Anda di halaman 1dari 19

Laporan Praktikum

Laboratorium Teknik Material I


Modul D Uji Lentur dan Kekakuan

Oleh:

Nama : Farhan Adi Farrasandi


NIM : 13716033
Kelompok :7
Anngota (NIM) : Yoanita (13715025)
Farhan Adi Farrasandi (13716033)
M. Hisyam Ramadhan (13716035)
Fadlun Candra Asyha (13716055)
Aisyah Rahma Giffari (13716061)

Tanggal Praktikum : Selasa, 13 Maret 2018


Tanggal Penyerahan Laporan : Jumat, 16 Maret 2018
Nama Asisten (NIM) : Raditya Rachmadi (13714043)

Laboratorium Metalurgi dan Teknik Material


Program Studi Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Material dalam aplikasinya mengalami berbagai jenis pembebanan.


Umumnya, beban tersebut menghasilkan tegangan gabungan, salah satunya
adalahke pembebanan lentur. Pembebanan ini merupakan kombinasi dari
tegangan tekan,Tarik, dan geser. Pengujian lentur dilakukan untuk menentukan
kekuatan lentur material dengan tegangan utamanya dalam bentuk lentur. Setiap
material umumnya memiliki kekuatan tarik dan tekan yang berbeda sehingga
informasi kekuatan lentur dibutuhkan untuk mengetahui kekuatan material
ketika mengalami tegangan kombinasi tarik dan tekan.

Pengujian lentur dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu three point
bending dan four point bending. Pada pengujian three point bending spesimen
diberi beban tepat di bagian tengah batang. Pada metode ini, spesimen tidak
mengalami momen lentur murni karena ada gaya lintang yang bekerja.
Sedangkan pengujian denga metode four point bending, spesimen uji diberi
beban di dua titik, yaitu pada 1/3 L dan 2/3 L. Pada pengujia ini, spesimen
mengalami momen lentur murni dan gaya lintang yang berkerja adalah nol,
serta specimen tersebut tidak mengalami gaya geser

1.2. TUJUAN PRAKTIKUM

1. Menentukan kekuatan lentur (flexural strength) suatu material,


khususnya logam
2. Menentukan modulus elastisitas suatu material logam
BAB II
TEORI DASAR

Uji lentur adalah pengujian yang dilakukan menentukan modulus elastisitas dan
kekuatan lentur material getas. Pengujian ini biasanya dilakukan dengan pemberian
beban pada spesimen, dimana pada kedua ujung spesimen telah diberi tumpuan.
Biasanya uji lentur dilakukan terhadap material getas untuk mengetahui sifat
mekaniknya. Uji tarik untuk material getas tidak cocok dilakukan karena, material
getas mudah patah sehingga, tidak tahan terhadap uji tarik. Jika material getas tetap
dilakukan uji tarik, maka akan diperoleh sedikit titik defleksi, setelah itu material
tersebut akan patah. Namun, dengan uji lentur, material akan diberi tegangan tekan-
tarik, sehingga akan diperoleh banyak titik defleksi sebelum akhirnya material getas
tersebut patah. Dengan ini, maka dapat ditentukan modulus elastisitas dan kekuatan
lentur material getas. Hal ini belaku sebaliknya, dimana material ulet tidak cocok
dilakukan pengujian lentur, sebab material ulet bersifat elastis. Sehingga, saat diberi
beban, ia akan kembali ke posisi semula. Sehingga, dibutuhkan energi yang sangat
besar sampai ia dapat berdeformasi plastis atau bahkan patah. Oleh karena itu,
untuk material ulet, uji yang cocok digunakan adalah uji tarik.
Terdapat 2 metode dalam pengujian bending, yaitu metode three point bending
dan four point bending. Metode pengujian ini berdasar pada standar ASTM E855-
08. Three point bending dilakukan dengan memberi beban tepat di tengah batan
spesimen uji dan pada kedua ujung batang terdapat tumpuan yang berjarak L/2 dari
titik tengah batang. Gaya karena beban dan tumpuan saling berlawanan sehingga
terjadi bending pada spesimen tersebut. Sedangkan four point bending dilakukan
dengan cara memberi dua beban pada batang yang ditumpu pada kedua ujungnya,
sehingga membagi batang menjadi tiga daerah masing-masing L/3.
Gambar 1. Three dan Four Point Bending (Sumber : Hibbeler, R.C. “Mechanics
of Material, 7th Edition”. Prentice-Hall, Inc., Singapore, 2008.)

Kelebihan metode three point bending adalah posisi beban tepat ditengah
batang spesimen sehingga pembuatan point lebih mudah dan juga persiapan
spesimen dan pengujian cendrung lebih simple. Kekurangan metode three point
bending adalah kesulitan untuk menemukan titik tengah pada spesimen dengan
tepat sehingga, spesimen bisa berkemungkinan pecah/patah akibat terjadi
pergeseran. Metode four point bending memiliki kelebihan yaitu pengukurannya
lebih akurat, karna pada rentang panjang tertentu dapat diamati pure bending,
dimana nilai tegangan geser tidak ada. Kekurangan metode ini adalah pembuatan
point lebih rumit, karena daerah batang dibagi atas 3 daerah yang sama besar
dengan panjang masing-masing L/3, dan juga 2 point pembebanan harus bersamaan
menekan benda uji. Jika salah satu point lebih dulu menekan, maka yang terjadi
adalah three point bending, sehingga rumus yang digunakan berbeda.

Fenomena yang terjadi pada saat pengujian lentur (bending) adalah defleksi
(deformasi elastis dan plastis), strain hardening, dan peningkatan temperatur.
Defleksi adalah perubahan bentuk spesimen akibat pembebanan vertikal, sehingga
spesimen batang menjadi bengkok. Defleksi menyebabkan batang mengalami
compression dan pada sisi yang belawanan mengalami tension. Fenomena
deformasi elastis dan plastis dapat ditinjau berdasarkan pergerakan struktur
atomnya. Fenomena deformasi elastis dapat dianalogikan dengan fenomena pegas.
Pada saat spesimen diberikan tegangan, gaya ikat antar atom bekerja seperti pegas
dan struktur atom akan kembali ke posisi semula saat tegangan dilepaskan. Namun
pada saat terjadi deformasi plastis, tegangan yang diberikan kepada spesimen
melebihi kekuatan ikatan antar atom. Sehingga pegas tidak dapat kembali ke posisi
semula (deformasi plastis).
Pada uji lentur, spesimen juga mengalami strain hardening. Strain hardening
adalah fenomena dimana terjadi penguatan spesimen akibat ‘plastically deformed’.
Penguatan ini disebabkan karna adanya penumpukan dislokasi yang sejenis
(dislocation attraction).

Gambar 2. Dislocation attraction (Sumber: Callister, William D. “Materials and


Science Engineering An Introduction,8th Edition”. John Wiley & Sons, Inc.
2009.)
Gambar 3. Posisi atom pada ujung dislokasi (Sumber: Callister, William D.
“Materials and Science Engineering An Introduction,8th Edition”. John
Wiley & Sons, Inc. 2009.)

Gambar 4. Spesimen pada Uji Bending (Sumber : www.tutelman.com


/allAboutSpines1. Diakses pada 15 Maret 2018)

Selain itu, terjadi fenomena peningkatan temperatur pada spesimen setelah


mengalami deformasi plastis. Fenomena ini terjadi karena sebagian energi yang
diberikan kepada material tidak 100% dikonversi menjadi deformasi, melainkan
ada yang menjadi energi bunyi dan termal.
Pada penampang spesimen uji, distribusi tegangan tarik dan tekan akan
meningkat seiring pertambahan jaraknya dari neutral axis. Tegangan tekan dan
tarik bernilai maksimum pada titik terjauh (permukaan bidang) dari neutral axis
dan bernilai nol pada neutral axis.

Gambar 4. Distribusi Tegangan pada Penampang (Sumber :


www.tutelman.com/allAboutSpines1. Diakses pada 15 Maret 2018)

Dalam pengujian lentur (bending), diperoleh dua sifat mekanik material, yaitu
modulus elastisitas dan kekuatan lentur (flexural strength) material. Modulus
elastisitas adalah kemampuan material untuk mengalami deformasi elastis (kembali
ke keadaan awal) akibat tegangan yang bekerja. Flexural strength atau kekuatan
lentur adalah batas tegangan maksimum dari kekuatan lentur pada material sebelum
akhirnya material tersebut patah.
Persamaan berikut digunakan untuk menentukan besar tegangan aksial akibat
momen bending.

𝑀𝑏 𝑐
𝜎=
𝐼
Keterangan:
 = Tegangan normal
Mb = Momen lentur
c = Jarak dari sumbu netral
I = Momen inersia penampang
Pada penampang persegi, persamaan untuk menghitung momen inersia adalah
sebagai berikut.

𝑏ℎ3
𝐼=
12
b adalah lebar spesimen dan h adalah tinggi spesimen.
Sedangkan untuk penampang lingkaran digunakan persamaan berikut.
πr4
I=
4

Untuk menentukan modulus elastisitas dari spesimen, dilakukan regresi linear


pada kurva daerah elastis defleksi terhadap beban. Sehingga akan diperoleh nilai
P/ 𝛿 dari gradien regresi linear. Lalu, digunakan persamaan sebagai berikut.
PL3
δ=
48EI

PL3
E=
48δI
Keterangan:
P = beban yang bekerja
L = jarak tumpuan spesimen
E = modulus elastisitas
I = Momen inersia penampang
δ = defleksi
BAB III

DATA PERCOBAAN

Material = St-37

Dimensi Spesimen

 Panjang (l) = 298,30 mm


 Lebar (b) = 18,88 mm
 Tebal (h) = 18,77 mm

Kekerasan awal = 66,6 HRB

Kekerasan akhir = 83,6 HRB

Jarak tumpuan (l) = 150 mm

Mesin Uji = Tarno Grocki

Beban maksimum pada daerah elastis = 28,6 kN


No. Beban (N) Defleksi (mm)

1 1000 0,13

2 2000 0,18

3 3000 0,25

4 4000 0,27

5 5000 0,3

6 6000 0,34

7 7000 0,38

8 8000 0,42

9 9000 0,46

10 10000 0,51

11 11000 0,55

12 12000 0,59

13 13000 0,65

14 14000 0,77

15 15000 1,02

16 16000 2,35

Tabel 3.1. Data Pembebanan dan Defleksi pada Spesimen


Defleksi vs Pembebanan
25000

20000 y = 6841.7x + 4578.9

15000

10000

5000

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5

Tabel 3.2 Grafik perbandingan pembebanan hingga 16 kN dengan defleksi

Dari grafik di atas, diperoleh gradien (m) sebesar 18037. Selanjutnya, kita dapat
mencari nilai dari modulus elastisitas (E) menggunakan rumus:

PL3

48 EI
Rumus untuk mencari Modulus Elastisitas (E):

PL3
E (1)
48I
P
m = tan θ = = 6841,7 (2)

Substitusi persamaan (2) ke (1), maka akan diperoleh :

L3 bh 3
E  tan  ,
dengan I  b = 18,88 mm h= 18,77 mm
48I 12

(18,88)(18,77)3
I= = 10404,317
12
(150)3
E = 6841,7
48 (10404,317)

E = 46236,29 N/mm2

E = 46,236 × 106 Pa

E = 46,236 GPa

Dari hasil percobaaan, diperoleh modulus elastisitas (E) sebesar 46,236 GPa.

Nilai E pada spesimen St-37 berdasarkan literatur adalah E’ = 210 GPa

Maka nilai error pada regresi diatas adalah sebesar:


𝐸′-E
ε=| | × 100%
E'
46,236 - 210
ε=| | × 100% = 77,98 %
210
Galat yang diperoleh pada pembebanan hingga 16 kN sangat besar, maka data yang
diregresikan hanya sampai pembebanan 14 kN:
:

No. Beban (N) Defleksi (mm)

1 1000 0,13

2 2000 0,18

3 3000 0,25

4 4000 0,27

5 5000 0,3

6 6000 0,34

7 7000 0,38
8 8000 0,42

9 9000 0,46

10 10000 0,51

11 11000 0,55

12 12000 0,59

13 13000 0,65

14 14000 0,77

Beban 28,6 kN
maksimum

Tabel 3.3. Data Pembebanan hingga 14 kN dan Defleksi pada Spesimen

Defleksi vs Pembebanan
18000

16000
y = 22380x - 1771.5
14000

12000

10000

8000

6000

4000

2000

0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Tabel 3.4 Grafik perbandingan antara pembebanan hingga 14 kN dengan


defleksi
Dari grafik di atas, diperoleh gradien (m) sebesar 22380. Selanjutnya, kita dapat
mencari nilai dari modulus elastisitas (E) menggunakan rumus:

PL3

48 EI
Rumus untuk mencari Modulus Elastisitas (E):

PL3
E (1)
48I
P
m = tan θ = = 22380 (2)

Substitusi persamaan (2) ke (1), maka akan diperoleh :

L3 , bh 3
E  tan  dengan I  b = 18,88 mm h= 18,77 mm
48I 12

(18,88)(18,77)3
I= = 10404,317
12

(150)3
E = 22380
48 (10404,317)

E = 151.244,31 N/mm2

E = 151,244 × 106 Pa

E = 151,244 GPa

Dari hasil percobaaan hingga pembebanan 14 kN , diperoleh modulus elastisitas


(E) sebesar 151,244 GPa

Nilai E pada specimen St-37 berdasarkan literatur adalah E’ = 210 GPa

Maka nilai errornya adalah:


𝐸′-E
ε=| | × 100%
E'
151,244 - 210
ε=| | × 100% = 27,98 %
210

Perubahan nilai kekerasan:

Δ = Nilai kekerasan baru – Nilai kekerasan lama

Δ = 83,6 HRB - 66,8 HRB


Δ = 16,8 HRB
BAB IV
ANALISIS DATA

Pada percobaan ini, nilai modulus elastisitas dari baja St-37 yang diperoleh
adalah E = 151,244 GPa. Hasil ini apabila dibandingkan dengan nilai E’ (modulus
elastisitas berdasarkan literatur) memiliki kesalahan (galat) relatif sebesar 27,98%,
sebuah galat yang sangat besar menunjukkan bahwa metode uji lentur tidak efektif
untuk menguji modulus elastisitas material yang ulet (ductile) seperti baja St-37.
Uji bending lebih cocok untuk menentukan modulus elastisitas pada material yang
bersifat getas, contohnya keramik.

Faktor lain penyebab besarnya galat adalah metode pengujian bending


menggunakan 3-point bending. Walaupun metode ini relatif lebih mudah
dibandingkan metode 4-point bending, tetapi kesalahan relatif yang ditimbulkan
sangat besar. Ini disebabkan tidak ada momen lentur murni pada pengujian dengan
metode 3-point bending, serta adanya gaya geser yang bekerja pada specimen.
Faktor lainnya adalah posisi pembebanan yang dikenakan ke spesimen tidak
simetris (tidak tepat di tengah bidang spesimen), sehingga gaya yang bekerja tidak
sesuai dengan perhitungan.

Pada akhir pengujian, spesimen mengalami perubahan nilai kekerasan menjadi


lebih tinggi. Fenomena ini terjadi karena adanya strain hardening, yaitu sebuah
fenomena pada material dimana kekerasan material meningkat karena deformasi
plastis
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pengujian, spesimen baja St-37 dapat berdeformasi elastis


hingga pembebanan < 15 kN. Material ini akan mengalami deformasi plastis ketika
diberi beban 15 kN, sehingga Ef (flexural strength) dari material ini berada pada
rentang 14 kN < Ef < 15 kN.

Modulus elastisitas dari material ini adalah E = 121,89 GPa. Hasil ini
memilki kesalahan relatif terhadap data literatur = E’ sebesar %. Galat ini
dipengaruhi berbagai macam faktor seperti penggunaan metode pengujian, kondisi
spesimen yang digunakan, pengaruh suhu, serta pengaruh dari regresi, dimana pada
saat material berdeformasi pada beban 15 kN, hasil dari regresi linear menjadi tidak
akurat.

5.2. SARAN

Sebaiknya uji bending dilakukan dengan metode 4 bending point yang akan
menghasilkan data yang lebih akurat. Pasalnya, metode ini akan mengurangi faktor
gaya geser yang terdapat pada spesimen, selain itu momen maksimum pada metode
ini berupa range, sehingga data hasil pengujian bending menjadi lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA

[1] J. William D. Callister and D. G. Rethwisch, "Materials Science and


Engineering An Introduction 8th Ed.," Danvers, John Wiley & Sons, Inc.,
2010, pp. 6-7.

[2] Ovako, "Material data sheet Steel grade," Ovako, 2017.

[3] Henan BEBON International co.,ltd, "Carbon and low alloy steel EN10025
St37-2 steel plate," Henan BEBON International co.,ltd, 2011.
LAMPIRAN

Specimen yang telah mengalami uji bending

Tabel data percobaan

Anda mungkin juga menyukai