Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

I,1 Latar Belakang

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama


disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau
spasme atau kombinasi keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada.
Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun,
apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung
koroner intensif yang semakin tersebar merata. Di negara yang sedang berkembang,
penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dan menjadi masalah
kesehatan utama di dunia (Setyani, 2009).
PJK merupakan sosok penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi
masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Hasil survei yang
dilakukan Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi PJK di Indonesia
dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan sekarang (tahun 2000-an) dapat
dipastikan, kecenderungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dari penyakit
infeksi ke penyakit kardiovaskular (antara lain PJK) dan degenerative ( Abdul, 2008)
Menurut ESC (European Society Of Cardiology), prevalensi angina pada
kelompok studi populasi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Untuk
kelompok wanita, prevalensinya 0.1-1 % pada usia 45-54 tahun hingga 10-15% pada
usia 65-74 tahun. Sedangkan pada kelompok laki-laki, prevalensinya 2-5 % pada usia
45-54 tahun hingga 10-20% pada usia 65-74 tahun. Untuk itu, dapat diperkirakan
bahwa 20.000-40.000 per 1 juta populasi penduduk di Eropa mengalami angina.(ESC,
2006)
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyakit kardiovaskular
menyebabkan 17,5 juta kematian di seluruh dunia, tercatat bahwa lebih dari 7 juta
orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini diperkirakan
meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia, berdasarkan data
survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1000
penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat sekitar 400 ribu
penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi pembunuh nomor
satu di dalam negeri dengan tingkat kematian mencapai 26% (Nerida, 2009)

I.2. Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang diatas, penyakit jantung koroner menjadi suatu
penyakit yang penting, sehingga tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui definisi, faktor resiko, diagnosis, dan penanganan dari kasus PJK.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah
penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan
tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis, emboli
koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak
(99%) maka pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas penyebab tersebut
(Majid, 2007).
Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas
pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang
disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika
media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling sering adalah
pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio
carotis.

II.2 Klasifikasi
Penyakit jantung koroner dapat terdiri dari:
1. Angina pektoris stabil (APS)
Sindroma klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada, rahang,
bahu, punggung ataupun lengan, yang biasanya oleh kerja fisik atau stres
emosional dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau dengan obat
nitrogliserin.(Barita, 1997)
2. Sindroma Koroner Akut (SKA)
Sindroma klinik yang mempunyai dasar patofisiologi, yaitu berupa adanya
erosi, fisur atau robeknya plak arterosklerosis sehingga menyebabkan
trombosis intravaskular yang menimbulkan ketidakseimbangan pasokan
dan kebutuhan oksigen miokard.(Barita, 1997)
Yang termasuk SKA adalah :
a) Angina pektoris tidak stabil (UAP, unstable angina pectoris), yaitu:
o Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina
cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.
o Pasien dengan angina yang bertambah berat, sebelumnya angina stabil,
lalu serangan angina muncul lebih sering dan lebih lama ( >20 menit),
dan lebih sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan
o Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat (Abdul, 2008)
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American
Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI) ialah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda
kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien
mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-
MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya
depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang
negatif.(Trisnohadi, 2007)
b) Infark miokard akut (IMA), yaitu
Nyeri angina yang umunya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau
lebih). IMA bisa berupa Non ST elevasi infark miokard (NSTEMI) dan ST
elevasi miokard infark (STEMI).(Trisnohadi, 2007)

II.3 Faktor Resiko (Setyani, 2009; Bahri, 2005)


1. Lipid
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat
dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas
terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein,
75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL)
dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density
liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran
yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan
insiden PJK.
Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat
serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol :
> 160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi
dengan pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar
32 %, pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari
kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.
Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa
asam lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar
trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga
mempunyai efek protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah
vitamin C dan E sebagai anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada
plak.

Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol

2. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit
jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan
kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan
mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan
risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian
akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan kebiasaan
merokok. Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada
populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 %
laki-laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi
perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja,
terutama pada remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan tinggal
bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30
% dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko
terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang
merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki resiko sebesar dua
hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum untuk mengalami
kejadian PJK.
Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks,
diantaranya :
a. Timbulnya aterosklerosis.
b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri
koroner)
c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
d. Provokasi aritmia jantung.
e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.
g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu
tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti.
Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit
saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung
kencing dan penurunan kesegaran jasmani.
Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit
kontroversinya dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian
secara acak tentang kebiasaan merokok telah dilakukan pada program
prevensi primer dan membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler
sebanyak 7-47% pada golongan yang mampu menghentikan kebiasaan
merokoknya dibandingkan dengan yang tidak. Oleh karena itu saran
penghentian kebiasaan merokok merupakan komponen utama pada program
rehabilitasi jantung koroner.

3. Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko
peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban
penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham
menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal,
akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro
vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia.
Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan
menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan ,
pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.

Tabel 2. Klasifikasi Berat Badan Menurut Index Masa Tubuh

4. Diabetes Mellitus
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif,
lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia
yang sesuai.
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi
pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial
dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan
terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan
metabolisme otot jantung.
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga
empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait
dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya
resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun
sebelumnya. Sumber lain mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus
berisiko lebih besar (200%) untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari
pada individu yang tidak diabet.

Other

non
ischemic

Gambar 6. Potential mechanisms linking diabetes mellitus to heart failure


Sumber : Cardiovascular Diabetology – by : Christophe
Bauters, Januari 2003.
Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK,
juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas,
hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat
adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery
bypass grafting (CABG) jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita
diabetes, dan pasien diabetic memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko
stenosis berulang pasca angioplasty koroner.

5. Riwayat Keluarga
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting
dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit
jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen
tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya
aterosklerotik.
Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan
darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent
untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar
dari pada populasi control. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya
predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat
keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga
dekat.
The Reykjavik Cohort Study menemukan bahwa pria dengan riwayat
keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk
menderita PJK (RR=1,75; 95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat
keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk
menderita PJK (RR=1,83; 95% CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang
tidakmempunyai riwayat PJK.
6. Hipertensi Sistemik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti
dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit
jantung koroner di RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan” menyimpulkan
bahwa 4 (empat) faktor risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p <
0,05) adalah tekanan darah (hipertensi), umur, riwayat PJK pada orang tua
dan olah raga.
Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah,
untuk setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK
berkurang sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya
terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi.
Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi
ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada
akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium.
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan
darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan
oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi.
Penelitian Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan PJK 4 – 5 kali
pada penderita usia lanjut.
Gambar 7. Pengaruh Hipertensi Pada Jantung

7. Hiperhomosistein
Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah
ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya trombosis dan
penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan lagi
kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko yang lain
seperti kebiasaan merokok dan hipertensi.
Lebih dari 31 penelitian kasus kontrol dan potong lintang yang
melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan hiperhomosisteinemia pada 30
% sampai 90 % penderita aterosklerosis dan berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit jantung koroner.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Irawan dkk,
tentang “Hiperhomosisteinemia sebagai faktor risiko PJK” yang dilakukan di
RS Sardjito –Yogyakarta dengan desain penelitian kasus kontrol, pada n case
50 orang dan n control 50 orang, didapatkan 74% penderita PJK dari
kelompok kasus dan 36% penderita PJK dari kelompok kontrol.
Hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap
terjadinya PJK (OR 5,06; 95% CI: 2,15-11,91; p<0,01)
Tabel 3. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001).


Majalah Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1.
II.4 Patogenesis Pembentukan Plak aterosklerosis
Disfungsi endotel merupakan proses primer terjadinya arterosklerosis yang
dapat disebabkan baik karena bahan kimia maupun stress hemodinamik akan
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Akibat terjadinya disfungsi endotel maka
akan menyebabkan (1) rusaknya peran endotel sebagai permeability barier, (2)
melepaskan sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi molekul adhesi yang
merekrut leukosit, (4) mengganggu pelepasan substansi vasoaktif ( prostasiklin,
NO), dan (5) mengganggu antitrombus. Efek yang tidak diinginkan ini menjadi dasar
terjadinya arteroslerosis.(lily, 2007)

Disfungsi endotelium menyebabkan endotel tidak lagi memiliki barier yang


dapat menghambat masuknya lipoprotein ke dalam pembuluh darah arteri.
Peningkatan permeabilitas dari endotel membuat LDL masuk ke intima,selanjutnya
LDL akan terakomodasi di ruang subendotel dengan berikatan dengan matriks
ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan dioksidasi oleh ROS (Reactive
Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot
pembuluh darah sehingga menjadi mLDL (modified LDL). mLDL ini akan
merangsang rekrutmen dari leukosit ke ruang sub intima (terutama monosit dan
limfosit T) melalui 2 cara yaitu (1) ekspresi LAM ( leukocyte adhesion molecule)
pada pada permukaan endotel non adhesi, (2) signal kemoatraktan [MCP 1, IL 8,
interferon inducible protein – 10.(Lily, 2007)

Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit berdiferensiasi menjadi


makrofag dan memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada makrofag) dan
membentuk sel busa (foam cell). Sel busa menghasilkan beberapa faktor yang dapat
merekrut sel otot. Sebagai contoh sel busa menghasilkan platelet derived growth
factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari internal elastic
lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Sel busa juga
melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF α, IL-1, Fibroblast growth
factor, dan TGF β yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan
protein matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan
pelepasan sitokin yang mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya
sel otot yang menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan
fibrous cap dan deposisi matriks ekstraseluler ini sebenarnya merupakan proses
sintesis dan degradasi yang saling bergantian yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot
merangsang kolagen melalui TGF β dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu T-
lymphocyte derived cytokine IFN – γ menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut
sitokin akan merangsang sel busa untuk menghasilkan MMP (matrix
metalloproteinase) yang akan melemahkan fibrous cap sehingga mudah ruptur.
Proses sintesis dan degrasi ini terus berlanjut tanpa menyebabkan gejala. Kematian
dari sel otot dan sel busa baik karena stimulasi inflamasi yang berlebihan maupun
karena apoptosis menyebabkan lemak dan debris seluler membentuk lipid core.
Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal untuk stabilnya plak. Selain
itu deposisi dan distribusi fibrous cap merupakan hal yang penting dalam intergritas
plak, jika fibrous cap tebal maka plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita
sebut plak stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan cenderung menyebabkan
ruptur dari plak.(Lily, 2007)

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan


menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus.Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi
terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet melepaskan isi
granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan
pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan
terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang
intermiten, pada angina tak stabil. Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran
penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus
pembuluh darah dan meenyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme
seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%,
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.(Lily,
2007)

Adanya penyumbatan dari pembuluh darah koroner akan menyebabkan


terjadinya iskemi miokardial dimana akan (1) meningkatkan respon simpatis
sehingga menyebabkan diaforesis, peningkatan tekanan darah dan nadi, (2) disfungsi
otot papillary sehingga menyebabkan mitral regurgitasi, (3) penurunan compliance
diastol yang akan menyebabkan suara jantung S4 dan menyebabkan kongesti
pulmoner sehingga timbul rales, (4) penurunan fungsi sistolik yang menyebabkan
dyskinetic apical impulse.(Lily, 2007)

II.5 Tatalaksana

Tujuan penanganan adalah:

a. Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara


cepat dan penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/ mengurangi
nyeri dan pencegahan atau penanganan henti jantung.
b. Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk
membatasi proses infark serta mencegah perluasan infark serta menangani
komplikasi segera seperti gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.
c. Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang timbul
selanjutnya.
d. Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya progresi penyakit arteri
koroner, infark baru, gagal jantung, dan kematian.(Irmalita, 2009)
Penanganan kegawat daruratan (lihat Guideline AHA 2010 di bawah)
a. Tatalaksana awal:
 Oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan > 90%).
 Aspirin 160mg (dikunyah).
 Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri.
 Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.(Irmalita, 2009)
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi).
 Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
 Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
 Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
 Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum 4000u,
dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48 jam dengan maksimum 1000
u/ jam dengan target aPTT 50 – 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah
terapi dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-
pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada
laki-laki atau < 2 mg/ dl pada wanita).(Irmalita, 2009)
Terapi fibrinolitik.
Dianjurkan pada:
a. Presentasi ≤ 3jam.
b. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat.
c. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik.(Irmalita, 2009)

Kontraindikasi fibrinolitik:

a. Kontraindikasi absolut:
 Riwayat perdarahan intracranial apapun.
 Lesi structural cerebrovaskular.
 Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).
 Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
 Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
 Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.
 Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi). (Irmalita, 2009)
b. Kontraindikasi relatif:
 Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
 Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial
selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolute.
 Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar
< 3 minggu.
 Perdarahan internal dalam2-4 minggu terakhir.
 Terapi antikoagulan oral.
 Kehamilan.
 Non compressible punctures.
 Ulkus peptikum aktif.
 Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya
(>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut. (Irmalita, 2009)

Antitrombin Kontraindikasi
Terapi awal
terapi spesifik

Streptokinase(SK) 1,5 juta unit/ Dengan atau Riwayat SK


100ml D5% tanpa heparin atau
atau NaCl iv selama 24 – anistreplase
0,9% selama 48 jam
30 – 60 menit.

Alteplase(tPA) 15 mg iv bolus Heparin iv


0,75 mg/ kg selama 24 –
BB selama 30 48 jam
menit
kemudian 0,5
mg/ kg BB
selama 60
menit iv.
Dosis total
tidak melebihi
100mg
Percutanous coronary intervention (PCI)
a. PCI primer.
Dianjurkan pada:
 Presentasi ≥ 3jam.
 Tersedia fasilitas PCI.
 Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit.
 (Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi (waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1jam.
 Terdapat kontraindikasi fibrinolitik.
 Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip 3).
 Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan. (Irmalita, 2009)

b. PCI kombinasi dengan fibrinolitik.


Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI tidak
dapat dilakukan dengan segera dan pada pasien dengan risiko perdarahan rendah.
Pada tindakan ini tidak dianjurkan menggunakan penghambat reseptor GPIIb/ IIIa
dengan dosis penuh. (Irmalita, 2009)

c. Rescue PCI.
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada pasien dengan infark luas
dengan:
 Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia.
 Keluhan iskemik yang berkepanjangan.
 Syok kardiogenik.

Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana rescue
PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus
dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau tirofiban. Pemilihan stent pada PCI
primer atau rescue PCI adalah Bare metal stent (BMS). (Irmalita, 2009)
Tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft)
Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibandingkan dengan pengobatan,
pada keadaan :
a. Stenosis yang signifikan ( ≥ 50 %) di daerah left main (LM)
b. Stenosis yang signifikan (≥ 70 %) di daerah proksimal pada 3 arteri koroner
utama
c. Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk stenosis
yang cukup tinggi tingkatannya pada daerah proksimal dari left anterior
descending coronary artery.(Abdul, 2008)

II.6 Komplikasi

a. Aritmia supraventrikular
Takikardia sinus merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal ini
terjadi sekunder akibat sebab lain, masalah primer sebaiknya diobati pertama.
Namun, jika takikardi sinus tampaknya disebabkan oleh stimulasi simpatik
berlebihan, seperti yang terlihat sebagai bagian dari status hiperdinamik,
pengobatan dengan penghambat beta yang relatif kerja singkat seperti propanolol
yang sebaiknya dipertimbangkan.(Isselbacher, 2000)
b.Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan sesaat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari separuh
pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru
dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks
dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis
merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa
temua ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan /
atau penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat
efektif karena mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik
dan / diastolic. (Isselbacher, 2000)
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua pasien
dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel
distolik yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi farmakologik
sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama atau
simptomatik. Terapi antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia ventrikel
yang penting secara klinis, dikontra indikasikan karena terapi seperti itu dapat
dengan jelas meningkatkan mortalitas selanjutnya. (Isselbacher, 2000)

II,7 Prevensi
a. Pencegahan Primer.(Abdul, 2008)
b. Pencegahan sekunder (Abdul, 2008)
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama


disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme
atau kombinasi keduanya. Faktor resiko meliputi dislipidemia, diabetes, merokok,
hipertensi, keturunan, hemosistein.
Aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) PJK. Arterosklerosis pada
dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas pembentukan fibrolipid dalam
bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang disebut ateroma yang terdapat
didalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika media.
Aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri dapat bersifat sebagai plak yang
vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu penyakit jantung koroner memberikan
dua manifestasi klinis penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil.
Akut Koroner Sindrom dapat sebagai STEMI maupun NSTEMI/UAP.
Penyakit jantung koroner memberikan gejala berupa angina. Angina merupakan
nyeri dada iskemik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokard dengan penyediannya (UAP; crecendo angina, angina stabil; decrecendo
angina). Akut Koroner Sindrom dapat didiagnosis, 2 dari 3 hal berikut yaitu nyeri dada
angina, perubahan EKG dan peningkatan enzim jantung.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Majid. Penyakit Jantung Koroner : Patofisiologi, Pencegahan, dan


Pengobatan Terkini. 2008.
2. ESC. Guidelines on the management of stable angina pectoris. 2006; 5
3. Nerrida S. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSUP
H. Adam Malik. 2009.
4. Sri Damai. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSU
Dr. Pirngadi Medan. 2009.
5. Barita S, Irawan J S. Gagal Jantung. In : Lily I R, Faisal B, Santoso K, Poppy S R,
ed. Buku Ajar Kardiologi, 1997; 115.
6. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty. Edisi Keempat. Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams
& Wilkins, 2007; 225-243.
7. Trisnohadi, Hanafi B. Angina Pektoris Tak Stabil. In : Aru W S, Bambang S,
Idrus A, Marcellus S K, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007;1626-
1623.
8. Irmalita, dkk. Tatalaksana SIndroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST.
In: Irmalita, dkk, ed. Standard Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-16
9. Isselbacher, J Kurt. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 3. Jakarta : EGC.
TUGAS
“Penyakit Jantung Koroner”

FITRI ANJAR SARI RAUF


151 2017 0094

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDINESIA
MAKASSAR
2018

Anda mungkin juga menyukai