Anda di halaman 1dari 38

ANALISIS KERUSAKAN LINING DIGESTER R-2302 PABRIK

ASAM FOSFAT PT PETROKIMIA GRESIK

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah MT 4002 Tugas Pemilihan Material
dan Pemrosesan Produk

Oleh :
Farhan Adi Farrasandi (13716033)

PROGRAM STUDI TEKNIK MATERIAL


FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

BAB I ........................................................................................................................................ 3
EXECUTIVE SUMMARY .................................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang Permasalahan ................................................................................... 3
1.2. Metode Penelitian......................................................................................................... 4
1.3. Kesimpulan ................................................................................................................... 4
1.4. Rekomendasi ................................................................................................................ 4
BAB II ...................................................................................................................................... 5
BODY REPORT ..................................................................................................................... 5
2.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 5
2.2. Tujuan ......................................................................................................................... 13
2.3. Pihak Yang Terlibat .................................................................................................. 13
2.4. Metodologi .................................................................................................................. 14
2.4.1. Pengamatan Visual ............................................................................................. 15
2.4.2. Dye Penetrant Test ............................................................................................... 15
2.4.3. Karakterisasi Material ....................................................................................... 17
2.4.4. Metalografi .......................................................................................................... 19
2.5. Hasil Pengamatan ...................................................................................................... 26
2.5.1. Data Visual .......................................................................................................... 26
2.5.2. Data Penetrant Test ............................................................................................. 27
2.5.3. Data Karakterisasi Material .............................................................................. 29
2.5.4. Data Metalografi ................................................................................................. 31
BAB III................................................................................................................................... 34
KESIMPULAN ..................................................................................................................... 34
BAB IV ................................................................................................................................... 36
SARAN ................................................................................................................................... 36
BAB V .................................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 38
BAB I

EXECUTIVE SUMMARY

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Di PA Pabrik III PT. Petrokimia Gresik terdapat salah satu komponen penting
dalam proses produksi asam fosfat yang merupakan bahan baku produksi pupuk, yaitu
digester R-2302. Komponen ini berfungsi mengaduk phospate rock yang sudah
dihaluskan dengan larutan H2SO4 menjadi hemihydrate slurry sebagai produk pertama
Digester ini tersusun dari baja karbon sebagai penyusun konstruksi komponen bagian
luar, sedangkan dinding bagian dalam, atau dikenal sebagai lining terbuat dari paduan
nikel yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan korosi pada digester selama
produksi asam fosfat berlangsng.

Selama pengoperasian sejak tahun 1991, paduan nikel yang terdapat pada
dinding dalam tersebut sering bereaksi dengan asam fosfat selama proses produksi.
Akibatnya, bagian dinding digester sering mengalami kebocoran dalam kurun waktu 3
tahun terkahir. Untuk mengatasi masalah tersebut, perusahaan telah melakukan metode
lining repair pada bagian dinding yang bocor dengan cara menambal bagian tersebut
menggunakan plat repair. Setelah ditambal, bagian pinggir plat repair dilas. Namun,
setelah dilakukan pengelasan, sambungan tersebut ikut mengalami kebocoran yang
diduga terjadi akibat bereaksi dengan sisa asam fosfat. Akibatnya, titik kebocoran pada
komponen dinding digester justru semakin bertambah. Fenomena kebocoran tersebut
sering terjadi pada daerah lasan berbahan dasar paduan nikel tersebut, bahkan setelah
beberapa kali dilakukan penambalan.
1.2. Metode Penelitian
Terdapat 4 metode yang digunakan pada penelitian ini:
1. Pengamatan Visual
2. Dye Penetrant Test
3. Karakterisasi Material
4. Metalografi

1.3. Kesimpulan
1. Komposisi Weld Metal pada daerah terkorosi mengalami perubahan secara
signifikan, dimana unsur P (fosfor) dapat memicu fenomena crack.
2. Terdapat 4 jenis cacat yang muncul di lasan terkorosi, yaitu porositas, inklusi,
crack, dan korosi celah.
3. Masuknya unsur pengotor ke daerah lasan dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan yang tidak standar pada saat pengelasan (temperatur 90-104 ℃ dan
tekanan 500 mmHg)

1.4. Rekomendasi
1. Mengganti metode pengelasan menjadi GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)
selama masih dapat diperbaiki.
2. Jika komponen sudah masuk dalam tahap reject, maka digester tersebut harus
diganti, disarankan material penyusun terbuat dari bahan refraktori
BAB II

BODY REPORT

2.1. Latar Belakang

Asam fosfat adalah salah satu bahan kimia perantara yang penting dalam
produksi pupuk, yaitu sebagai perantara antara produksi bijih fosfat dengan produk
akhir seperti ammonium fosfat, tripel superfosfat, campuran pupuk cair, dan beberapa
tipe nitrat fosfat yang merupakan produk akhir dari pupuk. Sumber yang paling umum
dari asam fosfat adalah larutan dengan kadar air 85%; larutan tersebut tidak berwarna,
tidak berbau, dan non-volatil. Asam Fosfat merupakan salah satu komponen penting
dalam produksi pupuk PT. Petrokimia Gresik, terutama untuk pupuk jenis NPK
(Natrium, Phospate, Kalium) Phonska yang merupakan produk unggulan dengan
jumlah produksi terbanyak diantara jenis pupuk lainnya.

Untuk memproduksi asam fosfat, diperlukan 2 jenis raw material, yaitu batuan
fosfat dan asam sulfat (H2SO4). Sebelum dicampur, batuan fosfat dihaluskan
menggunakan ball mill hingga mencapai kehalusan yang diinginkan. Secara umum,
proses produksi asam fosfat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu melalui
proses basah (wet process) dan proses dengan menggunakan tungku listrik. PT
Petrokimia Gresik menggunakan proses basah untuk memproduksi asam fosfat. Proses
ini menggunakan batuan fosfat sebagai bahan baku [1]. Batuan fosfat tersebut digiling
hingga halus menggunakan screen dan Ball Mill untuk umpan reaksi. Selanjutnya
batuan fosfat yang telah dihaluskan direaksikan dengan asam sulfat menghasilkan asam
fosfat dan hemyhidrate calsium sulfat. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Ca3(PO4)2 + 3H2SO4 + 6H2O → 3CaSO4.2H2O + 2H3PO4.


Alat yang digunakan selama produksi asam fosfat diantaranya Premixer,
Digester A, Digester B dan vacuum cooler. Reaksi di atas berlangsung secara cepat
pada temperature 90-104℃ Dari reaksi tersebut, dihasilkan by-product atau produk
sampingan, yaitu gypsum (CaSO4.2H2O) yang dapat dijual kembali.

Gambar 2.1.1. Ilustrasi Komponen Digester


(Sumber: https://www.biocycle.net/)
Selanjutnya terjadi proses penyerapan SiF4 dan HF menggunakan larutan
H2SiF6 encer, sehingga menjadi H2SiF6 dengan konsentrasi 18-20% melalui reaksi
kimia sebagai berikut:

3 SiF4 + 2H2O → 2H2SiF6 + SiO2


6 HF + SiO2 → H2SiF6 + 2H2O
Reaksi tersebut berlangsung pada temperature 50-70 ℃ dengan tekanan vakum
sebesar 500 mmHg. Setelah reaksi hemyhidrate berlangsung , proses selanjutnya
adalah filtrasi dari hemyhidrate slurry untuk mendapatkan produk first filtrate dengan
konsentrasi P2O5 sebesar 45 % dan produk filtrasi sekunder sebagai return acid. Filtrasi
kedua berlangsung pada temperatur 70 ℃ dan tekanan 400 mmHg dengan kecepatan
putaran 3 MPR. Terakhir, first filtrate kadar P2O5 45% mengalami proses pemekatan
menjadi asam fosfat dengan kepekatan P2O5 54%. Pemekatan berlangsung pada
temperatur 90 ℃ dan tekanan yang dibutuhkan untuk proses evaporasi sebesar 590
mmHg. Produk asam fosfat pekat selanjutnya didinginkan hingga mencapai temperatur
65 ℃ menggunakan medium cooling water. Berikut ini adalah skema Blok Diagram
Pabrik Asam Fosfat:
Gambar 2.1.2. Skema Proses Produksi Asam Fosfat [1].

Produksi Pabrik Asam Fosfat PT Petrokimia Gresik Unit PA Pabrik III A,


menggunakan komponen digester R-2302 Konstruksi digester tersebut memiliki
dinding sisi luar yang terbuat dari plat carbon steel sebagai struktur utama dalam
menyangga tekanan dan beban dari fluida hemyhidrate slurry di dalam tangki
Sedangkan dinding bagian dalam, atau dikenal sebagai lining terbuat dari paduan nikel
Hastelloy G-30 yang dirancang untuk melindungi komponen digester dari korosi yang
ditimbulkan akibat aktivitas fluida hemihydrate slurry.
Paduan nikel dipilih sebagai bahan penyusun lining karena memiliki keunggulan
sifat berikut:

• Mudah untuk didaur ulang


• Ketahanan terhadap korosi dan oksidasi tinggi
• Memiliki sifat katalis
• Memiliki sifat mampu las yang baik
• Laju korosi lebih lambat dibanding jenis superalloy lain.[2]

Gambar 2.1.3. Perbandingan Laju Korosi Material Hastelloy G30 dengan Alloy 28
dan 31 Terhadap Konsentrasi Asam Fosfat.[2]
Digester tersebut telah beroperasi sejak tahun 1991. Selama pengoperasian,
paduan nikel yang terdapat pada lining tersebut seringkali bereaksi dengan asam fosfat
selama proses produksi. Akibatnya, bagian dinding digester sering mengalami
kebocoran dalam 3 tahun terakhir sejak tahun 2016 (Departemen Istek III). Untuk
mengatasi masalah tersebut, telah dilakukan metode perbaikan pada bagian dinding
yang bocor dengan cara menambal bagian tersebut menggunakan plat repair. Setelah
ditambal, bagian pinggir plat repair dilas. Umumnya, perusahaan menggunakan 2
macam metode pengelasan, yaitu SMAW (Shielded Metal Arc Welding) dan GTAW
(Gas Tungsten Arc Welding).

Proses SMAW, saat ini juga dikenal dengan istilah proses MMAW (Manual
Metal Arc Welding) merupakan proses pengelasan logam induk mengalami pencairan
akibat pemanasan dari busur listrik yang timbul antara ujung elektroda dan permukaan
benda kerja. Busur listrik yang ada dibangkitkan dari suatu mesin las. Elektroda yang
dipakai berupa kawat yang dibungkus oleh pelindung berupa fluks dan karena itu
elektroda las kadang-kadang disebut kawat las. Elektroda ini selama pengelasan akan
mengalami pencairan bersama-sama dengan logam induk yang menjadi bagian kampuh
las. Dengan adanya pencairan ini maka kampuh las akan terisi oleh logam cair yang
berasal dari elektroda dan logam induk. [6]

Gambar 2.1.4.Skema Pengelasan SMAW [6]


Proses pengelasan lainnya adalah GTAW (Gas Tungsten Arc Welding), yaitu
pengelasan mencair dimana sebagian Iogam induk mencair akibat pemanasan busur
listrik. Seperti pada proses SMAW dan GMAW, pada proses GTAW ini, busur listrik
timbul diantara ujung elektroda dan permukaan benda kerja. Prinsip dasar dari proses
GTAW ini tidak jauh berbeda dengan GMAW, yaitu penyambungan diperoleh dari
proses pencairan sambungan logam induk dan elektroda yang nantinya membeku
membentuk logam las. Pada proses ini juga digunakan gas inert seperti Argon dan
Helium sebagai pelindung kubangan logam las.

Gambar 2.1.5.Skema Pengelasan GTAW [6]

Pada metode GTAW, elektroda terbuat dari Tungsten (Wolfram) yang tidak ikut
mencair. Untuk menyuplai logam las, diperlukan kawat las yang diberikan secara
manual. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada proses GTAW, logam
pengisi atau kawat las dapat diberikan pada sambungan ataupun tidak sama sekali.
Proses GTAW kebanyakan dipakai untuk mengelas logam komersil seperti baja tahan
karat (stainless steel), Aluminium dan Titanium. Dalam perbaikan sambungan las pada
lining digester, metode pengelasan yang digunakan adalah proses SMAW dengan
menggunakan elektroda paduan Ni-Cr-Mo.
Untuk keperluan perbaikan, biasanya digunakan metode SMAW dengan
menggunakan elektroda ERNiCrMo-11 untuk logam induk Hastelloy G-30 sebagai plat
lining dan untuk plat repairing berupa Nicrofer 3127 hMo dilas menggunakan
elektroda ERNiCrMo-13. Prosedur perbaikan tersebut dicantumkan dalam standar
ASME Sections II Part C – SFA.5.14.[3] Setelah dilakukan perbaikan, ternyata
sambungan tersebut ikut mengalami kebocoran yang diduga terjadi akibat bereaksi
dengan sisa asam fosfat. Selain itu, bagian lining tersebut telah dipenuhi oleh plat
lining repair yang saling menumpuk satu sama lain. Akibatnya, titik kebocoran pada
komponen dinding digester tersebut semakin bertambah, bahkan setelah beberapa kali
dilakukan penambalan. Oleh karena itu, penulis akan menganalisis penyebab
kerusakan pada sambungan las, jenis kerusakan yang ditimbulkan, serta memberikan
rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

2.2. Tujuan
1. Mengetahui komposisi Hastelloy G-30, Nicrofer (nickel super alloy), serta
daerah lasan untuk mengetahui unsur kimia yang dapat menyebabkan cacat.
2. Mengetahui jenis cacat penyebab kerusakan sambungan las melalui analisis
mikrostruktur.
3. Memberikan rekomendasi perbaikan komponen digester.
2.3. Pihak Yang Terlibat
• Staf Divisi Inspeksi Korosi dan Metalurgi PT. Petrkomia Gresik
• Staf Divisi Inspeksi Teknik Khusus
• Staf Divisi Inspeksi Pabrik III dan Divisi Bengkel Las Pabrik III
2.4. Metodologi

Mulai

Studi Kasus Permasalahan

Studi Literatur

Pengujian

Karakterisasi Metalografi NDT


Material

XRF OES Visual Dye Penetrant

Komposisi Kimia Mikrostruktur Daerah Terkorosi

Tidak Sesuai
Kesesuaian Data

Sesuai

Analisis Data

Kesimpulan dan Saran

Selesai
Terdapat 4 metode penelitian yang digunakan, yaitu Visual Test, Non-Destructive
Test, karakterisasi material, dan metalografi:

2.4.1. Pengamatan Visual

Pengamatan visual pada sambungan las bertujuan untuk menentukan dan


menjamin tingkat mutu sambungan las sesuai dengan persyaratan spesifikasi , desain
dan standar pengelasan yang telah ditentukan. Inspeksi visual hanya menggunakan
kekuatan dan ketajaman mata untuk mengetahui cacat, retak, dan ketidaksesuaian pada
sambungan las. Metode visual test dapat mempengaruhi diterima atau tidaknya kualitas
dari sambungan las secara langsung serta menentukan juga kondisi internal pada daerah
las untuk mengambil langkah penanggulangan dan maintenance yang sesuai dengan
WPS (Weld Procedure Specification).

2.4.2. Dye Penetrant Test

Salah satu metode NDT (Non Destructive Test) menggunakan cairan penetran
pada permukaan daerah lasan, seperti porositas, retak las, dan lipatan. Metode Dye
Penetrant ditemukan oleh RC Switzer. Awalnya, metode ini menggunakan kerosene
dan zat pemutih (Kerosene Whiting Test). Seiring dengan perkembangan zaman,
banyak jenis cairan yang dapat digunakan sebagai penetran. Pinsip kerja dari metode
Dye Penetrent Test adalah menggunakan cairan penetran dengan memanfaatkan
kemampuan gaya kapilaritasnya sehingga bisa meleweati celah diskontinuitas serta
kerja developer untuk mengangkat kembali cairan yang meresap pada retakan,
sehingga cacat pada material dapat terdeteksi.[4]
Gambar 3.5.2.1. Cairan Penetran
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 3.5.2.2. Prinsip Kerja Dye Penetrant Test


(Sumber : http://www.testindo.com/article/267/jenis-ndt-non-destructive-test)

Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan dye penetrant,
baik dari segi cairan maupun permukaan spesimen. Cairan penetran yang digunakan
memiliki gaya kapilaritas yang tinggi, sehingga dapat memasuki celah permukaan.
Selain itu, permukaan uji tidak boleh kasar dan memiliki porositas sekecil mungkin.
Pada tahap pembersihan, hindari overwashing, yaitu cairan penetran yang ada
di dalam celah ikut terbersihkan. Kemampuan penetran untuk memasuki celah
permukaan spesimen bergantung pada kebersihan permukaan, sifat fisik larutan,
ukuran bukaan, konfigurasi dan kebersihan celah. Prosedur Dye Penetrant Test diatur
dalam standar ASTM E165.[4]

2.4.3. Karakterisasi Material

Karakterisasi material merupakan metode untuk menentukan komposisi pada


material yang diuji. Pada topik ini, karakterisasi material bertujuan untuk
membandingkan komposisi area las Hastelloy G-30 dengan elektroda lasnya dari
literatur dengan komposisi material yang sama, namun dalam kondisi terkorosi dan
berada dalam lingkungan asam fosfat. Dari perbandingan tersebut, penyusun dapat
memberikan hipotesis terkait penyebab material tersebut terkorosi melalui karakter
masing-masing unsur yang terkandung didalamnya.

(a) (b)

Gambar 2.4.3.1 Alat XRF (a) dan OES (b) yang digunakan dalam karakterisasi material
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Di PT Petrokimia Gresik, alat yang sering digunakan untuk mengecek komposisi
material adalah X-Ray Fluorescence (XRF) dan Optical Emission Spectroscopy (OES).
Perbedaan mendasar yang penulis amati dari kedua alat tersebut adalah dari efisiensi dan
kemampuan alat dalam mendeteksi material (kualitas). XRF unggul dalam segi efisiensi,
karena portable, penggunaan alatnya sederhana dan hanya butuh waktu singkat untuk
mendeteksi komposisi material, sedangkan OES tidak portable, sampel harus bersih dan
permukaan sampel harus rata, serta dibutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh hasil yang
akurat. Namun, dalam segi kualitas, OES lebih unggul daripada XRF, karena dapat menyajikan
data komposisi yang lebih akurat. Pada penelitian ini, XRF digunakan untuk mengecek
komposisi material pada sambungan las, sedangkan pengecekan komposisi logam induk
dilakukan menggunakan OES.
2.4.4. Metalografi

Metalografi merupakan metoda pengamatan yang bertujuan untuk mempelajari dan


menentukan hubungan antara struktur mikro dengan karakteristik bagian logam lasan Hastelloy
G-30 yang terkorosi. Berikut metodologi dari metalografi secara umum:

Mulai

Spesimen dipotong

Spesimen diberi label (nomor) sesuai


lokasi yang ditinjau

Dilakukan mounting pada spesimen

Spesimen digerinda

Spesimen dipoles

Spesimen dietsa

Spesimen dibersihkan dan dikeringkan

Spesimen diamati di Mikroskop

Struktur Mikro
2.4.4.1. Pemotongan
Spesimen dipotong hingga mencapai ukuran yang sesuai. Pemotongan dilakukan
menggunakan mesin pemotong yang terdapat di laboratorium metalografi milik perusahaan.
Mesin tersebut dilengkapi dengan medium pendingin berupa air (water coolant). Tujuannya
untuk mengurangi panas yang ditimbulkan akibat gesekan antara spesimen dengan mesin
pemotong. Panas tersebut dapat mempengaruhi perubahan sifat metalurgi dari paduan
Hastelloy G30, yang akan berdampak pada perubahan struktur mikro.[5]

Gambar 2.4.4.1.1. Mesin yang Digunakan untuk Memotong Spesimen (Sumber:


Dokumentasi Pribadi)

2.4.4.2. Mounting

Setelah dipotong, spesimen dilapisi dengan zat berupa resin dan PMMA powder.
Tujuannya agar spesimen mudah dipegang pada saat proses selanjutnya, yaitu grinding.
Umumnya jenis mounting yang digunakan adalah hot mounting dan cold mounting. Pada
langkah ini, praktikan menggunakan cold mounting dengan mencampurkan resin dengan
powder menggunakan perbandingan volume 2:1. [5]
`

(a) (b) (c)

Gambar 2.4.4.2.1 Alat dan Bahan yang Digunakan Pada Proses Mounting, diantaranya
powder (a), resin akrilik (b) dan cetakan (c) (Sumber:Dokumentasi Pribadi)

Setelah dimounting, spesimen diberi label agar tidak tertukar pada saat melakukan tahap
metalografi selanjutnya

2.4.4.3. Grinding

Grinding atau penggerindaan bertujuan untuk meratakan permukaan sampel


dengan menggunakan kertas/bahan abrasif. Praktikan menggunakan kertas silicone
carbide ukuran grit 220, 320, 400, dan 600. Proses penggerindaan dilakukan di mesin
grinder pada kondisi basah untuk mengurangi panas yang ditimbulkan akibat gesekan
selama proses grinding antara permukaan spesimen dengan kertas silicone carbide .
Penggerindaan berlangsung hingga seluruh permukaan spesimen rata. [5]

Gambar 2.4.4.3.1 Mesin Grinding (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Gambar 2.4.4.3.2 Kertas Silicon Carbide (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

2.4.4.4. Polishing

Polishing atau pemolesan merupakan tahap terakhir dari perataan permukaan


spesimen. Tujuan dari pemolesan adalah menghilangkan goresan yang tertinggal dari
proses grinding. Syarat dari analisis metalografi spesimen adalah permukaan spesimen
harus mengkilat seperti cermin tanpa ada goresan. Pemolesan dapat dilakukan
menggunakan pasta diamond, alumina, atau pasta gigi. Ketika pemolesan, praktikan
menggunakan suspensi alumina sebagai media poles karena dapat memoles permukaan
dengan waktu yang lebih cepat dan merupakan medium yang cocok untuk pemolesan
paduan nikel.

Gambar 2.4.4.4.1 Mesin Poles Portable (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Gambar 2.4.4.4.2 Pasta Alumina Sebagai Media Poles (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

2.4.4.5. Etsa

Proses memberikan reagen kimia pada permukaan spesimen yang telah dipoles.
Etsa bertujuan untuk menampilkan batas butir, fasa, dan struktur mikro pada permukaan
spesimen. Teknik pengetsaan logam dapat dilakukan secara kimiawi, elektrolitik, maupun
melalui katodik vakum. Pemilihan larutan etsa atau reagent bergantung pada jenis dan
karakteristik material. Untuk Hastelloy, larutan etsa yang disarankan adalah Chrome-
regia dengan komposisi asam kromat dan HCl perbandingan volume 1:3. Asam kromat
sebagai bahan etsa tidak tersedia di lab, sehingga pada saat pengetsaan, praktikan larutan
etsa glyceregia yang sering digunakan perusahaan untuk mengkarakterisasi material
stainless steel. Komposisi glyceregia terdiri dari Gliserin, HCl dan HNO3 dengan
perbandingan volume 3:5:1. [5]
Gambar 2.4.4.5.1 Larutan yang Digunakan untuk Mengetsa Spesimen (Sumber: Dokumentasi
Pribadi)

Setelah dietsa menggunakan larutan glyceregia, ternyata hasil metalografi yang


diperoleh belum dapat memunculkan fasa dan batas butir pada daerah base metal maupun weld
metal pada beberapa spesimen, sehingga analisis struktur mikro belum dapat dilakukan secara
maksimal. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode electroetching, yaitu pengetsaan
spesimen yang dilakukan menggunakan reaksi elektrolisis. Proses electroetching dapat
berlangsung jika terdapat larutan elektrolit, sumber arus, anoda, dan katoda. Spesimen yang
akan dietsa dihubungkan ke kutub positif dari sumber arus listrik secara langsung, kemudian
sepotong logam yang memiliki potensial lebih rendah terhubung ke kutub negatif dari sumber
arus searah dan disebut katoda.. Ketika sumber arus dihidupkan, logam anoda akan dilarutkan
dan diubah menjadi kation yang sama seperti elektrolit. Di saat yang sama, sejumlah kation
yang terdapat di dalam larutan diubah menjadi ion logam, kemudian ion tersebut mengendap
pada katoda. Berdasarkan standar ASM, larutan elektrolit yang digunakan untuk proses
electroetching pada paduan nikel adalah campuran dari 95 ml HCl dengan 5 ml asam oksalat.
Gambar 2.4.4.5.2 Proses Electroetching (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
2.5. Hasil Pengamatan
2.5.1. Data Visual

Lokasi 1 Lasan
Lokasi 2 Lasan Terkorosi Lokasi 4 Plat
Sedikit Terkorosi Lining Repair

Lokasi 6
Plat Lining Lokasi 5 Plat
Repair Lining Repair

Lokasi 7
Lokasi 8 Plat
Plat Lining Lining Repair

Lokasi 3
Lasan Masih
Baik
Gambar 2.5.1.1. Plat Lining Digester

Sisa Asam Fosfat Lasan Terkorosi


Yang Terjebak

Gambar 2.5.1.2. Sambungan Las Yang Terkorosi


Gambar 2.5.1.3. Cross Section Daerah Lasan Setelah Dimounting

2.5.2. Data Penetrant Test

Gambar 2.5.2.1. Pengujian Dye Penetrant Pada Sambungan Plat Lining Kondisi Normal
Gambar 2.5.2.2 Bagian Lining Digester Setelah Disemprotkan Cairan Penetran

Gambar 2.5.2.3. Sambungan Las Terkorosi


Gambar 2.5.2.4. Sambungan Las yang Masih Baik

2.5.3. Data Karakterisasi Material


Tabel 2.5.3.1. Data Komposisi Kimia Material pada Logam Las

Unsur Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 ERNiCrMo-11 ERNiCrMo-13


Kimia (lasan (lasan masih (lasan masih (Elektroda Las) (Elektroda Las)
terkorosi) baik) baik)
C NA NA NA 0,03 0,01
Mn 2,58 1,86 0,557 1,5 0.5
Fe 3,068 6,417 6,183 13.0-17.0 1,5
P 6,869 0.642 0 0.04 0,015
S NA NA NA 0.02 0,005
Si 2.405 2.998 1.346 0.8 0,1
Cu 0.176 0.777 0.464 1.0-2.4 -
Ni 62.51 55.951 54.156 Remain Remain
Co 0.253 0.441 0.586 5.0 0,3
Al 0 0.623 1.127 - 0,1-0,4
Ti NA NA NA - -
Cr 18.302 23.426 23.187 28.0-31.5 22,0-24,0
Nb NA NA NA 0.3-1.5 -
Mo 0.552 2.129 11.777 4.0-6.0 4,0-6,0
W NA NA NA 1.5-4.0 1,5-4,0
Other NA NA NA 0.5 0,5
Tabel 2.5.3.2. Data Komposisi Kimia Material pada Logam Induk

Unsur Hastelloy Nicrofer Lokasi 4 Lokasi 5 Lokasi 6 Lokasi 7 Lokasi 8


Kimia G-30 3127 hMo plat lining plat lining plat lining plat lining plat lining
repair repair repair repair

Mo 4,0-6,0 6,0-7,0 4,73 4,72 4,76 4,84 8,86


Cu - - 1,23 1,21 1,16 1,82 1,27
Ni Balance 30-32 46,33 46,1 46,33 42,83 30,6
Co 5,0 max - 2,18 2,26 2,16 2,45 0,22
Fe 13.0-17.0 Balance 13,81 13,82 13,67 14,47 33,11
Mn 1,5 max 2,0 max 1,05 1,0 1,0 1,11 1,52
Cr 28,0-31,0 26,0-28,0 28,2 28,5 28,45 28,86 27,17
Nb - - 0,38 0,39 0,4 0,76 0
W 1,5-4,0 - 2,04 1,9 2,07 2,65 0
V - - 0,06 0,06 0 0 0,06
Si 0,8 max 0,05 max NA - - - -
C 0,33 max 0.015 max - - - - -
Hastelloy Hastelloy Hastelloy G- Hastelloy Nicrofer
Kesimpulan G-30 G-30 30 G-30 3127 hMo
2.5.4. Data Metalografi

Gambar 2.5.4.1. Logam Induk Hastelloy G-30 Perbesaran 200x

Gambar 2.5.4.2. Logam Induk Nicrofer 3127 hMo Perbesaran 200x


Gambar 2.5.4.3 Struktur Mikro Base Metal Terkorosi Perbesaran 50x

Weld Metal

Base Metal

Gambar 2.5.4.4. Struktur Mikro Sambungan Las Terkorosi Perbesaran 50x


Base Metal

Weld Metal

Gambar 2.5.4.5. Struktur Mikro Sambungan Las Tidak Terkorosi Perbesaran 50x

Weld Metal

Base Metal

Gambar 2.5.4.6. Struktur Mikro Sambungan Las Terkorosi Perbesaran 100x


BAB III

KESIMPULAN

1. Hastelloy G30 dan Nicrofer 3127 hMo memiliki ketahanan korosi yang tinggi bila dilihat
dari komposisi kimia hasil karakterisasi dan laju ketahanan korosi yang rendah, namun
umur pemakaian dapat menurunkan sifatnya. Berdasarkan hasil karakterisasi
menggunakan XRF, daerah lasan no.1 (terkorosi) mengandung unsur fosfor (P) secara
signifikan, yaitu sebesar 6,869. Diduga, unsus fosfor tersebut berasal dari sisa asam fosfat
yang tidak ikut bereaksi menjadi hemyhidrate slurry. Unsur fosfor tersebut dapat
menurunkan keuletan dari daerah las tersebut, sehingga dalam jumlah yang berlebih dapat
mengakibatkan penggetasan baik pada weld metal maupun base metal, ditandai dengan
munculnya retakan pada gambar 2.5.4.4.

Korosi Celah

Crack Pada Weld Metal

Porositas

Crack Pada
Base Metal
2. Struktur mikro yang diperoleh pada daerah lasan terkorosi menunjukkan terdapat 3 jenis
cacat, yaitu crack, inklusi, dan korosi celah akibat masuknya slag berupa sisa asam fosfat
ke daerah lasan. Selain itu, terdapat cacat berupa void akibat elektroda yang digunakan
untuk pengelasan terkontaminasi oleh sisa hemyhidrate slurry. Fenomena ini disebabkan
proses pengelasan dilakukan pada saat komponen digester masih memproduksi asam
fosfat, sehingga temperatur dan tekanan kerja pada saat pengelasan tidak ideal.
3. Rekomendasi untuk perbaikan dan penanganan digester dijelaskan pada bab saran.
BAB IV
SARAN

Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk memperbaiki lining digester
berbahan dasar paduan nikel, khususnya ketika melakukan pengelasan. Metode pengelasan
sebaiknya menggunakan GTAW (Gas Tungsten Arc Welding), yaitu pengelasan menggunakan
gas lindung yang bersifat inert seperti Argon. Jika tetap menggunakan SMAW, kondisi
lingkungan harus terbebas dari sisa asam fosfat, dengan kata lain pengelasan SMAW baru
dapat dilakukan ketika komponen dalam kondisi shut down atau tidak beroperasi selama kurun
waktu tertentu. pengelasan menggunakan metode SMAW rentan mengalami kerusakan akibat
inklusi, yaitu masuknya unsur pengotor ke daerah las yang kemudian ikut mendingin. Perlu
diketahui bahwa sambungan las untuk paduan nikel dapat mengalami beberapa jenis cacat,
seperti porositas, rentan terhadap embrittlement pada temperatur tinggi, retak pada manik las,
hingga fenomena SCC (Stress Corrosion Cracking). Berikut langka-langkah yang dapat
dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya cacat pada sambungan las:

1. Permukaan lasan harus bersih, terbebas dari unsur pembentuk inklusi penyebab
porositas.
2. Mengurangi kecepatan lasan dan mengatur heat input untuk meminimalisasi
kemungkinan retak pada manik las.
3. Tidak perlu melakukan PWHT (Post Weld Heat Treatment), baik secara termal maupun
kimiawi.
4. Jika pengelasan menggunakan GTAW, porositas dapat dihindari dengan mencegah
masuknya udara ke logam las yang meleleh dengan menggunakan gas argon dan H2
berperan sebagai pelindung daerah lasan untuk mencegah porositas, dengan catatan
kadar H2 dibatasi hingga 10%. Jika kadar H2 melebihi 15%, maka sambungan las
tersebut akan mengalami hydrogen embrittlement[7]
5. Pengelasan GTAW dapat dilakukan pada saat komponen dalam kondisi shutdown.

Berdasarkan informasi dari pihak Istek III, komponen tersebut sudah beroperasi selama
kurang lebih 28 tahun. Berdasarkan klasifikasi material dalam teknik penanganan korosi (Dr.
Bambang Widyanto, M.Sc) digester tersebut sudah masuk ke dalam tahap reject. Artinya sudah
tidak dapat diperbaiki kembali. Satu-satunya cara adalah mengganti material lining digester
tersebut.
Salah satu jenis material yang cocok digunakan sebagai digester pengganti paduan nikel
adalah refraktori berbasis keramik, contohnya alumina brick (Al2O3) yang memiliki sifat
berikut:

1. Tahan terhadap temperatur sangat tinggi hingga mencapai 1850 ℃


2. Tidak mudah larut.
3. Tahan terhadap fluida yang sangat abrasif.
4. Bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat sebagai asam maupun basa bergantung pada
kondisi lingkungan kerja.
5. Biaya refraktori relatif lebih murah dibandingkan paduan nikel, serta ketersediaan
bahan baku refraktori melimpah. (Refractories Handbook)
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

[1] PT Petrokimia Gresik , Blok Diagram Pabrik Asam Fosfat.

[2] Nickel Institute, [Online]. Available: https://www.nickelinstitute.org/. [Accessed 5 Desember


2019].

[3] Haynes International, "HASTELLOY G-30 alloy," 2017. [Online]. Available:


https://www.haynesintl.com/docs/default-source/pdfs/new-alloy-brochures/corrosion-resistant-
alloys/brochures/g-30.pdf. [Accessed 25 Juli 2019].

[4] A. International, ASME Section V, Nondestructive Examination ASME International, 2010.

[5] A. International, ASM Handbook. Vol. 9, Metallography and Microstructures, Materials Park, OH,
2004.

[6] H. Sonawan and R. Suratman, Pengantar Untuk Memahami Proses Pengelasan Logam, Bandung:
CV Alfabeta, 2006.

[7] [Online]. Available: https://www.haynesintl.com/docs/default-source/pdfs/new-alloy-


brochures/corrosion-resistant-alloys/brochures/g-30.pdf. [Accessed 30 October 2019].

Anda mungkin juga menyukai