nilai rata-rata berbobot dengan gaya geser dasar yang
dipikul oleh masing-masing jenis subsistem sebagai besaran pembobotnya menurut
persamaan :
Σ Vs
R = (7)
Σ Vs / R s

di mana Rs adalah nilai faktor reduksi gempa masing-masing jenis subsistem struktur
gedung dan Vs adalah gaya geser dasar yang dipikul oleh masing-masing jenis subsistem
struktur gedung tersebut, dengan penjumlahan meliputi seluruh jenis subsistem struktur
gedung yang ada. Metoda ini hanya boleh dipakai, apabila rasio antara nilai-nilai faktor
reduksi gempa dari jenis-jenis subsistem struktur gedung yang ada tidak lebih dari 1,5.

4.3.6 Untuk jenis subsistem struktur gedung yang tidak tercantum dalam Tabel 3, nilai
faktor daktilitasnya dan faktor reduksi gempanya harus ditentukan dengan cara-cara
rasional, misalnya dengan menentukannya dari hasil analisis beban dorong statik (static
push-over analysis).

15 dari 63
SNI-1726-2002

Tabel 3 Faktor daktilitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor


tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis sistem
dan subsistem struktur gedung
Sistem dan subsistem struktur Uraian sistem pemikul beban gempa μm Rm f
gedung Pers. (6) Pers. (39)
1. Sistem dinding penumpu 1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
(Sistem struktur yang tidak 2. Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan 1,8 2,8 2,2
memiliki rangka ruang pemikul bresing tarik
beban gravitasi secara lengkap. 3. Rangka bresing di mana bresingnya memikul beban
Dinding penumpu atau sistem gravitasi
bresing memikul hampir semua a.Baja 2,8 4,4 2,2
beban gravitasi. Beban lateral b.Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6) 1,8 2,8 2,2
dipikul dinding geser atau rangka
bresing).
2. Sistem rangka gedung 1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
(Sistem struktur yang pada dasarnya 2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
memiliki rangka ruang pemikul 3. Rangka bresing biasa
beban gravitasi secara lengkap. a.Baja 3,6 5,6 2,2
Beban lateral dipikul dinding b.Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6) 3,6 5,6 2,2
geser atau rangka bresing). 4. Rangka bresing konsentrik khusus
a.Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail 4,0 6,5 2,8
6. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail 3,6 6,0 2,8
penuh
7. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail 3,3 5,5 2,8
parsial
3. Sistem rangka pemikul momen 1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
(Sistem struktur yang pada dasarnya a.Baja 5,2 8,5 2,8
memiliki rangka ruang pemikul b.Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi secara lengkap. 2. Rangka pemikul momen menengah beton (SRPMM) 3,3 5,5 2,8
Beban lateral dipikul rangka 3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
pemikul momen terutama melalui a.Baja 2,7 4,5 2,8
mekanisme lentur) b.Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen khusus 4,0 6,5 2,8
(SRBPMK)
4. Sistem ganda 1. Dinding geser
(Terdiri dari: 1) rangka ruang yang a.Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang 5,2 8,5 2,8
memikul seluruh beban gravitasi; 2) b.Beton bertulang dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
pemikul beban lateral berupa c. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang 4,0 6,5 2,8
dinding geser atau rangka bresing 2. RBE baja
dengan rangka pemikul momen. a.Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
Rangka pemikul momen harus b.Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
direncanakan secara terpisah 3. Rangka bresing biasa
mampu memikul sekurang- a.Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
kurangnya 25% dari seluruh beban
b.Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
lateral; 3) kedua sistem harus
c.Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang 4,0 6,5 2,8
direncanakan untuk memikul secara
(tidak untuk Wilayah 5 & 6)
bersama-sama seluruh beban lateral
d.Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang 2,6 4,2 2,8
dengan memperhatikan interaksi
(tidak untuk Wilayah 5 & 6)
/sistem ganda)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a.Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b.Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
5. Sistem struktur gedung kolom Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
kantilever: (Sistem struktur yang
memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral)
6. Sistem interaksi dinding geser Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3, 4, 5 & 6) 3,4 5,5 2,8
dengan rangka
7. Subsistem tunggal 1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
(Subsistem struktur bidang yang 2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
membentuk struktur gedung secara 3. Rangka terbuka beton bertulang dengan balok beton 3,3 5,5 2,8
keseluruhan) pratekan (bergantung pada indeks baja total)
4. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail 4,0 6,5 2,8
penuh.

16 dari 63
SNI-1726-2002

Sistem dan subsistem struktur Uraian sistem pemikul beban gempa μm Rm f


gedung Pers. (6) Pers. (39)
5. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail 3,3 5,5 2,8
parsial

4.4 Perencanaan beban dan kuat terfaktor


4.4.1 Dengan menyatakan kekuatan ultimit suatu struktur gedung dan pembebanan
ultimit pada struktur gedung itu berturut-turut sebagai :
Ru = φ Rn (8)

Qu = γ Qn (9)

di mana φ adalah faktor reduksi kekuatan, Rn adalah kekuatan nominal struktur gedung, γ
adalah faktor beban dan Qn adalah pembebanan nominal pada struktur gedung tersebut,
maka menurut Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor harus dipenuhi persyaratan keadaan
batas ultimit sebagai berikut :
Ru ≥ Qu (10)

4.4.2 Dengan menyatakan beban mati nominal sebagai Dn, beban hidup nominal
sebagai Ln dan beban gempa nominal sebagai En, maka Perencanaan Beban dan Kuat
Terfaktor harus dilakukan dengan meninjau pembebanan ultimit pada struktur gedung
sebagai berikut:

- untuk kombinasi pembebanan oleh beban mati dan beban hidup :


Qu = γ D Dn + γ L Ln (11)
- untuk kombinasi pembebanan oleh beban mati, beban hidup dan beban gempa :
Qu = γ D Dn + γ L Ln + γ E En (12)

di mana γD, γL dan γE adalah faktor-faktor beban untuk beban mati nominal, beban hidup
nominal dan beban gempa nominal, yang nilai-nilainya ditetapkan dalam standar
pembebanan struktur gedung dan/atau dalam standar beton atau standar baja yang berlaku.

4.4.3 Beban mati nominal dan beban hidup nominal yang disebut dalam Pasal 4.4.2,
adalah beban-beban yang nilainya adalah sedemikian rupa, sehingga probabilitas adanya
beban-beban yang lebih besar dari itu dalam kurun waktu umur gedung terbatas sampai
suatu persentase tertentu. Namun demikian, beban mati rencana dan beban hidup rencana
yang ditetapkan dalam standar pembebanan struktur gedung, dapat dianggap sebagai
beban-beban nominal.

4.5 Perencanaan kapasitas


Struktur gedung harus memenuhi persyaratan “kolom kuat balok lemah”, artinya ketika
struktur gedung memikul pengaruh Gempa Rencana, sendi-sendi plastis di dalam struktur
gedung tersebut hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan pada kaki kolom dan kaki
dinding geser saja. Implementasi persyaratan ini di dalam perencanaan struktur beton dan
struktur baja ditetapkan dalam standar beton dan standar baja yang berlaku.

17 dari 63
SNI-1726-2002

4.6 Jenis tanah dan perambatan gelombang gempa


4.6.1 Kecuali bila lapisan tanah di atas batuan dasar memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam Pasal 4.6.3, pengaruh Gempa Rencana di muka tanah harus ditentukan
dari hasil analisis perambatan gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke muka
tanah dengan menggunakan gerakan gempa masukan dengan percepatan puncak untuk
batuan dasar menurut Tabel 5. Akselerogram gempa masukan yang ditinjau dalam analisis
ini, harus diambil dari rekaman gerakan tanah akibat gempa yang didapat di suatu lokasi
yang mirip kondisi geologi, topografi dan seismotektoniknya dengan lokasi tempat struktur
gedung yang ditinjau berada. Untuk mengurangi ketidak-pastian mengenai kondisi lokasi
ini, paling sedikit harus ditinjau 4 buah akselerogram dari 4 gempa yang berbeda, salah
satunya harus diambil Gempa El Centro N-S yang telah direkam pada tanggal 15 Mei 1940
di California.

4.6.2 Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah muka tanah yang memiliki nilai
hasil Test Penetrasi Standar N paling rendah 60 dan tidak ada lapisan batuan lain di
bawahnya yang memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar yang kurang dari itu, atau yang
memiliki kecepatan rambat gelombang geser vs yang mencapai 750 m/detik dan tidak ada
lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat gelombang geser
yang kurang dari itu.

4.6.3 Jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak,
apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas dipenuhi syarat-syarat yang
tercantum dalam Tabel 4.

Tabel 4 Jenis-jenis tanah


Kecepatan rambat Nilai hasil Test Kuat geser niralir
Jenis tanah gelombang geser Penetrasi Standar rata- rata-rata
rata-rata, v s rata S u (kPa)
(m/det) N
Tanah Keras v s > 350 N > 50 S u > 100

Tanah Sedang 175 < v s < 350 15 < N < 50 50 < S u < 100

v s < 175 N < 15 S u < 50


Tanah Lunak atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih dari 3 m
dengan PI > 20, wn > 40 % dan Su < 25 kPa
Tanah Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Dalam Tabel 4 v s , N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran itu dengan tebal
lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya yang harus dihitung menurut persamaan-
persamaan sebagai berikut :
m
∑ ti
vs = i =1 (13)
m
∑ t i / vsi
i =1

18 dari 63
SNI-1726-2002

m
∑ ti
i =1 (14)
N =
m
∑ t i / Ni
i =1

m
∑ ti
Su = i =1 (15)
m
∑ t i / Sui
i =1

di mana ti adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan rambat gelombang geser
melalui lapisan tanah ke-i, Ni nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui
adalah kuat geser niralir lapisan tanah ke-i dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di
atas batuan dasar. Selanjutnya, dalam Tabel 4 PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung,
wn adalah kadar air alami tanah dan Su adalah kuat geser niralir lapisan tanah yang
ditinjau.

4.4.4 Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel 4 adalah jenis tanah
yang tidak memenuhi syarat–syarat yang tercantum dalam tabel tersebut. Di samping itu,
yang termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah juga tanah yang memiliki potensi
likuifaksi yang tinggi, lempung sangat peka, pasir yang tersementasi rendah yang rapuh,
tanah gambut, tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih
dari 3 m, lempung sangat lunak dengan PI lebih dari 75 dan ketebalan lebih dari 10 m,
lapisan lempung dengan 25 kPa < Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m. Untuk jenis
Tanah Khusus percepatan puncak muka tanah harus ditentukan dari hasil analisis
perambatan gelombang gempa menurut Pasal 4.6.1.

4.7 Wilayah gempa dan spektrum respons


4.7.1 Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam
Gambar 1, di mana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah
dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini,
didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan
perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa ditetapkan
dalam Gambar 1 dan Tabel 5.

4.7.2 Apabila percepatan puncak muka tanah Ao tidak didapat dari hasil analisis
perambatan gelombang seperti disebut dalam Pasal 4.6.1, percepatan puncak muka tanah
tersebut untuk masing-masing Wilayah Gempa dan untuk masing-masing jenis tanah
ditetapkan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka


tanah untuk masing-masing Wilayah Gempa Indonesia.
Percepatan
Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’)
puncak batuan
Wilayah
dasar
Gempa Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus
(‘g’)
1 0,03 0,04 0,05 0,08 Diperlukan
evaluasi
2 0,10 0,12 0,15 0,20 khusus di
19 dari 63
SNI-1726-2002

Percepatan
Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’)
puncak batuan
Wilayah
dasar
Gempa Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus
(‘g’)
3 0,15 0,18 0,23 0,30 setiap lokasi
4 0,20 0,24 0,28 0,34
5 0,25 0,28 0,32 0,36
6 0,30 0,33 0,36 0,38

4.7.3 Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah Ao untuk
Wilayah Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar 1 dan Tabel 5 ditetapkan juga sebagai
percepatan minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur gedung untuk
menjamin kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut.

4.7.4 Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa
beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur beraturan menurut Pasal 6.1.2,
gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur gedung
tidak beraturan menurut Pasal 7.1.3 dan gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik
seluruh ragam yang berpartisipasi pada struktur gedung tidak beraturan menurut Pasal
7.2.1, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons Gempa
Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut C adalah
Faktor Respons Gempa dinyatakan dalam percepatan gravitasi dan T adalah waktu
getar alami struktur gedung dinyatakan dalam detik. Untuk T = 0 nilai C tersebut menjadi
sama dengan Ao, di mana Ao merupakan percepatan puncak muka tanah menurut Tabel 5.

20 dari 63
SNI-1726-2002

o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o
94 96 98 100 102 104 106 108 110 112 114 116 118 120 122 124 126 128 130 132 134 136 138 140
10 o 10 o

o 0 80 200 400 o
8 8
Kilometer

6o 6o
Banda Aceh

1
2
3 4 5 6 5 4 3 2 1
4o 4o

o o
2 2
Manado

Ternate
Pekanbaru

1
o o
0 Samarinda
0
2
1
Padang Palu Manokwari 3
2
3 Sorong
4 Jambi Biak 4
5
6
o
2 4
5 Palangkaraya 5 2o
3
2 Jayapura
6
1
Palembang Banjarmasin
5
Bengkulu Kendari Ambon
o o
4 4
4
1 Makasar 3
Bandarlampung
Tual 2
o
6 Jakarta 2 6o
1
Bandung
Garut Semarang
Sukabumi Surabaya
Tasikmalaya Solo
Jogjakarta 3
Blitar Malang
8o Cilacap
Banyuwangi
4
8o
Denpasar Mataram
Merauke
5

6
o o
10 5 Kupang
10
4
3
Wilayah 1 : 0,03 g
2
12
o
Wilayah 2 : 0,10 g 1
12
o

Wilayah 3 : 0,15 g
Wilayah 4 : 0,20 g
o o
14 14
Wilayah 5 : 0,25 g
Wilayah 6 : 0,30 g
o
16 16 o
o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o
94 96 98 100 102 104 106 108 110 112 114 116 118 120 122 124 126 128 130 132 134 136 138 140

Gambar 2.1. Wilayah Gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan perioda ulang 500 tahun

21 dari 63
SNI-1726-2002

4.7.5 Mengingat pada kisaran waktu getar alami pendek 0 < T < 0,2 detik terdapat
ketidak-pastian, baik dalam karakteristik gerakan tanah maupun dalam tingkat daktilitas
strukturnya, Faktor Respons Gempa C menurut Spektrum Respons Gempa Rencana yang
ditetapkan dalam Pasal 4.7.4, dalam kisaran waktu getar alami pendek tersebut, nilainya
tidak diambil kurang dari nilai maksimumnya untuk jenis tanah yang bersangkutan.

4.7.6 Dengan menetapkan percepatan respons maksimum Am sebesar


Am = 2,5 Ao (16)
dan waktu getar alami sudut Tc sebesar 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik untuk jenis tanah
berturut-turut Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak, maka dengan memperhatikan
Pasal 4.7.4 dan Pasal 4.7.5, Faktor Respons Gempa C ditentukan oleh persamaan-
persamaan sebagai berikut :
- untuk T < Tc :

C = Am (17)

- untuk T > Tc :
Ar
C = (18)
T
dengan
Ar = Am Tc (19)

Dalam Tabel 6, nilai-nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing Wilayah


Gempa dan masing-masing jenis tanah.

Tabel 6 Spektrum respons gempa rencana

Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak


Wilayah
Tc = 0,5 det. Tc = 0,6 det. Tc = 1,0 det.
Gempa
Am Ar Am Ar Am Ar

1 0,10 0,05 0,13 0,08 0,20 0,20


2 0,30 0,15 0,38 0,23 0,50 0,50
3 0,45 0,23 0,55 0,33 0,75 0,75
4 0,60 0,30 0,70 0,42 0,85 0,85
5 0,70 0,35 0,83 0,50 0,90 0,90
6 0,83 0,42 0,90 0,54 0,95 0,95

21 dari 63
SNI-1726-2002

Wilayah Gempa 1 0.50 Wilayah Gempa 2


0.50
C= (Tanah lunak)
T
0.23
0.38 C= (Tanah sedang)
T
0.20
C= (Tanah lunak) 0.15
T 0.30 C= (Tanah keras)
T
0.08
C C= (Tanah sedang) C
T
0.20 0.20
0.05
C= (Tanah keras) 0.15
0.13 T
0.10 0.12
0.08
0.05
0.04

0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0
T T

Wilayah Gempa 3 0.85 Wilayah Gempa 4


0.75 0.85
0.75 C= (Tanah lunak)
C= (Tanah lunak) 0.70 T
T
0.42
0.33 0.60 C= (Tanah sedang)
C= (Tanah sedang) T
0.55 T
0.30
C= (Tanah keras)
0.23 T
0.45 C= (Tanah keras)
T
C C
0.34
0.30 0.28
0.23
0.24
0.18

0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0
T T

0.90
Wilayah Gempa 5 0.95
Wilayah Gempa 6
0.90
0.83 0.90
C= (Tanah lun ak) 0.83 0.95
T C= (Tanah lun ak)
T
0.70 0.50 0.54
C= (Tanah sedang) C= (Tanah sedang)
T T
0.42
0.35 C= (Tanah keras)
C C=
T
(Tanah keras) C T

0.36 0.38
0.32 0.36
0.33
0.28

0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0


0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0
T T
Gambar 2 Respons Spektrum Gempa Rencana

22 dari 63
SNI-1726-2002

4.8 Pengaruh gempa vertikal


4.8.1 Unsur-unsur struktur gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap beban
gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok transfer
pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih tingkat di
atasnya serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan terhadap
komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, berupa beban gempa
vertikal nominal statik ekuivalen yang harus ditinjau bekerja ke atas atau ke bawah yang
besarnya harus dihitung sebagai perkalian Faktor Respons Gempa vertikal Cv dan beban
gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai.

4.8.2 Faktor Respons Gempa vertikal Cv yang disebut dalam Pasal 4.8.1 harus dihitung
menurut persamaan :
Cv = ψ Ao I (20)
di mana koefisien ψ bergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur gedung berada dan
ditetapkan menurut Tabel 7, dan Ao adalah percepatan puncak muka tanah menurut Tabel
5, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel 1.

Tabel 7 Koefisien ψ untuk menghitung faktor respons gempa vertikal Cv

Wilayah gempa ψ
1 0,5
2 0,5
3 0,5
4 0,6
5 0,7
6 0,8

5 Perencanaan umum struktur gedung


5.1 Struktur atas dan struktur bawah
5.1.1 Struktur atas suatu gedung adalah seluruh bagian struktur gedung yang berada di
atas muka tanah, sedangkan struktur bawah adalah seluruh bagian struktur gedung yang
berada di bawah muka tanah, yang terdiri dari struktur besmen - kalau ada – dan/atau
struktur fondasinya. Seluruh struktur bawah harus diperhitungkan memikul pengaruh
Gempa Rencana.

5.1.2 Apabila tidak dilakukan analisis interaksi tanah-struktur, struktur atas dan struktur
bawah dari suatu struktur gedung dapat dianalisis terhadap pengaruh Gempa Rencana
secara terpisah, di mana struktur atas dapat dianggap terjepit lateral pada taraf lantai dasar.
Selanjutnya struktur bawah dapat dianggap sebagai struktur tersendiri yang berada di
dalam tanah yang dibebani oleh kombinasi beban-beban gempa yang berasal dari struktur
atas, beban gempa yang berasal dari gaya inersia sendiri dan beban gempa yang berasal
dari tanah sekelilingnya.

5.1.3 Pada gedung tanpa besmen, taraf penjepitan lateral struktur atas dapat dianggap
terjadi pada bidang telapak fondasi langsung, bidang telapak fondasi rakit dan bidang atas
kepala (pur) fondasi tiang.

23 dari 63
SNI-1726-2002

5.1.4 Apabila penjepitan tidak sempurna dari struktur atas gedung pada struktur bawah
diperhitungkan, maka struktur atas gedung tersebut harus diperhitungkan terhadap
pengaruh deformasi lateral maupun rotasional dari struktur bawahnya.

5.1.5 Dalam perencanaan struktur atas dan struktur bawah suatu gedung terhadap
pengaruh Gempa Rencana, struktur bawah tidak boleh gagal lebih dahulu dari struktur
atas. Untuk itu, terhadap Pengaruh Gempa Rencana unsur-unsur struktur bawah harus tetap
berperilaku elastik penuh, tak bergantung pada tingkat daktilitas yang dimiliki struktur
atasnya.

5.2 Struktur penahan beban gempa


5.2.1 Dalam perencanaan struktur gedung terhadap pengaruh Gempa Rencana, semua
unsur struktur gedung, baik bagian dari subsistem struktur gedung maupun bagian dari
sistem struktur gedung seperti rangka (portal), dinding geser, kolom, balok, lantai, lantai
tanpa balok (lantai cendawan) dan kombinasinya, harus diperhitungkan memikul pengaruh
Gempa Rencana.

5.2.2 Pengabaian pemikulan pengaruh Gempa Rencana oleh salah satu atau lebih kolom
atau subsistem struktur gedung yang disebut dalam Pasal 5.2.1 hanya diperkenankan, bila
partisipasi pemikulan pengaruh gempanya adalah kurang dari 10%. Dalam hal ini, unsur
atau subsistem tersebut selain terhadap beban gravitasi, juga harus direncanakan terhadap
simpangan sistem struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung
yang berperilaku elastik penuh, yaitu terhadap simpangan sebesar R/1,6 kali simpangan
akibat beban gempa nominal pada struktur gedung tersebut, di mana R adalah faktor
reduksi gempa dari struktur gedung itu dan 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur
elastik penuh (R = f1).

5.2.3 Dalam suatu sistem struktur yang terdiri dari kombinasi dinding-dinding geser
dan rangka-rangka terbuka, beban geser dasar nominal akibat pengaruh Gempa Rencana
yang dipikul oleh rangka-rangka terbuka tidak boleh kurang dari 25% dari beban geser
nominal total yang bekerja dalam arah kerja beban gempa tersebut.

5.3 Lantai tingkat sebagai diafragma


5.3.1 Lantai tingkat, atap beton dan sistem lantai dengan ikatan suatu struktur gedung
dapat dianggap sangat kaku dalam bidangnya dan karenanya dapat dianggap bekerja
sebagai diafragma terhadap beban gempa horisontal.

5.3.2 Lantai tingkat, atap beton dan sistem lantai dengan ikatan suatu struktur gedung
yang tidak kaku dalam bidangnya, karena mengandung lubang-lubang atau bukaan yang
luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat, akan mengalami deformasi dalam
bidangnya akibat beban gempa horisontal, yang harus diperhitungkan pengaruhnya
terhadap pembagian beban gempa horisontal tersebut kepada seluruh sistem struktur
tingkat yang ada.

5.4. Eksentrisitas pusat massa terhadap pusat rotasi lantai tingkat


5.4.1 Pusat massa lantai tingkat suatu struktur gedung adalah titik tangkap resultante
beban mati, berikut beban hidup yang sesuai, yang bekerja pada lantai tingkat itu. Pada
perencanaan struktur gedung, pusat massa adalah titik tangkap beban gempa statik
24 dari 63
SNI-1726-2002

ekuivalen atau gaya gempa dinamik.

5.4.2 Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur gedung adalah suatu titik pada lantai
tingkat itu yang bila suatu beban horisontal bekerja padanya, lantai tingkat tersebut tidak
berotasi, tetapi hanya bertranslasi, sedangkan lantai-lantai tingkat lainnya yang tidak
mengalami beban horisontal semuanya berotasi dan bertranslasi.

5.4.3 Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu
eksentrisitas rencana ed. Apabila ukuran horisontal terbesar denah struktur gedung pada
lantai tingkat itu, diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa, dinyatakan dengan b,
maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut :
- untuk 0 < e < 0,3 b :
ed = 1,5 e + 0,05 b (21)
atau
ed = e - 0,05 b (22)
dan dipilih di antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau
subsistem struktur gedung yang ditinjau;
- untuk e > 0,3 b :
ed = 1,33 e + 0,1 b (23)
atau
ed = 1,17 e - 0,1 b (24)
dan dipilih di antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau
subsistem struktur gedung yang ditinjau.

5.4.4 Dalam perencanaan struktur gedung terhadap pengaruh Gempa Rencana,


eksentrisitas rencana ed antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat menurut Pasal
5.4.3. harus ditinjau baik dalam analisis statik, maupun dalam analisis dinamik 3 dimensi.

5.5 Kekakuan struktur


5.5.1 Dalam perencanaan struktur gedung terhadap pengaruh Gempa Rencana,
pengaruh peretakan beton pada unsur-unsur struktur dari beton bertulang, beton pratekan
dan baja komposit harus diperhitungkan terhadap kekakuannya. Untuk itu, momen inersia
penampang unsur struktur dapat ditentukan sebesar momen inersia penampang utuh
dikalikan dengan suatu persentase efektifitas penampang sebagai berikut :

- untuk kolom dan balok rangka beton bertulang terbuka : 75%


- untuk dinding geser beton bertulang kantilever : 60%
- untuk dinding geser beton bertulang berangkai
* komponen dinding yang mengalami tarikan aksial : 50%
* komponen dinding yang mengalami tekanan aksial : 80%
* komponen balok perangkai dengan tulangan diagonal : 40%
* komponen balok perangkai dengan tulangan memanjang : 20%

25 dari 63
SNI-1726-2002

5.5.2 Modulus elastisitas beton Ec harus ditetapkan sesuai dengan mutu (kuat tekan)
beton yang dipakai, sedangkan modulus elastisitas baja ditetapkan sebesar Es = 200 GPa.

5.5.3 Dalam perencanaan struktur gedung terhadap pengaruh Gempa Rencana,


kekakuan unsur struktur yang ditetapkan dalam Pasal 5.5.1 harus dipakai baik dalam
analisis statik maupun dalam analisis dinamik 3 dimensi.

5.6 Pembatasan waktu getar alami fundamental


Untuk mencegah penggunaan struktur gedung yang terlalu fleksibel, nilai waktu getar
alami fundamental T1 dari struktur gedung harus dibatasi, bergantung pada koefisien ζ
untuk Wilayah Gempa tempat struktur gedung berada dan jumlah tingkatnya n menurut
persamaan
T1 < ζ n (25)
di mana koefisien ζ ditetapkan menurut Tabel 8.

Tabel 8 Koefisien ζ yang membatasi waktu getar alami


Fundamental struktur gedung

Wilayah Gempa ζ

1 0,20
2 0,19
3 0,18
4 0,17
5 0,16
6 0,15

5.7 Pengaruh P-Delta


Struktur gedung yang tingginya diukur dari taraf penjepitan lateral adalah lebih dari 10
tingkat atau 40 m, harus diperhitungkan terhadap Pengaruh P-Delta, yaitu suatu gejala
yang terjadi pada struktur gedung yang fleksibel, di mana simpangan ke samping yang
besar akibat beban gempa lateral menimbulkan beban lateral tambahan akibat momen
guling yang terjadi oleh beban gravitasi yang titik tangkapnya menyimpang ke samping.

5.8 Arah pembebanan gempa


5.8.1 Dalam perencanaan struktur gedung, arah utama pengaruh Gempa Rencana harus
ditentukan sedemikian rupa, sehingga memberi pengaruh terbesar terhadap unsur-unsur
subsistem dan sistem struktur gedung secara keseluruhan.

5.8.2 Untuk mensimulasikan arah pengaruh Gempa Rencana yang sembarang terhadap
struktur gedung, pengaruh pembebanan gempa dalam arah utama yang ditentukan menurut
Pasal 5.8.1 harus dianggap efektif 100% dan harus dianggap terjadi bersamaan dengan
pengaruh pembebanan gempa dalam arah tegak lurus pada arah utama pembebanan tadi,
tetapi dengan efektifitas hanya 30%.

26 dari 63
SNI-1726-2002

6 Perencanaan struktur gedung beraturan


6.1 Beban gempa nominal statik ekuivalen
6.1.1 Struktur gedung beraturan dapat direncanakan terhadap pembebanan gempa
nominal akibat pengaruh Gempa Rencana dalam arah masing-masing sumbu utama denah
struktur tersebut, berupa beban gempa nominal statik ekuivalen, yang ditetapkan lebih
lanjut dalam pasal-pasal berikut.

6.1.2 Apabila kategori gedung memiliki Faktor Keutamaan I menurut Tabel 1 dan
strukturnya untuk suatu arah sumbu utama denah struktur dan sekaligus arah pembebanan
Gempa Rencana memiliki faktor reduksi gempa R dan waktu getar alami fundamental T1,
maka beban geser dasar nominal statik ekuivalen V yang terjadi di tingkat dasar dapat
dihitung menurut persamaan :
C1 I
V = Wt (26)
R
di mana C1 adalah nilai Faktor Respons Gempa yang didapat dari Spektrum Respons
Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu getar alami fundamental T1, sedangkan
Wt adalah berat total gedung, termasuk beban hidup yang sesuai.

6.1.3 Beban geser dasar nominal V menurut Pasal 6.1.2 harus dibagikan sepanjang
tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekuivalen Fi yang
menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i menurut persamaan :
Wi zi
Fi = n
V (27)
∑Wi zi
i =1

di mana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai, zi adalah
ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral menurut Pasal 5.1.2 dan
Pasal 5.1.3, sedangkan n adalah nomor lantai tingkat paling atas.

6.1.4 Apabila rasio antara tinggi struktur gedung dan ukuran denahnya dalam arah
pembebanan gempa sama dengan atau melebihi 3, maka 0,1 V harus dianggap sebagai
beban horisontal terpusat yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat paling atas,
sedangkan 0,9 V sisanya harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-
beban gempa nominal statik ekuivalen menurut Pasal 6.1.3.

6.1.5 Pada tangki di atas menara, beban gempa nominal statik ekuivalen sebesar V
harus dianggap bekerja pada titik berat massa seluruh struktur menara dan tangki berikut
isinya.

6.2. Waktu getar alami fundamental


6.2.1 Waktu getar alami fundamental struktur gedung beraturan dalam arah masing-
masing sumbu utama dapat ditentukan dengan rumus Rayleigh sebagai berikut :

27 dari 63
SNI-1726-2002

n
∑ Wi di2
i =1
T1 = 6,3 n (28)
g ∑ Fi di
i =1

di mana Wi dan Fi mempunyai arti yang sama seperti yang disebut dalam Pasal 6.1.3, di
adalah simpangan horisontal lantai tingkat ke-i dinyatakan dalam mm dan ‘g’ adalah
percepatan gravitasi yang ditetapkan sebesar 9810 mm/det2.

6.2.2 Apabila waktu getar alami fundamental T1 struktur gedung untuk penentuan
Faktor Respons Gempa C1 menurut Pasal 6.1.2 ditentukan dengan rumus-rumus empirik
atau didapat dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, nilainya tidak boleh menyimpang
lebih dari 20% dari nilai yang dihitung menurut Pasal 6.2.1.

6.3 Analisis statik ekuivalen


Mengingat pada struktur gedung beraturan pembebanan gempa nominal akibat pengaruh
Gempa Rencana dapat ditampilkan sebagai beban-beban gempa nominal statik ekuivalen
Fi yang menangkap pada pusat massa lantai-lantai tingkat, maka pengaruh beban-beban
gempa nominal statik ekuivalen tersebut dapat dianalisis dengan metoda analisis statik 3
dimensi biasa yang dalam hal ini disebut analisis statik ekuivalen 3 dimensi.

7 Perencanaan struktur gedung tidak beraturan


7.1 Ketentuan untuk analisis respons dinamik
7.1.1 Untuk struktur gedung tidak beraturan yang tidak memenuhi ketentuan yang
disebut dalam Pasal 4.2.1, pengaruh Gempa Rencana terhadap struktur gedung tersebut
harus ditentukan melalui analisis respons dinamik 3 dimensi. Untuk mencegah terjadinya
respons struktur gedung terhadap pembebanan gempa yang dominan dalam rotasi, dari
hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, paling tidak gerak ragam pertama (fundamental)
harus dominan dalam translasi.

7.1.2 Daktilitas struktur gedung tidak beraturan harus ditentukan yang representatif
mewakili daktilitas struktur 3D. Tingkat daktilitas tersebut dapat dinyatakan dalam faktor
reduksi gempa R representatif, yang nilainya dapat dihitung sebagai nilai rata-rata
berbobot dari faktor reduksi gempa untuk 2 arah sumbu koordinat ortogonal dengan gaya
geser dasar yang dipikul oleh struktur gedung dalam masing-masing arah tersebut sebagai
besaran pembobotnya menurut persamaan :
Vxo + Vyo
R = (29)
Vxo / R x + Vyo / R y

di mana Rx dan Vxo adalah faktor reduksi gempa dan gaya geser dasar untuk pembebanan
gempa dalam arah sumbu-x, sedangkan Ry dan Vyo adalah faktor reduksi gempa dan gaya
geser dasar untuk pembebanan gempa dalam arah sumbu-y. Metoda ini hanya boleh
dipakai, apabila rasio antara nilai-nilai faktor reduksi gempa untuk 2 arah pembebanan
gempa tersebut tidak lebih dari 1,5.

7.1.3 Nilai akhir respons dinamik struktur gedung terhadap pembebanan gempa
28 dari 63
SNI-1726-2002

nominal akibat pengaruh Gempa Rencana dalam suatu arah tertentu, tidak boleh diambil
kurang dari 80% nilai respons ragam yang pertama. Bila respons dinamik struktur gedung
dinyatakan dalam gaya geser dasar nominal V, maka persyaratan tersebut dapat dinyatakan
menurut persamaan berikut :
V > 0,8 V1 (30)
di mana V1 adalah gaya geser dasar nominal sebagai respons ragam yang pertama terhadap
pengaruh Gempa Rencana menurut persamaan :
C1 I
V1 = Wt (31)
R
dengan C1 adalah nilai Faktor Respons Gempa yang didapat dari Spektrum Respons
Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu getar alami pertama T1, I adalah Faktor
Keutamaan menurut Tabel 1 dan R adalah faktor reduksi gempa representatif dari struktur
gedung yang bersangkutan, sedangkan Wt adalah berat total gedung, termasuk beban
hidup yang sesuai.

7.2 Analisis ragam spektrum respons


7.2.1 Perhitungan respons dinamik struktur gedung tidak beraturan terhadap
pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana, dapat dilakukan dengan
metoda analisis ragam spektrum respons dengan memakai Spektrum Respons Gempa
Rencana menurut Gambar 2 yang nilai ordinatnya dikalikan faktor koreksi I/R, di mana I
adalah Faktor Keutamaan menurut Tabel 1, sedangkan R adalah faktor reduksi gempa
representatif dari struktur gedung yang bersangkutan. Dalam hal ini, jumlah ragam vibrasi
yang ditinjau dalam penjumlahan respons ragam menurut metoda ini harus sedemikian
rupa, sehingga partisipasi massa dalam menghasilkan respons total harus mencapai
sekurang-kurangnya 90%.

7.2.2 Penjumlahan respons ragam yang disebut dalam Pasal 7.2.1 untuk struktur gedung
tidak beraturan yang memiliki waktu-waktu getar alami yang berdekatan, harus dilakukan
dengan metoda yang dikenal dengan Kombinasi Kuadratik Lengkap (Complete Quadratic
Combination atau CQC). Waktu getar alami harus dianggap berdekatan, apabila selisih
nilainya kurang dari 15%. Untuk struktur gedung tidak beraturan yang memiliki waktu
getar alami yang berjauhan, penjumlahan respons ragam tersebut dapat dilakukan dengan
metoda yang dikenal dengan Akar Jumlah Kuadrat (Square Root of the Sum of Squares
atau SRSS).

7.2.3 Untuk memenuhi persyaratan menurut Pasal 7.1.3, maka gaya geser tingkat
nominal akibat pengaruh Gempa Rencana sepanjang tinggi struktur gedung hasil analisis
ragam spektrum respons dalam suatu arah tertentu, harus dikalikan nilainya dengan suatu
Faktor Skala :
0 ,8 V1
Faktor Skala = ≥1 (32)
Vt

di mana V1 adalah gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam yang pertama
saja dan Vt adalah gaya geser dasar nominal yang didapat dari hasil analisis ragam
spektrum respons yang telah dilakukan.

29 dari 63
SNI-1726-2002

7.2.4 Bila diinginkan, dari diagram atau kurva gaya geser tingkat nominal akibat
pengaruh Gempa Rencana sepanjang tinggi struktur gedung yang telah disesuaikan
nilainya menurut Pasal 7.2.3 dapat ditentukan beban-beban gempa nominal statik
ekuivalen yang bersangkutan (selisih gaya geser tingkat dari 2 tingkat berturut-turut), yang
bila perlu diagram atau kurvanya dimodifikasi terlebih dulu secara konservatif untuk
mendapatkan pembagian beban-beban gempa nominal statik ekuivalen yang lebih baik
sepanjang tinggi struktur gedung. Beban-beban gempa nominal statik ekuivalen ini
kemudian dapat dipakai dalam suatu analisis statik ekuivalen 3 dimensi biasa.

7.3 Analisis respons dinamik riwayat waktu


7.3.1 Bila diinginkan, perhitungan respons dinamik struktur gedung tidak beraturan
terhadap pengaruh Gempa Rencana, dapat dilakukan dengan metoda analisis dinamik 3
dimensi berupa analisis respons dinamik linier dan non-linier riwayat waktu dengan suatu
akselerogram gempa yang diangkakan sebagai gerakan tanah masukan.

7.3.2 Untuk perencanaan struktur gedung melalui analisis dinamik linier riwayat waktu
terhadap pengaruh Gempa Rencana pada taraf pembebanan gempa nominal, percepatan
muka tanah asli dari gempa masukan harus diskalakan ke taraf pembebanan gempa
nominal tersebut, sehingga nilai percepatan puncaknya A menjadi :
Ao I
A= (33)
R
di mana Ao adalah percepatan puncak muka tanah menurut Tabel 5, R adalah faktor
reduksi gempa representatif dari struktur gedung yang bersangkutan, sedangkan I adalah
Faktor Keutamaan menurut Tabel 1. Selanjutnya harus dipenuhi juga persyaratan menurut
Pasal 7.1.3 dan untuk itu Faktor Skala yang dipakai adalah sama seperti yang ditentukan
dalam Pasal 7.2.3, hanya Vt di sini merupakan gaya geser dasar maksimum yang terjadi di
tingkat dasar yang didapat dari hasil analisis respons dinamik riwayat waktu yang telah
dilakukan. Dalam analisis ini redaman struktur yang harus diperhitungkan dapat dianggap
5% dari redaman kritis.

7.3.3 Untuk mengkaji perilaku pasca-elastik struktur gedung terhadap pengaruh Gempa
Rencana, harus dilakukan analisis respons dinamik non-linier riwayat waktu, di mana
percepatan muka tanah asli dari gempa masukan harus diskalakan, sehingga nilai
percepatan puncaknya menjadi sama dengan Ao I, di mana Ao adalah percepatan puncak
muka tanah menurut Tabel 5 dan I adalah Faktor Keutamaan menurut Tabel 1.

7.3.4 Akselerogram gempa masukan yang ditinjau dalam analisis respons dinamik linier
dan non-linier riwayat waktu, harus diambil dari rekaman gerakan tanah akibat gempa
yang didapat di suatu lokasi yang mirip kondisi geologi, topografi dan seismotektoniknya
dengan lokasi tempat struktur gedung yang ditinjau berada. Untuk mengurangi ketidak-
pastian mengenai kondisi lokasi ini, paling sedikit harus ditinjau 4 buah akselerogram dari
4 gempa yang berbeda, salah satunya harus diambil akselerogram Gempa El Centro N-S
yang telah direkam pada tanggal 15 Mei 1940 di California.

7.3.5 Berhubung gerakan tanah akibat gempa pada suatu lokasi tidak mungkin dapat
diperkirakan dengan tepat, maka sebagai gempa masukan dapat juga dipakai gerakan tanah
yang disimulasikan. Parameter-parameter yang menentukan gerakan tanah yang
disimulasikan ini antara lain terdiri dari waktu getar predominan tanah, konfigurasi
30 dari 63
SNI-1726-2002

spektrum respons, jangka waktu gerakan dan intensitas gempanya.

8 Kinerja Struktur Gedung


8.1 Kinerja Batas Layan
8.1.1 Kinerja batas layan struktur gedung ditentukan oleh simpangan antar-tingkat akibat
pengaruh Gempa Rencana, yaitu untuk membatasi terjadinya pelelehan baja dan peretakan
beton yang berlebihan, di samping untuk mencegah kerusakan non-struktur dan
ketidaknyamanan penghuni. Simpangan antar-tingkat ini harus dihitung dari simpangan
struktur gedung tersebut akibat pengaruh Gempa Nominal yang telah dibagi Faktor Skala.

8.1.2 Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas layan struktur gedung, dalam segala
hal simpangan antar-tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung menurut Pasal
0,03
8.1.1 tidak boleh melampaui kali tinggi tingkat yang bersangkutan atau 30 mm,
R
bergantung yang mana yang nilainya terkecil.

8.2 Kinerja batas ultimit


8.2.1 Kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan oleh simpangan dan simpangan
antar-tingkat maksimum struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana dalam kondisi
struktur gedung di ambang keruntuhan, yaitu untuk membatasi kemungkinan terjadinya
keruntuhan struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk
mencegah benturan berbahaya antar-gedung atau antar bagian struktur gedung yang
dipisah dengan sela pemisah (sela delatasi). Sesuai Pasal 4.3.3 simpangan dan simpangan
antar-tingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung akibat pembebanan gempa
nominal, dikalikan dengan suatu faktor pengali ξ sebagai berikut :
- untuk struktur gedung beraturan :
ξ = 0,7 R (34)

- untuk struktur gedung tidak beraturan :


0,7R
ξ = (35)
Faktor Skala
di mana R adalah faktor reduksi gempa struktur gedung tersebut dan Faktor Skala adalah
seperti yang ditetapkan dalam Pasal 7.2.3.

8.2.2 Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas ultimit struktur gedung, dalam segala
hal simpangan antar-tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung menurut Pasal
8.2.1 tidak boleh melampaui 0,02 kali tinggi tingkat yang bersangkutan.

8.2.3 Jarak pemisah antar-gedung harus ditentukan paling sedikit sama dengan jumlah
simpangan maksimum masing-masing struktur gedung pada taraf itu yang dihitung dengan
cara yang disebut dalam Pasal 8.2.1. Dalam segala hal masing-masing jarak tersebut tidak
boleh kurang dari 0,025 kali ketinggian taraf itu diukur dari taraf penjepitan lateral.

8.2.4 Dua bagian struktur gedung yang tidak direncanakan untuk bekerja sama sebagai
satu kesatuan dalam mengatasi pengaruh Gempa Rencana, harus dipisahkan yang satu
terhadap yang lainnya dengan suatu sela pemisah (sela delatasi) yang lebarnya paling
sedikit harus sama dengan jumlah simpangan masing-masing bagian struktur gedung pada
31 dari 63
SNI-1726-2002

taraf itu yang dihitung dengan cara yang disebut dalam Pasal 8.2.1. Dalam segala hal lebar
sela pemisah tidak boleh ditetapkan kurang dari 75 mm.

8.2.5 Sela pemisah yang disebut dalam Pasal 8.2.4 harus direncanakan detailnya dan
dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga senantiasa bebas dari kotoran atau benda-benda
penghalang. Lebar sela pemisah juga harus memenuhi semua toleransi pelaksanaan.

9 Pengaruh gempa pada struktur bawah


9.1 Pembebanan gempa dari struktur atas
9.1.1 Berhubung sesuai Pasal 5.1.5 akibat pengaruh Gempa Rencana struktur bawah
tidak boleh gagal lebih dulu dari struktur atas, maka struktur bawah harus dapat memikul
pembebanan gempa maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana Vm yang dapat diserap
oleh struktur atas dalam kondisi di ambang keruntuhan menurut persamaan :
Vm = f2 Vy (36)
di mana Vy adalah pembebanan gempa akibat pengaruh Gempa Rencana yang
menyebabkan pelelehan pertama di dalam struktur gedung dan f2 adalah faktor kuat lebih
struktur akibat kehiperstatikan struktur gedung yang menyebabkan terjadinya redistribusi
gaya-gaya oleh proses pembentukan sendi plastis yang tidak serempak bersamaan. Faktor
kuat lebih struktur f2 nilainya bergantung pada nilai faktor daktilitas struktur gedung μ
yang bersangkutan dan ditetapkan menurut persamaan :
f2 = 0,83 + 0,17 μ (37)
Maka dengan memperhatikan Pasal 4.3.3, pembebanan gempa maksimum akibat pengaruh
Gempa Rencana Vm dapat dihitung dari pembebanan gempa nominal Vn menurut
persamaan :
Vm = f Vn (38)
di mana f disebut faktor kuat lebih total yang terdapat di dalam struktur gedung, yang
ditetapkan menurut persamaan :
f = f1 f2 (39)
dengan f1 = 1,6 sebagai faktor kuat lebih beban dan bahan. Dalam Tabel 9 dicantumkan
nilai f2 dan f untuk berbagai nilai μ, berikut faktor reduksi gempa R yang bersangkutan,
dengan ketentuan bahwa nilai μ dan R tidak dapat melampaui nilai maksimumnya
menurut Pasal 4.3.4.

32 dari 63
SNI-1726-2002

Tabel 9 Faktor kuat lebih struktur f2 dan faktor kuat lebih total f
yang terkandung di dalam struktur gedung
Taraf kinerja μ R f2 f
struktur pers.(6) pers.(37) pers.(39)

Elastik penuh 1,0 1,6 1,00 1,6

1,5 2,4 1,09 1,7


2,0 3,2 1,17 1,9
2,5 4,0 1,26 2,0
Daktail parsial 3,0 4,8 1,35 2,2
3,5 5,6 1,44 2,3
4,0 6,4 1,51 2,4
4,5 7,2 1,61 2,6
5,0 8,0 1,70 2,7

Daktail penuh 5,3 8,5 1,75 2,8

9.1.2 Dengan beban gempa nominal statik ekuivalen Fi pada suatu struktur gedung
menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i dan pada ketinggian zi diukur dari taraf
penjepitan lateral menurut Pasal 5.1.2 dan Pasal 5.1.3, maka pembebanan momen guling
nominal maksimum dari struktur atas pada struktur bawah yang berperilaku elastik
penuh sesuai dengan Pasal 9.1.1 harus dihitung menurut persamaan :
n n
M gm = f ∑ Fi zi = f 2
i =1
∑F z
i =1
i i (40)

Dalam pers.(40) R adalah faktor reduksi gempa untuk struktur elastik penuh (R = f1) dan n
adalah nomor lantai tingkat paling atas. Momen guling nominal maksimum ini bekerja
pada struktur bawah bersamaan dengan beban normal (vertikal) dan beban geser
(horisontal) yang bersangkutan.

9.1.3 Berhubung pada struktur atas gedung yang akibat pengaruh Gempa Rencana
berada dalam kondisi di ambang keruntuhan terdapat kemungkinan terjadinya sendi plastis
pada kaki semua kolom dan pada kaki semua dinding geser, maka momen guling yang
dikerjakan oleh momen leleh akhir dari semua sendi plastis tersebut, harus ditinjau sebagai
kemungkinan pembebanan momen guling dari struktur atas pada struktur bawah. Dalam
hal ini, apabila My,k adalah momen leleh awal sendi plastis pada kaki kolom dan My,d
adalah momen leleh awal sendi plastis pada kaki dinding geser, masing-masing dihitung
untuk gaya normal yang bersangkutan, di mana diagram interaksinya N-M untuk
menghitung momen leleh masing-masing dihitung berdasarkan dimensi penampang dan
kekuatan bahan terpasang, maka pembebanan momen guling nominal maksimum dari
struktur atas pada struktur bawah harus dihitung dari persamaan :

1 ⎛ ⎞
M gm = ⎜ ∑ M y,k + ∑ M y ,d ⎟ (41)
1,6 ⎜ kolom ⎟
⎝ dinding ⎠
Dalam pers.(41) 1,6 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan f1 dan penjumlahan harus
dilakukan meliputi seluruh kolom dan seluruh dinding geser yang ada dalam struktur atas
33 dari 63
SNI-1726-2002

gedung. Momen guling nominal maksimum menurut pers.(41) bekerja pada struktur bawah
bersamaan dengan beban normal (vertikal) dan beban geser (horisontal) yang
bersangkutan.

9.1.4 Momen guling nominal maksimum dari struktur atas pada struktur bawah yang
berperilaku elastik penuh yang menentukan, adalah yang nilainya terkecil di antara yang
dihitung menurut pers.(40) dan pers.(41). Tetapi dalam segala hal, nilai momen guling
nominal maksimum tersebut tidak perlu diambil lebih besar dari nilai momen guling
nominal yang terjadi akibat pengaruh Gempa Rencana pada struktur atas gedung yang
beperilaku elastik penuh, yang dapat ditulis menurut persamaan :
n
R
M gm ≤
1,6
∑ Fi z i (42)
i =1

Dalam pers.(42) R adalah faktor reduksi gempa dari struktur atas yang bersangkutan dan
1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur elastik penuh (R = f1).

9.1.5 Berhubung struktur atas suatu gedung dalam keadaan sesungguhnya akibat
pengaruh interaksi tanah-struktur tidak sepenuhnya terjepit pada taraf penjepitan lateral,
maka bila diinginkan pengaruh penjepitan tidak sempurna ini boleh diperhitungkan dengan
cara yang rasional, yang bergantung pada jenis tanah dan keberadaan besmen.

9.2 Pembebanan gempa dari gaya inersia


9.2.1 Berhubung dalam keadaan sesungguhnya akibat pengaruh interaksi tanah-struktur
oleh pengaruh Gempa Rencana antara struktur bawah dan tanah sekelilingnya terdapat
interaksi kinematik dan inersial, maka massa lantai-lantai besmen mengalami percepatan,
sehingga mengalami gaya inersia sendiri yang bekerja sebagai beban gempa horisontal
pada taraf lantai besmen tersebut, yang harus diperhitungkan membebani struktur besmen
secara keseluruhan.

9.2.2 Apabila tidak ditentukan dengan cara yang lebih rasional, maka sehubungan
dengan Pasal 9.2.1 beban gempa horisontal nominal statik ekuivalen akibat gaya inersia
sendiri Fb yang menangkap pada pusat massa lantai besmen dari struktur bawah yang
berperilaku elastik penuh dapat dihitung dari persamaan :
Fb = 0,10 Ao I Wb (43)
di mana Ao adalah percepatan puncak muka tanah akibat pengaruh Gempa Rencana
menurut Tabel 5, I adalah Faktor Keutamaan gedung yang bersangkutan menurut Tabel 1
dan Wb adalah berat lantai besmen, termasuk beban hidup yang sesuai.

9.3 Pembebanan gempa dari tanah sekelilingnya


9.3.1 Apabila tidak ditentukan dengan cara yang lebih rasional, dinding besmen dan
komponen lain struktur bawah harus diperhitungkan terhadap tekanan tanah dari tanah
depan akibat pengaruh Gempa Rencana, yang nilainya dapat dianggap mencapai nilai
maksimum sebesar nilai tekanan leleh tanah sepanjang kedalaman besmen. Tekanan leleh
tanah tersebut yang bekerja pada struktur bawah yang berperilaku elastik penuh harus
dijadikan tekanan tanah nominal dengan membaginya dengan faktor reduksi gempa R = f1
= 1,6 untuk struktur elastik penuh.

34 dari 63
SNI-1726-2002

9.3.2 Dalam perhitungan struktur bawah suatu gedung sebagai struktur 3 dimensi, harus
ditinjau keberadaan tanah belakang dengan memodelkannya sebagai pegas-pegas tekan
dan bila diinginkan keberadaan tanah samping dan tanah bawah (fondasi) dapat ditinjau
dengan memodelkannya sebagai pegas-pegas geser. Sifat-sifat pegas tekan dan pegas geser
harus dijabarkan secara rasional dari data tanah dan fondasi yang bersangkutan.

10 Pengaruh gempa pada unsur sekunder, unsur arsitektur dan instalasi


mesin dan listrik
10.1 Ruang lingkup pengamanan
10.1.1 Unsur sekonder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik harus diamankan
terhadap pengaruh Gempa Rencana, karena unsur-unsur tersebut dapat menimbulkan
bahaya pada manusia jika mengalami kegagalan, sedangkan instalasi mesin dan listrik
harus tetap dapat berfungsi selama dan setelah gempa berlangsung.

10.1.2 Benda-benda yang disimpan dalam museum dan barang-barang sejenis yang
mempunyai nilai sejarah atau nilai budaya yang tinggi, yang tidak merupakan unsur-unsur
struktur, harus ditambat dan diamankan terhadap pengaruh Gempa Rencana. Untuk detail
dari penambatan ini harus dimintakan nasehatnya dari ahli yang khusus.

10.2 Tambatan
10.2.1 Setiap unsur sekonder, unsur arsitektur seperti ornamen, panel beton pracetak dan
penutup luar gedung, serta instalasi mesin dan listrik, harus ditambat erat kepada struktur
gedungnya agar tahan terhadap pengaruh Gempa Rencana. Tahanan gesek akibat pengaruh
gravitasi tidak boleh diperhitungkan dalam merencanakan ketahanan geser suatu unsur
atau instalasi terhadap gaya gempa horisontal.

10.2.2 Alat-alat penambat, termasuk baut-baut jangkar, harus tahan karat, mempunyai
daktilitas serta daya tambat yang cukup. Dalam hal panel-panel beton pracetak, jangkar-
jangkarnya harus dilas atau dikaitkan kepada penulangan panel.

10.3 Hubungan Antar-Unsur


10.3.1 Pengaruh satu unsur terhadap unsur lainnya yang saling berhubungan harus
diperhitungkan. Kegagalan satu unsur sekonder, unsur arsitektur atau instalasi mesin dan
listrik yang direncanakan terhadap pengaruh suatu beban gempa tertentu, tidak boleh
menyebabkan kegagalan pada unsur lain yang berhubungan dan yang direncanakan
terhadap pengaruh beban gempa yang lebih tinggi.
10.3.2 Interaksi di antara unsur sekonder, unsur asitektur serta instalasi mesin dan listrik
harus dicegah dengan mengadakan jarak pemisah menurut Pasal 8.2.4.

10.4 Pemutusan otomatis operasi mesin dan alat


Jika pelanjutan operasi suatu mesin atau alat selama gerakan gempa berlangsung dapat
mengakibatkan bahaya yang berarti, maka harus diadakan suatu sistem yang memutuskan
secara otomatis operasi suatu mesin atau alat, jika suatu percepatan muka tanah tertentu
yang ditetapkan mulai bekerja.

10.5 Pengaruh Gempa Rencana


10.5.1 Setiap unsur sekunder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik harus
35 dari 63
SNI-1726-2002

direncanakan terhadap suatu beban gempa nominal statik ekuivalen Fp, yang bekerja dalam
arah yang paling berbahaya dan yang besarnya ditentukan menurut persamaan :
C1
Fp = K p P Wp (44)
R
di mana C1 adalah Faktor Respons Gempa yang didapat dari Spektrum Respons Gempa
Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu getar alami fundamental dari struktur gedung
yang memikul unsur sekonder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik tersebut,
yang beratnya masing-masing adalah Wp, sedangkan R adalah faktor reduksi gempa
struktur pemikul tersebut dan Kp dan P adalah berturut-turut koefisien pembesaran
respons dan faktor kinerja unsur yang ditentukan dalam ayat-ayat berikut.

10.5.2 Koefisien pembesaran respons mencerminkan pembesaran respons unsur atau


instalasi terhadap respons struktur gedung yang memikulnya, yang bergantung pada
ketinggian tempat kedudukannya pada struktur gedung. Apabila tidak dihitung dengan cara
yang lebih rasional, koefisien pembesaran respons Kp dapat dihitung menurut persamaan :
zp
Kp = 1 + (45)
zn

di mana zp adalah ketinggian tempat kedudukan unsur atau instalasi dan zn adalah
ketinggian lantai puncak gedung, keduanya diukur dari taraf penjepitan lateral menurut
Pasal 5.1.2 dan Pasal 5.1.3.

10.5.3 Faktor kinerja unsur P mencerminkan tingkat keutamaan unsur atau instalasi
tersebut dalam kinerjanya selama maupun setelah gempa berlangsung. Jika tidak
ditentukan dengan cara yang lebih rasional, faktor kinerja unsur P ditetapkan dalam Tabel
10 dan Tabel 11.

10.5.4 Waktu getar alami unsur sekonder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik
yang nilainya berdekatan dengan waktu getar alami struktur gedung yang memikulnya
harus dihindari, sebab dapat menimbulkan gejala resonansi yang berbahaya. Apabila rasio
waktu getar alami antara ke duanya adalah antara 0,6 dan 1,4, maka nilai faktor kinerja
unsur P harus dikalikan 2, kecuali jika dilakukan suatu analisis khusus.

36 dari 63
SNI-1726-2002

Tabel 10 Faktor kinerja unsur untuk unsur sekunder dan unsur arsitektur
Unsur sekunder dan unsur arsitektur Faktor kinerja unsur
P
1. Dinding dan sekat pemisah
- Dinding yang berbatasan dengan jalan keluar atau tempat umum atau
yang disyaratkan memiliki ketahanan tertentu terhadap kebakaran : 4
- Dinding kantilever dan sandaran (parapet) : 4
- Dinding dan sekat pemisah ruangan : 2,5

2. Ornamen, panel beton pracetak dan penutup luar gedung, berikut alat 8
penambatnya :
3. Sistem langit-langit yang digantung pada struktur gedung dengan 3
lempengan penutup yang beratnya melampaui 20 N per buah :
- di atas ruang penting (ruang bedah di rumah sakit), jalan keluar dan
tempat umum atau yang disyaratkan memiliki ketahanan tertentu 2
terhadap kebakaran :
- di atas ruang kerja dan penghunian biasa :
4. Perlengkapan ruang pada jalan keluar atau yang dapat membahayakan jika
mengalami pengaruh gempa :
5. Tangki air bersih dan cerobong yang menyatu dengan gedung dengan berat 2,5
tidak lebih dari 10% dari berat gedung :
6. Struktur rumah atap atau ruang mesin pada puncak gedung : 2,5

Tabel 11 Faktor kinerja unsur untuk instalasi mesin dan listrik

Instalasi mesin dan listrik Faktor kinerja unsur


P
1. Tangki tekanan tinggi, ketel uap, tungku, pembakar, pemanas air atau
alat-alat lain yang memakai sumber energi pembakaran dengan suhu 6
tinggi :

2. Tangki cairan atau gas di atas menara untuk :


- cairan dan gas beracun, alkohol, asam, alkali, logam pijar atau bahan-
bahan lain yang berbahaya 6
- sistem penyemprot air kebakaran 6
3. Pengatur roda gigi (switchgear), transformator, gardu listrik, alat kontrol 6
motor listrik.
4. Gantungan dan tambatan lampu :
- tambatan erat 2,5
- tambatan ayunan (bandul) 3,5
5. Sistem pipa distribusi berikut isinya :
- yang ditambat erat untuk cairan beracun dan berbahaya 6
- yang ditambat erat untuk air bersih 3
- yang ditambat fleksibel untuk cairan beracun dan berbahaya 8
- yang ditambat fleksibel untuk air bersih 5
6. Rak-rak untuk menyimpan batere dan barang-barang berbahaya 4
7. Mesin lift, rel pengarah 3
8. Peralatan siap jalan pada keadaan darurat, yang harus segera berfungsi 6
setelah gempa terjadi :

37 dari 63
SNI-1726-2002

Lampiran A

PENJELASAN

A.1 Ruang Lingkup


A.1.1 Dengan berlakunya Standar ini, pasal ini menekankan tidak berlakunya lagi
standar yang lama SNI 03-1726-1989. Hal ini adalah penting, karena menurut Standar ini
Gempa Rencana mempunyai perioda ulang 500 tahun, sedangkan menurut standar yang
lama perioda ulang tersebut hanya 200 tahun. Seperti diketahui, makin panjang perioda
ulang suatu gempa, makin besar juga pengaruh gempa tersebut pada struktur bangunan. Di
samping itu, di dalam Standar ini diberikan definisi baru mengenai jenis tanah yang
berbeda dengan menurut standar yang lama. Dengan demikian, jelas standar yang lama
tidak dapat dipakai lagi. Namun demikian, struktur gedung yang sudah ada yang ketahanan
gempanya telah direncanakan berdasarkan standar lama, ketahanan tersebut pada
umumnya masih memadai. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, faktor
reduksi gempa R menurut standar lama adalah relatif lebih kecil dari pada menurut Standar
ini. Misalnya untuk struktur daktail penuh menurut standar lama R = 6, sedangkan menurut
Standar ini R = 8,5, sehingga beban gempa yang harus diperhitungkan menurut standar
lama dan Standar ini saling mendekati. Kedua, dengan definisi jenis tanah yang baru,
banyak jenis tanah yang menurut standar lama termasuk jenis Tanah Lunak, menurut
Standar ini termasuk jenis Tanah Sedang, sehingga beban gempa yang perlu
diperhitungkan lebih saling mendekati lagi. Ketiga, gedung yang sudah ada telah menjalani
sebagian dari umurnya, sehingga dengan risiko yang sama terjadinya keruntuhan struktur
gedung dalam sisa umurnya, beban gempa yang harus diperhitungkan menjadi relatif lebih
rendah dari pada menurut Standar ini untuk gedung baru.

A.1.2 Pasal ini menyatakan, bahwa Standar ini tidak berlaku untuk bangunan-
bangunan yang disebut dalam pasal tersebut. Walaupun demikian, prinsip-prinsip pokok
yang ditetapkan dalam Standar ini berlaku juga untuk bangunan-bangunan tersebut, asal
disesuaikan tingkat daktilitasnya serta perilaku spesifik lainnya. Yang jelas, definisi jenis
tanah, peta wilayah gempa Indonesia dan spektrum respons berlaku umum.

A.1.3 Pasal ini secara singkat mengungkapkan falsafah perencanaan ketahanan


gempa dari suatu struktur gedung, yaitu bahwa akibat gempa yang kuat struktur mengalami
kerusakan berat, tetapi karena tidak runtuh dapat mencegah jatuhnya korban manusia,
sedangkan akibat gempa ringan sampai sedang kenyamanan penghunian tetap terjamin,
kerusakan yang terjadi masih dapat diperbaiki dan pelayanan vital fungsi gedung tetap
dapat berjalan.

A.3 Istilah dan notasi


A.3.1 Istilah
Dalam pasal ini ditetapkan pengertian berbagai jenis analisis yang dihadapi dalam
perencanaan ketahanan gempa struktur gedung, sehingga tidak ada interpretasi lain
mengenai analisis tersebut dari pada yang ditetapkan dalam pasal ini. Selanjutnya, dalam
pasal ini ditetapkan pengertian beban nominal, khususnya beban gempa nominal dalam
kaitannya dengan penggunaan cara Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor dalam
perencanaan kekuatan unsur struktur gedung. Dalam literatur Eropa, beban nominal
disebut beban karakteristik. Kemudian, di dalam pasal ini ditetapkan juga pengertian

38 dari 63
SNI-1726-2002

daktilitas struktur yang sangat penting untuk difahami, mengingat nilai faktor daktilitas
struktur yang menentukan besarnya beban gempa yang bekerja pada struktur tersebut
untuk perencanaan, dapat dipilih sendiri oleh perencana atau pemilik gedung. Akhirnya,
dalam pasal ini ditetapkan pengertian dinding geser beton bertulang untuk mengingatkan
para perencana, bahwa dinding geser beton bertulang dapat dibuat lebih daktail dengan
merangkaikannya dengan dinding geser lainnya melalui balok-balok perangkai beton
bertulang sebagai sarana untuk terjadinya plastifikasi.

A.3.2 Notasi
Dalam pasal ini semua notasi penting yang dipakai dalam Standar ini dijelaskan, sehingga
melalui pasal ini para pemakai Standar ini dengan mudah dapat menemukan arti dari
sesuatu notasi, tanpa harus mencari pasal yang pertama kali mencantumkan notasi tersebut.

A.4 Ketentuan umum


A.4.1 Gempa rencana dan kategori gedung
A.4.1.1 Pasal ini memberikan definisi dari Gempa Rencana, yaitu yang berkaitan
dengan gedung-gedung yang memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan,
kekhususan atau keutamaan dalam fungsinya, yang memiliki jumlah tingkat antara 10 dan
30, di mana umurnya dianggap 50 tahun. Dengan probabilitas terjadinya 10% dalam kurun
waktu umur gedung 50 tahun itu, menurut teori probabilitas Gempa Rencana ini
mempunyai perioda ulang 500 tahun. Gempa Rencana ini menyebabkan struktur gedung
mencapai kondisi di ambang keruntuhan, tetapi masih dapat berdiri sehingga dapat
mencegah jatuhnya korban manusia. Hal ini mencerminkan butir pertama dari falsafah
perencanaan struktur gedung menurut Pasal 1. Untuk gedung dari kategori ini berlaku I1 =
1,0 dan I2 = 1,0 (lihat Tabel 1).

A.4.1.2 Pasal ini menyesuaikan perioda ulang gempa yang menyebabkan struktur
gedung mencapai kondisi di ambang keruntuhan dengan kategori gedung. Karena gedung-
gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama memiliki fungsi
biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam fungsinya, maka
probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung ditetapkan sama
sebesar 10%, sehingga berlaku I1 = 1,0. Tetapi umur gedung-gedung tersebut berbeda-
beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10, karena berbagai alasan dan tujuan
pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun, sehingga I2 < 1 karena perioda
ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun. Gedung-gedung dengan jumlah
tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan monumental, mempunyai masa layan yang
panjang, bahkan harus dilestarikan untuk generasi yang akan datang, sehingga I2 > 1
karena perioda ulang gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun. Gedung-gedung penting
pasca gempa (rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat
penyelamatan dalam keadaan darurat dan fasilitas radio dan televisi), gedung-gedung yang
membahayakan lingkungan bila rusak berat akibat gempa (tempat penyimpanan bahan
berbahaya) atau membahayakan bangunan di dekatnya bila runtuh akibat gempa
(cerobong, tangki di atas menara), mempunyai umur manfaat tidak berbeda dengan
gedung-gedung dengan fungsi biasa, yaitu sekitar 50 tahun, sehingga berlaku I2 = 1,0.
Tetapi probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung harus
dibedakan dan semuanya harus kurang dari 10%, sehingga I1 > 1 karena perioda ulang
gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun. Kombinasi I1 dan I2 untuk beberapa kategori

39 dari 63
SNI-1726-2002

gedung ditetapkan dalam Tabel 1, berikut perkaliannya I.

A.4.2 Struktur gedung beraturan dan tidak beraturan


A.4.2.1 Struktur gedung dapat digolongkan ke dalam struktur gedung beraturan, bila
memenuhi ketentuan-ketentuan yang diberikan dalam pasal ini. Struktur gedung beraturan
ini pada umumnya simetris dalam denah dengan sistem struktur yang terbentuk oleh
subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar
dengan sumbu-sumbu utama ortogonal denah tersebut. Apabila untuk analisis 3D sumbu-
sumbu koordinat diambil sejajar dengan arah sumbu-sumbu utama denah struktur,
kemudian dilakukan analisis vibrasi bebas, maka pada struktur gedung beraturan gerak
ragam pertama akan dominan dalam translasi dalam arah salah satu sumbu utamanya,
sedangkan gerak ragam kedua akan dominan dalam translasi dalam arah sumbu utama
lainnya. Dengan demikian, struktur 3D gedung beraturan praktis berperilaku sebagai
struktur 2D dalam masing-masing arah sumbu utamanya. Akan dijelaskan nanti (lihat
A.6.1.1), bahwa pengaruh gempa pada struktur gedung beraturan dengan menerapkan
metoda Analisis Ragam dapat dianggap seolah-olah berupa beban gempa statik ekuivalen
yang dihitung sebagai respons dinamik ragam fundamentalnya saja.

A.4.2.2 Apabila suatu struktur gedung tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang


ditetapkan dalam Pasal 4.2.1, maka kita menghadapi struktur gedung tidak beraturan.
Untuk struktur gedung tidak beraturan pengaruh gempa terhadapnya harus dianalisis secara
dinamik. Dengan menerapkan metoda Analisis Ragam, respons terhadap gempa dinamik
merupakan superposisi dari respons dinamik sejumlah ragamnya yang berpartisipasi.

A.4.3 Daktilitas Struktur Gedung Dan Pembebanan Gempa Nominal


A.4.3.1 Dari pasal ini terlihat, bahwa pada struktur yang elastik penuh, kondisi struktur
di ambang keruntuhan tercapai bersamaan dengan pelelehan pertama di dalam struktur (δm
= δy). Selanjutnya pasal ini menentukan, bahwa tidak semua jenis sistem struktur gedung
mampu berperilaku daktail penuh dengan mencapai μ = 5,3. Faktor daktilitas maksimum
μm yang dapat dicapai oleh berbagai jenis sistem struktur ditetapkan dalam Tabel 3. Untuk
perencanaan suatu struktur gedung nilai μ dapat dipilih sendiri oleh perencana atau pemilik
gedung, asal memenuhi 1,0 < μ < μm. Untuk selanjutnya lihat A.4.3.4.

A.4.3.2 Asumsi yang dianut dalam pasal ini, yaitu bahwa struktur gedung daktail dan
struktur gedung elastik penuh akibat pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan
maksimum δm yang sama dalam kondisi di ambang keruntuhan (constant maximum
displacement rule), sudah biasa dianut dalam standar-standar perencanaan ketahanan
gempa untuk struktur gedung, agar terdapat hubungan yang sederhana antara Vy dan Ve
melalui μ. Asumsi ini adalah konservatif, karena dalam keadaan sesungguhnya struktur
gedung yang daktail memiliki δm yang relatif lebih besar dari pada struktur gedung yang
elastik, sehingga memiliki μ yang relatif lebih besar dari pada yang diasumsikan. Asumsi
yang dianut divisualisasikan dalam diagram beban-simpangan (diagram V-δ) yang
ditunjukkan dalam Gambar P.1.

40 dari 63
SNI-1726-2002

V
R Vn
Ve

elastik

μ R δ
daktail f Vn
Vm
f2
f
Vy f1
Vn Fi

zi

0 δn δy δm δ
V
Gambar P.1 Diagram beban-simpangan (diagram V-δ) struktur gedung

A.4.3.3 Dalam pasal ini ditetapkan pembebanan gempa nominal Vn akibat pengaruh
Gempa Rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung. Nilai Vn tentu
adalah lebih rendah dari nilai Vy, sedemikian rupa sehingga rasio Vy/Vn merepresentasikan
faktor kuat lebih beban dan bahan f1 yang terkandung di dalam struktur gedung. Faktor
kuat lebih ini terbentuk oleh kekuatan terpasang dari unsur-unsur struktur yang
direncanakan melalui cara Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor. Secara teoretis nilai
minimum f1 itu adalah perkalian faktor beban dan faktor bahan yang dipakai dalam
Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor, yaitu f1 = 1,05 x 1,15 = 1,2. Dalam hal ini, faktor
bahan adalah kebalikan dari faktor reduksi kapasitas (= 1/φ). Dalam kenyataannya selalu
terjadi kekuatan unsur-unsur struktur yang berlebihan, karena jumlah tulangan atau profil
terpasang yang lebih besar dari pada yang diperlukan, sehingga pada umumnya f1 > 1,2.
Untuk struktur gedung secara umum, menurut berbagai penelitian nilai f1 yang
representatif ternyata adalah sekitar f1 = 1,6. Adapun faktor reduksi gempa R nilainya tentu
berubah-ubah mengikuti perubahan nilai μ sesuai dengan pers.(6). Di dalam Tabel 2
dicantumkan nilai-nilai R untuk berbagai nilai μ. Secara visual hubungan antara Ve, Vm,
Vy, Vn, μ dan R ditunjukkan dalam Gambar P.1.
Pers.(4) adalah persamaan dasar untuk menentukan pembebanan gempa nominal pada
struktur gedung. Bila Vy diketahui, misalnya dihitung dari kapasitas penampang unsur-
unsur terpasang atau dari hasil analisis beban dorong statik dari struktur secara
keseluruhan, maka Vn = Vy/f1. Bila Ve diketahui, misalnya dari perhitungan analitik
melalui analisis respons dinamik spektrum respons, maka Vn = Ve/R. Untuk yang terakhir
ini tentu μ harus diketahui terlebih dahulu (lihat A.4.3.6).

A.4.3.4 Dalam pasal ini ditetapkan Tabel 3 yang memuat nilai-nilai faktor daktilitas
maksimum μm yang dapat dikerahkan oleh sejumlah jenis sistem atau subsistem struktur
gedung dari hasil berbagai penelitian, berikut nilai Rm yang bersangkutan. Untuk setiap
sistem atau subsistem yang tercantum dalam Tabel 3 tentu dapat dipilih nilai μ yang lebih
41 dari 63
SNI-1726-2002

rendah dari nilai μm-nya. Semakin rendah nilai μ yang dipilih semakin tinggi beban gempa
yang akan diserap oleh struktur gedung tersebut, tetapi semakin sederhana (ringan)
pendetailan yang diperlukan dalam hubungan-hubungan antar-unsur dari struktur tersebut.

A.4.3.5 Pasal ini memberi kesempatan kepada perencana untuk merakit jenis sistem
struktur secara keseluruhan dari jenis-jenis subsistem tertentu yang diketahui nilai R-nya.
Nilai R struktur secara keseluruhan yang representatif kemudian dihitung dari pers.(7),
yang menunjukkan nilai rata-rata berbobot dengan gaya geser dasar yang dipikul oleh
masing-masing jenis subsistem sebagai besaran pembobotnya. Untuk itu diperlukan suatu
analisis pendahuluan dari struktur gedung itu berdasarkan beban gempa sembarang (R
sembarang) untuk mendapatkan rasio dari gaya geser dasar yang dipikul oleh masing-
masing subsistem.

A.4.3.6 Untuk jenis-jenis sistem struktur yang tidak umum, pada umumnya belum
diketahui nilai μ-nya, sehingga harus ditentukan terlebih dahulu dengan cara-cara rasional,
misalnya melalui analisis beban dorong statik. Dari analisis ini dapat diketahui δy dan δm ,
sehingga μ dapat dihitung. Di samping itu dari analisis tersebut Vy juga diketahui,
sehingga Vn dapat dihitung dengan membaginya dengan f1.

A.4.4 Perencanaan beban dan kuat terfaktor


A.4.4.1 Dalam pasal ini Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor dirumuskan secara
umum dengan falsafah sebagai berikut. Suatu struktur atau unsur struktur dari suatu
gedung adalah aman, apabila Ru – Qu > 0 atau Ru/Qu > 1 atau An (Ru/Qu) > 0. Distribusi
besaran An (Ru/Qu) menunjukkan suatu kurva yang berbentuk lonceng yang mempunyai
suatu deviasi standar σ seperti ditunjukkan dalam Gambar P.2. Dengan memperkenalkan
suatu indeks kepercayaan β, suatu nilai besaran An (Ru/Qu) yang ditargetkan memiliki
suatu probabilitas tertentu untuk dilampaui, dapat dinyatakan sebagai nilai rata-rata
besaran An (Ru/Qu) tersebut dikurangi perkalian β σ seperti ditunjukkan dalam Gambar
P.2. Telah disepakati secara umum, bahwa faktor reduksi kapasitas φ dan faktor beban γ
harus menunjukkan suatu kombinasi nilai sedemikian rupa, sehingga target nilai besaran
An (Ru/Qu) tercapai dengan indeks kepercayaan sekecil-kecilnya β = 3 untuk kombinasi
pembebanan oleh beban mati dan beban hidup dan sedikit-dikitnya β = 2 untuk kombinasi
pembebanan oleh beban mati, beban hidup dan beban gempa. Atas dasar ketentuan inilah
berbagai standar perencanaan menetapkan kombinasi nilai-nilai φ dan γ yang dapat
βσ
berbeda dari satu standar ke standar yang lain, tetapi memenuhi ketentuan target nilai yang
disebut di atas.

Frikuensi distribusi
An ( Ru / Qu )

probabilitas
dilampaui

Nilai target Nilai rata-rata

An ( R
42 dari 63u
/ Qu )
Gambar P.2 Distribusi besaran An (Ru/Qu) yang berbentuk lonceng
SNI-1726-2002

A.4.4.2 Faktor-faktor beban γD, γL dan γE tidak diberikan nilainya dalam pasal ini,
karena sudah ditetapkan dalam standar pembebanan struktur gedung dan/atau dalam
standar beton atau standar baja yang berlaku. Demikian juga faktor-faktor reduksi
kekuatan φ tidak diberikan nilainya dalam Standar ini, karena sudah ditetapkan dalam
standar beton dan standar baja yang berlaku. Dalam hal ini dapat dicatat, bahwa menurut
beberapa penelitian kombinasi nilai-nilai faktor beban dan faktor reduksi kekuatan yang
ditetapkan dalam standar-standar Indonesia memenuhi target β minimum yang disebut
dalam A.4.1.

A.4.4.3 Penelitian mengenai nilai nominal dari beban mati dan beban hidup belum
banyak dilakukan, karena diperlukan waktu yang panjang (selama kurun waktu umur
gedung) untuk mendapatkan kurva distribusinya yang akurat. Karena itu, selama nilai-nilai
nominal kedua macam beban tersebut belum tersedia, nilai-nilainya yang ditetapkan
sebagai nilai beban rencana dalam berbagai standar pembebanan dapat dipakai. Dalam
literatur Eropa, beban nominal disebut beban karakteristik.

A.4.5 Perencanaan Kapasitas


A.4.5.1 Faktor daktilitas suatu struktur gedung merupakan dasar bagi penentuan beban
gempa yang bekerja pada struktur gedung. Karena itu, tercapainya tingkat daktilitas yang
diharapkan harus terjamin dengan baik. Hal ini dapat tercapai dengan menetapkan suatu
persyaratan yang disebut “kolom kuat balok lemah” seperti ditetapkan dalam pasal ini. Hal
ini berarti, bahwa akibat pengaruh Gempa Rencana, sendi-sendi plastis di dalam struktur
gedung hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan pada kaki kolom dan kaki dinding
geser saja. Secara ideal, mekanisme keruntuhan suatu struktur gedung adalah seperti
ditunjukkan dalam Gambar P.3.

sendi plastis

kolom
dinding geser

balok

sendi plastis
sendi plastis

Gambar P.3. Mekanisme keruntuhan ideal suatu struktur gedung dengan


sendi plastis terbentuk pada ujung-ujung balok, kaki kolom

A.4.6 Jenis Tanah Dan Perambatan Gelombang Gempa


A.4.6.1 Gelombang gempa merambat melalui batuan dasar di bawah muka tanah. Dari
kedalaman batuan dasar ini gelombang gempa tersebut kemudian merambat ke muka tanah
43 dari 63
SNI-1726-2002

sambil mengalami pembesaran, bergantung pada jenis lapisan tanah yang berada di atas
batuan dasar tersebut. Pembesaran gerakan tanah inilah yang harus ditentukan dengan
melakukan analisis perambatan gelombang gempa yang disebut dalam pasal ini.
Selanjutnya pasal ini menegaskan, bahwa setiap akselerogram mengandung ketidakpastian
untuk dipakai di suatu lokasi. Karena itu harus ditinjau sedikitnya 4 buah akselerogram
gempa yang berbeda. Gempa El Centro dianggap sebagai standar, karena akselerogramnya
mengandung frikuensi yang lebar, tercatat pada jarak sedang dari pusat gempa dengan
magnitudo yang sedang pula (bukan ekstrim).

A.4.6.2 Pasal ini memberikan definisi mengenai batuan dasar berdasarkan dua kriteria,
yaitu nilai hasil Test Penetrasi Standar N dan kecepatan rambat gelombang geser vs. Dalam
praktek definisi yang pertama yang umumnya dipakai, mengingat data nilai N merupakan
data standar yang selalu diketemukan dalam laporan hasil penyelidikan geoteknik suatu
lokasi, sedangkan untuk mendapatkan nilai vs diperlukan percobaan-percobaan khusus di
lapangan. Apabila tersedia ke 2 kriteria tersebut, maka kriteria yang menentukan adalah
yang menghasilkan jenis batuan yang lebih lunak.

A.4.6.3 Di dalam pasal ini diberikan definisi mengenai jenis Tanah Keras, Tanah
Sedang dan Tanah Lunak berdasarkan tiga kriteria, yaitu kecepatan rambat gelombang
geser vs, nilai hasil Test Penetrasi Standar N dan kuat geser niralir Su. Untuk menetapkan
jenis tanah yang dihadapi, paling tidak harus tersedia 2 dari 3 kriteria tersebut, di mana
kriteria yang menghasilkan jenis tanah yang lebih lunak adalah yang menentukan. Apabila
tersedia ke 3 kriteria tersebut, maka jenis suatu tanah yang dihadapi harus didukung paling
tidak oleh 2 kriteria tadi. Dari berbagai penelitian ternyata, bahwa hanya lapisan setebal 30
m paling atas yang menentukan pembesaraan gerakan tanah di muka tanah. Karena itu,
nilai rata-rata berbobot dari ke 3 kriteria tersebut harus dihitung sampai kedalaman tidak
lebih dari 30 m. Penetapan batas kedalaman ini juga penting untuk menstandarkan
perhitungan nilai rata-rata menurut pers.(13), (14) dan (15), mengingat semakin besar
kedalaman tersebut pada umumnya semakin tinggi nilai rata-rata yang didapat.

A.4.6.4 Pasal ini memberi petunjuk jenis-jenis tanah apa saja yang tergolong ke dalam
jenis Tanah Khusus. Karena sifat-sifat dari jenis-jenis tanah ini tidak dapat dirumuskan
secara umum, maka segala sifatnya harus dievaluasi secara khusus di setiap lokasi tempat
jenis-jenis tanah tersebut ditemukan. Pasal ini menegaskan, bahwa pada jenis Tanah
Khusus gerakan gempa di muka tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan
gelombang gempa. Dalam analisis perambahan gelombang gempa ini, acelerogram gempa
harus diambil dari rekaman getaran akibat gempa yang ada atau yang didapatkan dari suatu
lokasi yang kondisi geologi, topografi dan seismotonik dan kandungan frekuensinya mirip
dengan lokasi tempat tanah khusus yang ditinjau berada. Berhubung gerakan tanah akibat
gempa pada suatu lokasi tidak mungkin dapat diperkirakan dengan tepat, maka sebagai
gempa masukan dapat juga dipakai getaran gempa yang disimulasikan. Parameter-
parameter yang menentukan getaran gempa yang disimulasikan ini antara lain adalah
waktu getar predominant, konfigurasi spektrum respons, jangka waktu getar dan intensitas
gempanya.

A.4.7 Wilayah gempa dan spektrum respons


A.4.7.1 Peta Wilayah Gempa Indonesia yang dimuat dalam pasal ini adalah hasil
analisis probabilistik bahaya gempa (probabilistic seismic hazard analysis) yang telah
dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia berdasarkan data seismotektonik mutakhir
44 dari 63
SNI-1726-2002

yang tersedia saat ini. Data masukan untuk analisis ini adalah lokasi sumber gempanya,
distribusi magnitudo gempa di daerah sumber gempa, fungsi atenuasi yang memberi
hubungan antara gerakan tanah setempat, magnitudo gempa di sumber gempa dan jarak
dari tempat yang ditinjau sampai sumber gempa, magnitudo minimum dan maksimum
serta frikuensi kejadian gempa per tahun di daerah sumber gempa, dan model matematik
kejadian gempa. Sebagai daerah sumber gempanya, telah ditinjau semua sumber gempa
yang telah tercatat dalam sejarah kegempaan Indonesia, baik sumber gempa pada zona
subduksi, sumber gempa dangkal pada lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-
sesar aktif yang sudah teridentifikasi. Mengenai distribusi magnitudo gempa di daerah
gempa, hal ini telah dihitung berdasarkan data kegempaan yang tersedia. Distribusi ini
lebih dikenal sebagai diagram frikuensi magnitudo Gutenberg-Richter. Sebagai fungsi
atenuasi telah ditinjau beberapa macam fungsi, yaitu yang diusulkan oleh Fukushima &
Tanaka (1990), Youngs (1997), Joyner & Boore (1997) dan Crouse (1991), dengan
gerakan tanah setempat yang ditinjau berupa percepatan puncak batuan dasar. Kejadian
gempanya secara matematik dimodelkan mengikuti fungsi Poisson. Dalam analisis
probabilistik bahaya gempa ini, percepatan puncak batuan dasar diperoleh melalui proses
perhitungan berturut-turut sebagai berikut: (1) probabilitas total dengan meninjau semua
kemungkinan magnitudo dan jarak, (2) probabilitas total dalam satu tahun, (3) probabilitas
satu kejadian dalam satu tahun (fungsi Poisson) dan (4) perioda ulang (yang merupakan
kebalikan dari probabilitas dalam satu tahun). Hasil analisis probabilistik bahaya gempa
ini, telah diplot pada peta Indonesia berupa garis-garis kontur percepatan puncak batuan
dasar dengan perioda ulang 500 tahun (perioda ulang Gempa Rencana), yang kemudian
menjadi dasar bagi penentuan batas-batas wilayah gempa. Studi ini telah dilakukan oleh
beberapa kelompok peneliti secara independen, yang masing-masing hasilnya ternyata
agak berbeda yang satu dari yang lainnya. Peta wilayah gempa yang ditetapkan dalam
pasal ini adalah hasil perata-rataan hasil studi semua kelompok peneliti tadi.

A.4.7.2 Percepatan batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah
ditetapkan berturut-turut sebesar 0,03 g, 0,10 g, 015 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g. Dengan
percepatan batuan dasar seperti itu, maka ditetapkanlah percepatan puncak muka tanah
(Ao) untuk Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak menurut Tabel 5, satu dan lain
sebagai hasil studi banding dengan standar di luar negeri, a.l. National Earthquake Hazards
Reduction Program 1997 (NEHRP 1997) dan Uniform Building Code 1997 (UBC 1997).
Apabila kita tinjau NEHRP 1997 misalnya, batuan dasar adalah kira-kira ekuivalen dengan
S1, sedangkan Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak adalah kira-kira ekuivalen
dengan berturut-turut S2, S3 dan S4.

A.4.7.3 Pasal ini dimaksudkan untuk memberi struktur gedung di Wilayah Gempa 1
suatu kekekaran minimum. Jadi, beban gempa yang disyaratkan tersebut merupakan
pengaruh dari gempa yang bukan Gempa Rencana. Di dalam peraturan bangunan negara
tetangga kita Singapura yang berbatasan dengan Wilayah Gempa 1, terdapat suatu
ketentuan yang berkaitan dengan kekekaran struktur gedung, yaitu bahwa setiap struktur
gedung harus diperhitungkan terhadap beban-beban horisontal nominal pada taraf masing-
masing lantai tingkat sebesar 1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat tersebut.
Menurut Pasal 4.7.3 ini, suatu struktur gedung rendah (T pendek) di Wilayah Gempa 1 di
atas Tanah Sedang dengan faktor reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (daktail parsial),
harus diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar 0,13 I/R = 0,13 x 0,8/7 =
0,015, jadi selaras dengan yang ditetapkan di Singapura. Dengan demikian, pasal ini boleh
dikatakan memelihara kontinuitas kegempaan regional lintas batas negara, jadi tidak lagi

45 dari 63
SNI-1726-2002

seperti menurut standar yang lama, di mana Wilayah Gempa 1 adalah bebas gempa sama
sekali.

A.4.7.4 Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi
hubungan antara percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan
(SDK) akibat suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu
getar alami sistem SDK tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan dalam pasal ini
untuk masing-masing Wilayah Gempa, adalah suatu diagram yang memberi hubungan
antara percepatan respons maksimum (= Faktor Respons Gempa) C dan waktu getar alami
T sistem SDK akibat Gempa Rencana, di mana sistem SDK tersebut dianggap memiliki
fraksi redaman kritis 5%. Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut
adalah sangat kaku dan karenanya mengikuti sepenuhnya gerakan tanah. Dengan
demikian, untuk T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan
puncak muka tanah (C = Ao). Bentuk spektrum respons yang sesungguhnya menunjukkan
suatu fungsi acak yang untuk T meningkat menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat
dulu sampai mencapai suatu nilai maksimum, kemudian turun lagi secara asimtotik
mendekati sumbu-T. Di dalam pasal ini bentuk tersebut distandarkan (diidealisasikan)
sebagai berikut : untuk 0 < T < 0,2 detik, C meningkat secara linier dari Ao sampai Am;
untuk 0,2 detik < T < Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc, C mengikuti fungsi
hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Idealisasi fungsi
hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons maksimum yang
bersangkutan bernilai tetap.

A.4.7.5 Dari berbagai hasil penelitian ternyata, bahwa untuk 0 < T < 0,2 detik terdapat
berbagai ketidakpastian, baik dalam karakteristik gerakan tanahnya sendiri maupun dalam
sifat-sifat daktilitas sistem SDK yang bersangkutan. Karena itu untuk 0 < T < 0,2 detik C
ditetapkan harus diambil sama dengan Am. Dengan demikian, untuk T < Tc spektrum
respons berkaitan dengan percepatan respons maksimum yang bernilai tetap, sedangkan
untuk T > Tc berkaitan dengan kecepatan respons maksimum yang bernilai tetap.

A.4.7.6 Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2 Ao dan 3


Ao, sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk
perencanaan. Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai
pendekatan yang baik waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah
Sedang dan Tanah Lunak dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0
detik.

A.4.8 Pengaruh Gempa Vertikal


A.4.8.1 Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) dan Gempa Kobe (1995) telah
menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan yang memiliki kepekaan yang tinggi
terhadap beban gravitasi, mengalami kerusakan berat akibat percepatan vertikal gerakan
tanah. Pasal ini menyebutkan unsur-unsur apa saja yang harus ditinjau terhadap pengaruh
percepataan vertikal gerakan tanah tersebut. Analisis respons dinamik yang sesungguhnya
dari unsur-unsur tersebut terhadap gerakan vertikal tanah akibat gempa sangat rumit,
karena terjadi interaksi antara respons unsur dan respons struktur secara keseluruhan.
Karena itu, di dalam pasal ini masalahnya disederhanakan dengan meninjau pengaruh
percepatan vertikal gerakan tanah akibat gempa sebagai beban gempa vertikal nominal
statik ekuivalen.
46 dari 63
SNI-1726-2002

A.4.8.2 Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa akan
relatif semakin besar, semakin dekat letak pusat gempa dari lokasi yang ditinjau. Dalam
pasal ini percepatan vertikal gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian suatu koefisien ψ
dengan percepatan puncak muka tanah Ao. Karena semakin tinggi kegempaan suatu
wilayah gempa, semakin dekat wilayah itu letaknya terhadap daerah sumber gempa, maka
koefisien ψ nilainya meningkat dari 0,5 sampai 0,8 untuk Wilayah Gempa yang meningkat
dari 1 sampai 6, sesuai Tabel 7. Pers.(20) menunjukkan, bahwa dalam arah vertikal
struktur dianggap sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, tak bergantung pada
waktu getar alami dan tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa
dianggap sudah diperhitungkan. Selanjutnya faktor I adalah untuk memperhitungkan
kategori gedung yang dihadapi.

A.5 Perencanaan umum struktur gedung


A.5.1 Struktur atas dan struktur bawah
A.5.1.1 Pada perencanaan struktur gedung dengan besmen dalam yang terdiri dari
banyak lapis, dihadapi masalah interaksi tanah-struktur yang rumit. Masalahnya akan lebih
rumit lagi, apabila beberapa gedung tinggi memiliki satu besmen bersama. Karena itu,
pasal ini menyederhanakan masalahnya dengan memisahkan peninjauan struktur atas dari
struktur bawah.

A.5.1.2 Dengan memisahkan peninjauan struktur atas dari struktur bawah, maka
struktur atas dapat dianggap terjepit pada taraf lantai dasar, sedangkan struktur bawah
dapat ditinjau sebagai struktur 3D tersendiri di dalam tanah yang mengalami pembebanan
dari struktur atas, dari gaya inersianya sendiri dan dari tanah sekelilingnya.

A.5.1.3 Pasal ini menetapkan taraf penjepitan lateral struktur atas, apabila tidak ada
besmen.

A.5.1.4 Walaupun interaksi tanah-struktur tidak ditinjau, tetapi kadang-kadang


penjepitan yang tidak sempurna pada kaki kolom dan kaki dinding geser diperhitungkan.
Jepitan tidak sempurna ini berupa deformasi lateral dan rotasional pada taraf penjepitan,
yang kedua-duanya tentu harus diperhitungkan pengaruhnya terhadap struktur atas.

A.5.1.5 Dalam setiap peristiwa gempa, struktur atas gedung tidak mungkin dapat
menunjukkan perilaku yang baik, apabila struktur bawahnya sudah gagal secara dini.
Untuk mencegah terjadinya gejala seperti itu, struktur bawah harus direncanakan untuk
setiap saat tetap berperilaku elastik penuh. Karena itu, beban nominal pada struktur bawah
sebagai pengaruh Gempa Rencana, harus ditentukan atas dasar μ = 1 dan R = f1 = 1,6,
sebagaimana berlaku untuk struktur elastik penuh.

A.5.2 Struktur penahan beban gempa


A.5.2.1 Dalam pasal ini ditegaskan, bahwa semua unsur struktur, baik bagian dari
subsistem maupun bagian dari sistem struktur secara keseluruhan, harus diperhitungkan
memikul pengaruh Gempa Rencana. Pada dasarnya tidak boleh ada unsur-unsur struktur
yang diabaikan partisipasinya dalam memikul pengaruh gempa, kecuali bila memenuhi
Pasal 5.2.2.

A.5.2.2 Setelah dibuktikan, bahwa partisipasi pemikulan beban gempa suatu unsur atau
sistem struktur adalah kurang dari 10%, maka partisipasi tadi boleh diabaikan. Tetapi,
47 dari 63
SNI-1726-2002

unsur atau sistem struktur tersebut harus diperhitungkan terhadap simpangan struktur
gedung akibat beban gempa nominal, seandainya struktur gedung tersebut berperilaku
elastik penuh.

A.5.2.3 Pasal ini mengulangi ketentuan yang dimuat dalam Tabel .3 untuk sistem
ganda. Maksudnya adalah, agar portal-portal terbuka yang memiliki kekakuan lateral yang
reltif kecil, tetap memiliki suatu kekuatan terpasang minimum tertentu, untuk lebih
memastikan daya tahan terhadap pengaruh gempa yang baik.

A.5.3 Lantai tingkat sebagai diafragma


A.5.3.1 Dengan anggapan lantai tingkat (juga atap beton dan lantai dengan ikatan)
bekerja sebagai diafragma, artinya memiliki kekakuan yang besar sekali di dalam
bidangnya, maka terhadap beban gempa setiap lantai tingkat itu memiliki 3 derajat
kebebasan, yaitu translasi dalam arah masing-masing sumbu koordinat dan rotasi melalui
pusat rotasi lantai tingkat itu. Ke tiga derajat kebebasan ini menentukan pembagian beban
gempa horisontal kepada seluruh sistem struktur tingkat, sebagaimana halnya pada struktur
3D secara umum.

A.5.3.2 Lubang atau bukaan besar pada lantai terjadi pada lubang tangga yang lebar
atau pada gedung yang memiliki suatu atrium. Apabila luas lubang melebihi 50% dari luas
lantai, maka lantai tersebut tidak lagi dapat dianggap bekerja sebagai diafragma terhadap
beban gempa. Dalam hal ini, pengaruh fleksibilitas lantai tingkat di dalam bidangnya harus
diperhitungkan terhadap pembagian beban gempa horisontal kepada seluruh sistem
struktur tingkat.

A.5.4 Eksentrisitas pusat massa terhadap pusat rotasi lantai tingkat


A.5.4.1 Pusat massa lantai tingkat sebagai titik tangkap beban gempa statik ekuivalen
atau gaya gempa dinamik menurut pasal ini jelas menunjukkan, bahwa massa tersebut
adalah dari lantai tingkat itu saja, bukan berikut jumlah kumulatif massa lantai-lantai
tingkat di atasnya.

A.5.4.2 Pusat rotasi lantai tingkat menurut pasal ini adalah unik untuk setiap struktur
gedung dan tidak bergantung pada pembagian beban gempa sepanjang tinggi struktur
gedung. Akibat beban gempa yang menangkap pada pusat massa yang letaknya eksentris
terhadap pusat rotasi lantai tingkat, lantai tingkat tersebut menunjukkan 3 macam
simpangan, yaitu translasi dalam arah masing-masing sumbu koordinat dan rotasi melalui
pusat rotasi lantai tingkat itu, sesuai dengan derajat kebebasan yang dimilikinya (lihat
A.5.3.1). Karena itu, pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung harus dianalisis
secara 3D, baik dalam analisis statik maupun analisis dinamik.
Pusat rotasi bukan pusat kekakuan atau pusat geser seperti juga dikenal dalam rekayasa
struktur. Pusat kekakuan suatu struktur gedung adalah suatu titik pada masing-masing
tingkat (di antara dua lantai) yang bila beban geser di semua tingkat bekerja padanya
secara bersamaan, seluruh struktur gedung itu (berarti seluruh tingkat dan lantainya) tidak
berotasi, tetapi hanya bertranslasi. Dengan demikian pusat kekakuan tidak unik untuk
suatu struktur gedung, tetapi bergantung pada pembagian beban gempa sepanjang tinggi
struktur gedung itu. Peninjauan pusat kekakuan tidak relevan dalam konteks gerak rotasi
lantai tingkat.

A.5.4.3 Pasal ini menetapkan suatu eksentrisitas rencana antara pusat massa dan pusat
48 dari 63
SNI-1726-2002

rotasi pada tiap-tiap lantai tingkat, mengingat dalam kenyataannya eksentrisitas tersebut
dapat menyimpang jauh dari yang dihitung secara teoretis. Ada 2 sumber penyebab dari
penyimpangan ini. Sumber penyebab pertama adalah adanya pembesaran dinamik akibat
perilaku struktur yang non-linier pada tahap pembebanan gempa pasca elastik. Sumber
penyebab kedua adalah adanya komponen rotasi dari gerakan tanah melalui suatu sumbu
vertikal, perbedaan dalam nilai kekakuan struktur, nilai kekuatan leleh baja, nilai beban
mati serta nilai dan distribusi beban hidup, antara yang dihitung secara teoretis dan
kenyataan sesungguhnya. Sehubungan dengan adanya 2 sumber penyebab penyimpangan
di atas, maka eksentrisitas rencana ed terdiri dari 2 suku. Suku pertama yang merupakan
fungsi dari eksentrisitas teoretis e adalah untuk mengatasi pengaruh sumber penyebab
pertama. Suku kedua yang merupakan fungsi dari ukuran horisontal terbesar denah struktur
gedung tegak lurus pada arah beban gempa b adalah untuk mengatasi sumber pengaruh
penyebab kedua. Pengaruh sumber penyebab pertama adalah lebih dominan pada
eksentrisitas yang kecil (0 < e < 0,3 b), sedangkan sumber penyebab kedua adalah yang
lebih dominan pada eksentrisitas yang besar (e > 0,3 b). Pada keadaan perbatasan e = 0,3 b
tentu didapat eksentrisitas rencana ed yang sama.

A.5.4.4. Pasal ini menegaskan, bahwa eksentrisitas rencana antara pusat massa dan
pusat rotasi harus ditinjau baik dalam analisis statik, maupun analisis dinamik. Dianggap
tidak beralasan, untuk membedakan eksentrisitas tersebut dalam ke dua macam analisis
tersebut.

A.5.5 Kekakuan struktur


A.5.5.1 Dalam pasal ini dibakukan cara penentuan momen inersia efektif penampang
unsur struktur, di mana persentase efektifitas penampang yang ditetapkan itu didasarkan
atas hasil berbagai penelitian. Dengan demikian, kekakuan struktur secara keseluruhan
dihitung melalui kaidah yang seragam, sehingga perilaku struktur (simpangan, waktu getar
alami) dapat dikaji melalui kriteria yang seragam pula.

A.5.5.2 Pasal ini memberi ketentuan mengenai modulus elastisitas beton Ec dan
modulus elastisitas baja Es.

A.5.5.3 Pasal ini menegaskan, bahwa momen inersia efektif yang ditetapkan dalam
Pasal 5.5.1 berlaku baik dalam analisis statik, maupun analisis dinamik untuk menghitung
simpangan dan waktu getar alami struktur gedung. Dianggap tidak beralasan untuk
membedakan perhitungan kekakuan struktur dalam ke dua macam analisis tersebut.

A.5.6 Pembatasan waktu getar alami fundamental


Pemakaian struktur gedung yang terlalu fleksibel seyogyanya harus dicegah. Dalam pasal
ini hal itu dilakukan dengan membatasi nilai waktu getar fundamentalnya. Ada 4 alasan
untuk membatasi waktu getar fundamental suatu struktur gedung, yaitu :
- untuk mencegah Pengaruh P-Delta yang berlebihan;
- untuk mencegah simpangan antar-tingkat yang berlebihan pada taraf pembebanan
gempa yang menyebabkan pelelehan pertama, yaitu untuk menjamin kenyamanan
penghunian dan membatasi kemungkinan terjadinya kerusakan struktur akibat
pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan, maupun kerusakan non-struktur.
- untuk mencegah simpangan antar-tingkat yang berlebihan pada taraf pembebanan
gempa maksimum, yaitu untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan
49 dari 63
SNI-1726-2002

struktur yang menelan korban jiwa manusia.


- untuk mencegah kekuatan (kapasitas) struktur terpasang yang terlalu rendah,
mengingat struktur gedung dengan waktu getar fundamental yang panjang menyerap
beban gempa yang rendah (terlihat dari spektrum respons C-T), sehingga gaya
internal yang terjadi di dalam unsur-unsur struktur menghasilkan kekuatan terpasang
yang rendah.
Dalam pasal ini, nilai batas waktu getar fundamental suatu struktur gedung ditetapkan
sebagai perkalian suatu koefisien ξ dan jumlah tingkat n yang dimiliki gedung tersebut.
Dalam Tabel 8 koefisien ξ ditetapkan sebagai fungsi dari kegempaan wilayah gempa
tempat struktur gedung berada. Hal ini adalah mengingat semakin rendah kegempaan
tersebut, semakin tidak menentukan beban gempa terhadap beban gravitasi, sehingga
pembatasan waktu getar fundamental semakin kurang maknanya. Memberi penalti pada
struktur gedung yang sangat fleksibel dengan mensyaratkan suatu nilai C minimum pada
spektrum respons C-T, memang dapat menambah keamanan, tetapi tidak dapat merubah
perilakunya.

A.5.7 Pengaruh P-Delta


Struktur gedung tinggi pada umumnya adalah relatif fleksibel, sehingga akibat beban
gempa mengalami simpangan yang relatif besar yang dapat menimbulkan Pengaruh P-
Delta yang cukup berarti. Menurut pasal ini Pengaruh P-Delta harus ditinjau bila tinggi
gedung adalah lebih dari 10 tingkat atau 40 m.

A.5.8 Arah pembebanan gempa


A.5.8.1 Pada struktur gedung beraturan, di mana sistem strukturnya terbentuk oleh
subsistem-subsistem penahan beban lateral yang saling tegak lurus dan sejajar dengan
sumbu-sumbu utama ortogonal denah struktur gedung, arah utama pembebanan gempa
yang menentukan adalah yang searah dengan sumbu-sumbu utama tersebut. Tetapi pada
struktur gedung tidak beraturan, seringkali arah utama pembebanan gempa yang
menentukan tidak dapat dipastikan sebelumnya. Untuk itu arah utama pembebanan gempa
harus dicari dengan cara coba-coba dengan meninjau beberapa kemungkinan.

A.5.8.2 Arah pembebanan gempa pada setiap struktur gedung dalam kenyataannya
adalah sembarang, sehingga pada umumnya selalu terdapat 2 komponen beban gempa
dalam arah masing-masing sumbu koordinat ortogonal yang bekerja bersamaan.
Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial dapat menimbulkan pengaruh yang lebih
rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh tetapi uniaksial.
Kondisi ini diantisipasi dalam pasal ini dengan menetapkan, bahwa pembebanan gempa
dalam arah utama yang ditinjau 100%, harus dianggap bekerja bersamaan dengan
pembebanan gempa dalam arah tegak lurusnya tetapi ditinjau 30%.

A.6 Perencanaan struktur gedung beraturan


A.6.1 Beban gempa nominal statik ekuivalen
A.6.1.1 Dalam analisis respons dinamik terhadap pengaruh gempa, suatu struktur
gedung dimodelkan sebagai suatu sistem Banyak Derajat Kebebasan (BDK). Dengan
menerapkan metoda Analisis Ragam, persamaan-persamaan gerak sistem BDK tersebut
yang berupa persamaan-persamaan diferensial orde dua simultan yang saling terikat, dapat
dilepaskan saling keterikatannya sehingga menjadi persamaan-persamaan terlepas, masing-
masing berbentuk persamaan-persamaan gerak sistem SDK. Hal ini dilakukan melalui
50 dari 63
SNI-1726-2002

suatu transformasi koordinat dengan matriks eigenvektor sebagai matriks transformasinya.


Respons dinamik total dari sistem BDK tersebut selanjutnya menampilkan diri sebagai
superposisi dari respons dinamik masing-masing ragamnya. Respons dinamik masing-
masing ragamnya ini berbentuk respons dinamik suatu sistem SDK, di mana ragam yang
semakin tinggi memberikan sumbangan respons dinamik yang semakin kecil dalam
menghasilkan respons dinamik total. Pada struktur gedung beraturan, yang seperti telah
dijelaskan dalam A.4.2.1 berperilaku sebagai struktur 2D, respons dinamik ragam
fundamentalnya adalah sangat dominan, sehingga respons dinamik ragam-ragam lainnya
dianggap dapat diabaikan. Kemudian, berhubung struktur gedung tidak seberapa tinggi
(kurang dari 10 tingkat atau 40 m), bentuk ragam fundamental dapat dianggap mengikuti
garis lurus (tidak lagi garis lengkung). Dengan dua anggapan penyederhanaan tadi, dari
penjabaran lebih lanjut dalam Analisis Ragam, respons dinamik struktur gedung beraturan
dapat ditampilkan seolah-olah sebagai akibat dari suatu beban gempa statik ekuivalen,
seperti yang ditetapkan dalam pasal ini.

A.6.1.2 Pasal ini menetapkan bagaimana menentukan beban geser dasar statik
ekuivalen V, berkaitan dengan beban gempa statik ekuivalen yang disebut dalam A.6.1.1.
Seperti terlihat dari penjabarannya, beban geser dasar statik ekuivalen ini dapat dinyatakan
dalam respons dinamik sistem SDK yang berkaitan dengan ragam fundamentalnya saja,
sehingga dapat ditentukan dengan perantaraan Spektrum Respons Gempa Rencana C-T
yang ditetapkan dalam Pasal 7.7.4 (Gambar 2), seperti dinyatakan oleh pers.(26). Di dalam
persamaan ini faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori gedung yang dihadapi,
sedangkan R adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut menjadi beban gempa
nominal sesuai dengan faktor daktilitas yang dipilih untuk struktur gedung tersebut.

A.6.1.3 Pers.(27) merupakan bagian dari hasil penjabaran beban gempa statik
ekuivalen yang disebut dalam A.6.1.1, sekaligus memberi ketentuan bagaimana
membagikan beban geser dasar nominal V sepanjang tinggi struktur gedung menjadi
beban-beban gempa nominal statik ekuivalen Fi.

A.6.1.4 Pasal ini menyangkut struktur gedung yang relatif sangat fleksibel dalam arah
beban gempa (gedung “tipis”), yang seringkali menunjukkan adanya efek cambuk. Beban
terpusat 0,1 V yang dipasang pada taraf lantai puncak mensimulasikan efek cambuk ini.

A.6.1.5 Dengan ketentuan dalam pasal ini, perhitungan tangki di atas menara adalah
konservatif. Untuk perhitungan yang lebih akurat, penyebaran massa strukturnya tentu
dapat diperhitungkan.

A.6.2 Waktu getar alami fundamental


A.6.2.1 Berhubung struktur gedung beraturan dalam arah masing-masing sumbu utama
denah struktur praktis berperilaku sebagai struktur 2D, maka waktu getar alami
fundamentalnya dalam arah masing-masing sumbu utama tersebut dapat dihitung dengan
rumus Rayleigh sesuai pers.(28) yang berlaku untuk struktur 2D. Rumus ini diturunkan
dari hukum kekekalan energi pada suatu struktur 2D yang dalam keadaan melendut
sewaktu bervibrasi, disamakan energi potensialnya dengan energi kinetiknya.

A.6.2.2 Untuk menentukan beban gempa nominal statik ekuivalen, waktu getar alami
fundamental yang dihitung dengan rumus Rayleigh ditetapkan sebagai standar. Waktu
getar alami boleh saja ditentukan dengan cara lain, asal hasilnya tidak menyimpang (ke
51 dari 63
SNI-1726-2002

atas atau ke bawah) lebih dari 20% dari nilai yang dihitung dengan rumus Rayleigh.

A.6.3 Analisis statik ekuivalen


Pasal ini hanya menegaskan, bahwa berhubung pembebanan gempa pada struktur gedung
beraturan berwujud sebagai beban gempa statik ekuivalen, analisis struktur gedung
terhadapnya dengan sendirinya dilakukan dengan analisis statik 3D biasa. Pada struktur
gedung tidak beraturan, dari hasil analisis respons dinamik dapat juga dijabarkan beban
gempa statik ekuivalennya, sehingga analisis selanjutnya dapat dilakukan dengan analisis
statik 3D biasa (lihat A.7.2.4).

A.7 Perencanaan struktur gedung tidak beraturan


A.7.1 Ketentuan untuk analisis respons dinamik
A.7.1.1 Dalam praktek tidak jarang dihadapi struktur-struktur gedung yang sangat
tidak beraturan. Dari segi analisis hal ini tidak menjadi masalah, dengan tersedianya
berbagai program komputer canggih saat ini. Kemampuan tinggi menganalisis struktur
rumit, seyogyanya dipakai juga untuk mengontrol perilaku struktur tersebut dalam
responsnya terhadap gempa. Dengan melakukan analisis vibrasi bebas 3D dapat dilihat,
bagaimana kecenderungan perilaku struktur terhadap gempa. Apabila gerak ragam pertama
sudah dominan dalam rotasi, hal ini menunjukkan perilaku yang buruk dan sangat tidak
nyaman bagi penghuni ketika terjadi gempa. Sistem struktur demikian harus diperbaiki dan
disusun kembali dengan menempatkan unsur-unsur yang lebih kaku pada keliling denah
untuk memperbesar kekakuan rotasi (torsi) sistem struktur secara keseluruhan, sehingga
gerak ragam pertama menjadi dominan dalam translasi. Memberi penalti pada struktur
yang memuntir dengan menambah beban gempanya memang dapat menambah keamanan,
tetapi tidak dapat merubah perilakunya.

A.7.1.2 Struktur gedung tidak beraturan benar-benar berperilaku sebagai struktur 3D,
sehingga besaran-besaran daktilitas yang representatif mewakilinya perlu diketahui. Hal ini
adalah sehubungan dengan Tabel 3 yang lebih mencerminkan sifat-sifat daktilitas sistem
2D. Pasal ini memberi ketentuan, bagaimana menentukan faktor reduksi gempa yang
representatif R melalui suatu analisis pendahuluan untuk beban gempa dalam arah masing-
masing sumbu koordinat yang dipilih.

A.7.1.3 Pada struktur-struktur gedung tertentu kadang-kadang terjadi, bahwa respons


total terhadap gempa adalah lebih kecil dari respons ragamnya yang pertama. Hal ini
disebabkan oleh respons ragam yang lebih tinggi yang mengurangi respons ragam yang
pertama tadi. Untuk menjamin adanya kekuatan (kapasitas) minimum struktur terpasang
yang cukup, pasal ini menetapkan bahwa nilai akhir respons setiap struktur gedung tidak
boleh diambil kurang dari 80% nilai respons ragamnya yang pertama.

A.7.2 Analisis ragam spektrum respons


A.7.2.1 Seperti telah dijelaskan dalam A.6.1.1, di dalam metoda Analisis Ragam
respons dinamik total dari sistem BDK merupakan superposisi dari respons dinamik
sejumlah ragamnya, yang masing-masing berbentuk respons dinamik sistem SDK, di mana
ragam yang semakin tinggi memberikan partisipasi respons dinamik yang semakin kecil
terhadap respons dinamik total. Kenyataan inilah yang memungkinkan kita untuk
menggunakan Spektrum Respons Gempa Rencana menurut Gambar 2 sebagai dasar untuk
menentukan respons masing-masing ragamnya tadi. Hanya saja ordinat Spektrum Respons
tersebut harus dikoreksi dengan faktor koreksi I/R untuk memperhitungkan kategori
52 dari 63
SNI-1726-2002

gedung yang dihadapi dan untuk menjadikan beban gempa menjadi beban gempa nominal,
sesuai dengan faktor daktilitas yang dipilih untuk struktur gedung tersebut. Selanjutnya,
jumlah respons ragam yang disuperposisikan dapat dibatasi, asal partisipasi massa yang
menghasilkan respons total mencapai sedikit-dikitnya 90%.

A.7.2.2 Respons masing-masing ragam yang ditentukan melalui Spektrum Respons


Gempa Rencana merupakan respons maksimum. Pada umumnya respons masing-masing
ragam mencapai nilai maksimum pada saat yang berbeda, sehingga respons maksimum
ragam-ragam tersebut tidak dapat dijumlahkan bagitu saja. Pasal ini menetapkan
bagaimana cara mensuperposisikan respons maksimum ragam-ragam tersebut berdasarkan
hasil berbagai penelitian. Ada 2 cara superposisi ditetapkan dalam pasal ini, yaitu cara-cara
yang dikenal dengan Kombinasi Kuadratik Lengkap (Complete Quadratic Combination
atau CQC) dan Akar Jumlah Kuadrat (Square Root of the Sum of Squares atau SRSS)
berikut syarat pemakaiannya.

A.7.2.3 Pasal ini memberi pembatasan seperti diuraikan dalam A.7.1.3, sehingga tidak
perlu dijelaskan lagi di sini.

A.7.2.4 Dengan menggunakan pasal ini, analisis ragam spektrum respons hanya
dipakai untuk menentukan gaya geser tingkat nominal dinamik akibat pengaruh Gempa
Rencana. Gaya-gaya internal di dalam unsur-unsur struktur gedung didapat dari analisis
statik 3D biasa berdasarkan beban-beban gempa statik ekuivalen yang dijabarkan dari
pembagian gaya geser tingkat nominal yang telah didapat dari analisis respons dinamik
sebelumnya, yang bila perlu dimodifikasi terlebih dulu secara konservatif untuk
mendapatkan pembagian beban gempa nominal sepanjang tinggi struktur gedung yang
lebih baik (lihat Gambar P.4). Dengan menempuh cara ini didapat kepastian mengenai
tanda (arah kerja) gaya-gaya internal di dalam unsur-unsur struktur gedung.

CQC
0.8V
1 CQC (disain)
V
t
respons ragam pertama
Tingkat

dimodifikasi

0 Vt 0.8V1 V1
Gaya geser tingkat

Gambar P.4 Diagram gaya geser tingkat nominal sepanjang tinggi


struktur gedung.

A.7.3 Analisis respons dinamik riwayat waktu


A.7.3.1 Pasal ini menetapkan, bahwa untuk mempelajari perilaku struktur gedung dari
53 dari 63
SNI-1726-2002

detik ke detik selama gempa bekerja, baik dalam keadaan elastik maupun pasca-elastik,
dapat dilakukan analisis respons dinamik linier dan non-linier riwayat waktu.

A.7.3.2 Untuk taraf pembebanan gempa nominal, di mana respons struktur masih
bersifat elastik penuh, percepatan puncak gempa masukan harus diskalakan menjadi A
seperti menurut pers.(33). Dalam persamaan ini faktor I adalah untuk memperhitungkan
kategori gedung yang dihadapi, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan
gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal.

A.7.3.3 Untuk taraf pembebanan penuh oleh Gempa Rencana, di mana respons struktur
sudah memasuki taraf elastoplastis, percepatan puncak gempa masukan adalah sepenuhnya
sama dengan Ao I. Faktor I kembali adalah untuk memperhitungkan kategori gedung yang
dihadapi.

A.7.3.4 Pasal ini menegaskan, bahwa setiap akselerogram mengandung ketidakpastian


untuk dipakai di suatu lokasi. Karena itu harus ditinjau sedikitnya 4 buah akselerogram
gempa yang berbeda. Gempa El Centro dianggap sebagai standar, karena akselerogramnya
mengandung frikuensi yang lebar, tercatat pada jarak sedang dari pusat gempa dengan
magnitudo yang sedang pula (bukan ekstrim).

A.7.3.5 Sebagai alternatif, pasal ini membolehkan digunakannya percepatan tanah yang
disimulasikan sebagai gerakan gempa masukan dalam analisis respons dinamik riwayat
waktu.

A.8 Kinerja struktur gedung


A.8.1 Kinerja batas layan
A.8.1.1 Untuk membatasi terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang
berlebihan disamping untuk mencegah kerusakan non-struktur dan ketidaknyaman,
ditentukan oleh simpangan antar-tingkat akibat pengaruh Gempa Nominal yang telah
dibagi Faktor Skala.

A.8.1.2 Pasal ini menetapkan secara kuantitatif batasan kriteria kinerja batas layan
struktur gedung.

A.8.2 Kinerja batas ultimit


A.8.2.1 Karena Standar ini menganut azas simpangan maksimum yang tetap seperti
diuraikan dalam A.4.3.2, maka setelah simpangan struktur gedung akibat beban gempa
nominal diketahui dari hasil analisis struktur, simpangan struktur dalam kondisi di ambang
keruntuhan didapat dengan mengalikan simpangan akibat beban gempa nominal tersebut
dengan faktor ξ. Dari Gambar P.1 jelas terlihat, bahwa untuk struktur gedung beraturan ξ =
R seperti menurut pers.(34). Untuk struktur gedung tidak beraturan, Faktor Skala harus
dihapuskan pengaruhnya, karena simpangan yang sesungguhnya memang tidak
terpengaruh olehnya. Hal itu tercerminkan oleh pers.(35). Rumus sederhana untuk
menghitung simpangan struktur dalam kondisi di ambang keruntuhan dimungkinkan,
berkat azas simpangan maksimum yang tetap yang dianut dalam Standar ini seperti sudah
disebut di atas.

A.8.2.2 Pasal ini menetapkan secara kuantitatip batasan kriteria kinerja batas ultimit

54 dari 63
SNI-1726-2002

struktur gedung.

A.8.2.3 Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah benturan antara 2 gedung yang
berdekatan. Dari pengalaman dengan berbagai peristiwa gempa kuat di waktu yang lalu,
banyak kerusakan berat gedung terjadi karena gedung-gedung berdekatan saling
berbenturan. Hal ini harus dicegah dengan memberi jarak antara yang cukup, seperti
ditetapkan dalam pasal ini.

A.8.2.4 Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah benturan antara 2 bagian struktur
gedung yang dipisahkan dengan sela delatasi. Lebar sela dengan sendirinya harus cukup
untuk mencegah terjadinya benturan antar-bagian yang tidak saja dapat menimbulkan
kerusakan yang berat, tetapi juga dapat merubah respons struktur yang diperhitungkan.

A.8.2.5 Lebar sela pemisah harus dipelihara agar fungsinya tetap terjamin setiap saat.

A.9 Pengaruh gempa pada struktur bawah


A.9.1 Pembebanan gempa dari struktur atas
A.9.1.1 Dari falsafah perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung sudah jelas
(lihat A.1.3), bahwa akibat pengaruh Gempa Rencana struktur atas memang sudah rusak
berat, tetapi masih harus tetap berdiri dan tidak runtuh, sehingga jatuhnya korban jiwa
manusia dapat dicegah. Akan tetapi, hal ini hanya dapat terjadi kalau struktur bawah tidak
gagal lebih dahulu. Karena itu, struktur bawah harus dapat memikul dengan baik beban-
beban yang dikerjakan oleh struktur atas pada saat struktur atas berada di ambang
keruntuhan. Beban maksimum Vm inilah yang ditetapkan dalam pasal ini. Beban
maksimum ini termobilisasi di atas beban gempa yang menyebabkan pelelehan pertama
Vy, berkat adanya faktor kuat lebih struktur f2 (lihat Gambar P.1). Karena kehiperstatikan
struktur dan pembentukan sendi-sendi plastis yang tidak terjadi serempak bersamaan, maka
terjadilah proses redistribusi gaya-gaya, yang menghasilkan faktor kuat lebih struktur tadi.
Pada struktur yang daktail penuh (μ = 5,3), di mana terjadi redistribusi gaya-gaya secara
luas, faktor kuat lebih struktur menurut berbagai penelitian mencapai f2 = 1,75. Pada
struktur yang elastik penuh (μ = 1), tidak terjadi redistribusi gaya-gaya sama sekali (tidak
terbentuk sendi plastis), sehingga f2 = 1,00. Dengan dua kondisi batas ini didapatlah
pers.(37) untuk menghitung nilai f2 untuk sembarang μ, dijabarkan dari azas kesamaan
sudut kemiringan. Karena faktor kuat lebih beban dan bahan adalah f1 = 1,6, maka dengan
mudah beban gempa maksimum dapat dihitung sebagai perkalian beban gempa nominal
dan faktor kuat lebih total f = f1 f2 yang dinyatakan oleh pers.(38) (lihat Gambar P.1).

A.9.1.2 Beban yang sangat dominan dikerjakan oleh struktur atas pada struktur bawah
adalah momen guling, disertai beban normal (vertikal) dan beban geser (horisontal) yang
bersangkutan. Momen guling nominal maksimum dari struktur atas pada struktur bawah
yang berperilaku elastik penuh didapat dari momen guling maksimum dengan membaginya
dengan R = f1, yaitu faktor reduksi gempa untuk struktur elastik penuh seperti dinyatakan
oleh pers.(40) (lihat Gambar P.1).

A.9.1.3 Kemungkinan lain adalah terjadinya momen guling yang dikerjakan oleh
momen leleh yang terjadi pada sendi plastis pada kaki semua kolom dan pada kaki semua
dinding geser. Sejak saat struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana mengalami
pelelehan pertama sampai saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan, sendi-sendi plastis
55 dari 63
SNI-1726-2002

khususnya pada kaki kolom dan kaki dinding geser mengalami rotasi, sambil momen
lelehnya meningkat dari momen leleh awal My menjadi momen leleh akhir fo My akibat
pengerasan regangan baja, dengan fo sebagai faktor pengerasan regangannya. Proses ini
divisualisasikan dalam diagram momen-simpangan dari suatu sendi plastis di kaki kolom
atau kaki dinding geser seperti ditunjukkan dalam Gambar P.5. Untuk struktur gedung
yang daktail penuh (μ = 5,3) menurut berbagai penelitian fo = 1,25, sedangkan untuk
struktur gedung yang elastik penuh (μ = 1) dengan sendirinya fo = 1,00, karena pelelehan
baru akan terjadi. Untuk menjadikan momen guling akibat momen leleh sendi plastis
menjadi momen guling nominal, tidak diperlukan nilai fo, sebab momen nominal dapat
dihitung langsung dari momen leleh awal dengan membaginya dengan faktor kuat lebih
beban dan bahan f1 = 1,6 seperti yang dinyatakan oleh pers.(41) (lihat Gambar P.5).
Momen guling nominal menurut pers.(41) ini tentunya terjadi bersamaan dengan beban
normal (vertikal) dan beban geser (horisontal) yang bersangkutan.

M
R Mn

μ
R

f0 M y
fo dinding geser
My kolom
f1
Mn
sendi plastis
sendi plastis

My,k My,d
0 δ n δy δm δ
Gambar P.5 Diagram momen-simpangan dari suatu sendi plastis pada kaki
kolom atau kaki dinding geser

A.9.1.4 Dari dua kemungkinan momen guling nominal di atas, yang menentukan
adalah yang nilainya terkecil, karena dengan terbentuknya sendi plastis pada semua kaki
kolom dan semua dinding geser, momen guling nominal menurut pers.(40) tidak akan
termobilisasi sepenuhnya. Tetapi dalam segala hal, nilai momen guling nominal
maksimum tersebut tidak perlu diambil lebih besar dari yang terjadi akibat pengaruh
Gempa Rencana pada struktur atas gedung yang berperilaku elastik penuh, seperti
dinyatakan oleh pers.(42) (lihat Gambar P.1 dan P.5).

A.9.1.5 Penjepitan tidak sempurna pada kaki kolom dan kaki dinding geser boleh
diperhitungkan. Bagaimana caranya diserahkan kepada perencana, asal secara rasional
dapat dipertanggung jawabkan.

A.9.2 Pembebanan gempa dari gaya inersia


A.9.2.1 Apabila struktur bawah bergerak tepat bersamaan dengan tanah sekelilingnya
56 dari 63
SNI-1726-2002

ketika terjadi gempa, struktur bawah tersebut tidak akan mengalami gaya inersia apapun.
Tetapi berhubung interaksi tanah-struktur selalu terjadi yang selalu menyebabkan adanya
selisih pergerakan, maka terjadilah interaksi kinematik dan inersial antara struktur bawah
dan tanah sekelilingnya yang menyebabkan timbulnya gaya inersia itu. Hal ini yang
dinyatakan dalam pasal ini.

A.9.2.2 Perhitungan gaya inersia berdasarkan analisis interaksi tanah-struktur


merupakan hal yang rumit. Karena itu, setiap cara yang secara rasional dapat
dipertanggung jawabkan dapat dipakai. Untuk perencanaan yang praktis, pasal ini memberi
ketentuan, bagaimana secara pendekatan tetapi konservatif, beban gempa horisontal statik
ekuivalen akibat gaya inersia tersebut yang bekerja pada struktur bawah yang berperilaku
elastik penuh dapat dihitung, yaitu dengan pers.(43). Dalam persamaan ini faktor reduksi
gempa untuk struktur elastik penuh sudah diperhitungkan. Faktor I di dalam pers.(43)
adalah untuk memperhitungkan kategori gedung yang dihadapi.

A.9.3 Pembebanan gempa dari tanah sekelilingnya


A.9.3.1 Akibat pengaruh interaksi tanah-struktur, antara struktur bawah dan tanah
sekelilingnya terjadi selisih pergerakan yang berubah-ubah selama gempa bekerja. Karena
itu, tekanan tanah pada dinding besmen dan komponen lain struktur bawah juga berubah-
ubah nilainya. Perhitungan tekanan tanah ini berdasarkan analisis interaksi tanah-struktur
merupakan hal yang rumit. Karena itu, setiap cara yang secara rasional dapat
dipertanggung jawabkan dapat dipakai. Untuk perencanaan yang praktis, pasal ini memberi
ketentuan yang sederhana tetapi konservatif, yaitu bahwa tekanan tanah dari tanah depan
dapat dianggap mencapai nilai maksimum sebesar nilai tekanan leleh tanah (identik dengan
tekanan pasif) sepanjang kedalaman besmen. Tekanan tanah tersebut yang bekerja pada
struktur bawah yang berperilaku elastik penuh harus dijadikan tekanan tanah nominal
dengan membaginya dengan R = f1 = 1,6, yaitu faktor reduksi gempa untuk struktur elastik
penuh.

A.9.3.2 Pasal ini memberi petunjuk bagaimana interaksi tanah-struktur secara terbatas
harus ditinjau. Bagian kritis dalam analisis ini adalah penentuan sifat-sifat kuantitatip
pegas tekan dan pegas geser, yang merepresentasikan tanah belakang, samping dan bawah
(fondasi).

A.10 Pengaruh gempa pada unsur sekunder, unsur arsitektur dan instalasi
mesin dan listrik
A.10.1 Ruang lingkup pengamanan
A.10.1.1 Perilaku yang memuaskan dari unsur-unsur non-struktur terhadap pengaruh
gempa adalah sama pentingnya dengan perilaku struktur pemikulnya itu sendiri. Di
samping unsur-unsur non-struktur yang mengisi suatu gedung dapat merupakan bagian
yang penting dari nilai ekonomi gedung itu hingga layak untuk diamankan dari kerusakan,
juga dalam hal gagal atau runtuh dapat merupakan bahaya langsung terhadap keselamatan
penghuni gedung atau dapat menghambat usaha pengungsian penghuni dari gedung itu
atau menghalang-halangi usaha pemadaman kebakaran segera setelah gempa terjadi.

A.10.1.2 Benda-benda sejarah jelas harus diamankan dari kerusakan untuk kepentingan
generasi yang akan datang.

57 dari 63
SNI-1726-2002

A.10.2 Tambatan
A.10.2.1 Kekurangan utama dalam pemasangan unsur-unsur non-struktur di dalam
gedung terletak pada kurang memadainya detail-detaIl tambatan, yang harus
diperhitungkan tidak saja terhadap gaya-gaya yang langsung diakibatkan oleh gempa (gaya
inersia), tetapi juga terhadap pengaruh interaksi dengan unsur-unsur lain dari struktur
pemikul. Gesekan tidak boleh diandalkan untuk menahan gaya lateral akibat gempa,
karena komponen gerakan tanah yang berarah vertikal ke bawah dapat menghapuskan
tahanan gesekan, sehingga unsur yang ditinjau dapat bergerak ke samping oleh pengaruh
komponen gerakan tanah yang berarah horisontal.

A.10.2.2 Alat-alat penambat ornamen, panel-panel luar dan benda-benda tambahan


harus dibuat daktail yang memungkinkan unsur-unsur tersebut untuk mengikuti pergerakan
struktur pemikul tanpa saling bertabrakan.

A.10.3 Hubungan antar-unsur


A.10.3.1 Apabila suatu unsur penting direncanakan untuk tahan terhadap gempa yang
relatif kuat, maka perlu diperhatikan perencanaan unsur-unsur yang berhubungan yang
dapat gagal oleh gempa yang lebih ringan, sehingga menyebabkan gagalnya fungsi unsur
penting tersebut. Sebagai contoh, sebuah dinding yang berdiri di samping sebuah alat siap
jalan dalam keadaan darurat dapat sudah roboh pada taraf gempa yang jauh lebih rendah
dari pada yang disyaratkan untuk alat tersebut, sehingga menghalang-halangi operasi dari
alat itu ketika gempa yang lebih ringan ini terjadi.

A.10.3.2 Pasal ini menekankan pentingnya pemeliharaan sela pemisah antara unsur-
unsur non-struktur dan peralatan untuk mencegah interaksi di antaranya yang
membahayakan atau menimbulkan kerugian besar.

A.10.4 Pemutusan Otomatis Operasi Mesin Dan Alat


Beberapa proses industri seperti yang terdapat pada proses kimia atau yang menggunakan
aliran gas atau arus listrik tegangan tinggi, dapat menimbulkan bahaya yang berarti kepada
masyarakat umum, apabila tidak dihentikan dalam gempa-gempa kuat. Otoritas
Pembangunan bersama-sama dengan Pemilik hendaknya menetapkan suatu taraf intensitas
gempa yang menyebabkan suatu mesin secara otomatis berhenti operasinya. Sebagai
pedoman, pemutusan operasi mesin secara otomatis hendaknya terjadi pada percepatan
puncak muka tanah Ao yang berlaku bagi wilayah gempa tempat mesin itu berada.
Pemutusan operasi mesin otomatis juga harus terjadi, apabila di dalam sistem terjadi suatu
kelainan yang berbahaya, misalnya terjadinya tekanan cairan atau tekanan gas yang
membumbung tinggi di luar batas di dalam suatu proses.

A.10.5 Pengaruh gempa rencana


A.10.5.1 Beban gempa yang harus diperhitungkan bekerja pada unsur non-struktur
adalah beban gempa nominal statik ekuivalen, yang pada dasarnya didapat dengan
mengalikan berat unsur dengan beberapa faktor (pers.(44)) yang tidak banyak bergantung
pada data yang didapat dari analisis struktur pemikul unsur tersebut. Hal ini adalah untuk
memungkinkan dilakukannya perencanaan langsung oleh para perencana instalasi mesin
dan listrik serta produsen panel-panel beton pracetak. Data struktur pemikul yang
diperlukan hanyalah waktu getar alami fundamental T1 untuk menentukan Faktor Respons
Gempa C1 dan faktor reduksi gempa R. Faktor-faktor lainnya tinggal dihitung dengan

58 dari 63
SNI-1726-2002

rumus sederhana (pers.(45)) dan data yang dapat dibaca dalam tabel (Tabel 9 dan 10).

A.10.5.2 Koefisien pembesaran respons Kp dimaksudkan untuk memperhitungkan


pembesaran gerakan tanah oleh struktur pemikul, yang bergantung pada respons struktur
pemikul itu sendiri. Untuk itu, rumus yang diberikan dalam pasal ini (pers.(45)) dianggap
memberikan hasil yang cukup memadai. Perlu disadari, bahwa benda-benda berat di
puncak sebuah struktur gedung dapat mengalami percepatan-percepatan yang besar,
sehingga bila mungkin benda-benda demikian hendaknya ditempatkan di tingkat lebih
bawah.

A.10.5.3 Faktor kinerja P unsur non-struktur mencerminkan keutamaan unsur tersebut,


identik dengan faktor keutamaan I untuk gedungnya itu sendiri. Dengan demikian, faktor
kinerja tersebut adalah untuk memperpanjang perioda ulang gempa yang menyebabkan
kerusakan pada unsur tersebut, sehingga masih utuh ketika Gempa Rencana bekerja. Hal
ini penting diperhatikan pada alat-alat yang dapat membahayakan seperti ketel uap dan
tangki tekanan tinggi.

A.10.5.4 Suatu unsur non-struktur yang dipasang pada suatu struktur pemikul yang
waktu getar alaminya mendekati waktu getar alami struktur pemikulnya, harus dihindari,
karena dapat menghasilkan pembesaran yang sangat kuat. Pada sekitar titik resonansi,
pembesaran tersebut dapat mencapai 25 kali. Akan tetapi dalam pasal ini pembesaran yang
ditinjau hanya sampai 2 kali, karena dalam praktek selalu ada redaman yang memperkecil
pembesaran tersebut.

59 dari 63
SNI-1726-2002

Lampiran B

B.1 Perencanaan beban dan kuat terfaktor untuk fondasi


B.1.1. Yang dimaksud dengan Fondasi adalah bagian dari struktur bawah gedung yang
kekuatannya ditentukan oleh kekuatan tanah yang mendukungnya, seperti fondasi telapak,
rakit, tiang pancang dan tiang bor.

B.1.2. Selaras dengan perencanaan kekuatan unsur struktur atas dan struktur bawah,
kekuatan Fondasi gedung dapat direncanakan berdasarkan cara Perencanaan Beban dan
Kuat Terfaktor.

B.1.3. Beban nominal Qn yang bekerja pada Fondasi adalah beban nominal yang bekerja
pada struktur bawah, yang diteruskan langsung ke tanah pendukung seperti pada jenis
fondasi telapak dan rakit, atau yang diteruskan melalui tiang pancang atau tiang bor ke
tanah pendukung seperti pada jenis fondasi tiang. Beban nominal Qn dikalikan dengan
faktor beban γ yang bersangkutan adalah beban ultimit Qu yang bekerja pada Fondasi
sesuai dengan Pasal 4.4.1, Pasal 4.4.2 dan Pasal 4.4.3.

B.1.4. Menurut Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor, harus dipenuhi persyaratan
keadaan batas ultimit Fondasi sebagai berikut :
Ru > Qu (P.1)
di mana Ru adalah kekuatan ultimit atau daya dukung ultimit Fondasi, yang merupakan
perkalian faktor reduksi kekuatan φ dan kekuatan nominal Fondasi Rn menurut persamaan :
Ru = φ Rn (P.2)
di mana Rn ditentukan melalui perhitungan analitik atau empirik yang rasional dan/atau
melalui uji beban langsung.

B.1.5. Faktor reduksi kekuatan φ untuk Fondasi ditetapkan menurut Tabel P.1 untuk
jenis fondasi telapak dan rakit, dan menurut Tabel P.2 untuk jenis fondasi tiang pancang
dan tiang bor.

Tabel P.1. Faktor reduksi kekuatan φ untuk jenis fondasi telapak dan rakit

Jenis tanah φ

Pasir 0,35 – 0,55


Lempung 0,50 – 0,60
Batuan 0,60

Tabel P.2 Faktor reduksi kekuatan φ untuk jenis fondasi tiang


60 dari 63
SNI-1726-2002

pancang dan tiang bor

Jenis fondasi Sumber kekuatan φ Sifat beban


tahanan

Tiang pancang geser + ujung 0,55 – 0,75 Tekan aksial


geser saja 0,55 – 0,70 Tekan/tarik aksial
ujung saja 0,55 – 0,70 Tekan aksial

Tiang bor geser + ujung 0,50 – 0,70 Tekan aksial


geser saja 0,55 – 0,75 Tekan/tarik aksial
ujung saja 0,45 – 0,55 Tekan aksial

B.2 Penjelasan perencanaan beban dan kuat terfaktor untuk fondasi


B.2.1. Kekuatan Fondasi ditentukan oleh kekuatan tanah yang mendukungnya. Kekuatan
Struktur Fondasi itu sendiri (telapaknya, rakitnya, tiangnya) tentu ditentukan oleh bahan
Fondasi tersebut, yang pada umumnya adalah beton bertulang. Jadi, untuk perhitungan
kekuatan struktur Fondasi, berlaku ketentuan-ketentuan yang sama seperti untuk struktur
atas dan struktur bawah gedung.

B.2.2. Perencanaan kekuatan unsur struktur atas dan struktur bawah dengan cara
Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor, sudah sejak lama diikuti dalam praktek di
Indonesia. Tetapi untuk perencanaan kekuatan Fondasi, terdapat kecenderungan kuat untuk
tetap memakai cara tegangan atau beban yang diizinkan. Inkonsistensi ini tentunya harus
dihapuskan secepat mungkin. Karena itu, Lampiran dari Standar ini dimaksudkan untuk
mensosialisasikan cara Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor untuk Fondasi sebagai
alternatif, yang diharapkan dapat segera menggantikan cara yang lama.

B.2.3. Pada dasarnya beban nominal pada struktur bawah adalah juga beban nominal
pada Fondasi yang diteruskan ke tanah pendukung. Dengan demikian, faktor-faktor beban
γ yang harus dikalikan pada beban nominal Qn untuk mendapatkan beban ultimit Qu pada
Fondasi, harus diambil yang sama seperti yang berlaku untuk struktur atas dan struktur
bawah gedung.

B.2.4. Kekuatan nominal Fondasi dapat diartikan sebagai kekuatan, di mana tanah
pendukungnya masih menunjukkan penurunan yang elastis, dengan suatu kuat lebih yang
cukup terhadap kekuatan, di mana tanah pendukungnya mulai secara drastis menunjukkan
penurunan yang besar. Karena itu, cara penentuan kekuatan nominal Fondasi yang
langsung adalah dengan melakukan uji beban dan menetapkannya dari diagram beban-
penurunan. Berapa besarnya nilai faktor kuat lebih, perlu dipertimbangkan dengan sebaik-
baiknya dari bentuk diagram beban-penurunan, sehingga tidak dapat dirumuskan secara
umum. Sebenarnya kekuatan nominal Fondasi harus ditentukan secara probabilistik, tetapi
pada umumnya hal ini tidak dimungkinkan, karena jumlah uji beban dalam suatu proyek
pada umumnya terbatas. Suatu perhitungan standar yang dilakukan dalam praktek selama
ini, adalah perhitungan daya dukung yang diizinkan. Sebagai pendekatan, daya dukung
61 dari 63
SNI-1726-2002

nominal dapat dianggap 2 kali daya dukung yang diizinkan. Seperti diketahui, syarat yang
harus dipenuhi pada uji beban adalah, bahwa pada beban uji 2 kali beban yang diizinkan,
Fondasi harus masih menunjukkan sifat elastis. Seperti dapat dilihat, kekuatan ultimit
Fondasi adalah lebih rendah dari kekuatan nominalnya. Di dalam rekayasa Fondasi
pengertian kekuatan ultimit dan kekuatan nominal sering terbalik. Dalam literatur Eropa,
kekuatan nominal disebut kekuatan karakteristik.

B.2.5. Faktor reduksi kekuatan φ sangat bergantung pada beberapa hal, seperti mutu
pengerjaan fondasi, sebaran variasi parameter tanah, metoda perhitungan kekuatan nominal
maupun kekuatan ultimit, keandalan parameter tanah serta metoda pengujian yang dipakai
untuk mendapatkannya, sifat beban (tarik, tekan, momen, geser). Karena itu tidak dapat
ditetapkan satu nilai φ tetapi suatu kisaran, seperti ditunjukkan dalam Tabel P.1 dan Tabel
P.2. Pada umumnya, nilai φ terendah dalam kisaran diambil jika dalam penentuan daya
dukung nominal digunakan korelasi dengan nilai Test Penetrasi Standar (SPT). Nilai φ
rata-rata dalam kisaran diambil jika digunakan korelasi dengan nilai Test Sondir (CPT).
Nilai φ tertinggi dalam kisaran diambil jika digunakan parameter kuat geser dari hasil uji
laboratorium atau dari hasil uji beban langsung sampai gagal.

62 dari 63
SNI 03-2407-2002

Standar Nasional Indonesia

Tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung

ICS 27.180 Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-2407-2002

Daftar isi

Daftar isi ........................................................................................................... i

Prakata ............................................................................................................. ii

Pendahuluan .................................................................................................... iii

1 Ruang lingkup .......................................................................................... 1

2 Acuan normatif......................................................................................... 1

3 Istilah dan definisi .................................................................................... 1

4 Persyaratan bahan dan alat ..................................................................... 3

4.1 Bahan……………………………………………………………………………3

4.2 Peralatan………………………………………………………………………..3

5 Pelaksanaan pengecatan ........................................................................ 4

5.1 Persiapan permukaan………………………………………………………….4

5.2 Persiapan bahan………………………………………………………………..4

5.3 Pengecatan……………………………………………………………………..4

6 Cara penanggulangan bila terjadi kegagalan dalam pengecatan ............ 5

i
SNI 03-2407-2002

Prakata

SNI Tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung ini disusun sebagai revisi dari SNI
03-2407-1991 tentang Tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung karena SNI
tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kemajuan teknologi produksi cat.

SNI ini mengacu kepada standar-standar asing maupun. Standar Nasional Indonesia, yang
isinya telah dilakukan penyesuaian dengan kondisi Indonesia dan pola kerja dari tenaga
kerja (tukang) di Indonesia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mewujudkan SNI ini
terutama kepada tim penyusun yang telah mewujudkan SNI ini dan kami masih menerima
masukan dan koreksi untuk penyempurnaannya.

Bandung, Desember 2001

Panitia Teknis standardisasi Bidang


Konstruksi Bangunan

ii
SNI 03-2407-2002

Pendahuluan

Dewasa ini teknologi produksi cat sudah berkembang sangat pesat dengan produksinya
jenis-jenis cat baru yang memerlukan penanganan khusus dalam pelaksanaan pengecatan
di lapangan.

Tata cara pengecatan kayu ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk teknis kepada cara
pelaksana pengawas lapangan, dan pihak lain yang berkepentingan dalam mengerjakan
pengecatan kayu.

Tujuan tata cara ini adalah untuk mendapatkan hasil pengecatan kayu yang baik dan benar
serta penanggulangannya bila terjadi kegagalan dalam pengecatan, sehingga diharapkan
terciptanya pekerjaan pengecatan kayu yang memenuhi ketentuan dan mendapatkan hasil
pekerjaan yang efektif, efisien dan ekonomis.

iii
SNI 03-2407-2002

Tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung

1 Ruang Iingkup

Tata cara ini memuat cara-cara pengecatan kayu yang berhubungan dergan udara luar dan
penangulangan kegagalan dalam pengecatan.

2 Acuan normatif

Anonim, 1989, Spesifikasi bahan bangunan bagian A (bahan bangunan bukan logam),
Departemen Pekerjaan Umum, Pusat Litbang Permukiman.
SNI 06- 0347-1989, Mutu dempul untuk kayu.

3 Istilah dan definisi

3.1
cat tutup kayu
suspensi, campuran utamanya, terdiri dari bahan pengikat (yang larut dalam pelarut
organik), pigmen dan bahan pelarut organik

3.2
pigmen
senyawa berupa serbuk sangat halus yang dalam cat berupa suspensi gunanya untuk
memperkuat selaput cat dan memberikan warna serta daya tutup

3.3
cat dasar kayu
cat yang fungsi utamanya mengisi pori-pori dan memberikan dasar yang baik untul lapis-
lapis cat berikutnya

3.4
pernis
bahan pelapis kayu yang terbuat dari resin yang dilarutkan dalam minyak mengering (drying
oil)

3.5
plamur kayu
bahan berupa pasta yang dibuat untuk meniadakan warna dasar permukaan yang akan
dicat. Selain itu fungsinya juga adalah rnengisi Iubang-lubang kecil pada permukaan dan
memberi suatu lapisan yang kuat untuk pengecatan berikutnya

1 dari 7
SNI 03-2407-2002

3.6
dempul kayu
bahan berupa pasta yang mengandung kadar pigmen tinggi dan akan nengeras sesudah
dibiarkan diudara untuk menutupi lobang-lobang yang tidak terlalu dalam pada kayu

3.7
kape
pisau yang digunakan untuk dempul atau plamur

3.8
ampelas kayu
ampelas tidak tahan air yang terbuat dan kertas, lem dan bubuk kwarsa

3.9
plamir
bahan pelapis kayu yang terbuat dari minyak kina dan sintesis yang digunakan sebagai cat
dasar bagi benda-benda baik yang terbuat dan kayu.

3.10
cat dasar
cat yang fungsinya untuk mengisi lobang-lobang kecil pada permukaan dan memberi suatu
lapisan yang kuat untuk pengecatan berikutnya.

2 dari 7
SNI 03-2407-2002

4 Persyaratan bahan dan alat

4.1 Bahan
4.1.1 Dempul kayu
Dempul kayu harus memenuhi syarat, antana lain:
4.1.1.1 konsistensi, dempul harus merupakan suatu masa yang serba sama seperti adonan
terigu, cukup tegan, tidak lengket, dan bila dikerjakan pada kayu dengan pisau dempul/kape
harus mudah dan tidak putus, harus dapat digosok dengan mudah dan dapat diberi lapisan
lain dengan baik.
4.1.1.2 persyaratan dan cara uji dapat dilihat pada SNI 06-0347-1989 Mutu dempul untuk
kayu.

4.1.2 Cat kayu


Tipe cat kayu memakai pengencer organik antara lain, cat alkyd, epoxy, cat minyak,
polyurethan, acrilic.
Cat kayu harus memenuhi syarat antara lain:
4.1.2.1 gel tidak boleh ada
4.1.2.2 endapan keras kering tidak boleh ada
4.1.2.3 waktu pengeringan (kering permukaan) maksimum (jam)

CATATAN Gel adalah bagian dari cat yang terbentuk setelah proses pembuatan dan tidak dapat
bercampur walaupun dengan pengadukan. Endapan keras kering adalah endapan yang terbentuk
setelah proses pembuatan, endapan ini bila dipotong-potong akan hancur menjadi remah. Waktu
pengeringan adalah waktu yaag dibutuhkan nilai dari pengecatan , ada suatu lempeng kaca sampai
terbentuknya lapisan kering padat, sesuai cara pengujiannya.
Persyaratan dan cara uji lengkap lihat "Cat Kayu dan Cat Besi" Standar Perdagangan (SF. 74 tahun
1977).

4.1.3 Plamir kayu


Plamir kayu harus memenuhi syarat antara lain:
4.1.3.1 plamir harus melekat baik pada permukaan yang akan di cat.
4.1.3.2 pengeringan, jika disapukan tipis-tipis harus mengering dalam waktu 2 x 24 jam
tanpa rnengerut atau merekah dan harus cukup keras untuk digosok.

4.2 Peralatan
Alat-alat yang digunakan untuk pengecatan:
4.2.1 kwas dan kape
4.2.2 pengaduk terbuat dari kayu atau besi
4.2.3 ampelas kayu No. 0 - 2
4.2.4 sikat ijuk atau lap
4.2.5 kaleng kosong yang sudah dibersihkan
4.2.6 semua alat-alat tersebut dalam keadaan bersih dan kering

3 dari 7
SNI 03-2407-2002

5 Pelaksanaan pengecatan
5.1 Persiapan permukaan
5.1.1 Kayu Baru
Tahapan-tahapan yang harus dilakukan:
5.1.1.1 kayu harus kering, bebas dari debu, kotoran, minyak
5.1.1.2 untuk menutup lubang-lubang yang kecil gunakan plamir dan untuk menutup lubang-
lubang besar gunakan dempul
5.1.1.3 ampelas permukaan kemudian dilap bersih
5.1.1.4 setelah itu berilah cat dasar

5.1.2 Kayu yang pernah dicat atau dipernis


Tahapan-tahapan yang harus dilakukan:
5.1.2.1 bila cat lama dalam keadaan baik, maka bersihkan permukaan dengan sabun dan
air, larutan detergent atau solvent yang cocok untuk menghilangkan debu, kotoran, gemuk,
minyak poles dsb.
5.1.2.2 sementara permukaan masih basah, ampelas dengan kertas ampelas tahan air
ukuran medium, kemudian bilaslah dengan air bersih dan biarkan mengering.
5.1.2.3 hilangkan bagian-bagian cat yang rusak mengelupas dan yang sudah berkurang
daya lekatnya dengan cara mengerok sampai ke permukaan kayu.
5.1.2.4 pada bagian-bagian yang nampak kayunya berilah plamir kayu dan untuk menutup
lubang-lubang yang besar gunakan dempul kayu.
5.1.2.5 bila cat lama sangat buruk keadaannya, maka hilangkan seluruhnya dan lakukan
persiapan permukaan sama seperti pada kayu baru.

5.2 Persiapan bahan


Tahapan-tahapan yang harus dilakukan:
5.2.1 cat dasar kayu diaduk sampai rata, bila perlu ditambah pengencer (terpentin)
secukupnya.
5.2.2 dempul dapat digunakan langsung.
5.2.3 plamur diaduk sampai rata, bila perlu ditambah pengencer (terpentin) secukupnya
5.2.4 cat tutup kayu (bahan pengencer terpentin) diaduk sampa rata, bila perlu diencerkan
dengan terpentin secukupnya.

5.3 Pengecatan
Tahap pengecatan:
5.3.1 pengecatan dengan cat many.
5.3.2 penggunaan dempul/plamir.
5.3.3 pengecatan dengan cat penutup.
5.3.4 sistem pengecatan ulang setelah kering, dua sampai tiga lapis sampai rata (30-40
mikron).

4 dari 7
SNI 03-2407-2002

5.3.5 atau sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada kemasan masing-masing produk.

6 Cara penanggulangan bila terjadi kegagalan dalam pengecatan


Untuk menanggulangi bila terjadi kegagalan dalam pengecatan dapat dilihat pada tabel 1.

5 dari 7
SNI 03-2407-2002

Tabel 1 Cara penanggulangan

6 dari 7
SNI 03-2407-2002

Tabel 1 (lanjutan)

7 dari 7
SNI 03-1735- 2000
Kembali

Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan


untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

1. Ruang lingkup.

Standar ini dimaksudkan sebagai acuan yang diperlukan dalam perencanaan jalan
lingkungan dan akses ke bangunan gedung sehingga penyelamatan dan operasi
pemadaman kebakaran dapat dilakukan seefektif mungkin.

2. Acuan.

a). Fire Safety Bureau ,Singapore Civil Defence Force ; Fire Precautions in Buildings,
1997.

3. Istilah dan definisi.


3.1.
besmen.
ruangan di dalam bangunan gedung yang letak lantainya secara horisontal berada di bawah
permukaan tanah yang berada di sekitar lingkup bangunan tersebut.
3.2.
bukaan akses
bukaan/lubang yang dapat dibuka, yang terdapat pada dinding bangunan terluar, bertanda
khusus, menghadap ke arah luar dan diperuntukkan bagi unit pemadam kebakaran dalam
pelaksanaan penyelamatan penghuni dan pemadaman kebakaran.
3.3.
dinding dalam.
dinding di luar dinding biasa atau bagian dinding.
3.4.
dinding luar.
dinding luar bangunan yang bukan merupakan dinding dinding utama bangunan, biasanya
digunakan untuk pelindung cuaca atau untuk tujuan dekoratif, termasuk dinding luar vertikal
dan miring 70 derajat atau lebih terhadap horisontal sebagai penyambung ke atap.
3.5.
hidran.
alat yang dilengkapi dengan slang dan mulut pancar (nozzle = nozel) untuk mengalirkan air
bertekanan yang digunakan bagi keperluan pemadaman kebakaran.
3.6.
jalur akses.
jalur pencapaian yang menerus dari perjalanan ke atau di dalam bangunan yang cocok
digunakan untuk petugas pemadam kebakaran.

1 dari 45
SNI 03-1735- 2000

3.7.
lif kebakaran.
suatu sarana transportasi dalam bangunan gedung, yang mengangkut petugas kebakaran di
dalam kereta lif, yang bergerak naik-turun secara vertikal dan memenuhi persyaratan
penyelamatan yang berlaku.
3.8.
saf.
dinding atau bagian bangunan yang membatasi :

a). sumur yang bukan merupakan sumur/lorong atrium, atau

b). luncuran vertikal, saluran atau jalur sejenis, tetapi bukan cerobong/cerobong asap.
3.9.
springkler.
alat pemancar air untuk pemadaman kebakaran yang mempunyai tudung berbentuk
deflektor pada ujung mulut pancarnya, sehingga air dapat memancar kesemua arah secara
merata.
3.10.
tangga kebakaran yang dilindungi.
tangga yang dilindungi oleh saf tahan api dan termasuk didalamnya lantai dan atap atau
ujung atas struktur penutup.
3.11.
tangga kebakaran.
tangga yang direncanakan khusus untuk penyelamatan bila terjadi kebakaran.

4. Jalan lingkungan.

4.1*. Umum.

Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi


pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan harus tersedia jalan lingkungan.

4.2. Jalur akses masuk dan lapisan perkerasan.


4.2.1*. Di setiap bagian dari bangunan hunian dimana ketinggian lantai hunian tertinggi
diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 m, maka tidak dipersyaratkan adanya lap[isan
perkerasan kecuali diperlukan area operasional dengan lebar 4 m sepanjang sisi bangunan
tempat bukaan akses diletakkan, asal ruang operasional tersebut dapat dicapai pada jarak
maksimum 45 m dari jalur masuk mobil pemadam kebakaran.
4.2.2. Dalam tiap bagian bangunan ( selain bangunan kelas 1, 2 dan 3), perkerasan
harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung mencapai bukaan akses pemadam
kebakaran pada bangunan. Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk
dan manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa, dan mobil tangga dan platform hidrolik,
serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut :

2 dari 45
SNI 03-1735- 2000

a). lebar minimum lapis perkerasan 6 m dan panjang minimum 15 m. Bagian-bagian lain
dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam kebakaran, lebarnya
tidak boleh kurang dari 4 m.

b). lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak boleh kurang
dari 2 m atau lebih dari 10 m dari pusat posisi bukaan akses pemadam kebakaran
diukur secara horisontal.
c)*. lapis perkerasan harus dibuat dari lapisan yang diperkuat agar dapat menyangga
beban peralatan pemadam kebakaran. Persyaratan perkerasan untuk melayani
bangunan yang ketinggian lantai huniannya melebihi 24 m harus dikonstruksi untuk
menahan beban statik mobil pemadam kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat
kaki (jack).
d)*. lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak boleh lebih
dari 1 : 15, sedangkan kemiringan untuk jalur masuk maksimum 1 : 8,5.

e)*. lapis perkerasan dari jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila melebihi 46 m
harus diberi fasilitas belokan.

f)*. radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang darui 10,5 m dan harus
memenuhi persyaratan.

g). tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil pemadam,
minimum 5 m untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut.

h). jalan umum boleh digunakan sebagai lapisan perkerasan asalkan lokasi jalan tersebut
sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran.

i). lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian lain
bangunan, pepohonan, tanaman atau lain-lain, dan tidak boleh menghambat jalur
antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam kebakaran.
4.2.3. Pada bangunan bukan hunian, seperti pabrik dan gudang serta bangunan hunian
dengan ketinggian lantai hunian di atas 10 m, harus disediakan jalur akses dan ruang lapis
perkerasan yang berdekatan dengan bangunan untuk peralatan pemadam kebakaran. Jalur
akses tersebut harus mempunyai lebar minimal 6 m dan posisinya minimal 2 m dari
bangunan dan dibuat minimal pada 2 sisi bangunan. Ketentuan jalur masuk harus
diperhitungkan berdasarkan volume kubikasi bangunan seperti ditunjukkan dalam tabel
4.2.3.

Tabel 4.2.3 : Volume bangunan untuk penentuan jalur akses.

No Volume bangunan Keterangan


1 < 7.100 m3 Minimal 6 keliling halaman.
1

2 > 7.100 m3. Minimal 1 6 keliling bangunan.


3 > 28.000 m3. Minimal ¼ keliling bangunan.
4 > 56.800 m3. Minimal ½ keliling bangunan.
5 > 85.200 m3. Minimal ¾ keliling bangunan.
6 > 113.600 m3. Harus sekeliling bangunan.

3 dari 45
SNI 03-1735- 2000

4.2.4. Penandaan jalur.

a). Pada keempat sudut area lapis perkerasan untuk mobil pemadam kebakaran harus
diberi tanda.

b). Penandaan sudut-sudut pada permukaan lapis perkerasan harus dari warna yang
kontras dengan warna permukaan tanah atau lapisan penutup permukaan tanah.

c). Area jalur akses pada kedua sisinya harus ditandai dengan bahan yang kontras dan
bersifat reflektif sehingga jalur masuk dan lapis perkerasan dapat terlihat pada malam
hari. Penandaan tersebut diberi jarak antara tidak melebihi 3 m satu sama lain dan
harus ditempatkan pada kedua sisi jalur. Tulisan “JALUR PEMADAM KEBAKARAN –
JANGAN DIHALANGI” harus dibuat dengan tinggi huruf tidak kurang dari 50 mm.

5. Hidran halaman .

5.1*. Tiap bagian dari jalur akses mobil pemadam di lahan bangunan harus dalam
jarak bebas hambatan 50 m dari hidran kota. Bila hidran kota yang memenuhi persyaratan
tersebut tidak tersedia, maka harus disediakan hidran halaman.
5.2*. Dalam situasi di mana diperlukan lebih dari satu hidran halaman, maka hidran-
hidran tersebut harus diletakkan sepanjang jalur akses mobil pemadam sedemikian hingga
tiap bagian dari jalur tersebut berada dalam jarak radius 50 m dari hidran.
5.3. Pasokan air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 2400 liter/menit
pada tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimal selama 45 menit.

5.4. Jumlah pasokan air untuk hidran halaman yang dibutuhkan ditunjukkan pada
tabel 5.4.
Tabel 5.4.
Jumlah pasokan air hidran halaman

Jumlah hidran yang Waktu


akan dipakai untuk Pasokan air untuk hidran pasokan
No. Jenis bangunan
pemadaman yang akan dipakai air
kebakaran simpanan
1 Perumahan 1 Tidak kurang dari 38 45 menit
liter/detik pada 3,5 bar
2 Bukan perumahan (didasarkan pada luas lantai dari lantai yang terbesar)
Tidak kurang dari 38
liter/detik pada 3,5 bar untuk
a < 1.000 m2. 2 hidran pertama dan 19 liter/ 45 menit.
detik pada 3,5 bar untuk
hidran kedua.
Untuk setiap hidran
Setiap pertambahan
berikutnya, 1200 liter/ menit
b berikutnya dari Penambahan 1 hidran 45 menit.
ditambahkan pasokan air
1.000 m2 luas lantai.
umum untuk hidran.

4 dari 45
SNI 03-1735- 2000

6. Bukaan akses.
6.1. Bukaan akses untuk petugas pemadam kebakaran dibuat melalui dinding luar
untuk operasi pemadaman dan penyelamatan. Bukaan tersebut harus siap dibuka dari
dalam dan luar atau terbuat dari bahan yang mudah dipecahkan, dan senantiasa bebas
hambatan selama bangunan dihuni atau dioperasikan.
6.2*. Ukuran bukaan akses petugas pemadam kebakaran tidak boleh kurang dari 850
mm lebar dan 1000 mm tinggi, dengan tinggi ambang bawah tidak lebih dari 1000 mm dan
tinggi ambang atas kurang dari 1800 mm di atas permukaan lantai bagian dalam.

6.3*. Bukaan akses pemadam kebakaran harus diberi tanda segitiga warna merah
dengan ukuran tiap sisi minimum 150 mm dan diletakkan pada sisi luar dan sisi dalam
dinding dan diberi tulisan : “AKSES PEMADAM KEBAKARAN – JANGAN DIHALANGI”
dengan ukuran tinggi minimal 50 mm.

Pengecualian :

Ketentuan ini tidak dipersyaratkan untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3.

6.4. Jumlah dan posisi bukaan akses pemadam kebakaran.

6.4.1. Pada tiap lantai atau kompartemen kecuali lantai pertama dan ketinggian
bangunan tidak melebihi 40 m, harus ada 1 bukaan akses untuk tiap 620 m2 luas lantai,
ataupun bagian dari lantai harus memiliki 2 bukaan akses pemadam kebakaran pada setiap
lantai bangunan atau kompartemen.

6.4.2. Pada bangunan yang di dalamnya terdapat kompartemen-kompartemen atau


ruang-ruang yang ukurannya kurang dari 620 m2 yang tidak berhubungan satu sama lain,
maka masing-masing harus diberi bukaan akses.

6.4.3. Dalam suatu bangunan atau kompartemen yang dilengkapi seluruhnya dengan
sistem springkler otomatis, penentuan bukaan akses didasarkan atas perhitungan bukaan
akses untuk 6.200 m2 pertama pada basis 620 m2 untuk tiap bukaan akses, dan selanjutnya
diberikan tambahan bukaan akses berikutnya untuk luas lantai lebih dari 6.200 m2 dengan
basis 1.240 m2. Untuk tiap bukaan akses tersebut harus didistribusikan pada dinding-dinding
bangunan yang berlawanan.

6.4.4. Bila bukaan akses lebih dari 1 (satu), maka harus ditempatkan berjauhan satu
sama lain dan ditempatkan tidak dalam pada satu sisi bangunan. Bukaan akses harus
berjarak minimal 20 m satu sama lain diukur sepanjang dinding luar dari as ke as bukaan
akses.

6.4.5. Bila dalam bangunan ada ruangan dengan ketinggian langit-langit di atas
ketinggian normal langit-langit, maka dapat diberikan bukaan tambahan yang diletakkan
pada permukaan atas bukaan dinding luar ke dalam ruang atau area atas persetujuan
instansi yang berwenang.

6.4.6. Pada bangunan yang dinding luarnya terbatas dan sulit ditempatkan bukaan
akses, maka harus dilengkapi dengan instalasi pemadam kebakaran internal sesuai dengan
jenis dan fungsi bangunan.

5 dari 45
SNI 03-1735- 2000

7. Akses petugas pemadam kebakaran di dalam bangunan.

7.1. Umum.

7.1.1. Pada bangunan gedung rendah yang tidak memiliki besmen, yang dalam
persyaratan jalur akses bagi petugas pemadam kebakaran akan dipenuhi oleh kombinasi
dari sarana jalan keluar dengan jalur akses kendaraan sebagaimana dimaksud pada butir
7.1.2.

7.1.2. Pada bangunan lainnya, masalah-masalah yang dihadapi saat mendekati lokasi
kebakaran dan berada dekat lokasi kebakaran dalam upaya menanggulangi kebakaran,
diperlukan persyaratan mengenai sarana atau fasilitas tambahan untuk menghindari
hambatan dan untuk memperlancar operasi pemadaman.

7.1.3. Fasilitas-fasilitas tambahan ini meliputi lif untuk pemadam kebakaran, tangga
untuk keperluan pemadaman kebakaran, dan lobi untuk operasi pemadaman kebakaran
yang dikombinasi di dalam suatu saf yang dilindungi terhadap kebakaran atau disebut
sebagai saf untuk pemadam kebakaran.

7.2. Saf untuk petugas pemadam kebakaran.

7.2.1. Persyaratan saf.

a). Bangunan yang lantainya terletak lebih dari 20 m di atas permukaan tanah atau di atas
permukaan jalur akses bangunan atau besmennya lebih dari 10 m di bawah
permukaan tanah atau permukaan jalur akses bangunan, harus memiliki saf untuk
pemadaman kebakaran yang berisi di dalamnya lif untuk pemadaman kebakaran.

Gambar 7.2.1. Persyaratan saf kebakaran terlindung untuk pemadaman kebakaran

6 dari 45
SNI 03-1735- 2000

b). Bangunan yang bukan tempat parkir sisi terbuka dengan luas tingkat bangunan seluas
600 m2 atau lebih, yang bagian atas tingkat tersebut tingginya 7,5 m di atas permukaan
jalur akses bangunan, harus dilengkapi dengan saf untuk tangga pemadam kebakaran
yang tidak perlu dilengkapi dengan lif pemadam kebakaran.

c). Bangunan dengan dua atau lebih lantai besmen yang luasnya lebih dari 900 m2, harus
dilengkapi dengan saf tangga kebakaran terlindung untuk petugas pemadam
kebakaran yang tidak perlu dilengkapi lif pemadam kebakaran.

d). Bilamana saf tangga kebakaran terlindung untuk pemadaman kebakaran diperlukan
untuk melayani besmen, maka saf tersebut tidak perlu harus pula melayani lantai-lantai
di atasnya, kecuali bila lantai-lantai atas tersebut bisa dicakup berdasarkan ketinggian
atau ukuran bangunan. Demikian pula halnya suatu saf yang melayani lantai-lantai di
atas lantai dasar tidak perlu harus melayani besmen, meskipun tidak begitu besar atau
dalam yang memungkinkan dapat dipenuhi. Hal yang penting adalah bahwa tangga
untuk pemadam kebakaran dan lif kebakaran harus mampu melayani semua tingklat-
tingkat menengah yang terletak di antara tingkat bangunan tertinggi dan terendah yang
dilayani.

e). Kompleks perbelanjaan harus dilengkapi dengan saf untuk pemadam kebakaran.

7.2.2. Jumlah dan lokasi saf untuk petugas pemadam kebakaran.

a). Jumlah saf untuk pemadam kebakaran harus :

1). Memenuhi tabel 7.2.2.a.1) apabila bangunan dipasangi seluruhnya dengan


sistem springkler otomatis yang sesuai dengan standar yang berlaku.
Tabel 7.2.2.a.1).
Jumlah minimum saf untuk pemadam kebakaran
pada bangunan yang dipasangi springkler.

Luas lantai maksimum Jumlah minimum


(m2). saf pemadam kebakaran
Kurang dari 900 1
900 ~ 2.000 2
Luas lebih dari 2.000 2 ditambah 1 untuk tiap
penambahan 1.500 m2.

2). Bila bangunan tidak berspringkler, harus disediakan sekurang-kurangnya satu


saf pemadam kebakaran untuk setiap 900 m2 luas lantai dari lantai terbesar yang
letaknya lebih dari 20 m di atas permukaan tanah ( atau di atas 7,5 m dalam hal
seperti pada butir 7.2.1.b).

3). Kriteria yang sama mengenai luasan 900 m2 untuk setiap saf pemadam
kebakaran harus diterapkan untuk menghitung jumlah saf yang diperlukan bagi
besmen bangunan.

b). Penempatan saf untuk pemadam kebakaran harus sedemikian rupa, hingga setiap
bagian dari tiap lapis atau tingkat bangunan di luar permukaan akses masuk petugas
pemadam kebakaran, tidak lebih dari 60 m diukur dari pintu masuk ke lobi. Tindakan

7 dari 45
SNI 03-1735- 2000

pemadaman kebakaran yang ditentukan pada rute yang tepat untuk pemasangan
slang, apabila denah bangunan tidak diketahui pada tahap perancangan, maka setiap
bagian dari setiap tingkat bangunan harus tidak lebih dari 40 m, diukur berdasarkan
garis lurus yang ditarik langsung dari pintu masuk ke lobi pemadam kebakaran.

7.2.3. Rancangan dan konstruksi saf.

a). Setiap jalur tangga untuk pemadaman kebakaran dan saf kebakaran harus dapat
didekati melewati lobi pemadam kebakaran.

b). Semua saf untuk petugas pemadam kebakaran, harus dilengkapi dengan sumber air
utama untuk pemadaman yang memiliki sambungan outlet dan katup-landing di tiap
lobi pemadam kebakaran, kecuali pada level akses.

c). Saf untuk pemadaman kebakaran harus dirancang, dikonstruksi dan dipasang sesuai
ketentuan yang berlaku.

Gambar 7.2.3. : Komponen saf pemadam kebakaran

8. Pipa tegak dalam bangunan.

8.1*. Akses dari luar menuju pipa tegak dalam bangunan.


Bangunan yang dipasang dengan pipa tegak dan sistem springkler otomatik harus
mempunyai saluran masuk untuk peralatan pompa pada jarak 18 m dari sambungan
pemadam kebakaran ( “siamese” ).
8.2. Jenis pipa tegak.
8.2.1. Jenis dari sistem pipa tegak dalam bangunan harus sesuai dengan kelas
bangunan sebagai berikut :

8 dari 45
SNI 03-1735- 2000

a)*. Pipa tegak kering, harus dipasang dalam bangunan dimana tinggi bangunan yang
layak ditempati lebih dari 24 m, tetapi tidak lebih dari 40 m.

b)*. Pipa tegak basah, harus dipasang dalam bangunan dimana tinggi bangunan yang
dihuni lebih dari 40 m.

c)*. Sistem pipa tegak kering dan sistem pipa tegak basah terpisah dalam bangunan, dapat
diijinkan oleh instansi yang berwenang.
8.2.2*. Tanpa melanggar persyaratan butir 8.2.1, pipa tegak kering harus pula
disediakan untuk setiap bagian dari besmen satu lantai atau lebih.
8.2.3*. Apabila bangunan mempunyai akses lebih dari satu pada lantai dasar atau jalan
umum, pengukuran tinggi untuk tujuan standar ini harus diambil dari permukaan lapis
perkerasan yang disediakan.

8.2.4*. Tanpa melanggar butir 8.2.1, persyaratan pipa tegak untuk bangunan kelas 1, 2
dan 3 yang mempunyai tinggi lantai hunian antara 10 m dan 40 m, harus dipasang pipa
tegak kering.

8.3. Jumlah, lokasi dan ukuran pipa tegak.


8.3.1*. Jumlah dan distribusi pipa tegak harus memenuhi persyaratan sesuai SNI 03-
1745 -2000, tentang : Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
8.3.2*. Posisi pipa tegak dan katup landing harus ditempatkan terutama pada posisi
sebagai berikut :

a)*. di dalam lobi stop asap.

b)*. dalam daerah umum dan di dalam saf yang terlindung , sedekat mungkin di luar tangga
eksit jika tidak ada lobi stop asap.

c)*. di dalam tangga eksit bilamana tidak ada lobi stop asap dan daerah umum.

8.3.3*. Ukuran pipa tegak harus memenuhi SNI 03-1745 -2000, tentang : Tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.

8.3.4*. Lokasi dan ketentuan untuk katup landing harus mengikuti ketentuan yang
berlaku.

8.3.5. Pemasangan pipa tegak harus memenuhi SNI 03-1745 -2000, tentang : Tata
cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.

8.4. Sambungan pemadam kebakaran dan akses dari jalan umum.

8.4.1*. Semua bangunan yang dipasang dengan pipa tegak harus mempunyai jalan
akses untuk peralatan pompa dengan jarak 18 m dari sambungan pemadam kebakaran.
Sambungan pemadam kebakaran harus mudah dilihat dari jalan akses.

9 dari 45
SNI 03-1735- 2000

8.4.2. Persyaratan dan ketentuan sambungan pemadam kebakaran untuk sistem pipa
tegak sesuai SNI 03-1745 -2000, tentang : Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

Pipa sambungan antara sambungan pemadam kebakaran dan pipa tegak apabila digunakan
harus diusahakan sependek mungkin.

8.4.3*. Setiap pipa tegak, basah atau kering, untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3, harus
dipasang dengan sambungan pemadam kebakaran langsung pada dasar dari pipa tegak.

8.5. Pipa tegak basah.

8.5.1*. Pipa tegak basah.

Kapasitas pasokan air dari pipa air minum dan kapasitas penyimpanan untuk sistem pipa
tegak basah harus memenuhi persyaratan SNI 03-1745-2000, tentang : Tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.

8.5.2*. Aliran.

Persyaratan aliran untuk sistem pipa tegak basah harus memenuhi ketentuan yang berlaku.

8.5.3*. Tekanan kerja.

Tekanan kerja pada setiap pancaran pada katup landing dari sistem pipa basah harus dijaga
antara nilai minimum dan maksimum sesuai ketentuan yang berlaku.

8.5.4*. Tekanan statik dalam setiap pipa dari slang yang dihubungkan ke katup landing
dalam sistem pipa tegak basah harus tidak melebihi ketentuan yang berlaku.

8.5.5*. Lokasi dari tangki penyimpan dan kapasitasnya apabila dipersyaratkan harus
memenuhi ketentuan yang berlaku.

8.5.6*. Apabila pompa yang dipersyaratkan untuk sistem pipa tegak basah, persyaratan
yang berlaku harus diikuti. Pasokan daya, baik normal maupun darurat harus mengikuti
ketentuan yang berlaku.

8.6*. Bangunan dalam tahap pelaksanaan.

Apabila bangunan dalam tahap pelaksanaan akan dilengkapi dengan pipa tegak, pipa tegak
harus dipasang bertahap sesuai tinggi bangunan selama pelaksanaan, semua keluaran,
katup landing dan masukan, tangki air dan pompa, dan hidran yang dipersyaratkan untuk
sistem harus dipasang dengan benar sesuai ketentuan dari instansi yang berwenang dan
mudah dioperasikan bila terjadi kebakaran.

10 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Apendiks - A
A.4.1. Untuk bangunan dengan tinggi lebih dari 10 m yang dihuni dari bangunan kelas
1, 2 dan 3, sambungan pemadam kebakaran harus dilengkapi pada kaki pipa tegak pada
lantai dasar.

Sambungan pipa tegak harus berjarak 18 m, langsung terlihat dari jalan akses mobil
pemadam kebakaran. Jendela ke ruang tidur, ruang duduk dan bukaan ke halaman
dipertimbangkan sebagai bukaan akses. Bagaimanapun, bukaan ini sebaiknya ditempatkan
sepanjang permukaan dinding luar yang menghadap lapisan perkerasan dan jalan akses.

Gambar A.4.1.

11 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.4.2.1. 4 m lebar bidang kerja sebaiknya diletakkan sepanjang sisi bangunan dimana
bukaan akses ditempatkan, tidak diperbolehkan menaikkan ketinggian bidang kerja dengan
timbunan tanah maupun landasan (platform) buatan.

4 m lebar bidang kerja sepanjang sisi bangunan digunakan untuk manuver tangga besi
petugas pemadam kebakaran. Panjang maksimum 45 m antara ujung jalan akses mobil
pemadam kebakaran dan ujung terjauh dari bidang kerja untuk mencegah kelebihan gerakan
dari petugas pemadam kebakaran.

Gambar A.4.2.1.

A.4.2.2.c. Kebutuhan lapis perkerasan harus direncanakan oleh ahli teknik profesional
untuk menjamin bahwa bidang kerja mampu menerima beban operasi mobil pemadam
kebakaran. Gambar A.4.2.2.c menunjukkan lokasi plat kaki (jack) yang ditempatkan pada
lapisan perkerasan.

12 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.4.2.2.c

13 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Pengerasan dilakukan dengan lapisan metal atau lapisan beton atau plat beton pra cetak
berperforasi yang kuat menahan beban peralatan-peralatan kebakaran.

Gambar A.4.2.2.c (1).

A.4.2.2.d. Kemiringan 1 : 8,5 untuk jalan normal kendaraan atau jalan akses dapat
digunakan oleh mobil pemadam kebakaran untuk berpindah dari satu titik ke titik yang lain.
Untuk lapisan perkerasan kemiringan tidak boleh melebihi 1 : 15, karena bila lebih, mobil
pemadam kebakaran tidak mampu beroperasi.

A.4.2.2.e.

Gambar A.4.2.2.e .(1)

14 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.4.2.2.e.(2).

A.4.2.2.f. Gambar 4.2.2.f. menunjukkan lintasan suatu peralatan dan tidak dimaksud untuk
menunjukkan garis trotoar. Tidak boleh ada konstruksi apapun seperti tiang lampu atau
pohon yang berada di dalam radius luar putaran yang dapat menyebabkan rintangan
terhadap tangga besi yang dipasang pada mobil pemadam kebakaran.

Gambar A.4.2.2.f.

15 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.5.1. Menunjukkan contoh dimana hidran halaman dibutuhkan.

Gambar A.5.1.

16 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.5.2. Hidran H1 dapat dihilangkan karena tidak mungkin tanah yang disebelah akan
digunakan untuk pemakaian lain, seperti gudang dan sebagainya. Hidran bersama yang
ditempatkan di tetangga tidak diperbolehkan. Penggunaan hidran bersama dengan tetangga
tidak diperbolehkan.

Gambar A.5.2.

17 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.6.2. Lebar minimum 850 mm sudah termasuk tiang jendela yang biasanya ada di
kosen jendela. Tinggi ambang bawah tidak boleh lebih dari 1000 mm untuk memudahkan
petugas pemadam kebakaran masuk/keluar dari bangunan.

Ambang bawah yang terlalu tinggi akan menyulitkan, karena petugas kebakaran bisa jatuh
pada waktu masuk ke dalam bangunan dan dapat menghalangi gerakan.

Gambar A.6.2.

18 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.6.3. Tanda akses pemadam kebakaran dengan warna merah yang menyolok.

Gambar A.6.3.

19 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.1. Sambungan pemadam kebakaran sebaiknya mudah dilihat dari jalan akses untuk
mencegah lambatnya penempatan petugas pemadam kebakaran yang datang. Untuk
mengendalikan dan membatasi agar digunakan hanya satu panjang slang maka sambungan
pemadam kebakaran harus tidak diletakkan lebih dari 18 m dari akses jalan. Semua
bangunan kelas 1, 2 dan 3 yang ketinggian lantai huniannya melebihi 10 m harus dipasang
pipa tegak. Sambungan pemadam kebakaran harus disediakan pada dasar dari setiap pipa
tegak.

Gambar A.8.1.

20 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.1.a. Pipa tegak kering.

Pipa dipasang tegak dalam bangunan gedung untuk tujuan pemadaman kebakaran,
dilengkapi dengan sambungan masuk untuk mobil pemadam kebakaran yang berada pada
permukaan akses dan katup landing pada berbagai lantai, yang dalam keadaan normal
kering, tetapi akan diisi dengan air yang dipompa dari mobil pompa pemadam kebakaran.
Untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3, ketentuan pipa tegak dipersyaratkan jika tinggi bangunan
yang dihuni lebih dari 10 m.

Gambar A.8.2.1.a.

21 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.1.b. Pipa tegak basah.

Pipa yang dipasang tegak dalam bangunan untuk tujuan pemadaman kebakaran dan diisi
secara tetap dengan air dari pasokan yang bertekanan, dan dilengkapi dengan katup landing
pada berbagai lantai.

Gambar A.8.2.1.b.

22 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.1.c. Sistem pipa tegak kering dan basah terpisah.

Apabila blok bangunan rumah tinggal mempunyai podium dan blok menara yang menyatu :

a). blok menara yang lebih dari 40 m tinggi yang dihuni harus dilengkapi dengan pipa
tegak basah.

b). kebutuhan untuk blok podium hanya perlu dilengkapi dengan pipa tegak kering.

Gambar A.8.2.1.c.

23 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.2. Semua besmen kecuali bangunan kelas 1 dan 2 dipersyaratkan dilindungi


dengan pipa tegak kering, tidak tergantung dari kedalaman dan jumlah lantai besmen di
bawah permukaan tanah.

Pipa tegak akan menjamin pasokan air yang mantap yang dibutuhkan oleh petugas
pemadam kebakaran selama keadaan darurat.

Pipa tegak ini akan menghindarkan pemasangan slang kebakaran yang terlalu lama dari
lantai dasar ke lantai besmen untuk memadamkan api.

Apabila inlet sambungan pemadam kebakaran berada pada dasar pipa tegak, katup landing
tidak dipersyaratkan untuk disediakan pada lantai satu.

Gambar A.8.2.2.

24 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.3. Jenis pipa tegak yang dipasang pada bangunan tinggi.

a). Untuk menentukan persyaratan pipa tegak untuk apartemen atau bangunan
maisonette, ketinggian yang dihuni harus diukur dari permukaan terendah jalan akses
mobil pemadam kebakaran dimana disediakan sambungan pemadam kebakaran.

b). Pipa tegak kering pada dasarnya adalah pipa air yang kosong. Pipa yang kosong perlu
diisi dengan air melalui inlet sambungan pemadam kebakaran dari mobil pemadam
kebakaran. Pipa tegak kering sebaiknya tidak melebihi 40 m tingginya untuk mencegah
tekanan pompa yang berlebihan.

c). Pipa tegak basah secara tetap diisi dengan air yang dapat memberikan laju aliran dan
tekanan yang diperlukan untuk memadamkan kebakaran, dan dilengkapi dengan
tangki air atas cukup untuk jangka waktu 60 menit. Masukan ke sambungan pemadam
kebakaran yang biasanya dipasangkan di lantai dasar, dimaksudkan untuk mengisi
tangki air tersebut.

Gambar A.8.2.3.

25 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.4. Untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3 antara 10 m dan 40 m diatas permukaan


tanah.

Dengan berlakunya ketentuan pipa tegak kering untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3 yang
melebihi 10 m dan tidak lebih dari 40 m ketinggian yang dihuni, maka tidak diperlukan
penyediaan lahan lapisan perkerasan untuk mobil pemadam kebakaran.

Jalan akses mobil pemadam kebakaran masih dibutuhkan untuk disediakan, dan harus
sedekat mungkin dengan bangunan dalam jarak 18 m dari inlet sambungan pemadam
kebakaran.

Gambar A.8.2.4.

26 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.3.1. Kondisi jumlah pipa tegak yang dipersyaratkan :

a). Lantai yang tinggi dihuni diatas 24 m.

Setiap pipa tegak harus melayani tiap luas ruangan tidak lebih dari 930 m2 dari setiap
lantai yang dan dalam jangkauan 38 m dari katup landing.

Gambar A.8.3.1. (a).

Setiap titik pada ruangan di lantai harus tidak melebihi jarak 38 m dari katup landing. Luas
area yang dijangkau setiap pipa tegak tidak lebih dari 930 m2

27 dari 45
SNI 03-1735- 2000

b). Lantai di bawah ketinggian yang layak ditempati 24 m.

Ketentuan pipa tegak harus semua bagian dari setiap lantai berada dalam jangkauan
38 m dari katup landing, diukur sepanjang rute yang sesuai untuk pipa slang, termasuk
setiap jarak naik atau turun tangga.

Gambar A.8.3.1. (b).

A.8.3.2.a. Pipa tegak pada lobi yang ilindungi terhadap asap.

Gambar A.8.3.2.a. (1) : Pipa tegak pada lobi yang dilindungi terhadap.

28 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.3.2.a. (2).: Blok flat/maisonette.

A.8.3.2.b. Pipa tegak di luar tangga yang diproteksi.

Gambar A.8.3.2.b.

29 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.3.2.c. Pipa tegak di dalam tangga yang diproteksi.

Gambar A.8.3.2.c.: Penempatan pipa tegak harus tidak menghalangi jalur penyelamatan di
dalam tangga.

Gambar A.8.3.2.a, b, c.

Pipa tegak menyediakan pasokan air yang siap untuk digunakan petugas pemadam
kebakaran dalam bangunan, pipa tegak utama dan katup landing sebaiknya dilindungi dari
kerusakan karena api atau mekanis.

30 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.3.3. Ukuran pipa tegak.

Diameter nominal pipa tegak harus :

a). 100 mm, apabila pipa tegak tidak melebihi 40 m tingginya dan hanya satu katup
landing disediakan setiap lantainya.

Gambar A.8.3.3.a.: Diameter nominal pipa tegak 100 mm.


b). 150 mm, apabila pipa tegak :

1). melebihi 40 m tingginya, atau

2). diperbolehkan menggunakan dua katup landing untuk setiap lantainya.

Gambar A.8.3.3.b.: Diameter nominal pipa tegak 150 mm.

31 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Tinggi pipa tegak adalah tinggi dari ketinggian yang dihuni, diukur dari permukaan akses
mobil pemadam kebakaran ke permukaan lantai finis dari lantai teratas yang dilayani oleh
pipa tegak, tanpa memperdulikan apakah pipa tegak akan diperpanjang di atas permukaan
atap.

Gambar A.8.3.3.b menunjukkan dua katup landing dipasang pada 2 lantai pada ketinggian
pipa tegak kurang dari 45 m, diameter nominal pipa tegak harus tidak kurang dari 150 mm.

Diagram di atas menunjukkan dua katup landing dipasang pada dua lantai di lanati teratas.
Walaupun tinggi pipa tegak tidak melebihi 45 m, diameter nominal minimum pipa tegak harus
tidak kurang dari 150 mm.

Apabila ketentuan membolehkan “ satu pipa tegak untuk setiap luas lantai lebih dari 930 m2,
dua buah katup landing harus disediakan pada setiap lantainya, dimana dalam kasus ini
diameter nominal dari pipa tegak harus 150 mm “. Bagaimanapun, persyaratan ini harus
tidak diterapkan untuk setiap lantai dengan luas melebihi 1400 m2.

A.8.3.4.

a). Penempatan pipa tegak.

1) Semua pekerjaan pipa dan katup landing merupakan sistem pipa tegak di dalam
bangunan, harus dibatasi :

(a). di dalam suatu lobi yang diventilasi dari lobi yang diproteksi yang
mendekati tangga, apabila ini disediakan, atau

(b). di daerah terlindung lainnya yang dapat disetujui oleh instansi yang
berwenang.

2). Pipa tegak harus dipasang dan diproteksi terhadap kerusakan mekanis dan api.

3). Tidak ada bagian dari pipa tegak yang boleh dipasang dalam saf yang berisi pipa
gas, pipa uap atau pipa bahan bakar, atau kabel listrik.

4). Apabila tidak dipasang di daerah yang terlindung, pipa harus dibungkus atau
dilindungi dengan bahan yang mempunyai tingkat ketahanan api 2 jam.

32 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Blok Flat/Maisonette.

CONTOH A :

Gambar A.8.3.4.(1).

Pipa tegak tunggal disediakan dalam contoh A yang total luas daerah per
lantainya kurang dari 930 m2. Dalam penambahan jarak dari titik yang terjauh
pada unit rumah tinggal ke katup landing pipa tegak harus tidak melebihi 38 m,
diukur sepanjang rute lintasan.

CONTOH B :

Gambar A.8.3.4. ( 2 ).

33 dari 45
SNI 03-1735- 2000

(a). Dua pipa tegak dari pipa tegak utama dipersyaratkan pada contoh B, jika
total area lantai melebihi 930 m2, atau jika jangkauan atau jarak ke titik
terjauh melebihi 38 m.

(b). Titik terjauh dari beberapa apartemen melebihi 38 m dari pipa tegak.

Gambar A.8.3.4. (3).

Apabila katup landing dan pipa dipasang di luar lobi yang terlindung atau daerah yang
diperbolehkan oleh instansi yang berwenang, maka harus dilindungi oleh selubung tahan api
120/120/120 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi
pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

A.8.4.1. Jarak antara inlet sambungan pemadam kebakaran dan peralatan pompa :

a). Blok apartemen/maisonette dengan ketinggian yang dihuni 10 m, harus dilengkapi


dengan pipa tegak.

b). Pada dasar dari pipa tegak dipasang inlet sambungan pemadam kebakaran.

c). Masukan ke sambungan pemadam kebakaran dipasang di dinding luar bangunan dan
pada jarak 18 m dari jalan akses mobil pemadam kebakaran.

d). Suatu jalan akses dapat melayani lebih dari satu pipa tegak untuk satu atau lebih
bangunan dengan syarat memenuhi ketentuan dalam butir A.8.4.1.c.

34 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.4.1.

A.8.4.3.

a). Masukan ke sambungan pemadam kebakaran harus disediakan pada dasar dari setiap
pipa tegak pada lantai dasar.

b). Panjang pipa horisontal antara inlet sambungan pemadam kebakaran dan pipa tegak
harus sependek mungkin.

c). Ini untuk mencegah pengelompokan inlet sambungan pemadam kebakaran yang
melayani pipa tegak yang ditempatkan pada lokasi berbeda di dalam blok dengan
maksud ketentuan mengenai jalan akses mobil pemadam kebakaran dapat dikurangi.

Sasaran utama penyediaan pipa tegak adalah untuk mengganti ketentuan akses mobil
pemadam kebakaran untuk masing-masing unit, sehingga ruang bebas menjadi lebih banyak
dan dapat digunakan untuk pemakaian lain.

Dengan menempatkan masukan ke sambungan pemadam kebakaran pada dasar dari pipa
tegak, akan menjamin bahwa tidak kurang satu sisi dari bangunan masih menghadap akses
mobil pemadam kebakaran.

35 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.4.3.

A.8.5.1.

a). Untuk pipa tegak basah, penting bahwa tekanan dan aliran mencukupi pada setiap
saat untuk melayani sejumlah slang kebakaran sesuai yang dipersyaratkan.

b). Pasokan air ke pipa tegak sebaiknya tidak tergantung dari pasokan air yang memasok
instalasi lain termasuk untuk sistem pemadam kebakaran lainnya.

c). Sarana pasokan untuk pipa tegak basah :

1). Masing-masing pipa tegak basah harus diisi dari tangki penyimpan yang
mempunyai kapasitas penyimpanan effektip mampu memasok air pada laju
1.620 liter/menit dalam waktu tidak kurang dari 30 menit.

2). Tangki penyimpanan harus otomatis dipasok langsung atau tidak langsung
melalui tangki lain dari pipa air umum. Pipa yang menyalurkan air dari pipa air
umum ke tangki mempunyai diameter tidak kurang dari 150 mm.

3). Tangki air untuk pemadaman yang tidak berfungsi sebagai tangki penyimpan
harus mempunyai kapasitas penyimpanan efektip tidak kurang dari 11,5 m3 untuk
setiap pipa tegak.

d). Tangki air untuk pipa tegak basah :

Tangki pemasok air untuk tujuan domestik tidak boleh dipakai sebagai tangki isap
untuk pipa tegak basah.

36 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.5.2.

a). Laju aliran minimum pasokan air harus dijaga dalam sistem pipa tegak basah pada
waktu 3 katup landing di dalam sistem pada posisi terbuka penuh; 1.620 liter/menit
untuk bangunan perumahan.

b). Apabila lebih dari satu pipa tegak basah dibutuhkan dalam setiap zona dalam
bangunan, pasokan air bersama harus memenuhi persyaratan di bawah ini

Apabila laju total pasokan air maksimum melebihi kondisi 1) dan 2) di bawah ini, harus
disediakan sistem pasokan air lainnya.

1). Untuk bangunan rumah tinggal, 1.620 liter/menit untuk pipa tegak pertama dan
13,5 liter/detik untuk setiap penambahan pipa tegak, sampai dengan laju total
pasokan maksimum 4.650 liter/menit.

2). Untuk bangunan bukan rumah tinggal atau bangunan hunian campuran 38 liter/
detik untuk pipa tegak pertama dan 1.140 liter/menit untuk setiap penambahan
pipa tegak, sampai dengan laju total pasokan maksimum 4.650 liter/menit.

A.8.5.3. Tekanan kerja minimum 3,5 bar dan maksimum 5,5 bar harus dijaga pada
setiap katup landing apabila dibuka penuh, sampai tiga buah katup landing.

A.8.5.4.

a). Untuk mengurangi risiko slang pecah, susunannya harus dibuat sesuai ketentuan yang
berlaku, sehingga apabila nozel ditutup, tekanan statik disetiap bagian slang yang
dihubungkan ke katup landing tidak melebihi 8 bar.

b). Untuk melepaskan kelebihan aliran dan tekanan lebih dari apa yang dipersyaratkan
(yaitu misalnya hanya satu nozel yang dipakai), sebuah badan katup landing harus
dilengkapi dengan katup kontrol tekanan yang kemudian secara permanen
dihubungkan ke pipa pelepas. Pipa pelepas ini harus sepanjang pipa tegak basah dan
berakhir ke tangki hisap atau saluran pembuangan.

A.8.5.5.

a). Lokasi dan jumlah tangki penyimpan ditentukan oleh perencanaan sistem pipa tegak
basah dan tingginya bangunan sesuai ketentuan yang berlaku.

b). Sangat penting bahwa pada tahap rancangan awal bangunan, jenis sistem pipa tegak
basah yang dirancang digambarkan untuk memungkinkan penempatan ruang pompa
dan tangki air.

c). Biasanya, tangki penyimpan dan pompa dipasang di ruang mekanikal di lantai teratas
dan atau besmen, dan di atap bangunan.

d). Kapasitas penyimpanan yang efektip tidak kurang dari 11,5 m3 untuk setiap pipa tegak.

37 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Catatan :

a). Tangki penyimpan ( “storage tank” ) adalah tangki air yang mempunyai kapasitas
penyimpanan efektip minimum mampu memasok air ke pipa tegak pada laju aliran
tertentu selama jangka waktu 30 menit.

b). Tangki bawah ( “break tank” ) adalah salah satu dari :

1). sebuah tangki yang menerima sambungan pasokan air dari pipa PDAM, atau

2). sebuah tangki perantara untuk membatasi tekanan sistem.

c). Tangki hisap adalah tangki dimana pompa dapat menghisap air.

Gambar A.8.5.5.

Sistem pipa tegak basah.

1). Fungsi pipa tegak basah sama dengan pipa tegak kering. Bagaimanapun, pipa
diisi tetap dengan air dari pasokan bertekanan, dan dipasang dengan katup
landing pada setiap lantai.

2). Inlet sambungan pemadam kebakaran bekerja sebagai alternatif sarana pasokan
air ke sistem pipa tegak basah apabila pasokan air dari PDAM rusak atau tidak
cukup.

38 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.5.6. Ruang pompa di besmen.

a). Pompa-pompa, sebagai bagian dari sistem pipa tegak, harus dilindungi dengan baik
dari pengaruh panas dan api. Pompa adalah peralatan yang vital dari sistem, pompa
seharusnya dipasang dalam ruangan yang mempunyai selubung dan pintu tahan api 2
jam.

b). Pompa harus dipilih memenuhi persyaratan rancangan sistem pipa tegak dan terdaftar
pada instansi yang berwenang.

c). Sistem komunikasi suara sebaiknya disediakan untuk komunikasi internal ke semua
ruang pompa.

d). Ventilasi mekanis dan pencahayaan listrik dalam ruang pompa harus dipasang dengan
pasokan daya cadangan untuk keadaan darurat.

Gambar A. 8.5.6.

A.8.6. Bangunan dalam tahap konstruksi.

a). Ketentuan pipa tegak basah dipersyaratkan apabila bangunan melebihi ketinggian
dihuni 40 m.

b). Pipa tegak kering digunakan sebelum ketinggian yang dihuni mencapai 40 m.

39 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.6.2.b.

c). Pipa tegak dirubah dari kering ke basah dengan pemasangan pompa dan tangki air.

Gambar A.8.6.2.c.

A.8.6.3.

a). Masukan ke sambungan pemadam kebakaran.

Masukan ke sambungan pemadam kebakaran ( 2 jalan atau 4 jalan) sebaiknya


disediakan sesuai perencanaan bangunan yang disetujui.

40 dari 45
SNI 03-1735- 2000

b). Lif kebakaran.

Karena kurang cocok untuk menyediakan lif kebakaran untuk digunakan oleh petugas
pemadam kebakaran, lif proyek yang biasanya dipakai di lapangan dapat digunakan.
Lif proyek ini tidak perlu melayani tiga lantai teratas, sampai atap selesai dikerjakan.

c). Pasokan daya listrik.

Pasokan daya listrik dari PLN atau generator dapat digunakan.

d). Jalan akses mobil pemadam kebakaran.

Selama tahap konstruksi, mungkin ada pekerjaan lain, seperti pekerjaan galian dan
sebagainya yang akan mengganggu dipenuhinya ketentuan tentang jalur akses dan
ruang yang ada tidak memungkinkan untuk manuver mobil pemadam kebakaran.
Namun, setiap kemungkinan harus diambil untuk dapat menempatkan jalur akses ini.
Ini penting untuk tujuan pengendalian yang effektif operasi pemadaman kebakaran bila
kebakaran terjadi suatu waktu. Dari penjelasan di atas, alat pemadam api kimia ringan
seharusnya disediakan pada setiap lantai.

e). Katup landing pipa tegak.

Pipa tegak dan katup landing harus disediakan pada setiap lantai, kecuali tiga lantai
teratas bangunan sesuai tambahan ketinggian bangunan, dan dibuat operasional.

f). Tekanan dan aliran pada pipa tegak.

Karena kurang cocok untuk menyediakan ukuran volume tangki air sesuai ketentuan
dan pompa sesuai aliran dan tekanan yang dipersyaratkan untuk 45 menit pemadaman
kebakaran, tangki untuk pemadaman minimum 11,5 m3 seharusnya disediakan,
dimana ini untuk memadamkan api selama 5 menit. Pada saat mobil pemadam
kebakaran datang, tangki ini dapat diisi lagi melalui hidran umum. Tangki pemadam
harus dibuat sebelum tinggi bangunan mencapai 40 m.

41 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Apendiks B

B. Klasifikasi bangunan.

Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang
dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada
bangunan.

B.1. Kelas 1 : Bangunan hunian biasa.

satu atau lebih bangunan yang merupakan :

a). Klas 1a : bangunan hunian tunggal, berupa :

1). satu rumah tunggal ; atau

2). satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing


bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah
deret, rumah taman, unit town house, villa, atau

b). Klas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hostel,

atau sejenisnya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih
dari 12 orang secara tetap,

dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan hunian lain atau bangunan klas lain
selain tempat garasi pribadi.

B.2. Klas 2 : Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian,

yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.

B.3. Klas 3 : Bangunan hunian di luar bangunan klas 1 atau 2,

yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang
yang tidak berhubungan, termasuk :

a). rumah asrama, rumah tamu, losmen ; atau

b). bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau

c). bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau

d). panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau

e). bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang
menampung karyawan-karyawannya.

42 dari 45
SNI 03-1735- 2000

B.4. Klas 4 : Bangunan hunian campuran.

tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan
tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.

B.5. Klas 5 : Bangunan kantor.

bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan


administrasi, atau usaha komersial, di luar bangunan klas 6, 7, 8 atau 9.

B.6. Klas 6 : Bangunan perdagangan.

bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-
barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk :

a). ruang makan, kafe, restoran ; atau

b). ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel ;
atau

c). tempat gunting rambut/salon, tempat cuci umum; atau

d). pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

B.7. Klas 7 : Bangunan penyimpanan/gudang.

bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk :

a). tempat parkir umum; atau

b). gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.

B.8. Klas 8 : Bangunan laboratorium/industri/pabrik.

bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan
suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan
barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan.

B.9. Klas 9 : Bangunan umum.

bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu :

a). Klas 9a : bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan


tersebut yang berupa laboratorium.

b). Klas 9b : bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya
di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hal, bangunan peribadatan, bangunan budaya
atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan klas
lain.

43 dari 45
SNI 03-1735- 2000

B.10. Klas 10 : Bangunan atau struktur yang bukan hunian.

a). Klas 10a : bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau
sejenisnya.

b). Klas 10b : Struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau
dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.

B.11. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus.

Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1
sampai dengan 10 tersebut, dalam standar ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang
mendekati sesuai peruntukannya.

B.12. Bangunan yang penggunaannya insidentil.

Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan


gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan
dengan bangunan utamanya.

B.13. Klasifikasi jamak.

Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
diklasifikasikan secara terpisah, dan :

a). bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai
dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan
klasifikasi utamanya ;

b). klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a, dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;

c). Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang ketel uap, atau sejenisnya
diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak.

44 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Bibliografi

1. Fire Safety Bureau, Singapore Civil Defence Force ; Fire Precautions in Buildings,
1997.

2. NFPA – 13 : Installation of Sprinkler Systems, 1994 Edition.

3. NFPA – 14 : Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems, 1996
Edition.

4. NFPA – 20 : Centrifugal Fire Pumps, 1993 Edition.

5. BSN : SNI 03-1745-2000 : Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa
tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung,

6. Kep.Men.PU No. 10/KPTS/2000, tentang “Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap


bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan”

45 dari 45

Anda mungkin juga menyukai