Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 2015 2
Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 2015 2
KRISIS HIPERTENSI
Oleh:
Dr. Himatun Istijabah
2017
LEMBAR PENGESAHAN
PORTOFOLIO
“Krisis Hipertensi”
Oleh :
Dr. Himatun Istijabah
Pembimbing,
Gambar 1. Tren Mortalitas Penyakit Tidak Menular dan Penyakit Tidak Menular Dunia Tahun
2008 – 2030 (WHO, 2013)
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara auto anamnesis.
Seorang wanita, 31 tahun datang ke UGD RSU Muhammadiyah Siti
Aminah Bumiayu diantar oleh suaminya dengan keluhan nyeri kepala
cekot – cekot yang memberat 1 (satu) hari sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas, dengan skala nyeri 6 (enam)
berdasarkan pengakuan pasien. Nyeri tidak berkurang saat pasien
beristirahat. Sebelum datang ke UGD Muhammadiyah Siti Aminah
Bumiayu, pasien sempat memeriksakan diri ke bidan terdekat dan
diketahui bahwa tekanan darah pasien sangat tinggi, sehingga bidan
tersebut menyarankan pasien untuk segera memeriksakan diri ke UGD.
Pasien menyangkal adanya keluhan dada berdebar, nyeri dada, sesak nafas,
nyeri ulu hati, kelemahan anggota gerak, mual, muntah, pandangan kabur,
maupun pembengkakan anggota gerak.
Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi, DM maupun
hiperkolesterolemia yang pernah diderita. Namun, pasien mengaku ayah
kandung juga memiliki hipertensi. Pasien merupakan seorang ibu rumah
tangga yang gemar mengkonsumsi makanan asin dan berminyak, seperti
gorengan. Pasien juga tidak rutin dalam berolahraga.
VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan di UGD:
o Infus Asering 20 tpm
o Inj. Ketorolac 2 x 30 mg iv
o Inj. Ranitidine 2 x 50 mg iv
o p.o. Captopril 3 x 25 mg
o p. o. Amlodipin 1 x 5 mg
Follow up Pasien
A. Definisi
Menurut JNC 7, krisis hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan akut
tekanan darah yang sangat tinggi mencapai angka TD >180/120 mmHg
(NHLBI, 2004). Sementara itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, dalam buku berjudul EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit
Dalam (2016) serta Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
dalam Panduan Praktik Klinis dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (2016) menyebutkan bahwa krisis hipertensi merupakan
peningkatan tekanan darah yang tinggi secara mendadak dengan batasan TDS
≥ 180 mmHg dan TDD ≥ 110 mmHg.
B. Klasifikasi
JNC 7 mengklasifikasikan krisis hipertensi berdasarkan ada atau tidaknya
bukti kerusakan organ sasaran yang progresif menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Hipertensi Emergensi
Hipertensi emergensi merupakan krisis hipertensi yang disertai
penyulit akut pada organ target seperti kardiak, serebral dan renal, yang
membutuhkan penurunan TD secepatnya, biasanya dalam hitungan jam,
yang dapat dicapai dengan pemberian anti-hipertensi secara parenteral di
intensive care unit (ICU). Kasus hipertensi yang sering ditemukan di ruang
gawat darurat diantaranya yaitu infark serebri, perdarahan intrakranial, edem
pulmo, congestive heart failure (CHF), infark miokard, gagal ginjal akut
dan eklamsi. Kasus lainnya diantaranya diseksi aorta, ensefalopati hipertensi
(Rasyid, 2016; Muiesan dkk., 2014; NHLBI, 2004), krisis simpatetik
(feokromositoma) (Rasyid, 2016; Muiesan dkk., 2014), aneurisma aorta dan
papiledema (National Heart Foundation of Australia, 2016) .
2. Hipertensi Urgensi
Hipertensi urgensi adalah krisis hipertensi yang tidak disertai penyulit
pada organ target (Rasyid, 2016, Muiesan dkk., 2014). JNC 7 (NHLBI,
2004) dan National Heart Foundation of Australia (2016) mendefinisikan
hipertensi urgensi sebagai kondisi yang berkaitan dengan peningkatan
tekanan darah yang sangat tinggi tanpa disertai disfungsi organ target yang
progresif, tetapi dapat disertai gejala lain seperti nyeri kepala berat,
epistaksis, atau ansietas berat. Pada hipetensi urgensi, TD dapat diturunkan
dalam 24 – 48 jam dengan pemberian antihipertensi secara oral. Hipertensi
urgensi dapat berkembang menjadi hipertensi emergensi bila tidak diobati
dengan segera (Rasyid, 2016).
C. Epidemiologi
Secara global, angka kejadian hipertensi yang mengalami progresi
menjadi krisis hipertensi hanya kurang dari 1 %. Shorr dkk. (2012) menilai
prevalensi krisis hipertensi dalam penelitian kohort retrospektif menggunakan
data yang diperoleh dari 114 rumah sakit tahun 2005 – 2007 . Dari 1.290.804
pasien dewasa, krisis hipertensi terjadi pada 178.131 pasien (13.8 %).
Hipertensi emergensi diderita oleh sekitar 1% dari semua pasien hipertensi
kronik (Kuppasani&Reddi, 2010; Owens, 2011) dan diderita oleh sekitar
27.5% dari seluruh pasien krisis hipertensi yang datang ke Unit Gawat Darurat,
sedangkan 72.5% nya merupakan pasien hipertensi urgensi (Pak dkk., 2014).
D. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memicu peningkatan TD menjadi sangat tinggi dan
tiba-tiba pada pasien krisis hpertensi sudah pernah diteliti, namun masih belum
sepenuhnya dipahami (14). Vasokonstriktor humoral dan resistensi perifer
sistemik yang meningkat secara akut menyebabkan peningkatan stres mekanik
pada dinding vaskular, kerusakan endotel, aktivasi platelet dan kaskade
koagulasi, deposisi fibrin, induksi terhadap stres oksidatif serta sitokin-sitokin
pro inflamasi (van den Bom dkk., 2011). Vasokonstriksi dan trombosis,
sebagai akibat dari kerusakan vaskular, memicu terjadinya hipoperfusi, iskemik
organ target serta disfungsi autoregulasi. Peningkatan penanda inflamasi,
koagulasi, aktivasi platelet dan fibrinolisis terjadi pada pasien dengan krisis
hipertensi (Derhascing dkk., 2013).
Peningkatan TD yang tiba-tiba akibat stimuli yang diketahui ataupun
tidak, akan mencetuskan mekanisme-mekanisme hemodinamik (pressure
hypothesis) berupa peningkatan tekanan darah dan mekanisme neurohormonal
(humoral hypothesis) berupa pelepasan mediator endokrin dan parakrin. Pada
peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi dan tiba-tiba, akan merangsang
endotel untuk melepaskan nitric oxide (NO), suatu vasodilator poten sebagai
mekanisme kompensasi.Sementara itu, pada vaskular organ target terjadi
vasokonstriksi vasogenik untuk menghambat transmisi tekanan vaskular
sistemik yang tinggi sebagai mekanisme proteksi. Kontraksi otot polos
vaskular yang berkelanjutan akan menyebabkan disfungsi endotel.Disfungsi
endotel menyebabkan berkurangnya NO, sebaliknya terjadi peningkatan
substansi vasokonstriksi seperti angiotensin-II dan endotelin-1, serta
peningkatan molekul adhesi. Selanjutnya terjadi proliferasi miointimal dan
nekrosis fibrinoid. Peningkatan substansi-substansi vasokonstriktor juga akan
memicu pressure natriuresis yang menyebabkan hipovolemia, yang
selanjutnya akan lebih meningkatkan vasokonstriktor-vasokonstriktor tersebut
(Rasyid, 2016).
Gambar 3. Algoritma Penegakan Diagnosis dan Penanganan Krisis Hipertensi di UGD (Muiesan
dkk., 2014)
1. Anamnesis
Gejala yang dialami pasien bisa sangat beragam, mulai dari tanpa
keluhan, cepat lelah, pusing, kepala berat, epistaksis, berdebar – debar, nyeri
dada, sesak nafas, kelemahan atau kelumpuhan sebagian atau seluruh
anggota badan, penurunan kesadaran, defisit neurologis fokal, gangguan
status mental dan gangguan penglihatan (PERKI, 2016; Muiesan dkk.,
2014).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan Darah
Tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 180 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥ 110 mmHg (PERKI, 2016). Pengukuran TD dilakukan dua
kali dalam posisi tidur dan duduk. TD diukur dengan manset yang sesuai,
dengan letak cuff yang benar pada kedua lengan (Rasyid, 2016). TD
sebaiknya diukur di kedua lengan, dan jika terdapat perbedaan diantara
kedua lengan tersebut, maka TD ekstremitas inferior harus diukur untuk
mendeteksi adanya diseksi aorta (Muiesan dkk., 2014).
b. Pemeriksaan Kardiovaskular
Pemeriksaan kardiovaskular meliputi auskultasi untuk menentukan
ada atau tidaknya murmur. Bunyi jantung gallop atau ronki di paru
menunjukkan gagal jantung kiri disertai edema paru (Rasyid, 2016).
c. Pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan neurologi meliputi penentuan status kesadaran pasien
serta menilai adanya tanda-tanda fokal dari stroke baik iskemik maupun
pendarahan (Rasyid, 2016).
d. Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk mendeteksi pembesaran
ginjal dan bising arteri renalis (Rasyid, 2016).
e. Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi dapat membantu untuk mengidentifikasi
adanya eksudat, perdarahan dan atau papiledema (Muiesan dkk., 2014).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap (Muiesan dkk., 2014)
2) Pemeriksaan kimia darah meliputi tes fungsi ginjal, gula darah dan
elektrolit (Rasyid, 2016)
3) Urinalisis untuk mendeteksi proteinuria, hematuria dan sel silinder
(Rasyid, 2016)
b. Radiologi
1) Foto toraks pada pasien dengan gejala kardiopulmoner untuk
mendeteksi adanya edema paru (Muiesan dkk., 2014) dan
kardiomegali (PERKI, 2016)
2) Elektrokardiografi dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit
jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri dan aritmia (Rasyid, 2016)
3) Ekokardiografi terutama untuk pasien dengan gagal jantung akut
untuk menilai adanya hipertrofi ventrikel kiri dan mengevaluasi fungsi
sistolik dan diastolik ventrikel (PERKI, 2016; Muiesan, dkk., 2014).
F. Tatalaksana
1. Non-Farmakologis
Tabel 1. Modifikasi Gaya Hidup Untuk Hipertensi (Kemenkes, 2015)
2. Farmakologis
a. Hipertensi Urgensi
Peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi urgensi bisa
merupakan refleksi dari terapi hipertensi kronik yang tidak terkontrol.
Pendekatan terapi yang paling utama ialah melalui pemberian
antihipertensi oral yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
secara bertahap dalam 24 – 48 jam (Muiesan dkk., 2014).
Pemberian kombinasi obat antihipertensi oral dapat meningkatkan
efektivitas penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi urgensi
(Muiesan dkk., 2014). Captopril, propanolol, labetalol, furosemid, dan
beberapa obat antihipertensi kerja pendek digunakan sebagai terapi
utama pasien dengan hipertensi urgensi (WHO, 2005). Namun,
pemberian nifedipin baik secara oral maupun sublingual tidak
direkomendasikan karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah
yang terlalu cepat dan drastis sehingga menyebabkan hipotensi (Muiesan
dkk., 2014). Pemberian nifedipin pada pasien hipertensi urgensi juga
berkaitan dengan kejadian stroke, infark miokard dan kematian (WHO,
2005). Telaah sistematik dan metaanalisis dengan membandingkan antara
penggunaan obat golongan ACEi dan CCB pada pasien hipertensi
urgensi menunjukkan bahwa penggunaan obat oral ACEi memberikan
outcome (efektivitas dan rendahnya efek samping) yang lebih baik
dibandingkan dengan CCB. Oleh karena itu, pemberian oral ACEi
menjadi pilihan utama, kecuali pada pasien hamil (Souza dkk., 2009).
WHO (2005) menyebutkan bahwa beberapa hal yang harus
dievaluasi dan dimonitor pada pasien-pasien dengan hiperetensi urgensi
adalah kerusakan jantung dan ginjal yang diinduksi hipertensi serta
penyebab sekunder dari hipertensi. Hipertensi urgensi dapat berkembang
menjadi hipertensi emergensi bila tidak diobati dengan adekuat (Rasyid,
2016).
b. Hipertensi Emergensi
Hipertensi emergensi membutuhkan penurunan TD yang cepat,
biasanya dalam waktu 1 jam, dengan target penurunan TD rata-rata 20 –
25% dan/atau target TDD 110 – 115 mmHg. Bila target penurunan ini
dapat dicapai dan kondisi pasien stabil, penurunan tekanan darah dapat
dilanjutkan sampai normal dalam 12 – 24 jam berikutnya. Penurunan TD
terlalu cepat atau terlalu rendah akan memperburuk aliran darah ke organ
target. Pada kasus diseksi aorta, target tekanan darah lebih rendah dengan
waktu pencapaian yang lebih singkat (Rasyid, 2016).
Obat antihipertensi yang ideal untuk hipertensi emergensi adalah
obat parenteral yang bekerja cepat serta mudah dititrasi dengan efek
samping minimal. Pemilihan obat disesuaikan dengan penyakit penyerta
yang ada serta organ target yang terkena (Rasyid, 2016).
Tabel 2. Obat Anti-Hipertensi Pilihan pada Kondisi Hipertensi Emergensi dengan
Kerusakan Organ Target Tertentu (Rasyid, 2016)
Tabel 3. Obat Anti-Hipertensi Parenteral untuk Hipertensi Emergensi
(Vaidya&Oullette., 2007)
G. Prognosis
Prognosis krisis hipertensi berdasarkan buku Panduan Praktik Klinis
(PPK) dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
(PERKI, 2016) adalah sebagai berikut:
Ad vitam : malam
Ad sanationam : malam
Ad fungsionam : malam
BAB IV
KESIMPULAN
National Heart Foundation of Australia. 2016. Guideline for the Diagnosis and
Management of Hypertension in Adults. Melbourne: National Heart
Foundation of Australia.
PERKI. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
WHO. 2005. EMRO Technical Publications Series 29: Clinical Guidelines for the
Management of Hypertension. WHO Regional Office for the
Eastern Mediterranean: Cairo.
WHO. 2013. A Global Brief on Hypertension: Silent Killer, Global Public Health
Crisis. Diakses dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/79059/1/WHO_DCO_WH
D_2013.2_eng.pdf?ua=1.
Wijaya, I., & Siregar, P. 2013. Hypertensive Crises in the Adolescent: Evaluation
of Suspected Renovascular Hypertension. Acta Medica
Indonesiana – The Indonesian Journal of Internal Medicine. 49 –
54.