Anda di halaman 1dari 15

EKOSISTEM PANTAI

COVER
LEMBAR PENILAIAN
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
II. TINJAUAN PUSTAKA (Min. 7 jurnal, 1 sub-bab 3 Jurnal)
2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Selatan
Kondisi Laut Selatan Jawa yang berbatasan dengan hamparan samudera
hindia menjadikan kondisinya selalu dinamis sehingga patut untuk dikaji lebih
mendalam sehingga potensi yang terkandung dapat dimanfaatkan sebaik mungkin,
selain itu kondisi keanejaragaman hayati yang ada dapat ditingkatkan dan
dilestarikan dengan baik(Mustafa dan Yudicara, 2007).
Pantai Selatan maupun Pantai Utara Jawa merupakan pusat aktivitas
berbagai kegiatan perekonomian di Pulau Jawa. Berbagai aktivitas tersebut tidak
lepas dari sejumlah persoalan yang cukup kompleks, mulai dari kerusakan fisik
lingkungan, semakin parahnya kerusakan ekosistem pesisir dan laut hingga
berbagai masalah sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat pesisir yang
jumlahnya mencapai 65% dari seluruh penduduk Pulau Jawa (Pangururan et al.,
2015).
Kerusakan Fisik maupun lainnya diduga karena ketidak fahaman mengenai
kondisi pesisir maupun laut, baik masyarakat sekitar maupun pemerintah sebagi
pengambil kebijakan, seperti upaya reklamasi pemerintah semarang yang berakibat
rusaknya kawasan pesisir semarang maupun kondisi pantai, hal ini diakibatkan
karena ketidaktahuan dampak yang ditimbulkan akibat dari pekerjaan yang
merusak dari kestabilan pantai sehingga disini perlu ditingkatkan pengetahuan
mengenaia karakteristik pantai(Minarrohman dan Pratomo, 2017)
Dalam Peta Indonesia Pantai Selatan yang selanjutnya disebut dengan Laut
selatan merupakan daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan laut lepas yaitu
samudera Hindia, batas inilah yang secara langsung membentuk karakteristik dari
parameter Oseanografi yang terjadi di daerah pantai selatan jawa, selain parameter
oseanografi, laut selatan juga akan membentuk geologi yang unik yang membentuk
kondisi oseanografi yang berbeda dibanding dengan laut yang lain, Berikut adalah
gambaran pesisir selatan atau laut selatan jawa yang berbatasan langsung dengan
samudera Hindia. Selain memiliki keunikan kondisi Oseanografi, Laut selatan juga
berpotensi terjadi Tsunami, seperti yang telah terjadi Tsunami Di Pangandaran
Jawa Barat 2006, Hal ini relatif berbeda dibandingkan dengan laut Utara Jawa yang
doprediksi tidak akan terjadi Tsunami selama beberapa dekade mendatang(Mustafa
dan Yudicara, 2007).
2.2. Ekosistem Intertidal
Zona intertidal terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan
pantai yang landai, sehingga bergantung pada kemiringan dasar perairan dan
perbedaan ketinggian air saat pasang surut yang terjadi, semakin landai pantainya
maka zona intertidalnya semakin luas, namun semakin terjal pantainya maka zona
intertidalnya akan semakin sempit (Nugroho, 2012)
Menurut Habonaran (2015), berdasarkan substrat penyusunnya,zona
intertidal dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a) tipe pantai Berbatu (Bedrock)
pantai ini substratnya berupa batu. 'awasan ini palingpadat
mikroorganismenya dan mempunyai keragaman fauna maupun flora
yang paling besar.
b) Tipe pantai berpasir
Pantai ini dapat ditemui di daerah yang jauh dari pengaruh sungai besar
atau dipulau kecil yang terpencil. Makroorganisme yang terdapat disini
tidak sepadat di kawasan pantai berbatu dankarena kondisi
lingkungannya, organisme yang ada cenderung menguburkan dirinya ke
dalam substrat. kawasan ini lebih banyak di manfaatkan manusia untuk
berbagai aktivitas rekreasi.
c) tipe pantai Berlumpur
perbedaan antara tipe pantai ini dengan tipe pantai berpasir yaitu terletak
pada ukuran butiran sedimen (substrat).
Tipe pantai berlumpur mempunyai ukuran butiran yang paling halus. Pantai
berlumpur terbentuk di sekitar muara-muara sungai dan umumnya berasosiasi
dengan estuaria. Tebal endapan lumpurnya dapat mencapai satu meter atau lebih.
Perbedaan yang lainnya adalah gelombang yang tiba di pantai, aktivitas
gelombangnya sangat kecil. Menurut Yulianda et al (2013), secara umum daerah
intertidal sangat dipengaruhi oleh pola pasang dan surutnya air laut, sehingga dapat
dibagi menjadi tiga zona, yaitu :
a) Zona supratidal (backshore), merupakan daerah diatas pasang tertinggi dari
garis laut yang !anya mendapatkan air laut dari hempasan gelombang dan
ombak yang menerpa daerah tersebut.
b) Zona intertidal , merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi
dari garis permukaan laut.
c) Zona subtidal , adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut.
2.3. Komponen Penyusun Ekosistem Intertidal
Menurut Yulianda et al (2013),kosistem pesisir terdiri dari komponen biotik
dan abiotik. Komponen biotik penyusun ekosistem pesisir terbagi menjadi empat,
yakni produsen, konsumen primer, konsumen sekunder dan dekomposer.
1. Produsen – yang berperan sebagai produsen dalam ekosistem pesisir adalah
mereka yang mempunyai klorofil dan berfotosintesis sehingga dapat
menghasilkan zat organik kompleks dari zat anorganik sederhana, atau
disebut dengan vegetasi autotrof. Contohnya algae dan fitoplankton.
2. Konsumen primer – biota laut yang memakan tumbuhan (herbivora)
merupakan konsumen primer atau konsumen pertama dari suatu ekosistem
pesisir.
3. Konsumen sekunder – semua organisme yang memakan hewan (karnivora)
berperan sebagai konsumen sekunder dalam ekosistem pesisir. Konsumen
sekunder ini selanjutnya bisa menjadi mangsa bagi konsumen tersier.
Mereka umumnya tergolong dalam predator.
4. Dekomposer – pengurai dalam ekosistem pesisir ialah organisme
avertebrata dan bakteri yang memakan materi organik mati seperti dedaunan
yang mati dan bangkai biota laut.
Menurut Habonaran et al. (2015), komponen abiotik dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu :
1. Unsur dan senyawa anorganik – Unsur- unsur penyusun ekosistem yang
terlibat dalam ekosistem pesisir tersebut merupakan unsur hara atau
substansi biogenik yang penting bagi kehidupan biota. Contohnya :
nitrogen, fosfor, karbon, mangnesium, besi, seng dan air.
2. Bahan organik – Senyawa atau bahan organik yang mengikat komponen
abiotik dan biotik terdapat dalam bentuk terlarut dan partikel. Jika bahan
organik terurai, maka bahan tersebut akan menjadi humus atau zat humik.
Contoh senyawa tersebut adalah karbohidrat, lemak dan protein.
3. Faktor fisik – Komponen abiotik ini membatasi kondisi kehidupan Faktor-
faktor ini selalu berada dalam satu seri gradien. Kemampuan menyesuaikan
diri organisme berubah secara bertahap sepanjang gradien tersebut, akan
tetapi ada juga titik perubahan yang berbaur yang disebut dengan ekoton.
Contoh faktor fisik tersebut seperti iklim, suhu, kelembapan dan curah
hujan.
2.3.1. Substrat
Zona intertidal (pasang surut) merupakan daerah terkecil dari semua daerah
yang terdapat di samudra dunia, dan merupakan pinggiran yang sempit sekali
(hanya beberapa puluh meter) terletak diantara pasang tertingi dan surut
terendah.Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai di zona
intertidal sebagian disebabkan zona ini berada di udara terbuka selama waktu
tertentu dalam setahun. Kebanyakan faktor fisiknya menunjukkan kisaran yang
lebih besar di udara daripada di air(Nugroho, 2012)
Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan (gradient).
Faktor lingkungan secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau karakteristik
komunitas biota serta habitatnya. Sebagian besar gradien ekologi dapat terlihat pada
wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir, pantai berlumpur
maupun pantai berbatu (Habonaran et al., 2014)
Perbedaan pada seluruh tipe pantai ini dapat dipahami melalui parameter
fisika dan biologi lingkungan yang dipusatkan pada perubahan utamanya serta
hubungan antara komponen abiotik (parameter fisika-kimia lingkungan) dan
komponen biotik (seluruh komponen makhluk atau organisme) yang berasosiasi di
dalamnya. Secara umum daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh pola pasang dan
surutnya air laut, sehingga dapat dibagi menjadi tiga zona (Patty et al., 2015).
2.3.2. Flora
Menurut Habonaran et al. (2014), beberapa genera alga intertidal bagian
atas yaitu Porifera, Fucus dan Entomorpha. Limpet dari genus Patella, Acmaea dan
Collisella merupakan hewan yang dominan di daerah intertidal berbatu. Spesies
Limpet tertentu mempunyai goresan rumah (home scar) di mana cangkang dapat
dengan pas menempatinya. Gastropoda lainnya seperti siput (Littorina) mempunyai
opercula yang menutup rapat celah cangkang. Beberapa Bivalva seperti Mytilus
edulis dapat hidup di daerah intertidal. Organisme lain seperti Anemon actinia dan
hydroid Clava squamata menghasilkan lender untuk mencegah kehilangan air.
Pada kawasan intertidal, banyak di dominasi oleh hewan-hewan yang
bergerak cepat untuk mencari makan seperti beberapa jenis kepiting dan beberapa
jenis kerang-kerangan (bivalve) serta cacing pantai (Annelida) yang dapat
mengubur diri kedalam pasir. Khusus pada zona intertidal, hewan-hewan yang
membanamkan diri pada pasir (infauna) lebih banyak di jumpai di bandingkan
dengan daerah subtidal yang di dominasi oleh hewan-hewan kecil yang hidup di
atas permukaan pasir (Nugroho, 2012).
Beberapa organisme yang hidup di daerah ini adalah abalone, anemone,
rumput laut cokelat, chitond, kepiting, ganggang hijau, hydroids, isopods, limpets,
kerang, madibranchs, scilpin, mentimun laut, selada laut, telapak tangan laut,
bintang laut, bulu babi, udang, siput, spons, selancar rumput, cacing tabung, dan
whelks. Organism di wilayah ini dapat tumbuh dengan ukuran yang lebih besar
karena lebih banyak tersedia energy dalam ekosistem setempat dan air dangkal yang
cukup untuk memungkinkan banyak cahaya yang masuk untuk mencapai vegetasi
yang memungkinkan fotosintetik aktivitas, dan salinitas berada pada tingkat
hamper no rmal. Daerah ini juga dilindungi dari predator besar seperti ika karena
aksi gelombang dan air masih relative dangkal (Nasution et al., 2017)
2.3.3. Fauna
Dikarenakan harus bertahan pada periode reguler terendam dan kering,
organisme pada zona intertidal pada dasarnya dapat hidup di bawah air ataupun di
darat, dan harus mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi iklim. Intensitas stres
iklim bervariasi secara relatif terhadap ketinggian pasang karena organisme yang
hidup di daerah dengan pasang lebih tinggi terbenam untuk waktu yang lebih lama
daripada mereka yang tinggal di daerah dengan pasang yang lebih rendah. Gradien
iklim ini bersama dengan ketinggian pasang surut mengarahkan pola zonasi
intertidal, dengan spesies intertidal tinggi lebih dapat beradaptasi daripada spesies
intertidal yang lebih rendah. Adaptasi ini dapat berupa perilaku (yaitu gerakan atau
tindakan), morfologi (yaitu karakteristik eksternal struktur tubuh), atau fisiologis
(yaitu fungsi internal dari sel-sel dan organ). Selain itu, adaptasi seperti pada
umumnya membebani organisme dari sisi tenaga (misalnya untuk bergerak atau
menumbuhkan struktur tertentu), yang menghabiskan lebih banyak energi, yang
pada kesempatan lain digunakan untuk menghalangi predator atau untuk fungsi-
fungsi lainnya seperti reproduksi(Habonaran et al., 2014)
Organisme Intertidal, terutama yang hidup di intertidal tinggi harus
mengatasi variasi suhu yang besar. Ketika di bawah air, suhu hanya akan berubah
beberapa derajat selama setahun. Namun, pada saat air surut, dalam periode
beberapa jam saja suhu dapat turun hingga ke bawah titik beku atau mungkin
menjadi sangat panas, mendekati kisaran 30 °C (86 °F). Banyak organisme yang
bergerak, seperti siput dan kepiting, menghindari fluktuasi suhu dengan merangkak
di sekitar, mencari makanan pada saat pasang tinggi dan bersembunyi disaat dingin,
mengungsi di celah-celah batu atau lubang lembab pada saat air surut.Selain hanya
tinggal di daerah pasang yang lebih rendah, organisme non-motil mungkin lebih
bergantung pada mekanisme koping. Sebagai contoh, organisme pada daerah
pasang tinggi memiliki ketahanan stres yang lebih tinggi, berupa sebuah respon
fisiologis pembuatan protein yang membantu pemulihan dari stres suhu sekaligus
sebagai respon kekebalan tubuh membantu pemulihan dari infeksi (Nugroho,
2012).
Selama berada dalam kondisi terendam, pasokan makanan untuk organisme
intertidal terdiri dari bahan-bahan yang terbawa oleh aliran air laut, termasuk
fitoplankton yang berfotosinteis dan zooplankton. Plankton ini dimakan oleh
berbagai jenis hewan penyaring kerang, remis, kepah, urochordata, dan cacing
polychaeta. Laut terdekat juga merupakan sumber nutrisi utama untuk autotrof,
produsen dengan kemampuan fotosintesis mulai dari ukuran mikroskopis seperti
alga hingga rumput laut. Produsen zona intertidal ini dimakan oleh herbivora,
seperti keong yang mengikis batuan bersih dari lapisan diatom dan kepiting rumput
laut yang merayap disepanjang pelepah rumput laut Egregia, memakan dedaunan
kecil. Kepiting yang dimakan oleh ikan kerapu goliath, yang kemudian dimakan
oleh ikan hiu. Rantai makanan yang lebih tinggi, konsumen predator seperti bintang
laut memakan pemakan rumput lainnya (misalnya siput) dan hewan penyaring
(misalnya kerang). Akhirnya, pebangkai, termasuk kepiting dan amphipoda (kutu
pasir), memakan bahan organik mati, seperti produsen dan konsumen yang sudah
mati (Sukiya dan Putri, 2015).
Organisme Intertidal juga sangat rentan terhadap pengeringan selama
periode surut. Organisme bergerak akan menghindari pengeringan dengan cara
yang sama seperti menghindari perubahan suhu ekstrim, menggali lubang dan
mencari tempat lembab. Banyak organisme intertidal, termasuk siput Littorina,
mencegah kehilangan cairan dengan memiliki lapisan kedap air, menarik dirinya
kedalam cangkang dan menutup bukaan cangkang. Keong (Patela) tidak
menggunakan piringan penutup cangkang tapi menempati bagian batu dengan pola
celah melingkar (home scar) yang dapat menutupi bagian bawah kerucut cangkang.
Mereka kembali ke bagian batu ini setelah menempuh perjalanan dengan beringsut,
biasanya sebelum surut. Pada batuan lunak, bagian batu ini dapat terlihat cukup
jelas. Namun organisme lain, seperti ganggang Ulva dan Porphyra, memiliki
kemampuan rehidrasi dan memulihkan diri setelah periode pengeringan yang
ekstrim (Nasuution et al., 2017).
2.4. Parameter Kualitas Perairan
Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang
banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumberdaya air harus
dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk
hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan
secara bijaksana, dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang maupun
generasi mendatang. Aspek penghematan dan pelestarian sumberdaya air harus di
tanamkan pada segenap pengguna air(Linne et al., 2015).
Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang
dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu dengan demikian, kualitas
air akan berbeda dari suatu kegiatan ke kegiatan lain, sebagai contoh: kualitas air
untuk keperluan irigasi berbeda dengan kualitas air untuk keperluan air minum. Air
yang jernih bukan berarti air yang baik bagi ikan, karena jernih bukan satu-satunya
sarat air berkualitas bagi ikan. Sering dijumpai ikan hidup dan berkembang dengan
“subur” justru pada air yang bagi manusia menimbulkan kesan jorok. Ikan hidup
dalam lingkungan air dan melakukan interaksi aktif antara keduanya(Gusmaweti
dan deswanti, 2015).
Ikan-air boleh dikatakan sebagai suatu sistem terbuka dimana terjadi
pertukaran materi (dan energi), seperti oksigen (O2), karbon dioksida (CO2),
garam-garaman, dan bahan buangan. pertukaran materi ini terjadi pada antar muka
(Interface). Ikan-air pada bahan berupa membran semipermeabel yang terdapat
pada ikan. Kehadiran bahan-bahan tertentu dalam jumlah tertentu akan
mengganggu mekanisme kerja dari membran tersebut, sehingga ikan pada akhirnya
akan terganggu dan bisa megakibatkan kematian(Ira, 2014).
Menurut Setyowati (2010), Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan
makhluk hidup, zat energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan
dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan
terlarut dan sebagainya), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam
dan sebagainya), dan parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri, dan
sebagainya). Lima syarat utama kualitas air bagi kehidupan ikan adalah :
1. Rendah kadar amonia dan nitrit
2. Bersih secara kimiawi
3. Memiliki pH, kesadahan, dan temperatur yang sesuai
4. Rendah kadar cemaran organik, dan
5. Stabil
2.4.1. Fisikia
Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya,
ketinggihan geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari
pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu pola temperatur perairan dapat di
pengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang di akibatkan oleh aktivitas
manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik,
penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan
air terkena cahaya matahari secara langsung(Setyowati, 2010)
Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres yang ditandai dengan
tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang
ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri
patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah
memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah
menyebabkan menurunnya laju pernafasan dan denyut jantung sehingga dapat
berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen(Pujiastuti,
2013).
Kecerahan merupakan ciri penentu untuk pencerahan, penglihatan yang
mana suatu sumber dilihat memancarkan sejumlah kandungan cahaya.dalam kata
lain kecerahan adalah pencerahan yang terhasil dari pada kekilauan sasaran
penglihatan, kecerahan merupakan suatu ukuran dimana cahaya didalam air yang
disebabkan oleh adanya partikel-partikel kaloid dan suspensi dari suatu bahan
pencemaran, antara lain bahan organik dari buangan-buangan industri, rumah
tangga, pertanian yang terkandung di perairan (Ira, 2014).
Kedalaman disuatu perairan saangat penting untuk diperahatikan, hal ini
diakrenakan kedalaman suatu perairan dapat mempengaruhi jumlah cahaya yang
akan masuk ke perairan dan ketersediaan oksigen diperairan tersebut, jika disuatu
perairan kekurangan cahaya masuk kedalamnya maka ikan tersebut akan stress.
Begitu juga halnya dengan kandungan oksigen, biasanya diperairan dalam
ketersediaan oksigen lebih sedikit dibandingkan dengan perairan dangkal(Rahman
2016).
2.4.2. Kimia
pH adalah suatu ukuran keasaman dan kadar alkali dari sebuah contoh
cairan. Kadar pH dinilai dengan ukuran antara 0-14. Sebagian besar persediaan air
memiliki pH antara 7,0-8,2 namun beberapa air memiliki pH di bawah 6,5 atau
diatas 9,5. Air dengan kadar pH yang tinggi pada umumnya mempunyai konsentrasi
alkali karbonat yang lebih tinggi. Alkali karbonat menimbulkan noda alkali dan
meningkatkan farmasi pengapuran pada permukaan yang keras(Ira, 2014)
Oksigen adalah unsur vital yang di perlukan oleh semua organisme untuk
respirasi dan sebagai zat pembakar dalm proses metabolisme. Sumber utama
oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak
antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya daur
kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui
kegiatan respirasi dari semua organisme(Setyowati, 2014).
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan
musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence)
massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke
dalam air (Effendi, 2003).
2.4.3. Biologi
Plankton adalah organisme yang berkuran kecil yang hidupnya terombang-
ambing oleh arus. Mereka terdiri dari makhluk yang hidupnya sebagai hewan
(zooplankton) dan sebagai tumbuhan (fitoplankton). Zooplankton ialah hewan-
hewan laut yang planktonik sedangkan fitoplankton terdiri dari tumbuhan laut yang
bebas melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis (Linne et al.,
2015).
Karena organisme planktonik biasanya ditangkap dengan menggunakan
jaring-jaring yang mempunyai ukuran mata jarring yang berbeda, maka
penggolongoan plankton dapat pula dilakukan berdasarkan ukuran plankton.
Penggolongan ini tidak membedakan fitoplankton dari zooplankton, dan dengan
cara ini dikenal lima golongan plankton, yaitu : megaplankton ialah organisme
plaktonik yang besarnya lebih dari 2.0 mm; yang berukuran antara 0.2 mm-2.0 mm
termasuk golongan makroplankton; sedangkan mikroplankton berukuran antara 20
µm-0.2 mm. Ketiga golongan inilah yang biasanya tertangkap oleh jaring-jaring
plankton baku. Dua golongan yang lainnya: nanoplankton adalah organisme
planktonik yang sangat kecil, yang berukuran 2 µm-0.2 mm; organisme planktonik
yang berukuran kurang dari 2 µm termasuk golongan ultraplankton. Nanoplankton
dan ultraplankton tidak dapat ditangkap oleh jaring-jaring plankton baku.Untuk
dapat menjaringnya diperlukan mata jaring yang sangat kecil(Effendi, 2003).
Ikan adalah makhluk hidup yang hidupnya diperairan dan juga ikan
merupakan parameter biologi yang dapat digunakan untuk meneliti parameter
kualitas air disuatu perairan. Jika disuatu perairan memiliki jenis ikan tertentu
dalam jumlah yang sedikit ini menunjukkan bahwa perairan itu tercemar atau
kurang baik untuk dilakukannya budidaya ikan, begitu pula sebaliknya, jika suatu
perairan jumlahnya yang terdapat didalamnya jumlah yang banyak dan beragam
jenisnya, maka hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut tidak mengalami
pencemaran dan cocok untuk pembudidayaan(Gusmaweti dan Deswanti, 2015)

2.5. Baku Mutu Perairan


2.6. Metode LIT
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Waktu dan Tempat
3.1.2. Alat dan Bahan
3.2. Metode
3.2.1. Pendataan Karang dan Substrat
3.2.2. Pendataan Biota Benthos
3.2.3. Pengukuran Parameter Kualitas Air
a. Suhu
b. Salinitas
c. pH
d. Oksigen Terlarut
3.3. Pengolahan Data
3.3.1. Pendataan Karang dan Substrat
3.3.2. Pendataan Biota Benthos
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Pendataan Karang dan Substrat
4.1.1.1. Transek 1
Tabel 1. Hasil Pengamatan Karang dan Substrat
Lifeform dan
Titik
Substrat Keterangan

Tabel 2. Hasil Pengamatan Biota Benthos


No Nama Jumlah

Tabel 3. Parameter Kualitas Air


Suhu Rata-
1 2 3 Rata

Salinitas Rata-
1 2 3 Rata

pH Rata-
1 2 3 Rata

Oksigen Terlarut Rata-


1 2 3 Rata

4.1.1.2. Transek 2
Tabel 4. Hasil Pengamatan Karang dan Substrat
Lifeform dan
Titik
Substrat Keterangan

Tabel 5. Hasil Pengamatan Biota Benthos


No Nama Jumlah

Tabel 6. Parameter Kualitas Air


Suhu Rata-
1 2 3 Rata
Salinitas Rata-
1 2 3 Rata

pH Rata-
1 2 3 Rata

Oksigen Terlarut Rata-


1 2 3 Rata

4.1.1.3. Transek 3
Tabel 7. Hasil Pengamatan Karang dan Substrat
Lifeform dan
Titik
Substrat Keterangan

Tabel 8. Hasil Pengamatan Biota Benthos


No Nama Jumlah

Tabel 9. Parameter Kualitas Air


Suhu Rata-
1 2 3 Rata

Salinitas Rata-
1 2 3 Rata

pH Rata-
1 2 3 Rata

Oksigen Terlarut Rata-


1 2 3 Rata

4.1.1.4. Transek 4
Tabel 10. Hasil Pengamatan Karang dan Substrat
Lifeform dan
Titik
Substrat Keterangan

Tabel 11. Hasil Pengamatan Biota Benthos


No Nama Jumlah
Tabel 12. Parameter Kualitas Air
Suhu Rata-
1 2 3 Rata

Salinitas Rata-
1 2 3 Rata

pH Rata-
1 2 3 Rata

Oksigen Terlarut Rata-


1 2 3 Rata

4.1.2. Pengolahan Data


4.1.2.1. Transek 1
a. Persentase Tutupan Komponen dan Life Form
b. Biota Benthos
4.1.2.2. Transek 2
a. Persentase Tutupan Komponen dan Life Form
b. Biota Benthos
4.1.2.3. Transek 3
a. Persentase Tutupan Komponen dan Life Form
b. Biota Benthos
4.1.2.4. Transek 4
a. Persentase Tutupan Komponen dan Life Form
b. Biota Benthos
4.2. Pembahasan
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN (Jurnal abstraknya saja, dokumentasi kegiatan praktikum, laporan
sementara)
Laporan Resmi Kelompok
Format Laporan A4, Margin 4333, TNR
Laporan dikumpulkan H+7 Praktikum Olah Data
1 x Revisi
Pengumpulan Revisi H+3 Pengembalian Laporan
(Min. 7 jurnal, 1 sub-bab 3 Jurnal)
Mengumpulkan tidak tepat waktu dianggap 0
PJ Laporan
Ekosistem Mangrove (Winda)
Ekosistem Lamun (Wita)
Ekosisem Pantai (Ichsan)

Anda mungkin juga menyukai