Oleh :
AZIZ ANINUR RAHMAN
NIM. 135130107111004
Oleh :
AZIZ ANINUR RAHMAN
NIM. 135130107111004
Menyetujui,
Komisi Pembimbing PKL
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
ii
KATA PENGANTAR
iii
8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 FKH UB khususnya kelas A
atas cinta, persahabatan, semangat, inspirasi, keceriaan dan mimpi-
mimpi yang luar biasa.
9. drh Rama, drh Yani, drh Desi, Pak Afdal, Pak Didik dan Bu Rina yang
telah membimbing saya selama PKL di Laboratorum Virologi BBVET
Wates Yogyakarta.
10. Seluruh kolega di Program Studi Kedokteran Hewan FKH UB yang
selalu memberikan semangat, inspirasi, dan mimpi-mimpi luar biasa.
Penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan
bantuan telah diberikan kepada penulis. Penulis sadar bahwa laporan ini jauh dari
sempurna. Penulis berharap semoga laporan Praktek Kerja Lapang ini dapat
digunakan sebagaimana mestinya, dapat memberikan manfaat serta menambah
pengetahuan tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pembaca, Aamiin.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 3
1.3 Tujuan............................................................................................... 3
1.4 Manfaat.............................................................................................. 4
v
5.1.3 Tugas dan Fungsi Balai Besar Veteriner Wates
Yogyakarta...................................................................................27
5.1.4 Struktur Organisasi Balai Besar Veteriner Wates
Yogyakarta................................................................................. 28
5.1.5 Laboratorium Virologi Balai Besar Veteriner Wates
Yogyakarta................................................................................ 29
5.2 Deteksi Virus Newcastle Disease Menggunakan Uji
Hemagglutination-Hemagglutination Inhibition di Laboratorium
Virologi Balai Besar Veteriner Wates................................................. 32
5.2.1 Persiapan Sampel.................................................................... 32
5.2.2 Inokulasi Virus dalam Telur Ayam Berembrio...................... 34
5.2.3 Pemanenan Cairan Allantois dan Uji Hemagglutination
Kualitatif................................................................................... 37
5.2.4 Uji Hemagglutination Kuantitatif............................................... 38
5.2.5 Pengenceran Titer Antigen dan Uji Hemagglutination Back
Titration..................................................................................... 40
5.2.6 Uji Hemagglutination Inhibition Serotyping.......................... 42
5.2.7 Interpretasi Hasil Uji Hemagglutination dan
Hemagglutination Inhibition terhadap Masyarakat.................... 45
5.2.8 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Uji Hemagglutination
dan Hemagglutination Inhibition.............................................. 45
BAB VI PENUTUP............................................................................................ 48
6.1 Kesimpulan....................................................................................... 48
6.2 Saran.................................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 49
LAMPIRAN....................................................................................................... 53
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 5.3 Kriteria TAB yang tidak dapat digunakan untuk inokulasi... 35
Gambar 5.6 Perbandingan TAB yang mati dan yang masih hidup.......... 37
viii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
AI : Avian Influenza
APMV : Avian Paramyxovirus
Apr : April
BBVET : Balai Besar Veteriner Wates
BSC : Biosafety Cabinet
BSL : Biosafety Level
CNS : Central Nervous System
CRD : Chronic Respiratory Disease
Des : Desember
ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
FAT : Flourescent Antibody Technique
Feb : Februari
HA : Hemagglutination
HI : Hemagglutination Inhibition
IB : Infectious Bronchitis
ICPI : Intracerebral Pathogenicity Index
ILT : Infectious Laryngo Tracheitis
IVPI : Intravenous Pathogenicity Index
Jan : Januari
Mar : Maret
MDT : Mean Death Time
ml : Mililiter
ND : Newcastle Disease
NDV : Newcastle Disease Virus
Nov : November
OIE : Office International des Epizootie
Okt : Oktober
ix
PBS : Phosphate-Buffered Saline
PDB : Produk Domestik Bruto
pH : Potential of Hydrogen
PKL : Praktek Kerja Lapang
PMV : Paramyxovirus
RBC : Red Blood Cell
RNA : Ribonucleic Acid
RT-PCR : Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction
SAN : Specific Antibody-Negative
Sep : September
SN : Serum Neutralization
SPF : Specific Pathogen-Free
TAB : Telur Ayam Berembrio
VN : Virus Neutralization
VNND : Velogenic Neurotropic Newcastle Disease
VVND : Velogenic Viscerotropic Newcastle Disease
μl : mikro liter
- : Sampai
% : Persen
/ : Atau
°C : Derajat celcius
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tabel 1.1 Populasi ternak unggas tahun 2014-2015.
Populasi Ternak Unggas (dalam ribuan ekor)
2000000
1600000
1200000
800000
400000
0
Ayam Ras
Ayam Buras Ayam Ras Petelur
Pedaging
Tahun 2014 275116 146660 1443349
Tahun 2015 285304 155007 1528329
2
lain adalah uji Hemagglutination (HA), Hemagglutination Inhibition (HI),
netralisasi virus, Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-
PCR), dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Quinn et al., 2002).
Uji HA-HI merupakan uji yang telah digunakan secara luas dalam
mengidentifikasi ND secara serologi, kegunaannya dalam diagnosis tergantung
pada status kekebalan vaksin dari unggas yang akan diuji dan juga kondisi
penyakit yang berlaku (OIE, 2012). Metode HA-HI tersebut telah digunakan di
Laboratorium Virologi Balai Besar Veteriner (BBVET) Wates Yogyakarta
untuk mengidentifikasi kasus ND. BBVET Wates merupakan Unit Pelaksana
Teknis berupa laboratorium pengujian dari Direktorat Jenderal Peternakan
yang bertanggung jawab melaksanakan pengamatan penyakit hewan untuk
wilayah Jawa dan Madura. Bidang pelayanan yang terdapat pada BBVET
Wates meliputi epidemiologi, parasitologi, patologi, virologi, serologi,
bakteriologi, kesmavet dan biologi molekuler dengan berbagai macam
pengujian laboratorium seperti uji HA-HI, ELISA, PCR, Imunohistokimia dan
pengujian lainnya. Sehingga berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan
sebelumnya maka kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini dilaksanakan
dengan tujuan untuk mengetahui metode deteksi ND pada ayam menggunakan
uji HA-HI.
1.3 Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Lapang ini adalah:
1. Mengetahui cara mendeteksi virus ND pada ayam menggunakan uji HA-HI.
2. Mengetahui cara interpretasi hasil uji HA-HI dalam mengidentifikasi virus
ND.
3
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh oleh dalam kegiatan Praktek Kerja
Lapang (PKL) di Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta ini adalah:
1. Pihak Mahasiswa
Sebagai kesempatan bagi mahasiswa pelaksana PKL untuk memadukan
teori yang telah didapatkan di perkuliahan dengan praktek kerja yang
sebenarnya pada saat berada di lapangan sehingga dapat melatih
kemandirian dan adaptasi dengan lapangan kerja.
2. Pihak Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta
Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pihak Balai Besar Veteriner
Wates Yogyakarta sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja selanjutnya.
3. Pihak Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
Dapat meningkatkan hubungan kemitraan antara Balai Besar Veteriner
Wates Yogyakarta dengan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya, serta memberikan informasi terbaru yang akan dapat digunakan
sebagai bahan perkuliahan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Menurut OIE (2012), penularan virus ND dapat terjadi secara langsung
antar ayam dalam satu kelompok ternak tertular. Sumber virus biasanya berasal
dari ekskreta ayam terinfeksi baik melalui pakan, air minum, lendir, feses,
maupun udara yang tercemar virus, peralatan, dan pekerja kandang.
Patogenisitas virus ND dipengaruhi oleh galur virus, rute infeksi, umur ayam,
lingkungan, dan status kebal ayam saat terinfeksi virus. Selama sakit, ayam
mengeluarkan virus dalam jumlah besar melalui feses (Kencana dkk., 2012).
Tabel 2.1 Jenis-jenis unggas sebagai induk semang dari masing-masing serotipe
zzzzzzzzz.Paramyxovirus.
Prototipe Induk Semang
Keadaan Penyakit
Virus Primer Sekunder
Ayam dan
PMV-1 Berbagai jenis Berakibat luas, dengan berbagai gejala
berbagai jenis
(NDV) unggas (berat)
Unggas
Burung Gereja, Ayam, betet, Gejala pernafasan, produksi telur
PMV-2
kalkun rails turun, komplikasi
Kalkun Tidak ada Gejala pernafasan, produksi telur turun
PMV-3
Betet Burung Gereja Infeksi tidak diketahui
Tidak tampak gejala klinis pada itik
PMV-4 Itik Angsa, rails
komersial
PMV-5 Bugerigars Tidak ada Infeksi tidak diketahui
6
Pada itik dan angsa tidak tampak
PMV-6 Itik, angsa Kalkun gejala klinis, pada kalkun gejala
pernafasan dan produksi telur turun
Merpati dan
PMV-7 Tidak ada Infeksi tidak diketahui
sebangsanya
PMV-8 Itik, angsa Tidak ada Infeksi tidak diketahui
Tidak tampak gejala klinis pada itik
PMV-9 Itik Tidak ada
komersial
(Saepulloh dan Darminto, 2005)
Serotipe yang paling penting dan paling patogen pada ayam adalah
Paramyxovirus-1 (dengan prototipe Newcastle Disease Virus (NDV) yang
merupakan penyebab penyakit tetelo pada ayam), Paramyxovirus-2 dan
Paramyxovirus-3. Serotipe lainnya yaitu Paramyxovirus-4, Paramyxovirus-5,
Paramyxovirus-6, Paramyxovirus-7, Paramyxovirus-8 dan Paramyxovirus-9
pada umumnya menyerang itik, angsa, merpati, betet, dan beberapa jenis
burung lainnya (Saepulloh dan Darminto, 2005).
Gambar 2.1 Gambaran skematis struktur virus Newcastle Disease (Pudjiatmoko, 2014).
Virus ND memiliki diameter kurang lebih 150 nm, dengan amplop dan
kapsid berbentuk heliks yang simetris sebagaimana dapat dilihat pada Gambar
2.1. Virus ND atau avian paramyxovirus serotipe 1 (APMV-1) adalah Virus
RNA dengan total panjang genom sekitar 15,2 kb menyandi 6 protein struktural
penting dan 2 protein non struktural penting (Cao et al., 2013). Protein
struktural penting pada virus ND yakni Nucleocapsid (N), Phosphoprotein (P),
Matrix (M), Fusion (F), Hemagglutinin-Neuraminidase (HN) dan RNA-
7
dependent RNA polymerase (L). Ada dua protein penting pada virus ND, yakni
HN dan F (Pudjiatmoko, 2014; Saepulloh dan Darminto, 2005). Protein W dan
V adalah protein tambahan pada virus ND yang dibuat dalam gen P selama
proses penyisipan guanin pada trankripsi mRNA (Linde et al., 2011).
8
Di dalam saluran pencernaan terdapat banyak enzim protease yang
mempengaruhi replikasi virus ND. Keberadaan protease pada beberapa bagian
saluran pencernaan dapat mengaktifkan virus ND bentuk tidak virulen setelah
virus tersebut dilepaskan dari sel yang kekurangan enzim protease. Enzim
protease ekstraseluler, seperti tripsin, diperlukan untuk pembelahan protein
fusi untuk memungkinkan virus melakukan replikasi multi-siklus. Oleh karena
itu, strain NDV paling avirulen tidak bisa berreplikasi dalam sel tanpa adanya
tripsin, seperti strain LaSota, V4 dan Clone-30 (Wen et al., 2015). Sedangkan
virus bentuk virulen tidak selalu memerlukan enzim protease dan replikasi
virus biasanya terjadi di sebagian besar jaringan induk semang. Antigen virus
ND dideteksi pada sebagian besar sel epitel saluran pencernaan serta limfosit
dan makrofag ditemukan pada lamina propia beberapa jaringan. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa tempat awal replikasi virus ND terutama
terjadi di saluran pencernaan bagian atas yaitu esofagus, tembolok dan
proventrikulus apabila virus ND diinfeksikan melalui mulut, sedangkan
replikasi virus ND pada saluran pencernaan bagian bawah yaitu duodenum,
jejunum, ileum dan caecum kemungkinan terjadi sebagai akibat viremia
(Hewajuli dan Dharmayanti, 2011).
Salah satu aktivitas biologis virus ND adalah dapat mengaglutinasi sel
darah merah semua amphibi, reptilia, manusia, tikus dan marmot. Sel darah
merah sapi, kambing, domba, babi dan kuda juga dapat diaglutinasi virus ND
tergantung pada strain virus (Alexander dan Senne, 2008). Mekanisme
terbentuknya hemaglutinasi sel darah merah oleh virus ND dengan reseptor sel
disebabkan adanya ikatan antara protein hemagglutinin pada virus ND dengan
reseptor yang ada dipermukaan sel darah merah, yaitu suatu mukoprotein yang
terdapat pada permukaan eritrosit (MacLahlan dan Dubovy, 2011).
9
lain, stress lingkungan dan status vaksinasi (OIE, 2013). Gejala klinis yang
sering teramati dari penyakit ND pada ayam adalah tortikolis dan
pembengkakan serta hemoragi pada daerah mata dan sekitarnya (Gambar 2.2).
Berdasarkan gejala klinisnya, maka virus ND dapat dibedakan menjadi bentuk
velogenik, mesogenik, dan lentogenik. Bentuk velogenik dari penyakit ini
mencakup gejala pernafasan, pencernaan dan saraf. Gejala pernafasan yang
terlihat seperti paruh terbuka, terdengar suara seperti tercekik, ngorok dan
batuk. Pada gejala pencernaan tinja terlihat berubah menjadi encer dan
berwarna kehijauan. Gejala saraf pada ayam berupa tremor otot, tortikolis, dan
kelumpuhan sayap dan kaki. Mortalitas dari bentuk velogenik dapat mencapai
100% pada ayam muda. Pada bentuk mesogenik gejala pernafasan terlihat pada
ayam muda serta penurunan produksi telur pada ayam dewasa. Bentuk
velogenik dari penyakit ND biasanya tidak disertai gejala klinis pada ayam
dewasa (Alexander dan Senne, 2008).
a b c
Gambar 2.2 Beberapa gejala klinis pada ayam. a) Tortikolis, b) Pembengkakan dan
zzzzzzzzzzzzzhemoragi pada daerah mata, c) pembengkakan pada kelopak mata.
zzzzzzzzzzzzz(Pudjiatmoko, 2014).
10
2. Bentuk Beach's yang bersifat akut dan ganas pada ayam semua umur.
Gejala yang timbul pada kasus ini adalah gangguan pernafasan dan
saraf. Bentuk ini disebut juga Velogenic Neurotropic Newcastle
Disease (VNND).
3. Bentuk Beaudette's bersifat kurang patogenik. Kematian terjadi pada
ayam berusia muda. Virus yang menyebabkan penyakit pada kelompok
ini adalah kelompok mesogenik.
4. Bentuk Hitchner's biasanya menyebabkan infeksi pernafasan ringan
atau tanpa gejala klinis. Virus yang menyebabkan penyakit pada kasus
ini adalah kelompok lentogenik.
5. Bentuk Asimtomatik-enterik terkait infeksi usus sub-klinis oleh strain
lentogenik yang menyerang saluran pencernaan dengan tanda yang
tidak spesifik.
11
pernafasan. Selain itu juga ditemukan perubahan berupa ptechiae pada
perikard, subpleura, tembolok dan usus (Pudjiatmoko, 2014).
Menurut Spickler (2016), secara signifikan gross lesi hanya ditemukan
pada unggas yang terinfeksi strain velogenik. Beberapa perubahan patologi
anatomi tersebut antara lain:
1. Kepala atau daerah periorbital mungkin bengkak dan jaringan
interstitial leher dapat mengalami edema, terutama di dekat thoraks
inlet.
2. Kongesti atau hemoragi dapat ditemukan di kaudal faring dan mukosa
trakea, dan membran difteritik kadang-kadang terjadi pada orofaring,
trakea dan esofagus.
3. Ptechiae dan ekimoses dapat dilihat pada mukosa proventrikulus,
seperti pada Gambar 2.3.
4. Perdarahan, ulkus, edema dan/atau nekrosis sering terjadi di caeca
tonsil dan jaringan limfoid dari dinding usus (termasuk Peyer Patch),
seperti pada Gambar 2.3. Lesi ini khusus sugestif pada penyakit ND.
5. Hemoragi timus dan bursal juga dapat terjadi, tetapi lebih sulit untuk
melihat keadaan tersebut pada hewan yang lebih tua. Limpa dapat
membesar, gembur dan merah gelap atau belang-belang.
6. Nekrosis pankreas dan edema paru dapat ditemukan di beberapa
unggas. Ovarium sering terjadi edema atau degenerasi, dan berisi
perdarahan.
7. Beberapa burung, terutama yang mati mendadak, memiliki sedikit atau
tidak ada gross lesi. Lesi serupa telah dilaporkan di angsa, kalkun,
burung dan spesies lainnya yang terinfeksi ND. Dalam eksperimen
menggunakan guinea yang terinfeksi, satu-satunya lesi signifikan
adalah perdarahan di ujung proventrikulus dan di caeca tonsil. Pada
ayam yang terinfeksi dengan strain yang kurang ganas, lesi mungkin
terbatas pada kongesti dan eksudat berlendir pada saluran pernapasan
serta adanya penebalan kantong udara. Lesi lebih parah dapat dilihat
pada unggas yang juga terkena infeksi sekunder.
12
a b c
Gambar 2.3 Perdarahan pada proventrikulus dan ventrikulus (a), usus halus (b) dan seka
zzzzzzzzzzzzz tonsil (c) (Prasetyo dkk., 2014).
Gambar 2.4 Histopatologi otak (kiri) dan seka tonsil (kanan). Terlihat
zzzzzzzzzzzzzzzEncephalomyelitis dengan agregasi sel mononuklear yang ditunjukkan
zzzzzzzzzzzzzzzdengan panah hitam. Sedangkan pada seka tonsil dapat diamati adanya
zzzzzzzzzzzzzzzhemoragi dan kongesti pada mukosa tonsil yang ditunjukkan panah C-1
zzzzzzzzzzzzzzzdan C-2, nekrosis yang terlihat pada jaringan limfoid ditunjukkan oleh
zzzzzzzzzzzzzzzpanah D (Mathias, 2010).
13
Perubahan regeneratif ditemukan pada sistem limfopoetik yang terdiri
dari hilangnya jaringan limfoid, hiperplasia pada sel mononuklear fagosit di
beberapa organ terutama pada liver dan area nekrosis pada limpa. Menurut
Mohammadamin dan Qubih (2011), fokal vakuolasi dan deplesi limfoid dapat
diamati pada area korteks dan germinal pusat dari limpa dan timus (Gambar
2.5).
Gambar 2.5 Histopatologi limpa (kiri) dan timus (kanan) perbesaran 100x. Dapat diamati
zzzzzzzzzzzzadanya deplesi limfoid pada limpa yang ditunjukkan panah biru. Sedangkan
zzzzzzzzzzzzpada timus, deplesi limfoid yang parah terjadi pada korteks (A) maupun
zzzzzzzzzzzzmedulla (B) (Mohammadamin dan Qubih, 2011).
14
Virus (VN test) dengan serum kebal terhadap ND. Bila salah satu dari
kedua uji tersebut positif dapat dipastikan bahwa isolat yang diperiksa
adalah ND.
b. Pemeriksaan serologi. Adanya antibodi dalam tubuh diuji dengan uji
HI, uji Serum Neutralization (SN) dan Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA). Pada uji HI, jika rata-rata titer antibodi yang terukur
lebih besar atau sama dengan 64 menunjukkan hewan kebal, sedangkan
rata-rata titer ukur kurang dari 64 perlu dilakukan pengulangan
vaksinasi. Indeks Neutralisasi lebih dari 4 menunjukkan hewan kebal,
sedangkan kurang dari 2 serum tidak memberi perlindungan. Pada
ELISA hewan dinyatakan kebal jika memiliki titer antibodi ≥ 2.290.
c. Pengujian adanya antigen dapat dilakukan pula dengan uji Flourescent
Antibody Technique (FAT) atau dengan Rapid Test.
Selain itu, dapat juga menggunakan Reverse-Transcriptase Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR) yang kini merupakan uji yang sering digunakan
untuk menentukan diagnosa Avian Influenza (AI) maupun ND. Intracerebral
Pathogenicity Index (ICPI) juga dapat digunakan untuk menentukan diagnosa
penyakit ND dimana kebanyakan virus ND yang virulen akan terindikasi
dengan nilai maksimum 2.0, sedangkan strain lentogenic dan asymptomatic
akan menunjukkan nilai mendekati 0.0. Nilai-nilai tersebut didasarkan dari
pengamatan pada 10 burung tiap 24 jam selama 8 hari pasca diinjeksikannya
virus ND melalui intracerebral. Selama selang waktu 8 x 24 jam, burung yang
mati akan bernilai 0, bernilai 1 apabila sakit dan bernilai 2 apabila sehat.
Kemudian nilai yang didapatkan dari 10 burung dirata-ratakan sehingga akan
didapatkan index nilai patogenesitas intracerebral atau ICPI (Chaka et al.,
2013; OIE, 2012). Intravenous Pathogenecity Index (IVPI) juga merupakan
metode untuk mendiagnosa patogenesitas virus ND. Perbedaan antara ICPI dan
IVPI hanya berdasarkan tempat injeksi dan lama pengamatan dari virus ND,
dimana ICPI melalui intracerebral selama 8 hari sedangkan IVPI melalui
intravenous selama 10 hari. Selain ICPI dan IVPI, juga terdapat metode untuk
mendeteksi virus ND melalui patogenesitasnya, yakni Mean Death Time
15
(MDT). MDT adalah rata-rata waktu dalam jam yang dibutuhkan virus ND
untuk membunuh seluruh embrio yang diinokulasikan dengan dosis letal yang
minimal. MDT sering digunakan untuk mengklasifikasikan virus ND menjadi
velogenic (membutuhkan waktu 60 jam untuk membunuh embrio), mesogenic
(60-90 jam) dan lentogenic (lebih dari 90 jam) (OIE, 2012).
Kini penggunaan RT-PCR dan teknik serupa lainnya selain untuk
penentuan virulensi virus ND atau untuk studi filogenetik, telah ada laporan
peningkatan penggunaan teknik molekuler untuk mendeteksi NDV di spesimen
klinis, dengan keuntungan pendeteksian yang sangat cepat dari keberadaan
virus. Kehati-hatian perlu diperhatikan dalam pemilihan sampel klinis karena
beberapa penelitian telah menunjukkan kurangnya sensitivitas dalam
mendeteksi virus di beberapa organ dan terutama di feses (Creelan et al., 2002;
Nanthakumar et al., 2000.). Swab trakea atau orofaringeal sering digunakan
sebagai spesimen pilihan karena mudah untuk diproses dan biasanya
mengandung sedikit bahan organik asing yang dapat berinteraksi dengan
proses pemulihan dan amplifikasi RNA oleh PCR. Selain itu, sampel jaringan
dan organ dan bahkan tinja dapat digunakan dengan tingkat keberhasilan yang
berbeda. Sistem yang digunakan untuk mengekstraksi RNA juga akan
mempengaruhi keberhasilan proses RT-PCR pada spesimen klinis. Biasanya
sistem RT-PCR telah digunakan untuk memperkuat bagian tertentu dari genom
yang akan memberikan nilai tambah pendeteksian, misalnya dengan
memperkuat bagian dari gen F yang berisi situs pembelahan F0 sehingga
sampel dapat digunakan untuk menilai virulensi (Creelan et al., 2002).
16
menghalau penyakit tersebut (Darmawi dkk., 2015). Cara vaksinasi yang
telah biasa diaplikasikan adalah dengan cara suntik, semprot, tetes
mata/hidung, atau air minum dengan program vaksinasi yang sudah baku
dilakukan (Suryana, 2006).
Penggunaan vaksin aktif dan inaktif telah secara luas diterapkan
di bidang peternakan unggas. Priming vaksin aktif yang diberikan pada
minggu pertama dan dilakukan booster pada minggu ketiga telah banyak
digunakan di peternakan unggas di Indonesia. Demikian juga priming
vaksin aktif yang diberikan bersama-sama dengan vaksin inaktif pada
pada minggu pertama, kemudian dilakukan booster pada minggu ketiga
dengan vaksin aktif. Pemberian priming vaksin pada ayam umur satu hari
dengan menggunakan gabungan vaksin ND aktif-inaktif dan dilakukan
booster menggunakan ND aktif dapat memberikan proteksi terhadap
ayam hingga 70%, sedangkan pemberian priming pada umur satu hari
dengan vaksin ND aktif dan booster menggunakan ND aktif secara tetes
mata tidak menimbulkan proteksi terhadap ayam broiler yang dipapar
dengan virus ND velogenik yang berasal dari isolat lapangan (Wibowo
dkk., 2013).
17
tersebut adalah Phosphate-Buffered Saline (PBS) isotonik (0,01 M dengan pH
7,0-7,2) dan Red Blood Cell (RBC) diambil dari minimal tiga ekor ayam yang
Specific Pathogen-Free (SPF) dan ditambahkan larutan Alsever dengan
volume yang sama. Sel harus dicuci tiga kali dalam PBS sebelum digunakan
sebagai RBC 1% (v/v).
Prinsip uji HA adalah adanya virus yang dapat mengaglutinasi sel darah
merah. Aglutinasi terhadap sel darah merah dari ayam tidak hanya dapat
dilakukan oleh virus ND, tetapi beberapa mikroorganisme lain dapat pula
melakukan aktifitas hemaglutinasi. Mikroorganisme pada unggas yang dapat
melakukan aktifitas hemaglutinasi, yaitu famili Paramyxoviridae,
Orthomyxoviridae, Infectious Bronchitis (IB), mycoplasma dan adeno 127
(Quinn et al., 2011). Sedangkan uji HI merupakan kebalikan dari uji HA,
dimana menghambat reaksi aglutinasi sel darah merah dengan menggunakan
antiserum adalah dasar prinsip dari uji HI. Antiserum bereaksi dengan virus
dan mengikat epitop virus yang berfungsi untuk melakukan hemaglutinasi.
Epitop virus yang telah berikatan dengan antiserum menyebabkan epitop tidak
dapat mengikat sel darah merah, sehingga tidak terjadi aglutinasi. Bila
antiserum tidak sesuai atau tidak spesifik dengan virus, maka aglutinasi akan
terjadi (Wibowo dkk., 2013).
18
BAB III
METODE KEGIATAN
19
• Partisipasi Aktif
Partisipasi aktif dilakukan dengan mengikuti dan menjalankan seluruh
rangkaian proses deteksi ND pada ayam menggunakan uji HA-HI
sesuai dengan prosedur yang diterapkan pada Laboratorium Virologi
Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta dengan pengawasan.
b. Data Sekunder
• Studi Literatur
Studi literatur dilakukan sebagai media pembanding antara teori yang
didapat selama perkuliahan dengan keadaan sebenarnya di lapangan.
Studi literatur bisa dilakukan dengan mengambil informasi dari
referensi buku kesehatan dan peternakan, jurnal, maupun internet yang
berkaitan dengan permasalahan tentang deteksi ND pada ayam
menggunakan uji HA-HI. Studi literatur juga bisa dengan mengambil
informasi dari catatan medis dan laporan kejadian ND yang terdapat
pada Balai Besar Veteriner Wates.
Pelaksanaan PKL
20
3.4 Biodata Peserta PKL
Peserta yang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Balai Besar
Veteriner Wates Yogyakarta adalah:
Nama : Aziz Aninur Rahman
NIM : 135130107111004
Program Studi : Kedokteran Hewan
Universitas : Brawijaya
Alamat : Perum Cakalang Asri A4, Polowijen, Blimbing,
Malang
Telepon : 082230812195
Email : atsiz.bek@gmail.com
21
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN
22
9. Pembuatan PBS steril
3 Minggu ketiga 1. Peneropongan TAB
2. Inokulasi virus
3. Panen cairan allantois
4. Uji HA
5. Uji HI
6. Uji FAT Rabies
7. Nekropsi sapi
8. Seminar ilmiah
4 Minggu keempat 1. Peneropongan TAB
2. Inokulasi virus
3. Panen cairan allantois
4. Uji HA
5. Uji HI
5 Minggu kelima 1. Peneropongan TAB
2. Inokulasi virus
3. Panen cairan allantois
4. Uji HA
5. Uji HI
6. Presentasi paparan kegiatan PKL
7. Apel pelepasan kegiatan PKL
23
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Beberapa mikroorganisme yang termasuk dalam BSL III adalah
Mycobacterium tuberculosis, St. Louis encephalitis virus, Avian Influenza dan
Coxiella burnetii.
25
Wates meliputi Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Timur seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1.
26
kesehatan hewan dan kesehatan manusia serta kesehatan
lingkungan secara terpadu.
27
15. Pelaksanaan analisis resiko penyakit hewan dan keamanan produk
hewan di regional.
16. Pemantauan evaluasi pelaksanaan pelayanan kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat veteriner.
17. Pengkajian batas maksimum residu obat hewan dan cemaran mikroba.
18. Pemberian pelayanan teknis penyidikan, pengujian veteriner dan
produk hewan, serta pengembangan teknik dan metode penyidikan,
diagnosa dan pengujian veteriner.
19. Pelaksanaan pengembangan dan diseminasi teknik dan metode
penyidikan dan pengujian veteriner.
20. Pengembangan sistem dan diseminasi informasi veteriner.
21. Pengumpulan, pengolahan dan analisis data pengamatan dan
pengidentifikasian diagnosa, pengujian veteriner dan produk hewan.
22. Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai Besar Veteriner.
28
Sub Bagian RT dan Perlengkapan : Sunarto
Sub Bagian Keuangan : Retna Hariyati, SE
Kelompok Jabatan Fungsional : drh. Waluyo Budi Prijono,
MV.Sc
29
ruang lingkup pengujian. Laboratorium Virologi merupakan salah satu
laboratorium penguji di BBVET Wates yang secara struktur operasional
digabungkan bersama Laboratorium Serologi menjadi Laboratorium Serologi-
Virologi.
Struktur operasional Laboratorium Serologi-Virologi berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Balai Besar Veteriner Wates nomor:
22005/OT.050/F5.D/02/2016 adalah sebagai berikut:
Manajer Teknis : drh. Tri Bhakti Usman, MV.Sc
Deputi Manajer Teknis I : drh. Rama Dharmawan
Deputi Manajer Teknis II : drh. Dessie Eri Waluyati
Personil lainnya : - drh. Sri Handayani Irianingsih
- Muhammad Afdal Darul, SE
- Sri Wahyuningsih
- drh. Elly Puspasari Lubis, M.Sc
- drh. Desi Puspita Sari
- Widwianingsih, SST
- Rina Astuti Rahayu
- Didik Arif Zubaidi, A.Md
- Surya Purbarini, A.Md
Meskipun secara struktural Laboratorium Virologi bergabung dengan
Laboratorium Serologi, Laboratorium Virologi mempunyai tugas dan fungsi
pelayanan yang terpisah dari Laboratorium Serologi, yakni sebagai berikut:
1. Fluorescent Antibody Technique (FAT) Rabies.
2. Pewarnaan Seller’s Rabies.
3. Isolasi dan Identifikasi Virus Avian Influenza.
4. Isolasi dan Identifikasi Virus Newcastle Disease.
5. Isolasi dan Identifikasi Virus Infectious Laryngo Tracheitis.
6. Isolasi dan Identifikasi Virus Infectious Bursal Disease.
7. Isolasi dan Identifikasi Virus Pox.
8. Identifikasi Serotyping Virus Avian Influenza.
9. Identifikasi Serotyping Virus Newcastle Disease.
30
10. Uji Karakteristik Antigenik Virus Avian Influenza.
Alur pengujian sampel untuk isolasi dan identifikasi virus pada
Laboratorium Virologi BBVET Wates dapat dilihat pada Lampiran 3. Adapun
prosedur kerja dan peraturan yang terdapat pada Laboratorium Virologi
BBVET Wates adalah sebagai berikut:
1. Akses masuk laboratorium hanya terbatas pada personel yang
berwenang.
2. Dilarang makan, minum, merokok, memakai kosmetik, menyimpan
makanan dan pakaian dari luar ruangan saat berada dalam laboratorium.
3. Dilarang menghisap menggunakan mulut.
4. Personel laboratorium yang memiliki luka ataupun lecet harus ditutup
dengan perban anti air sebelum memasuki laboratorium.
5. Wajib menggunakan alas kaki yang tertutup.
6. Wajib menggunakan jas laboratorium saat berada dalam laboratorium.
Jas laboratorium harus dilepaskan sebelum keluar dari laboratorium dan
harus diautoklaf sebelum dicuci.
7. Menggunakan sarung tangan/gloves secara rangkap (double) pada saat
berada di laboratorium. Sarung tangan harus menutupi hingga ujung
lengan jas laboratorium untuk mengurangi resiko terpaparnya kulit saat
bekerja.
8. Sarung tangan hanya digunakan sekali pakai.
9. Sarung tangan yang rusak atau sobek saat bekerja, maka harus diganti
dengan memakai sarung tangan yang baru setelah sebelumnya mencuci
tangan terlebih dahulu.
10. Setiap selesai bekerja dan sebelum meninggalkan laboratorium, wajib
mencuci tangan terlebih dahulu.
11. Pelindung mata/kaca mata yang sesuai (safety glasses) wajib digunakan
selama bekerja.
12. Setiap selesai bekerja, seluruh peralatan dan area kerja wajib
didesinfeksi.
31
5.2 Deteksi Virus Newcastle Disease Menggunakan Uji Hemagglutination-
Hemagglutination Inhibition di Laboratorium Virologi Balai Besar
Veteriner Wates
5.2.1 Persiapan Sampel
Sampel yang diperiksa di Laboratorium Virologi BBVET Wates dapat
dibedakan berdasarkan jenis pelayanannya, yakni sampel layanan aktif, semi
aktif dan pasif. Sampel layanan aktif merupakan sampel yang berasal dari
perseorangan atau instansi yang langsung dikirimkan ke BBVET Wates.
Sampel layanan pasif adalah sampel yang berasal dari kunjungan rutin ke suatu
daerah dan telah terjadwal sebelumnya. Sedangkan sampel layanan semi aktif
adalah sampel yang langsung diambil dari suatu daerah berdasarkan
permintaan atau adanya laporan kasus.
Sampel yang akan diuji dapat berupa organ, bulu muda, feses, swab
lingkungan, swab trakea dan kloaka yang kering maupun yang telah dilarutkan
dalam media virus, seperti Viral Transport Medium (VTM). VTM didesain
untuk mengoleksi virus yang akan diuji. Beberapa kandungan yang terdapat
pada VTM adalah larutan buffer untuk mengontrol pH, antibiotik untuk
mengontrol kontaminasi bakteri, antifungal untuk mengontrol pertumbuhan
jamur dan protein protektif (Johnson, 1990). Sampel yang berupa organ maka
harus dipotong kecil-kecil terlebih dahulu dan sekitar 1 gram potongan sampel
digerus sampai halus menggunakan mortar steril untuk kemudian dicampurkan
dengan 9 ml larutan PBS steril menjadi suspensi organ 10% (w/v). Sedangkan
sampel yang berupa swab kering dapat dilarutkan terlebih dahulu dalam 2 ml
PBS steril. Bulu muda kini sering digunakan sebagai sampel karena dapat
memberikan hasil yang lebih akurat pada saat diuji dengan AI Rapid Test jika
dibandingkan dengan sampel berupa swab trakea maupun kloaka (Marek et al.,
2012).
Semua jenis sampel, baik sampel swab dalam media virus/PBS steril
maupun suspensi organ 10%, selanjutnya disentrifus pada kecepatan 5000-
7000 rpm selama 10 menit. Kemudian cairan supernatan dipisahkan dari
peletnya, lalu ditempatkan dalam tabung steril untuk ditambahkan dengan
32
antibiotik dengan perbandingan 10:1 (supernatan : antibiotik) dan diinkubasi
selama 1-2 jam pada suhu ruang. Antibiotik yang biasa digunakan di
Laboratorium Virologi BBVET Wates adalah gentamicin (50 µl/ml) dan
penicillin (2000 units/ml)-streptomycin (2 mg/ml). Antibiotik ditambahkan
pada sampel untuk mencegah adanya pertumbuhan bakteri. Penggunaan kedua
antibiotik tersebut didasarkan karena sifatnya yang berspektrum luas sehingga
mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan negatif dalam
sampel yang dapat mengaburkan hasil pengujian (Grimes, 2002). Semua proses
pemrosesan sampel dikerjakan dalam Biosafety Cabinet (BSC) Class II untuk
mencegah kontaminasi dari lingkungan ke sampel, maupun dari sampel ke
lingkungan.
BSC merupakan peralatan laboratorium yang didesain untuk
menyediakan perlindungan personel laboratorium, lingkungan maupun produk
saat bekerja menggunakan bahan biologis. BSC Class II memberikan proteksi
terhadap personel, lingkungan dan produk sehingga sering digunakan untuk
kultur sel dan jaringan serta propagasi virus seperti virus Avian Influenza.
(CDC, 2009). Prosedur persiapan sampel di Laboratorium Virologi BBVET
Wates, sesuai dengan yang ditetapkan OIE (2004), dimana dalam
mempersiapkan sampel yang akan diinokulasikan pada telur ayam berembrio,
sampel harus berada dalam larutan isotonik Phosphate Buffer Saline (PBS) pH
7,2-7,4 yang mengandung antiobiotik dengan konsentrasi 10-20% (v/v).
Antibiotik yang dapat digunakan diantaranya penicillin, streptomycin,
gentamicin, dan mycostatin.
Sampel yang diuji pada saat PKL merupakan sampel layanan pasif yang
berasal dari kegiatan surveilans dari pihak BBVET Wates. Sampel diambil dari
peternakan-peternakan ayam secara acak yang berada di wilayah Kabupaten
Blora. Sampel berupa swab trakea dan kloaka sebanyak 16 sampel yang
dilarutkan dalam media VTM. Keseluruhan sampel kemudian diproses sesuai
prosedur yang telah dijelaskan sebelumnya dan kemudian diinokulasikan
dalam Telur Ayam Berembrio (TAB) umur 9 hari.
33
5.2.2 Inokulasi Virus dalam Telur Ayam Berembrio
Sampel yang telah diproses, maka harus segera diinokulasikan dalam
Telur Ayam Berembrio (TAB). TAB yang digunakan di Laboratorium Virologi
BBVET Wates adalah TAB yang Specific Antibody Negative (SAN) dan
berumur minimal 9-11 hari. TAB diproduksi dari Instalasi Kandang Hewan
Percobaan (IKHP) yang berada di BBVET Wates. Menurut OIE (2012), TAB
yang dapat digunakan untuk inokulasi virus ND adalah TAB yang Specific
Pathogen Free (SPF) atau SAN yang berumur 9-11 hari. Menurut WHO
(2013), SPF merupakan istilah pada hewan yang telah teruji bebas dari
mikroorganisme patogen yang spesifik dan berlaku juga pada telur yang
dihasilkan oleh hewan tersebut. Sedangkan SAN merupakan istilah pada
hewan yang telah teruji bebas atau tidak memiliki antibodi terhadap
mikroorganisme patogen yang spesifik dan berlaku juga pada telur yang
dihasilkan oleh hewan tersebut. Beberapa mikroorganisme patogen terutama
pada ayam yang digunakan sebagai syarat telur SPF maupun SAN bergantung
pada patogen yang terdapat pada regional geografis tempat telur tersebut
diproduksi. Beberapa patogen yang sering digunakan untuk uji SPF dan SAN
diantaranya adalah Avian Adenovirus, Avian Encephalomyelitis Virus, Avian
Infectious Bronchitis Virus, Avian Infectious Laryngotracheitis Virus, Avian
Leukosis Virus, Avian Nephritis Virus, Avian Orthoreovirus, Avian
Reticuloendotheliosis Virus, Chicken Anemia Virus, Egg Drop Syndrome
Virus, Fowlpox Virus, Infectious Bursal Disease Virus, Influenza A Virus,
Marek’s Disease Virus, Newcastle Disease Virus, Mycobacterium avium,
Mycoplasma gallisepticum, Mycoplasma synoviae, Salmonella gallinarum,
Salmonella pullorum, dan Haemophilus paragallinarum.
Telur dipersiapkan terlebih dahulu dengan cara diteropong/candling
menggunakan senter atau egg candler. Peneropongan telur bertujuan untuk
memastikan bahwa embrio dalam TAB yang akan diinokulasi masih dalam
keadan hidup. Sedangkan TAB yang embrionya didalamnya telah mati,
kerabangnya terdapat keretakan atau TAB yang infertil (Gambar 5.3), maka
disingkirkan dan tidak digunakan untuk isolasi virus. Beberapa kriteria yang
34
perlu diamati pada saat peneropongan TAB adalah kehidupan embrio yang
ditandai dengan adanya pergerakan embrio dan pembentukan pembuluh darah
yang baik, letak embrio, serta letak kantong udara pada TAB (Gambar 5.4).
Letak embrio dan batas kantong udara digunakan dalam menentukan lokasi
penyuntikan sampel. Lokasi penyuntikan sampel untuk isolasi virus terletak
pada kantung udara dan posisinya berada diseberang dari letak embrio
(Gambar 5.5).
A B C
Gambar 5.3 A: Telur infertil; B: Telur yang embrionya telah mati (Dead in Shell); C:
vvvvvvvvvvvTelur yang kerabangnya retak.
Gambar 5.4 Beberapa kriteria yang diamati saat peneropongan TAB sebelum inokulasi,
vvvvvvvvvvvA: lokasi dan batas kantong udara; B: pembentukan pembuluh darah; C:
vvvvvvvvvvvletak dan pergerakan embrio.
35
kemudian akan dilepaskan pada cairan allantois. Prosedur kerja inokulasi
sampel pada TAB dimulai dengan didesinfeksi daerah sekitar lokasi
penyuntikan sampel menggunakan alkohol 70%. Desinfeksi bertujuan untuh
mencegah adanya mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi ke dalam
TAB (OIE, 2004). Kemudian dibuat lubang pada kerabang telur seukuran
ujung bolpoin atau sekitar 2-3 mm menggunakan pelubang telur. Sampel yang
telah diproses, dimasukkan dalam spuit dengan ukuran needle sekitar 26 G dan
kemudian diinjeksikan ke kantong allantois melalui lubang yang telah dibuat
secara tegak lurus sebanyak 0,2 ml per telur, dengan ulangan minimal 3 telur.
Selanjutnya didesinfeksi kembali daerah sekitar lokasi penyuntikan dengan
alkohol 70% dan lubang pada kerabang ditutup menggunakan cat kuku. Semua
proses inokulasi virus pada TAB dilakukan dalam BSC Class II untuk
mencegah kontaminasi. TAB yang telah diinokulasi disimpan dalam inkubator
dengan suhu 35-37 oC selama 4 hari.
B
A
Gambar 5.5 A: Letak embrio; B: Lokasi inokulasi sampel yang terletak berseberangan
vvvvvvvvvvvdari letak embrio.
36
masih hidup. Selain untuk pembunuhan paksa dan pencegahan agar tidak
terjadi pembusukan, proses pendinginan juga bertujuan untuk meningkatkan
transparansi cairan allantois agar memudahkan saat proses pemanenan dan
mengurangi perdarahan yang dapat tercampur dalam cairan allantois (CVB,
2014). Setelah semua embrio mati, maka dapat dilakukan pemanenan cairan
allantois. Ilustrasi TAB yang embrionya telah mati dibandingkan dengan TAB
yang embrionya masih hidup dapat dilihat pada Gambar 5.6.
A B C
Gambar 5.6 A dan B: TAB yang mati, terlihat tidak terdapat pembuluh darah dan
vvvvvvvvvvvvpergerakan embrio; C: TAB yang masih hidup.
37
B
38
berikatan dengan reseptor pada sel darah merah. Akibat adanya ikatan tersebut,
maka terjadilah proses aglutinasi sel darah merah atau yang lebih sering disebut
dengan hemagglutination. Sampel cairan allantois yang sebelumnya telah
positif aglutinasi pada uji HA kualitatif dilanjtukan dengan uji HA kuantitatif
untuk menentukan titer antigen yang terdapat pada sampel cairan allantois.
Uji HA kuantitatif dilaksanakan menggunakan microplate 96 sumuran
dengan dasar berbentuk V, larutan PBS pH 7,2-7,4 dan supensi RBC 1%
dengan volume akhir mencapai 75 µl. Layout yang digunakan pada uji HA di
Laboratorium Virologi BBVET Wates dapat dilihat pada Lampiran 4.
Langkah pertama yang dilakukan adalah larutan PBS diisikan sebanyak 25 µl
ke semua sumuran (sumuran 1-12) pada microplate V. Kemudian ditambahkan
25 µl sampel cairan allantois kedalam sumuran 1 dan dilakukan pengenceran
kelipatan 2 sepanjang plate kecuali sumuran 12 karena digunakan sebagai
kontrol RBC. Selanjutnya ditambahkan 25 µl larutan PBS ke semua sumuran.
Suspensi RBC 1% kemudian ditambahkan ke semua sumuran sebanyak 25 µl
dan microplate V diketuk-ketuk (tapping) secara perlahan untuk
mencampurkan semua larutan dalam sumuran. Setelah itu, microplate V
diinkubasi selama kurang lebih 40 menit pada suhu ruang (dengan kisaran suhu
ruang 20 oC) atau selama 60 menit dalam suhu 4 oC. Semua proses uji HA
kuantitatif dilakukan dalam BSC Class II untuk mencegah kontaminasi.
Cara pembacaan hasil uji HA adalah dengan microplate dimiringkan
dan diamati ada atau tidak adanya aliran RBC. Menurut OIE (2012), titer
dibaca pada pengenceran tertinggi yang akan membentuk HA/hemaglutinasi
sempurna (tidak terlihat adanya aliran RBC) yang mewakili 1 HA unit (HAU)
dan dihitung mulai dari pengenceran pertama. Pada Gambar 5.8, terlihat pada
sampel pertama di baris A terdapat aglutinasi sempurna pada sumuran no 1-6.
Sedangkan sumuran no 7 tidak dianggap aglutinasi sempurna dikarenakan
masih menunjukkan aliran RBC, sehingga titer antigennya dapat dinyatakan
sebesar 26 atau 64 HAU. Setelah didapatkan titer antigen pada sampel, maka
langkah selanjutnya adalah mengencerkan sampel tersebut agar titer
antigennya menjadi 22 atau 4 HAU/25 µl yang setara dengan titer antigen 8
39
HAU/50 µl. Titer antigen 4 HAU/25 µl merupakan standar titer yang akan
digunakan untuk uji HI (OIE, 2012). Dari 5 sampel yang diuji dengan HA
kuantitatif, hanya 1 sampel saja yang dapat terbaca titer antigennya, sehingga
1 sampel tersebut dilanjutkan untuk diencerkan titer antigennya menjadi 4
HAU sehingga dapat diuji dengan uji HI Serotyping. Sedangkan 4 sampel yang
tidak menunjukkan titer antigen pada uji HA, diinokulasikan kembali pada
TAB 9 hari sebagai passage 2.
Arah pembacaan
Kontrol RBC
Gambar 5.8 Hasil uji HA, titer yang didapatkan pada sampel 1 adalah 2 6 atau 64 HAU.
vvvvvvvvvvvSedangkan sampel 2-5 menunjukkan hasil negatif.
40
menurut Wu et al. (2016), dimana untuk mendapatkan antigen 4 HAU maka
titer antigen yang didapatkan (dalam HAU) dibagi 4 dan hasilnya merupakan
kelipatan pengenceran yang akan digunakan.
Kontrol RBC
Arah pembacaan
Gambar 5.9 Hasil uji HA Back Titration dengan sampel yang dibuat duplo, titer yang
vvvvvvvvvvvdidapatkan setelah pengenceran adalah 22 atau 4 HAU.
41
pengenceran adalah 22 atau 4 HAU, sehingga sampel tersebut siap diuji HI
Serotyping untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus yang terdapat pada
sampel.
42
Beberapa antiserum yang digunakan dalam uji HI Serotyping di
Laboratorium Virologi BBVET Wates adalah antiserum APMV-1/ND, H5, H7
dan H9 dengan titer antiserum yang telah ditetapkan 2 6. Akan tetapi
dikarenakan keterbatasan antiserum H7 dan H9, uji HI Serotyping pada saat
pelaksanaan PKL hanya menggunakan dua antiserum saja, yakni antiserum ND
dan H5 untuk menentukan jenis virus dalam sampel adalah virus ND atau virus
AI (H5).
Prosedur kerja uji HI Serotyping dimulai dari disiapkannya layout
sampel pada microplate V sesuai dengan jumlah sampel. Layout yang
digunakan pada uji HI Serotyping di Laboratorium Virologi BBVET Wates
dapat dilihat pada Lampiran 5. Secara umum, langkah pertama adalah diisikan
larutan PBS 25 µl dalam semua sumuran microplate V, kecuali pada sumuran
kontrol RBC dimana larutan PBS ditambahkan sebanyak 50 µl. Lalu sebanyak
25 µl antiserum ditambahkan pada sumuran pertama. Antiserum yang
digunakan adalah antiserum ND dan antiserum AI yang diisikan pada
microplate V sesuai layout. Antiserum yang telah ditambahkan pada sumuran
pertama kemudian diencerkan kelipatan 2 sepanjang plate kecuali sumuran
terakhir yang merupakan kontrol RBC. Selanjutnya ditambahkan antigen 4
HAU sebanyak 25 µl ke semua sumuran kecuali sumuran yang digunakan
sebagai kontrol RBC. Antigen yang digunakan merupakan antigen 4 HAU
yang berasal dari sampel, antigen positif ND sebagai kontrol ND dan antigen
positif AI yang digunakan sebagai kontrol AI. Semua antigen yang digunakan,
ditambahkan ke dalam sumuran microplate V sesuai dengan layout yang telah
dibuat. Selanjutnya diinkubasi selama kurang lebih 40 menit pada suhu ruang
(dengan kisaran suhu ruang 20 oC) atau selama 60 menit dalam suhu 4 oC.
Suspensi RBC 1% ditambahkan terakhir ke semua sumuran sebanyak 25 µl,
lalu microplate V diketuk-ketuk (tapping) secara perlahan dan selanjutnya
diinkubasi selama kurang lebih 40 menit pada suhu ruang (dengan kisaran suhu
ruang 20 oC) atau selama 60 menit dalam suhu 4 oC. Semua proses pengenceran
titer antigen dan uji HI Serotyping dilakukan dalam BSC Class II untuk
mencegah kontaminasi.
43
Kontrol RBC
Arah pembacaan
AI
ND
Gambar 5.10 Hasil uji HI Serotyping dengan sampel yang dibuat duplo. Hasil positif
vvvvvvvvvvvvterdapat pada bagian layout ND, sehingga sampel dinyatakan positif ND.
44
5.2.7 Interpretasi Hasil Uji Hemagglutination dan Hemagglutination
Inhibition terhadap Masyarakat
Hasil uji HA-HI dapat digunakan sebagai acuan terhadap kondisi suatu
penyakit pada suatu daerah. Pada kasus kali ini adalah adanya hasil positif pada
sampel surveilans dari Kabupaten Blora yang mengandung virus ND. Dengan
adanya hasil positif ND tersebut maka terdapat dua kesimpulan yang dapat
diambil, yakni terdapat kejadian mewabahnya virus ND pada salah satu
peternakan unggas di Kabupaten Blora atau sedang dilaksanakannya program
vaksinasi pada salah satu peternakan unggas di kabupaten tersebut.
Kejadian mewabahnya virus ND dapat disebabkan oleh program
vaksinasi yang tidak berhasil. Vaksinasi ND seperti yang telah umum
dilaksanakan, dimulai sejak ayam berumur satu minggu dan kemudian diulangi
pada minggu ketiga (Wibowo dkk., 2013). Program vaksinasi ND dapat
dikatakan berhasil apabila Geometric Mean Titre (GMT) dari suatu peternakan
mencapai 26 dengan tingkat keseragaman yang baik, sehingga apabila
didapatkan GMT dibawah 26 maka perlu untuk dilaksanakan vaksinasi ulang
(Dharmayanti dan Darminto, 2000). Apabila telah terjadi wabah ND pada suatu
daerah, maka harus segera dilaporkan kepada Dinas setempat yang
membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan agar diberikan
penanganan yang tepat untuk mencegah tersebarnya wabah tersebut secara
lebih luas. Penanganan yang diberikan dapat berupa vaksinasi ulang,
pemberian obat-obatan hingga stamping out yang merupakan tindakan
pemutusan rantai penularan penyakit melalui pemusnahan hewan
sakit/tersangka pembawa agen penyakit. Tata cara pemusnahan harus
mengikuti kode etik perlakuan hewan serta pembuangan limbahnya pun harus
memperhatikan kesehatan lingkungan. (Adjid dkk., 2007).
45
Ketika terjadi elusi, maka RBC tidak akan lagi teraglutinasi. Sehingga ketika
microplate dimiringkan akan terlihat hasil negatif pada sumuran, yakni adanya
aliran RBC. Proses elusi pada umumnya terjadi setelah 45 menit pada suhu
normal, meskipun beberapa strain virus ND memiliki proses elusi yang lebih
cepat. Sehingga hal tersebut menjadi dasar agar pembacaan hasil uji HA tidak
lebih dari 45 menit sejak diinkubasi (Grimes, 2002).
Beberapa faktor lain yang juga dapat mempengaruhi hasil uji HA dan
HI adalah pemilihan larutan pengencer, suhu penyimpanan dan juga lama
penyimpanan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rasool et al.
(2016), jenis larutan pengencer yang digunakan, pH larutan pengencer yang
digunakan, suhu penyimpanan dan lama penyimpanan akan mempengaruhi
titer yang dihasilkan saat pengujian. Sehingga, perlu diperhatikan seluruh
standar peralatan dan bahan serta prosedur yang digunakan pada saat pengujian
agar tidak terjadi kekeliruan hasil pengujian. Beberapa standar yang telah
ditetapkan OIE (2012) untuk uji HA dan HI adalah sebagai berikut:
- Larutan pengencer yang digunakan adalah PBS isotonik (0,01 M)
dengan pH 7,2-7,4
- RBC yang digunakan berasal dari tiga ekor ayam berbeda yang SPF dan
dicampur dengan larutan Alsever dengan perbandingan 1:1.
Konsentrasi suspensi RBC yang digunakan adalah 1% (v/v)
- Antigen yang digunakan untuk uji HI adalah antigen dengan titer 4
HAU/25 µl
- Apabila sampel tidak bisa langsung diuji, maka sampel dapat disimpan
pada suhu 4 oC selama maksimal 4 hari
Larutan Alsever adalah larutan isotonik yang digunakan sebagai
antikoagulan rutin untuk penyimpanan Whole Blood. Keuntungan dari
penggunaan larutan Alsever adalah karena dapat membuat Whole Blood awet
hingga 10 minggu dalam penyimpanan di suhu 4-8 oC (Sigma, 2002). Kontrol
RBC harus selalu dibuat pada saat uji HA dan HI, dikarenakan kondisi RBC
sangat berpengaruh terhadap hasil dari uji HA dan HI. Kondisi RBC yang
bagus akan ditunjukkan dengan terdapatnya aliran RBC pada kontrol RBC.
46
Sedangkan apabila pada kontrol RBC tidak didapati adanya aliran RBC, maka
terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan kondisi RBC tidak bagus,
diantaranya adalah sebagai berikut menurut CVB (2014):
- Formulasi PBS yang tidak tepat
- Penguapan yang berlebihan selama proses uji
- RBC yang digunakan terlalu tua
- Konsentrasi RBC yang tidak tepat
- Suspensi RBC tidak tercampur secara homogen
- Formulasi larutan Alsever yang tidak tepat
47
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Setelah melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Besar
Veteriner Wates Yogyakarta, dapat disimpulkan bahwa :
1. Deteksi virus Newcastle Disease di Laboratorium Virologi Balai Besar
Veteriner Wates Yogyakarta menggunakan uji Hemagglutination (HA)
dan uji Hemagglutination Inhibition (HI) Serotyping.
2. Antiserum yang digunakan dalam uji HI Serotyping antara lain
antiserum ND, H5, H7 dan H9.
3. Sampel yang diuji merupakan sampel layanan pasif yang berasal dari
Kabupaten Blora sejumlah 16 sampel. Sampel yang menunjukkan hasil
positif ND sebanyak satu sampel dengan titer antigen yang terukur
adalah 26. Sedangkan 15 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif
terhadap ND maupun H5.
6.2 Saran
Uji HI Serotyping yang hanya menggunakan dua antiserum saja (H5
dan ND) sering menimbulkan hasil yang kurang tepat, karena hanya akan dapat
mendeteksi 2 jenis antigen saja. Apabila pada sampel terdapat jenis antigen lain
seperti H7 dan H9, maka tidak akan terdeteksi dengan uji HI Serotyping.
Sehingga disarankan agar antiserum yang digunakan diperbanyak agar lebih
tepat lagi dalam mendeteksi virus-virus baru yang muncul di lapangan.
48
DAFTAR PUSTAKA
49
Pengembangan Ayam Buras Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam Laporan
Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II. Hal 315-326
Grimes, S. E. 2002. A Basic Laboratory Manual for The Small-Scale Production
and Testing of I-2 Newcastle Disease Vaccine. FAO-APHCA, Thailand.
Hal 27-72
Hewajuli, D. A. dan Dharmayanti N. L. P. I. 2011. Patogenitas Virus Newcastle
Disease Pada Ayam. Wartazoa 21 (2): 72-80
Johnson, F. B. 1990. Transport of Viral Specimens. Clinical Microbiology Reviews
3(2): 120-131
Kencana, G. A. Y., Karena I M., dan Mahardika I G. N. K. 2012. Peneguhan
Diagnosis Penyakit Newcastle Disease Lapang Pada Ayam Buras di Bali
Menggunakan Teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan. 6 (1): 28
Kencana, G. A.Y. dan Kardena I. M.. 2011. Gross Pathological Observation of
Acute Newcastle Disease in Domestic Chicken. Dalam Prosiding Seminar
Internasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI) dan
International Union of Microbiological Societies (IUMS). Denpasar, 22-24
Juni 2011
Linde, A. M., Munir M., Zohari S., Stahl K., Baule C., Renstrom L. dan Berg M.
2011. Complete Genome Characterization of a Newcastle Disease Virus
Isolated During an Outbreak in Sweden in 1997. Journal Virus Genes
41:165-173.
MacLahlan, J. M., dan Dubovy J. E. 2011. Paramyxoviridae. Dalam Fenner's
Veterinary Virology, 4th Edition. Amsterdam: Elsevier. Hal. 299-325
Marek, J. S., T. L. To, H. H. Tong, V. J. Coward, I. C. Mawhinney, J. Banks dan I.
H. Brown. 2012. Evaluation of Lateral Flow Devices for Identification of
Infected Poultry by Testing Swab and Feather Specimens During H5N1
Highly Pathogenic Avian Influenza Outbreaks in Vietnam. Influenza Other
Respir Viruses 6(5): 318–327
Mathias, A. 2010. Lesions and Prevalence of Newcastle Disease in Chicken.
[Disertasi]. Kampala: Makarere University
Miller, P. J., Estevez C., Yu Q., Suarez D. L., dan King D. J. 2009. Comparison of
Viral Shedding Following Vaccination with Inactivated and Live Newcastle
Disease Vaccines Formulated with Wild Type and Recombinant Viruses.
Avian Dis. 53: 39-49
Mohammadamin O. G., dan Qubih T. S. 2011. Histopathology of Virulent
Newcastle Disease Virus in Immune Broiler Chickens Treated with IMBO ®.
Iraqi Journal of Veterinary Sciences. 25 (1): 9-13
OIE [Office International des Epizootie]. 2004. OIE Manual of Diagnostic Tests
and Vaccines for Terrestrial Animals, Summary of Newcastle Disease
Chapter 2.1.15. Hal 2-11
50
OIE [Office International des Epizootie]. 2012. Newcastle Disease (Infection with
Newcastle Disease Virus). OIE Terrestrial Manual 2012. Hal. 555
OIE [Office International des Epizootie]. 2013. Newcastle Disease. OIE General
Information Sheets 2013. Hal. 1-6
Prasetyo, D. W., Rudyanto M. D., dan Berata I K. 2014. Pengamatan Makroskopis
Kadaver Ayam Broiler di Rumah Pemotongan Unggas PT. Ciomas
Adisatwa di Desa Kaba-Kaba, Tabanan, Bali Yang Didasarkan Atas Kausa
Primanya. Indonesia Medicus Veterinus. 3 (1): 73-83
Pudjiatmoko, S. M., Nurtanto S., Lubis N., Syafrison, Yulianti S., Kartika D., dan
Yohana C. K. 2014. Manual Penyakit Unggas. Jakarta: Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal. 84-92
Putra, H. H., Wibowo M. H., Untari T., dan Kurniasih. 2012. Studi Lesi
Makroskopis dan Mikroskopis Embrio Ayam yang Diinfeksi Virus
Newcastle Disease Isolat Lapang yang Virulen. Jurnal Sain Veteriner. 30
(1): 58
Quinn, P. J., Markey B. K., Leonard F. C., FitzPatrick E. S., Fanning S., dan
Hartigan P. J. 2011. Veterinary Microbiology and Microbial Disease,
Second Edition. Iowa: Blackwell Science. Hal. 884-901
Quinn, P.J., Markey B. K., Carter M. E., Donnelly W. J., dan Leonard F.C. 2002.
Paramyxoviridae dalam Veterinary Microbiology and Microbial Disease.
Iowa: Blackwell Publishing. Hal. 381 – 387
Rasool, A., S. Akhtar, K. Muhammad, M. Rabbani, A. A. Anjum, J. Muhammad,
A. Ahmad, A. A. Sheikh, F. Liaqat, F. Akhtar dan R. Tahir. 2016.
Comparative Evaluation of Factors Affecting Hemagglutinating Activity
of Avian Influenza (H9) Virus. Turk J Vet Anim Sci 40:102-106
Saepulloh, M. dan Darminto. 2005. Kajian Newcastle Disease Pada Itik dan Upaya
Pengendaliannya. Wartazoa 15 (2): 84-94
Senne, D. 2005a. Hemagglutination-Inhibition Test for Subtype Identification of
Influenza A Virus Antibody AVPRO0806.04. Dalam National Veterinary
Services Laboratories Testing Protocol. United States Department of
Agriculture. Hal 1-17
Senne, D. 2005b. Hemagglutination and Hemagglutination-Inhibition Tests for
Avian Paramyxovirus (APMV) Identification AVPRO0807.04. Dalam
National Veterinary Services Laboratories Testing Protocol. United States
Department of Agriculture. Hal 1-15
Sigma. 2002. Alsever’s Solution, Product Information. Missouri: Sigma-Aldrich,
Inc
Spickler, A. R. 2016. Newcastle Disease. Dalam The Center for Food Security and
Public Health (CFSPH) Technical Disease Fact Sheets. Iowa State
University Press. Hal. 1-9
51
Statistik Peternakan. 2016. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2016.
Jakarta: Kementerian Pertanian
Suryana, N. 2006. Pengamatan Daya Proteksi Ayam Post Vaksinasi Newcastle
Disease Dengan Uji Tantang. Dalam Temu Teknis Nasional Tenaga
Fungsional Pertanian 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Hal. 282-286
Swayne, D. E. 2017. Animal Influenza, 2nd Edition. Oxford: Wiley-Blackwell. Hal
33-35
Tabbu, CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial,
Mikal dan Viral Volume 1. Yogyakarta: Kanisius
Wen, M., Chen Z. T., Zhang D. X., Yang J. L., dan Zhou B. J. 2007. Cloning and
Sequence Analysis of F Gene of Newcastle Disease Virus Isolated from
Guizhou Province, China. Journal Food Agricultural Environment 10
(3&4): 484-486
WHO [World Health Organization]. 2013. WHO Expert Committee on Biological
Standardization: Sixtieth Report. WHO Technical Report Series. Hal 162-
174
Wibowo, S. E., Asmara W., Wibowo M. H., dan Sutrisno B. 2013. Perbandingan
Tingkat Proteksi Program Vaksinasi Newcastle Disease Pada Broiler.
Jurnal Sain Veteriner. 31 (1): 16-26
Wu, Y., MS. Cho, D. Shore, M. Song, JA. Choi, T. Jiang, YQ. Deng, M. Bourgeois,
L. Almli, H. Yuang, LM. Chen, Y. Shi, J. Qi, A. Li, K. S. Yi, MS. Chang,
J. S. Bae, HJ. Lee, JY. Shin, J. Stevens, SS. Hong, CF. Qin, G. F. Gao, S. J.
Chang dan R. O. Donis. 2016. Haemagglutination Inhibition (HI) Assay of
Influenza Viruses with Monoclonal Antibodies. Bio-Protocol 6(11): 1-7
52
LAMPIRAN
53
Lampiran 1. Rincian Aktivitas Harian
54
No Tanggal Kegiatan Pembimbing
Lapangan
Maintenance Media (MM)
dengan FBS 5%
5 17 Februari 1. Peneropongan TAB post Pak Didik, bu Rina
2017 inokulasi tanggal 16 Februari
2017. TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
2. Inokulasi 16 sampel surveilans
passage 1 dan 2 pada TAB
melalui rute saccus allantois
6 18 Februari 1. Peneropongan TAB post drh Rama
2017 inokulasi tanggal 16 dan 17
Februari 2017. TAB yang mati
disimpan didalam kulkas
7 19 Februari 1. Peneropongan TAB post drh Rama
2017 inokulasi tanggal 16 dan 17
Februari 2017. TAB yang mati
disimpan didalam kulkas
8 20 Februari 1. Pemanenan cairan allantois pada Pak Didik, bu Rina,
2017 TAB inokulasi tanggal 16 drh Desi
Februari 2017. Cairan allantois
yang dipanen, langsung diuji
dengan HA kualitatif. Jika
hasilnya positif, maka akan
dilanjutkan ke HA-HI kuantitatif.
Jika hasilnya negatif, maka cairan
allantois akan dibuang (untuk
passage 2) atau dikumpulkan
kembali agar dilanjutkan ke
passage 2 (untuk passage 1)
2. Pengujian HA kuantitatif untuk
menentukan titer antigen. Apabila
hasilnya negatif, maka akan
dihentikan pengujiannya (untuk
passage 2) atau dilanjutkan ke
passage 2 (untuk passage 1)
9 21 Februari 1. Pembuatan suspensi Red Blood Pak Didik, bu Rina
2017 Cell (RBC) 10% (suspensi RBC
stok), 5% dan 1%
2. Pemanenan cairan allantois pada
TAB inokulasi tanggal 17
Februari 2017. Cairan allantois
55
No Tanggal Kegiatan Pembimbing
Lapangan
yang dipanen, langsung diuji
dengan HA kualitatif
10 22 Februari 1. Pengujian HA kuantitatif. Sampel Pak Didik
2017 yang menunjukkan positif
aglutinasi akan dihitung titernya
dan diencerkan hingga menjadi 4
HAU
2. Pengujian sampel positif
aglutinasi dengan Rapid Test AI.
Sampel akan menunjukkan 2
garis apabila positif dan 1 garis
apabila negatif
3. Pengujian Titrasi Balik untuk
memverifikasi titer antigen
sampel yang akan dilanjutkan ke
uji HI adalah 4 HAU
4. Pengujian HI menggunakan dua
antiserum (H5 dan ND) untuk
menentukan tipe antigen yang
terdapat pada sampel
5. Peneropongan TAB umur 9 hari
pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
6. Inokulasi 34 sampel surveilans
passage 2 pada TAB melalui rute
saccus allantois
11 23 Februari 1. Peneropongan TAB post Pak Didik, bu Rina
2017 inokulasi tanggal 22 Februari
2017. TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
2. Peneropongan TAB umur 9 hari
pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
3. Inokulasi 8 sampel surveilans
passage 1 dan 2 pada TAB
melalui rute saccus allantois
4. Pembuatan media untuk kultur
jaringan, yakni Growth Media
(GM) dengan Foetal Bovine
56
No Tanggal Kegiatan Pembimbing
Lapangan
Serum (FBS) 20% dan
Maintenance Media (MM)
dengan FBS 5%
5. Pembuatan larutan Phosphate
Buffer Saline (PBS) steril
12 24 Februari 1. Peneropongan TAB post Pak Didik
2017 inokulasi tanggal 22 dan 23
Februari 2017. TAB yang mati
disimpan didalam kulkas
13 25 Februari 1. Peneropongan TAB post drh Rama
2017 inokulasi tanggal 22 dan 23
Februari 2017. TAB yang mati
disimpan didalam kulkas
14 27 Februari 1. Candling pre inokulasi Pak Didik, bu Rina
2017 2. Inokulasi 27 sampel surveilans
passage 1, 2, 3 pada TAB melalui
rute saccus allantois
3. Seminar Ilmiah BBVET
15 28 Februari 1. Peneropongan TAB post Pak Didik, pak
2017 inokulasi tanggal 27 Februari Afdal
2017. TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
2. Uji FAT Rabies, pembuatan
preparat tekan dan pewarnaan
sampel
16 1 Maret 1. Peneropongan TAB post Pak Didik, bu Rina,
2017 inokulasi tanggal 27 Februari pak Afdal
2017. TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
2. Peneropongan TAB umur 9 hari
pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
3. Inokulasi 20 sampel surveilans
passage 1, 2, 3 pada TAB melalui
rute saccus allantois
4. Pembacaan hasil FAT Rabies
menggunakan mikroskop
fluorescent
57
No Tanggal Kegiatan Pembimbing
Lapangan
17 2 Maret 1. Peneropongan TAB post Bu Rina
2017 inokulasi tanggal 27 Februari dan
1 Maret 2017. TAB yang mati
disimpan didalam kulkas
18 3 Maret 1. Peneropongan TAB post Pak Didik, bu Rina,
2017 inokulasi tanggal 1 Maret 2017. pak Topo
TAB yang mati disimpan didalam
kulkas
2. Peneropongan TAB umur 9 hari
pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
3. Inokulasi 16 sampel surveilans
passage 1 pada TAB melalui rute
saccus allantois
4. Pemanenan cairan allantois pada
TAB inokulasi tanggal 27
Februari 2017. Cairan allantois
yang dipanen, langsung diuji
dengan HA kualitatif
5. Nekropsi Sapi
19 4 Maret 1. Peneropongan TAB post drh Rama
2017 inokulasi tanggal 1 dan 3 Maret
2017. TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
20 6 Maret 1. Peneropongan TAB umur 9 hari Pak Didik, bu Rina
2017 pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
2. Inokulasi 16 sampel surveilans
passage 1, 2, 3 pada TAB melalui
rute saccus allantois
3. Peneropongan TAB post
inokulasi tanggal 3 Maret 2017.
TAB yang mati disimpan didalam
kulkas
21 7 Maret 1. Pemanenan cairan allantois pada Bu Rina
2017 TAB inokulasi tanggal 1 dan 3
maret 2017. Cairan allantois yang
dipanen, langsung diuji dengan
HA kualitatif
58
No Tanggal Kegiatan Pembimbing
Lapangan
2. Peneropongan TAB post
inokulasi tanggal 6 Maret 2017.
TAB yang mati disimpan didalam
kulkas
22 8 Maret 1. Peneropongan TAB umur 9 hari Pak Didik, bu Rina
2017 pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
2. Peneropongan TAB post
inokulasi tanggal 6 Maret 2017.
TAB yang mati disimpan didalam
kulkas
3. Inokulasi 33 sampel surveilans
passage 1 dan 2 pada TAB
melalui rute saccus allantois
23 9 Maret 1. Peneropongan TAB post Pak Didik
2017 inokulasi tanggal 6 dan 8 Maret
2017. TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
24 10 Maret 1. Peneropongan TAB umur 9 hari Bu Rina, drh Desi
2017 pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
2. Peneropongan TAB post
inokulasi tanggal 8 Maret 2017.
TAB yang mati disimpan didalam
kulkas
3. Pemanenan cairan allantois pada
TAB inokulasi tanggal 6 maret
2017. Cairan allantois yang
dipanen, langsung diuji dengan
HA kualitatif
4. Pengujian HA kuantitatif. Sampel
yang positif aglutinasi akan
diencerkan hingga 4 HAU
5. Pengujian Titrasi Balik untuk
memverifikasi titer antigen
sampel yang akan dilanjutkan ke
uji HI adalah 4 HAU
6. Pengujian HI menggunakan dua
antiserum (H5 dan ND) untuk
59
No Tanggal Kegiatan Pembimbing
Lapangan
menentukan tipe antigen yang
terdapat pada sampel
25 11 Maret 1. Peneropongan TAB post drh Rama
2017 inokulasi tanggal 8 Maret 2017.
TAB yang mati disimpan didalam
kulkas
26 13 Maret 1. Peneropongan TAB umur 9 hari Bu Rina, drh Desi
2017 pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
2. Pemanenan cairan allantois pada
TAB inokulasi tanggal 8 maret
2017. Cairan allantois yang
dipanen, langsung diuji dengan
HA kualitatif
27 14 Maret 1. Pengujian HA kuantitatif. Sampel drh Desi
2017 yang positif aglutinasi akan
diencerkan hingga 4 HAU
2. Pengujian Titrasi Balik untuk
memverifikasi titer antigen
sampel yang akan dilanjutkan ke
uji HI adalah 4 HAU
3. Pengujian HI menggunakan dua
antiserum (H5 dan ND) untuk
menentukan tipe antigen yang
terdapat pada sampel
28 15 Maret 1. Peneropongan TAB umur 9 hari drh Desi
2017 pre inokulasi, letak embrio dan
kantong udara ditandai pada
cangkang telur
2. Inokulasi 1 sampel pasif organ
passage 1 pada TAB melalui rute
saccus allantois
29 16 Maret 1. Peneropongan TAB post drh Desi
2017 inokulasi tanggal 15 Maret 2017.
TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
2. Presentasi laporan kegiatan PKL
30 17 Maret 1. Upacara Bendera Bu Rina, drh Desi,
2017 2. Peneropongan TAB post pak Didik
inokulasi tanggal 15 Maret 2017.
60
No Tanggal Kegiatan Pembimbing
Lapangan
TAB yang mati disimpan
didalam kulkas
3. Inokulasi 43 sampel surveilans
organ passage 1 pada TAB
melalui rute saccus allantois
61
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan
62
No Dokumentasi Kegiatan Keterangan
3 Uji HA kualitatif
6 Uji HA-HI
63
No Dokumentasi Kegiatan Keterangan
7 Hasil uji HA
64
Lampiran 3. Alur Pengujian Sampel Untuk Uji HA-HI di Laboratorium Virologi
BBVET Wates
Sampel
(Passage 1)
Hasil Positif
Hasil
65
Lampiran 4. Layout Uji HA
Sampel 2 B
Sampel 3 C
Sampel 4 D
Sampel 5 E
Sampel 6 F
Sampel 7 G
Sampel 8 H
Pengenceran RC
1/2
1/4
1/8
1/16
1/32
1/64
1/128
1/256
1/512
1/1024
1/2048
Antigen
Keterangan :
- RC : Kontrol RBC
- Pengenceran antigen hanya dilakukan sampai sumuran 11
- Total volume per sumuran adalah 75 µl
- Terdapat 8 sampel yang diuji
66
Lampiran 5. Layout Uji HI Serotyping
Sampel 2 B
Sampel 3 C
AI+ D
Sampel 1 E
Sampel 2 F
Sampel 3 G
ND+ H
Pengenceran RC
1/2
1/4
1/8
1/16
1/32
1/64
1/128
1/256
1/512
1/1024
1/2048
Antiserum
Keterangan :
- RC : Kontrol RBC
- A-D : Menggunakan antiserum AI (H5)
- E-H : Menggunakan antiserum ND
- AI+ : Kontrol positif AI. Antigen yang digunakan adalah antigen positif
AI 4 HAU
- ND+ : Kontrol positif ND. Antigen yang digunakan adalah antigen
positif ND 4 HAU
- Pengenceran antiserum hanya dilakukan sampai sumuran 11
- Total volume per sumuran adalah 75 µl
- Terdapat 3 sampel yang diuji
67
Lampiran 6. Standar Pengenceran Antigen 4 HA Unit
64 6 1 : 15 70 1050
128 7 1 : 31 40 1240
256 8 1 : 63 20 1260
68